Anda di halaman 1dari 16

Laporan Kasus

Polymorphic Light Eruption

Disusun oleh:

Octaviani Sanjaya Jamin

11.2015.238

Pembimbing:

Dr. Nirmawati, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK II SARTIKA ASIH
BANDUNG
2017

1
PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK STASE KULIT DAN KELAMIN
4 DESEMBER 2017 – 5 JANUARI 2018
RS BHAYANGKARA TK II SARTIKA ASIH

Judul : Polymorphic Light Eruption


Penyusun : Octaviani Sanjaya Jamin

Bandung, Desember 2017


Menyetujui,

dr. Nirmawati, Sp.KK

2
I. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara tropis dengan matahari bersinar cerah sepanjang hari
(sekitar 2000-2500 jam/tahun). Sinar matahari merupakan salah satu unsur yang penting bagi
kehidupan manusia. Hampir semua makhluk hidup membutuhkan sinar matahari. Matahari
adalah sumber energi elektromagnetik yang terutama terdiri atas radiasi solar ultra violet, sinar
tampak, dan spektrum infra merah. Ditinjau dari sudut komponen, sinar matahari terdiri dari
sinar ultraviolet (panjang gelombang antara 100 nm – 400nm), sinar inframerah (panjang
gelombang antara 770 nm – 10.000 nm), dan sinar tampak (panjang gelombang antara 400 nm
– 700nm).
Pada manusia, organ yang mengalami pengaruh sinar matahari terbesar adalah kulit yang
sekaligus beperan sebagai pelindung tubuh terhadap pengaruh buruk pajanan sinar matahari.
Sinar matahari dapat memberikan efek yang menguntungkan dan merugikan bagi manusia.
Manfaat sinar matahari bagi kesehatan manusia antara lain membantu proses pembentukan
vitamin D, membantu proses pembentukan dan perbaikan tulang, serta dapat membunuh bakteri,
virus, dan jamur.
Disamping berguna bagi kesehatan manusia, paparan sinar matahari dalam
intensitas tinggi dapat membahayakan kesehatan. Radiasi ultraviolet dari sinar matahari dapat
mengakibatkan perubahan struktur dan komposisi kulit, hilangnya kelenturan kulit, penebalan
kulit, kulit kemerahan, dan mempercepat proses penuaan kulit. Radiasi ultraviolet juga diduga
sebagai penyebab keganasan pada kulit.
Radiasi sinar UV dibagi menjadi tiga kategori, yaitu radiasi UV-A (320-400 nm), radiasi
UV-B (290-320 nm), dan radiasi UV-C (100-280 nm). Radiasi sinar UV memiliki efek yang
menguntungkan bagi kesehatan manusia, khususnya pada kulit yaitu pembetukan vitamin D3
atau aplikasi dalam kombinasi dengan obat dalam terapi penyakit kulit seperti psoriasis dan
vitiligo, serta memiliki kapasitas untuk menghasilkan spesies kimia reaktif, seperti radikal bebas
yang dapat menyebabkan terjadinya efek akut dan efek kronis yang merugikan bagi kulit.
Radiasi sinar UV yang paling banyak berpengaruh terhadap kesehatan kulit adalah radiasi sinar
UV-B, dimana radiasi sinar UV-B memiliki efek yang paling kuat dalam menyebabkan
terjadinya photodamage pada kulit salah satunya eritema.

3
II. Laporan Kasus

Identitas Pasien

 Nama : Ny. ES
 No. RM : SA 162470
 Tanggal lahir : 01 Juli 1955
 Alamat : Gg. Pelindung Hewan III/ 5A RT/ RW 03/09, Astana Anyar,
Bandung
 Pekerjaan : Ibu rumah tangga
 Status : BPJS
 Tanggal masuk : 04 Desember 2017

Anamnesis

( Autoanamnesis tanggal 4 Desember 2017 )

