Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak
dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau dapat juga disebabkan oleh
berkurangnya kemampuan tubuh untuk merespon kerja insulin secara efektif. Insulin adalah
hormon yang berfungsi untuk meregulasi kadar gula darah. Peningkatan kadar gula dalam
darah atau hiperglikemia merupakan gejala umum yang terjadi pada diabetes dan seringkali
mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang cukup serius pada tubuh, terutama pada sel saraf
dan pembuluh darah.
Diabetes adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan penyakit kronik
yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus Diabetes Mellitus (DM) tidak
terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak disertai gejala sampai terjadinya
komplikasi. Prevalensi penyakit diabetes meningkat karena terjadi perubahan gaya hidup,
kenaikan jumlah kalori yang dimakan, kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya jumlah
populasi manusia usia lanjut.
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan
terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan
demikian dapat di mengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2
dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat drastis. Ini sesuai
dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO seperti tampak pada tabel 1, Indonesia akan
menempati peringkat nomor 4 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 8.4 juta
orang pada tahun 2000 dan dijangkakan akan terus meningkat mencapai 21.3 juta orang pada
tahun 2030.
Dari angka-angka diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam jangka waktu 30
tahun penduduk Indonesia yang menderita diabete mellitus akan terus meningkat yang
disebabkan oleh karena:
Faktor demografi
Gaya hidup yang kurang sehat
Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
2. Pembahasan
Definisi
Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran sejumlah cairan dan elektrolit (diuresis osmotik). Sebagai akibat dari kehilangan
cairan yang berlebihan, pasien DM tipe I akan mengalami peningkatan frekuensi berkemih
(poliuria) dan timbul rasa haus yang cukup sering (polidipsia). Defisiensi insulin juga akan
mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan.
DM tipe II dapat terjadi karena ketidakmampuan tubuh dalam merespon kerja insulin
secara efektif. Dua masalah utama yang terkait dengan hal ini yaitu, resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Untuk mengatasi resistensi dan mencegah terbentuknya glukosa
dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada pasien DM,
keadaan ini terjadi karena sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa dalam darah
akan dipertahankan pada tingkat normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel
beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa
akan meningkat.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin, yang merupakan ciri khas DM tipe II,
namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan
lemak dan badan keton. Karena itu, ketoasidosis metabolik tidak terjadi pada DM tipe II.2,3
c) Diabetes Gestasional
DM tipe ini terjadi ketika ibu hamil gagal mempertahankan euglikemia. Faktor resiko
DM gestasional adalah riwayat keluarga, obesitas dan glikosuria. DM tipe ini dijumpai pada 2
5 % populasi ibu hamil. Biasanya gula darah akan kembali normal setelah melahirkan,
namun resiko ibu untuk mendapatkan DM tipe II di kemudian hari cukup besar.
DM tipe ini sering juga disebut dengan istilah diabetes sekunder, di mana keadaan ini
timbul sebagai akibat adanya penyakit lain yang mengganggu produksi insulin dan
mempengaruhi kerja insulin. Penyebab diabetes semacam ini antara lain : radang pada
pankreas, gangguan kelenjar adrenal atau hipofisis, penggunaan hormon kortikosteroid,
pemakaian beberapa obat antihipertensi atau antikolesterol, malnutrisi, dan infeksi.2,3
Gejala Klinis
Gejala penyakit DM pada setiap pasien tidak selalu sama. Gejala-gejala di bawah ini
adalah gejala yang timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala lain,
antara lain :
- Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan yaitu polifagia, polidipsia, poliuria dan
peningkatan berat badan.
- Bila keadaan tersebut tidak segera ditangani, akan timbul gejala yang disebabkan oleh
kurangnya jumlah insulin yaitu polidipsia dan poliuria dengan beberapa keluhan lainnya
seperti nafsu makan berkurang, banyak minum, banyak berkemih, penurunan berat badan
yang signifikan, mudah lelah, timbul rasa mual dan jika tidak segera diatasi akan
mengakibatkan koma yang disebut dengan istilah koma diabetes.2-4
b. Gejala Kronik DM
Patogenesis
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa
kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis),
gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan
dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ
penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena dasar
patofisiologi ini memberikan konsep tentang:5
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious
octet) berikut :
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang.
Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-
1 agonis dan DPP-4 inhibitor.5
2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu
gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver
(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini
adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.5
3. Otot:
4. Sel lemak:
5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan
oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent
insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP.
Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4,
sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-
glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian
diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.5
Sel- pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah
diketahui sejak 1970. Sel- berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan
puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal.
Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon
meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.5
8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik
yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme
kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang
bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.5
Diagnosis
Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa
antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;
Osteoarthritis
Osteoarthritis (OA) juga dikenal sebagai artritis degeneratif atau penyakit sendi
degeneratif, adalah sekelompok kelainan mekanik degradasi yang melibatkan sendi, termasuk
tulang rawan artikular dan tulang subchondral. OA merupakan bentuk yang paling umum dari
artritis. Penyakit ini memiliki prevalensi yang cukup tinggi, terutama pada orang tua.
Selain itu, osteoarthritis ini juga merupakan penyebab kecacatan paling banyak pada
orang tua. Faktor resiko utama penyakit ini adalah obesitas. Oleh sebab itu, semakin
tinggi prevalensi obesitas pada suatu populasi akan meningkatkan angka kejadian
penyakit osteoarthritis.6,7
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif dengan etiologi dan patogenesis
yang belum jelas serta mengenai populasi luas. Pada umumnya penderita OA berusia di atas
40 tahun dan populasi bertambah berdasarkan peningkatan usia. Osteoartritis merupakan
gangguan yang disebabkan oleh multifaktorial antara lain usia, mekanik, genetik, humoral
dan faktor gaya hidup. Osteoartritis merupakan suatu penyakit dengan perkembangan slow
progressive, ditandai adanya perubahan metabolik, biokimia, struktur rawan sendi serta
jaringan sekitarnya, sehingga menyebabkan gangguan fungsi sendi. Kelainan utama pada OA
adalah kerusakan rawan sendi yang dapat diikuti dengan penebalan tulang subkondral,
pertumbuhan osteofit, kerusakan ligamen dan peradangan ringan pada sinovium, sehingga
sendi yang bersangkutan membentuk efusi. Osteoarthritis dapat terjadi di vertebra, articulatio
genu, articulation coxae, dan sebagian kecil di interphalang.6,7
Terjadinya OA tidak lepas dari banyak persendian yang ada di dalam tubuh manusia.
Sebanyak 230 sendi menghubungkan 206 tulang yang memungkinkan terjadinya gesekan.
Untuk melindungi tulang dari gesekan, di dalam tubuh ada tulang rawan. Namun karena
berbagai faktor risiko yang ada, maka terjadi erosi pada tulang rawan dan berkurangnya
cairan pada sendi. Tulang rawan sendiri berfungsi untuk meredam getar antar tulang. Tulang
rawan terdiri atas jaringan lunak kolagen yang berfungsi untuk menguatkan sendi,
proteoglikan yang membuat jaringan tersebut elastis dan air (70% bagian) yang menjadi
bantalan, pelumas dan pemberi nutrisi. Kondrosit adalah sel yang tugasnya membentuk
proteoglikan dan kolagen pada rawan sendi. Osteoartritis terjadi akibat kondrosit gagal
mensintesis matriks yang berkualitas dan memelihara keseimbangan antara degradasi dan
sintesis matriks ekstraseluler, termasuk produksi kolagen tipe I, III, VI dan X yang berlebihan
dan sintesis proteoglikan yang pendek. Hal tersebut menyebabkan terjadi perubahan pada
diameter dan orientasi dari serat kolagen yang mengubah biomekanik dari tulang rawan,
sehingga tulang rawan sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya yang unik.6,7
Dalam waktu yang sama, akan terjadi keadaan sinovitis di mana sinovitis adalah
inflamasi dari sinovium dan terjadi akibat proses sekunder degenerasi dan fragmentasi.
Pada umumnya, gambaran klinis osteoartritis berupa nyeri sendi, terutama bila sendi
bergerak atau menanggung beban, yang akan berkurang bila penderita beristirahat. Nyeri
dapat timbul akibat beberapa hal, termasuk dari periostenum yang tidak terlindungi
lagi,mikrofaktur subkondral, iritasi ujung-ujung saraf di dalam sinovium oleh osteofit,
spasme otot periartikular, penurunan aliran darah di dalam tulang dan peningkatan tekanan
intraoseus dan sinovitis yang diikuti pelepasan prostaglandin, leukotrien dan berbagai
sitokin.6,7
Selain nyeri, dapat pula terjadi kekakuan sendi setelah sendi tidak digerakkan
beberapa lama (gel phenomenon), tetapi kekakuan ini akan hilang setelah sendi digerakkan.
