Anda di halaman 1dari 31

1.

Pendahuluan

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak
dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau dapat juga disebabkan oleh
berkurangnya kemampuan tubuh untuk merespon kerja insulin secara efektif. Insulin adalah
hormon yang berfungsi untuk meregulasi kadar gula darah. Peningkatan kadar gula dalam
darah atau hiperglikemia merupakan gejala umum yang terjadi pada diabetes dan seringkali
mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang cukup serius pada tubuh, terutama pada sel saraf
dan pembuluh darah.

Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang


dinyatakan dengan adanya konsentrasi gula darah tinggi dalam darah (hiperglikemia),
diakibatkan karena defisiensi insulin relatif maupun absolut. Penyakit DM tidak menular
yang mengalami peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. WHO memprediksi
kenaikan jumlahpenderita Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Berdasarkan Data Badan Pusat
Statistik,diperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah
sebesar 133 juta jiwa, dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah
rural sebesar 7,2 %. Pada tahun 2030 diperkirakan ada 12 juta penyandang diabetes di daerah
urban dan 8,1 juta di daerah rural.1

Efek kronik dari penyakit DM menyebabkan kerusakan organ secara menyeluruh


secara anatomis maupun fungsional. Komplikasi kronik dari penyakit DM menyebabkan
kelainan pada makrovaskular, mikrovaskular, gastrointestinal, genito urinari, dermatologi,
infeksi, katarak, glaukoma dan sistem muskulo skeletal.2,3

Diabetes adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan penyakit kronik
yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus Diabetes Mellitus (DM) tidak
terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak disertai gejala sampai terjadinya
komplikasi. Prevalensi penyakit diabetes meningkat karena terjadi perubahan gaya hidup,
kenaikan jumlah kalori yang dimakan, kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya jumlah
populasi manusia usia lanjut.

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 1


Dengan makin majunya keadaan sosio ekonomi masyarakat Indonesia serta pelayanan
kesehatan yang makin baik dan merata, diperkirakan tingkat kejadian penyakit
diabetesmellitus (DM) akan makin meningkat. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan
umur dansosio ekonomi. Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia di dapatkan
prevalensisebesar 1,5-2,3 % pada penduduk usia lebih besar dari 15 tahun. Pada suatu
penelitian diManado didapatkan prevalensi 6,1 %. Penelitian di Jakarta pada tahun 1993
menunjukkanprevalensi 5,7%.1

Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan
terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan
demikian dapat di mengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2
dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat drastis. Ini sesuai
dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO seperti tampak pada tabel 1, Indonesia akan
menempati peringkat nomor 4 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 8.4 juta
orang pada tahun 2000 dan dijangkakan akan terus meningkat mencapai 21.3 juta orang pada
tahun 2030.

Tabel 1. Prevalensi DM di berbagai negara.1

Dari angka-angka diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam jangka waktu 30
tahun penduduk Indonesia yang menderita diabete mellitus akan terus meningkat yang
disebabkan oleh karena:

Faktor demografi
Gaya hidup yang kurang sehat
Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 2


Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih
panjang.

2. Pembahasan

Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus


merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia
kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.
World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan
sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara
umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan masalah anatomik dan kimiawi akibat dari
sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi
insulin.

Jenis-jenis Diabetes Mellitus

a) Diabetes Melitus Tipe I

DM tipe I merupakan penyakit yang disebabkan oleh proses autoimun yang


menyebabkan kerusakan pada sel-sel beta pankreas. Keadaan ini akan mengakibatkan
pankreas tidak dapat menghasilkan insulin yang dibutuhkan tubuh untuk meregulasi kadar
gula darah. Defisiensi insulin yang terjadi akan mengakibatkan peningkatan kadar gula dalam
darah atau hiperglikemia. Hiperglikemia yang terjadi ditandai dengan terdapatnya sejumlah
glukosa dalam urin (glukosuria). Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal untuk
menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar.2,3

Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran sejumlah cairan dan elektrolit (diuresis osmotik). Sebagai akibat dari kehilangan
cairan yang berlebihan, pasien DM tipe I akan mengalami peningkatan frekuensi berkemih
(poliuria) dan timbul rasa haus yang cukup sering (polidipsia). Defisiensi insulin juga akan
mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan.

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 3


Penurunan berat badan ini akan mengakibatkan berkurangnya jumlah simpanan kalori
sehingga akan menambah selera makan (polifagia).2,3

b) Diabetes Melitus Tipe II

DM tipe II dapat terjadi karena ketidakmampuan tubuh dalam merespon kerja insulin
secara efektif. Dua masalah utama yang terkait dengan hal ini yaitu, resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Untuk mengatasi resistensi dan mencegah terbentuknya glukosa
dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada pasien DM,
keadaan ini terjadi karena sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa dalam darah
akan dipertahankan pada tingkat normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel
beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa
akan meningkat.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin, yang merupakan ciri khas DM tipe II,
namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan
lemak dan badan keton. Karena itu, ketoasidosis metabolik tidak terjadi pada DM tipe II.2,3

c) Diabetes Gestasional

DM tipe ini terjadi ketika ibu hamil gagal mempertahankan euglikemia. Faktor resiko
DM gestasional adalah riwayat keluarga, obesitas dan glikosuria. DM tipe ini dijumpai pada 2
5 % populasi ibu hamil. Biasanya gula darah akan kembali normal setelah melahirkan,
namun resiko ibu untuk mendapatkan DM tipe II di kemudian hari cukup besar.

d) Diabetes Melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya

DM tipe ini sering juga disebut dengan istilah diabetes sekunder, di mana keadaan ini
timbul sebagai akibat adanya penyakit lain yang mengganggu produksi insulin dan
mempengaruhi kerja insulin. Penyebab diabetes semacam ini antara lain : radang pada
pankreas, gangguan kelenjar adrenal atau hipofisis, penggunaan hormon kortikosteroid,
pemakaian beberapa obat antihipertensi atau antikolesterol, malnutrisi, dan infeksi.2,3

Gejala Klinis

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 4


a. Gejala Akut DM

Gejala penyakit DM pada setiap pasien tidak selalu sama. Gejala-gejala di bawah ini
adalah gejala yang timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala lain,
antara lain :

- Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan yaitu polifagia, polidipsia, poliuria dan
peningkatan berat badan.