 Keluhan utama : Bercak kemerahan daerah wajah dan tangan


 Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin dengan keluhan terdapat bercak
kemerahan di daerah wajah dan kedua lengannya sejak 4 bulan yang lalu. Pasien
mengatakan awalnya hanya terdapat bintik kemerahan yang terdapat di daerah wajah dan
lengannya, namun lama-kelamaan bintik tersebut meluas menjadi sebuah bercak
kemerahan di daerah pipi dan lengan bagian bawah. Keluhan gatal hanya muncul jika
pasien terpapar dengan sinar matahari. Pasien menyangkal rasa nyeri maupun panas di
daerah bercak.
Pasien memiliki riwayat prolaps uteri sejak 1 tahun yang lalu. Dokter kandungan
menyarankan pasien untuk memasang ring atau cincin di daerah rahim. Karena
pemasangan cincin tersebut, pasien juga diberikan obat antibiotik untuk mencegah infeksi
yaitu obat Cefadroxil 500 mg yang harus diminum 2 kali per hari.
Pasien pernah berobat ke poliklinik kulit 2 bulan yang lalu dengan keluhan yang
sama, saat itu pasien disarankan untuk berhenti mengonsumsi obat Cefadroxil karena

4
dicurigai bercak kemerahan muncul karena reaksi alergi. Pasien sempat berhenti
mengonsumsi obat Cefadroxil selama seminggu dan keluhan bercak kemerahan mulai
berkurang serta tidak terasa gatal lagi. Setelah keluhan bercak merah mereda, dokter
kandungan pasien kembali menyarankannya mengonsumi obat Cefadroxil kembali dan
keluhan bercak timbul kembali serta semakin meluas dan gatal. Tidak ada keluhan
demam, sakit kepala, maupun malaise. Pasien juga memiliki riwayat kolestrol tinggi dan
rutin minum obat Simvastatin setiap harinya.

 Riwayat penyakit dahulu :


Prolaps uteri sejak 1 tahun yang lalu.
 Riwayat keluarga :
Riwayat asma pada ibu pasien.
 Riwayat penggunaan obat :
Cefadroxil dan Simvastatin

Pemeriksaan Fisik

 Status Generalis
o Keadaan umum : tampak sakit ringan
o Kesadaran : compos mentis
o Tanda vital : TD 130/ 80 mmHg, frekuensi nadi 86 kali / menit,
frekuensi nafas 18 kali/ menit, suhu 36,8oC
o Mata :
 Palpebra : oedem -/-
 Konjungtiva : anemis -/-
 Sklera : ikterik -/-
 Pupil : bulat, isokor, diameter 3 mm
 Refleks cahaya : +/+
o Telinga : dalam batas normal
o Hidung : dalam batas normal
o Mulut : dalam batas normal
o Leher : tidak teraba pembesaran KGB

5
o Thoraks :
 Pulmo : tidak dilakukan pemeriksaan
 Cor : tidak dilakukan pemeriksaan
o Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan
o Ekstremitas : hangat, CRT < 2 detik
o Muskuloskeletal : akral hangat
o Kekuatan otot tangan dan kaki : skor 5
 Status Dermatologis
o Distribusi : regional
o Lokasi : derah pipi sebelah kanan, dagu, hidung, kedua lengan
bagian bawah
o Permukaan : datar
o Ukuran : mulai dari 2 x 2 cm – 10 x 5 cm
o Bentuk : tidak teratur
o Batas : di daerah wajah tegas, daerah lengan bawah tidak tegas
o Efloresensi : Makula eritematosa, skuama halus, hiperpigmentasi
 Pemeriksaan Penunjang
-----
III. Resume

Anamnesis

Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin dengan keluhan muncul bercak kemerahan
sejak 4 bulan yang lalu, awalnya hanya berupa bintik kemerahan dan semakin meluas di daerah
wajah dan kedua lengan bagian bawah. Bercak terasa gatal jika terpapar sinar matahari. Pasien
memiliki riwayat prolaps uteri sejak 1 tahun yang lalu dan memasang ring di bagian rahimnya,
pasien harus mengonsumsi obat antibiotik dan diberikan Cefadroxil 500 mg. Sekitar 2 bulan
yang lalu pasien berobat untuk bercak kemerahannya dan disarankan menghentikan konsumsi
Cefadroxil, setelah itu bercak kemerahannya membaik dan tidak terasa gatal. Namun setelahnya
pasien mengonsumsi Cefadroxil kembali, bercak semakin meluas. Pasien memiliki riwayat
kolestrol tinggi dan konsumsi Simvastatin setiap harinya.