Jika terjadi kekakuan pada pagi hari, biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit
(tidak lebih dari 30 menit). Gambaran lainnya adalah keterbatasan dalam bergerak, nyeri
tekan lokal, pembesaran tulang di sekitar sendi, efusi sendi dan krepitasi. Keterbatasan gerak
biasanya berhubungan dengan pembentukan osteofit, permukaan sendi yang tidak rata akibat
kehilangan rawan sendi yang berat atau spasme dan kontraktur otot periartikular. Nyeri pada
pergerakan dapat timbul akibat iritasi kapsul sendi, periostitis dan spasme otot periartikular.6,7
Menurut kriteria Kellgren and Lawrence perubahan radiologis pada OA terjadi dalam
5 stadium/derajat:
Derajat 0 : Normal
Derajat 1 : Osteoarthritis meragukan, dengan gambaran sendi normal, tetapi terdapat
osteofit minimal
Derajat 2 : osteoartritis minimal dengan osteofit pada 2 tempat, tidak terdapat
sklerosis dan kista subkondral, serta celah sendi baik
Derajat 3 : osteoartritis moderat dengan osteofit moderat, deformitas ujung tulang,
dancelah sendi sempit
Derajat 4 : osteoarthritis berat dengan osteofit besar, deformitas tulang, celah sendi
hilang serta adanya sclerosis dan kista subkondral.6,7
Charcot joint ataupun turut dikenali sebagai Charcot arthropathy, adalah suatu proses
degeneratif yang terjadi pada sendi penyangga berat badan yang dikarakteristikkan dengan
dislokasi sendi, fraktur patologis dan deformitas pada sendi. Charcot joint dapat terkena pada
semua sendi namun lebih sering terjadi pada sendi di tungkai bawah, kaki dan pergelangan
kaki. Charcot joit terjadi akibat komplikasi dari beberapa keadaan lain seperti diabetes, sifilis,
alkoholisma kronik, penyakit lepra, meningomyelocele, cedera medulla spinalis (spinal cord
injury), syringomyelia, dialisis ginjal dan penyakit insensitivitas terhadap nyeri secara
kongenital. Namun begitu, diabetes merupakan penyebab paling banyak ditemukan yang
menimbulkan terjadinya Charcot joint.8,9
Mekanisme yang jelas terjadinya Charcot joint masih belum diketahui, namun
terdapat dua teori utama berkaitan patofisiologi Charcot joint yaitu teori neurotraumatik dan
teori neurovaskular. Teori neurotraumatik menyatakan bahwa Charcot joint terjadi
disebabkan oleh terjadinya trauma atau cedera pada kaki yang tidak sensitif (tidak sensitif
pada rangsangan nyeri). Hal ini sering terjadi pasien diabetes mellitus yang sudah mengalami
komplikasi neuropati di mana pasien mengalami penurunan sensitivitas pada rangsangan
nyeri. Hal ini akan menyebabkan pasien tidak sadar dan tidak merasa sakit walaupun terjadi
destruksi tulang. Akibat dari ini, mikrotrauma yang terjadi akan menjadi lebih progresif
sehingga akan menyebabkan destruksi dan kerusakan pada tulang dan sendi.9
Gejala klinis Charcot joint sangat bervariasi tergantung derjata penyakit. Gejala dapat
berkisar dari pembengkakan sendi tanpa deformitas sehinggalah pembengkakan yang disertai
deformitas yang signifikan. Selalunya gejala dimulai pada satu sendi yang kemudian
Pasien turut mengalami instabilitas sendi, subluksasi dan krepitasi seiring dengan
perjalanan penyakit. Charcot joint dapat berkembang dengan cepat dan disorganisasi sendi
dengan fragmen tulang dapat dirasakan pada pasien dala jangka waktu minggu sehingga
bulan. Sendi yang paling sering terkena Charcot joint adalah sendi tarsal dan sendi
tarsometatarsal yang diikuti oleh sendi sendi metatarsofalangeal dan sendi talotibial. Sendi
lutut dan tulang punggung jarang terlibat. Selalunya dapat ditemukan pembengkakan kaki
dan pergelangan kaki serta ditemukan tulang tarsal yang kolaps kearah bawah yang
menbentuk telapak kaki berbentuk convex, yang dikenali sebagai rocker foot. Osteofit yang
besar dapat kelihatan menonjol pada bagian atas kaki. Kalus juga dapat ditemukan yang dapat
menyebabkan terjadinya ulkus dan osteomyelitis.9
Diagnosis Charcot joint dapat dilakukan berdasarkan gejala klinis dan gambaran
radiologis pada pasien dengan sensory neuropathy. Gambaran radiologis pada Charcot joint
