Anda di halaman 1dari 268

LAPORAN STUDI KASUS

PRAKTIK KERJA LAPANGAN (PKL)


BIDANG GIZI KLINIK (BGK) KASUS WAJIB
RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA

Disusun Oleh :
Linda Rahmaeka P17111171009
Naufalia Primandita A. P. P17111171016
Jonathan Sugiono P17111173030
Alfis Dyan Treesma P17111173033
Agnesia Bunga Nurhayati P17111173040
Lathifah Nur Oktaviani P17111173047

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN GIZI
2021
DM NEFROPATI STAGE 3 DENGAN COVID
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSPAL DR. RAMELAN SURABAY

LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN STUDI KASUS


ASUHAN GIZI PADA PENDERITA
DM NEFROPATI STAGE 3 DENGAN COVID
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA

Telah disetujui pada tanggal 6 April 2021


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

DM Nefropati adalah jenis penyakit diabetes millitus yang telah


mengalami komplikasi dengan ginjal. Hal ini dapat terjadi karena hipertrofi
pada ginjal akibat dari gejala-gejala yang ditimbulkan penyakit DM. DM
Nefropati banyak terjadi pada pasien yang telah mengalami DM pada
jangka lama (Probosari,2013) Ditambah lagi pada masa pandemi Covid
19, penderita DM Nefropati dengan Covid dapat terkena gejala yang lebih
serius dibandingkan dengan Covid 19 pada umunya.
Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan
pada DM. Sekitar 50% penderita gagal ginjal tahap akhir di Amerika
Serikat disebabkan DM Nefropati. Hampir 60% penderita hipertensi dan
diabetes di Asia menderita DM Nefropati (Harie.2018). Penyakit ini harus
ditangani dengan tepat karena jika tidak dapat berbahaya dan
mengancam jiwa. Hal ini juga harus dilakukan sehingga dapat
meminimalisir keparahan dan juga komplikasi pada organ atau fungsi
tubuh lainnya.
Menurut Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2010–2011,
penyakit diabetes mellitus (DM) menempati urutan ke-5 dari 10 besar
penyakit tidak menular penyebab rawat jalan di rumah sakit di Indonesia
dengan persentase sebesar 1.92% pada tahun 2009 dan sebesar 2,6%
pada tahun 2010 (Kemenkes RI, 2012).
Prevalensi DM menurut Laporan Nasional tahun 2007 di daerah
perkotaan didapatkan persentase sebesar 6,8% di Provinsi Jawa Timur.
Ditinjau dari segi pendidikan, prevalensi DM lebih tinggi pada kelompok
tidak sekolah dan tidak tamat SD. Menurut jenis pekerjaan, prevalensi DM
lebih tinggi pada kelompok ibu rumah tangga dan tidak bekerja, diikuti
pegawai dan wiraswasta. Berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga
per kapita, prevalensi DM meningkat sesuai dengan meningkatnya tingkat
pengeluaran (Kemenkes RI, 2008).
Sementara pasien DM Nefropati juga ada yang terserang Covid
19. Menurut Perkeni (2020) Di China, persentase tingkat kematian
diabetesi yang terdiagnosa COVID-19 adalah 7.3%(3) . Di Italia, kematian
pada pasien Covid-19 ternyata 36% berkaitan dengan diabetes(4) .
Laporan dari Philippine - Department of Health (DOH) menunjukkan
bahwa diabetes dan hipertensi merupakan komorbid terbanyak pada
kematian pasien COVID-19 di Filipina

B. Tujuan Umum
Memberikan asuhan gizi pada pasien DM Nefropati

C. Tujuan Khusus
1.Melakukan pengkajian gizi pada pasien DM Nefropati dengan Covid
2.Menetapkan diagnosis gizi pada pasien DM Nefropati dengan Covid
3.Merencanakan intervensi gizi untuk pasien DM Nefropati dengan Covid
4.Melakukan monitoring dan evaluasi pada pasien DM Nefropati dengan
Covid

D. Manfaat Studi Kasus


1.Menambah wawasan mengenai penyakit DM Nefropati dengan Covid
2.Mengasah kemampuan dalam melakukan asuhan gizi klinik
3.Mengasah kemampuan dalam membuat rencana intervensi serta
monitoring dan evaluasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Nefropati Dengan Covid 19

Nefropati Diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular Diabetes


Melitus tipe 1 maupun tipe 2. Komplikasi ini disebabkan oleh perubahan
fungsi ginjal dan diawali dengan keadaan hiperglikemi secara progresif
yang merangsang hipertrofi sel ginjal, sintesis matriks ekstraselular serta
perubahan permeabilitas kapiler pada ginjal (Probosari,2013).
Hiperglikemia juga dapat menyebabkan glikasi non enzimatik
asam amino dan protein sehingga terbentuk advanced glycation end
products (AGEs). Pembentukan AGEs menyebabkan penebalan
membran basalis glomerulus dan fibrosis tubulointerstisial sehingga
terjadi sklerosis ginjal. Proses tersebut menyebabkan filtrasi glomerulus
terganggu dan terjadi mikroalbuminuria yang berakhir sebagai Nefropati
Diabetik. (Fathoni,2018)
Diabetes Melitus adalah penyakit akibat resistensi insulin.
Diabetes Militus memiliki gejala klinis yang khas berupa poliuria dan
polidipsia. Kumpulan gejala pada Diabetes Melitus dapat terjadi karena
gangguan sekresi, gangguan kerja insulin atau keduanya Diabetes
Melitus tipe adalah suatu sindrom heterogen yang ditandai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat dan lemak (Probosari, 2013).
Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah
abnormal hanya satu kali sudah cukup untuk menegakkan diagnosis,
namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali
pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM dapat ditegakkan
melalui tiga kriteria yaitu jika keluhan klasik ditemukan maka pemeriksaan
glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM, jika keluhan klasik ditemukan, dilakukan pemeriksaan
glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL, bila ada keraguan perlu dilakukan tes
toleransi glukosa oral (TTGO) dengan mengukur kadar glukosa darah 2
jam setelah minum 75 g glukosa (Purnamasari, 2009).
Menurut Perkeni (2020) Diabetes Melitus (DM) merupakan salah
satu faktor risiko meningkatnya keparahan infeksi COVID-19. Diabetesi
yang berusia lebih tua (>60 tahun), kadar gula darah tidak terkontrol, dan
adanya komplikasi diabetes dikaitkan dengan prognosis COVID-19 yang
buruk. Gula darah yang tidak terkontrol merupakan predisposisi diabetisi
untuk menderita infeksi yang parah. Untuk menghindari hal tersebut,
kontrol glikemik yang ketat harus diterapkan setiap saat. Sangat
disarankan untuk memiliki alat pemeriksa glukosa darah mandiri sehingga
anda dapat melakukan pengecekan glukosa darah dirumah. Individu
dengan diabetes disarankan untuk mengonsumsi asupan diet yang tepat
dan latihan fisik di rumah. Hal ini dapat meningkatkan kontrol glikemik dan
mengurangi risiko infeksi.

B. Klasifikasi Diabetes Millitus

Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2015) adalah


sebagai berikut :
a. Diabetes melitus (DM) tipe 1
DM yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel beta di
pankreas. kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin
yang terjadi secara absolut. Penyebab dari kerusakan sel beta antara
lain autoimun dan idiopatik.
b. Diabetes melitus (DM) tipe 2
Penyebab DM tipe 2 seperti yang diketahui adalah resistensi insulin.
Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara
optimal sehingga menyebabkan kadar gula darah tinggi di dalam
tubuh. Defisiensi insulin juga dapat terjadi secara relatif pada
penderita DM tipe 2 dan sangat mungkin untuk menjadi defisiensi
insulin absolut.
c. Diabetes melitus (DM ) tipe lain
Penyebab DM tipe lain sangat bervariasi. DM tipe ini dapat
disebabkan oleh defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja
insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati pankreas, obat, zat
kimia, infeksi, kelainan imunologi dan sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan DM.
d. Diabetes melitus Gestasional
Diabetes tipe ini menyerang wanita hamil dan hanya berlangsung
pada waktu kehamilan. Sama seperti DM tipe 2, penyebab dari
Diabetes Millitus Gestasional karena resistensi insulin pada masa
kehamilan. Kondisi ini membutuhkan perhatian serius karena dapat
mengancam jiwa ibu dan anak.

.
C. Etiologi Diabetes Nefropati

Menurut Nasution (2013) DM Nefropati terjadi ketika penderita


diabetes mengalami suatu kerusakan dan terbentuk jaringan parut pada
nefron ginjal. Nefron adalah bagian ginjal yang berfungsi menyaring
limbah dari darah, dan membuang kelebihan cairan dari tubuh. Selain
menyebabkan fungsinya terganggu, kerusakan tersebut juga membuat
protein yang disebut albumin terbuang ke urine dan tidak diserap kembali.
Belum diketahui mengapa kondisi di atas terjadi pada penderita
diabetes, tetapi diduga terkait dengan tingginya kadar gula dan tekanan
darah, dua kondisi yang dapat mengganggu fungsi ginjal. Salah satu
faktor risiko terjadinya penyakit ini adalah kebiasaan
mengonsumsi makanan penyebab gagal ginjal, misalnya makanan yang
terlalu manis Selain faktor-faktor lain yang seperti riwayat penyakit
keluarga dan gaya hidup juga dapat mempengaruhi terjadinya kasus ini.
Secara ringkas, beberapa faktor etiologis timbulnya penyakit ini
adalah kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa > 140–
160 mg/dl); faktor genetis; kelainan hemodinamik (peningkatan aliran
darah ginjal dan LFG, peningkatan tekanan intraglomerulus); hipertensi
sistemik; sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik), keradangan,
perubahan permeabilitas pembuluh darah, asupan protein berlebih,
gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol, pembentukan
advanced glycation and products, peningkatan produksi sitokin);
pelepasan growth factors, kelainan metabolisme karbohidrat atau lemak
atau protein; kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi
mesangium, penebalan membrana basalis glomerulus), gangguan ion
pumps (peningkatan Na+ - H+ pump dan penurunan Ca2+ – ATPase
pump); dislipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseride-mia),
aktivasi protein kinase-C (Hendromartono, 2009).

D. Patofisiologi Diabetes Nefropati


Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan
pada metabolisme zat gizi karena insulin tidak dapat bekerja secara
optimal, jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya.
Gangguan tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu pertama karena
kerusakan pada sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti
zat kimia, virus dan bakteri. Penyebab yang kedua adalah penurunan
reseptor glukosa pada kelenjar pankreas dan yang ketiga karena
kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer (Fatimah, 2015).
Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas digunakan untuk
mengatur kadar glukosa darah dalam tubuh dan kadar glukosa darah
yang tinggi akan menstimulasi sel beta pankreas untuk mengsekresi
insulin (Hanum, 2013). Sel beta pankreas yang tidak berfungsi secara
optimal dapat berakibat pada kurangnya sekresi insulin sehingga kadar
glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta pankreas sangat
banyak seperti contoh penyakit autoimun dan idiopatik.Gangguan
respons metabolik terhadap kerja insulin disebut dengan resistensi
insulin. Keadaan ini dapat disebabkan oleh gangguan reseptor, pre
reseptor dan post reseptor sehingga dibutuhkan insulin yang lebih banyak
dari biasanya untuk mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap
normal.
Insulin digunakan untuk menurunkan glukosa darah dengan cara
menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan otot dan lemak serta
menekan produksi glukosa oleh hati menurun. Penurunan sensitivitas
insulin menyebabkan resistensi insulin sehingga kadar glukosa dalam
darah tinggi (Prabawati, 2012). Kadar glukosa darah yang tinggi
selanjutnya berakibat pada proses filtrasi yang melebihi transpor
maksimum. Keadaan ini mengakibatkan glukosa dalam darah masuk ke
dalam urin (glukosuria) sehingga terjadi diuresis osmotik yang ditandai
dengan pengeluaran urin yang berlebihan (poliuria). Banyaknya cairan
yang keluar menimbulkan sensasi rasa haus (polidipsia). Glukosa yang
hilang melalui urin dan resistensi insulin menyebabkan kurangnya
glukosa yang akan diubah menjadi energi sehingga menimbulkan rasa
lapar yang meningkat (polifagia) sebagai kompensasi terhadap kebutuhan
energi. Penderita akan merasa mudah lelah dan mengantuk jika tidak ada
kompensasi terhadap kebutuhan energi tersebut (Hanum, 2013). Dalam
jangka waktu lama hal ini akan mempengaruhi kerja ginjal, terlebih jika
ginjal mengalami hiperfiltrasi sehingga dapat menyebabkan komplikasi
dan terjadilak Diabetes Nefropati.

E. Gejala

Gejala yang muncul pada penderita Diabetes Mellitus menurut Alfi (2019)
diantaranya :
a. Poliuri (banyak kencing)
Poliuri merupakan gejala awal diabetes yang terjadi apabila kadar
gula darah sampai di atas 160-180 mg/dl. Kadar glukosa darah yang
tinggi akan dikeluarkan melalui air kemih, jika semakin tinggi kadar
glukosa darah maka ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah
yang banyak. Akibatnya penderita diabetes sering berkemih dalam
jumlah banyak.
b. Polidipsi (banyak minum)
Polidipsi terjadi karena urin yang dikeluarkan banyak, maka penderita
akan merasa haus yang berlebihan sehingga banyak minum.
c. Polifagi (banyak makan)
Polifagi terjadi karena berkurangnya kemampuan insulin mengelola
kadar gula dalam darah sehingga penderita merasakan lapar yang
berlebihan.
d. Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan terjadi karena tubuh memecah cadangan
energi lain dalam tubuh seperti lemak

F. Faktor Resiko

Menurut Putri (2015) Pada penderita DM yang tidak patuh


melakukan pengobatan mempunyai risiko mengalami komplikasi ND
sebesar 2,8 kali dari penderita DM yang patuh melakukan pengobatan.
Pada penderita DM yang berlatar belakang pendidikan rendah
mempunyai risiko mengalami komplikasi ND sebesar 1,5 kali dari
penderita DM yang berlatar belakang tinggi. Pada penderita DM dengan
pendapatan < UMK mempunyai risiko mengalami komplikasi ND sebesar
1,21 kali dari penderita DM yang memiliki pendapatan ≥ UMK. Pada
penderita DM yang tidak mendapatkan dukungan sosial mempunyai risiko
mengalami komplikasi ND sebesar 1,65 kali dari penderita DM yang
mendapatkan dukungan sosial.

G. Asuhan Gizi Pada Diabetes Nefropati


Diabetes Nefropati merupakan penyakit Diabetes Millitus yang
memiliki komplikasi dengan organ ginjal. Penatalaksanaan diet sangatlah
penting untuk mencegah terjadinya nefropati diabetik lebih lanjut dan
mencegah komplikasi penyakit lainnya. Menurut William (1998) Zat gizi
yang mendapat perhatian adalah :
1. Protein
Pembatasan protein pada pasien nefropati diabetik merupakan hal
yang penting. Asupan protein lebih rendah dari diet diabetes pada
umumnya. Protein dianjurkan sesuai dengan tingkatan penurunan
fungsi ginjal. Pada saat ini anjuran asupan protein 0.8 gr/kg BB/hari,
kurang atau sama dengan 10% dari total energi. Apabila terjadi
penurunan fungsi ginjal lebih lanjut dimana fungsi ginjal sudah sangat
buruk, ditandai dengan nilai glomerolus filtration rate (GFR)/creatinine
clearance test (CCT) 10-15 ml/mt), maka asupan protein dianjurkan
0.6 gr/kg BB. Sekurang-kurangnya 50% berasal dari protein yang
bernilai bernilai biologi tinggi. Pada berbagai penelitian, pemberian
diet rendah protein bersamaan dengan pemberian asam amino
esensial dan hormon eritropoetin pada pasien dengan nefropati
diabetik, menunjukan penurunan perburukan. fungsi ginjal dibanding
dengan pasien yang diberi diet rendah protein saja. Pada nefropati
diabetik dimana pasien sudah menjalani terapi pengganti hemodialisis
protein dianjurkan 1.2 gr/kgBB/hari, sedangkan jika pasien menjalani
continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) protein dianjurkan
1.3 - 1.5 gr/kg BB/hari atau sama dengan ± 20% dari total kalori
2. Energi
Kebutuhan energi untuk pasien nefropati diabetik, yaitu 35
kcal/kgBB/hari. Asupan energi yang adekuat bertujuan agar protein
tidak dipecah menjadi sumber energi. Karbohidrat: Karbohidrat yang
dianjurkan adalah 60% dari total kalori. Penggunaan karbohidrat
komplek tetap diutamakan. Pada diet nefropati diabetik, dengan
pembatasan protein, dirasakan sulit untuk mencapai kebutukan kalori
apabila menggunakan karbohidrat komplek saja. Oleh karena itu
bahan makanan tinggi kalori rendah protein dari karbohidrat
sederhana dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan kalori.
Pemberian karbohidrat sederhana seperti gula dapat dikonsumsi
bersamaan dengan makanan, atau dimasukan dalam makanan
olahan. Anjuran diet pada pasien diabetes yang terbaru
mengutamakan jumlah karbohidratnya, bukan jenisnya. Anjuran
konsumsi sukrosa lebih liberal. Bukti menunjukkan bahwa
penggunaan sukrosa sebagai bagian dari perencanaan makan pasien
diabetes tidak memperburuk kontrol glukosa darah. Pada pasien
nefropati diabetik dengan terapi pengganti CAPD, 35%-40%
karbohidrat berasal dari asupan makanan , sedangkan 15% sisanya
berasal dari cairan peritoneal yang digunakan yaitu dektrosa.
3. Lemak
Lemak dianjurkan 30% dari total kalori. Persentase lemak lebih tinggi
dari diet diabetes pada umumnya, hal ini dimaksudkan untuk
mencukupi kebutuhan energi, karena sumber energi dari protein
terbatas. Lemak diutamakan dari jenis tidak jenuh ganda maupun
tunggal yaitu minyak jagung, minyak wijen, minyak zaitun. Asupan
lemak jenuh dianjurkan kurang dari 10%. Asupan kholesterol
dianjurkan kurang dari 300 mg/hari. Garam (natrium): Anjuran asupan
garam natrium (Na) pasien nefropati diabetik berkisar antara 1000 –
3000 mg Na sehari, tergantung pada tekanan darah, ada tidaknya
udema atau asites, serta pengeluaran urine sehari. Pada pasien
nefropati diabetik yang sudah menjalani terapi pengganti hemodialisis
kebutuhan natrium adalah 1000 mg + 2000 mg apabila jumlah urine
sehari 1000 ml.
4. Kalium
Kadar kalium darah harus dipertahankan dalam batas normal. Pada
beberapa pasien, kadar kalium darah meningkat disebabkan karena
asupan kalium dari makanan yang berlebihan atau obatobatan yang
diberikan. Anjuran asupan kalium tidak selalu dibatasi, kecuali bila
terjadi hiperkalemia yaitu kalium darah > 5.5 mEq, jumlah urine sedikit
atau GFR/CCT kurang atau sama dengan 10 ml/mt. Pada kondisi ini
anjuran asupan kalium berkisar 40-70 mEq/hari (1600-2800 mg/hari)
atau 40 mg/kgBB/hari, hindari makanan tinggi sumber kalium. Pada
nefropati diabetik dengan terapi pengganti hemodialisis kebutuhan
kalium dapat dihitung berdasarkan pengeluaran urine sehari, yaitu
kebutuhan dasar 2000 mg + jumlah urine sehari. Obat pengikat kalium
dapat diusulkan kepada dokter yang merawat.
5. Fosfor
Pada pasien nefropati diabetik, apabila terjadi hiperfosfatemia (kadar
fosfat darah > 6 mg/dl), asupan fosfor dari makanan harus dibatasi.
Anjuran asupan pospor berkisar 8-12 mg/kg BB/hari. kadang untuk
mengontrol fosfat tidak mungkin hanya dengan diet. Obat pengikat
fosfat diperlukan untuk mengikat fosfor dari makanan dalam saluran
cerna yang bertujuan mencapai serum fosfat darah berkisar 4-6 mg/l.
Agar obat pengikat fosfat bekerja optimal, maka harus diminum
bersamaan dengan waktu makan.
6. Kalsium
Keadaan hipokalsemia (kadar kalsium darah < 8.5 mg/dl) kadang
terjadi pada pasien nefropati diabetik. Penyebabnya adalah asupan
kalsium yang tidak adekuat dan penyerapan yang tidak baik, oleh
karena itu biasanya diberikan suplemen kalsium dalam bentuk tablet.
Asupan kalsium yang dianjurkan adalah 1200 mg/hari. Salah satu
suplemen kalsium yang biasa diberikan adalah kalsium karbonat,
selain sebagai suplemen naum juga berfungsi sebagai pengikat
fosfat. Kadar kalsium darah yang diharapkan berkisar 8.5 – 11 mg/dl
7. Cairan
Kebutuhan cairan perhari disesuaikan dengan jumlah urine sehari
ditambah dengan pengeluaran cairan melalui keringat dan
pernapasan (± 500 ml)
8. Menurut Kresnawan (2004) Berikut adalah contoh bahan makanan
yang baik yaitu :
- protein bernilai biologi tinggi antara lain telur, susu, daging, ayam,
ikan.
- Protein bernilai biologi rendah yaitu bahan makanan selain hewani
seperti, kacang- kacangan, biji-bijian, umbi, tempe, tahu, beras,
jagung, havermout, kentang, ubi.
- Sumber karbohidrat kompleks antara lain: kentang, ubi, singkong,
beras havermout, jagung, bayam, sawi, kacang panjang.
- Sumber karbohidrat sederhana, seperti gula pasir, gula jawa,
madu, sirup, permen, minuman ringan.
- Bahan makanan tinggi kalori rendah protein, seperti makanan /
jajanan terbuat dari singkong, ubi, tepung maizena, tepung sagu /
tapioka, sagu mutiara / pacar cina, agar-agar, getuk, keripik
singkong, kolak biji salak, puding maizena,
- Sumber lemak jenuh: mentega, minyak kelapa sawit, minyak
kelapa, lemak susu.
- Sumber lemak tidak jenuh ganda: minyak jagung kedelai, minyak
bunga matahari, minyak bunga safflower, mayonais.
- Sumber lemak tidak jenuh tunggal: minyak zaitun, alpukat, minyak
kacang, alpukat .
- Sumber kalium: pisang, tomat, alpukat, jambu biji, jeruk, rebung,
bayam, daun pepaya, daun singkong, kentang, singkong, labu
kuning, susu, santan kelapa.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Gambaran Umum

Nama Ny. S
Umur 58 th
Jenis Kelamin Perempuan
BB 60 kg
TB 155 cm
Diagnosis
Diabetes Nefropati Stage 3 dengan Covid
Medis
GDA:593 mg/dl, Hb:10,5 g/dL, Kalium:2,89 mmol/L, Chlorida
Biokimia
109,9 mmol/L, BUN: 26 mg/dL
TD:128/87mmhg, suhu:36,4oc, RR:22/menit, abdomen BU
Fisik Klinis (+) N Supel

Berusaha menjalankan diet DM dengan mengurangi makan


Riwayat Gizi
minum manis dan mengurangi nasi
Terdahulu
Diet LLCDM 1500 Kkal, protein 1 gram/kgbb/hari,
Riwayat Gizi
tidak membawa makanan dari luar dan Asupan makan ½
Sekarang
dari kebutuhan harian
Riwayat DM sejak 5 tahun yang lalu
Penyakit

B. Assesment
1.Antropometri (AD)
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tubuh pasien untuk
mengetahui status gizi pasien tersebut. Pada kasus ini pengukuran
antropometri menggunakan IMT. Data yang diperlukan untuk mengetahui
IMT pasien adalah BB dan TB.
Pada pasien diketahui BB pasien adalah 60 kg dan TB pasien adalah 155
cm. Untuk mengetahui IMT maka diperlukan perhitungan yaitu :
IMT = BB(kg)/TB(m)2
IMT = 60/1,552
IMT = 24,9
Didapatkan IMT pasien adalah 24,9. Selanjutnya IMT tersebut
dibandingkan dengan standard menurut Kemenkes RI. Berikut adalah
kategori IMT menurut Kemenkes RI :

Kategori IMT
Kurus Kekurangan BB tingkat berat < 17,0
Kekurangan BB tingkat berat 17,0-18,4
Normal 18,5 – 25,0
Gemuk Kelebihan BB tingkat ringan 25,1 – 27,0
Kelebihan BB tingkat berat >27,0

Berdasarkan klasifikasi BB diatas dapat diketahui IMT pasien berada


pada kategori normal

2. Pemeriksaan Biokimia (BD)


Pemeriksaan biokimia adalah pemeriksaan yang dilakukan secara uji
laboratoris pada spesimen jaringan tubuh tertentu yang bertujuan untuk
mengetahui suatu masalah pada spesimen tersebut. Pada pasien yaitu Ny.
S telah dilakukan uji specimen darah. Dari uji tersebut dapat diketahui
bahwa terdapat beberapa status biokimia darah yang tidak sesuai dengan
nilai rujukan. Berikut adalah hasil uji biokimia pasien :

Data Hasil Satuan Nilai


Ket
Lab Lab Rujukan
Gula mg/dL
Darah 593 <120 T
Acak
Hb 10,5 g/dL 12-16 R
Kalium 2,89 mmol/L 3,0-5,0 R
mmol/L 95,0-
Chlorida 109,9 T
105,0
BUN 26 mg/dL 10,0-24,0 T
PCR Positif Negatif
Swab 30,5 >40
Kreatini mg/dL
7,5 0,6 – 1,5 T
n
Dari data biokimia diatas dapat diketahui pasien mengalami
Diabetes dengan data lab yaitu gula darah sewaktu yang tinggi. Pasien
juga mengalami anemia karena kadar Hb yang rendah. Hal ini tidaklah
baik untuk tubuh karena dapat menyebabkan nutrisi tidak tersalurkan
secara maksimal oleh sel darah merah ke seluruh tubuh.
Pada status kalium yang rendah menyebabkan pasien mengalami
hipokalemia. Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik
Indonesia (2009) kasus ini kerap terjadi pada pengidap diabetes. Hal
ini terjadi karena terapi insulin yang diberikan karena merangsang
perpindahan kalium dari intravaskuler ke intraseluler.
Pada kadar klorida yang tinggi menyebabkan pasien mengalami
hiperkloremia. Hal ini dikarenakan pasien mengalami komplikasi ginjal
yang sejalan dengan diagnosis penyakitnya yaitu DM Nefropati Stage
3. Dalam keadaan normal, ekskresi natrium pada ginjal diatur sehingga
keseimbangan dipertahankan antara asupan dan pengeluaran dengan
volume cairan ekstrasel tetap stabil, namun pada keadaan ginjal yang
tidak sehat menyebabkan natrium ekstrasel tersebut berlebihan
sehingga klorida dalam darah pun tinggi (Tambajong,2016). Natrium
adalah kation dan klorida adalah anion, didalam tubuh pun kedua ion
tersebut saling berhubungan, meskipun natrium pasien dalam keadaan
normal namun normal pada batas atas hampir menyentuh
hypernatremia.
Tes BUN (Blood Urea Nitrogen) atau ureum dan kreatinin adalah
tes yang lazim dilakukan oleh pasien Diabetes Nefropati. Tes ini
bertujuan untuk mengukur kadar urea nitrogen dalam darah. Urea
nitrogen adalah zat sisa metabolisme yang normalnya disaring oleh
ginjal dan dibuang bersama urine. Ginjal juga mengeluarkan sampah
metabolisme yaitu urea, kreatinin asam urat dan zat kimia asing
(Rivandi.2018). Pada pasien Diabetes Nefropati keadaan ini membuat
ginjal kesulitan melakukan tugasnya untuk menyaring sampah sisa
metabolisme tersebut.
Pada hasil PCR Swab pasien diketahui pasien positif terinfeksi
virus Covid 19. CT Value pasien yaitu 30,5. Hal ini menandakan pasien
masih cukup infeksius. CT Value normal yaitu >40. Virus Covid 19
sangatlah berbahaya bagi pasien DM Nefropati karena dapat
memperparah kondisi pasien. Selain itu Covid 19 pada pasien DM
dapat meningkatkan fatality rate hingga 3x lipat (Perkeni,2020).

3. Pemeriksaan Fisik Klinis (PD)


Pemeriksaan fisik klinis adalah proses yang dilakukan ahli medis
untuk melakukan pemeriksaan tanda vital dan tanda klinis pasien.
Pada data fisik pasien, pasien mengalami abdomen BU (+)supel.
Pada data fisik yang didapatkan dari pasien yaitu Ny. S adalah
sebagai berikut :
Data Nilai
Nilai Satuan Ket
Klinis Rujukan
Tekanan 128/8
mmHg 120/80 T
Darah 7
Suhu 36,4 C
o
36,5-37,5 R
RR 22 /menit 12-16 T

Tekanan darah tinggi berkaitan dengan kelebihan gula darah.


Pasien diabetes tidak mempunyai cukup hormon insulin untuk
memproses glukosa (gula dari makanan) atau insulin mereka tidak
bekerja dengan efektif.Insulin adalah hormon yang membuat tubuh
dapat memproses glukosa dari makanan dan menggunakannya untuk
energi. Karena adanya masalah pada insulin, glukosa tidak dapat
masuk ke dalam sel-sel tubuh untuk membentuk energi dan akhirnya
akan terkumpul di aliran darah.Tingginya gula dalam pembuluh darah
yang mengelilingi tubuh akan menyebabkan kerusakan pada organ-
organ tubuh khususnya pembuluh darah dan ginjal. Organ-organ inilah
yang mempunyai peran dalam menjaga tekanan darah yang
normal.Bila terjadi kerusakan, tekanan darah dapat meningkat dan
menyebabkan kerusakan yang lebih jauh dan komplikasi. Hal ini lah
yang biasa terjadi terutama pada pasien Diabetes Nefropati
RR pada pasien cukup tinggi hal ini dapat menunjukkan pasien
kesulitan bernafas. Kesulitan bernafas merupakan keluhan utama yang
dirasakan oleh pasien Covid. Selain DM Nefropati Stage 3 pasien juga
menderita Covid dan Tes Swab masih positif. Pada suhu pasien sedikit
rendah namun mendekati normal. Hal ini perlu ditingkatkan agar suhu
pasien dapat optimal dengan begitu keluhan pasien berkurang dan
pasien akan semakin membaik

4. Riwayat Gizi
a. Riwayat Gizi Terdahulu
Pada data riwayat gizi terdahulu pasien terdahulu, pasien telah
berusaha menjalankan diet DM dengan mengurangi makan minum
manis dan mengurangi nasi. Hal ini merupakan perilaku yang baik
ang telah diteapkan pasien karena pasien mengidap penyakit DM
sejak 5 tahun lalu. Sebelumnya pasien belum pernah mendapat
edukasi. Edukasi perlu diberikan agar pasien dan keluarga pasien
lebih memahami bagaimana diet untuk pasien Diabetes Nefropati.
Edukasi tesebut adalah mengenai pola makan 3T yaitu tepat jenis,
tepat jumlah dan tepat jadwal serta pola hidup sehat seperti berolah
raga, cuci tangan dan juga tidur teratur.
b. Riwayat Gizi Sekarang
Saat ini pasien menerima diet LLCDM 1500 kalori dengan protein
1 g/kgBB. Pasien tidak membawa makanan dari luar namun asupan
makan pasien ½ dari kebutuhan intake hariannya. Hal ini perlu
ditindak lanjuti agar pasien dapat meningkatkan asupan makannya.
Ahli gizi dapat menanyakan keluhan pasien yang mempengaruhi
sisa makan tersebut dan berkoordinasi dengan tenaga kesehatan
lain untuk mengatasi keluhan tersebut. Selain itu ahli gizi juga dapat
memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien.
5. Riwayat Personal
Saat ini pasien berusia 58 tahun. Usia pasien juga mempunyai
pengaruh terhadap keparahan penyakit. Semakin bertambahnya usia
maka organ pun tidak dapat bekerja semaksimal saat usia muda.
Meskipun hal ini juga dipengaruhi oleh banyak faktor seperti pola
hidup, tingkat stress dan keturunan. Aktivitas pasien saat ini adalah
berbaring di RS karena sakit yang dideritanya.
6. Diagnosis Gizi
N.C 2.2
Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi khusus yang berkaitan
dengan gangguan fungsi ginjal dan penyakit diabetes serta Covid 19
ditandai oleh ketidaknormalan kadar BUN, glukosa darah acak tinggi,
hyperkloremia, hypokalemia dan tekanan darah tinggi

N.I1.2
Kekurangan intake energi berkaitan kondisi pasien yang lemas
ditandai dengan asupan makanan ½ dari kebutuhan harian
7. Rencana Intervensi
1. Intervensi Diet
a. Tujuan Intervensi
Menurut Almatsir (2007) tujuan Diet Penyakit Diabetes Militus
dengan Nefropati adalah untuk mencapai dan mempertahankan
status gizi optimal serta menghambat laju kerusakan ginjal
dengan cara :

- Mengendalikan kadar glukosa darah dan tekanan darah


- Mencegah menurunnya fungsi ginjal
- Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
b. Prinsip diet
Diet DM Nefropati

c. Syarat diet
Syarat Diet Penyakit Diabetes Militus dengan Nefropati menurut
Perkeni (2015) adalah

1. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan


energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi. Sukrosa
tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
2. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori,
dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
Komposisi yang dianjurkan adalah lemak jenuh <7%
kebutuhan kalori, lemak tidak jenuh ganda <10%, selebihnya
dari lemak tidak jenuh tunggal. Bahan makanan yang perlu
dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu fullcream.
Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.
3. Protein kebutuhan protein pada pasien dengan nefropati
diabetik perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65%
diantaranya bernilai biologik tinggi. Sumber protein yang baik
adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa
kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan
tempe
4. Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan
orang sehat yaitu sebesar 10 – 20% total asupan energi. Pada
pasien dengan hipertensi perlu dilakukan pengurangan
natrium secara individu. Sumber natrium antara lain adalah
garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti
natrium benzoat dan natrium nitrit
5. Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari
kacangkacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat
yang tinggi serat. Anjuran konsumsi serat adalah 20-35
gram/hari yang berasal dari berbagai sumber bahan makanan.

d. Perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi


Rumus Broca yang terdapat dalam Konsensus Perkumpulan
Endokrinologi
Indonesia (PERKENI, 2015) adalah sebagai berikut

Perhitungan Kalori :
1.) Penentuan IMT
IMT = bb/tb2(m)
IMT = 60 / (1,55)2
IMT = 24,9

2.) Penentuan Berat Badan Ideal (BBI)


BBI= 90% x (TB-100) x 1 Kg
BBI = 90% x (155-100) x 1 Kg
BBI = 49,5 kg

3.) Basal Metabolisme Rate (BMR)


Perhitungan BMR untuk jenis kelamin perempuan adalah
BMR= 25 x BBI
BMR = 25 x 49,5
BMR = 123,75 kkal

4) Penentuan Faktor Aktivitas


Menurut Perkeni (2015) faktor aktivitas untuk istirahat (bed
rest) adalah 10% BMR
Jadi, faktor aktivitas pada pasien adalah 123,75
5) Penentuan Faktor Umur =
Umur pasien adalah 58 tahun. Menurut Perkeni (2015) faktor
umur 40-59 tahun adalah 5% BMR. Jadi, Faktor umur pada
pasien adalah 61,88

6) Penentuan Energi Total


Energi Total = BMR + Faktor aktivitas - Faktor umur + IMT
Energi Total = 1237,5 + 123,75 – 61,88 + 24,9
Energi Total = 1324,27 kkal

Perhitungan Protein :
Total kebutuhan protein untuk pasien Diabetes Nefropati
menurut Perkeni (2015) adalah :
Protein = 0,8 g/kgBB
Protein = 0,8 x 49,5
Protein = 39.6 g

Perhitungan Lemak =
Lemak = 30% x Energi Total
Lemak = 30 % x 1324,27
Lemak = 397,41 kkal = 44,15 g

Perhitungan Karbohidrat =
Karbohidrat = 60% x Energi Total
Karbohidrat = 60% x 1324,27
Karbohidrat = 794,56 kkal = 198,64 g
Jadi, diet yang di berikan adalah LLCDM 1300 kkal

2. Intervensi Edukasi
a. Tujuan Edukasi:
Memberikan motivasi kepada pasien untuk agar dapat
menghabiskan makanannya minimal 70% asupan
b. Sasaran :
Pasien
c. Waktu:
3 Maret 2021 pukul 09.00
d. Tempat:
Menggunakan telefon ruangan
e. Metode:
Diskusi dan sharing
f. Alat bantu:
-
g. Materi :
- Berdikusi mengenai kendala pasien dalam menghabiskan
makanannya,
- Mencari alternatif solusi untuk pasien agar dapat membantu
pasien mengahbiskan makanan hingga minimal 70% asupan
- Memberikan motivasi kepada pasien untuk menghabiskan
makanannya
8. Implementasi
Implementasi asuhan gizi, intervensi dan pemberian edukasi
dilakukan oleh ahli gizi RSPAL Dr. Ramelan Surabaya secara berkala.
Dapat dilakukan di dalam ruang rawat inap pasien langsung, atau jika
memungkinkan dapat melalui telepon sambungan ruangan/WA
keluarga pasien untuk menghindari kontak dengan pasien covid. Saat
pasien tidak mampu mengonsumsi makanan lunak LLCDM 1300, ahli
gizi mengganti dengan CDMRP 1300 kkal agar kebutuhan nutrisi
pasien dapat terpenuhi.Keseluruhan hasil monitoring dan evaluasi
ditulis dalam form evaluasi untuk selanjutnya diberikan tindak lanjut
sesuai permasalahan yang dihadapi. Pemberikan makanan
disesuaikan dengan kemampuan pasien.
9. Rencana Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan Evaluasi akan dilakukan oleh ahli gizi RSPAL Dr.
Ramelan Surabaya. Monitoring dan Evaluasi meliputi pemeriksaan
pada data biokimia, fisik klinis dan asupan pasien. Tujuan dari
monitoring dan evaluasi adalah untuk mengetahui perkembangan dari
asuhan gizi dan pengbatan baik. Diharapkan data biokimia, fisik klinis
dan asupan pasien membaik.
Diet yang diberikan kepada pasien menyesuaikan kemampuan
pasien dan aspan harian pasien. Untuk diet yang diberikan saat masuk
ke RS adalah LLCDM 1300 kkal dengan karbohidrat 180 gram, Lemak
43,15 gram dan protein 41 gram. Diharapkan pasien mampu
menghabiskan makanan sesuai dengan kebutuhan gizinya.
Jika pasien tidak mampu menghabiskan makanan sesuai dengan
kebutuhanya, maka ahli gizi akan menggantinya dengan makanan
enteral. Diet yang diberikan untuk perubahan diet dari makanan lunak
kepada pasien yaitu CDMRP 1300 kkal. Berikut adalah Nilai Gizi
CDMRP 1300 kkal
Energi Protein Lemak
Formula DCMRP Kh (g)
(kkal) (g) (g)
Nilai Gizi CDMRP 200 cc 220,27 34,53 6,03 6,65
Nilai Gizi CDMRP 6x200 cc 1321,64 207,2 36,19 39,89
Kebutuhan Pasien 1324,27 198,64 39,6 44,15
% Asupan 99,80 104,30 91,38 90,35

Dari tabel diatas diketahui pemberian diet CDMRP 1300 kkal pada
pasien telah memenuhi kebutuhan gizi pasien. Setelah dilakukan
pemasangan sonde, diharapkan asupan harian pasien dapat tercukupi
dan tidak ditemukan adanya keluhan pada pasien.
Selain itu, kebutuhan cairan pasien harus dipertimbangkan.
Pasien mendapatkan infus NS dan makanan cair. Menurut Istanti
(2013) asupan cairan pada pasien komplikasi ginjal dibatasi hanya
sebanyak insessible water loss (IWL) yaitu 500 cc yang mungkin
keluar dari pernafasan dan keringat. Selanjutnya IWL akan ditambah
dengan jumlah urin. Hal ini bertujuan untuk mencegah resiko
hipertensi, aritma, dan edema. Pada assessment awal pasien
mengeluarkan urin sebanyak 1000 cc. Untuk kebutuhan cairan perhari
pasien adalah :
Kebutuhan cairan = IWL + urin
Kebutuhan cairan = 500 + urin
Kebutuhan cairan = 500 + 1000
Kebutuhan cairan = 1500 c
Setelah itu kita dapat mengetahui kebutuhan cairan infus yang
diberikan kepada pasien / harinya.

Kebutuhan cairan infus = Kebutuhan cairan – Cairan enteral


Kebutuhan cairan infus = 1500 – 900
Kebutuhan cairan infus = 600 cc
Jadi, kebutuhan cairan infus pasien adalah 600 cc.

BAB IV
Hasil Dan Pembahasan

A. Monitoring dan Evaluasi Antropometri


Pada asessment awal telah dilakukan pengukuran antropometri pada
pasien menggunakan IMT. Data yang diperlukan untuk mengetahui IMT
pasien adalah BB dan TB.
Pada pasien diketahui BB pasien adalah 60 kg dan TB pasien adalah 155
cm. Untuk mengetahui IMT maka diperlukan perhitungan yaitu :
IMT = BB(kg)/TB(m)2
IMT = 60/1,552
IMT = 24,9
Didapatkan IMT pasien adalah 24,9 dan IMT tersebut dalam kategori normal
pada standard menurut Kemenkes RI. Untuk monev ke 1 dan 2 tidak ada
pemantauan antropometri pasien.
B. Monitoring dan Evaluasi Biokimia
1. Monitoring dan Evaluasi Data Biokimia Pasien ke 1 dan 2

Data Hasil Nilai


Satuan Ket
Lab Lab Rujukan
Gula
<120
Darah 426 mg/dL T
Acak
Monev
Hb 10,6 g/dL 12-16 R
ke 1
Kalium 2,79 mmol/L 3,0-5,0 R
95,0-
Chlorida 118 mmol/L T
105,0
BUN 25 mg/dL 10,0-24,0 T
Swab Positif Negatif
PCR 30,6 >40
Kreatini
5,6 mg/dL 0,6-1,5 T
n
Data Hasil Nilai
Satuan Ket
Lab Lab Rujukan
Gula
<120
Darah 212 mg/dL T
Acak
Monev Hb 13,2 g/dL 12-16 N
ke 2 Kalium 4,45 mmol/L 3,0-5,0 N
95,0-
Chlorida 105 mmol/L N
105,0
BUN 19 mg/dL 10,0-24,0 N
Swab Positif Negatif
PCR 33,97 >40
Kreatini
5,6 mg/dL 0,6-1,5 T
n
Dapat diketahui dari monev pertama, GDA pasien sedikit menurun
dibandingkan pada asessment awal. Hb pasien tidak naik secara
signifikan, kadar kalium semakin menurun dan klorida semakin
meningkat. Sementara kadar BUN hanya turun satu angka. Untuk CT
Value PCR Swab hanya naik 0,1. Hal ini dapat dikarenakan pasien tidak
menerima intake makanan sesuai standardnya. Pasien hanya mampu
menghabiskan ¼ makanannya sehingga tidak ada perubaha biokimia
yang signifikan menuju ke arah baik.
Dari monev kedua diketahui GDA pasien telah turun mencapai
212 mg/dL, begitupun Kreatinin pasien. Dibandingkan monev pertama,
monev kedua keadaan pasien lebih baik. Hb, Kalium, Klorida, dan BUN
juga pada rentang yang normal. Untuk CT Value Swab PCR telah naik
hingga 33,97. Dibandingkan monev ke 1, kenaikan ini cenderung lebih
tinggi. Hal ini dapat terjadi karena pasien telah mengalami perubahan
diet menjadi CDMRP 1300 kkal sehingga asupan harian pasien dapat
maksimal dan terdapat kemajuan pada data biokimia pasien.

C. Monitoring dan Evaluasi Fisik Klinis


1.Monitoring dan Evaluasi Data Klinis Pasien ke 1 dan 2
Data Nilai
Nilai Satuan Ket
Klinis Rujukan
Tekanan
Monev ke 83/54 mmHg 120/80 R
Darah
1
Suhu 36,2 o
C 36,5-37,5 R
RR 25 /menit 12-16 T
Data Nilai Satuan Nilai Ket
Monev ke Klinis Rujukan
2 Tekanan 137/8 mmHg 120/80 R
Darah 1
Suhu 36,8 C o
36,5-37,5 N
RR 16 /menit 12-16 N

Pada monev ke satu terjadi penurunan TD menjadi 82/54 mmHg.


Hal ini diduga terjadi karena asupan makan pasien yang menurun. Suhu
pasien pun juga menurun hingga 36,2oC dan RR lebih tinggi yaitu
25/menit. Kondisi abdomen dan GCS 456 pasien masih tetap. Hal ini
terjadi karena pada monev ke 2 asupan makanan pasien hanya ¼ dari
standard harian yang diberikan RS sehingga kondisi klinisnya menurun.
Pada monev kedua terjadi kenaikan TD yaitu 137/81 mmHg
terutama pada sistol. Sistol adalah keadaan ketika jantung menekan
darah. Sistol yang tinggi dapat terjadi karena pengaruh dari penyakit DM
pasien. Pasien DM tidak mempunyai cukup insulin untuk memproses
glukosa. Karena adanya masalah pada insulin, glukosa tidak dapat
masuk ke dalam sel-sel tubuh untuk membentuk energi dan akhirnya
akan terkumpul di aliran darah.Tingginya gula dalam pembuluh darah
yang mengelilingi tubuh akan menyebabkan kerusakan pada organ-
organ tubuh khususnya pembuluh darah dan ginjal. Organ-organ inilah
yang mempunyai peran dalam menjaga tekanan darah yang normal.Bila
terjadi kerusakan, tekanan darah dapat meningkat dan menyebabkan
kerusakan yang lebih jauh dan komplikasi. Hal ini lah yang biasa terjadi
terutama pada pasien Diabetes Nefropati (Rahmadany, 2015). Untuk
suhu dan RR pasien terletak pada rentang normal dan dapat diartikan
keadaan pasien mengalami kemajuan. Hal ini dikarenakan perubahan
diet pasien dari LLCDM 1300 kkal menjadi CDMRP 1300 kkal sehingga
intake pasien telah sesuai dengan kebutuan gizi pasien.

2. Monitoring dan Evaluasi Tingkat Konsumsi


a. Monitoring dan Evaluasi Asuapan ke 1 dan 2
Monev 1 Energi Kh Protein Lemak
1324,2
Kebutuhan 198,64 44,15 39,6
7
Asupan 325 50 10 11
% Asupan 25 25 25 25
Monev 2 Energi Kh Protein Lemak
Kebutuhan 1324,2 198,64 44,15 39,6
7
Asupan 1321,6 207,2 36,19 39,89
4
% Asupan 99,80 104,31 91,40 90,35

Pada monev pertama, pasien hanya mampu menghabiskan ¼ pasien.


Dikarenakan hal ini kondisi pasien semakin menurun. Untuk
menindaklanjuti hal tersebut, pasien harus makan melalui sonde. Ahli
gizi melakukan perubahan diet menjadi CDMRP 6x200cc. Untuk cairan
pasien, telah memenuhi kebutuhan harian pasien sehingga ginjal tidak
bekerja berat.
Pada monev kedua, asupan nutrisi pasien telah terpenuhi
dikarenakan pasien makan melalui sonde. Selain itu beberapa data
biokimia dan fisik klinis mengalami kemajuan. Kebutuhan cairan pada
monev kedua adalah 1700 karena urin yang dikeluarkan pasien sebesar
1200 cc.
b. Monitoring dan Evaluasi Cairan ke 1 dan 2
Monev 1 Cairan Keterangan
Kebutuhan 1600
Infus 650 Sesuai
Enteral 900 Kebutuhan
Asupan 1550
Monev 2 Cairan Keterangan
Kebutuhan 1700
Sesuai
Infus 650
Kebutuhan
Enteral 900
Asupan 1550

Kebutuhan cairan pada monev pertama adalah 1600 yang


didapatkan dari jumlah urin yang dikeluarkan pasien sebesar 1100 cc
ditambah 500 cc cairan yang keluar dari pernafasan dan metabolisme
pasien. Pasien menerima infus Ns sebanyak 500 cc dan klorida 150 cc.
Sementara cairan dari makanan yaitu 900 cc. Jadi, total asupan cairan
pasien adalah1550 cc. Total asupan tersebut sudah memenuhi
kebutuhan pasien.
Kebutuhan cairan pada monev kedua adalah 1700 karena urin
yang dikeluarkan pasien sebesar 1200 cc. Pasien menerima infus Ns
sebanyak 500 cc dan klorida 150 cc, sementara cairan dari makanan
enteral pasian yaitu 900 cc. Jadi, total asupan cairan pasien sama
seperti monev pertama yaitu 1550 cc. Total asupan tersebut sudah
memenuhi kebutuhan pasien.

3. Grafik Asupan Gizi Pasien


Asupan nutrisi pasien saat ini didasarkan pada diet yang diterima
pasien yaitu CDMRP 1300 kkal. Nilai gizi yang diberikan pada perhari
adalah energi sebesar 1321,64 kkal, karbohidrat 207,2 g, protein 36,19
g, dan lemak 39,89 g.
Perbaikan status nutrisi pada pasien sangat penting untuk
mempercepat penyembuhan penyakit (Nianiu, 2015). Pemberian diet
haruslah tepat agar dapat menunjang kesembuhan pasien dan tidak
menimbulkan kompliksai pada penyakit lain. Berikut adalah grafik
asupan gizi pasien sejak awal masuk rumah sakit hingga monitoring
evaluasi ke 2
a. Grafik Asupan Energi Pasien

Dari grafik dapat diketahui asupan energi harian pasien telah


memenuhi standard gizi yang diperlukan pasien. Energi pada diet
pasien berkisar 1321,64 kkal sementara kebutuhan harian pasien
yaitu 1324,27 kkal. Kebutuhan energi pasien yang diberikan
memenuhi 99,8% energi yang dibutuhkan. Hal ini menunjukkan diet
yang diberikan kepada pasien telah tepat.
Energi diperlukan tubuh untuk melakukan proses metabolisme.
Jika tubuh tidak mendapatkan asupan energi dengan maksimal dapat
menyebabkan tubuh lemas dan organ-organ tubuh mengalami
gangguan (Mardalena,2016). Pada proses penyembuhan pasien pun
energi sangat diperlukan. Tanpa energi yang memadai proses
penyembuhan pasien tidak akan optimal.
b. Grafik Asupan Protein Pasien
Dari grafik asupan protein harian, diketahui protein yang
didapatkan pasien dalam diet CDMRP adalah 36,19 gram, sementara
kebutuhan protein pasien yaitu 39 gram. Hal ini tidaklah menjadi
masalah karena protein yang diberikan kepada pasien masih dalam
rentang batas bawah 10% yaitu memenuhi 91,4% kebutuhan protein
pasien, sehingga protein yang diberikan masih memenuhui
kebutuhan harian pasien.
Protein berfungsi sebagai zat pembangun dalam tubuh. Menurut
Mardalena (2016) Protein sebagai zat pembangun berfungsi
membentuk jaringan baru untuk pertumbuhan, mengganti jaringan
yang rusak maupun bereproduksi. Jika tubuh defisit protein, maka
tubuh tidak dapat mengganti sel-sel yang telah rusak. Hal ini dapa
menyebabkan proses penyembuhan pasien terganggu.

c. Grafik Asupan Lemak Pasien


Dari grafik asupan lemak harian, diketahui lemak yang didapatkan
pasien dalam diet CDMRP adalah 39,89 gram, sementara kebutuhan
protein pasien yaitu 44,15 gram. Lemak yang diberikan kepada
pasien masih dalam rentang batas bawah 10% yaitu memenuhi
90,4% kebutuhan lemak harian pasien. Dengan itu pemberian diet
masih memenuhui kebutuhan lemak harian pasien.
Lemak berfungsi untuk memberdayakan vitamin, Lemak dalam
makanan mempermudah penyerapan vitamin larut lemak A, D, E dan
K (Mardalena,2016). Diketahui fungsi vitamin pada pasien Covid 19
sangatlah penting untuk membentuk imun tubuh. Jika pasien defisit
lemak maka pembentukan imun tubuh dapat terganggu sehingga
menyebabkan proses penyembuhan pasien terganggu. Maka dari itu
sangatla penting untuk memenuhi kebutuhan lemak harian pada
pasien.
d. Grafik Asupan Karbohidrat Pasien
Dari grafik asupan karbohidrat harian, diketahui karbohidrat yang
didapatkan pasien dalam diet CDMRP adalah 207 gram, sementara
kebutuhan karbohidrat pasien yaitu 199 gram. Karbohidrat yang
diberikan kepada pasien masih dalam rentang batas atas 10% yaitu
memenuhi 104% dari kebutuhan karbohidrat harian. Sehingga
asupan karbhidrat masih dapat diberikan kepada pasien.
Menurut Mardalena (2016). Karbohidrat adalah sumber energi
untuk tubuh. Keberadaan karbohidrat di dalam tubuh, sebagian ada
pada sirkulasi darah sebagai glukosa, sebagian terdapat pada hati
dan jaringan otot sebagai glikogen, dan sebagian lagi sisanya diubah
menjadi lemak untuk kemudian disimpan sebagai cadangan energi di
dalam jaringan lemak. Pada proses penyembuhan pasien, energi
yang dihasilkan karbohidrat digunakan untuk melakukan metabolisme
pada organ-organ tubuh. Jika defisit karbhidrat akan mengakibatkan
organ-organ pada tubuh tidak dapat bekerja sempurna sehingga
proses penyembuhan terhambat.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Dari assesement yang telah dilakukan kepada pasien diketahui pasien
mengalami hyperglikemia, kadar BUN dan kreatin tinggi, hipertensi, PCR
Swab Positif Covid 19 serta intake makanan inadequat.
2. Diagnosis gizi pasien adalah asupan inadequat berkaitan dengan kondisi
pasien yang lemas ditandai dengan asupan makanan ½ dari kebutuhan
harian dan perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi khusus yang berkaitan
dengan gangguan fungsi ginjal dan penyakit diabetes serta Covid 19 ditandai
oleh ketidaknormalan kadar BUN, kreatinin, glukosa darah acak tinggi,
hyperkloremia, hypokalemia dan tekanan darah tinggi
3. Edukasi diberikan 2x kepada pasien mengenai kendala dan motivasi
untuk menghabiskan makanan, serta edukasi keluarga pasien mengenai
NGT yang dipasang pada pasien.
4. Pasien telah mengalami perbaikan yang signifikan pada monev ke 2
namun masih harus memonitoring TD , PCR Swab dan gula darah
pasien.

B. Saran
1. Ahli Gizi harus senantiasa memantau perkembangan pasien melalui
monitoring evaluasi secara berkala
2. Ahli gizi harus senantiasa melakukan koordinasi dengan tenaga
kesehatan lainnya untuk menunjang proses penyembuhan pasien
3. Keluarga pasien senantiasa diberikan edukasi berkenaan dengan
kondisi pasien

LAMPIRAN

1. Tabel Pelayanan Asuhan Gizi Terstandard (PAGT)

CATATAN ASUHAN GIZI

Nama : Ny. S

No. Register : Xxxxx

Ruang/Bed : HCU Isolasi

Usia : 58 tahun (P)

Diagnosis Penyakit : DM Nefropati Stage 3 dengan Covid

ASSESSMENT/REASSESSMENT KESIMPULA
N

ANTROPOM BB = 60 kg N
ETRI
TB = 155 cm

IMT = 24,9 (N = 18,5 – 25 ) Kemenkes RI.2003

BIOKIMIA Data Hasil SKadaa Nilai B.D 1.5.2


Ket
Lab Lab tuan Rujukan Hyperglikemia
Gula
<120 B.D 1.10.1
Darah 426 mg/dL T
Acak Anemia
Hb 10,6 g/dL 12-16 R
B.D 1.2.6
Kalium 2,79 mmol/L 3,0-5,0 R
Hyperkloremia
95,0-
Chlorida 118 mmol/L T
105,0 B.D 1.2.7
BUN 25 mg/dL 10,0-24,0 T Hypokalemia
Swab Positif Negatif
PCR 30,6 >40 B.D 1.2.3
Kreatini BUN tinggi
7,5 mg/dL 0,6-1,5
n
PCR Swab (+)
Covid 19

B.D 1.2.2
Kreatinin
tinggi

FISIK-KLINIS P.D 1.1.9


Tekanan
Data Nilai darah tinggi,
Nilai Satuan Ket
Klinis Rujukan RR tinggi dan
Tekanan 128/8
mmHg 120/80 T suhu rendah
Darah 7
Suhu 36,4 o
C 36,5-37,5 R P.D 1.1.5
RR 22 /menit 12-16 T Abdomen
supel dan
nyeri
Data Fisik :
pinggang
Abdomen supel BU(+) N, Nyeri pinggang hingga
hingga tungkai
tungkai kanan
kanan
GCS 456 – lemas
P.D 1.1.1
Pasien
merasa lemas

RIWAYAT RIWAYAT GIZI DAHULU F.H 1.1.1.1


GIZI Asupan
Berusaha menjalankan diet DM dengan mengurangi makanan tidak
makan minum manis dan mengurangi nasi adequat

F.H 7.3.1
RIWAYAT GIZI SEKARANG Bedrest

a. Diet dari sebelum MRS yaitu Diet LLCDM 1500


Kkal, protein 1 gram/kgBB/hari
b. Tidak membawa makanan dari luar
c. Asupan makan ½ dari kebutuhan harian dengan
rincian :
Asessment Prote
Energi Kh Lemak
Awal in
Kebutuhan 1324,3 198,64 39,6 44,15
Asupan 750 119 21 24
% Asupan 56,6 59,9 53 54,4

AKTIFITAS FISIK: bed rest

RIWAYAT PEKERJAAN: -
PERSONAL
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU : DM+ 5 tahun C.H 2.1.4
DM Nefropati
RIWAYAT PENTAKIT KELUARGA: - Stage 3
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG: DM Nefropati dengan Covid
Stage 3 dengan Covid

EDUKASI GIZI: -

DIAGNOSA N.C 2.2


GIZI Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi khusus yang berkaitan
dengan gangguan fungsi ginjal dan penyakit diabetes serta Covid 19
ditandai oleh ketidaknormalan kadar BUN, kreatinin, glukosa darah
acak tinggi, hyperkloremia, hypokalemia dan tekanan darah tinggi

N.I 1.2
Kekurangan intake energi berkaitan dengan kondisi pasien yang
lemas ditandai dengan asupan makanan ½ dari kebutuhan harian

Intervensi : RENCANA
MONITORING &
N.D-2.1.1
EVALUASI
Pemberian diet lunak
Asupan makan sesuai
R.C-1.5
kebutuhaan gizi yang
Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk mengurangi
dibutuhkan pasien.
mual pada pasien
Ketepatan diet sesuai
E-1.3
preskrip diet.
Edukasi kepada keluarga pasien untuk memonitoring asupan
harian pasien Biokimia : Gula Darah
Acak, Hb, Kalium,
Chlorida, dan BUN
PERUBAHAN DIET -
Fisik Klinis : Tekanan
Darah, suhu, RR
2. Tabel Monitoring Evaluasi

CATATAN ASUHAN GIZI


RESUME PAGT
(Monitoring Evaluasi)
Nama : Ny. S Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 58 tahun Nomor Registrasi : xxxxx
Biokimia Identifikasi
Klinik (Fisik Rencana Tindak
Antropometri Diet Edukasi Masalah
Hasil Normal dan Klinis) Lanjut
Baru
GDA = <120
mg/dL TD=128/87mm
GDA = 593
Hg
mg/dL
Hb = 12-16 (N = 120/80
g/dL mmHg) Memberikan diet
Hb = 10,5
sesuai standard
g/dL
Kalium = Suhu=36,4oC kebutuhan pasien
3,0-5,0 (N 36,5oC- LLCDM 1500 Asupan yaitu LLCDM
Kalium = Memotivasi
BB = 60 kg mmol/L 37,5oC) kkal makan 1300 kkal
Assessment 2,89 mmol/L pasien agar
TB = 155 cm inadequat
Awal dapat
IMT = 24,9 Chlorida RR= 22 /menit Asupan : ½ Meningkatkan
menghabiskan
=95,0-105,0 (N=12-16/menit dari standard asupan pasien
Chlorida makanannya
mmol/L ) diet hingga minimal
=109,9 70% asupan
mmol/L
BUN= 10,0- Abdomen Supel
24,0 mg/dL BU (+) N
BUN= 26
mg/dL
Swab PCR GCS 456
(+) Covid 19
GDA = <120 TD=82/54
mg/dL mmHg
GDA = 426
(N = 120/80
mg/dL
Hb = 12-16 mmHg)
g/dL
Hb = 10,6
Suhu=36,2oC
g/dL
Kalium = (N 36,5oC-
3,0-5,0 37,5oC) Asupan turun
Kalium =
mmol/L ¼ dari
2,79 mmol/L Mengedukasi Asupan Pemasangan
Monev 1 - RR= 25 /menit standard diet
(N=12-16/menit keluarga makan sonde CDMRP
Chlorida LLCDM 1300
) mengenai menurun 6x200 cc
=95,0-105,0 kkal
Chlorida mmol/L pemasangan
=118 Abdomen Supel NGT
mmol/L BU (+) N
BUN= 10,0-
24,0 mg/dL
BUN= 25 Gcs 456
mg/dL (Lemas)
Swab PCR
(+) Covid 19
Monev 2 - GDA =212 GDA = <120 TD=137/81
mg/dL mg/dL mmHg
(N = 120/80 Asupan -
Hb = 13,2 Hb = 12-16 mmHg) sonde 100%
g/dL g/dL Berkoordinasi
Suhu=36,8oC - dengan dokter
Kalium = Kalium = (N 36,5oC- dan perawat
4,45 mmol/L 3,0-5,0 37,5oC) untuk memantau
mmol/L biokimi, fisik dan
RR= 16 /menit klinis pasien
Chlorida Chlorida (N=12-16/menit
=105 mmol/L =95,0-105,0 )
mmol/L
BUN= 19 Abdomen Supel
BUN= 10,0- BU (+) N
24,0 mg/dL
mg/dL Gcs 456
Swab PCR (Lemas)
(+) Covid 19
3. Tabel CDMRP 1300 kkal

Nama Takaran/Sajian Energi Protein Lemak


Kh (g)
Produk (g) (kkal) (g) (g)
Diabetasol 25 108,33 16,25 4,17 2,92
Nefrisol 25 111,94 18,28 1,87 3,73
Nilai Gizi 200 cc 220,27 34,53 6,03 6,65
Nilai Gizi 6x200 cc 1321,64 207,2 36,19 39,89
Kebutuhan pasien 1324,27 198,64 39,6 44,15
%Asupan 99,80 104,30 91,38 90,35
DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI
RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA

LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN STUDI KASUS
ASUHAN GIZI PADA PENDERITA
DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI
RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA

Telah disetujui pada 25 April 2021

Mengetahui, Menyetujui
Ka. Instalasi Gizi Instruktur Klinik

..............................................................
NIP........................................................ SITI NUR FATIKHAH, A.Md,Gz
NIP........................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hiperglikemi merupakan kondisi medik berupa peningkatan kadar


glukosa dalam darah melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan
salah satu tanda terjadinya diabetes melitus (DM). Badan Kesehatan
Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang DM
yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global. WHO memprediksi
kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini
menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-
3 kali lipat pada tahun 2035. Sedangkan International Diabetes
Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM
di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada
tahun2035 (Perkeni, 2015).

Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007


oleh Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi
DM di daerah urban untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%.
Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan
terbesar di Propinsi Maluku Utara dan Kalimantan Barat yang mencapai
11,1%. Sedangkan prevalensi toleransi glukosa terganggu (TGT),
berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi sampai 21,8% di Propinsi Papua
Barat dengan rerata sebesar 10.2%(Perkeni, 2015).

DM merupakan penyakit menahun yang akan disandang seumur


hidup. Pengelolaan penyakit ini memerlukan peran serta dokter,
perawat, ahli gizi, dan tenaga kesehatan lain. Pasien dan keluarga juga
mempunyai peran yang penting, sehingga perlu mendapatkan edukasi
untuk memberikan pemahaman mengenai perjalanan penyakit,
pencegahan, penyulit, dan penatalaksanaan DM. Pemahaman yang
baik akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan keluarga
dalam upaya penatalaksanaan DM guna mencapai hasil yang lebih
baik. Keberadaan organisasi profesi seperti PERKENI dan IDAI, serta
perkumpulan pemerhati DM yang lain seperti PERSADIA, PEDI, dan
yang lain menjadi sangat dibutuhkan. Organisasi profesi dapat
meningkatkan kemampuan tenaga profesi kesehatan dalam
penatalaksanaan DM dan perkumpulan yang lain dapat membantu
meningkatkanpengetahuan penyandang DM tentang penyakitnya dan
meningkatkan peran aktif mereka untuk ikut serta dalam pengelolaan
dan pengendalian DM.(Perkeni, 2015)

B. Tujuan Umum
Memberikan asuhan gizi pada pasien Diabetes Melitus dan Hipertensi

C. Tujuan Khusus
1.Melakukan pengkajian gizi pada pasien Diabetes Melitus dan Hipertensi
2.Menetapkan diagnosis gizi pada pasien Diabetes Melitus dan Hipertensi
3.Merencanakan intervensi gizi untuk pasien Diabetes Melitus dan Hipertensi
4. Melakukan monitoring dan evaluasi pada pasien Diabetes Melitus dan
Hipertensi

D. Manfaat Studi Kasus


1.Menambah wawasan mengenai penyakit Diabetes Melitus dan Hipertensi
2.Mengasah kemampuan dalam melakukan asuhan gizi klinik
3.Mengasah kemampuan dalam membuat rencana intervensi serta monitoring
dan evaluasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Diabetes Melitus
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2015). Gejala yang
dikeluhkan pada penderita Diabetes Melitus yaitu
polidipsia,poliuria,polifagia,penurunan beratbadan,kesemutan

2. Klasifikasi Diabetes Millitus

Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2015) adalah sebagai


berikut :
a. Diabetes melitus (DM) tipe 1
DM yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel beta di pankreas.
kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang terjadi secara
absolut. Penyebab dari kerusakan sel beta antara lain autoimun dan
idiopatik.
b. Diabetes melitus (DM) tipe 2
Penyebab DM tipe 2 seperti yang diketahui adalah resistensi insulin. Insulin
dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara optimal
sehingga menyebabkan kadar gula darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi
insulin juga dapat terjadi secara relatif pada penderita DM tipe 2 dan sangat
mungkin untuk menjadi defisiensi insulin absolut.
c. Diabetes melitus (DM ) tipe lain
Penyebab DM tipe lain sangat bervariasi. DM tipe ini dapat disebabkan oleh
defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin
pankreas, endokrinopati pankreas, obat, zat kimia, infeksi, kelainan
imunologi dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
d. Diabetes melitus Gestasional
Diabetes tipe ini menyerang wanita hamil dan hanya berlangsung pada
waktu kehamilan. Sama seperti DM tipe 2, penyebab dari Diabetes Millitus
Gestasional karena resistensi insulin pada masa kehamilan. Kondisi ini
membutuhkan perhatian serius karena dapat mengancam jiwa ibu dan
anak.
.
3. Diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah
vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.


Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan
seperti:

 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskansebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva padawanita.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau
kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi:
toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa
terganggu(GDPT).

 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan


glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO
glukosa plasma 2-jam <140mg/dl;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa
plasma puasa <100mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT danTGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka5,7-6,4%.

Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis


Diabetes Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko
tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik DMyaitu:

1. Kelompokdenganberatbadanlebih(IndeksMassaTubuh[IMT]
≥23 kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai
berikut:

a. Aktivitas fisik yangkurang.


b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM
dalamkeluarga).
c. Kelompok ras/etnistertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4
kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk
hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistikovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko diatas.
Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma
normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok
prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.

Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas


pemeriksaan TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan
mengunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler, diperbolehkan untuk
patokan diagnosis DM.

4. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan


pada metabolisme zat gizi karena insulin tidak dapat bekerja secara
optimal, jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya.
Gangguan tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu pertama karena
kerusakan pada sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti
zat kimia, virus dan bakteri. Penyebab yang kedua adalah penurunan
reseptor glukosa pada kelenjar pankreas dan yang ketiga karena
kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer (Fatimah, 2015).
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe-2 Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini
dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot,
liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya
lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ
penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting
dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konseptentang
(Perkeni, 2015):
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan
patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbA1csaja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja
obat pada gangguan multipel dari patofisiologi DMtipe2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi
pada penyandang gangguan toleransiglukosa.

Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh


delapan hal (omnious octet) berikut :

1. Kegagalan sel betapancreas:


Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah
sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini
adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.

2. Liver:

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat


danmemicugluconeogenesissehinggaproduksiglukosadalamkeadaan
basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat
yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan
proses gluconeogenesis.

3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot,
penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.

4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak
bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. PenigkatanFFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.

5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal
sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-
like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah
kelompok DPP-4 inhibitor.

Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan


karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah
polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh
usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat
yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah
akarbosa.

6. Sel AlphaPancreas:
Sel- pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel- berfungsi dalam
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma
akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan
basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat
yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor
glukagon meliputi GLP-1 agonis,DPP- 4 inhibitor danamylin.

7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis
DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan
puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui
peran SGLT-2 (Sodium Glucose co- Transporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi
melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga
akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus
ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja
di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu
contohobatnya.

8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu
yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.
Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin
danbromokriptin.

5. Gejala
Gejala yang muncul pada penderita Diabetes Mellitus menurut Alfi (2019)
diantaranya :
a. Poliuri (banyak kencing)
Poliuri merupakan gejala awal diabetes yang terjadi apabila kadar gula
darah sampai di atas 160-180 mg/dl. Kadar glukosa darah yang tinggi akan
dikeluarkan melalui air kemih, jika semakin tinggi kadar glukosa darah
maka ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang banyak. Akibatnya
penderita diabetes sering berkemih dalam jumlah banyak.
b. Polidipsi (banyak minum)
Polidipsi terjadi karena urin yang dikeluarkan banyak, maka penderita akan
merasa haus yang berlebihan sehingga banyak minum.
c. Polifagi (banyak makan)
Polifagi terjadi karena berkurangnya kemampuan insulin mengelola kadar
gula dalam darah sehingga penderita merasakan lapar yang berlebihan.
d. Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan terjadi karena tubuh memecah cadangan energi
lain dalam tubuh seperti lemak
6. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2
secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan
secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas
kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai
sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan
setiap penyandang DM (Perkeni, 2015)

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama


dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-
masing individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai
pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan
kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang
meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.

Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:

A. Karbohidrat (Perkeni, 2015)


1. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserattinggi.
2. Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
3. Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang
diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yanglain
4. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupanenergi.
5. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal
tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted
DailyIntake/ADI).
6. Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan seperti buah atau makananlain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.
B. Lemak
1. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori,
dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupanenergi.
2. Komposisi yangdianjurkan:
3. lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.
4. lemak tidak jenuh ganda < 10%.
5. selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
6. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain:
daging berlemak dan susufullcream.
7. Konsumsi kolesteroldianjurkan < 200 mg/hari.

C. Protein

1. Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupanenergi.

2. Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu dantempe.

3. Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan


protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan
energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali
pada penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan
protein menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari.

A. Natrium
1. Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama
dengan orang sehat yaitu <2300 mgperhari.
2. Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu
dilakukan pengurangan natrium secaraindividual.
3. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin,
soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan
natriumnitrit.

B. Serat

1. Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari


kacang- kacangan, buah dan sayuran serta sumber
karbohidrat yang tinggiserat.
2. Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal
dari berbagai sumber bahanmakanan.

F. Pemanis Alternatif
1. Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak
melebihi batas aman (Accepted DailyIntake/ADI).
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Gambaran Umum

Nama Ny. N
Umur 64 th
Jenis Kelamin Perempuan
BB 50 kg
TB 155 cm
Diagnosis
DM HT
Medis
BUN : 25 mg/dL
Kreatinin : 1,2 mg/dL
Albumin : 4,41 mg/dL
Na : 139,8 mEq/L
Biokimia
K : 3,99 mmol/L
Cl : 110,8 mmol/L
GDA : 274 mg/dL

Pusing
GCS 456
TD : 147/75mmHg (normal : 120/80 mmHg)
Nadi : 78x/menit (normal : 60-100x/menit)
Suhu : 36,10C (36,5-37,50C)
Fisik Klinis
RR : 16x/menit (12-20x/menit)
SpO2 : 98-100%
Terpasang NGT
Terpasang O2 masker 6 lpm

Saat pasien MRS, diberi NGT lalu keluar cairan hitam


Riwayat Gizi (hematin) -> pasien dipuasakan
Terdahulu Infus NS 1500 ml

Diet CDM (Diabetasol) 4x150 cc

Nilai zat gizi


Energi : 624 kkal (42% dari kebutuhan energi)
Riwayat Gizi Protein : 24 g (40% dari kebutuhan protein)
Sekarang Lemak : 16,8 g (43% dari kebutuan lemak)
KH : 93,6 g (42% dari kebutuhan karbohidrat)

Infus NS 1500 ml

Riwayat
-
Penyakit
B. Assessment
1.Antropometri (AD)
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tubuh pasien untuk mengetahui
status gizi pasien tersebut. Pada kasus ini pengukuran antropometri menggunakan
IMT. Data yang diperlukan untuk mengetahui IMT pasien adalah BB dan TB.
Pada pasien diketahui BB pasien adalah 50 kg dan TB pasien adalah 155 cm.
Untuk mengetahui IMT maka diperlukan perhitungan yaitu :
IMT = BB(kg)/TB(m)2
IMT = 50/1,552
IMT = 20,8
Didapatkan IMT pasien adalah 20,8. Selanjutnya IMT tersebut dibandingkan
dengan standard menurut Kemenkes RI. Berikut adalah kategori IMT menurut
Kemenkes RI :

Kategori IMT
Kurus Kekurangan BB tingkat berat < 17,0
Kekurangan BB tingkat berat 17,0-18,4
Normal 18,5 – 25,0
Gemuk Kelebihan BB tingkat berat 25,1 – 27,0
Kelebihan BB tingkat berat >27,0

Berdasarkan klasifikasi BB diatas dapat diketahui IMT pasien berada pada


kategori normal

2. Pemeriksaan Biokimia (BD)


Pemeriksaan biokimia adalah pemeriksaan yang dilakukan secara uji
laboratoris pada spesimen jaringan tubuh tertentu yang bertujuan untuk
mengetahui suatu masalah pada spesimen tersebut. Pemeriksaan biokimia
pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi adanya defisiensi zat gizi pada
kasus yang lebih parah lagi, dimana dilakukan pemeriksaan dalam suatu bahan
biopsi sehingga dapat diketahui kadar zat gizi atau adanya simpanan di jaringan
yang paling sensitif terhadap deplesi, uji ini disebut uji biokimia statis .Dari uji
tersebut dapat diketahui bahwa terdapat beberapa status biokimia darah yang
tidak sesuai dengan nilai rujukan. Berikut adalah hasil uji biokimia pasien :
Data Hasil Satuan Nilai
Ket
Lab Lab Rujukan
Gula mg/dL
Darah 274 <120 T
Acak
mmol/L 96,0-
Chlorida 110,8 T
106,0
BUN 25 mg/dL 10,0-24,0 T

Dari hasil laboratorium di atas, pasien mengalami hiperglikemia dengan


GDA lebih dari normal. Hal ini yang menjadi penyebab pasien mengalami
diabetes melitus.
Jumlah klorida dalam tubuh ditentukan oleh keseimbangan antara
klorida yang masuk dan yang keluar. Klorida yang masuk tergantung dari
jumlah dan jenis makanan. Kandungan klorida dalam makanan sama
dengan natrium. Orang dewasa pada keadaan normal rerata mengkonsumsi
50-200 mmol klorida per hari, dan ekskresi klorida bersama feses sekitar 1-2
mmol perhari.
Tes BUN(Blood Urea Nitrogen) atau ureum adalah tes yang lazim
dilakukan oleh pasien Diabetes. Tes ini bertujuan untuk mengukur kadar
urea nitrogen dalam darah. Urea nitrogen adalah zat sisa metabolisme yang
normalnya disaring oleh ginjal dan dibuang bersama urine. Ginjal juga
mengeluarkan sampah metabolisme yaitu urea, kreatinin asam urat dan zat
kimia asing (Rivandi.2018). Pada pasien Diabetes keadaan ini membuat
ginjal kesulitan melakukan tugasnya untuk menyaring sampah sisa
metabolisme tersebut.
3. Pemeriksaan Fisik Klinis (PD)
Pemeriksaan fisik klinisdilakukan untuk mengetahui tanda vital dan
tanda klinis pasien. Pada kasus Ny. N telah terpasang NGT dan O2 masker
6 lpm
Pada data fisik yang didapatkan dari pasien Ny.N adalah sebagai
berikut :
Data Klinis
- Pusing
- GCS 456
- TD : 147/75mmHg (normal : 120/80 mmHg)
Nadi : 78x/menit (normal : 60-100x/menit)
Suhu : 36,10C (36,5-37,50C)
RR : 16x/menit (12-20x/menit)
SpO2 : 98-100%
- Terpasang NGT
- Terpasang O2 masker 6 lpm

Tekanan darah tinggi berkaitan dengan kelebihan gula darah. Menurut


Tanto dan Hustrini (2014) diabetesmelitus yang ditandai dengan adanya
hiperglikemiamerupakan salah satu faktor resiko terjadinyahipertensi.Cheung et
al (2012) menyebutkanbahwa hiperglikemia sering disertai dengan timbulnya
sindrom metabolik yaitu hipertensi, dislipidemia,obesitas, disfungsi endotel dan
faktor protrombotikyang kesemuanya itu akan memicu dan memperberat
komplikasi kardiovaskuler. Salah satu komplikasi makroangiopati diabetes
dapat terjadi karenaperubahan kadar gula darah, gula darah yang tinggiakan
menempel pada dinding pembuluh darah.Setelah itu terjadi proses oksidasi
dimana gula darah bereaksi dengan protein dari dinding pembuluh darah yang
menimbulkan AGEs. Advanced Glycosylated Endproducts (AGEs) merupakan
zat yang dibentuk dari kelebihan gula dan protein yangsaling berikatan.
Keadaan ini merusak dindingbagian dalam dari pembuluh darah, dan
menariklemak yang jenuh atau kolesterol menempel pada dinding pembuluh
darah, sehingga reaksi inflamasi terjadi. Sel darah putih (lekosit) dan sel
pembekuandarah (trombosit) serta bahan-bahan lain ikutmenyatu menjadi satu
bekuan plak (plaque), yangmembuat dinding pembuluh darah menjadi
keras,kaku dan akhirnya timbul penyumbatan yangmengakibatkan perubahan
tekanan darah yangdinamakan hipertensi (Tandra, 2009). Mutmainah(2012)
dalam penelitian sebelumnya menunjukkanadanya hubungan antara kadar gula
darah denganhipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2.

Suhu rendah pada pasien tersebut disebabkan karena pada lansia


terjadi perubahan fungsi metabolik, seperti peningkatan sensitivitas pada
reseptor insulin periferal, dan juga penurunan respons adrenokortikotropik
terhadap faktor respons.

4. Riwayat Gizi
a. Riwayat Gizi Terdahulu
Pada data riwayat gizi terdahulu, pasien dipuasakan karena saat diberi
NGT, keluar cairan hitam (hematin) disebabkan karena adanya gangguan
gastrointestinal dan diberi infus NS 1500 ml
b. Riwayat Gizi Sekarang
Saat ini pasien menerima dietCDM (Diabetasol 4x150 cc) 624 kalori
dengan protein sebesar 24 gram, lemak 16,8 g, dan karbohidrat 93,6 g.
Intake pasien saat ini masih kurang dibandingkan dengan angka yang
dibutuhkan. Energi yang masuk hanya 42% dari kebutuhan. Sedangkan,
untuk protein 40%, lemak 43%, dan karbohidrat 42%. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa asupan pasien tidak adekuat.
5.Riwayat Personal
Saat ini pasien berusia 64 tahun dan bekerja sebagai dosen di salah satu
universitas yang ada di Bali. Pasien tinggal bersama suami di Bali. Saat
bertugas di Surabaya, lalu sembahyang di pura, tiba-tiba pasien muntah
sebanyak 6 x dan pingsan.
6. Diagnosis Gizi
1. NI-2.11 Asupan inadekuat terkait pemberian makanan secara bertahap
pasca gangguan gastrointestinal ditandai dengan asupan energi 624
kkal (42% kebutuhan)
2. NC-2.2 Perubahan nilai laboratorium berkaitan dengan penurunan
fungsi endokrin ditandai dengan peningkatan GDA 274 mg/dL
3. NB-1.1Kurangnya pengetahuan tentang makanan cair DM terkait belum
pernah mendapat konsultasi gizi ditandai dengan keluarga pasien ingin
mengetahui resep makanan cair DM

7. Rencana Intervensi
A. Intervensi Diet
1. Tujuan Intervensi
Memberikan asupan energi sesuai kondisi pasien secara
bertahap mulai dari 80%-100% kebutuhan gizi (E : 1500
kkal) selama 3 hari
2. Prinsip diet
3J (Tepat jumlah, jadwal, dan jenis)
3. Preskripsi diet
CDM (6 x 200 cc) melalui NGT

B. Syarat Diet
1. Energi Diberkan bertahap, mulai dari 80-100 % (1200-
1500 kkal)
2. Portein diberikan mulai dari 45-56 g/hari
3. Lemak diberikan mulai dari 33-42 g/hari
4. KH diberikan mulai dari 180-225 g/hari
C. Intervensi Edukasi

1. Tujuan : Mengedukasi keluarga pasien mengenai diet DM dan


cara pembuatan makanan cair
2. Waktu : 30 menit

3. Metode : Penjelasan dan tanya jawab

4. Alat bantu: Leaflet dan food model

5. Materi: Diet pasien Diabetes Melitus dan Hipertensi dan cara


pembuatan makanan cair
D. Perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi (PERKENI, 2015)

BEE :
BB aktual x 25 kkal = 1250 kkal
REE :
BEE + FA + FS – FU
1250 kkal + (10% x 1250 kkal) + (20% x 1250 kkal) – (10% x 1250
kkal)
= 1500 kkal
Protein :
15% dari energi/hari
= 15% x 1500 kkal
= 225 kkal
= 56 g/hari
Lemak :
25% dari energi/hari
= 25% x 1500 kkal
= 375 kkal
= 42 g
KH :
60% dari energi/hari
= 60% x 1500 kkal
= 900 kkal
= 225 g/hari
Kebutuhan cairan :
30cc/kgBB/hari = 1500 cc
E. Implementasi
Implementasi asuhan gizi, intervensi dan pemberian edukasi
dilakukan oleh ahli gizi RSPAL Dr. Ramelan Surabaya secara berkala.
Dilakukan setiap visite pasien kepada keluarga pasien.
F. Monitoring dan Evaluasi
Pada saat setelah dilakukan operasi, pasien dipuasakan karena
terdapat cairan hitam pada NGT. Setelah kondisi pasien mulai stabil,
pasien diberikan Diet CDM (Diabetasol 4x150 cc). Namun, asupan
tersebut belum mencukupi kebutuhan gizi pasien. Oleh karena itu, perlu
adanya pemberian asupan secara berkala sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi pasien. Pasien Ny. N diberi asupan enteral 6x200 cc/hari dengan
Blendera 6 x 44 gram.
Berdasarkan data monitoring pasien, didapatkan grafik
pemenuhan gizi sebagai berikut :

A. Energi

Energi (kkal)
1600 1500 1500 1500
1485 1485
1400
1188
1200

1000

800

600

400

200
1
0
Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3

Energi Kebutuhan

Dari data di atas, dapat dilihat bahwa kebutuhan energi


pasien sesuai dengan Perkeni (2015) yaitu sebesar 1500 kkal. Pada
saat pasien masuk rumah sakit, energi yang terpenuhi hanya 42%
dari kebutuhan, yaitu sebesar 624 kkal. Namun, terjadi peningkatan di
hari pertama monitoring yaitu sebesar 80% dari kebutuhan, yaitu
1188 kkal. Sedangkan untuk hari ke 2 dan ke 3 adalah sama, yaitu
99% kebutuhan (1485 kkal). Asupan energi pasien sudah memenuhi
angka AKG sebesar lebih dari 85% kebutuhan.
Peningkatan asupan energi pada pasien terjadi karena
kondisi pasien mulai membaik, ditandai dengan GCS pasien pada
hari ke 2 dan ke 3 sudah normal dan tidak lemas. Nafsu makan
pasien juga naik, walaupun tekanan darah pasien masih tinggi.
Pemenuhan energi yang sesuai pada pasien sangat dibutuhkan
karena tanpa pemenuhan energi yang optimal maka proses
penyembuhan pasien pun tidak akan optimal (Mardalena, 2016)
B. Protein

Protein (g)
70
61 61
60 56 56 56
49
50

40

30

20

10
1
0
Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3

Protein Kebutuhan

Dari data di atas, dapat dilihat bahwa kebutuhan protein


pasien sesuai dengan Perkeni (2015) yaitu sebesar 56 gram. Pada
saat pasien masuk rumah sakit, protein yang terpenuhi hanya 43%
dari kebutuhan, yaitu sebesar 24 gram. Namun, terjadi peningkatan di
hari pertama monitoring yaitu sebesar 87% dari kebutuhan, yaitu
48,84 gram. Sedangkan untuk hari ke 2 dan ke 3 adalah sama, yaitu
109% kebutuhan atau sebesar 61 gram. Hasil perhitungan tersebut
kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
dengan klasifikasi, yaitu Lebih (>110%), Baik (80-110%), dan Kurang
(<80%).
Peningkatan asupan protein pada pasien terjadi karena
kondisi pasien mulai membaik, ditandai dengan GCS pasien pada
hari ke 2 dan ke 3 sudah normal dan tidak lemas. Nafsu makan
pasien juga naik, walaupun tekanan darah pasien masih tinggi.
Pemenuhan protein yang sesuai pada pasien sangat dibutuhkan
karena protein merupakan zat pembangun yang berfungsi untuk
mengganti jaringan yang rusak maupun membentuk jaringan baru
untuk pertumbuhan (Mardalena, 2016).
C. Lemak

Lemak (g)
60.00

49.60 49.60
50.00
42 42 42
39.70
40.00

30.00

20.00

10.00

1
0.00
Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3

Lemak Kebutuhan

Dari data di atas, dapat dilihat bahwa kebutuhan lemak


pasien sesuai dengan Perkeni (2015) yaitu sebesar 42 gram. Pada
saat pasien masuk rumah sakit, protein yang terpenuhi hanya 40%
dari kebutuhan, yaitu sebesar 16,8 gram. Namun, terjadi peningkatan
di hari pertama monitoring yaitu sebesar 39,7 g (94,5%) dari
kebutuhan. Sedangkan untuk hari ke 2 dan ke 3 adalah sama, yaitu
118% kebutuhan atau sebesar 49,6 gram. Hasil perhitungan tersebut
kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
dengan klasifikasi, yaitu Lebih (>110%), Baik (80-110%), dan Kurang
(<80%). Sehingga, pada hari ke 2 dan 3 terjadi kelebihan asupan
lemak (118% kebutuhan).
Peningkatan asupan lemak pada pasien terjadi karena
kondisi pasien mulai membaik, ditandai dengan GCS pasien pada
hari ke 2 dan ke 3 sudah normal dan tidak lemas. Nafsu makan
pasien juga naik, walaupun tekanan darah pasien masih tinggi.
Pemenuhan lemak yang sesuai pada pasien sangat dibutuhkan
karena lemak berfungsi untuk memberdayakan vitamin. Lemak dapat
mempermudah penyerapan vitamin A, D, E, dan K (Mardalena, 2016).
D. Karbohidrat

Karbohidrat (g)
250.00
225 225 225
206.00 206.00
200.00
164.80
150.00

100.00

50.00

1
0.00
Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3

Karbohidrat Kebutuhan

Dari data di atas, dapat dilihat bahwa kebutuhan lemak


pasien sesuai dengan Perkeni (2015) yaitu sebesar 225 gram. Pada
saat pasien masuk rumah sakit, protein yang terpenuhi hanya 42%
dari kebutuhan, yaitu sebesar 93,6 gram. Namun, terjadi peningkatan
di hari pertama monitoring yaitu sebesar 164,8 g (73%) dari
kebutuhan. Sedangkan untuk hari ke 2 dan ke 3 adalah sama, yaitu
92% kebutuhan atau sebesar 206 gram. Hasil perhitungan tersebut
kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG)
dengan klasifikasi, yaitu Lebih (>110%), Baik (80-110%), dan Kurang
(<80%). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa asupan karbohidrat
pasien pada hari ke 2 dan 3 sudah baik dan sesuai dengan nilai AKG.
Peningkatan asupan karbohidrat pada pasien terjadi
karena kondisi pasien mulai membaik, ditandai dengan GCS pasien
pada hari ke 2 dan ke 3 sudah normal dan tidak lemas. Nafsu makan
pasien juga naik, walaupun tekanan darah pasien masih tinggi.
Pemenuhan karbohidrat yang sesuai pada pasien sangat dibutuhkan
karena . karbohidrat merupakan sumber energi untuk tubuh.
Keberadaan karbohidrat di dalam tubuh disimpan sebagai cadangan
energi di dalam jaringan lemak. Selain itu, energi yang dihasilkan
karbohidrat digunakan untuk melakukan metabolisme pada organ-
organ tubuh untuk proses penyembuhan pasien (Mardalena, 2016).
BAB IV
KESIMPULAN & SARAN
A. Kesimpulan

1. Dari assesement yang telah dilakukan kepada pasien diketahui pasien


mengalami hyperglikemia, kadar BUN dan kreatin tinggi, hipertensi, PCR
Swab Positif Covid 19 pada hari akhir assessment, serta intake makanan
inadequat.

2. Diagnosis gizi pasien adalah Asupan inadekuat terkait pemberian


makanan secara bertahap pasca gangguan gastrointestinal ditandai
dengan asupan energi 624 kkal (42% kebutuhan)

3. Edukasi diberikan kepada pasien mengenai kendala dan motivasi untuk


menghabiskan makanan, serta edukasi keluarga pasien mengenai NGT
yang dipasang pada pasien dan cara membuat makanan cair.

4. Pasien telah mengalami perbaikan yang signifikan pada monev ke 2


namun masih harus memonitoring TD dan gula darah pasien.

B. Saran

1. Ahli Gizi harus senantiasa memantau perkembangan pasien melalui


monitoring evaluasi secara berkala

2. Ahli gizi harus senantiasa melakukan koordinasi dengan tenaga


kesehatan lainnya untuk menunjang proses penyembuhan pasien

3. Keluarga pasien senantiasa diberikan edukasi berkenaan dengan kondisi


pasien
LAMPIRAN
CATATAN ASUHAN GIZI
Nama : Ny. N

No. Register : XXXX

Ruang/Bed : -

Usia : 64 th

Diagnosis : Post op VP Shunt ec


Penyakit IVH + DM HT

ASSESSMENT/REASSESSMENT KESIMPULAN

ANTROPOMETRI BB : 50 kg Normal

TB : 155 cm

IMT : 20,8

BIOKIMIA - BD-1.2.1 - Gangguan


BUN : 25 mg/dL (8-24 mg/dL) fungsi endokrin
- BD-1.2.2 - Hiperklorida
Kreatinin : 1,2 mg/dL (0,5–1,5 mg/dL)
- Albumin : 4,41 mg/dL (3,5-5,5 mg/dL)
- Na : 139,8 mEq/L (135-145 mEq/liter)
- K : 3,99 mmol/L (3,7-5,2 mmol/L)
- BD-1.2.6
Cl : 110,8 mmol/L (96–106 mmol/L)
- BD-1.5.2
GDA : 274 mg/dL

FISIK-KLINIS - PD-1.1.6 - Hipertensi,


Pusing sesak, makan
- PD-1.1.7 melalui NGT
GCS 456
- PD-1.1.9
TD : 147/75mmHg (normal : 120/80
mmHg)
Nadi : 78x/menit (normal :
60-100x/menit)
Suhu : 36,10C (36,5-37,50C)
RR : 16x/menit (12-20x/menit)
SpO2 : 98-100%
- Terpasang NGT
- Terpasang O2 masker 6 lpm
CATATAN ASUHAN GIZI
RESUME PAGT
(Monitoring Evaluasi)
Nama : Ny. N Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 64 tahun Nomor Registrasi : xxxxx

Antropo Biokimia Klinik (Fisik Identifikasi


Diet Edukasi Rencana Tindak Lanjut
metri Hasil Normal dan Klinis) Masalah Baru

Monev BUN : BUN : 8- Lemah TD Tinggi


1 19mg/dL 24
GCS 446 CDM GDA masih tinggi Berkoordinasi dengan dokter
mg/dL
Kreatinin : 6x200 dan perawat terkait pemberian
TD : Penjelasan
0,7mg/dL cc terapi penurun glukosa darah
155/83mmH pemenuhan
Kreatinin dan Tensi darah
g Asupa kebutuhan
: 0,5–1,5
GDA : 291 n gizi,
mg/dL Nadi :
mg/dL pemberian
84x/menit E=118
GDA< makanan
200 8
Suhu : enteral
mg/dL kkal(8
36,80C dinaikkan
0 %)
dari
RR : sebelumnya
P=48,
16x/menit
84
SpO2 :100% g(87%
)
Terpasang
NGT L=39,
7
Antropo Biokimia Klinik (Fisik Identifikasi
Diet Edukasi Rencana Tindak Lanjut
metri Hasil Normal dan Klinis) Masalah Baru

g(94,5
%)
Terpasang
O2 masker 6 KH=1
lpm 64,8
g(73%
)

Monev GDA = GCS = 3 2 4


2 171 mg/dL
TD = 161/84
mmHg CDM Penjelasan TD tinggi
K : 2,81 6x250 pemenuhan
mg/dL N= cc) kebutuhan
gizi, Berkoordinasidengandokterdan
80x/menit Asupa
pemberian perawatuntukmengatasi TD
n
makanan
T = 36,60C E=148
enteral
5
SPO2 = 99% dinaikkan
kkal(9
dari
9%)
Kondisi sebelumnya
pasien P=61
lemah g(109
%)
L=49,
Antropo Biokimia Klinik (Fisik Identifikasi
Diet Edukasi Rencana Tindak Lanjut
metri Hasil Normal dan Klinis) Masalah Baru

6
g(118
%)
KH=2
06
g(92%
)

Monev GDA = GCS = 3 2 4 CDM Penjelasan TD masih tinggi Malam Hari Pasien pindah ke
287 mg/dL 6x250 cara resep, ruang HCU Isolasi
3 TD = 151/81 cc) cara dan
Malam
mmHg jadwal GDA naik
hasil Asupa
makanan
n
Swab N= cair DM
E=148
PCR jadi : Covid 19
100x/menit 5
(+)
kkal(9
T = 370C 9%)
P=61
SPO2 =
g(109
100% %)
L=49,
6
Antropo Biokimia Klinik (Fisik Identifikasi
Diet Edukasi Rencana Tindak Lanjut
metri Hasil Normal dan Klinis) Masalah Baru

g(118
Kondisi %)
pasien KH=2
06
lemah
g(92%
)
Lampiran 1
ASUHAN GIZI PADA PASIEN TYPOID FEVER
RUMKITAL DR. RAMELAN SURABAYA

LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN STUDI KASUS
ASUHAN GIZI PADA PASIEN TYPOID FEVER
RUMKITAL DR. RAMELAN SURABAYA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam tifoid atau yang dikenal dengan penyakit tipes merupakan infeksi
akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica reservoar typhi, umumnya
disebut salmonella enterica reservoir typhi, umumnya disebut salmonella typhi
(S.typhi). jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia diperkirakan terdapat 21 juta
kasus dengan 128.000 sampai 161.000 kematian setiap tahun, kasus terbanyak
terdapat di Asia Selatan dan Asia Tenggara (WHO, 2018).
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit saluran cerna, dan beberapa
kasus yang tergolong berat menyebabkan gangguan kesadaran (Akhsin, 2010).
Demam tifoid ini disebabkan oleh infeksi bakteri yang dapat masuk ke dalam tubuh
manusia melalui makanan yang tercemar, penyebarannya terjadi melalui fecal- oral.
Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang utama di dunia.
Lazim di tentukan di berbagai belahan dunia yang memiliki keterbatasan akses ke
sarana air bersih dan kurangnya sanitasi, seperti di India, Nepal, Pakistan, (Crump et
al., 2010). Estimasi global terbaru penyakit ini berkisar dari 21 juta kasus per tahun
dan 222.000 kematian per tahun di seluruh dunia (World Health Organization, 2014).

Penegakan diagnosis demam tifoid hanya dengan melihat tanda-tanda klinis


sulit dilakukan karena tidak spesifiknya tanda-tanda dan gejala yang timbul, Gejala
klinis demam tifoid yang timbul pada minggu pertama sakit yaitu keluhan demam,
nyeri kepala, malaise dan gangguan gastrointestinal (Sudoyo, 2009). Adapun
kategori suhu tubuh untuk mengetahui keluhan demam terdiri dari: (1). Hipotermi bila
suhu tubuh kurang dari 36°C, (2). Normal bila suhu tubuh berkisar antara 36°C
sampai dengan 37,5°C, (3). Febris/pireksia/demam bila suhu tubuh antara 37,5°C
sampai dengan 40°C, (4). Hipertermi, bila suhu tubuh lebih dari 40°C (Tamsuri,
2007).

Faktor-faktor yang sangat erat hubunganya dengan kejadian demam tifoid


adalah sanitasi lingkungan yang belum memenuhi syarat seperti tersedianya
pembuangan sampah dan limbah rumah tangga, tersedianya sarana tempat
penyimpanan makanan yang aman, sanitasi air bersih dan hygiene sanitasi
perorangan tang kurang baik seperti kebiasan mencuci tangan sebelum makan,
setelah buang air besar, hygiene makanan dan minuman yang rendah seperti
mencuci sayuran dengan air yang terkontaminasi atau penyajian makanan yang
kurang bersih atau sehat. Sanitasi lingkungan dan hygiene sanitasi perorangan
merupakan salah satu penyebab terjadinya kejadian demam tifoid terlihat dari
keadaan sanitasi lingkungan secara keseluruhan (Puskesmas Ngrambe, 2017).

B. Tujuan Studi Kasus


1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melakukan tata laksana gizi dan terapi diet pada pasien
Typoid Fever di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu melaksankan skrining gizi pasien Typoid Fever.
b. Mahasiswa mampu menuliskan diagnosis gizi pada pasien Typoid Fever.
c. Mahasiswa mampu Menyusun dan melaksanakan intervensi dan
implementasi gizi pada pasien Tyopid Fever.
d. Mahasiswa mampu melaksanakan monitoring dan evaluasi pada pasien
Typoid Fever.
e. Mahasiswa mampu Menyusun laporan asuhan gizi pada pasien Typoid
Fever.
C. Manfaat Studi Kasus
1. Manfaat Teoritis
Hasil studi kasus ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu
sarana untuk informasi kepada tenaga kesehatan khususnya profesi gizi
untuk memberikan konseling gizi pada pasien Typoid Fever.
2. Manfaat Praktis
Hasil studi kasus ini diharapkan dapat diguanakan sebagai bahan
masukan untuk memberikan pengetahuan pasien dan rumah sakit tentang
gizi kesehatan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Penyakit


1. Definisi Typhoid
Typhoid merupakan suatu penyakit infeksi sistematik yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhi, yang banyak dijumpai secara luas diberbagai
negara berkembang terutama yang terletak di daerah tropis dan subtropic.
Gejala yang muncul 1-3 minggu setelah terkena, dan mungkin ringan atau berat.
Gejala meliputi demam tinggi atau hipertermia pada malam hari, yang
berkepanjangan, kenaikan suhu pada minggu pertama, menurun pada pagi hari
dan meningkat pada sore dan malam hari, sakit kepala, mual, muntah,
kehilangan nafsu makan, sembelit, atau diare, disertai bitnik-bintik merah mudah
di dada (Rose spots), dan pembesaran limpa dan hati (Inawati, 2017).
Typhoid tidak hanya terjadi pada kalangan orang dewasa saja namun juga
terjadi pada usia anak-anak. Anak merupakan salah satu kelompok yang rentan
terhadap penularan bakteri atau virus yang disebarkan melalui proses
pencernaan makanan (food borne diseases). Food borne diseases merupakan
suatu penyakit karena adanya bakteri yang masuk dalam tubuh manusia melalui
proses pencernaan makanan. Gambaran klinis pada typhoid sangat bervariasi
mulai dari ringan sampai berat dengan komplikasi yang dapat menyebabkan
kematian (Putri, 2018).

2. Etiologi Typhoid
Etiologi demam typhoid adalah Salmonella thypi (S.thypi 90%) dan
Salmonella Parathypi (S. parathypi A, B serta C). Bakteri ini berbentuk batang,
gram negatif tidak membentuk spora, motil, berkapsul dengan mempunyai
flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai
beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es sampah dan debu
Namun bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 60°C selama 15-20
menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi (Wahyudi, dkk 2019).
Bakteri Salmonella typhi mempunyai antigen O (somatic) adalah
komponen dinding sel dari lipopolisakardia yang stabil pada panas dan antigen
H (flagellum) adalah protein yang labil terhadap panas. Pada salmonella typhi,
salmonella Dublin, salmonella hirschfeldii terhadap antigen Vi yaitu polisakarida
kapsul. Penularan bakteri salmonella typhi yaitu pasien dengan typhoid dan
pasien dengan carier, carier yairu sesorang yang sembuh dari typhoid dan masih
terus mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1
tahun (Widagdo, 2011).