- Bila keadaan tersebut tidak segera ditangani, akan timbul gejala yang disebabkan oleh
kurangnya jumlah insulin yaitu polidipsia dan poliuria dengan beberapa keluhan lainnya
seperti nafsu makan berkurang, banyak minum, banyak berkemih, penurunan berat badan
yang signifikan, mudah lelah, timbul rasa mual dan jika tidak segera diatasi akan
mengakibatkan koma yang disebut dengan istilah koma diabetes.2-4

b. Gejala Kronik DM

Kadang-kadang pasien DM tidak menunjukkan gejala akut, tetapi baru akan


menunjukkan gejala setelah beberapa bulan atau tahun menderita DM. Gejala kronik yang
sering timbul yaitu kesemutan, kulit terasa panas, kram, lelah, mudah mengantuk, mata
mengabur, gigi mudah patah, kemampuan seksual menurun, dan lain-lain.2-4

Patogenesis

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa
kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan
dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ
penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar
patofisiologi ini memberikan konsep tentang:5

1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya


untuk menurunkan HbA1c saja

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 5


2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada
gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.

3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat


progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan
toleransi glukosa.5

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious
octet) berikut :

1. Kegagalan sel beta pancreas:

Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.
Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-
1 agonis dan DPP-4 inhibitor.5

2. Liver:

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.5

3. Otot:

Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di


intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan
transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi
glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.5

4. Sel lemak:

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 6


Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid)
dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan
mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi
insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat
yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.5

5. Usus:

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan
oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP.
Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.5

6. Sel Alpha Pancreas:

Sel- pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak 1970. Sel- berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan
puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal.
Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon
meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.5

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 7


7. Ginjal:

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2.


Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari
glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose
co-Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan
di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga
akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan
ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat
penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal\ sehingga glukosa akan dikeluarkan
lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin
adalah salah satu contoh obatnya.5

8. Otak:

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik
yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang
bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.5

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 8


Gambar 1. Omnious octet.5

Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan


glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya glukosuria. Berikut adalah kriteria diagnosis diabetes mellitus menurut
PERKENI 2015:5

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 9


Gambar 2. Kriteria diagnosis diabetes mellitus menurut PERKENI.5

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu
(TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).5

Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa
antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;

Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam


setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl

Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c


yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.5

Tabel 2. Klasifikasi diabetes mellitus berdasarkan pemeriksaan laboratorium.5

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 10


Komplikasi Diabetes pada Sendi dan Tulang

Osteoarthritis

Osteoarthritis (OA) juga dikenal sebagai artritis degeneratif atau penyakit sendi
degeneratif, adalah sekelompok kelainan mekanik degradasi yang melibatkan sendi, termasuk
tulang rawan artikular dan tulang subchondral. OA merupakan bentuk yang paling umum dari
artritis. Penyakit ini memiliki prevalensi yang cukup tinggi, terutama pada orang tua.
Selain itu, osteoarthritis ini juga merupakan penyebab kecacatan paling banyak pada
orang tua. Faktor resiko utama penyakit ini adalah obesitas. Oleh sebab itu, semakin
tinggi prevalensi obesitas pada suatu populasi akan meningkatkan angka kejadian
penyakit osteoarthritis.6,7

Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif dengan etiologi dan patogenesis
yang belum jelas serta mengenai populasi luas. Pada umumnya penderita OA berusia di atas
40 tahun dan populasi bertambah berdasarkan peningkatan usia. Osteoartritis merupakan
gangguan yang disebabkan oleh multifaktorial antara lain usia, mekanik, genetik, humoral
dan faktor gaya hidup. Osteoartritis merupakan suatu penyakit dengan perkembangan slow
progressive, ditandai adanya perubahan metabolik, biokimia, struktur rawan sendi serta
jaringan sekitarnya, sehingga menyebabkan gangguan fungsi sendi. Kelainan utama pada OA
adalah kerusakan rawan sendi yang dapat diikuti dengan penebalan tulang subkondral,
pertumbuhan osteofit, kerusakan ligamen dan peradangan ringan pada sinovium, sehingga
sendi yang bersangkutan membentuk efusi. Osteoarthritis dapat terjadi di vertebra, articulatio
genu, articulation coxae, dan sebagian kecil di interphalang.6,7

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 11


Osteoartritis diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu OA primer dan OA
sekunder. Osteoartritis primer disebut idiopatik, disebabkan faktor genetik, yaitu adanya
abnormalitas kolagen sehingga mudah rusak. Sedangkan OA sekunder adalah OA yang
didasari kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, mikro dan makro trauma,
imobilitas yang terlalu lama serta faktor risiko lainnya, seperti obesitas dan sebagainya.
Untuk dalam kasus diabetes mellitus, ostearthritis yang terjadi adalah osteoarthritis sekunder
yang merupakan komplikasi dari faktor endokrin dan metabolik.6,7

Terjadinya OA tidak lepas dari banyak persendian yang ada di dalam tubuh manusia.
Sebanyak 230 sendi menghubungkan 206 tulang yang memungkinkan terjadinya gesekan.
Untuk melindungi tulang dari gesekan, di dalam tubuh ada tulang rawan. Namun karena
berbagai faktor risiko yang ada, maka terjadi erosi pada tulang rawan dan berkurangnya
cairan pada sendi. Tulang rawan sendiri berfungsi untuk meredam getar antar tulang. Tulang
rawan terdiri atas jaringan lunak kolagen yang berfungsi untuk menguatkan sendi,
proteoglikan yang membuat jaringan tersebut elastis dan air (70% bagian) yang menjadi
bantalan, pelumas dan pemberi nutrisi. Kondrosit adalah sel yang tugasnya membentuk
proteoglikan dan kolagen pada rawan sendi. Osteoartritis terjadi akibat kondrosit gagal
mensintesis matriks yang berkualitas dan memelihara keseimbangan antara degradasi dan
sintesis matriks ekstraseluler, termasuk produksi kolagen tipe I, III, VI dan X yang berlebihan
dan sintesis proteoglikan yang pendek. Hal tersebut menyebabkan terjadi perubahan pada
diameter dan orientasi dari serat kolagen yang mengubah biomekanik dari tulang rawan,
sehingga tulang rawan sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya yang unik.6,7