6
Status Dermatologis

 Distribusi : regional
 Lokasi : derah pipi sebelah kanan, dagu, hidung, kedua lengan bagian
bawah
 Permukaan : datar
 Ukuran : mulai dari 2 x 2 cm – 10 x 5 cm
 Bentuk : tidak teratur
 Batas : di daerah wajah tegas, daerah lengan bawah tidak tegas
 Efloresensi : Makula eritematosa, skuama halus, hiperpigmentasi

Pemeriksaan Penunjang

-----

Diagnosis kerja : Polymorphic Light Eruption

Penatalaksanaan

 Cetirizine tab 10 mg 2 x 1
 Metil prednisolone tab 4 mg 2 x 1
 Inerson oint 15 g 2 x 1

Prognosis

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad functional : ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

7
Dokumentasi Pasien

8
IV. Pembahasan

Definisi

Polymorphous light eruption adalah bentuk fotodermatosis yang paling sering terjadi,
karakteristiknya ditandai dengan berbagai gambaran lesi kulit dari papul berkuran kecil dan lesi
papulovesikular hingga papul besar yang menyatu membentuk plak.

Etiologi dan Patogenesis

Bentuk paling umum kejadian fotosensitivitas yang diinduksi oleh obat bermanifestasi
karena sengatan sinar matahari yang berlebihan atau mengonsumsi obat pencetus beberapa hari
sebelumnya. Reaksi dapat terjadi beberapa jam hingga beberapa hari setelah terpapar sinar
matahari dan berlangsung beberapa hari hingga minggu atau lebih, dipengaruhi faktor dosis, baik
dosis obat maupun paparan sinar matahari. Kerentanan juga dipengaruhi variasi individu dalam
penyerapan obat dan metabolisme, fototip kulit, dengan pasien kulit putih lebih rentan.
Mekanismenya melibatkan interaksi antara obat atau metabolit dengan radiasi UVA ke kulit.

Masalah utamanya adalah mengidentifikasi obat-obatan yang berisiko meningkatkan


kepekaan terhadap sinar matahari. Pengamatan dalam uji klinis dan laporan oleh dokter
mencurigai banyaknya daftar obat yang memicu fotosensitivitas, pada satu studi terdapat 200
daftar obat yang menyebabkan fotosensitivitas. Atas dasar data yang diteliti secara in vivo dan in
vitro jumlah obat yang ditetapkan sebagai fotosensitizing tampak hanya beberapa ( pada tabel 1 ).
Antibiotik Fluoroquinolon, NSAID, antidepresan trisiklik termasuk dalam kelompok, karena
kebanyakan obat dalam golongan tersebut dapat mempengaruhi frekuensi reaksi. Dari ketiga
kelompok ini, antibiotik Fluoroquinolon ditemukan sebagai fotosensitizer yang paling kuat.
Obat-obatan seperti Minosiklin, Tetrasiklin, Sulfonamid tidak dimasukan dalam kelompok,
namun sudah dipertimbangkan karena merupakan fotosensitizer yang paling lemah, mengingat
penggunannya yang luas namun hanya sedikit laporan kasus fotosensitivitas.

9
Tabel 1. Obat yang sering menyebabkan fotosensitivitas

Antibiotik Fluoroquinolon
Asam Nalidiksad
Doksisiklin
Demeklosiklin
NSAID
Antidepresan Trisiklik
Amiodaron
Diuretik Tiazid
Quinidin

Epidemiologi

Polymorphous light eruption biasanya dimulai pada tiga dekade pertama kehidupan dan
terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan pria.

Manifestasi Klinis

Ruam akan muncul dalam beberapa jam hingga satu hari atau lebih setelah mendapatkan
paparan sinar matahari dan berlangsung hingga beberapa hari sampai minggu. Ruam biasanya
terjadi di daerah leher, lengan, kaki atau keduanya. Radiasi sinar ultraviolet A ( UVA ) yang
paling sering menyebabkan reaksi. Di sebagian kecil kasus rekasi diinduksi sinar ultraviolet B (
UVB ) atau kombinasi keduanya.

Munculnya gejala erupsi kulit pada beberapa orang bervariasi dengan orang lainnya.
Papul eritematosa dengan atau tanpa vesikel adalah gejala yang paling sering terjadi. Lesi dengan
kulit yang normal biasanya memiliki batas yang tegas, namun pada kasus yang lebih berat lesi
bisa menyatu membentuk plak.