3. Patofisologi
Penularan bakteri Salmonella typhi biasanya dapat tertularkan
melalui berbagai cara, diantaranya yaitu yang dikenal dengan 5F, Food
(makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan juga
dapat melalui feses. Feses dan muntah pada seseorang dengan penderita
typhoid dapat menularkan kuman Salmonella typhi kepada orang lain. Kuman
tersebut dapat ditularkan melalui perantara Fly (lalat), dimana lalat akan
hingap dimakanan atau minuman yang akan dikonsumsi oleh seseorang
yang sehat. Apabila seseorang tersebut kurang memperhatikan kebersihan
dirinya seperti mencuci tangan sebelum makan dan makanan yang tercemar
bakteri salmonella typhi masuk ke dalam tubuh seseorang yang
mengonsumsi makanan tersebut melalui mulut. (Sodikin, 2011).
Kemudian bakteri Salmonella typhi tersebut masuk ke dalam
lambung, sebagian bakteri yang masuk akan dimusnahkan oleh asam
lambung, sebagian lainnya masuk ke dalam usus halus bagian distal dan
mencapai jaringan limpoid (plak peyer). Di dalam jaringan limpoid bakteri
akan berkembang biak, melalui saluran limfe mesenterik lalu masuk ke aliran
darah sistemik (bakterimia I) dan mencapai sel-sel retikulo endotelial dari
hati dan limpa. Fase ini dianggap masa inkubasi 7-14 hari. Kemudian dari
jaringan ini bakteri dilepas ke sirkulasi sistemik (bakterimia II) melalui duktus
torasikus dan mencapai organ-organ tubuh terutama limpa, usus halus dan
kandung empedu.
Bakteri Samonella typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan
kompleks lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada patogenesis
typhoid. Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan
dimana bakteri Salmonella typhi berkembang biak. Sebagai stimulator yang
kuat untuk memproduksi sitokin oleh sel-sel makrofag dan sel lekosit di
jaringan yang meradang.
Sitokin ini merupakan mediator timbulnya demam dan gejala toksemia
(proinflamatory). oleh karena itu bakteri Salmonella typhi bersifat intraseluler
maka hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang-kadang pada
jaringan yang terinvasi dapat timbul infeksi. Kelainan patologis yang utama
terdapat di usus halus terutama di ileum bagian distal dimana terdapat
kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, plak peyer terjadi hiperpelasia
berlanjut menjadi nekrosis pada minggu ke 2 dan ulserasi pada minggu ke 3,
akhirnya terbentuk ulkus. Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan dan
perforasi yang merupakan komplikasi yang berbahaya. Hati membesar
karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuklear lainnya serta nekrosis
fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan rekulo endotelial lain
sperti limpa dan kelenjar.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid
sisebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental
disimpulkan bahwa endotoksemia buakn merupakan penyebab utama
demam pada typhoid. Endoktoksemia berperan pada patogenesis typhoid,
karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam ini
disebabkan karena adanya bakteri Salmonella typhi dan endotoksinnya
merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan
yang meradang (Sodikin, 2011).

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik pada typhoid menurut Nanda, 2015 :
a. Gejala pada anak : inkubasi antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14
hari.
b. Demam tinggi sampai akhir minggu pertama
c. Demam turun pada minggu ke 4, kecuali demam tidak tertangani akan
menyebabkan syok, stupor dan koma.
d. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
e. Nyeri kepala dan perut
f. Nyeri kepala dan perut
g. Kembung, mual muntah diare dan konstipasi
h. Pusing, bradikardi, nyeri otot
i. Batuk
j. Epistaksis
k. Lidah berselaput (kotor ditengah, ujung merah serta tremor)
Tanda dan gejala klinis penyakit typhoid sangat bervariasi, dari
gejala yang ringan sekali (sehingga tidak terdiagnosis), dan dengan gejala
yang khas (sindrom typhoid) sampai dengan gejala klinis berat yang
disertai komplikasi. Berdasarkan daerah atau negara serta menurut watu
di negara berkembang dapat berbeda dengan negara yang maju, tanda
dan gejala klinis yang timbul (Nanda, 2015).

Menurut Nanda, 2015 tanda dan gejala klinis yang sering muncul
pada typhoid meliputi :
a. Demam (peningkatan suhu tubuh)
Demam atau peningkatan suhu tubuh adalah gejala utama
pada typhoid. Apa awalnya penerita mengalami demam ringan,
selanjutnya suhu tubuh sering naik turun. Pada pagi hari suhu tubuh
lebih rendang atau normal dari pada sore hari dan malam hari suhu
tubuh lebih tinggi (demam intermitten). dari hari ke hari intensitas
demam pada penderita semakin tinggi disertai juga dengan gejala
klinis lainnya seperti sakit kepala (pusing) yang sering dirasakan
pada area frontal, nyeri pada otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia,
mual dan muntah. Pada minggu ke-2 intensitas demam pada
penderita semakin tinggi, kadang pula terus menerus (demam
kontinue). ketika kondisi pasien mulai membaik pada minggu ke-3
suhu badan berangsur menurun dan padat normal kembali pada
minggu ke-3 akhir. Demam yang khas pada typhoid tersebut tidak
selalu ada, tipe demam menjadi tidak beraturan, hal ini dikarenakan
intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal.
Pada anak khususnya balita, saat demam tinggi sangat rentang
terjadi kejang.
b. Gangguan Saluran Pencernaan
Pada pasien typhoid sering ditemukan bau mulut yang tidak
sedap karena adanya demam yang terlalu lama. Mukosa bibir kering,
kadang pecah-pecah, dan lidah terlihat kotor pucat. Ujung dan tepi
pada lidah kemerahan dan tremor (coated tongue/selaput putih).
Pada anak jarang ditemukan, dan pada umumnya pasien sering
mengeluh nyeri perut, terutama pada regio epigastrik (nyeri ulu hati),
desertai dengan mual dan juga muntah. Pada awalnya pasien sering
mengalami konstipasi. Pada minggu berikutnya pasien terkadang
mengalami diare.
c. Gangguan kesadaran
Pada umumnya terdapat gangguan kesadaran, kebanyakan
berupa penurunan kesadaran yang ringan. Apabila gejala klinis yang
timbul sangat berat tidak jarang pasien sampai somnolen dan koma
atau dengan gejala-gejala klinis seperti psychosis (Organic Brain
Syndrome).
d. Hepatosplenomegali
Gejala klinis pada hati atau limpa ditemukan adanya
pembesaran, dan adanya nyeri tekan
e. Bradikardia Relatif
Pada pasien typhoid, bradikardi relatif tidak sering ditemukan,
mungkin kerana teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi
relatif yaitu peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi. Bahwa setiap peningkatan suhu 1⁰C
tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.
Gejala lain yang timbul dapt ditemukan pada typhoid yaitu rose spot
(bintik merah) yang biasanya ditemukan diregio abdomen atas, serta
sudamina, serta gejala-gejala klinis yang berhubungan dengan
komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak sangatlah jarang
ditemukan, yang lebih sering yaitu epitaksis (gangguan rongga
hidung yang ditandai dengan keluarnya darah dari lubang hidung).

5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Sodikin, 2011), pemeriksaan penunjang pada pasien typhoid
adalah:
a. Pemeriksaan darah Prerifer lengkap.
b. Dapat ditemukan leukopenia, dapat pula leukositosis atau kadar
leukosit normal. Leukosit dapat terjadi walaupun tanpa disertai
infeksi sekunder.
c. Pemeriksaan SGOPT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali
normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak
dapat memerlukan penanganan khusus.
d. Pemeriksaan Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap
bakteri Salmonella tpyhi. Uji widal dilakukan untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum pasien typhoid. Akibat adanya infeksi
oleh Salmonella typhi maka pasien membuat antibodi (aglutinin).
1) Kultur
a) Kultur darah : bisa positif pada minggu pertama
b) Kultur urin : bisa positif pada akhir kedua
c) Kultur fases : bisa positif pada minggu kedua
hingga minggu ketiga

2) Anti Salmonella Typhi IgM


Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi
secara dini infeksi akut Salmonella typhi, karena
antibodi IgM muncul pada hari ke- 3 dan ke-4
terjadinya demam.

6. Penatalaksanaan Diet
a. Tujuan diet
Tujuan diet penyakit lambung adalah untuk memberikan makanan
dan cairan secukupnya yang tidak memberatkan lambung serta
mencegah dan menetralkan sekresi asam lambung yang berlebihan
(Instalasi Gizi Perjan RS Dr. Cipto Mangkusumo, 2010).
b. Syarat Diet
Syarat-syarat diet penyakit lambung menurut Instalasi Gizi Perjan
RS Dr. Cipto Mangkusumo, 2008 adalah :
1) Mudah dicerna, porsi kecil, dan sering diberikan
2) Energi dan protein cukup, sesuai dengan kemampuan pasien
untuk menerimanya.
3) Lemak rendah, yaitu 15-20% dari kebutuhan energi total yang
ditingkatkan secara bertahap hingga sesuai dengan kebutuhan
4) Rendah serat, terutama serat tidak larut air yang ditingkatkan
secara bertahap.
5) Cairan cukup, terutama bila ada muntah
6) Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Data Identitas Pasien


Nama : An. Hafis
Nomor RM : 638191
Umur : 2 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Perawatan : BPJS kelas 3
Diagnosa Medis : Typoid Fever
B. Pengukuran Antropometri
BB sekarang : 14 kg
PB sekarang : 85 cm
Zscore :
BB/U : 14 – 12,2 = 1,3
12,2 – 13,6
PB/U : 80 – 87,8 = - 2,6
87,8 – 84,8
PB/BB : 14 – 10,4 = 3,6
10,4 – 11,4
(Status Gizi lebih atau Obesitas)
C. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Biokimia Hasil Lab Normal

Tiphydot IgM / igM


Positif
Salmonella

Hemoglobin (HGB) 10,7 g/dl 13-16 g/dl

Hematokrit (HCT) 32,3 % 37,0 – 54,0 %

D. Pemeriksaan Fisik/Klinis
a. Suhu : 37°C
b. Nadi : 112x/menit
c. Fisik :
- Batuk grok-grok pada anak
- Demam naik turun
- Mual
E. Riwayat Gizi
a. Riwayat Gizi dahulu :
Pola makan 3x sehari, pemberian ASI, mengonsumsi MP-ASI dengan
komposisi yang kurang lengkap dikarenakan alergi pada beberapa bahan
makanan
b. Riwayat Gizi Sekarang :
Makanan dimakan ¼ (25%) porsi dari yang disajikan, nasi tim 4-5 sdm, lauk
½ porsi. sayur 4 sdm dengan bentuk nasi tim lauk cacah alergi, pasien jarang
makan buah

F. Riwayat Personal
a. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak Tercukupinya nutrisi ibu anak
b. Riwayat Penyakit Sekarang : Thypoid Fever

G. Diagnosis Gizi
a. NI – 2.1 Asupan oral makanan tidak adekuat berkaitan dengan gangguan
pencernaan dengan gejala mual ditandai dengan asupan makanan hanya
25% dari kebutuhan 80%
b. NB – 1.1 Kurangnya pengetahuan terkait pemahaman makanan dan zat gizi
yang tidak baik oleh orang tua anak ditandai dengan adanya penyakit infeksi
demam thyphoid yang disebabkan oleh virus Salmonella Typhosa kerena
tidak teraturnya pola makan.
c. NB – 3.1 konsumsi makanan yang tidak aman berkaitan dengan kurangnya
pemahaman perilaku hidup bersih dan sehat ditandai dengan adanya infeksi
yang disebabkan oleh Salmonella Typhosa pada makanan yang tidak
terpantau baik dan besih.

H. Rencana Intervensi Gizi


a. Intervensi Gizi
Tujuan Diet
- Meningkatkan asupan makan pasien hingga 80% dari yang disajikan
RS
- Memberikan makanan sesuai keadaan pasien
Prinsip Diet
3 J (tepat jumlah, jadwal dan jenis)
Preskripsi Diet
- Jenis diet : Diet Lambung II
- Bentuk Makanan : Nasi Tim
- Rute Pemberian : Oral
- Frekuensi Pemberian : 3x makanan bisasa 1x selingan
- Pemesan diet : Nasi Tim Lauk cacah Alergi
Syarat Diet
- Mudah dicerna, porsi kecil, dan sering diberikan
- Energi diberikan bertahap mulai dari 80 % - 100 % (875 – 1090 kkal)
- Protein diberikan 20% yaitu 45,5 g /hari
- Lemak diberikan 20% yaitu 24,4 g/ hari
- KH diberikan 55 % yaitu 149,8 g / hari

b. Edukasi/Konseling Gizi :
Tujuan Umum :
Pasien mampu menerapkan diet yang telah diberikan dan keluarga pasien
patuh dalam memberikan makanan dari RS.
Tujuan Khusus :
1. Mampu Menjelaskan tentang hubungan penyakit dengan kebiasaan
pola makan, pola hidup bersih dan sehat
2. Mampu Menjelaskan Diet Lambung II kepada keluarga pasien
3. Mampu Menyebutkan tujuan Diet Lambung II
4. Mampu menyebutkan bahan makanan yang dianjurkan dan tidak
dianjurkan untuk pasien Tyhpoid Fever.
Sasaran : An. Hafis dan Keluarga

Tempat : Ruang kelas 3 BPJS

Waktu : 15 menit

Metode : Konsultasi, diskusi dan tanya jawab

Media : Leaflet Diet Lambung II, Food model

Materi :

1. Menjelaskan kaitan antara makanan dan penyakit pasien


2. Menjelaskan diet lambung II
3. Menyebutkan tujuan diet lambung II
4. Menyebutkan bahan makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan
untuk pasien typhoid fever

I. Monitoring dan Evaluasi Gizi


1. Monitoring asupan makanan pasien
2. Monotoring fisik dan klinis pasien
3. Kepatuhan dalam memberikan makanan guna memenuhi asupan dan zat gizi
pasien
J. Tabel Pelayanan Asuhan Gizi Terstandar (PAGT)

CATATAN ASUHAN GIZI


RESUME PAGT
(Proses Asuhan Gizi Terstandar)

Nama : An.Hafis

No. Register : 6381 91

Ruang/Bed : Ruang 3 BPJS

Usia : 2 tahun

Diagnosis Penyakit : Typoid fever

ASSESSMENT/REASSESSMENT KESIMPULAN

ANTROPOMETRI BB : 14 kg

PB : 85 cm

Zscore :

BB/U : 14 – 12,2 = 1,3 AD – 1.1.2

12,2 – 13,6 Obesitas (Obese)


PB/U : 80 – 87,8 = - 2,6

87,8 – 84,8

PB/BB : 14 – 10,4 = 3,6

10,4 – 11,4

BIOKIMIA

Biokimia Hasil Lab Normal BD – 1.4


Gastrointestinal IgM
Tiphydot IgM / Tiphydot / IgM
Positif
igM Salmonella Salmonella

Hemoglobin
10,7 g/dl 13-16 g/dl
(HGB) BD- 1.10.1

Hematokrit (HCT) 37,0 – 54,0 Hemoglobin menurun ↓


32,3 %
%
BD – 1.10.2

Hematokrit menurun ↓

FISIK-KLINIS Fisik :
Demam naik turun
Batuk grok-grok PD – 1.1.3 Sistem
Mual Kardiovaskuler suara
Klinis : pernafasan
Suhu : 37 °C PD – 1.1.7 Mual
N : 112 x/menit (100 – 160 x/menit)
PD – 1.1.9 Suhu tubuh
tinggi naik turun

RIWAYAT GIZI RIWAYAT GIZI DAHULU

Pola makan 3x sehari, pemberian ASI, FH – 1.2.2.1 Jumlah


mengonsumsi MP-ASI dengan komposisi yang asupan kurang
kurang lengkap dikarenakan alergi pada
beberapa bahan makanan, jarang makan buah.

RIWAYAT GIZI SEKARANG FH – 1.2.2.2 Jenis


Makanan tertentu
Makanan dimakan ¼ (25%) porsi dari yang dikarenakan alergi
disajikan, nasi tim 4-5 sdm, lauk ½ porsi. sayur 4
sdm dengan bentuk nasi tim lauk cacah alergi

AKTIFITAS FISIK: - FH – 1.2.2.5 Makanan


kurang bervariasi

RIWAYAT PEKERJAAN: -
PERSONAL
CH – 2.1.5
Gastrointestinal /
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU : - Saluran Cerna

RIWAYAT PENTAKIT KELUARGA: CH – 3.1.4 Dukungan


Tidak tercukupinya nutrisi ibu anak social dan Kesehatan

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG: Thypoid


Fever

EDUKASI GIZI: -

DIAGNOSA GIZI NI – 2.1 Asupan oral in adekuat dengan gangguan pencernaan ditandai
dengan asupan kurang dari kebutuhan

NB – 1.1 Kurangnya pengetahuan terkait pemahaman makanan dan zat gizi


yang tidak baik oleh orang tua anak ditandai dengan adanya penyakit infeksi
demam thyphoid yang disebabkan oleh virus Salmonella Typhosa kerena
tidak teraturnya pola makan.

NB – 3.1 konsumsi makanan yang tidak aman berkaitan dengan kurangnya


pemahaman perilaku hidup bersih dan sehat ditandai dengan adanya infeksi
yang disebabkan oleh Salmonella Typhosa pada makanan yang tidak
terpantau baik dan besih.

RENCANA INTERVENSI GIZI

a. Tujuan Diet
- Meningkatkan asupan makan pasien hingga 80% dari yang disajikan RS
- Memberikan makanan sesuai keadaan pasien
b. Prinsip Diet
3 J (tepat jumlah, jadwal dan jenis)
c. Preskripsi Diet
- Jenis diet : Diet Lambung II
- Bentuk Makanan : Nasi Tim
- Rute Pemberian : Oral
- Frekuensi Pemberian : 3x makanan bisasa 1x selingan
- Pemesan diet : Nasi Tim Lauk cacah Alergi
d. Syarat Diet
- Mudah dicerna, porsi kecil, dan sering diberikan
- Energi diberikan bertahap mulai dari 80 % - 100 % yaitu 976 - 1220
kkal/hari
- Protein diberikan 15% yaitu 45,8 g /hari
- Lemak diberikan 20% yaitu 27 g/ hari
- KH diberikan 55 % yaitu 167,8 g / hari

- Kebutuhan Zat Gizi

Komposisi Zat Gizi Jumlah

Energi 1220 kkal

Protein 45,8 g

Lemak 27 g

Karbohidat 167,8 g

INTERVENSI GIZI RENCANA MONITORING & EVALUASI

BD – 1.4 Gastrointestinal IgM Tiphydot / IgM


Salmonella
ND – 1.2.1 Pemberian Diet lambung II
dengan bentuk Nasi Tim lauk cacah
alergi
BD- 1.10.1 Hemoglobin

BD – 1.10.2 Hematokrit
E - 1.1 Pemberian edukasi tentang
makanan dan zat gizi yang baik dan PD – 1.1.3 Sistem Kardiovaskuler suara pernafasan
perilaku hidup bersih pada penerita PD – 1.1.7 Mual
demam thyphoid
PD – 1.1.9 Suhu

FH – 1.2.2.1 Jumlah asupan kurang

FH – 1.2.2.2 Jenis Makanan tertentu


PERUBAHAN DIET
FH – 1.2.2.5 Makanan kurang bervariasi
-
CH – 2.1.5 Gastrointestinal / Saluran Cerna

CH – 3.1.4 Dukungan social dan Kesehatan


A. Perencanaan Menu Sehari
Menu yang diberikan kepada pasien adalah Nasi Tim lauk cacah alergi 1220 kkal,
dengan komposisi:

Waktu Makan Menu Berat (g)

Menu 1

Susu Sufor Soya 100

Nasi Tim 50

Schotel Asam Manis 30


Makan Pagi
Tahu Bumbu Opor 50

Oseng-Oseng
50
Kangkung

Snack Susu Sufor Soya 100

Susu Sufor Soya 100

Nasi Tim 50

Bola-Bola Daging
Makan Siang 30
bumbu tomat

Tahu Giling 50

Kuah Sawi Putih 50

Puding 50
Snack
Susu Sufor Soya 100

Susu Sufor Soya 100

Nasi Tim 50

Bola-bola daging
Makan Malam 30
bumbu kecap

Tahu bacem 50

Sayur Laksa 50

Snack Susu Sufor Soya 100

Menu 2

Makan Pagi Susu Sufor Soya 100


Nasi Tim 50

Burger Daging 30

Oseng-oseng Tahu 50

Tumis sayur 50

Snack Susu Sufor Soya 100

Susu Sufor Soya 100

Nasi Tim 50

Ragout Daging 30
Makan Siang
Tahu Giling bumbu
50
tomat

Acar Mateng 50

Puding 50
Snack
Susu Sufor Soya 100

Susu Sufor Soya 100

Nasi Tim 50

Makan Malam Empal Daging 30

Tahu Opor 50

Sayur Kimlo 50

Snack Susu Sufor Soya 100

Total Zat Gizi Menu 1

Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) KH (g)

1157,4 49,1 28,2 173,0

Total Zat Gizi Menu 2

Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) KH (g)

1158,4 50,4 29,5 168,8


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Monitoring dan Evaluasi Antropometri


Tabel 2. Hasil Monitoring Antropometri

Hasil Antropometri Status

BB : 14 kg
PB : 85 cm

Zscore :
BB/U : 1,3 Resiko Berat badan lebih
( > + 1 SD)

PB/U : - 2,6 Pendek (- 3 SD sd < - 2 SD)

PB/BB : 3,6 Obesitas ( > + 3 SD)

Berdasarkan tabel 2, pada Hasil data antropometri saat awal masuk rumah
sakit pasien memiliki Berat badan 14 kg dengan Panjang Badan 85 cm dan
dilakukan perhitungan status gizi Zscore dengan kategori menurut BB/U, PB/U dan
PB/BB pada anak laki-laki umur 0-60 bulan menggunakan standar penilaian status
gizi anak PMK No. 2 tahun 2020. Dari hasil perhitungan di dapatkan hasil bahwa
pasien memiliki status gizi lebih atau Obesitas dengan ambang batas > + 3 SD.

B. Monitoring dan Evaluasi Biokimia


Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorim pada

Biokimia Hasil Lab Normal

Tiphydot IgM / igM


Positif 6 ≤2
Salmonella

Hemoglobin (HGB) 10,7 g/dl 13-16 g/dl

Hematokrit (HCT) 32,3 % 37,0 – 54,0 %

Berdasarkan tabel 3, pada awal masuk rumah sakit diketahui bahwa hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil IgM Salmonella Positif, hal ini
menunjukan bahwa kondisi pasien positif terpapar Indikasi kuat adanya bakteri
Salomenlla typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan. Pada hasil
pemeriksaan laboratorium saat monitoring dan evaluasi pertama indikasi terpapar
bakteri Salomenlla typhi masih menujukan indikasi yang kuat sehingga dilanjutkan
monitoring dan evaluasi kedua dan di dapatkan hasil pemeriksaan laboratorium IgM
Salmonella negatif. Pemeriksaan tersebut berguna untuk mendeteksi antibody IgM
terhadap Salmonella typhi yang biasanya muncul 3-4 hari setelah demam.

C. Monitoring dan Evaluasi Fisik/Klinis


Tabel 4. Hasil Monitoring Fisik/Klinis

Hasil Monitoring Monitoring Monitoring


Pemeriksaan
Fisik/Klinis ke -1 ke - 2 ke-3

KU - Batuk Grok- - Demam


Grok naik
- Demam Naik turun -
Turun
- Mual

Suhu (0C) 370C 36,50C 36,40C

Nadi 112x/menit 112x/menit 112x/menit


(Normal) (Normal) (Normal)

Berdasarkan tabel 4, diketahui data fisik/klinis pasien pada monitoring


pertama tidak mengalami perubahan dari pasien masuk awal rumah sakit namun
pada monitoring kedua pada hasil pemeriksaan fisik mengalami perubahan yaitu
tidak adanya indikasi batuk grok, mual pada pasien dan pada hasil pemeriksaan
klinis suhu pada monitoring pertama tidak mengalami perubahan dari pasien masuk
awal rumah sakit (370C) namun pada monitoring kedua (36,50C) dan ketiga (36,40C)
mengalami perubahan.

D. Monitoring dan Evaluasi Asupan Energi dan Zat Gizi


Tabel Grafik 1. Hasil Monitoring Asupan Makanan Pasien

Hasil Monitoring Asupan Makanan


90%

80%

70%

60%

50%

40%

30%

20%

10%

0%
Monitoring ke -1 Monitoring ke-2 Mintoring ke-3

Asupan Makan pasien

Berdasarkan Grafik diatas, dapat diketahui bahwa asupan pasien meningkat. Tingkat
Konsumsi pada pasien yang awalnya hanya 25% dari porsi yang disajikan mengalami
peningkatan, pada hasil monitoring ke-1 asupan makan meningkat yaitu sebesar 50% dari
porsi yang disajikan, selanjutnya pada monitoring ke-2 asupan makan meningkat 10% yaitu
sebesar 60% dari porsi yang disajikan, dan pada monitoring ke-3 asupan makan meningkat
20% yaitu sebesar 80% dari porsi yang disajikan, sehingga dari hasil monitong ini di
dapatkan disimpulkan bahwa pasien sudah memenuhi target asupan makan perharinya
yaitu 80%.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil asuhan gizi disimpulkan bahwa :
1. Diagnosa medis pasien adalah Typoid Fever
2. Masalah Gizi Pasien adalah sebagai berikut :
a. NI – 2.1 Asupan oral in adekuat terkait dengan gangguan pencernaan
ditandai dengan asupan kurang dari kebutuhan
b. NB – 1.1 Kurangnya pengetahuan terkait pemahaman makanan dan zat
gizi yang tidak baik oleh orang tua anak ditandai dengan adanya penyakit
infeksi demam thyphoid yang disebabkan oleh virus Salmonella Typhosa
kerena tidak teraturnya pola makan.
c. NB – 3.1 konsumsi makanan yang tidak aman berkaitan dengan
kurangnya pemahaman perilaku hidup bersih dan sehat ditandai dengan
adanya infeksi yang disebabkan oleh Salmonella Typhosa pada makanan
yang tidak terpantau baik dan besih
3. Intervensi Gizi yang diberikan kepada pasien :
a. Preskripsi diet yang diberikan adalah Diet Lambung II dengan Bentuk
Nasi Tim lauk cacah Alergi dengan kebutuhan gizi yaitu Energi 1220
kkal, protein 45,8 g, Lemak 27 g, dan Karbohidrat 167,8 g diberikan
dengan frekuensi 3x makanan utama dan 1x selingan ditambahkan
dengan 6x 100cc susu formula soya.
b. Edukasi/Konseling yang diberikan adalah edukasi mengenai diet
lambung II dan hubungan makanan, penyakit.
c. Perkembangan fisik/klinis pasien terus membaik meskipun masih
mengalami demam naik turun
d. Perkembangan tingkat konsumsi energi dan zat gizi pasien sudah
memenuhi taget yaitu 80%
e.
B. Saran
Diharapkan pasien dapat meningkatkan asupan makan dan dapat mengonsumsi
makanan sesuai kondisi pasien.
ULKUS DIABETIKUM
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA

LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN STUDI KASUS
ASUHAN GIZI PADA PENDERITA
ULKUS DIABETIKUM
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA

Telah disetujui pada tanggal 28 Mei 2021


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) merupakan sebuah metoda pemecahan
maslaah yang sistematis dalam menangani problem gizi, sehingga dapat memberikan
asuhan gizi yang aman, efektif dan berkualitas tinggi. Pasien yang bermasalah gizi akan
mendapatkan 4 langah proses asuhan gizi yaitu assesmen, diagnosis, intevensi, serta
monitoring dan evaluasi gizi. Asuhan gizi membantu meningkatkna kualitas pelayanan
kesehatan yang mengutamakan keselamatan pasien, sehingga dilakukan dari awal
hingga akhir pasien dirawat (Kemenkes, 2014).
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan
hiperglikemia dan intoleransi glukosa yang terjadi karena kelenjar pankreas tidak dapat
memproduksi insulin secara adekuat yang atau karena tubuh tidak dapat menggunakan
insulin yang diproduksi secara efektif atau keduaduanya (WHO, 2011). Pada tahun
2000, diseluruh dunia terdapat 171 juta penyandang diabetes, dan diperkirakan akan
meningkat menjadi 300 juta jiwa pada tahun 2025, serta menjadi 366 juta pada tahun
2030 (PERKENI, 2011).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yunita, Asdie dan Susetyowati (2013)
diketahui bahwa besar asupan pasien diabetes mellitus awal masuk rumah sakit <80%
dengan risiko malnutrisi berdasarkan skrining NRS-2002. Pasien mengalami kurang
nafsu makan, kekhawatiran terhadap kenaikan kadar glukosa darah, dan pemilihan
jenis makanan lauk dan sayur lebih disukai dibandingkan makanan pokok. Namun,
setelah dilakukan intervensi dengan metode Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT)
asupan pasien diabetes mellitus mengalami peningkatan.
Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada semua tingkat sel dan
semua tingkatan anatomik. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat
mikrovaskular (retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik, dan
kardiomiopati) maupun makrovaskular (stroke, penyakit jantung koroner, peripheral
vascular disease) (PERKENI, 2015). Komplikasi lain dari DM dapat berupa kerentanan
berlebih terhadap infeksi akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis
paru, dan infeksi kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi ulkus/gangren
diabetic (Sudoyo dkk, 2007).
Ulkus kaki diabetik adalah salah satu komplikasi kronis dari penyakit diabetes
melitus berupa luka pada permukaan kulit kaki penderita diabetes disertai dengan
kerusakan jaringan bagian dalam atau kematian jaringan, baik dengan ataupun tanpa
infeksi, yang berhubungan dengan adanya neuropati dan atau penyakit arteri perifer
pada penderita diabetes melitus (Alexiadou dan Doupis, 2012). Ulkus diabetes
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu neuropati, trauma, deformitas kaki, tekanan
tinggi pada telapak kaki dan penyakit vaskuler perifer.Pemeriksaan dan klasifikasi ulkus
diabetes yang menyeluruh dan sistematik dapat membantu memberikan arahan
perawatan yang adekuat (Brem, dkk., 2004).
Indonesia termasuk ke dalam 10 besar negara yang memiliki prevalensi penyakit
diabetes melitus yang tinggi dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun
1983 prevalensi DM di Indonesia mencapai 1,63% yang terus meningkat menjadi 5,7%
pada tahun 2007, dan diperkirakan menjadi 6,0% pada tahun 2030 (Yusuf, dkk., 2016).
Pada populasi penderita diabetes diperkirakan sebanyak 15% akan mengalami
komplikasi berupa ulkus kaki diabetik (Zubair, dkk., 2015). UKD merupakan penyebab
tersering pasien mendapat perawatan di rumah sakit dan meningkatkan kejadian
amputasi non traumatik. Prevalensinya sekitar 4-10% di antara populasi penderita
diabetes melitus, dengan insiden mengalami ulkus selama masa hidup penderitanya
mencapai 25% (Pemayun, dkk., 2015)
Dasar dari perawatan ulkus diabetes meliputi 3 hal yaitu debridement, offloading
dan kontrol infeksi (Doupis, Alexiadou, 2008). Ulkus kaki pada pasien diabetes harus
mendapatkan perawatan karena ada beberapa alasan, misalnya unfuk mengurangi
resiko infeksi dan amputasi, memperbaiki fungsi dan kualitas hidup, dan mengurangi
biaya pemeliharaan kesehatan. Tujuan utama perawatan ulkus diabetes sesegera
mungkin didapatkan kesembuhan dan pencegahan kekambuhan setelah proses
penyembuhan. Dari beberapa penelitian, menunjukkan bahwa perkembangan ulkus
diabetes dapat dicegah (Signh, dkk., 2005).
Berdasarkan uraian diatas, RSPAL Dr. Ramelan Surabaya juga melakukan
asuhan gizi dalam rangka membantu proses penyembuhan pasien Ulkus Diabetikum.
Diharapkan dengan laporan kasus mendalam ini dapat dijadikan bahan evaluasi dan
rujukan dalam melakukan asuhan gizi pada pasien ulkus diabetikum.

B. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan melaksanakan Manajemen Asuhan Gizi
Klinik pada pasien Diabetes Melitus dengan Ulkus Di Ruang Rawat Inap A2 RSPAL Dr.
Ramelan Surabaya.

C. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi resiko masalah gizi dari hasil skrining gizi dan diagnosis medis.
2. Melakukan assesmen gizi kepada pasien Diabetes Melitus dengan Ulkus
3. Menegakkan diagnosis gizi kepada pasien Diabetes Melitus dengan Ulkus
4. Menyusun dan melaksanakan intervensi gizi kepada pasien Diabetes Melitus
dengan Ulkus
5. Melaksanakan monitoring evaluasi gizi kepada pasien Diabetes Melitus dengan
Ulkus

D. Manfaat Studi Kasus


1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan dalam kegiatan pelayanan gizi di Rumah Sakit Khususnya
mengenai penatalaksanaan terapi diet pada pasien Diabetes Melitus dengan Ulkus.

2. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat menambah pengetahuan danwawasan sekaligus memperdalam
pemahaman terhadap penatalaksanaan terapi diet pada pasien Diabetes Melitus
dengan Ulkus.

3. Bagi Pasien
Dapat mengaplikasikan penatalaksanaan terapi diet pada pasien Diabetes Melitus
dengan Ulkus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Penyakit
Ulkus diabetik merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya
komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati, keadaan
lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan, dan dapat
berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob (Dafianto,
2016). Ulkus ini juga disebut ulkus neuropati diabetik yang dapat terjadi pada individu
yang menderita diabetes melitus, sebagian akibat dari gangguan sirkulasi. Individu
penderita diabetes sering kali sulit untuk sembuh dan luka ini mungkin sulit diobati
(Rosdahl, 2015). Menurut Frykberg dalam Dafianto (2016), luka diabetik adalah luka
atau lesi pada pasien DM yang mengakibatkan ulserasi aktif dan merupakan penyebab
utama amputasi kaki.