Proses degradasi timbul sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara regenerasi


(reparasi) dengan degenerasi rawan sendi melalui beberapa tahap yaitu fibrilasi, pelunakan,
perpecahan dan pengelupasan lapisan rawan sendi. Proses ini dapat berlangsung cepat atau
lambat. Yang cepat dalam waktu 10 15 tahun, sedang yang lambat 20 30 tahun. Akhirnya
permukaan sendi menjadi botak tanpa lapisan rawan sendi. Bersama timbulnya dengan
degenerasi rawan, timbul reparasi. Reparasi tersebut berupa pembentukan osteofit di tulang
subkondral, yang berasal dari proses kalsifikasi. Pada tulang subkondral terjadi reparasi
berupa sclerosis (pemadatan/ penguatan tulang tepat di bawah lapisan rawan yang mulai
rusak).6,7

Dalam waktu yang sama, akan terjadi keadaan sinovitis di mana sinovitis adalah
inflamasi dari sinovium dan terjadi akibat proses sekunder degenerasi dan fragmentasi.

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 12


Matriks rawan sendi yang putus terdiri dari kondrosit yang menyimpan proteoglycan yang
bersifat immunogenik dan dapat mengaktivasi leukosit. Sinovitis dapat meningkatkan cairan
sendi. Cairan lutut yang mengandung bermacam-macam enzim akan tertekan ke dalam celah-
celah rawan. Ini mempercepat proses pengerusakan rawan. Pada tahap lanjut terjadi tekanan
tinggi dari cairan sendi terhadap permukaan sendi yang botak. Cairan ini akan didesak ke
dalam celah-celah tulang subkondral dan akan menimbulkan kantong yang disebut kista
subkondral.6,7

Gambar 3. Progresivitas evolusi dari osteoartritis

Banyak penelitian telah dilakukan dan mendapatkan diabetes mellitus


mempunyai hubungan yang erat terhadap terjadinya osteoarthritis. Pada penderita
diabetes mellitus, jaringan sendi penderita diabetes mellitus selalunya lebih lembut dan
lebih tidak kaku berbanding pasien yang tidak menderita diabetes mellitus. Hal ini
sangat memberi dukungan dalam proses progresivitas osteoarthritis di mana jaringan
sendi lebih mudah untuk mengalami penipisan dan akhirnya akan mengarah kepada
ostearthritis. Tambahan pula, terdapat beberapa mekanisme yang terkait diabetes
mellitus yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan sendi dengan banruan beberapa
mediator seperti hiperglikemia, advanced glycation end products, sorbitol, adipokines
dan sitokin.6,7

Terdapat 3 mekanisme utama bagaimana diabetes mellitus menyebabkan


osteoarthritis yaitu mekanisme inflamasi, stress oxidatif dan stress osmotik. Pada
diabetes mellitus, tubuh akan menghasilkan agen inflamasi yang lebih tinggi
berbanding jaringan tubuh yang normal. Agen seperti cytokine, adipokine dan
prostaglandin akan memperparah inflamasi yang terjadi. Oleh itu, pasien dengan
Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 13
diabetes mellitus lebih mudah untuk mendertita osteoarthritis. Dalam keadaan yang
hipergilkemi, terdapat peningkatan spesies oksigen reaktif yang dihasilkan di dalam
tubuh dimana spesies oksigen reaktif ini mempunyai peran buruk dalam menyebabkan
kerusakan jaringan tubuh. Dalam kondisi yang tinggi glukosa akan membantu proses
penghasilan senyawa oksidan dan mempromosi katabolisme matriks tulang dan sendi
yang akan mempercepat terjadinya osteoarthritis.6,7

Selain itu, dalam kondisi yang hiperglikemi, terdapat penumpukan atau


peningkatan produksi advanced glycation end products (AGE) yang mempunyai peran
sebagai senyawa proinflamasi pada jaringan tubuh. AGE adalah protein ataupun lipid
yang menglami glycated akibat terpapar kepada glukosa yang berlebihan. AGE turut
berperan dalam perburukan penyakit degeneratif seperti diabetes, aterosklerosis, gagal
jantung kronis dan penyakit Alzheimer. Pada diabetes mellitus, AGE mempunyai peran
penting dalam menyebabkan kerusakan organ melalui proses inflamasi dan proses
stress oksidatif. Pada sistem muskuloskeletal, AGE akan merusak kolagen pada
jaringan ikat sehingga terjadinya kerusakan kartilago dan tendon. Kerusakan kartilago
dan tendon ini pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya osteoarthritis.6,7

Pada umumnya, gambaran klinis osteoartritis berupa nyeri sendi, terutama bila sendi
bergerak atau menanggung beban, yang akan berkurang bila penderita beristirahat. Nyeri
dapat timbul akibat beberapa hal, termasuk dari periostenum yang tidak terlindungi
lagi,mikrofaktur subkondral, iritasi ujung-ujung saraf di dalam sinovium oleh osteofit,
spasme otot periartikular, penurunan aliran darah di dalam tulang dan peningkatan tekanan
intraoseus dan sinovitis yang diikuti pelepasan prostaglandin, leukotrien dan berbagai
sitokin.6,7

Selain nyeri, dapat pula terjadi kekakuan sendi setelah sendi tidak digerakkan
beberapa lama (gel phenomenon), tetapi kekakuan ini akan hilang setelah sendi digerakkan.
Jika terjadi kekakuan pada pagi hari, biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit
(tidak lebih dari 30 menit). Gambaran lainnya adalah keterbatasan dalam bergerak, nyeri
tekan lokal, pembesaran tulang di sekitar sendi, efusi sendi dan krepitasi. Keterbatasan gerak
biasanya berhubungan dengan pembentukan osteofit, permukaan sendi yang tidak rata akibat
kehilangan rawan sendi yang berat atau spasme dan kontraktur otot periartikular. Nyeri pada
pergerakan dapat timbul akibat iritasi kapsul sendi, periostitis dan spasme otot periartikular.6,7

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 14


Osteoartritis selalunya didiagnosis berdasarkan gejala klinis yang ditunjukkan oleh
pasien dan gambaran radiologis. Pemeriksaan foto rontgen adalah metode radiologis yang
paling sering digunakan dan menjadi pilihan karena lebih murah berbanding modalitas yang
lain dan hasilnya lebih cepat. Pada foto rontgen, gambaran osteoarthritis adalah terlihat
gambaran penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris dan lebih sering terjadi pada
sendi penyangga berat tubuh. Selain itu adanya gambaran peningkatan densitas (sklerosis)
tulang subkondral, kista tulang, terdapat gambaran osteofit pada pinggir sendi dan terdapat
perubahan struktur anatomi sendi.6,7

Gambar 4. Gambaran radiologi osteoartritis pada sendi lutut.