Beberapa gejala variasi seperti gambaran menyerupai gigitan serangga, bulla atau eksim
jarang terjadi. Gejala pruritus sering terjadi. Beberapa faktor pada kasus Polymorphous light
eruption umumnya konsisten pada beberapa pasien, seperti lamanya paparan terhadap sinar

10
matahari yang dapat menyebabkan ruam, interval antara eksposure dan onset ruam, distribusi dan
durasi ruam.

Gambar 1. Lesi Papulovesikular pada Polymorphous


Light Eruption

Gambar 1. Lesi Polymorphous Light Eruption yang


Menyatu Membentuk Plak

11
Diagnosis

Sebagian besar kasus Polymorphous light eruption dapat didiagnosis berdasarkan riwayat
keluhan yang dialami pasien, namun gambaran erupsi harus dievaluasi lebih lanjut. Jika
morfologi ruam bukan papul atau papulovesikel yang khas pada Polymorphous light eruption,
hasil biopsi kulit dapat membantu menegakan diagnosis. Pada pasien yang mengalami gejala
sistemik sugestif penyakit jaringan ikat, riwayat atipikal, atau ruam yang tidak khas perlu
diinvestigasi lebih lanjut untuk mengesampingkan diagnosis lupus eritematosa.

Diagnosis Banding

Perkembangan atau eksaserbasi ruam setelah terpapar sinar matahari biasanya terjadi
pada pasien yang mengalami lupus eritematosa sistemik. Biasanya terjadi ruam kronis dan sering
dikaitkan dengan dermatitis malar dan gejala sistemik seperti arthritis, sehingga lebih jarang
dikaitkan dengan kasus ruam akut seperti pada Polymorphous light eruption. Namun pada kasus
subakut lupus eritematosa kutaneus, varian lupus eritematosa dapat muncul dengan gejala
fotosensitivitas yang episodik dan sering rancu dengan Polymorphous light eruption. Kedua
kondisi tersebut lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria.

Beberapa gejala yang membedakan dengan kedua kondisi ini adalah pada kasus subakut
lupus eritematosa kutaneus terjadi lebih dari seminggu, lesi biasanya berbentuk anular, multiple
circles, lesi menyerupai psoriasis, gejala seperti atralgia dan arthritis sering terjadi. Dapat
dilakukan pemeriksaan biopsi specimen yang didapat dari punch dapat menjadi pemeriksaan
diagnostik. Selain itu, pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan antibodi
anti nuclear dan anti-Ro ( SS-A ). Tujuh puluh persen pasien lupus eritematosa kutaneus
memiliki antibody ini, sedangkan terdapat 10% populasi normal memiliki antibodi ini, namun
kurang dari 0,5% populasi normal memiliki tes positif untuk antibody anti-Ro ( SS-A ). Jenis
fotosensitifitas jenis ini dapat diatasi dengan pengobatan kortikosteroid dan agen antimalaria dan
dapat diberikan program untuk menghindari paparan sinar matahari seperti pada kasus
Polymorphous light eruption.

12
Tabel 2. Tipe dan Karakter dari Fotosensitivitas Akut

Tipe Prevalensi Epidemiologi Gambaran Lesi Penatalaksanaan


W:P Usia
Polymorphous Sangat sering 3:1 20-40 Erupsi papul/ papulo- Kortikosteroid oral/
light eruption terjadi tahun vesikel, onset beberapa topikal, tabir surya,
jam – hari, bertahan hindari matahari,
beberapa hari – minggu/ desensitisasi utk
lebih pencegahan
Subakut lupus Sering 2:1 20-40 Anular, polisiklik, Kortikosteroid oral/
eritematosa tahun psoriasisform, onset topikal, tabir surya,
kutaneus beberapa hari setelah hindari matahari,
pajanan, bertahan agen antimalaria utk
beberapa minggu pencegahan
Fototoksisitas Jarang 1:1 Sama Onset beberapa jam – Hindari konsumsi
diinduksi obat rata hari setelah pajanan obat pencetus,
matahari yang banyak, penggunaan
bertahan beberapa hari – moisturizer
minggu/ lebih
Urtikaria solar Jarang 1:1 20-40 Pruritus dan urtikari Antihistamin dan
tahun dalam beberapa menit desensitisasi sebagai
setelah pajanan matahari, fototerapi
bertahan beberapa jam
Fotoalergi ( Jarang 1:1 Sama Eksim pada area yang Hentikan penggunaan
sering karena rata terpapar agen topikal pencetus
tabir surya )