2. Klasifikasi Penyakit
Menurut Dafianto (2016), klasifikasi laserasi dapat menfasilitasi pendekatan logis
untuk pengobatan dan bantuan dalam prediksi hasil. Beberapa sistem klasifikasi luka
telah dibuat, berdasarkan parameter seperti luasnya infeksi, neuropati, iskemia,
kedalaman atau luasnya kehilangan jaringan, dan lokasi. Klasifikasi derajat ulkus
diabetik dapat dibagi menjadi enam tingkatan menurut sistem Wagner berdasarkan
dalamnya luka, derajat infeksi, dan derajat gangren (PERKENI, 2015), yaitu:
Tabel 1. Klasifikasi derajat ulkus menurut sistem Meggitt-Wagner
Grade Deskripsi
0 Tidak terdapat luka, gejala hanya seperti nyeri

1 Ulkus dangkal atau superfivial

2 Ulkus dalam mencapai tendon

3 Ulkus dengan kedalaman mencapai tulang

4 Terdapat gangrene pada kaki bagian depan

5 Terdapat gangeren pada seluruh kaki

Sumber: Perawatan Luka Diabetes (Sari, 2015)

Adapun klasisikasi berdasarkan University of Texas yang merupakan kemajuan


dalam pengkajian kaki diabetes. Sistem ini menggunakan empat nilai, masing-masing
yang dimodifikasi oleh adanya infeksi, iskemia atau keduanya. Sistem ini digunakan
pada umunya untuk mengetahui tahapan luka bisa cepat sembuh atau luka yang
berkembang ke arah amputasi.
Tabel 2. Klasifikasi Ulkus menurut University of Texas
Klasifikasi Grade 0 Grade 1 Grade 2 Grade 3

Luka
Pre/post
superfisial, Luka Luka
ulserasi,
tidak menembus ke menembus ke
Stage A dengan
melibatkan tendon atau tulang atau
jaringan epitel
tendon atau kapsul tulang sendi
yang lengkap
tulang

Stage B infeksi infeksi infeksi infeksi

Stage C iskemia iskemia iskemia iskemia

Infeksi dan Infeksi dan Infeksi dan Infeksi dan


Stage D
iskemia iskemia iskemia iskemia

Sumber: Perawatan Luka Diabetes (Sari, 2015)

Selain klasifikasi dari NICE Clinical Guideline, konsensus internasional tentang


kaki diabetik pada tahun 2015 menghasilkan klasifikasi PEDIS dimana terinci sebagai
berikut:
Tabel 3. Klasifikasi PEDIS
1. Tidak ada
Gangguan Perfusi
2. Penyakit arteri perifer tetapi tidak parah
3. Iskemi parah pada kaki
Ukuran (Extend) dalam mm dan 1. Permukaan kaki, hanya sampai dermis
Dalamnya (Depth) 2. Luka pada kaki sampai di bawah dermis
meliputi fasia, otot atahu tendon
3. Sudah mencapai tulang dan sendi
1. Tidak ada gejala
2. Hanya infeksi pada kulit dan jaringan tisu
Infeksi 3. Eritema > 2 cm atahu ifeksi meliputi
subkutan tetapi tidak ada tanda inflamasi
4. Infeksi dengan manifestasi demam,
leukositosis, hipotensi dan azotemia
Hilang sensasi 1. Tidak ada
2. Ada
Sumber : Perawatan Luka (Adhiarta, 2011)

Klasifikasi PEDIS digunakan pada saat pengkajian ulkus diabetik. Pengkajian


dilihat dari bagaimana gangguan perfusi pada kaki, berapa ukuran dalam mm
(milimeter) dan sejauh mana kedalaman dari ulkus diabetik, ada tidaknya gejala infeksi
serta ada atau tidaknya sensasi pada kaki. Kemudahan yang ingin diperkenalkan untuk
menilai derajat keseriusan luka adalah menilai warna dasar luka. Sistem ini
diperkenalkan dengan sebutan RYB (Red, Yellow, Black) atau merah, kuning, dan hitam
(Yunus, 2015), yaitu:
a. Red/Merah Merupakan luka bersih, dengan banyak vaskulariasi, karena mudah
berdarah. Tujuan perawatan luka dengan warna dasar merah adalah
mempertahankan lingkungan luka dalam keadaan lembab dan mencegah
terjadinya trauma dan perdarahan.
b. Yellow/Kuning Luka dengan warna dasar kuning atau kuning kehijauan adalah
jaringan nekrosis. Tujuan perawatannya adalah dengan meningkatkan sistem
autolisis debridement agar luka berwarna merah, absorb eksudate, menghilangkan
bau tidak sedap dan mengurangi kejadian infeksi.
c. Black/Hitam Luka dengan warna dasar hitam adalah jaringan nekrosis, merupakan
jaringan vaskularisasi. Tujuannya adalah sama dengan warna dasar kuning yaitu
warna dasar luka menjadi merah.

3. Etiologi Penyakit
Beberapa etiologi yang menyebabkan ulkus diabetes meliputi neuropati,
penyakit arterial, tekanan dan deformitas kaki. Faktor yang paling banyak menyebabkan
ulkus diabetik adalah neuropati, trauma, dan deformitas kaku, yang sering disebut
dengan Critical Triad of Diabetic Ulcers. Penyebab lain ulkus diabetik adalah iskemik,
infeksi, edema, dan kalus. Ulkus diabetik merupakan penyebab tersering pasien harus
diamputasi, sehingga faktor-faktor tersebut juga merupakan faktor predisposisi
terjadinya amputasi (Dafianto, 2016).
4. Patofisiologi Penyakit
Salah satu komplikasi kronik atau akibat jangka panjang diabetes melitus adalah
ulkus diabetik. Ulkus diabetik disebabkan oleh adanya tiga faktor yang sering disebut
Critical Triad of Diabetic Ucers yaitu Iskemik, Neuropati, dan Infeksi. Neuropati perifer
merupakan multifaktorial dan diperkirakan adalah akibat penyakit vaskuler yang
menutupi vasa nervorum, disfungsi endotel, defisiensi mioinositol, perubahan sintesis
mielin dan menurunnya aktivitas Na-K ATPase, hiperosmolaritas kronis, menyebabkan
edema pada saraf tubuh serta pengaruh peningkatan sorbitol dan fruktose (Dafianto,
2016). Keadaan hiperglikemia akan meningkatkan metabolisme glukosa melalui jalur
sorbitol. Sorbitol yang meningkat dapat mengakibatkan keadaan neuropati pada pasien
DM. Keadaan makroangiopati diabetik mempunyai gambaran hispatologis berupa
aterosklerosis. Pada keadaan makroangiopati diabetik akan mengakibatkan
penyumbatan vaskular dan apabila mengenai arteri-arteri perifer dapat mengakibatkan
insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada
ekstermitas (Dafianto, 2016).
Sherwood (2011) menyatakan bahwa ketika kadar glukosa dalam darah
mengalami peningkatan (hiperglikemiI, sel tubulus tidak mampu mereabsorpsi glukosa
dan mengakibatkan glukosa muncul pada urin. Glukosa yang ada pada urin akan
menimbulkan efek osmotik dan mengakibatkan tertariknya H2O ikut bersama glukosa,
sehingga terjadi poliuria. Besarnya cairan yang dibawa glukosa bersama urin akan
mengakibatkan dehidrasi dan kemudian menurunkan sirkulasi darah perifer (iskemia).
Menurut Ganong (2008), keadaan hiperglikemi akan mengakibatkan enzim
aldosa reduktase yang kemudian menyebabkan pembentukan sorbitol di dalam sel.
Penimbunan sorbitol pada jaringan saraf akan menyebabkan terjadinya neuropati,
termasuk neuropati perifer (Dafianto, 2016). Keadaan hiperglikemiakan memicu
pembentukan advance glycosylation end products (AGEs) yang dapat merusak
pembuluh darah dan mengganggu respons dari leukosit terhadap infeksi. Kondisi
hiperglikemi yang disertai dengan insufisiensi sirkulasi arterosklerotik dan penurunan
resistensi terhadap infeksi dapat menyebabkan terjadi ulkus kronis dan gangren,
terutama daerah kaki (Ganong, 2008).
Gangguan saraf motorik menyebabkan paralisis otot kaki dapat menyebabkan
terjadinya perubahan keseimbangan dan bentuk pada sendi kaki (deformitas),
perubahan cara berjalan, dan menimbulkan titik tekan baru dan penebalan pada telapak
kaki (kalus). Gangguan saraf sensorik menyebabkan mati rasa setempat dan hilangnya
perlindungan terhadap trauma sehingga pasien mengalami cedera tanpa disadari.
Gangguan saraf otonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit sehingga kulit menjadi
kering dan mudah mengalami luka yang sulit sembuh (Dafianto, 2016).
Alterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan
menyempit karena penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah.
Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot- otot kaki karena berkurangnya
suplai darah, sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam
jangka waktu lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang
menjadi ulkus diabetik (Dafianto, 2016).

5. Gejala
Tanda dan gejala ulkus diabetik (Yunus, 2018), yaitu:
a. Sering kesemutan
b. Nyeri kaki saat istirahat
c. Sensasi rasa berkurang
d. Kerusakan jaringan (nekrosis)
e. Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis, dan poplitea
f. Kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal
g. Kulit kering.

6. Faktor Resiko
Menurut Dafianto (2016), dalam penelitiannya di Kenya menunjukan bahwa
kapalan pada kaki dan tekanan darah diatas 130/80 mmHg berisiko tinggi untuk
terjadinya ulkus diabetik. Kondisi seperti sepatu yang tepat, pemeriksaan kaki secara
teratur, memiliki diet yang ditentukan, rencana latihan, tidak memiliki infeksi jamur, dan
memiliki pengetahuan tentang perawatan kaki akan melindungi penyandang DM dari
ulkus diabetik. Berdasarkan penelitian Dafianto (2016), pasien DM dengan ulkus dan
tanpa ulkus yang masing-masing 27 orang di RSUP Dr. M. Djamil dan RSI Ibnu Sina
Padang menunjukan bahwa lama DM, neuropati, penyakit arteri perifer, riwayat trauma,
dan perawatan kaki merupakan faktor risiko terjadinya ulkus diabetik. Penelitian
tersebut menyatakan bahwa arteri perifer dan trauma merupakan faktor yang paling
berpengaruh terhadap ulkus diabetik. Faktor perawatan kaki, neuropati motorik,
penyakit arteri perifer, pengendalian kadar glukosa darah, dan gangguan pengihatan
merupakan faktor risiko terjadinya ulkus (Dafianto, 2016). Menurut ADA (2015), faktor
risiko untuk terjadinya ulkus dan amputasi adalah:
a. Riwayat ulkus diabetik;
b. Amputasi;
c. Deformitas kaki;
d. Neuropati perifer;
e. Kallus;
f. Penyakit arteri perifer;
g. Kontrol glikemi yang kurang;
h. Nefropati diabetik;
i. Merokok.

7. Skrining
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2014) proses asuhan gizi terstandar
(PAGT) dilakukan pada pasien yang memiliki risiko masalah gizi yang dapat diketahui
melalui skrining gizi. Skrining dilakukan setelah pasien masuk rumah sakit dan diulang
setelah 7 hari pada pasien rawat inap menggunakan form skrining sesuai dengan
kondisi pasien. Pada pasien diabetes mellitus dapat menggunakan form skrining NRS-
2002 untuk pasien dewasa, semakin besar skor skrining maka semakin berisiko
malnutrisi.

8. Penatalaksanaan Diet
Menurut Wahyuningsih (2013) tujuan penatalaksanaan diet penderita
diabetes mellitus dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup,
mengurangi/menghilangkan keluhan diabetes mellitus, dan mengurangi risiko
komplikasi. Tujuan jangka panjang mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati, dan tujuan akhir pengelolaan adalah
turunnya morbiditas dan mortalitas akibat diabetes mellitus.

Prinsip pengaturan makan penderita diabetes mellitus yaitu makanan seimbang


dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penderita
diabetes mellitus perlu ditekankan mengenai pentingnya 3J (jadwal makan yang teratur,
jenis dan jumlah kandungan kalori).

a) Tujuan diet pada penderita diabetes mellitus dilakukan untuk mendapatkan


control metabolik yang lebih dengan cara:
1) Mempertahankan glukosa darah agar mendekati normal dengan memberikan
asupan yang seimbang
2) Mencapai dan mempertahankan kadar lipid
3) Memberi energi yang cukup
4) Meningkatkan derajat kesehatan melalui gizi

b) Syarat diet penderita diabetes mellitus


1) Energi cukup untuk mencapai dan mempertahankan berat badan. Kebutuhan
energi ditentukan dengan memperhitungkan kebutuhan basal yang besarnya
25-30 kkal/kgBB, ditambah factor aktivitas dan keadaan khusus seperti
kehamilan atau laktasi serta ada tidaknya komplikasi.
2) Kebutuhan protein 10-20% dari total kebutuhan energi.
3) Kebutuhan lemak 20-25% dari total kebutuhan energi, energi terdiri dari
lemak jenuh <10% kebutuhan, lemak tak jenuh ganda <10% kebutuhan dan
sisanya lemak tak jenuh tunggal, kolesterol dianjurkan ≤ 300 mg/hari.
4) Kebutuhan karbohidrat 60-70% dari total kebutuhan energi.
5) Pembatasan penggunaan gula murni sampai 5% dari total kebutuhan energi
jika kadar glukosa sudah terkendali. Jika kadar glukosa belum terkendali
maka penggunaan gula murni pada makanan dan minuman tidak
diperbolehkan kecuali jumlahnya sedikit sebagai bumbu.
6) Asupan serat 20-35 gram/hari yang berasal dari berbagai sumber bahan
makanan dengan mengutamakan serat larut air yang terdapat dalam sayur
dan buah.
7) Pasien diabetes mellitus dengan tekanan darah normal boleh mengonsumsi
natrium dalam bentuk garam dapur seperti orang sehat sebesar 3000mg/hari.
8) Cukup vitamin dan mineral.

c) Perhitungan kebutuhan penderita diabetes mellitus BMR laki-laki


= 30 x BBI
BMR wanita = 25 x BBI

Energi = (BMR + faktor aktivitas) – faktor umur

Menurut PERKENI (2011) faktor yang mempengaruhi kebutuhan kalori


antara lain jenis kelamin, umur, aktivitas fisik/ pekerjaan, kehamilan/laktasi,
adanya komplikasi, dan berat badan.

1) Jenis kelamin
Menurut Wahyuningsih (2013:144) kebutuhan basal wanita lebih
sedikit daripada pria. Oleh karena itu, kebutuhan basal wanita sebesar
25kkal/kg BB sedangkan kebutuhan basal pria 30kkal/kg BB.

2) Umur
Kebutuhan energi penderita diabetes mellitus berkurang seiring
bertambahnya umur.
Tabel 4. Pengurangan Berdasarkan Umur
Kategori Keterangan
0-40 th 0% BMR
40-59 th 5% BMR
60-69 th 10% BMR
≥70 th 15% BMR
Sumber: Soelistijo S, dkk. 2015

3) Aktivitas fisik
Jenis aktivitas yang berbeda membutuhkan kalori yang berbeda pula.
Menurut Soelistijo (2015) aktivitas dikategorikan menjadi 4 yaitu bedrest,
ringan, sedang dan berat.
Tabel 5. Penambahan Kebutuhan Berdasarkan Aktivitas Fisik
Kategori Keterangan
Bedrest 10% BMR
Ringan 20% BMR
Sedang 30% BMR
Berat 40% BMR
Sumber: Soelistijo S, dkk. 2015

4) Stress metabolic
Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolik
(sepsis, operasi, trauma).

5) Komplikasi
Menurut Wahyuningsih (2013) infeksi, trauma atau operasi yang
menyebabkan kenaikan suhu tubuh memerlukan tambahan kalori sebesar
13% untuk setiap kenaikan 1 derajat celcius.

6) Berat badan
Penderita diabetes mellitus yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi
sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat kegemukan, sedangkan untuk
penderita diabetes mellitus yang kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30%
sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Jumlah kalori yang
diberikan paling sedikit 1000-1200 kal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kal
perhari untuk pria. (Wahyuningsih, 2013)
Makanan yang dianjurkan pangan sumber karbohidrat seperti beras,
ubi, singkong, kentang, roti tawar, tepung terigu, sagu, dan tepung singkong;
pangan sumber protein hewani seperti daging sapi, ayam, ikan, telur, susu,
dan hasil olahannya; sayur rendah kalium; buah rendah kalium; dan semua
jenis bumbu selain gula.
Makanan yang dibatasi bagi penderita diabetes mellitus adalah
pangan sumber karbohidrat tinggi natrium seperti cake, sumber protein
hewani yang diawetkan, sumber protein nabati, sayuran tinggi kalium (seperti
tomat, kol, bayam, buncis, kembang kol, dll), buah tinggi kalium, berbagai
minuman bersoda dan beralkohol, serta semua jenis gula murni dan madu.

9. Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT)


Menurut Wahyuningsih (2013) proses asuhan gizi terstandar (PAGT) adalah
suatu metode pemecahan masalah yang sistematis yang harus dilakukan secara
berurutan dimulai dari langkah assesment, diagnosis, intervensi dan monitoring dan
evaluasi gizi (ADIME). Langkah-langkah dalam PAGT saling berkaitan satu dengan
lainnya dan merupakan siklus yang berulang terus sesuai respon/perkembangan
pasien. Apabila tujuan tercapai maka proses akan dihentikan, namun bila tujuan tidak
tercapai atau tujuan awal tercapai tetapi terdapat masalah gizi baru maka proses
berulang kembali mulai dari assesment gizi. Langkah-langkah PAGT:
a. Assesment (Pengkajian)
Menurut Kusumohartono dan Hartono (2014) Pengkajian gizi dilakukan untuk
mengidentifikasi masalah gizi yang terkait dengan asupan zat gizi dan makanan,
aspek klinis, dan aspek lingkungan serta penyebabnya yang dilakukan dengan
mengumpulkan dan menganalisis data. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2014)
terdapat lima komponen dalam pengkajian gizi, diantaranya riwayat gizi/makanan,
data antropometri, data biokimia, pemeriksaan klinis, dan riwayat pasien.
1) Data Antropometri
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2013) data antropometri diketahui
dengan metode pengukuran fisik pada pasien. Antropometri dapat
dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya penimbangan berat badan
(BB), pengukuran tinggi badan (TB), sedangkan pada pasien diabetes
mellitus yang tidak dapat berdiri, maka dapat dilakukan estimasi tinggi
badan menurut tinggi lutut (TL) atau tinggi badan menurut ULNA.
Pengukuran lain seperti lingkar lengan atas (LILA) dapat digunakan untuk
estimasi berat badan. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan
dapat digunakan untuk menentukan indeks massa tubuh (IMT) untuk
mengetahui status gizi pasien.
2) Data Biokimia
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2014) data biokimia dapat diketahui
dengan uji laboratorium. Data ini meliputi keseimbangan asam basa, profil
elektrolit dan ginjal, profil asam lemak esensial, profil gastrointestinal, profil
glukosa/endokrin, profil inflamasi, profil laju metabolik, profil mineral, profil
anemia gizi, profil protein, profil urine dan profil vitamin. Pada penderita
diabetes mellitus data biokimia yang umum digunakan meliputi kadar
glukosa puasa, kadar 2 jam PP, profil lipid (HDL, LDL dan kolesterol),
kadar keton dalam urin dan plasma, kadar ureum, kadar kreatinin darah
dan profil elektrolit (K+ , Na, CI- , Ca++, Mg++).
3) Data Fisik/Klinis
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2014) pemeriksaan fisik/klinis dilakukan
untuk mendeteksi adanya kelainan yang berkaitan dengan masalah gizi. Hasil
pemeriksaan fisik/klinis pada penderita meliputi tekanan darah, suhu, nadi,
respirasi dan data keluhan pasien.
4) Data Riwayat Makan
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2013) data riwayat makan meliputi
asupan makan termasuk komposisi, pola makan, diet yang sedang dijalani
dan data lain yang terkait. Selain itu diperlukan juga data mengenai
aktivitas fisik dan olahraga, kepedulian pasien mengenai gizi dan
kesehatan, dan ketersediaan makanan di lingkungan pasien. Gambaran
asupan makan dapat diketahui melalui anamnesis kualitatif dan kuantitatif.
Anamnesis secara kualitatif dilakukan untuk mengetahui kebiasaan makan
pasien berdasarkan frekuensi penggunaan bahan sehari-hari dilakukan
dengan metode FFQ. Anamnesis secara kuantitatif dilakukan untuk
mengetahui asupan zat gizi sehari yang dilakukan dengan metode recall
dan Comstock.
5) Data Pasien/klien
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2014) riwayat klien meliputi riwayat
personal, riwayat medis/kesehatan, dan riwayat sosial.
a) Riwayat personal yaitu menggali informasi umum seperti usia, jenis
kelamin, etnis, pekerjaan, merokok, cacat fisik.
b) Riwayat medis/kesehatan pasien yaitu menggali penyakit atau kondisi
pada klien atau keluarga dan terapi medis atau terapi pembedahan yang
berdampak pada status gizi.
c) Riwayat sosial yaitu menggali mengenai faktor sosioekonomi klien,
situasi tempat tinggal, kejadian bencana yang dialami, agama, dukungan
kesehatan dan lain-lain.

b. Diagnosis Gizi
Menurut Wahyuningsih (2013) diagnosis gizi merupakan kegiatan
mengidentifikasi dan memberi nama masalah gizi yang berisiko
menyebabkan masalah gizi. Berbeda dengan diagnosis medis, diagnosis gizi
diharapkan dapat terpecahkan melalui intervensi gizi. Terkait dengan
intervensi gizi, diagnosis gizi dapat berubah sesuai dengan respon pasien
Menurut Kusumohartono dan Hartono (2014) diagnosis gizi ditulis dengan
PES (Problem-EtiologiSigns/Symtomp). Problem atau permasalahan dipilih dengan
melihat acuan pada buku Nutrition Diagnosis, terdapat tiga domain terkait dengan
masalah gizi yaitu asupan, klinis, dan perilaku/lingkungan. Etiologi didapatkan
dengan melihat hasil pengkajian, yang dituliskan mengikuti istilah diagnostik gizi
dengan dihubungkan oleh kata “yang berhubungan/berkaitan dengan”. Selanjutnya,
pada bagian akhir adalah signs/symtomp atau tanda-tanda dan gejala yang
dituliskan dengan dihubungkan oleh kata “yang dibuktikan/ditandai oleh”. Semua ini
harus dinyatakan dengan istilah yang terukur sehingga dapat dimonitor untuk menilai
kemajuan dalam mencapai tujuan.

d. Intervensi Gizi
Menurut Kusumohartono dan Hartono (2014) intervensi gizi adalah suatu
tindakan terencana untuk mengatasi etiologi dalam problem gizi atau mengurangi
tanda-tanda dan gejala dalam masalah gizi. Intervensi gizi terdiri dari dua tahap yaitu
perencanaan dan implementasi. Tahap perencanaan dimulai dengan menentukan
prioritas diagnosis gizi berdasarkan derajat kegawatan masalah untuk
menghilangkan penyebab (etiologi dari problem), bila etiologi tidak dapat ditangani
oleh ahli gizi maka intervensi direncanakan untuk mengurangi tanda dan gejala
masalah
(signs/simptoms). Dilanjutkan dengan penentuan tujuan diet yang sesuai
dengan kondisi pasien, membuat strategi intervensi dilanjutkan dengan menyusun
preskripsi diet. Langkah selanjutnya yaitu implementasi rencana intervensi kepada
pasien.
1) Pemberian diet Penyampaian makanan atau zat gizi pasien diabetes mellitus
meliputi pemberian makan pasien diabetes mellitus dan camilan (makan utama
diberikan 3 kali dan camilan 2-3 kali per hari dengan interval waktu 3 jam), rute
pemberian diet melalui oral dan pengobatan terkait diabetes mellitus.
2) Edukasi Menurut Kementerian Kesehatan RI. (2014) edukasi adalah memberi
informasi untuk meningkatkan pengetahuan yang membantu pasien untuk
mengelola atau memodifikasi diet dan perubahan perilaku untuk menjaga atau
meningkatkan kesehatan.
3) Konseling Menurut Kementerian Kesehatan RI. (2014) konseling gizi adalah
proses pemberian dukungan pada pasien dalam menentukan prioritas, tujuan
dan membimbing kemandirian pasien dalam merawat diri sesuai kondisi dan
menjaga kesehatan.
Pada pasien diabetes mellitus konseling penting untuk meningkatkan motivasi
pelaksanaan dan penerimaan diet yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi
pasien, sehingga asupan pasien meningkat dan risiko malnutrisi berkurang.
4) Koordinasi asuhan gizi Koordinasi asuhan gizi merupakan upaya untu melakukan
konsultasi, rujukan atau kolaborasi, koordinasi pemberian asuhan gizi dengan
tenaga kesehatan/institusi/ dietisien lain yang dapat membantu dalam mengelola
masalah yang berkaitan dengan gizi.

e. Monitoring dan Evaluasi


Menurut Kusumohartono dan Hartono (2014) monitoring dan evaluasi
dilakukan untuk mengukur kemajuan kearah tujuan dan mengetahui apakah masalah
gizi sudah diperbaiki atau dipecahkan. Tahap pertama dalam monitoring adalah
memastikan rencana intervensi gizi dapat terimplementasi dengan baik. Tahap
kedua adalah mengukur hasil akhir, dengan membandingkan kondisi setelah
diberikan intervensi dengan hasil pengkajian yang sudah tercantum dalam tujuan
intervensi gizi.
BAB III
GAMBARAN UMUM PASIEN

A. Data Identitas Pasien


a. Nama : Ny. S
b. No. RM : xxx
c. Usia : 69 Tahun

B. Assesmen Gizi
1. Riwayat Gizi
a. Riwayat Gizi Sekarang
Pasien mendapatkan diet cair berbahan susu dengan bahan blendera berupa
CDM 6x200cc/24 jam secara enteral. Selain itu pasien juga mendapatkan nutrisi
parenteral berupa Infus NS (Natrium Chloride) 20 tpm dan Injeksi Ranitidin 1x1 iv.
Pasien terpasang NGT sebagai jalur konsumsi pasien.
Hasil Asupan 24 Jam:
 Energi total sebesar 1201,2 Kkal (memenuhi 87,4% dari kebutuhan)
 Protein total sebesar 48,4 gram (memenuhi 71,1% dari kebutuhan)
 Lemak total sebesar 39,6 gram (memenuhi 103,7% dari kebutuhan)
 Karbohidrat total sebesar 164,7 gram (memenuhi 87,2% dari kebutuhan)
Berdasarkan riwayat gizi sekarang dapat diketahui bahwa asupan lemak
pasien sudah terpenuhi. Namun untuk asupan energi masih dalam defisit ringan,
asupan protein daalam defisit sedang, dan asupan karbohidrat dalam defisit
sedang.

b. Riwayat Gizi Dahulu


Ketika pasien minum agak banyak maka pasien akan tersedak, hal ini sudah
terjadi sejak 3 minggu. Pasien tidak mau makan dan minum sejak 2 hari, dan
aktifitas yang dilakukan pasien berupa tirah baring.

2. Pengkuruan Antropometri
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tubuh pasien untuk mengetahui
status gizi pasien tersebut. Pada kasus ini pengukuran antropometri menggunakan
IMT. Data yang diperlukan untuk mengetahui IMT pasien adalah BB dan TB. Pada
pasien diketahui BB pasien adalah 60 kg dan TB pasien adalah 160 cm. Untuk
mengetahui IMT maka diperlukan perhitungan yaitu:
IMT = BB(kg)/TB(m)2
IMT = 60/1,602
IMT = 23,4
Didapatkan IMT pasien adalah 23,4. Selanjutnya IMT tersebut dibandingkan
dengan standard menurut WHO. Berikut adalah kategori IMT menurut WHO :
Tabel 6. Kategori IMT
Kategori IMT
BB Kurang <18,5
BB Normal 18,5 – 22,9
BB Lebih : ≥23,0
1. Dengan Resiko 23,0 – 24,9
2. Obes I 25,0 – 29,9
3. Obes II ≥30

Berdasarkan klasifikasi BB diatas dapat diketahui IMT pasien berada pada


kategori BB lebih dengan beresiko obesitas. Oleh karena itu perlu dilakukan
perhitungan Berat Badan Ideal Pasien:
BBI = 90% x (TB – 100) x 1 Kg
BBI = 90% x (160 – 100) x 1 Kg
BBI = 54 Kg

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan biokimia adalah pemeriksaan yang dilakukan secara uji
laboratoris pada spesimen jaringan tubuh tertentu yang bertujuan untuk mengetahui
suatu masalah pada spesimen tersebut. Pada pasien yaitu Ny. S telah dilakukan uji
specimen darah. Dari uji tersebut dapat diketahui bahwa terdapat beberapa status
biokimia darah yang tidak sesuai dengan nilai rujukan. Berikut adalah hasil uji
biokimia pasien:

Tabel 7. Data Pemeriksaan Laboratorium Tn. S


Indikator Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Interpretasi Hasil
Gula Darah Acak (GDA) 167 mg/dL Normal
Hemoglobin (HGB) 10,4 g/dL Rendah
Hematokrit (HCT) 32,9% Rendah
Platelet (PLT) 567 103/uL Tinggi
White Blood Cell (WBC) 16,57 103/uL Tinggi
Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa pasien memiliki penyakit
diabetes, terapi yang pasien lakukan dapat mengontrol Gula Darah Acak (GDA)
akan tetapi berdampak pada Hemoglobin pasien yang menyebabkan anemia. Pada
pasien DM yang mengkonsumsi obat-obatab oral tertentu dapat menyebabkan
anemia, serta bisa terjadi dikarenakan tubuh tidak dapat mencerna makanan
dengan baik karena mengalami gangguan nutrisi. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa penyakit DM tidak menyebabkan anemia, tetapi terapi penyerta DM yang
bisa mengembangkan risiko anemia. Pada pasien Dm untuk menjaga pola makan,
biasanya diet yang diberikan adalah mengatur dengan mengurangi konsumsi
karbohidrat sehingga bisa menjadi salah satu faktor gangguan nutrisi yaitu
defesiensi zat besi (Fe) yang ada pada makanan.
Data White Blood Cell (WBC) mengalami peningkatan hampir 2 kali dari nilai
rujukan normal. Hal ini disebabkan oleh adanya Ulkus yang di derita oleh pasien.
Luka tersebut bisa menjadi infeksi apabila ada pertumbuhan bakteri yang cepat
karena didukung oleh tingginya kadar gula dalam darah (Waspadji, 2006). Adanya
infeksi menimbulkan respon imun yaitu kenaikan sel darah putih (Knapp, 2012).
Sitepu (2016) mengatakan bahwa peningkatan jumlag sel darah putih
mengindikasikan bahwa adanya suatu infeksi pada penderita DM tersebut.

4. Pemeriksaan Fisik dan Klinis


a. Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan didapatkan data sebagai
berikut:
 Pasien tampak lemah
 Tangan dan kaki kanan tampak lemah
 Terdapat luka pada punggung kaki sebelah kiri
 Pasien tidak menunjukkan reaksi (GCS 415)

b. Pemeriksaan Klinis
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang telah dilakukan didapatkan data
sebagai berikut:
Tabel 8. Data Pemeriksaan Klinik Ny. S
Indikator Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Interpretasi Hasil
Tekanan Darah 123/77 mmHg Rendah
Nadi 107/menit Tinggi
Suhu 36,50C Normal
RR 22/menit Tinggi

Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa tekanan darah pasien rendah,


nadi tinggi, dan respiration rate tinggi. Salah satu faktor penyebabnya yaitu infeksi
yang terdapat pada punggung kaki pasien mengalami infeksi. Keadaan tubuh
merespon dengan mempercepat metabolisme agar regenerasi luka dapat
dipercepat.

5. Riwayat Personal
a. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit dalam keluarga Ny. S

b. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat penyakit dahulu yaitu Diabetes Melitus tipe 2 + Jantung +
Stroke.

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Berdasarkan hasil diagnosa medis, pasien sedang menderita Ulkus Diabetikum
dengan luka pada punggung kaki sebelah kiri. Pasien menjalani perawatan luka
setiap 3 hari sekali. Keluarga pasien membawa pengantar dari Dr. Made Ardhana,
Sp. PD dengan diagnosa Ulkus Diabetikum
6. Perhitungan Kebutuhan Zat Gizi
Perhitungan Kebutuhan Gizi
Rumus Broca yang terdapat dalam Konsensus Perkumpulan Endokrinlogi
Indonesia (PERKENI, 2015) adalah sebagai berikut:
a. Perhitungan Kalori:
 Penetuan IMT
IMT = BB/TB2(m)
IMT = 60/(1,60)2
IMT = 23,4

 Penentuan Berat Badan Ideal (BBI)


BBI = 90% x (TB – 100) x 1 Kg
BBI = 90% x (160 – 100) x 1 Kg
BBI = 54 Kg
 Basal Metabolisme Rate (BMR)
Perhitungan BMR untuk jenis kelamin perempuan:
BMR = 25 x BBI
BMR = 25 x 54
BMR = 1350 Kkal

 Penentuan Faktor Aktivitas


Menurut Perkeni (2015) faktor aktivitas untuk istirahat (Bed Rest) adalah 10%
BMR
Faktor Aktivitas = 10% x BMR
Faktor Aktivitas = 10% x 1350
Faktor Aktivitas = 135 Kkal

 Penentuan Faktor Umur


Umur pasien adalah 69 tahun. Menurut Perkeni (2015) faktor umur 60 – 69
tahun adalah 10% BMR.
Faktor Umur = 10% x BMR
Faktor Umur = 10% x 1350
Faktor Umur = 135 Kkal

 Penentuan Energi Total


Energi Total = BMR + Faktor Aktivitas – Faktor Umur + IMT
Energi Total = 1350 + 135 – 135 + 23,4
Energi Total = 1374,4 Kkal

b. Perhitungan Protein:
Protein = 20% x Energi Total
Protein = 2% x 1274,4
Protein = 274,9 Kkal/4
Protein = 68,7 gram

c. Perhitungan Lemak:
Lemak = 25% x Energi Total
Lemak = 25% x 1374,4
Lemak = 343,6 Kkal/9
Lemak = 38,2 gram
d. Perhitungan Karbohidrat:
Karbohidrat = 55% x Energi Total
Karbohidrat = 55% x 1374,4
Karbohidrat = 755,9 Kkal/4
Karbohidrat = 189 gram

Standar Pembanding
a. Perhitungan Energi:
Energi: 25 – 30/kg BBI
Energi: 25 – 30/ 54kg
Energi: 1350 – 1620

b. Perhitungan Protein:
Protein: 10 – 20% total asupan energi
Protein: 10 – 20% 1350 – 1620/4
Protein: 33,8 – 81 gram
c. Perhitungan Lemak:
Lemak: 20 – 25% total asupan energi
Lemak: 20 – 25% 1350 – 1620/9
Lemak: 30 – 45 gram

d. Perhitungan Karbohidrat:
Karbohidrat: 45 – 65% total asupan energi
Karbohidrat: 45 – 65% 1350 – 1620/4
Karbohidrat: 151,9 – 263,3 gram

Syarat Diet
 Energi diberikan untuk memenuhi kebutuhan sehari menurut PERKENI 2015 yaitu
1237 – 1511,8 Kkal (90 – 110% dari kebutuhan)

C. Diagnosis Gizi
Domain Intake
NI-2.1 Asupan energi Inadekuat berkaitan dengan peningkatan kebutuhan zat gizi
akibat adanya luka pada punggung kaki sebelah kiri ditandai dengan asupan energi
pasien defisit ringan (87,4%).
Domain Klinis
NC-2.2 Perubahan nilai laboratorium berkaitan dengan ganggunan fungsi endokrin
ditandai dengan Gula Darah Pasien sebsar 167 mg/dL.