Fokus primer dalam mengobati Charcot joint adalah untuk memberi satabilitas kepada
sendi. Penggunaan braces dan splint sangat berguna namun memerlukan suveilans yang ketat
karena penderita selalunya mengalami kesukaran jika braces atau splint dipasang secara
salah.9
Frozen Shoulder
Frozen shoulder atau disebut juga adhesive capsulitis atau shoulder periarthritis
merupakan manifestasi muskuloskeletal yang mengacu pada kekakuan sendi glenohumeral
akibat penebalan dan kontraksi kapsul sendi menyebabkan penurunan cukup besar kapasitas
volume kapsul. Frozen shoulder dapat terjadi akibat suatu proses idiopatic atau akibat kondisi
mendara yang menyebabkan sendi tidak digunakan. Idiopatic frozen shoulder sering terjadi
pada dekade ke empat atau ke enam. Rotator cuff tendinopati, bursitis subacromial akut,
patah tulang sekitar collum dan caput humeri, stroke paralitic adalah factor predisposisi yang
sering menyebabkan terjadinya frozen shoulder. Penyebab tersering adalah rotator cuff
tendinopati dengan sekitan 10% dari pasien degan kelainan ini akan mengalamai frozen
shoulder.2,10
Pasien dengan diabetes mellitus dan pasien yang tidak menjadalani fisioterapi juga
memiliki resiko tinggi. Penggunaan sling terlalu lama juga dapat menyebabkan frozen
shoulder. Frozen shoulder dapat terjadi setelah imobilisasi yang lama akibat trauma atau
operasi pada sendi tersebut. Biasanya hanya satu bahu yang terkena, akan tetapi pada
sepertiga kasus pergerkana yang terbatas dapat terjadi pada kedua lengan.2,10
Patofisiologi frozen shoulder masih belum jelas, tetapi beberapa penulis menyatakan
bahwa dasar terjadinya kelainan adalah imobilisasi yang lama. Setiap nyeri yang timbul pada
Penyebab frozen shoulder mungkin melibatkan proses inflamasi. Kapsul yang berada
di sekitar sendi bahu menebal dan berkontraksi. Hal ini membuat ruangan untuk tulang
humerus bergerak lebih kecil, sehingga saat bergerak terjadi nyeri. Penemuan makroskopik
dari patofisiologi dari frozen shoulder adalah fibrosis yang padat dari ligament dan kapsul
glenohumeral. Secara histologik ditemukan prolifrasi aktif fibroblast dan fibroblas tersebut
berubah menjadi miofibroblas sehingga menyebabkan matriks yang padat dari kolagen yang
berantakan yang menyebabkan kontraktur kapsular. Berkurangnya cairan synovial pada sendi
bahu juga berkontribusi terhadap terjadinya frozen shoulder.10
Manifestasi klinis dari frozen shoulder memiliki ciri khas yaitu terbagi dalam tiga
fase, nyeri, kaku, dan perbaikan. Proses alamiah dari fase-fase ini biasanya berjalan selama 1
hingga 3 tahun. Fase pertama sering disebut juga sebagai painful atau freezing stage, fase ini
diawalin dengan rasa nyeri pada bahu. Pasien akan mengeluhkan nyeri saat tidur dengan
posisi miring dan akan membatasi gerak untuk menghindari nyeri. Pasien akan sering
mengeluhkan nyeri pada daerah deltoid. Sering kali pasien tidak akan meminta bantuan
medis pada fase ini, karena dianggap nyeri akan hilang dengan sendirinya. Mereka dapat
mencoba mengurangi nyeri dewngan analgesic. Tidak ada trauma sebelumnya, akan tetapi
pasien akan ingat pertama kali dia tidak bisa melakukan kegiatan tertentu akibat nyeri yang
membatasi pergerakan. Fase ini dapat berlangsung selama 2 sampai 9 bulan.2,10
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hilangnya gerak pada segala arah baik secara
gerak aktif maupun pasif. Pada pemeriksaan fisik, fleksi atau elevasi mungkin kurang dari 90
derajat, abduksi kurang dari 45 derajat, dan rotasi internal dan eksternal dapat berkurang
sampai 20 derajat atau kurang. Terdapat pula restriksi pada rotasi eksternal. Tes Appley
scratch merupakan tes tercepat untuk mengeveluasi lingkup gerak sendi aktif. Pasien diminta
menggaruk daerah angulus medialis skapula dengan tangan sisi kontra lateral melewati
belakang kepala. Pada frozen shoulder pasien tidak dapat melakukan gerakan ini. Nyeri akan
bertambah pada penekanan dari tendon yang membentuk muskulotendineus rotator cuff. Bila
gangguan berkelanjutan akan terlihat bahu yang terkena reliefnya mendatar, bahkan kempis,