Menurut kriteria Kellgren and Lawrence perubahan radiologis pada OA terjadi dalam
5 stadium/derajat:
Derajat 0 : Normal
Derajat 1 : Osteoarthritis meragukan, dengan gambaran sendi normal, tetapi terdapat
osteofit minimal
Derajat 2 : osteoartritis minimal dengan osteofit pada 2 tempat, tidak terdapat
sklerosis dan kista subkondral, serta celah sendi baik
Derajat 3 : osteoartritis moderat dengan osteofit moderat, deformitas ujung tulang,
dancelah sendi sempit
Derajat 4 : osteoarthritis berat dengan osteofit besar, deformitas tulang, celah sendi
hilang serta adanya sclerosis dan kista subkondral.6,7

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 15


Charcot Joint

Charcot joint ataupun turut dikenali sebagai Charcot arthropathy, adalah suatu proses
degeneratif yang terjadi pada sendi penyangga berat badan yang dikarakteristikkan dengan
dislokasi sendi, fraktur patologis dan deformitas pada sendi. Charcot joint dapat terkena pada
semua sendi namun lebih sering terjadi pada sendi di tungkai bawah, kaki dan pergelangan
kaki. Charcot joit terjadi akibat komplikasi dari beberapa keadaan lain seperti diabetes, sifilis,
alkoholisma kronik, penyakit lepra, meningomyelocele, cedera medulla spinalis (spinal cord
injury), syringomyelia, dialisis ginjal dan penyakit insensitivitas terhadap nyeri secara
kongenital. Namun begitu, diabetes merupakan penyebab paling banyak ditemukan yang
menimbulkan terjadinya Charcot joint.8,9

Mekanisme yang jelas terjadinya Charcot joint masih belum diketahui, namun
terdapat dua teori utama berkaitan patofisiologi Charcot joint yaitu teori neurotraumatik dan
teori neurovaskular. Teori neurotraumatik menyatakan bahwa Charcot joint terjadi
disebabkan oleh terjadinya trauma atau cedera pada kaki yang tidak sensitif (tidak sensitif
pada rangsangan nyeri). Hal ini sering terjadi pasien diabetes mellitus yang sudah mengalami
komplikasi neuropati di mana pasien mengalami penurunan sensitivitas pada rangsangan
nyeri. Hal ini akan menyebabkan pasien tidak sadar dan tidak merasa sakit walaupun terjadi
destruksi tulang. Akibat dari ini, mikrotrauma yang terjadi akan menjadi lebih progresif
sehingga akan menyebabkan destruksi dan kerusakan pada tulang dan sendi.9

Teori neurovaskular pula menyatakan bahwa pasien yang mengalami neuropati


(terutama pasien diabetes mellitus) sering mengalami disregulasi refleks sistem saraf
ototnom. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperemia (peningkatan aliran darah) pada
ekstremitas terutama ekstremitas bawah. Hiperemia yang terjadi akan menyebabkan resorpsi
tulang oleh osteoklas meningkat dan ditambah oleh stress mekanik yang terjadi pada tulang
dan sendi, hal ini akan menimbulkan destruksi pada tulang dan menimbulkan Charcot joint.
Realitasnya, kedua mekanisme ini terjadi secara bersamaan dalam perkembangan terjadinya
Charcot joint.9

Gejala klinis Charcot joint sangat bervariasi tergantung derjata penyakit. Gejala dapat
berkisar dari pembengkakan sendi tanpa deformitas sehinggalah pembengkakan yang disertai
deformitas yang signifikan. Selalunya gejala dimulai pada satu sendi yang kemudian

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 16


mengalami progresif mengenai sendi yang lain. Pasien dengan Charcot joint akan mengalami
pembengkakan sendi akibat pertumbuhan tulang yang berlebihan dan efusi dari sinovial. Pada
fase akut, dapat ditemukan inflamasi pada sendi yang terkena yang selalunya unilateral dan
peningkatan suhu kulit lokal (selalunya peningkatan suhu sebanyak 3-7C dari kulint normal),
eritema, efusi sendi dan resorpsi tulang pada kaki yang mengalami penurunan sensitivitas
terhadap sendi. Jika pasien mengalami gejala seperti yang telah diterangkan yang disertai
kulit yang intak dan penurunan sensitivitas kulit, hal ini merupakan patognomonik bagi
Charcot joint. Pasien dapat merasakan nyeri namun tingkat nyeri yang dirasakan tidak
sehebat gambaran klinis maupun gambaran radiologis dan juga tergantung dari derajat
penyakit yang dialami. Nyeri yang dirasakan adalah disebabkan adanya fraktur intraartikular
oleh osteofit atau kondilus.9

Pasien turut mengalami instabilitas sendi, subluksasi dan krepitasi seiring dengan
perjalanan penyakit. Charcot joint dapat berkembang dengan cepat dan disorganisasi sendi
dengan fragmen tulang dapat dirasakan pada pasien dala jangka waktu minggu sehingga
bulan. Sendi yang paling sering terkena Charcot joint adalah sendi tarsal dan sendi
tarsometatarsal yang diikuti oleh sendi sendi metatarsofalangeal dan sendi talotibial. Sendi
lutut dan tulang punggung jarang terlibat. Selalunya dapat ditemukan pembengkakan kaki
dan pergelangan kaki serta ditemukan tulang tarsal yang kolaps kearah bawah yang
menbentuk telapak kaki berbentuk convex, yang dikenali sebagai rocker foot. Osteofit yang
besar dapat kelihatan menonjol pada bagian atas kaki. Kalus juga dapat ditemukan yang dapat
menyebabkan terjadinya ulkus dan osteomyelitis.9

Gambar 5. Gambaran rocker foot.