D. Intervensi Gizi
a. Tujuan Intervensi
 Membantu mengontrol Gula darah
 Memberikan diet sesuai kebutuhan dan daya terima pasien

b. Preskripsi Diet
1. Jenis Diet
Enteral:
ND.3.1.2 Makanan siap pakai (komersial) → Pemesanan Diet: Formula
Komersial (Blendera) 6x200cc.

2. Kandungan Zat Gizi yang Diberikan


 Energi 1374,4 Kkal
 Protein 68,7 gram
 Lemak 38,2 gram
 Karbohidrat 189 gram

3. Route
Enteral melalui selang NGT

4. Bentuk Makanan
Bentuk makanan cari berupa formula komersial (Blendera) 6x200cc.

5. Frekuensi
Jadwal pemberian dengan interval 3 jam, dengan waktu pemberian yaitu:
Jam 07.00 WIB= 200cc
Jam 09.00 WIB= 200cc
Jam 12.00 WIB= 200cc
Jam 14.00 WIB= 200cc
Jam 18.00 WIB= 200cc
Jam 20.00 WIB= 200cc
c. Perencanaan Konseling
 Tujuan Umum :
Membantu pasien dalam proses pemenuhan kebutuhan zat gizi secara enteral
untuk pasien Diabetes Melitus dengan Ulkus.
 Tujuan Khusus:
i. Memberikan pengetahuan mengenai cara menyiapkan dan pemberian
makanan enteral untuk pasien
ii. Memberikan pengetahuan mengenai pentingnya pemenuhan protein
dalam penyembuhan luka
iii. Memberikan pengetahuan mengenai makanan yang yang dianjurkan,
dibatasi, dan tidak boleh di konsumis oleh pasien
 Sasaran : Pasien dan Keluarga pasien
 Metode : Konsultasi, tanya jawab dan demonstrasi
 Alat Peraga : Leaflet makanan cair DM 1300 dan contoh makanan enteral
 Materi :
i. Cara menyiapkan makanan enteral pasien, hygiene sanitasi peralatan
saat digunakan, dan cara pemberian makanan enteral kepada pasien
DM + Ulkus
ii. Makanan yang tinggi protein berkaitan secara langsung terhadap
penyembuhan luka pasien
iii. Makanan yang dianjurkan, dibatasi, dan tidak boleh di konsumis oleh
pasien Stroke+DM+HT
 Evaluasi :
Menanyakan kembali materi yang telah diberikan. Sasaran mampu menjawab
semua pertanyaan yang telah diberikan.

d. Perencanaan Monitoring dan Evaluasi Gizi


1. Melakukan monitoring terhadap ketepatan diet asupan energi, protein, lemak,
dan karbohidrat.
2. Melakukan monitoring terhadap data penunjang terkait yaitu GDA, dan fisik-
klinis.

e. Kolaborasi Pelayanan Gizi


Dalam memberikan asuhan gizi kepada pasien dilakukan kolaborasi
pelayanan gizi dengan dokter DPJP dalam pemberian makanan dan zat gizi.
E. Monitoring dan Evaluasi Gizi
1. Monitoring dan Evaluasi Terhadap Pemberian Makanan dan Zat Gizi
Berdasarkan hasil diagnosa medis pasien dilakukan intervensi mengenai
asupan makan sesuai dengan kebutuhan. hasil dari monitoring dan evaluasi
tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 9. Hasil Pemberian Makanan dan Zat Gizi Ny. S
Standar Monitoring
Uraian Data awal Evaluasi
pembanding Hari 1 Hari 2
Jenis Diet
Formula Jenis diet sudah
CDM Formula CDM Blendera Blendera
CDM menggunakan
(Blendera) 6x200cc 6x200cc 6x200cc
6x200cc formula CDM
6x200cc
1201,2 1201,2 1201,2 Asupan energi
Energi (Kkal) 1374,4
(87,4%) (87,4%) (87,4%) defisit ringan
48,8 48,8 48,8 Asupan protein
Protein (gram) 68,7
(71,7%) (71,7%) (71,7%) defisit sedang
39,6 39,6 39,6 Asupan lemak
Lemak (gram) 38,2
(103,7%) (103,7%) (103,7%) sesuai
Asupan
Karbohidrat 164,7 164,7 164,7
189 Karbohidrat
(gram) (87,2%) (87,2%) (87,2%)
defisit sedang

2. Monitoring Terhadap Data Penunjang Terkait yaitu GDA dan Fisik-Klinis


Tidak dilakukan monitoring terhadap biokimia pasien yaitu Gula Darah Acak
(GDA). Monitoring terkait fisik-klinis dilakukan setiap hari dengan hasil pasien masih
mengalami mual pada hari 1 dan hari 2, serta masih terdapat luka pada punggung
kaki kiri. Nadi pasien rendah dan Respiration rate pasien masih tinggi pada hari 1
dan hari 2. Dapat dilihat pada tabel diabwah ini:
Tabel 10. Hasil Monitoring Data Penunjang Terkait GDA dan Fisik-Klinis
Standar Monitoring
Uraian Data awal Evaluasi
pembanding Hari 1 Hari 2
Gula darah
normal pada
awal
Gula Darah
< 200 mg/dL 167 mg/dL - - pemeriksaan.
Acak (GDA)
Tidak dilakukan
uji gula darah
kembali.
Pasien
Mual Tidak Mual Tidak Mual Mual Mual
mengalami Mual
Masih terdapat
Terdapat Terdapat
Luka pada Terdapat luka luka pada
Tidak terdapat luka pada luka pada
punggung pada punggung kaki
luka punggung punggung
kaki punggung kaki sebelah kiri
kaki kaki
pasien
Nadi pasien
Nadi 140/90 mmHg 123/77mmHg 130/80 120/80
rendah
Respiration
Respiration
12 – 16 /menit 22 20 20 Rate pasien
Rate (RR)
tinggi
BAB IV
PEMBAHASAN

1. Antropometri
Pengukuran antropometri pasien dilakukan hanya pada skrining awal, didapatkan
tinggi badan pasien 160 cm dan berat badan 60 kg dengan IMT 23,4. Menurut
WHO (2011) IMT pasien berlebih dengan resiko obesitas. Pengukuran antropometri
tidak dilakukan kembali pada monitoring hari 1 dan 2.

2. Biokimia
Pengukuran biokimia pasien pada skrining awal didapatkan hemoglobin sebesar 10,4
g/dL (rendah), hematokrit sebesar 32,9% (rendah), sel darah putih sebesar
19,77103/uL (tinggi), dan gula darah sebesar 167 mg/dL (normal). Pengukuran
biokimia yang dilakukan pada monitoring hari 1 yaitu kalium pasien sebesar 2,3
mmol/L (rendah), dan monitoring hari 2 yaitu klorida sebesar 97 mmol/L (normal),
kalium sebesar 4,01 mmol/L (normal), dan natrium 135 mmol/L (normal). Tidak
dilakukan pengukuran gula darah pasien pada monitoring hari 1 dan 2.

3. Asupan Makan
a) Energi
Energi yang dibutuhkan oleh tubuh berasal dari zat gizi yang merupakan sumber
utama seperti karbohidrat, lemak, dan protein. Energi yang diperlukan dinyatakan
dalam satuan kalori. Menurut Prof. DR. Achmad Djaeni Sediaoetama, MSc. (2010),
energi yang dipergunakan tubuh dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu :
a. Energi Bassal (Bassal Metabolism) digunakan untuk denyut jantung, laju
pernapasan, laju pencernaan, sebagai urogenital, sekresi kelenjar, biolistrik syaraf
dan lainnya.
b. Energi yang diperlukan tubuh untuk melakukan kegiatan atau aktivitas sehari – hari
Berikut merupakan gambaran dari hasil monitoring dan evaluasi pasien:
Kebutuhan dan Hasil Asupan Energi
Kebutuhan Energi
1400

1350

1300

1250

1200

1150

1100
Data Awal Hari 1 Hari 2

Gambar 1. Diagram Kebutuhan Hasil Asupan Energi


Berdasarkan diagram diatas, diperoleh hasil bahwa asupan energi pasien kurang dari
kebutuhan yang di butuhkan oleh pasien. Hal ini menunjukkan bahwa pasien masih
mengalami kekurangan asupan energi dengan kategori defisit ringan (87,4%). Oleh
karena itu diperlukan tambahan dari konsentrasi larutan yang diberikan kepada
pasien agar asupan energi pasien dapat terpenuhi. Sehingga dapat membantu
penyembuhan pasien dan mengontrol penyakit pasien.

b) Protein
Protein merupakan salah satu zat makro yang penting bagi kehidupan. Secara umum
protein berfungsi antara lain untuk pertumbuhan, pembentukan komponen
struktual, pengangkut penyimpanan zat gizi, enzim, pembentukan jaringan tubuh,
dan sumber energi (Hardiansyah dan Supariasi, 2017). Berikut merupakan
gambaran dari hasil monitoring dan evaluasi pasien:
Kebutuhan dan Hasil Asupan Protein
Kebutuhan Protein
80

70

60

50

40

30

20

10

0
Data Awal Hari 1 Hari 2

Gambar 2. Diagram Kebutuhan Hasil Asupan Protein


Berdasarkan diagram diatas, diperoleh hasil bahwa asupan protein pasien kurang dari
kebutuhan yang di butuhkan oleh pasien. Hal ini menunjukkan bahwa pasien masih
mengalami kekurangan asupan protein dengan kategori defisit sedang (71,1%).
Oleh karena itu diperlukan tambahan dari konsentrasi larutan yang diberikan
kepada pasien agar asupan protein pasien dapat terpenuhi. Sehingga dapat
membantu penyembuhan pasien dan mengontrol penyakit pasien.

c) Lemak
Lemak (lipid) adalah zat organik hidrofobik yang bersifat sukar larut air. Namun, lemak
dapat larut pada pelarut non polar seperti, eter, alkohol, kloroform, dan benzene.
Lemak adalah zat yang kaya akan energi dan berfungsi sebagai sumber energi
yang memiliki peran penting dalam metabolism lemak (Hardinsyah dan Supariasa,
2017). Berikut merupakan gambaran dari hasil monitoring dan evaluasi pasien:
Kebutuhan dan Hasil Asupan Lemak
Kebutuhan Lemak
40

39.5

39

38.5

38

37.5
Data Awal Hari 1 Hari 2

Gambar 3. Diagram Kebutuhan Hasil Asupan Lemak


Berdasarkan diagram diatas, diperoleh hasil bahwa asupan lemak pasien mencukupi
dari kebutuhan yang di konsumsi oleh pasien (103,7%). Oleh karena itu diharapkan
untuk mempertahankan asupan lemak pasien dalam rangka membantu
penyembuhan pasien dan mengntrol penyakit pasien.

d) karbohidrat
Karbohidrat merupakan zat makanan yang paling cepta menyuplai dan sebagai bahan
bakar tubuh, terutama masa tubuh dalam kondisi lapar. Karbohidrat adalah zat gizi
berupa senyawa organik yang terdiri dari atom karbon hydrogen dan oksigen yang
digunakan sebagai bahan pembentuk energi (Hardiansyah dan Supariasa, 2017).
Berikut merupakan gambaran dari hasil monitoring dan evaluasi pasien:
Kebutuhan dan Hasil Asupan Karbohidrat
Kebutuhan Karbohidrat
195
190
185
180
175
170
165
160
155
150
Data Awal Hari 1 Hari 2

Gambar 4. Diagram Kebutuhan hasil Asupan Karbohidrat


Berdasarkan diagram diatas, diperoleh hasil bahwa asupan karbohidrat pasien kurang
dari kebutuhan yang di butuhkan oleh pasien. Hal ini menunjukkan bahwa pasien
masih mengalami kekurangan asupan karbohidrat dengan kategori defisit sedang
(87,2%). Oleh karena itu diperlukan tambahan dari konsentrasi larutan yang
diberikan kepada pasien agar asupan karbohidrat pasien dapat terpenuhi.
Sehingga dapat membantu penyembuhan pasien dan mengontrol penyakit pasien.

4. Fisik-Klinis
Pengukuran fisik pasien pada skrining awal didapatkan pasien tampak lemak, tangan,
dan kaki sebelah kanan tampak lemah, terdapat luka pada punggung kaki sebelah
kiri. Pengukuran fisik yang dilakukan pada monitoring hari 1 yaitu pasien mual dan
muntah serta masih terdapat luka pada punggung kaki sebelah kiri, pada hari 2
pasien masih mengalami mual dan nyeri pada perut, serta masih terdappat luka
pada punggung kaki sebelah kiri.
Pengukuran klinis pasien pada skrining awal didapatkan tekanan darah sebesar
123/77 mmHg (rendah), nadi sebesar 107/menit (tinggi), suhu sebesar 36,50C
(normal), dan RR sebesar 22/menit (tinggi). Pengukuran klinis yang dilakukan pada
monitoring hari 1 yaitu tekanan darah sebesar 130/80 mm/Hg (normal), nadi
sebesar 78/menit (normal), suhu sebesar 36,10C (normal), RR sebesar 20/menit
(tinggi). Pada monitoring hari 2 yaitu tekanan darah sebesar 120/80 mm/Hg
(normal), suhu sebesar 36,50C (normal), RR sebesar 20/menit (tinggi). Salah satu
faktor penyebabnya yaitu infeksi yang terdapat pada punggung kaki pasien
mengalami infeksi. Keadaan tubuh merespon dengan mempercepat metabolisme
agar regenerasi luka dapat dipercepat. Hal ini menyebabkan Respiration Rate
pasien tinggi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil asuhan gizi yang telah dilakukan dan pemantauan selama
3 hari pada pasien di Ruang Rawat Inap A2 RSPAL Dr. Ramelan Surabaya,
dapat disimpulkan bahwa pasien seorang perempuan berusia 69 tahun dengan
IMT beresiko obesitas (23,4). Pasien mempunyai riwayat terdahulu DM tipe 2
dengan stroke dan jantung. Sekarang pasien menderita Diabetes Melitung
dengan ulkus.
Pasien Mengalami kelemahan pada lengan dan tungkai kanan pasien,
dengan keadaan umum pasien lemah, terdapat luka pada punggung kaki
sebelah kiri. Ketika pasien minum agak banyak pasien akan tersedak sejak 3
minggu, dan tidak mau makan dan minum sejak 2 hari. Aktifitas pasien tirah
baring. Pasien mendapatkan nutrisi enteral CDM 6x200cc dengan formula
blendera dan nutrisi parenteral berupainfus NS 20 tpm dan injeksi Ranitidin 1x1
iv. Kebutuhan energi pasien sebesar 1374,4 Kkal, protein sebesar 68,7 gram,
lemak sebesar 38,2 gram, dan karbohidrat sebesar 189 gram.
Diagnosa intake yang ditegakkan yaitu NI-2.1 yaitu asupan energi
Inadekuat berkaitan dengan peningkatan kebutuhan zat gizi akibat adanya luka
pada punggung kaki sebelah kiri ditandai dengan asupan energi pasien defisit
ringan (87,4%). Diagnosa klinis yang ditegakkan yaitu NC-2.2 yaitu p erubahan
nilai laboratorium berkaitan dengan ganggunan fungsi endokrin ditandai
dengan Gula Darah Pasien sebsar 167 mg/dL.
Intervensi gizi bertujuan mengontrol gula darah, meningkatkan Hb dan
hematokrit, penyembuhan luka, dan memberikan diet sesuai kebutuhan dan
daya terima pasien. Preskripsi diet yaitu 3J dengan tepat Jumlah, tepat Jadwal,
dan tepat Jenis, serta rendah garam. Diet cair berupa makanan formula
komersial (Blendera) dengan frekuansi 6x200cc ewat enteral melalui NGT.
Pasien juga mengalami tekanan darah tinggi pada monitoring hari
pertama, sehingga diperlukan koordinasi dengan DPJP agar dapat
menurunkan tekanan darah pasien agar kembali normal. Berdasarkan hasil
monitoring dan evaluasi diketahui bahwa terdapat masalah berupa asupan
energi pasien yang defisit ringan, asupan protein defisit sedang, dan asupan
karbohidrat yang defisit sedang. Tindak lanjut yang dilakukan yaitu menambah
konsentrasi larutan sesuai dengan perhitungan kebutuhan, sehingga asupan
pasien tidak defisit.

B. Saran
1. Bagi Rumah Sakit
Hasil asuhan gizi mengenai penatalaksanaan terapi diet pada pasien
Diabetes Melitus dengan Ulkus Di Ruang Rawat Inap A2 RSPAL Dr. Ramelan
Surabaya dapat dijadikan sebagai acuan dan perbaikan mengenai proses
asuhan gizi.
2. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang sudah didapatkan
sebelumnya dengan cara membuat asuhan gizi terhadap pasien.
3. Bagi Pasien dan Keluarga
Dapat menerapkan terapi diet pada penderita Diabetes Melitus dengan Ulkus
Di Ruang Rawat Inap A2 RSPAL Dr. Ramelan Surabaya setelah keluar rumah
sakit.
POST KOMA DIABETIKUM +HIPERTENSI
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM di RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA

LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN STUDI KASUS
ASUHAN GIZI PADA PENDERITA
POST KOMA DIABETIKUM + HIPERTENSI
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA

Telah disetujui pada tanggal 23 April 2021


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya Diabetes Millitus


(Gibney, 2009).Hubungannya dengan Diabetes Millitus tipe 2sangatlah kompleks,
hipertensi dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (resisten insulin). Insulin
berperan meningkatkan ambilan glukosa di banyak sel dan dengan cara ini juga
mengatur metabolisme karbohidrat, sehingga jika terjadi resistensi insulin oleh sel,
maka kadar gula di dalam darah juga dapat mengalami gangguan (Guyton, 2008).
Diabetes Millitus disertai dengan hipertensi adalah jenis yang banyak
menyerang masyarakat dunia.Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian
dan kecacatan pada Diabetes Millitus..Hampir 60% Diabetes Millitus disertai dengan
hipertensi (Harie.2018).Penyakit ini harus ditangani dengan tepat karena jika tidak
dapat berbahaya dan mengancam jiwa.Hal ini juga harus dilakukan sehingga dapat
meminimalisir keparahan dan juga komplikasi pada organ atau fungsi tubuh lainnya.
Menurut Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2010–2011, penyakit
Diabetes Millitus menempati urutan ke-5 dari 10 besar penyakit tidak menular
penyebab rawat jalan di rumah sakit di Indonesia dengan persentase sebesar 1.92%
pada tahun 2009 dan sebesar 2,6% pada tahun 2010 (Kemenkes RI, 2012).
Prevalensi Diabetes Millitus menurut Laporan Nasional tahun 2007 di daerah
perkotaan didapatkan persentase sebesar 6,8% di Provinsi Jawa Timur. Ditinjau dari
segi pendidikan, prevalensi lebih tinggi pada kelompok tidak sekolah dan tidak tamat
SD. Menurut jenis pekerjaan, prevalensi Diabetes Millitus lebih tinggi pada kelompok
ibu rumah tangga dan tidak bekerja, diikuti pegawai dan wiraswasta. Berdasarkan
tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, prevalensi Diabetes Millitus meningkat
sesuai dengan meningkatnya tingkat pengeluaran (Kemenkes RI, 2008).
Diabetes Millitus yang disertai dengan hipertensi sangatlah normal ditemui,
hal ini karena resistensi insulin ang menyebabkan glukosa darah tidak dapat dicerna
dengan baik. Glukosa tersebut menyebabkan timbulnya AGEs dimana pada waktu
yang lama akan menumpuk pada pembuluh darah. Penumpukan ini akan
menyebabkan terganggunya sirkulasi darah. Hal itulah yang menyebabkan hipertensi
pada penderita Diabetes Millitus. (Fathoni,2018)
Pada kasus Diabetes Millitus Hipertensi yang tidak ditangani dengan tepat,
penyakit ini akan menyebabkan komplikasi pada organ lain, seperti ginjal. Hal ini
dapat disebabkan tekanan darah yang tinggi menyebabkan membran pembuluh
darah pada ginjal membesar. Keadaan tersebut menyebabkan glomerulus pasien
Diabetes Millitus Hipertensi rusak sehingga pasien akan menderita Diabetes Millitus
Nefropati. (Probosari, 2013). Tidak hanya itu, kasus Diabetes Millitus juga dapat
menyebabkan ulkus pada luka, neuropati diabetik, dan lain-lain.

B. Tujuan Umum
Memberikan asuhan gizi pada pasien Post Koma Diabetes Millitus Hipertensi

C. Tujuan Khusus
1.Melakukan pengkajian gizi pada pasien Post Koma Diabetes Millitus Hipertensi
2.Menetapkan diagnosis gizi pada pasien Post Koma Diabetes Millitus Hipertensi
3. Menetapkan status gizi pasien Post Koma Diabetes Millitus Hipertensi
4. Menganalisis perkembangan asupan makanan pasien Post Koma Diabetes
Millitus Hipertensi
5. Menganalisis perkembangan biokimia pasien Post Koma Diabetes Millitus
Hipertensi
6. Menganalisis perkembangan fisik klinis pasien Post Koma Diabetes Millitus
Hipertensi
7. Merencanakan intervensi gizi untuk pasien Post Koma Diabetes Millitus Hipertensi
8.. Merencanakan edukasi gizi untuk pasien dan atau keluarga pasien Post Koma
Diabetes Millitus Hipertensi

D. Manfaat Studi Kasus


1.Menambah wawasan mengenai penyakit Diabetes Millitus Hipertensi
2.Mengasah kemampuan dalam melakukan asuhan gizi klinik
3.Mengasah kemampuan dalam membuat rencana intervensi serta monitoring dan
evaluasi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Millitus dengan Hipertensi

Diabetes Melitus adalah penyakit akibat resistensi insulin.Diabetes Militus


memiliki gejala klinis yang khas berupa poliuria dan polidipsia.Kumpulan gejala pada
Diabetes Melitus dapat terjadi karena gangguan sekresi, gangguan kerja insulin atau
keduanya Diabetes Melitus tipe adalah suatu sindrom heterogen yang ditandai
dengan gangguan metabolisme karbohidrat dan lemak (Probosari, 2013).
Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya Diabetes Millitus
(Gibney, 2009).Hubungannya dengan Diabetes Millitus tipe 2sangatlah kompleks,
hipertensi dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (resisten insulin). Insulin
berperan meningkatkan ambilan glukosa di banyak sel dan dengan cara ini juga
mengatur metabolisme karbohidrat, sehingga jika terjadi resistensi insulin oleh sel,
maka kadar gula di dalam darah juga dapat mengalami gangguan (Guyton, 2008).
Apabila ditemukan gejala khas Diabetes Millitus, pemeriksaan glukosa darah
abnormal hanya satu kali sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila
tidak ditemukan gejala khas Diabetes Millitus, maka diperlukan dua kali pemeriksaan
glukosa darah abnormal. Diagnosis Diabetes Millitus dapat ditegakkan melalui tiga
kriteria yaitu jika keluhan klasik ditemukan maka pemeriksaan glukosa darah
sewaktu ≥ 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis Diabetes Millitus,
jika keluhan klasik ditemukan, dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa ≥ 126
mg/dL, bila ada keraguan perlu dilakukan tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan
mengukur kadar glukosa darah 2 jam setelah minum 75 g glukosa. Pada Diabetes
Millitus Hipertensi pemeriksaan juga akan meninjau tekenan darah pasien. Apabila
pasien tersebut memiliki tekanan darah yang tinggi dan cenderung naik dari waktu ke
waktu, maka pasientersebut dapat didiagnosa Diabetes Millitus Hipertensi
(Purnamasari, 2009).

B. Klasifikasi Diabetes Millitus

Klasifikasi Diabetes Millitus berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2015) adalah


sebagai berikut :
e. Diabetes Millitus (DM) tipe 1
Diabetes Millitus yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel beta di
pankreas.kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang terjadi
secara absolut. Penyebab dari kerusakan sel beta antara lain autoimun dan
idiopatik.
f. Diabetes Millitus (DM) tipe 2
Penyebab Diabetes Millitus tipe 2 seperti yang diketahui adalah resistensi insulin.
Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara optimal
sehingga menyebabkan kadar gula darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi insulin
juga dapat terjadi secara relatif pada penderita DM tipe 2 dan sangat mungkin
untuk menjadi defisiensi insulin absolut.
g. Diabetes Millitus (DM ) tipe lain
Penyebab Diabetes Millitus tipe lain sangat bervariasi. Diabetes Millitus tipe ini
dapat disebabkan oleh defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati pankreas, obat, zat kimia, infeksi,
kelainan imunologi dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan Diabetes
Millitus.
h. Diabetes Millitus Gestasional
Diabetes tipe ini menyerang wanita hamil dan hanya berlangsung pada waktu
kehamilan.Sama seperti Diabetes Millitus tipe 2, penyebab dari Diabetes Millitus
Gestasional karena resistensi insulin pada masa kehamilan.Kondisi ini
membutuhkan perhatian serius karena dapat mengancam jiwa ibu dan anak.
.
C. Etiologi Diabetes Hipertensi

Diabetes Hipertensi ditegakkan setelah pasien diketahui memiliki gula darah


dan tekanan darah yang tinggi. Akibat resistensi insulin, gula darah tidak dapat
dicerna dengan baik. Gula darah tersebut menyebabkan terbentukna AGEs. Hal
tersebut membuat tekana darah tinggi karena AGEs menutupi saluran darah dan
membuat sirkulasi darah terhambat. Hipertensi juga merupakan faktor risiko utama
untuk terjadinya Diabetes Millitus (Gibney, 2009).
Belum diketahui mengapa kondisi di atas terjadi pada penderita diabetes,
tetapi diduga terkait dengan tingginya kadar gula dan tekanan darah, dua kondisi
yang dapat mengganggu fungsi ginjal. Salah satu faktor risiko terjadinya penyakit ini
adalah kebiasaan mengonsumsi makanan penyebab gagal ginjal, misalnya makanan
yang terlalu manis Selain faktor-faktor lain yang seperti riwayat penyakit keluarga
dan gaya hidup juga dapat mempengaruhi terjadinya kasus ini.
Secara ringkas, beberapa faktor etiologis timbulnya penyakit ini adalah
kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa > 140–160 mg/dl); faktor
genetis; kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan LFG,
peningkatan tekanan intraglomerulus); hipertensi sistemik; sindrom resistensi insulin
(sindroma metabolik), keradangan, perubahan permeabilitas pembuluh darah,
asupan protein berlebih, gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol,
pembentukan advanced glycation and products, peningkatan produksi sitokin);
pelepasan growth factors, kelainan metabolisme karbohidrat atau lemak atau protein;
kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan
membrana basalis glomerulus), gangguan ion pumps (peningkatan Na+ - H+ pump
dan penurunan Ca2+ – ATPase pump); dislipidemia (hiperkolesterolemia dan
hipertrigliseride-mia), aktivasi protein kinase-C (Hendromartono, 2009).
D. Patofisiologi Diabetes Hipertensi
Diabetes Millitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada
metabolisme zat gizi karena insulin tidak dapat bekerja secara optimal, jumlah insulin
yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya.Gangguan tersebut dapat terjadi
karena 3 hal yaitu pertama karena kerusakan pada sel-sel beta pankreas karena
pengaruh dari luar seperti zat kimia, virus dan bakteri.Penyebab yang kedua adalah
penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas dan yang ketiga karena
kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer (Fatimah, 2015).
Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas digunakan untuk mengatur
kadar glukosa darah dalam tubuh dan kadar glukosa darah yang tinggi akan
menstimulasi sel beta pankreas untuk mengsekresi insulin (Hanum, 2013). Sel beta
pankreas yang tidak berfungsi secara optimal dapat berakibat pada kurangnya
sekresi insulin sehingga kadar glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel
beta pankreas sangat banyak seperti contoh penyakit autoimun dan
idiopatik.Gangguan respons metabolik terhadap kerja insulin disebut dengan
resistensi insulin. Keadaan ini dapat disebabkan oleh gangguan reseptor, pre
reseptor dan post reseptor sehingga dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari
biasanya untuk mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap normal.
Insulin digunakan untuk menurunkan glukosa darah dengan cara
menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan otot dan lemak serta menekan produksi
glukosa oleh hati menurun. Penurunan sensitivitas insulin menyebabkan resistensi
insulin sehingga kadar glukosa dalam darah tinggi (Prabawati, 2012).
Cheung et al (2012) menyebutkan bahwa hiperglikemia sering disertai
dengan timbulnya sindrom metabolik yaitu hipertensi, dislipidemia, obesitas,
disfungsi endotel dan faktor protrombotik yang kesemuanya itu akan memicu dan
memperberat komplikasi kardiovaskuler. Salah satu komplikasi makroangiopati
diabetes dapat terjadi karena perubahan kadar gula darah, gula darah yang tinggi
akan menempel pada dinding pembuluh darah. Setelah itu terjadi proses oksidasi
dimana gula darah bereaksi dengan protein dari dinding pembuluh darah yang
menimbulkan AGEs.
Advanced Glycosylated Endproducts (AGEs) merupakan zat yang dibentuk
dari kelebihan gula dan protein yang saling berikatan.Keadaan ini merusak dinding
bagian dalam dari pembuluh darah, dan menarik lemak yang jenuh atau kolesterol
menempel pada dinding pembuluh darah, sehingga reaksi inflamasi terjadi.Sel darah
putih (lekosit) dan sel pembekuan darah (trombosit) serta bahan-bahan lain ikut
menyatu menjadi satu bekuan plak (plaque), yang membuat dinding pembuluh darah
menjadi keras, kaku dan akhirnya timbul penyumbatan yang mengakibatkan
perubahan tekanan darah yang dinamakan hipertensi (Tandra, 2009). Mutmainah
(2012) dalam penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara kadar
gula darah dengan hipertensi pada penderita diabetes Millitus tipe 2.