13
Penatalaksanaan

Pengelolaan Polymorphous light eruption lebih ditujukan pada usaha pencegahan. Dokter
harus mengedukasi pasien yang memiliki riwayat induksi ruam oleh pajanan sinar matahari
untuk menghindarinya dengan tiga cara yaitu menghindari pajanan, menggunakan pakaian
dengan bahan tenun dan topi untuk melindungi kulit, dan menggunakan tabir surya spektrum
luas untuk menghalangi radiasi UVA dan UVB dan memiliki sun-protection faktor 15 atau lebih
tinggi. Tabir surya yang paling efektif mengandung Avobenzone dan Titanium dioksida.

Pasien yang dipicu oleh paparan matahari yang singkat dapat disensitisasi dengan
berbagai fototerapi. Paparan yang tidak reaktif dapat dipertahankan dengan regimen mingguan
satu jam paparan sinar matahari yang tidak terlindungi. Pengobatan empat minggu dengan
Psoralen dan radiasi UVA atau jalur radiasi narrowband UVB sebanyak 3 kali seminggu dapat
memberikan perlindungan pada 90% pasien yang berada di Indonesia di beberapa studi
observasional. Di studi lain, fototerapi broad-band UVB diberikan regimen tiga kali eksposur
dalam waktu seminggu selama 5 minggu, dapat member perlindungan pada 80 % pasien. Cara
pengobatan ini dapat menimbulkan ruam atau eritema namun tidak memiliki efek samping yang
besar. Cara ini dianggap memang diindikasikan untuk kasus Polymorphous light eruption.
Klorokuin dan beta-karoten sering digunakan sebagai profilaksis namun dalam penelitian studi
control dianggap tidak efektif.

Episode akut Polymorphous light eruption yang dipicu paparan sinar matahari dan
fototerapi akan berespon baik pada pengobatan kortikosteroid. Pada kasus erupsi ringan dapat
diberikan kortikosteroid topikal seperti krim fluokinonida (0,05%) 2 kali sehari akan
menunjukan perbaikan dalam waktu 3-4 hari. Jika yang terjadi erupsi yang cukup berat makan
dapat diberikan prednisone dengan dosis 30 mg per hari selama 5 sampai 7 hari akan
memberikan hasil yang baik. Pada penelitian yang sederhana, secara random, dan dengan control
plasebo, pemberian prednisone dosis 30 mg sehari dapat membersihkan ruam dalam waktu 4,2
hari sedangkan kelompok yang diberikan placebo, ruam hilang dalam waktu 7,8 hari.

Pasien mengonsumsi obat yang cenderung menyebabkan fotosensitivitas harus


meminimalkan paparan terhadap sinar matahari, menggunakan tabir surya spektrum luas, dan
pakaian pelindung. Obat yang diminum sekali sehari harus dikonsumsi di malam hari seperti

14
obat Lomefloksasin Fluoroquinolon dosis 400 mg diminum di malam hari, dalam penelitian
setelah 16 jam tidak menyebabkan fotosensitivitas. Dosis malam tunggal adalah yang disarankan
untuk obat ini.

15
Daftar Pustaka

Djuanda, A editor. 2015.Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7th ed rev. Jakarta: FKUI.

Brown, R.G., Burns, T. 2010. Lecture Notes on Dermatologi Edisi Kedelapan. Penerbit
Erlangga: Jakarta.

Warmick L, Morison. 2004. Photosensitivity. The New England Journal of Medicine. 350: 1111-
7.

Ortiz, A.A,. Yan, B,. D’Orazio, J, A,. 2015. Ultraviolet Radiation, Aging and the Skin:
Prevention of Damage by Topical cAMP Manipulation. NIH Public Access. 19(5): 6202-6219.
Doi: 10.3390/molecules 19056202.

United States Environmental Protection Agency. 2012. The Burning Facts. EPA 430-F-06-013.

16

Anda mungkin juga menyukai