Diagnosis Charcot joint dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis dan gambaran
radiologis pada pasien dengan sensory neuropathy. Gambaran radiologis pada Charcot joint

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 17


pada awalnya akan menunjukkan gambaran seperti osteoarthritis dengan penyempitan sendi,
sklerosis subkondral, osteofit dan efusi sendi. Pada arthropati yang lebih lanjut dapat
ditemukan gambaran soft tissue swelling, resorpsi tulang, fraktur, osteofit yang besar,
subluksasi dan gambaran fragmen tulang ekstraartikular. Untuk membedakan Charcot joint
dengan osteomyelitis berdasarkan hasil gambaran radiologis adalah sangat susah terutama
pada kaki diabetik. Perbedaannya dapat dilihat pada margin sendi di mana pada Charcot joint,
margin sendi masih kelihatan jelas manakala pada osteomyelitis kelihatan kabur. Dalam hal
ini, perlu dilakukan kultur cairan sendi dan jaringan dari sendi untuk membedakan antara
keduanya. Selain itu, MRI sangat membantu dalam membedakan keduanya.9

Fokus primer dalam mengobati Charcot joint adalah untuk memberi satabilitas kepada
sendi. Penggunaan braces dan splint sangat berguna namun memerlukan suveilans yang ketat
karena penderita selalunya mengalami kesukaran jika braces atau splint dipasang secara
salah.9

Frozen Shoulder

Frozen shoulder atau disebut juga adhesive capsulitis atau shoulder periarthritis
merupakan manifestasi muskuloskeletal yang mengacu pada kekakuan sendi glenohumeral
akibat penebalan dan kontraksi kapsul sendi menyebabkan penurunan cukup besar kapasitas
volume kapsul. Frozen shoulder dapat terjadi akibat suatu proses idiopatic atau akibat kondisi
mendara yang menyebabkan sendi tidak digunakan. Idiopatic frozen shoulder sering terjadi
pada dekade ke empat atau ke enam. Rotator cuff tendinopati, bursitis subacromial akut,
patah tulang sekitar collum dan caput humeri, stroke paralitic adalah factor predisposisi yang
sering menyebabkan terjadinya frozen shoulder. Penyebab tersering adalah rotator cuff
tendinopati dengan sekitan 10% dari pasien degan kelainan ini akan mengalamai frozen
shoulder.2,10

Pasien dengan diabetes mellitus dan pasien yang tidak menjadalani fisioterapi juga
memiliki resiko tinggi. Penggunaan sling terlalu lama juga dapat menyebabkan frozen
shoulder. Frozen shoulder dapat terjadi setelah imobilisasi yang lama akibat trauma atau
operasi pada sendi tersebut. Biasanya hanya satu bahu yang terkena, akan tetapi pada
sepertiga kasus pergerkana yang terbatas dapat terjadi pada kedua lengan.2,10

Patofisiologi frozen shoulder masih belum jelas, tetapi beberapa penulis menyatakan
bahwa dasar terjadinya kelainan adalah imobilisasi yang lama. Setiap nyeri yang timbul pada

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 18


bahu dapat merupakan awal kekakuan sendi bahu. Hal ini sering timbul bila sendi tidak
digunakan terutama pada pasien yang apatis dan pasif atau dengan nilai ambang nyeri yang
rendah, di mana tidak tahan dengan nyeri yang ringan akan membidai lengannya pada posisi
tergantung. Lengan yang imobil akan menyebabkan stasis vena dan kongesti sekunder dan
bersama-sama dengan vasospastik, anoksia akan menimbulkan reaksi timbunan protein,
edema, eksudasi, dan akhirnya reaksi fibrosis. Fibrosis akan menyebabkan adhesi antara
lapisan bursa subdeltoid, adhesi ekstraartikuler dan intraartikuler, kontraktur tendon
subskapularis dan bisep, perlekatan kapsul sendi.10

Penyebab frozen shoulder mungkin melibatkan proses inflamasi. Kapsul yang berada
di sekitar sendi bahu menebal dan berkontraksi. Hal ini membuat ruangan untuk tulang
humerus bergerak lebih kecil, sehingga saat bergerak terjadi nyeri. Penemuan makroskopik
dari patofisiologi dari frozen shoulder adalah fibrosis yang padat dari ligament dan kapsul
glenohumeral. Secara histologik ditemukan prolifrasi aktif fibroblast dan fibroblas tersebut
berubah menjadi miofibroblas sehingga menyebabkan matriks yang padat dari kolagen yang
berantakan yang menyebabkan kontraktur kapsular. Berkurangnya cairan synovial pada sendi
bahu juga berkontribusi terhadap terjadinya frozen shoulder.10

Pendapat lain mengatakan inflamasi pada sendi menyebabkan thrombine dan


fibrinogen membentuk protein yang disebut fibrin. Protein tersebut menyebabkan penjedalan
dalam darah dan membentuk suatu substansi yang melekat pada sendi. Perlekatan pada
sekitar sendi inilah yang menyebabkan perlekatan satu sama lain sehingga menghambat full
ROM. Kapsulitis adhesiva pada bahu inilah yang disebut frozen shoulder. Terdapat pula
pendapat yang menyatakan adanya proses perrubahan vakuler pada frozen shoulder.