E. Gejala Diabetes Hipertensi


Gejala yang muncul pada penderita Diabetes Mellitus menurut Alfi (2019)
diantaranya :
a. Poliuri (banyak kencing)
Poliuri merupakan gejala awal diabetes yang terjadi apabila kadar gula darah
sampai di atas 160-180 mg/dl. Kadar glukosa darah yang tinggi akan dikeluarkan
melalui air kemih, jika semakin tinggi kadar glukosa darah maka ginjal
menghasilkan air kemih dalam jumlah yang banyak. Akibatnya penderita
diabetes sering berkemih dalam jumlah banyak.
b. Polidipsi (banyak minum)
Polidipsi terjadi karena urin yang dikeluarkan banyak, maka penderita akan
merasa haus yang berlebihan sehingga banyak minum.
c. Polifagi (banyak makan)
Polifagi terjadi karena berkurangnya kemampuan insulin mengelola kadar
gula dalam darah sehingga penderita merasakan lapar yang berlebihan.
d. Sakit kepala
Sakit kepala merupakan gejala umum yang terdapat pada penderita
hipertensi, selain itu gejala seperti rasa berat pada tengkuk juga serng didapati
pada penderita hipertens akut (American Hearth Assosiation, 2017).

e. Faktor Resiko Pada Diabetes Hipertensi


Pasien Diabetes Millitus tipe 2 dengan hipertensi memiliki risiko 7 kali lebih
besar untuk mengalami gagal ginjal terminal (ESRD) dan 2-4 kali terjadi penyakit
kardiovaskular, seperti infark miokard, stroke, atau kematian, dibandingkan
dengan pasien Diabetes Millitus tipe 2 normotensi pada usia yang sama (Selim,
dkk, 2013).
Penelitian lain menunjukan bahwa lebih dari 50% pasien Diabetes Millitus
menderita Hipertensi dan secara signifikan hipertensi ini mempercepat timbulnya
komlikasi Diabetes Millitus terhadap penyakit mikro dan makrovaskular yang
meliputi Cardiovascular Disease (CVD) dan Chronic Kidney Diesease (CKD).
Diabetes Millitus dengan komorbid hipertensi akan meningkatkan risiko CVD dan
CKD (Lastra, dkk., 2014).

f. Tata Laksana Asuhan Gizi Diabetes Hipertensi


Prinsip pengaturan makan pada penyandang Diabetes Millitus hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang
dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.
Penyandang Diabetes Millitus perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada
mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi
insulin itu sendiri (Perkeni, 2015).
a. Protein
Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi. Sumber
protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
b. Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Komposisi yang
dianjurkan:
 Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.
 Lemak tidak jenuh ganda < 10 %.
 Selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan
susu fullcream. Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.
c. Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45 – 65% total asupan
energi.Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.Pembatasan karbohidrat
total <130 g/hari tidak dianjurkan. Glukosa dalam bumbu diperbolehkan
sehingga penyandang diabetes dapat makan sama dengan makanan
keluarga yang lain. Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake/ADI).
Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan makanan
selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan
kalori sehari.
d. Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang Diabetes Millitus sama
dengan orang sehat yaitu <2300 mg/hari. Penyandang Diabetes Millitus
yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan pengurangan natrium secara
individual. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda,
dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Gambaran Umum

Nama Ny. M
Umur 48 th
Jenis Kelamin Perempuan
BB 58 kg
TB 150 cm
Diagnosis
Post Koma Diabetikum Hipertensi
Medis
Biokimia GD2JPP:306 mg/dl, LDL = 269 , TG = 398, Kreatinin = 1,1
TD:201/80mmhg,RR:20/menit,GCS 456, Nadi : 113, suhu :
36,6oC, SPO2 = 98%
Fisik Klinis
Mual dan sakit kepala

Riwayat Gizi
Terdahulu
Diet LLCDMRG 1700 Kkal, Asupan makan ½ dari kebutuhan
harian karena mual
Riwayat Gizi
Asupan E= 856 kka l(50,6%), P= 28,75 g (45,3%), L= 17 g
Sekarang
(36,2%), KH= 164.g (64,4%)

Diabetes Millitus sejak 10 tahun yg lalu namun tidak rutin


Riwayat kontrol dan berobat
Penyakit Hipertensi sejak 5 tahun yg lalu namun tidak rutin kontrol dan
berobat

B. Assesment
1.Antropometri (AD)
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tubuh pasien untuk mengetahui status
gizi pasien tersebut.Pada kasus ini pengukuran antropometri menggunakan IMT.Data
yang diperlukan untuk mengetahui IMT pasien adalah BB dan TB.
Pada pasien diketahui BB pasien adalah 60 kg dan TB pasien adalah 155 cm. Untuk
mengetahui IMT maka diperlukan perhitungan yaitu :
IMT = BB(kg)/TB(m)2
IMT = 58/1,52
IMT = 25,7
Didapatkan IMT pasien adalah 25,7. Selanjutnya IMT tersebut dibandingkan
dengan standard menurut Kemenkes RI. Berikut adalah kategori IMT menurut
Kemenkes RI :

Kategori IMT
Kurus Kekurangan BB tingkat berat < 17,0
Kekurangan BB tingkat berat 17,0-18,4
Normal 18,5 – 25,0
Gemuk Kelebihan BB tingkat ringan 25,1 – 27,0
Kelebihan BB tingkat berat >27,0

Berdasarkan klasifikasi BB diatas dapat diketahui IMT pasien berada pada


kategori kelebihan BB tingkat ringan, sehingga asuhan gizi yang diberikan kepada
pasien harus mempertimbangkan status gizi pasien.
BBI pasien dapat didapatkan dengan rumus :
BBI = (TB – 100) x 90%
BBI = 45 kg
Jadi, BBI pasien adalah 45 kg agar tubuh pasien memiliki status gizi normal
sehingga pasien tidak obesitas dan menunjang proses penyembuhan

2. Pemeriksaan Biokimia (BD)


Pemeriksaan biokimia adalah pemeriksaan yang dilakukan secara uji laboratoris
pada spesimen jaringan tubuh tertentu yang bertujuan untuk mengetahui suatu
masalah pada spesimen tersebut.Pada pasienyaitu Ny. M telah dilakukan uji specimen
darah. Dari uji tersebut dapat diketahui bahwa terdapat beberapa status biokimia
darah yang tidak sesuai dengan nilai rujukan. Berikut adalah hasil uji biokimia pasien :

Data Hasil Nilai


Satuan Ket
Lab Lab Rujukan
GD2JP
306 mg/dL T
P <140
Natrium 113 mmol/L 135-145 R
LDL 269 mg/dL <100 T
Kreatini
n
1,1 mg/dL 0,5–1,5 N
TG 398 mg/dL <150 T
Dari data biokimia diatas dapat diketahui pasien mengalami Diabetes dengan
data lab yaitu gula darah sewaktu yang tinggi.Hal ini disebabkan karena resistensi
insulin dalam darah sehingga gula dalam darah tidak dapat dicerna dengan baik
(Prbosari,2013). GD2JPP menggambarkan keadaan 2 jam prospandial yaitu
kadar gula darah yang diperiksa saat 2 jam setelah minum larutan glukosa 7
gram.
Pada kadar LDL dan TG pasien yang tinggi berkaitan dengan obesitas pada
pasien. LDL dan TG merupakan lemak jahat yang dapat menghambat sirkulasi
darah. Selain hipertensi, keadaan ini dapat mengancam pasien karena tekanan
darah pasien tidak baik.
Tes kreatinin adalah tes yang lazim dilakukan oleh pasien Diabetes
Militus. Tes ini bertujuan untuk mengukur kadarkreatinindalam darah. Kreatinin
adalah zat sisa metabolisme yang normalnya disaring oleh ginjal dan dibuang
bersama urine. Ginjal juga mengeluarkan sampah metabolisme yaitu urea,
kreatinin asam urat dan zat kimia asing (Rivandi.2018). Pada pasien Diabetes
kerapkali pasien mengalami komplikasi ginjal, keadaan ini membuat ginjal
kesulitan melakukan tugasnya untuk menyaring sampah sisa metabolisme
tersebut. Pada tahap lebih lanjut akan menyebabkan Diabetes Millitus Nefropati.
3. Pemeriksaan Fisik Klinis (PD)
Pemeriksaan fisik klinis adalah proses yang dilakukan ahli medis untuk
melakukan pemeriksaan tanda vital dan tanda klinis pasien..
Pada data fisik yang didapatkan dari pasien yaitu Ny. M adalah sebagai
berikut :
Data Nilai
Nilai Satuan Ket
Klinis Rujukan
Tekanan 201/8
mmHg 120/80 T
Darah 0
SpO2 98 % 95-100 N
RR 20 /menit 12-16 N
Nadi 113 /menit 60-100 T

Tekanan darah tinggi berkaitan dengan kelebihan gula darah. Pasien diabetes
tidak mempunyai cukup hormon insulin untuk memproses glukosa (gula dari
makanan) atau insulin mereka tidak bekerja dengan efektif.Insulin adalah hormon
yang membuat tubuh dapat memproses glukosa dari makanan dan
menggunakannya untuk energi. Karena adanya masalah pada insulin, glukosa
tidak dapat masuk ke dalam sel-sel tubuh untuk membentuk energi dan akhirnya
akan terkumpul di aliran darah karena membentuk AGEs.
RR dan Nadi pada pasien normal namun pada batas atas. RR dan nadi yang
tinggi dapat menunjukkan pasien kesulitan bernafas atau kerja jantung yang
cepat. Pada beberapa obat Diabetes Millitus memiliki efek samping jantung
berdebar. Untuk situasi seperti itu diperlukan monitoring pada pasien oleh tenaga
kesehatan.
4. Riwayat Gizi
a. Riwayat Gizi Terdahulu
Sebelum pasien dirawat di ruang jantung, pasien dirawat di CPU Jantung dan
mendapat diet CDM 6x200 cc. Asupan E=1180 kkal( 69,7%), P= 48,84 g (76,9
%), L=39,6 g (84,3 %), KH=164,7 g (64,8%)
b. Riwayat Gizi Sekarang
Saat ini pasien menerima diet LLCDMRG 1700 kalori, namun asupan makan
pasien ½ dari kebutuhan intake hariannya. Asupan E= 856 kkal (50,6%), P=
28,75 g (45,3%), L= 17 g (36,2%), KH= 164.g (64,4%) Hal ini perlu ditindak
lanjuti agar pasien dapat meningkatkan asupan makannya. Ahli gizi dapat
menanyakan keluhan pasien yang mempengaruhi sisa makan tersebut dan
berkoordinasi dengan tenaga kesehatan lain untuk mengatasi keluhan
tersebut. Selain itu ahli gizi juga dapat memberikan edukasi kepada pasien dan
keluarga pasien.
5.Riwayat Personal
Saat ini pasien berusia 48 tahun. Usia pasien juga mempunyai pengaruh
terhadap keparahan penyakit. Semakin bertambahnya usia maka organ pun tidak
dapat bekerja semaksimal saat usia muda. Meskipun hal ini juga dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti pola hidup, tingkat stress dan keturunan. Aktivitas pasien
saat ini adalah berbaring di RS karena sakit yang dideritanya.
6. Diagnosis Gizi
N.I 1.2
Asupan energi inadekuat terkait dengan mual ditandai dengan asupan E 856 kkal(
50,6 %)
N.C 2.2
Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi khusus terkait dengan penurunan
fungsi endokrin ditandai dengan peningkatan glukosa dara 306 mg/dl

7.Rencana Intervensi
3. Intervensi Diet
a. Tujuan Intervensi
Meningkatkan asupan energi secara bertahap mulai dari 70-100%
kebutuhan selama 3 hari (E=1700 kkal)
b. Prinsip diet
3J(Tepat Jumlah, Jadwal, Jenis)

c. Syarat diet
6. Energi harian pasien berdasarkan Perkeni yaitu 1700 kkal
7. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 60% total asupan energy yaitu 254
gram. Terutama pada karbohidrat yang berserat tinggi. Sukrosa tidak
boleh lebih dari 5% total asupan energi.
8. Asupan lemak yaitu 25% kebutuhan kalori sebesar 47 gram, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Komposisi yang
dianjurkan adalah lemak jenuh <7% kebutuhan kalori, lemak tidak jenuh
ganda <10%, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Bahan makanan
yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu fullcream. Konsumsi
kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.
9. Kebutuhan protein pada pasien yaitu 15% dari kebutuhan harian sebesar
63,5 gram. dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi. Sumber
protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan
tempe
10. Anjuran asupan natrium untuk penyandang Diabetes Millitus sama
dengan orang sehat yaitu sebesar 10 – 20% total asupan energi. Pada
pasien dengan hipertensi perlu dilakukan pengurangan natrium secara
individu. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda,
dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit
11. Penyandang Diabetes Millitus dianjurkan mengonsumsi serat dari
kacang kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat. Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal
dari berbagai sumber bahan makanan.

d. Perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi


Rumus Broca yang terdapat dalam Konsensus Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia (PERKENI, 2015) adalah sebagai berikut

Perhitungan Kalori :
1.) Basal Metabolisme Rate (BMR)
Perhitungan BMR untuk jenis kelamin perempuan adalah
BMR= 25 x BBI
BMR = 25 x 45
BMR = 1450 kkal

2) Penentuan Faktor Aktivitas


Menurut Perkeni (2015) faktor aktivitas untuk istirahat (bed rest) adalah
10% BMR
Jadi, faktor aktivitas pada pasien adalah 145

4) Penentuan Faktor Umur =


Umur pasien adalah 48 tahun.Menurut Perkeni (2015) faktor umur 40-59
tahun adalah 5% BMR. Jadi, Faktor umur pada pasien adalah 72,5

5) Faktor stress
Pasien adalah pasien post koma sehingga memiliki faktor stress 10% dari
BMR

5) Penentuan Energi Total


Energi Total = BMR + Faktor aktivitas + Faktor stress- Faktor umur + IMT
Energi Total = 1450 + 145 + 145 –72,5 + 25,7
Energi Total = 1693,2 kkal

Perhitungan Protein :
Total kebutuhan protein untuk pasien menurut Perkeni (2015) adalah :
Protein = 15% x Energi total / 4
Protein = 15% x 1693,2 / 4
Protein = 63,5 g

Perhitungan Lemak =
Lemak = 25% x Energi Total / 9
Lemak = 25% x 1693,2 / 9
Lemak = 47 g

Perhitungan Karbohidrat =
Karbohidrat = 60% x Energi Total
Karbohidrat = 60% x 1693,2 / 4
Karbohidrat = 254 g
Jadi, diet yang di berikan adalah LLCDMRG 1700 kkal dengan
karbohidrat 254 g, lemak 47 g, dan protein 63,5 g.

4. Intervensi Edukasi
a. Tujuan Edukasi:
Memberikan motivasi kepada pasien agar dapat menghabiskan
makanannya minimal 70% asupan
b. Sasaran :
Pasien
c. Waktu:
10 Maret 2021 pukul 09.00
d. Tata Cara:
Menggunakan telefon ruangan
e. Metode:
Tanya jawab dengan keluarga pasien
f. Alat bantu:
-
g. Materi :
- Berdikusi mengenai kendala pasien dalam menghabiskan makanannya,
- Mencari alternatif solusi untuk pasien agar dapat membantu pasien
mengahbiskan makanan hingga minimal 70% asupan
- Memberikan motivasi kepada pasien untuk menghabiskan makanannya
10. Implementasi
Implementasi asuhan gizi, intervensi dan pemberian edukasi dilakukan oleh ahli
gizi RSPAL Dr. Ramelan Surabaya secara berkala. Dapat dilakukan di dalam
ruang rawat inap pasien langsung,. Saat pasien tidak mampu mengonsumsi
makanan lunak LLCDMRG 1700 kkal, ahli gizi mengganti dengan NTDM 1700
kkal agar kebutuhan nutrisi pasien dapat terpenuhi karena pasien mual saat
mengonsumsi diet lunak cacah.Keseluruhan hasil monitoring dan evaluasi ditulis
dalam form evaluasi untuk selanjutnya diberikan tindak lanjut sesuai
permasalahan yang dihadapi. Pemberikan makanan disesuaikan dengan
kemampuan pasien.
11. Rencana Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan Evaluasi akan dilakukan oleh ahli gizi RSPAL Dr. Ramelan
Surabaya. Monitoring dan Evaluasi meliputi pemeriksaan pada data biokimia, fisik
klinis dan asupan pasien. Tujuan dari monitoring dan evaluasi adalah untuk
mengetahui perkembangan dari asuhan gizi dan pengbatan baik. Diharapkan data
biokimia, fisik klinis dan asupan pasien membaik.
Diet yang diberikan kepada pasien menyesuaikan kemampuan pasien dan
aspan harian pasien. Untuk diet yang diberikan saat masuk ke RS adalah
LLCDMRG 1700 kkal dengankarbohidrat 254 g, lemak 47 g, dan protein 63,5

BAB IV
Hasil Dan Pembahasan

D. Monitoring dan Evaluasi Antropometri


Pada asessment awal telah dilakukan pengukuran antropometri pada pasien
menggunakan IMT. Data yang diperlukan untuk mengetahui IMT pasien adalah BB dan
TB.
Pada pasien diketahui BB pasien adalah 60 kg dan TB pasien adalah 155 cm. Untuk
mengetahui IMT maka diperlukan perhitungan yaitu :
IMT = BB(kg)/TB(m)2
IMT = 58/1,52
IMT = 25,7
Didapatkan IMT pasien adalah 25,7 dan IMT tersebut dalam kategori obesitas ringan
pada standard menurut Kemenkes RI. BBI pasien adalah 45 kg. Untuk monev ke 1 dan
2 tidak ada pemantauan antropometri pasien.
E. Monitoring dan Evaluasi Biokimia

Data Hasil Nilai


Satuan Ket
Monev Lab Lab Rujukan
1 GD2JP
227 mg/dL T
P <140
Data Hasil Nilai
Satuan Ket
Monev Lab Lab Rujukan
2 GD2JP
122 mg/dL N
P <140
Data Hasil Nilai
Satuan Ket
Lab Lab Rujukan
Monev
GD2JP
3 103 mg/dL N
P <140

Dapat diketahui dari monev pertama hingga ke tiga, GD2JPP pasien


menurun dari waktu ke waktu dibandingkan pada asessment awal. Hal ini
menandakan pengobatan untuk Diabetes Millitus pasien berhasil. Selain karena
faktor pengobatan, gula darah yang menurun dapat dikarenkan faktor dari
kepatuhan diet pasien. Diet yang diberikan oleh RS telah mematuhi standard
perhitungan PERKENI yang sesuai untuk kebutuhan pasien.
Peran keluarga juga besar dalam pengobatan dan terapi pasien Diabetes
Millitus dan Hipertensi karena keluargalah yang merawat pasien. Pemberien
edukasi dan konseling dapat menunjang proses penyembuhan pasien. Kelurga
juga dapat dijadikan agen untuk mengawasi pasien, seperti misalnya pada
konsumsi gula pasien, aktivitas fisik pasien dn juga makanan-makanan yang harus
dikonsumsi pasien. Pada saat ini GD2JPP pasien telah normal, untuk itu peran
internal yaitu pasien itu sendiri dan peran eksternal yaitu keluarga dan orang-orang
terdekat pasien amat sangat penting untuk mempertahankan kondisi ini.
F. Monitoring dan Evaluasi Fisik Klinis
Data Fisik Nilai
Nilai Satuan Ket
Klinis Rujukan
Tekanan 140/9
mmHg 120/80 T
Darah 0
Nadi 80 /menit 60-199 T
Monev 1
SpO2 99 % 95-100 N
RR 20 /menit 12-20 N
Suhu 36,7 o
C 36 - 37,5 N
Mual, lemas, tidak nafsu makan, dan sakit
keapala
Data Fisik Nilai Satuan Nilai Ket
Klinis Rujukan
Tekanan 115/6 mmHg 120/80 R
Darah 9
Monev 2 Nadi 70 /menit 60-199 T
SpO2 98 % 95-100 N
RR 20 /menit 12-20 N
Suhu 36 o
C 36 - 37,5 N
Mual berkurang dan sakit kepala
Data Fisik Nilai Satuan Nilai Ket
Klinis Rujukan
Tekanan 130/7 mmHg 120/80 T
Darah 6
Monev 3 Nadi 72 /menit 60-199 N
SpO2 98 % 95-100 N
RR 18 /menit 12-20 N
Suhu 36,2 o
C 36 - 37,5 N
Sakit kepala berkurang

Pada monev ke satu terjadi penurunan TD menjadi 140/990 mmHg dibanding


asessment awal 201/80 mmHg. Pada monev 2 dan 3 TD pasien naik turun. Suhu
dn RR pasien pun juga pada nilai normal yaitu 37,2 oC dan RR pasien 20/menit.
Kondisi RR pasien tetap baik dan pada batas normal sedari awal. Hingga monev 3
terpantau nadi pasien telah membaik meskipun. Hal yang perlu diperhatikan lebih
lanjut setelah monitoring dan evaluasi ke 3 adalah tekanan darah.
Tingginya gula dalam pembuluh darah yang mengelilingi tubuh akan
menyebabkan hipertensi. Hal ini terjadi karena saat glukosa darah tidak dapat
dicerna dengan baik leh tubuh akan membentuk AGEs. AGEs dapat menyebabkan
sirkulasi darah terganggu sehingga menyebabkan hipertensi (Probosari,2013)
Kondisi fisik pasien pada monev pertama yaitu mual, lemas, tidak nafsu makan,
dan sakit keapala. Hal ini disebabkan karena intake makanan pasien inadequat sehingga
fisik pasien melemah. Pada monev kedua pasien sudah dapat menghabiskan 75% asupan
makanan harian. Kondisi fisik pasien membaik dengan mual yang berkurang namun masih
sakit kepala. Pada monev ketiga asupan makanan pasien meningkat menjadi 80%. Rasa
mual pasien sudah hilang dan sakit kepala berkurang. Kondisi fisik pasien semakin
membaik diikuti asupan makanan yang semakin meningkat.
Kondisi pasien dari monev 1 hingga monev 3 semakin membaik. Untuk
memantau TD pasien maka pasien harus mengecek tensi darah secara berkala.
Tekanan darah yang tinggi dapat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi.
Pasien harus diberikan makanan dengan natrium rendah. Asupan natrium dapat
dibatasi 600-800 gram / hari karena pasien memiliki riwayat sakit Diabetes Millitus
dan saat ini TD masih belum normal. Untuk mengoptimalkan kondisi fisik pasien
yang masih terasa pusing, asupan oral yang adequat dapat membantu untuk
meredakan pusing dan gejal ini akan hilang seiring meningkatnya kondisi fisik
pasien.

G. Monitoring dan Evaluasi Tingkat Konsumsi Energi Makro


Monev 1 Energi Lemak Protein Kh
Kebutuhan 1693,2 47 63,5 254
Asupan 856 28,75 28,75 164
% Asupan 50,6 61,17 45,28 64,6
Monev 2 Energi Lemak Protein Kh
Kebutuhan 1693,2 47 63,5 254
Asupan 1284 43,125 43,13 246
% Asupan 75,8 91,5 67,92 96,9
Monev 3 Energi Lemak Protein Kh
Kebutuhan 1693,2 47 63,5 254
Asupan 1369,6 46 46 262,4
% Asupan 80,9 97,9 72,44 103,3

Asupan energi pasien hingga monev ketiga semakin meningkat meskipun


masih mencapai 80,9% asupan. Hal ini berkaitan dengan kondisi fisik pasien yang
semakin membaik sehingga nafsu makan meningkat. Hingga monev kedua rasa
mual pasien berkurang dan pasien telah mampu meningkatkan asupannya dari hari
ke hari.
Asupan karbohidrat dan protein pasien juga meningkat hingga monev ketiga
meskipun asupan tersebut belum mencapai 90% asupan harian pasien. Hal ini
masih perlu ditingkatkan untuk menunjang proses penyembuhan pasien.
Karbohidrat berfungsi sebagai sumber eneergi dan protein sebagai zat pembangun
sel-sel tubuh yang rusak akibat penyakit. Dengan peningkatan asupan karbohidrat
dan protein yang sesuai asupan maka dapat menunjang proses penyembuhan
pada pasien.
Asupan lemak pasien sejak monev kedua dan ketiga sudah memenuhi
kebutuhan. Hal ini perlu dijaga agar asupan tersebut tetap adequat. Lemak dapat
membantu tubuh pada penyerapan vitamin A,D,dan E. Pada proses penyembuhan
vitamin juga berperan penting untuk membentuk sistem imun tubuh sehingga
asupan lemak juga harus diperhatikan.
Asupan pasien semakin membaik dari monev ke 1 – 3. Pemeriksaan lab dan
fisik klinis juga mendukung perkembangan pasien yang membaik. Pada monev
pertama pasien mampu menghabiskan makanan ½ asupan perhari dan meningkat
dari monev ke 2 hingga ke 3 menjadi 75% asupan dan 80%. Hal ini harus terus
ditingkatkan agar pasien dapat menunjang kesembuhan pasien lebih baik lagi

H. Grafik Tingkat Konsumsi Energi Makro


Saat ini diet yang diberikan kepada pasien menyesuaikan kemampuan pasien dan
asupan harian pasien. Untuk diet yang diberikan saat masuk ke RS adalah LLCDMRG
1700 kkal dengan karbohidrat 254 g, lemak 47 g, dan protein 63,5 g. Evaluasi asupan
telah dilakukan 3x pada saat monev 1 hingga monev 3 leh ahli gizI RSPAL Dr. Ramelan
Surabaya.
Perbaikan status nutrisi pada pasien sangat penting untuk mempercepat
penyembuhan penyakit (Nianiu, 2015). Pemberian diet haruslah tepat agar dapat
menunjang kesembuhan pasien dan tidak menimbulkan kompliksai pada penyakit
lain. Berikut adalah grafik asupan gizi pasien sejak monev 1 hingga monev 3 :

1. Grafik Pemenuhan Energi Harian Pasien

Pemenuhan Energi Harian Pasien


1800 1693.2 1693.2 1693.2
1600
1400 1369.9
1284
1200
1000 Kebutuhan
856
kkal

800 Asupan

600
400
200
0
1 2 3
Monev ke -

Konsumsi energi harian pasien telah meningkat dari monev 1 hingga monev
3. Hal ini dikarenakan kondisi fisik pasien yang mulai membaik. Pada monev 1
pasien mengalami mual, lesu, tidak nafsu makan, dan sakit kepala. Hal itulah yang
menyebabkan nafsu makan menurun sehingga pemenuhan kebutuhan harian
sedikit. Pada monev ke 2 nafsu makan pasien jauh lebih baik dikarenakan mual
yang sudah berkurang meskipun pasien masih merasakan sakit kepala. Hingga
monev ke 3 pasien hanya merasa pusing namun nafsu makan membaik. Meskipun
konsumsi energi harian pasien meningkat, namun belum memenuhi kebutuhan
harian pasien. Asupan harian pasien pada monev 3 hanya memenuhi 80,9%
kebutuhan. Anjuran asupan harian pasien yaitu 90%-110% atau 1530 kkal – 1870
kkal per hari.
Energi diperlukan tubuh untuk melakukan proses metabolisme. Jika tubuh
tidak mendapatkan asupan energi dengan maksimal dapat menyebabkan tubuh
lemas dan organ-organ tubuh mengalami gangguan (Mardalena,2016). Pada proses
penyembuhan pasien pun energi sangat diperlukan. Tanpa energi yang memadai
proses penyembuhan pasien tidak akan optimal.

2. Grafik Tingkat Konsumsi Lemak

Tingkat Konsumsi Lemak


50 47 47 47
46
45 43.125
40
35
30 28.75
25 Kebutuhan
gram

20 Asupan

15
10
5
0
1 2 3
Monev ke-

Tingkat konsumsi lemak dari monev 1 hingga monev 3 telah meningkat. Pada
monev 1 pasien mengalami mual, lesu, tidak nafsu makan, dan sakit kepala. Hal
itulah yang menyebabkan nafsu makan menurun sehingga pemenuhan kebutuhan
lemak juga sedikit. Pada monev ke 2 terjadi peningkatan yang signifikan karena
nafsu makan pasien jauh lebih baik. Hal ini disebabkan mual yang sudah berkurang
meskipun pasien masih merasakan sakit kepala. Hingga monev ke 3 pasien hanya
merasa pusing namun nafsu makan membaik. Pada monev 2 dan 3 kebutuhan
lemak pasien telah mencapai standardnya dengan cakupan kebutuhan yaitu
memenuhi 91,5% kebutuhan lemak pada monev 2 dan 97,9% pada monev 3.
Lemak berfungsi untuk memberdayakan vitamin, Lemak dalam makanan
mempermudah penyerapan vitamin larut lemak A, D, E dan K (Mardalena,2016).
Diketahui fungsi vitamin pada pasien Covid 19 sangatlah penting untuk membentuk
imun tubuh. Jika pasien defisit lemak maka pembentukan imun tubuh dapat
terganggu sehingga menyebabkan proses penyembuhan pasien terganggu. Maka
dari itu sangatla penting untuk memenuhi kebutuhan lemak harian pada pasien.
3. Grafik Tingkat Konsumsi Protein
Tingkat Konsumsi Protein
70
63.5 63.5 63.5
60

50 46
43.13
40 Kebutuhan
gram

28.75 Asupan
30

20

10

0
1 2 3
Monev ke-

Berbeda dengan karbohidrat dan lemak yang sudah terpenuhi pada monev 2
dan 3, tingkat konsumsi protein pasien pada monev 1 hingga monev 3 belum
memenuhi kebutuhan hariannya. Hal ini terjadi karena protein yang diberikan RS
57,5 gram sementara kebutuhan pasien adalah 63,5 gram. Pemberian protein 57,5
gram telah memenuhi 90% kebutuhan pasien jika makanan dihabiskan. Namun
dikarenakan pasien tidak mampu menghabiskan keseluruhan makanan, maka
kebutuhan zat gizi protein juga belum terpenuhi.
Pada monev 1 pasien mengalami mual, lesu, tidak nafsu makan, dan sakit
kepala. Hal itulah yang menyebabkan nafsu makan menurun sehingga pemenuhan
kebutuhan protein sedikit. Pada monev ke 2 nafsu makan pasien jauh lebih baik
dikarenakan mual yang sudah berkurang meskipun pasien masih merasakan sakit
kepala. Hingga monev ke 3 pasien hanya merasa pusing namun nafsu makan
membaik. Konsumsi protein pasien dari monev 1 hingga monev 3 meningkat,
namun peningkatan tersebut belum memenuhi standard kebutuhan harian pasien.
Kebutuhan konsumsi protein harian pasien 15% atau 63,5 gram per hari.
Pada kasus ini kebutuhan protein dibuat lebih sesuai dengan anjuran PERKENI
untuk menghindari komplikasi pada penyakit lainnya karena diagnosis pasien yang
menderita Diabetes Millitus. Protein berfungsi sebagai zat pembangun dalam tubuh.
Menurut Mardalena (2016) Protein sebagai zat pembangun berfungsi membentuk
jaringan baru untuk pertumbuhan, mengganti jaringan yang rusak maupun
bereproduksi. Jika tubuh defisit protein, maka tubuh tidak dapat mengganti sel-sel
yang telah rusak. Hal ini dapa menyebabkan proses penyembuhan pasien
terganggu.
4. Grafik Tingkat Konsumsi Karbohidrat
Tingkat Konsumsi Karbohidrat
300
254 254 262.4
254
246
250

200
164
Kebutuhan
gram

150
Asupan

100

50

0
1 2 3
Monev ke-

Terapi pengobatan dan gizi pasien semakin hari semakin membaik dan
mempengaruhi kondisi serta nafsu makan pasien. Pada monev 1 pasien
mengalami mual, lesu, tidak nafsu makan, dan sakit kepala. Hal itulah yang
menyebabkan nafsu makan menurun sehingga pemenuhan kebutuhan karbohidrat
sedikit. Pada monev ke 2 nafsu makan pasien jauh lebih baik dikarenakan mual
yang sudah berkurang meskipun pasien masih merasakan sakit kepala. Hingga
monev ke 3 pasien hanya merasa pusing namun nafsu makan membaik. Konsumsi
karbohidrat pasien dari monev ke 1 hingga ke 3 telah meningkat dan telah sesui
dengan anjuran kebutuhan harian pasien.
Pada monev 2 dan 3 pasien asupan karbohidrat pasien telah memenuhi
96,9% asupan dan 103,3% asupan. Hal ini perlu dipertahankan agar kondisi pasien
semakin membaik meskipun harus tetap dimonitor karena asupan karbohidrat
pasien diperoleh dari nasi putih dan nasi putih banyak mengandung glukosa yang
tidak baik untuk kondisi penyakit pasien yaitu Diabetes Millitus dan Hipertensi jika
konsumsi berlebih.
Menurut Mardalena (2016). Karbohidrat adalah sumber energi untuk tubuh.
Keberadaan karbohidrat di dalam tubuh, sebagian ada pada sirkulasi darah sebagai
glukosa, sebagian terdapat pada hati dan jaringan otot sebagai glikogen, dan
sebagian lagi sisanya diubah menjadi lemak untuk kemudian disimpan sebagai
cadangan energi di dalam jaringan lemak. Pada proses penyembuhan pasien,
energi yang dihasilkan karbohidrat digunakan untuk melakukan metabolisme pada
organ-organ tubuh. Jika defisit karbhidrat akan mengakibatkan organ-organ pada
tubuh tidak dapat bekerja sempurna sehingga proses penyembuhan terhambat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Diagnosis medis pasien adalah Post Koma Diabetes Millitus dengan Hipertensi
2. Diagnosis gizi pasien adalah asupan energi inadekuat terkait dengan mual ditandai
dengan asupan E 856 kkal( 50,6 %) dan perubahan nilaii laboratorium terkait zat gizi
khusus terkait dengan penurunan fungsi endokrin ditandai dengan peningkatan
glukosa dara 306 mg/dl
3. Status gizi pasien saat ini yaitu pasien mengalami obesitas
4. Asupan pasien meningkat dari monev pertama 50% asupan, monev kedua 75%
asupan dan monev ketiga 80% asupan
5. Perkembangan biokimia pasien telah meningkat dari monev pertama GD2JPP
pasien 227 mg/dL dengan kategori tinggi menjadi kategori normal yaitu 122 mg/dL
pada monev kedua dan 103 mg/dL pada monev ketiga
6. Perkembangan fisik klinis pasien meningkat dari monev pertama dengan keluhan
mual, lemas, tidak nafsu makan dan sakit kepala hingga monev kedua mual telah
berkurang namun masih merasakan sakit kepala dan monev ketiga sakit kepala
telah berkurang
7. Edukasi diberikan kepada keluarga pasien mengenai kendala dan motivasi untuk
menghabiskan makanan pasien
8. Terapi gizi yang diberikan kepada pasien yaitu LLCDMRG 1700 kkal dengan
karbohidrat 254 g, lemak 47 g, dan protein 63,5 g dengan mempertimbagkan
kemampuan makan pasien dan keluhan yang dialami pasien

B. Saran
1. Ahli Gizi harus senantiasa memantau perkembangan pasien melalui monitoring
evaluasi secara berkala
2. Ahli gizi harus senantiasa melakukan koordinasi dengan tenaga kesehatan lainnya
untuk menunjang proses penyembuhan pasien
3. Keluarga pasien senantiasa diberikan edukasi berkenaan dengan kondisi pasien

GAGAL GINJAL STAGE 5 + ICH+ HT+ HIPERURISEMIA


DI BAGIAN PENYAKIT DALAM di RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA

LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN STUDI KASUS
ASUHAN GIZI PADA PENDERITA
GAGAL GINJAL STAGE 5 + ICH + HT + HIPERURISEMIA
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA

Telah disetujui pada tanggal 30 April 2021


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Gagal Ginjal Kronis (Chronic Kidney Disease) adalah keadaan terjadinya


penurunan fungsi ginjal yang cukup berat secara perlahan-lahan (menaun)
disebabkan oleh berbagai penyakit ginjal. Penyakit ini bersifat progresif dan
umumnya tidak dapat pulih kembali (irreversible). Gejala penyakit ini umumnya
adalah tidak ada nafsu makan, mual, muntah, pusing, sesak nafas, rasa lelah,
edema pada kaki dan tangan, serta uremia (Almatsier, 2006).
Menurut World Health Organization (WHO), penyakit gagal ginjal kronis
berkontribusi pada beban penyakit dunia dengan angka kematian sebesar 850.000
jiwa per tahun (Pongsibidang, 2016). Hasil penelitian Global Burden of Disease
tahun 2010, penyakit gagal ginjal kronis merupakan penyebab kematian peringkat
ke-27 di dunia, tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010
(Kemenkes RI, 2013).
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 dan 2018 menunjukan bahwa
prevalensi penyakit gagal ginjal kronis di Indonesia ≥ 15 tahun berdasarkan
diagnosis dokter pada tahun 2013 adalah 0,2% dan terjadi peningkatan pada tahun
2018 sebesar 0,38%. Untuk Provinsi Jawa Tengah penyakit gagal ginjal kronis
tampak lebih rendah dari prevalensi nasional. Pada tahun 2015 kematian yang
disebabkan karena gagal ginjal kronis mencapai 1.243 orang (Kemenkes RI, 2017).
Dari Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Boyolali 2 merupakan daerah yang memiliki
angka prevalensi sebesar 0,1% (Riskesdas, 2013).
Penyakit gagal ginjal kronis yang sudah mencapai stadium akhir dan ginjal
tidak berfungsi lagi, diperlukan cara untuk membuang zat-zat racun dari tubuh
dengan terapi pengganti ginjal yaitu dengan cuci darah (Hemodialisis), Continous
Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pencangkokan (Transplantasi) ginjal.
Terapi pengganti yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah hemodialisis.
Hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang menggunakan alat
khusus dengan tujuan mengeluarkan 3 toksin uremik dan mengatur cairan akibat
penurunan laju filtrasi glomerulus dengan mengambil alih fungsi ginjal yang menurun
(Djarwoto, 2018).
Pada pasien gagal ginjal kronis, malnutrisi merupakan masalah utama yang
sering terjadi karena asupan zat gizi tidak adekuat, untuk mencegah penurunan dan
mempertahankan status gizi maka pasien gagal ginjal kronis perlu dukungan diet
khusus dengan cara pendekatan Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT). PAGT
adalah suatu metode pemecahan masalah yang sistematis, dimana ahli gizi berfikir
kritisnya dalam membuat keputusan untuk menangani penyakit gagal ginjal kronis,
sehingga dapat memberikan asuhan gizi yang aman, efektif dan berkualitas tinggi
(Wahyuningsih, 2013).