karena atrofi otot deltoid, supraspinatus dan otot rotator cuff lainnya.10
Kortison diinjeksikan pada sendi untuk menekan inflamasi yang terjadi pada kondisi
ini. Kapsul bahu juga dapat diregangkan dengan salin normal, kadang hingga terjadi rupture
pada kapsul untuk mengurangi nyeri dan hilangnya gerak karena kontraksi. Tindakan ini
disebut hidrodilatasi, akan tetapi terdapat beberapa penelitian yang meragukan kegunaan
terapi tersebut. Apabila terapi-terapi ini tidak berhasil seorang dokter dapat
Menurut definisi WHO osteopenia adalah penurunan massa tulang antara 1 - 2,5
standar deviasi dari rata-rata usia muda. Sedangkan penurunan massa tulang > 2,5 kali
standar deviasi massa tulang rata-rata dari populasi usia muda disebut osteoporosis. Massa
tulang ini turun sebagai akibat dari berkurangnya pembentukan, meningkatnya perusakan
(destruksi) atau kombinasi dari keduanya. Berkurangnya masa tulang pada diabetes telah
dikemukakan oleh banyak peneliti dengan berbagai teknik tertentu. Tulang-tulang dari kaki
diabetik sering kali tampak osteopenik dengan beberapa fraktur pada metatarsal sampai sendi
pergelangan kaki.8,11
Patogenesis timbulnya osteopenia pada diabetes masih belum jelas. Beberapa teori
dikemukakan mengenai sebab-sebab penurunan massa tulang pada diabetes, seperti
pembentukan tulang yang berkurang sejak awal, gangguan sintesa kolagen, peningkatan
ekskresi kalsium dan magnesium melalui urin, perubahan vaskuler dan gangguan
metabolisme kalsium dan vitamin D. Penurunan massa tulang pada diabetes dilaporkan
timbul sebanding dengan kadar hiperglikemia, C-peptida dan jumlah kebuuhan insulin. Colan
melaporkan bahwa derajat osteopenia tidak berkaitan dengan lama diabetes, adanya
komplikasi angiopati, atau kadar HbA1C.11
Penderita osteopenia tidak memberikan gejala dan tanda yang khas. Gejala dan tanda
yang terjadi biasanya apabila keadaan sudah lanjut (osteoporosis), sudah terjadi fraktur baik
di vertebra, radius atau leher femoris atau bila terjadi kompresi saraf yang mengakibatkan
rasa nyeri. Osteopenia pada suatu saat akan memburuk menjadi osteoporosis di mana
osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah,
disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada
akhirnya menimbulkan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dengan resiko terjadinya patah
tulang. Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik dan fraktur osteoporosis dapat terjadi
pada tiap tempat.11
Osteopati diabetik
Osteopati diabetika merupakan bentuk kelainan yang pada umumnya mengenai kaki
bagian distal yaitu metatarsal distal dan phalang proksimal dan kelainan ini diketahui
berhubungan dengan diabetes melitus. Dari metafisis ditandai dengan hilangnya korteks
tulang yang menyebar ke tulang subartikuler dan akhirnya merusak bagian tulang tetapi
masih menyisakan pusat diafisis. Permuaan artikuler tetap utuh meskipun tulang metatarsal
dan jari-jari hancur. Osteolisis ini bisa dideteksi melalui pemeriksaan radiologik, terjadinya
dapat tanpa gejala dan tanpa didahului adanya infeksi, penyakit ini berhubungan secara pasti
dengan diabetes mellitus.8
Hiperostosis Ankilosis
Panatalaksanaan
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari seminggu selama
sekitar 30-45 menit , dengan total 150 menit perminggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih
dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan
cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.5
4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya
hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.5
Tabel 4. Sediaan insulin dan farmakokinetik insulin eksogen berdasarkan waktu kerja.5
c. Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara terpisah ataupun
fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal, harus menggunakan dua macam obat
dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar
3. Sudoyo AW. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III. Edisi VI. Jakrta: IPD FKUI. 2014.