Manifestasi klinis dari frozen shoulder memiliki ciri khas yaitu terbagi dalam tiga
fase, nyeri, kaku, dan perbaikan. Proses alamiah dari fase-fase ini biasanya berjalan selama 1
hingga 3 tahun. Fase pertama sering disebut juga sebagai painful atau freezing stage, fase ini
diawalin dengan rasa nyeri pada bahu. Pasien akan mengeluhkan nyeri saat tidur dengan
posisi miring dan akan membatasi gerak untuk menghindari nyeri. Pasien akan sering
mengeluhkan nyeri pada daerah deltoid. Sering kali pasien tidak akan meminta bantuan
medis pada fase ini, karena dianggap nyeri akan hilang dengan sendirinya. Mereka dapat
mencoba mengurangi nyeri dewngan analgesic. Tidak ada trauma sebelumnya, akan tetapi
pasien akan ingat pertama kali dia tidak bisa melakukan kegiatan tertentu akibat nyeri yang
membatasi pergerakan. Fase ini dapat berlangsung selama 2 sampai 9 bulan.2,10

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 19


Fase kedua ini disebut fase stiff atau frozen . Pada fase ini pergerakan bahu menjadi
sangat terbatas, dan pasien akan menyadari bahwa sangat sulit untuk melalukan kegiatan
sehari-hari, terutama yang memerlukan terjadinya rotasi interna dan externa serta
mengangkat lengan seperti pada saat keramas atau mengambil sesuatu yang tinggi. Saat in
pasien biasanya mempunyai keluahans spesifik seperti tidak bisa menggaruk punggung, atau
memasang BH, atau mengambil sesuatu dari rak yang tinggi. Fase ini berlangsung selama 3
bulan hingga 1 tahun. Fase terakhir adalah fase resolusi atau thawing fase. Pada fase ini
pasien mulai bisa menggerakan kembali sendi bahu. Setelah 1-3 tahun kemampuan untuk
melakukan aktivitas akan membaik, tapi pemulihan sempurna jarang terjadi.2,10

Pada pemeriksaan fisik didapatkan hilangnya gerak pada segala arah baik secara
gerak aktif maupun pasif. Pada pemeriksaan fisik, fleksi atau elevasi mungkin kurang dari 90
derajat, abduksi kurang dari 45 derajat, dan rotasi internal dan eksternal dapat berkurang
sampai 20 derajat atau kurang. Terdapat pula restriksi pada rotasi eksternal. Tes Appley
scratch merupakan tes tercepat untuk mengeveluasi lingkup gerak sendi aktif. Pasien diminta
menggaruk daerah angulus medialis skapula dengan tangan sisi kontra lateral melewati
belakang kepala. Pada frozen shoulder pasien tidak dapat melakukan gerakan ini. Nyeri akan
bertambah pada penekanan dari tendon yang membentuk muskulotendineus rotator cuff. Bila
gangguan berkelanjutan akan terlihat bahu yang terkena reliefnya mendatar, bahkan kempis,
karena atrofi otot deltoid, supraspinatus dan otot rotator cuff lainnya.10

Penatalaksanaan dari frozen shoulder berfokus pada mengembalikan pergerakan sendi


dan mengurangi nyeri pada bahu. Biasanya pengobatan diawali dengan pemberian NSAID
dan pemberian panas pada lokasi nyeri, dilanjutkan dengan latihan-latihan gerakan. Pada
beberpa kasus dilakukan TENS untuk mengurangi nyeri. Langkah selanjutnya biasanya
melibatkan satu atau serangkaian suntikan steroid (sampai enam) seperti Methylprednisolone.
Pengobatan ini dapat perlu dilakukan dalam beberapa bulan. Injeksi biasanya diberikan
dengan bantuan radiologis, bisa dengan fluoroskopi, USG, atau CT. Bantuan radiologis
digunakan untuk memastikan jarum masuk dengan tepat pada sendi bahu.10

Kortison diinjeksikan pada sendi untuk menekan inflamasi yang terjadi pada kondisi
ini. Kapsul bahu juga dapat diregangkan dengan salin normal, kadang hingga terjadi rupture
pada kapsul untuk mengurangi nyeri dan hilangnya gerak karena kontraksi. Tindakan ini
disebut hidrodilatasi, akan tetapi terdapat beberapa penelitian yang meragukan kegunaan
terapi tersebut. Apabila terapi-terapi ini tidak berhasil seorang dokter dapat

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 20


merekomendasikan manipulasi dari bahu dibawah anestesi umum untuk melepaskan
perlengketan. Opersai dilakukan pada kasus yang cukup parah dan sudah lama terjadi.
Biasanya operasi yang dilakukan berupa arthroskopi. Mungkin diperlukan juga fisioterapi
dan latihan gerak. Fisioterapi dapat berupa pijatan atau pemeberian panas.10

Osteopenia dan Osteoporosis

Menurut definisi WHO osteopenia adalah penurunan massa tulang antara 1 - 2,5
standar deviasi dari rata-rata usia muda. Sedangkan penurunan massa tulang > 2,5 kali
standar deviasi massa tulang rata-rata dari populasi usia muda disebut osteoporosis. Massa
tulang ini turun sebagai akibat dari berkurangnya pembentukan, meningkatnya perusakan
(destruksi) atau kombinasi dari keduanya. Berkurangnya masa tulang pada diabetes telah
dikemukakan oleh banyak peneliti dengan berbagai teknik tertentu. Tulang-tulang dari kaki
diabetik sering kali tampak osteopenik dengan beberapa fraktur pada metatarsal sampai sendi
pergelangan kaki.8,11

Patogenesis timbulnya osteopenia pada diabetes masih belum jelas. Beberapa teori
dikemukakan mengenai sebab-sebab penurunan massa tulang pada diabetes, seperti
pembentukan tulang yang berkurang sejak awal, gangguan sintesa kolagen, peningkatan
ekskresi kalsium dan magnesium melalui urin, perubahan vaskuler dan gangguan
metabolisme kalsium dan vitamin D. Penurunan massa tulang pada diabetes dilaporkan
timbul sebanding dengan kadar hiperglikemia, C-peptida dan jumlah kebuuhan insulin. Colan
melaporkan bahwa derajat osteopenia tidak berkaitan dengan lama diabetes, adanya
komplikasi angiopati, atau kadar HbA1C.11

Penderita osteopenia tidak memberikan gejala dan tanda yang khas. Gejala dan tanda
yang terjadi biasanya apabila keadaan sudah lanjut (osteoporosis), sudah terjadi fraktur baik
di vertebra, radius atau leher femoris atau bila terjadi kompresi saraf yang mengakibatkan
rasa nyeri. Osteopenia pada suatu saat akan memburuk menjadi osteoporosis di mana
osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah,
disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada
akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dengan resiko terjadinya patah
tulang. Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik dan fraktur osteoporosis dapat terjadi
pada tiap tempat.11

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 21


Fraktur yang berhubungan dengan kelainan ini meliputi thorak dan tulang belakang
(lumbal), radius distal dan femur proksimal. Definisi tersebut tidak berarti bahwa semua
fraktur pada tempat yang berhubungan dengan osteoporosis disebabkan oleh kelainan ini.
Interaksi antara geometri tulang dan dinamika terjatuh atau kecelakaan (trauma), keadaan
lingkungan sekitar, juga merupakan faktor penting yang menyebabkan fraktur. Ini semua
dapat berdiri sendiri atau berhubungan dengan rendahnya densitas tulang.11

Osteopati diabetik

Osteopati diabetika merupakan bentuk kelainan yang pada umumnya mengenai kaki
bagian distal yaitu metatarsal distal dan phalang proksimal dan kelainan ini diketahui
berhubungan dengan diabetes melitus. Dari metafisis ditandai dengan hilangnya korteks
tulang yang menyebar ke tulang subartikuler dan akhirnya merusak bagian tulang tetapi
masih menyisakan pusat diafisis. Permuaan artikuler tetap utuh meskipun tulang metatarsal
dan jari-jari hancur. Osteolisis ini bisa dideteksi melalui pemeriksaan radiologik, terjadinya
dapat tanpa gejala dan tanpa didahului adanya infeksi, penyakit ini berhubungan secara pasti
dengan diabetes mellitus.8

Yang membedakan osteopati diabetika dari neuroartropati diabetika yaitu tidak


adanya neuropati perifer diabetes mellitus. Osteopati diabetika pulsasi arteri dorsalis pedis
teraba baik, kaki hangat dan tidak ada neuropati diabetes mellitus. Meskipun terdapat
osteolisis destruktif berat dan dimeneralalisasi. Pada akhir dari proses destruksi, tulang-tulang
menjadi fragmen dan biasanya terjadi infeksi sekunder. Destruksi osteolisis diabetika jauh
lebih berat dibandingkan osteomilelitis akibat infeksi kuman. Patogenesis osteopati diabetika
belum diketahui. Peningkatan aliran darah seperti hyperemia, berkurangnya sensasi nyeri dan
trauma ikut berperanan pada osteopati diabetika.8

Hiperostosis Ankilosis

Hiperostosis ankilosis atau Diffuse Idiopathic Skeletal Hyperostosis (DISH) adalah


suatu proses pada tulang belakang yang ditandai oleh kalsifikasi pada tendo, ligamen dan
pembentukan osteofit yang menonjol sepanjang permukaan anterolateral korpus vertebra.

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 22


Hiperostosis ankilosis biasa dijumpai pada usia petengahan dan lanjut, 6% diantara orang
berusia lebih dari 40 tahun, lebih sering pada laki-laki dan orang yang gemuk. Pada diabetes
banyak dijumpai hiperostosis ankilosis. Pada penderita tersebut diabetesnya kebanyakan
ringan dan dapat dikontrol dengan diet atau obat-obat hipoglikemik oral. Penyebab
hyperostosis pada diabetes belum diketahui, satu-satunya faktor yang mungkin menjadi
penyebab adalah gangguan pada sintesis mukopolisakarida, yang merupakan salah satu unsur
serat kolagen dari ligamen-ligamen paravertebral.8,12

Hiperostosis ankilosis biasanya gambaran kliniknya tidak jelas, biasanya timbul


pelan-pelan tanpa keluhan, dan seringkali baru ditemukan pada pemeriksaan radiologik
thoraks dan dianggap sebagai salah satu osteoartritis. Jika bertambah berat akan timbul nyeri
punggung, kekakuan dan hilangnya kemampuan gerak, meskipun kekakuan gerak jarang
sekali terjadi. Hiperostosis ankilosis sering kali mengenai tulang punggung. Diagnosa
ditegakan dengan pemeriksaan radiologik. Gambaran radiologik menunjukan adanya
pertumbuhan dua atau lebih osteofit yang berhubungan vertikal sepanjang permukaan
anterolateral korpus. Usia penderita yang lanjut, laju endap darah yang normal dan sendi
apofiseal dan sakroiliaka yang normal dapat membedakan hyperostosis ankilosis dari
spondilitis ankilosis.8,12

Panatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup


penyandang diabetes, yang meliputi:
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasi akut
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati
dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.5

Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus


Penatalaksanaan DM dimulai dengan pola hidup sehat, dan bila perlu dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat antihiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.5

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 23


1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya
pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik.5

2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)


Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan,
jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.5

3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari seminggu selama
sekitar 30-45 menit , dengan total 150 menit perminggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih
dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan
cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.5

4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya
hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.5

a. Obat Antihiperglikemia Oral.5


Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:
1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid
i) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
ii) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.

2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan Tiazolidindion (TZD).5

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 24


i) Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis),
dan memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada
sebagian besar kasus DMT2.
ii) Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti termasuk di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
(Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III & IV)
karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila
diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini
adalah Pioglitazone.)

3) Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.5


Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat glukosidase
alfa tidak digunakan bila GFR 30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable
bowel syndrome.

4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV).5


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1
(Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas
GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar
glukosa darah (glucose dependent).

5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2).5


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang
menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat transporter
glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain:
Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.

Tabel 3. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia.5


Golongan Obat Cara Kerja Utama Efek Samping Utama Penurunan
HbA1c
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi BB naik 1,0-2,0%

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 25


insulin Hipoglikemia
Glinid Meningkatkan sekresi BB naik 0,5-1,5%
insulin Hipoglikemia
Metformin Menekan produksi Dispepsia, diare, asidosis 1,0-2,0%
glukosa hati & laktat
menambah sensitifitas
terhadap insulin
Penghambat Menghambat absorpsi Flatulen, tinja lembek 0,5-0,8%
Alfa- glukosa
Glukosidase
Tiazolidindion Menambah sensitifitas Edema 0,5-1,4%
terhadap insulin
Penghambat Meningkatkan sekresi Sebah, muntah 0,5-0,8%
DPP-IV insulin, menghambat
sekresi glukagon
Penghambat Menghambat reabsorpsi ISK 0,5-0,9%
SGLT-2 glukosa di tubuli distal
ginjal

b. Obat Antihiperglikemia Suntik


1) Insulin
Insulin merupakan salah satu obat antihiperglikemia suntik dan digunakan jika pasien
pada kondisi berikut :-
HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Krisis Hiperglikemia
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi.5

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 26


Terdapat berbagai preparat insulin yang dapat digunakan dalam pengobatan diabetes
mellitus dan ianya dibagi berdasarkan lama kerja. Insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat dengan
menengah (Premixed insulin).5

Tabel 4. Sediaan insulin dan farmakokinetik insulin eksogen berdasarkan waktu kerja.5

Jenis Insulin Awitan (onset) Puncak Efek Lama Kerja Kemasan


Insulin analog Kerja Cepat (Rapid-Acting)
Insulin Lispro
(Humalog)
Insulin Aspart 5-15 1-2 jam 4-6 jam Pen/cartridge
(Novorapid) menit Pen, vial
Insulin Glulisin Pen
(Apidra)
Insulin manusia kerja pendek = Insulin Reguler (Short-Acting)
Humulin R 30-60 2-4 jam 6-8 jam Vial, pen /
Actrapid menit cartridge
Insulin manusia kerja menengah = Neutral Protamine Hagedorn (Intermediate-Acting)
Humulin N
Insulatard 1,5-4 jam 4-10 jam 8-12 jam Vial, pen /
Insuman Basal cartridge
Insulin analog kerja panjang (Long-Acting)
Insulin Glargine
(Lantus)
Insulin Detemir 1-3 jam Hampir tanpa 12-24 jam Pen

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 27


(Levemir) puncak
Lantus 300
Insulin analog kerja ultra panjang (Ultra Long-Acting)
Degludec 30-60 Hampir tanpa Sampai
(Tresiba)* menit puncak 48 jam
Insulin manusia campuran (Human premixed)
70/30 Humulin
(70% NPH, 30%
reguler) 30-60 3-12 jam
70/30 Mixtard menit
(70% NPH, 30%
reguler)
Insulin analog campuran (Human premixed)
74/25
Humalogmix
(75% protamin
lispro, 25%
lispro)
70/30 Novomix 12-30 menit 1-4 jam
(70% protamin
aspart, 30%
aspart)
50/50 Premix

2) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic


Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang pengelepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada
pengobatan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat
badan. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan
muntah.5

c. Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara terpisah ataupun
fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal, harus menggunakan dua macam obat
dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 28


glukosa darah yang belum tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral dari kelompok yang berbeda atau kombinasi obat antihiperglikemia
oral dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral dapat
menjadi pilihan.5
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin
kerja panjang), yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Pendekatan terapi tersebut
pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang
cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam
22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi
insulin basal dan prandial, serta pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan.5

Gambar. Algoritme pengelolaan DM tipe 2 menurut PERKENI 2015.5

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 29


Kesimpulan
Diabetes mellitus telah diketahui dapat menyebabkan pelbagai komplikasi termasuk
pada tulang dan sendi. Skrining awal haruslah dilakukan pada pasien diabetes mellitus bagi
mencegah komplikasi yang terjadi daripada terus berlanjut yang kahirnya dapat menimbulkan
keadaan yang lebih parah. Selain dari memberi pengobatan terhadap penurunan kadar gula
darah, pemberian obat-obat lain dalam mengatasi gejala yang ditimbulkan oleh berbagai
komplikasi haruslah dipertimbangkan dengan baik.
Daftar Pustaka
1. Wild, S. H. et al. "Global Prevalence Of Diabetes: Estimates For The Year 2000 And
Projections For 2030: Response To Rathman And Giani". Diabetes Care 27.10
(2004): 2569-2570. Web. 23 Apr. 2017.
2. Fauci, Anthony S. Braunwald, Eugene. Kasper, Dennis L. Hauser, Stephen L.
Harrisons Principle of Internal Medicine. 17th Edition. The McGraw-
HillCompanies. 2008.

3. Sudoyo AW. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III. Edisi VI. Jakrta: IPD FKUI. 2014.

4. Fauci, Anthony S. Braunwald, Eugene. Kasper, Dennis L. Hauser, Stephen L.


Harrisons Endocrinology. 2nd Edition. The McGraw-HillCompanies. 2010.
5. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. 2015. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta.
2015.
6. King K, Rosenthal A. The adverse effects of diabetes on osteoarthritis: update on
clinical evidence and molecular mechanisms. Osteoarthritis and Cartilage [Internet].
2015 [cited 22 April 2017];23(6):841-850. Available from:
http://www.oarsijournal.com/article/S1063-4584(15)00880-8/fulltext
7. Louati K, Berenbaum F, Sellam J. SAT0421Association between Diabetes Mellitus
and Osteoarthritis: A Systematic Literature Review and Meta-Analysis. Annals of the
Rheumatic Diseases [Internet]. 2014 [cited 22 April 2017];73(Suppl 2):747.1-747.
Available from: http://rmdopen.bmj.com/content/rmdopen/1/1/e000077.full.pdf
8. Sibarani MHR. Gangguan muskuloskeletal pada diabetes mellitus. Cermin Dunia
Kedokteran. Vol 42. No 8. 2015. Hal 591-5
9. Shah M. Charcot Arthropathy: Background, Anatomy, Pathophysiology [Internet].
Emedicine.medscape.com. 2017 [cited 22 April 2017]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1234293-overview

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 30


10. Pearsall A. Adhesive Capsulitis (Frozen Shoulder): Practice Essentials, Problem,
Epidemiology [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2017 [cited 22 April 2017].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1261598-overview
11. Bethel M. Osteoporosis: Practice Essentials, Background, Pathophysiology [Internet].
Emedicine.medscape.com. 2017 [cited 22 April 2017]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/330598-overview
12. Rothschild B. Diffuse Idiopathic Skeletal Hyperostosis (DISH): Background,
Pathophysiology, Epidemiology [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2017 [cited 22
April 2017]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1258514-
overview

Muhammad Aiman Afiq Bin Che Rani 112015444 Page 31

Anda mungkin juga menyukai