B. Tujuan Umum
Memberikan asuhan gizi pada pasien Chronic Kidney Disease Stage 5 / CKD St. 5
(Gagal Ginjal Kronis stadium 5)

C. Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian gizi pada pasien Chronic Kidney Disease St.5
2. Menetapkan diagnosis gizi pada pasien Chronic Kidney Disease St.5
3. Merencanakan intervensi gizi untuk pasien Chronic Kidney Disease St.5
4. Melakukan monitoring dan evaluasi pada pasien Chronic Kidney Disease St.5

D. Manfaat Studi Kasus


1. Menambah wawasan mengenai penyakit Chronic Kidney Disease St.5
2. Mengasah kemampuan dalam melakukan asuhan gizi klinik
3. Mengasah kemampuan dalam membuat rencana intervensi serta monitoring dan
evaluasi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
H. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) / Cronic Kidney Disease (CKD)

Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan


penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu derajat dimana memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis 14 atau transplantasi ginjal. Salah
satu sindrom klinik yang terjadi pada gagal ginjal adalah uremia. Hal ini disebabkan
karena menurunnya fungsi ginjal (Rahman,dkk, 2013).
Kesimpulan definisi penyakit gainjal kronik (PGK) berdasarkan beberapa
sumber diatas adalah suatu keadaan dimana terjadi kegagalan atau kerusakan
fungsi kedua ginjal untuk mempertahankan metabolism, keseimbangan cairan dan
elektrolit serta lingkungan dalam yang cocok untuk bertahan hidup sebagai terminal
dari destruksi atau kerusakan struktur ginjal yang berangsur-angsur, progresif,
ireversibel, dan ditandai dengan penumpukan sisa metabolism (toksik uremik),
limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah dan fungsi filtrasi glomerulus yang
tersisa kurang dari 25% serta komplikasi dan berakibat fatal jika tidak dilakukan
dialisis atau transplantasi ginjal.
I. Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR
(Glomerulo Filtration Rate). Stadium-stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada
tingkat GFR yang tersisa. Dan mencakup:
1. Penurunan cadangan ginjal, yang terjadi apabila GFR turun 50% dari normal.
2. Insufisiensi ginjal, yang terjadi apabila GFR turun menjadi 20-35% dari normal.
Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena
beratnya beban yang mereka terima.
3. Gagal ginjal, yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal. Semakin
banyak nefron yang mati.
4. Penyakit ginjal stadium-akhir, yang terjadi apabila GFR menjadi kurang dari
5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal
ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus.

J. Penyebab atau Etiologi Gagal Ginjal Kronik


Beberapa penyebab penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut:
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah inflamasi nefron, terutama pada glomerulus.
Glomerulonefritis terbagi menjadi dua, yaitu glomerulonefritis akut dan
glomerulonefritis kronis. Glomerulonefritis akut seringkali terjadi akibat respon
imun terhadap toksin bakteri tertentu (kelompok streptokokus beta A).
Glomerulonefritis kronis tidak hanya merusak glomerulus tetapi 10 juga
tubulus. Inflamsi ini mungkin diakibatkan infeksi streptokokus, tetapi juga
merupakan akibat sekunder dari penyakit sistemik lain atau glomerulonefritis
akut (Sloane, 2004).
b. Pielonefritis kronis
Pielonefritis adalah inflamasi ginjal dan pelvis ginjal akibat infeksi
bakteri. Inflamasi dapat berawal di traktus urinaria bawah (kandung kemih)
dan menyebar ke ureter, atau karena infeksi yang dibawa darah dan limfe ke
ginjal. Obstruksi kaktus urinaria terjadi akibat pembesaran kelenjar prostat,
batu ginjal, atau defek kongenital yang memicu terjadinya pielonefritis (Sloane,
2004).
c. Batu ginjal
Batu ginjal atau kalkuli urinaria terbentuk dari pengendapan garam
kalsium, magnesium, asam urat, atau sistein. Batu-batu kecil dapat mengalir
bersama urine, batu yang lebih besar akan tersangkut dalam ureter dan
menyebabkan rasa nyeri yang tajam (kolik ginjal) yang menyebar dari ginjal ke
selangkangan (Sloane, 2004).
d. Penyakit polikistik ginjal
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista multiple, bilateral, dan
berekspansi yang lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim
ginjal normal akibat penekanan (Price dan Wilson, 2012).
e. Penyakit endokrin (nefropati diabetik)
Nefropati diabetik (peyakit ginjal pada pasien diabetes) merupakan
salah satu penyebab kematian terpenting pada diabetes mellitus yang 11
lama. Lebig dari sepertiga dari semua pasien baru yang masuk dalam program
ESRD (End Stage Renal Disease) menderita gagal ginjal. Diabetes mellitus
menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetik
adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada diabetes
mellitus (Price dan William, 2012).

K. Patofisiologi
Patofisiologi GGK (Gagal Ginjal Kronik) pada awalnya tergantung dari penyakit
yang mendasarinya. Namun, setelah itu proses yang terjadi adalah sama. Pada
diabetes melitus, terjadi hambatan aliran pembuluh darah sehingga terjadi nefropati
diabetik, dimana terjadi peningkatan tekanan glomerular sehingga terjadi ekspansi
mesangial, hipertrofi glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area
filtrasi yang mengarah pada glomerulosklerosis (Sudoyo, 2009). Tingginya tekanan
darah juga menyebabkan terjadi GGK. Tekanan darah yang tinggi menyebabkan
perlukaan pada arteriol aferen ginjal sehingga dapat terjadi penurunan filtrasi
(Rahman,dkk, 2013).
Pada pasien GGK, terjadi peningkatan kadar air dan natrium dalam tubuh. Hal
ini disebabkan karena gangguan ginjal dapat mengganggu keseimbangan
glomerulotubular sehingga terjadi peningkatan intake natrium yang akan
menyebabkan retensi natrium dan meningkatkan volume cairan ekstrasel. Reabsorbsi
natrium akan menstimulasi osmosis air dari lumen tubulus menuju kapiler peritubular
sehingga dapat terjadi hipertensi .Hipertensi akan menyebabkan kerja jantung
meningkat dan merusak pembuluh darah ginjal. Rusaknya pembuluh darah ginjal
mengakibatkan gangguan filtrasi dan meningkatkan keparahan dari hipertensi
(Rahman, 2013).
Gangguan fungsi ginjal dapat berdampak pada kondisi klinis pasien,
diantaranya adalah:
a. Sindroma uremia (Irwan ,2016)
Ginjal merupakan organ dengan daya kompensasi tinggi. Jaringan ginjal sehat
akan mengambil alih tugas dan pekerjaan jaringan ginjal yang sakit dengan
mengkat perfusi darah ke ginjal dan flitrasi. Bila jaringan ginjal yang rusak
mencapai 77-85%, maka daya kompensasi tidak lagi mencukupi sehingga
timbul uremia yaitu penumpukan zat-zat yang tidak dapat dikeluarkan oleh
ginjal yang sakit. Gejala sindroma uremia adalah:
1. Gastrointestinal, yang ditandai dengan nafsu makan menurun, mual,
muntah, mulut kering, rasa pahit, perdarahan ephitel. Manifestasi
uremia pada saluran pencernaan adalah mual, muntah, anoreksia, dan
penurunan berat badan. Keadaan anoreksia, mudah lelah, dan
penurunan asupan protein menyebabkan malnutrisi pada penderita.
Penurunan asupan protein juga memengaruhi kerapuhan kapiler dan
mengakibatkan penurunan fungsi imun serta kesembuhan luka (Price
dan William, 2012).
2. Kulit kering, mengalami atrofi, dan gatal. Manifestasi sindrom uremia
pada kulit adalah gambaran kulit menyerupai lilin dan berwarna kuning
akibat gabungan antara retensi pigmen urokrom dan pucat karena
anemia, pruritus akibat deposit garam Ca++ atau PTH dengan kadar
yang tinggi, perubahan warna rambut, dan deposit urea yang berwarna
keputihan (Price dan William, 2012)
3. Pada sistem kardiovaskuler yaitu hipertensi, pembesaran jantung,
payah jantung, pericarditis
4. Anemia dan asidosis
5. Pada sistem neurologi yaitu apatis, neuropati perifer, depresi, prekoma.
b. Hiperkalemia
Kelebihan kalium atau hiperkalemia biasanya akibat dari disfungsi
ginjal sementara atau permanen. Kelebihan ini sering terjadi dalam kaitannya
dengan gagal ginjal. Kelebihan ini juga dapat terjadi sementara (dengan fungsi
ginjal normal) setelah trauma jaringan mayor atau setelah tranfusi cepat darah
yang disimpan di bank darah (Tambayong, 2016).
Kalium serum akan meningkat karena penyerapan kalium yang
meningkat, penurunan eksternal ginjal, kematian sel dan pelepasan kalium
serta keadaan yang menimbulkan hipoaldosteronisme. Pada hiperkalemia
terpenting pada klinik gagal ginjal akut (ARF). Tidak bijaksana untuk
melakukan operasi, kecuali bila kalium dapat dibuang terlebih dahulu.
Hemodialisis atau dialysis peritoneum merupakan pilihan terbaik (Sabiston,
1995).
c. Hipokalemia
Hipokalemia adalah konsentrasi kalium plasma kurang dari 3,5 mEq/1. Dapat
terjadi akibat penurunan asupan dalam diet, peningkatan pengeluaran kalium
dari ginjal, usus, atau lewat keringat, atau perpindahan kalium dari
kompartemen ekstrasel ke intrasel. Pada hypokalemia yang lebih parah,
muncul gejala kelemahan, keletihan, mual dan muntah, dan konstipasi
(Corwin, 2009).
Hipokalemia biasanya berhubungan dengan penurunan kalium total tubuh.
Diantara penyebab terlazimnya adalah penggunaan diuretik menahun dan
disini hipokalemia plasma dapat menunjukkan adanya kekurangan kalium total
tubuh yang besar. Penyebab lain dari hipokalemia meliputi pengeluaran
gastrointestinalis akibat muntah dan diare, serta pengeluaran ginjal akibat
asidosis tubulus ginjal (Sabiston, 1995).
Ada beberapa penyebab kekurangan kalium serum diantaranya adalah
kekurangan masukan, penggunaan diuretik pembuang-kalium, prosedur
bedah gastrointestinal dengan pengisapan nasogastrik dan penggantian yang
tidak tepat, sekresi gastrointestinal berlebihan, hiperadosteronisme, malnutrisi,
dan trauma atau luka bakar. Hipokalemia menyebabkan penurunan
kemampuan 15 tubulus ginjal untuk mengkonsentrasikan sisa, yang
menimbulkan peningkatan kehilangan air (Tambayong, 2016).
L. Manifestasi Klinik
Pasien GGK stadium 1 sampai 3 (dengan GFR ≥ 30 mL/menit/1,73 m2 )
biasanya memiliki gejala asimtomatik. Pada stadium-stadium ini masih belum
ditemukan gangguan elektrolit dan metabolik. Sebaliknya, gejala-gejala tersebut dapat
ditemukan pada GGK stadium 4 dan 5 (dengan GFR < 30 mL/menit/1,73 m2 )
bersamaan dengan poliuria, hematuria, dan edema. Selain itu, ditemukan juga uremia
yang ditandai dengan peningkatan limbah nitrogen di dalam darah, gangguan
keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa dalam tubuh yang pada keadaan lanjut
akanmenyebabkan gangguan fungsi pada semua sistem organ tubuh (Rahman,dkk,
2013).

M. Tata Laksana Asuhan Gizi Gagal Ginjal


Tujuan terapi diet pada pasien dengan gagal ginjal adalah untuk menurunkan
akumulasi sisa nitrogen, membatasi gangguan metabolic karena uremia, mencegah
malnutrisi dan memperlambat progresi dari gagal ginjal. Diet rendah protein
memperbaiki gejala uremia karena menurunkan kadar toksin uremik, yang Sebagian
besar dihasilkan dari metabolisme protein (Fouque D, 2012).
a. Protein
Kebutuhan Protein cukup, yaitu 1-1,2 g/kgBB yakni sebanyak 58,2 g – 70,2 g.
Protein sebaiknya diberikan protein yang memiliki nilai biologik yang tinggi.
Sebagaian besar nefrologist mengajurkan agar diet rendah protein sudah
dimulai pada LFG <60 ml/mnt/1.73 m (PGK stadium 3), dengan penerapan
diet rendah protein, terutama diet sangat rendah protein, disarankan untuk
menambahkan penderita dengan α-ketoacid atau asam amino esensial untuk
menghindari malnutrisi. Bahan makanan protein hewani yang dibatasi yaitu
daging kambing, ayam, ikan, hati, keju, udang dan telur dan bahan makanan
protein nabati yang dihandari yaitu kacag-kacangan olahan seperti tahu,
tampe, oncom, kacang merah, kacang tolo, kacang hijau, kacang kedelai.
b. Energi
Kebutuhan Energi Tinggi, yaitu 35 kkal/kg BB, yakni sebanyak 2047,5 kkal.
Diet dengan 35 kkal/kg/hari diperlukan untuk mempertahankan kesimbangan
nitrogen pada pasien gagal ginjal.
c. Lemak
Asupan lemak dianjurkan, yaitu maksimal 30% dari kebutuhan energi total.
Diutamakan lemak tidak jenuh ganda yakni sebanyak 68,25 g. Bahan
Makanan yang dianjurkan yaitu minyak jagung, minyak kacang tanah, minyak
kedelai, minyak kelapa sawit, dan margarin rendah garam dan makanan yang
dihindari yaitu minyak kelapa, santan kental, mentega dan lemak hewan.
d. Karbohidrat
Asupan Karbohidrat, yaitu kebutuhan energi total dikurangi energi yang
berasal dari potein dan lemak yakni sebanyak 314,44 kkal. Karbohidrat yang
dianjurkan yaitu sumber kabohidrat sederhana seperti gula, selai, sirup,
permen, madu untuk menambah energi (suplemen), agar-agar, jelly dan
untuk makanan yang dibatasi yaitu sumber karbohidrat kompleks seperti nasi,
jagung, kentang, macaroni, ubi/talas.

Cara Mengatur diet pada gagal ginjal yaitu makanan diberikan porsi kecil,
padat kalori dan sering misalnya 6x sehari. Pilih makanan sumber protein sesuai
dengan jumlah yang telah ditentukan. Cairan lebih baik dibuat dalam bentuk
minuman. Masakan lebih baik dibuat tidak berkuah, seperti, ditumis, dipanggang,
dikukus atau dibakar. Dalam pembatasan garam, gunakan lebih banyak bumbu
seperti gula, asam dan bumbu dapur lainnya untuk menambah rasa seperti
lengkuas, kunyit, daun salam.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Gambaran Umum

Nama Tn. M
Umur 52 th
Jenis Kelamin Laki-Laki
BB 60 kg
TB 165 cm
Diagnosis
Gagal Ginjal Stage 5 HD reguler +ICH +HT + Hiperurisemia
Medis
Biokimia BUN 35 mg/dl, Kreatinin 4,4 mg/dl, K 2,9 mmol/L
TD 143,87 mm/Hg, DN 85x/menit, RR 20x/menit, Suhu
36,5oC, SPO2 99%
Fisik Klinis
Kelemahan anggota gerak kiri, GCS : 456

Riwayat Gizi
-
Terdahulu
Pasien mendapat diet L TKRP RG Habis ½ porsi, pasien
Riwayat Gizi
alergi ayam.
Sekarang
Serta mendapatkan infus NS 500 ml, Renxamin 500 ml
Riwayat
CKD st. 5 HD reguler +ICH +HT + Hiperurisemia
Penyakit

B. Assesment
1.Antropometri (AD)
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tubuh pasien untuk mengetahui status
gizi pasien tersebut.Pada kasus ini pengukuran antropometri menggunakan IMT.Data
yang diperlukan untuk mengetahui IMT pasien adalah BB dan TB.
Pada pasien diketahui BB pasien adalah 60 kg dan TB pasien adalah 165cm. Untuk
mengetahui IMT maka diperlukan perhitungan yaitu :
IMT = BB(kg)/TB(m)2
IMT = 60/1,652
IMT = 22
Didapatkan IMT pasien adalah 22. Selanjutnya IMT tersebut dibandingkan dengan
standard menurut Kemenkes RI. Berikut adalah kategori IMT menurut Kemenkes RI :
Kategori IMT
Kurus Kekurangan BB tingkat berat < 17,0
Kekurangan BB tingkat berat 17,0-18,4
Normal 18,5 – 25,0
Gemuk Kelebihan BB tingkat ringan 25,1 – 27,0
Kelebihan BB tingkat berat >27,0

Berdasarkan klasifikasi BB diatas dapat diketahui IMT pasien berada pada


kategori Normal, sehingga asuhan gizi yang diberikan kepada pasien harus
mempertimbangkan status gizi pasien.
BBI pasien dapat didapatkan dengan rumus :
BBI = 65 – 6,5
BBI = 58,5 kg
Jadi, BBI pasien adalah 58,5 kg tubuh pasien memiliki status gizi normal sehingga
tidak adanya perbaikan status gizi dan dapat menunjang proses penyembuhan.
2. Pemeriksaan Biokimia (BD)
Pemeriksaan biokimia adalah pemeriksaan yang dilakukan secara uji laboratoris
pada spesimen jaringan tubuh tertentu yang bertujuan untuk mengetahui suatu
masalah pada spesimen tersebut. Pada pasien yaitu Tn. M telah dilakukan uji darah.
Dari uji tersebut dapat diketahui bahwa terdapat beberapa status biokimia darah yang
tidak sesuai dengan nilai rujukan. Berikut adalah hasil uji biokimia pasien :

Hasil Nilai
Data Lab Satuan Ket
Lab Rujukan
8-20
BUN 35 mg/dL T
mg/dl
0,7-1,5
Kreatinin 4,4 mg/dl T
mg/dl
3,5-5,0
K 2,9 mmol/L R
mmol/L

Dari data biokimia diatas dapat diketahui pasien mengalami Gagal Ginjal
Kronik dengan data lab Kreatinin tinggi yaitu 4,4 mg/dl. Tingginya kadar kreatinin
dalam darah bisa menjadi sinyal bahwa ginjal tidak berfungi sebagaimana mestinya.
Kreatinin adalah produk limbah yang diproduksi oleh otot. Saat kadar kreatinin di
dalam darah tinggi, maka ginjal menyaring dan membuangnya lewat urin, sehingga
kreatinin dapat menumpuk dalam darah. Selanjutnya dari hasil Tes Ureum atau blood
urea Nitrogen (BUN) memiliki kadar yang tinggi mengetahui adanya protein dan darah
dalam urine yang menandakan penurunan fungsi ginjal. Pada hasil laboratorium ini
menentukan kadar urea nitrogen dalam darah yang merupakan zat sisa dari
metabolism protein dan seharusnya dibuang melalui ginjal.
3. Pemeriksaan Klinis (PD)
Pemeriksaan fisik klinis adalah proses yang dilakukan ahli medis untuk
melakukan pemeriksaan tanda vital dan tanda klinis pasien.
Pada data fisik yang didapatkan dari pasien yaitu Tn. M adalah sebagai
berikut :
Nilai
Data Klinis Nilai Satuan Ket
Rujukan
Tekanan
143,87 mmHg 120/80 T
Darah
SpO2 99 % 95-100 N
RR 20 /menit 12-16 N
Nadi 85 /menit 60-100 T
Suhu 36,5 o
C 36,5-37,5 N

Mengutip American Heart Association, ginjal dan sistem peredaran darah


bergantung satu sama lain untuk menunjang kesehatan yang baik. Ginjal
membantu menyaring limbah dan cairan ekstra dari darah, dan mereka
menggunakan banyak pembuluh darah selama proses penyaringan tersebut.
Ketika pembuluh darah menjadi rusak, nefron yang menyaring darah tidak
menerima oksigen dan nutrisi yang mereka butuhkan agar berfungsi dengan baik.
Inilah sebabnya tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah penyebab utama
kedua gagal ginjal. Seiring waktu, tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol
menyebabkan arteri di sekitar ginjal menyempit, melemah, atau
mengeras. Arteri yang rusak ini tidak mampu memberikan cukup darah ke
jaringan ginjal.

4. Pemeriksaan Fisik (PD)

Data Fisik Kelemahan anggota gerak kiri, GCS : 456

Pada pemeriksaan fisik pasien mengalami kelemahan anggota gerak kiri dan
CGS : 456. Kelemaahan adalah penurunan kekuatan pada satu atau lebih otot
pada manusia atau gangguan saraf. Sedangkan pemeriksaan CGS atau Glashow
Coma Scale adalah skala yang dipakai untuk memenuhi tingkat kesadaran
seseorang. Kesadaran dinilai dari tiga aspek yaitu mata, suara (kemampuan
biacara) dan Gerakan tubuh. Pada hasil pemeriksaan CGS di dapatkan hasil 456
yaitu pada suara pasien mendapatkan nilai 4 dengan tanda bahwa mata pasien
terbuka spontan tanpa perintah atau sentuhan maka di beriikan poin 4,
selanjutnya untuk nilai 5 yaitu pada suara pasien dapat menjawab semua
pertanyaan yang diajukan dengan benar dan sadar penuh terhadap orientasi
lokasi, lawan bicara, tempat, dan waktu maka di beri poin 5, sedangkan untuk nilai
6 yaitu pada Gerakan pasien yang dapat melakukan Gerakan Ketika di
perintahkan sehingga di berikan poin 6. Bisa disimpulkan bahwa poin dari
pemeriksaan CGS adalah skala 15 berarti tingkat kesadaran tinggi dan bisa
dibilang terjaga sepenuhnya.

5. Riwayat Gizi
a. Riwayat Gizi Terdahulu
-
b. Riwayat Gizi Sekarang
Saat ini pasien mendapatkan diet L TKRP RG 2100 kkal namun asupan
makan pasien ½ dari makanan yang diberikan dari RS energi 1.050 (50% dari
kebutuhan), Protein 36 gram (50% dari kebutuhan), Lemak 35 gram (50% dari
kebutuhan), karbohidat 147,75 gram (50% dari kebutuhan). Pasien alergi dengan
ayam dan mendapatkan infus NS 500 ml, Renxamin 500 ml. Ahli gizi dapat
menanyakan keluhan pasien tentang makanan tersebut dan berkoordinaso
dengan tenaga Kesehatan lian untuk mengatasi keluahan tersebut. Selain itu ahli
gizi dapat memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien.
6 .Riwayat Personal
-
7. Diagnosis Gizi
NI 1.4 – Asupan energi inadekuat terkait dengan kurang nafsu makan ditandai
dengan asupan energi 1,050 kkal (50% dari kebutuhan)
NC 2.2 – Perubahan nilai Laboratorium terkait dengan penurunan fungsi ginjal
ditandai dengan peningkatan BUN dan kreatinin pada pasien
8 .Rencana Intervensi
5. Intervensi Diet
a. Tujuan Intervensi
Meningkatkan asupan energi secara bertahap mulai dari 70-100 % dari
kebutuhan gizi (E = 2100 kkal)
b. Prinsip diet
Tinggi Kalori, Cukup Protein
c. Syarat diet
1. Energi, yaitu 35 kkal/kg BB, yakni sebanyak 2100 kkal
2. Protein cukup yaitu 1-1,2 g/kgBB yakni sebanyak 60 g - 72g. Protein sebaiknya
diberikan protein yang memiliki nilai biologik yang tinggi.
3. Lemak cukup, yaitu maksimal 30% dari kebutuhan energi total. Diutamakan lemak
tidak jenuh ganda yakni sebanyak 70 g
4. Karbohidrat, yaitu kebutuhan energi total dikurangi energi yang berasal dari potein
dan lemak yakni sebanyak 295,5 kkal
5. Cairan dibatasi, yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah pengeluaran cairan
melalui keringat dan pernapasan (± 500 ml)
6.
d. Perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi
Perhitungan Kalori menggunakan Syarat Diet L TKRP RG dengan
pehitungan kebutuhan sebagai berikut :
Energi = 35 kkal / Kg BB
= 35 x 60
= 2.100 kkal
Protein = 1,2 g / kg BB
= 1,2 x 60
= 72 gram
Lemak = 30%
= 30% x 2100 / 9
= 70 gram
KH = (2100 – (72 x 4) – (70 x 9) / 4
= (2100 – 288 - 630) / 4 = 1182 / 4
= 295,5 gram
Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Pasien
Komposisi Zat Gizi Jumlah
Energi 2,100 kkal
Protein 72 g
Lemak 70 g
Karbohidrat 295,5 g

6. Intervensi Edukasi
a. Tujuan Edukasi:
Memberikan motivasi kepada pasien agar dapat menghabiskan
makanannya minimal 70% asupan
b. Sasaran :
Pasien
c. Waktu:
2 April 2021 pukul 09.00
d. Tata Cara:
Tanya jawab langsung ke ruangan pasien
e. Metode:
Tanya jawab dengan keluarga dan pasien
f. Alat bantu:
-
g. Materi :
- Berdikusi mengenai kendala pasien dalam menghabiskan makanannya,
- Mencari alternatif solusi untuk pasien agar dapat membantu pasien
mengahbiskan makanan hingga minimal 70% asupan
- Memberikan motivasi kepada pasien untuk menghabiskan makanannya

9. Implementasi

Implementasi asuhan gizi, intervensi dan pemberian edukasi


dilakukan oleh ahli gizi RSPAL Dr. Ramelan Surabaya secara berkala. Dapat
dilakukan di dalam ruang rawat inap pasien langsung. Keseluruhan hasil
monitoring dan evaluasi ditulis dalam form evaluasi untuk selanjutnya
diberikan tindak lanjut sesuai permasalahan yang dihadapi. Pemberikan
makanan disesuaikan dengan kemampuan pasien.

10. Rencana Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan Evaluasi akan dilakukan oleh ahli gizi RSPAL Dr.
Ramelan Surabaya. Monitoring dan Evaluasi meliputi pemeriksaan pada data
biokimia, fisik klinis dan asupan pasien. Tujuan dari monitoring dan evaluasi
adalah untuk mengetahui perkembangan dari asuhan gizi dan pengbatan
baik. Diharapkan data biokimia, fisik klinis dan asupan pasien membaik.
BAB IV
Hasil Dan Pembahasan

I. Monitoring dan Evaluasi Antropometri


Pada asessment awal telah dilakukan pengukuran antropometri pada pasien
menggunakan IMT. Data yang diperlukan untuk mengetahui IMT pasien adalah BB dan
TB.
Pada pasien diketahui BB pasien adalah 60 kg dan TB pasien adalah 165 cm. Untuk
mengetahui IMT maka diperlukan perhitungan yaitu :
IMT = BB(kg)/TB(m)2
IMT = 60/1,652
IMT = 22
Didapatkan IMT pasien adalah 22 dan IMT tersebut dalam kategori Normal pada
standard menurut Kemenkes RI.
J. Monitoring dan Evaluasi Biokimia

Hasil Nilai
Data Lab Satuan Ket
Lab Rujukan
Monev 1
- - - -
-
Hasil Nilai
Data Lab Satuan Ket
Lab Rujukan
HB 8,4 g/dl 13,5-17,5 R
Monev 2
Albumin 3,09% % 2-6,5 N
CILab Hasil
106,4 mmol/L Nilai
2,15-2,57 T
Data Satuan Ket
Kreatinin Lab
4,88 mg/dl Rujukan
0,7- 1,5 T
Monev 3
HB
BUN 9,7
96 g/dl
mg/dl 13,5-17,5
8-20 R
T

Dapat diketahui dari monev pertama tidak ada pemeriksaan untuk hasil
laboratorium biokimia dikarenakan pada assement awal pasien sudah di cek hasil
biokimianya. Untuk monev ke 2 pasien terdapat evaluasi terhadap kadar CI 106,4
mmol/L, Kreatinin 4,88 mg/dl, Bun 96 mg/dl dan HB 8,4 g/dl dari hasil tersebut
didapatkan hasil yang Tinggi dan pada Hasil HB rendah dilakukan tranfusi sehingga
pada monev ke 3 dilakukan evaluasi pada kadar HB yaitu 9,7 g/dl terdapat
peningkatan pada hasil HB terlihat dari hasil Monev sebelumnya yaitu 8,4 g/dl.
Kreatinin dalam darah disaring oleh ginjal, lalu dibuang melalui urine. Ketika
ginjal bermasalah atau fungsi ginjal terganggumm kreatinin tidak dapat disaring
dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan kadar kreatinin dalam darah meningkat
(4,88 mg/dl) dan memicu berbagai masalah Kesehatan lainya. Untuk mengevaluasi
Kesehatan ginjal dan menentukan penyebab gangguan ginjal dilakukan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan seperti tes fungsi ginjal meliputi laju
filtrasi glomerulus (GFR) kadar BUN, Ureum dan kreatinin, sert ates urine seperti
urinalisis dan albumin urine.
Meningkatnya urea dalam darah dapat menandakan adanya masalah pada ginjal.
Peningkatan urea darah (BUN) (96 ml/dl) dapat disebabkan oleh prerenal
(dekompensasi jantung, dehidrasi yang berlebihan, peningkatan katabolisme
protein), penyebab renal (glomerulonephritis akut, nefritis kronis, penyakit ginjal
polikistik, dan nekrosis tubular ) dan penyebab postrenal (semua jenis obstruksi
pada saluran kemih, seperti batu ginjal, kelenjar prostat yang membesar dan
tumor). Ureum bersifat racun dan perlu segera dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal.
Kondisi ketika kadar ureum dalam darah terlalu tinggi (> 50 mg/dl) disebut uremia.
Hal ini dapat menyebabkan cepat lelah, pusing, mual, muntah, dan kram kaki. 
Peran keluarga juga besar dalam pengobatan dan terapi pasien karena
keluargalah yang merawat pasien. Pemberien edukasi dan konseling dapat
menunjang proses penyembuhan pasien. Kelurga juga dapat dijadikan agen untuk
mengawasi pasien, seperti aktivitas fisik pasien dan juga makanan-makanan yang
harus dikonsumsi pasien.

K. Monitoring dan Evaluasi Fisik Klinis


Nilai
Data Klinis Nilai Satuan Ket
Rujukan
Tekanan
149/86 mmHg 120/80 T
Darah
Nadi 90 /menit 60-199 T
Monev 1
SpO2 100 % 95-100 N
RR 21 /menit 12-20 N
Suhu 36,7 o
C 36 - 37,5 N
Data Fisik :
lemas, badan sakit semua
Data Klinis Nilai Satuan Nilai Ket
Rujukan
Tekanan 141/87 mmHg 120/80 R
Darah
Nadi 80 /menit 60-199 T
Monev 2
SpO2 98 % 95-100 N
RR 20 /menit 12-20 N
Suhu 36,5 o
C 36 - 37,5 N
Data Fisik :
Sesak jika telentang, pucat, buntu hidungnya
Data Klinis Nilai Satuan Nilai Ket
Monev 3
Rujukan
Tekanan 160/107 mmHg 120/80 T
Darah
Nadi 80 /menit 60-199 N
SpO2 98 % 95-100 N
RR 20 /menit 12-20 N
Suhu 36,2 o
C 36 - 37,5 N
Data Fisik :
Pasien tidak Tidur

Pada monev ke satu terjadi peningkatan TD menjadi 149/86 mmHg dibanding


asessment awal 143/87 mmHg. Pada monev 2 dan 3 TD pasien naik turun. Suhu
dan RR pasien pun juga pada nilai normal yaitu 36,2 – 36,7oC dan RR pasien 20-
21/menit. Kondisi RR pasien tetap baik dan pada batas normal sedari awal. Hingga
monev 3 terpantau membaik dari monev sebelumnya tetapi Hal yang perlu
diperhatikan lebih lanjut setelah yaitu monitoring dan evaluasi ke 3 adalah tekanan
darah.
Ginjal membantu menyaring limbah dan cairan ekstra dari darah, dan mereka
menggunakan banyak pembuluh darah selama proses penyaringan tersebut. Ketika
pembuluh darah menjadi rusak, nefron yang menyaring darah tidak menerima
oksigen dan nutrisi yang mereka butuhkan agar berfungsi dengan baik. Inilah
sebabnya tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah penyebab utama kedua
gagal ginjal. Seiring waktu, tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol menyebabkan
arteri di sekitar ginjal menyempit, melemah, atau mengeras.
Kondisi fisik pada pasien move pertama yaitu lemas, badan terasa sakit
semua. Hal ini disebabkan oleh intake makanan pasen inadequate sehingga fisik
pasien melemah. Pada monev kedua pasien asupan pasien dapat meningkat
sehingga kondisi fisik pasien mulai membaik tetapi pasien merasakan sesak jika
terlentang, pucat dan hidung tersumbat. Pada monev ketiga kondisi fisik pasien
sudah mulai membaik sehingga tidak adanya keluahan fisik dari pasien tetapi
pasien tidak tidur semalaman. Untuk memperbaiki keadaan kondisi fisik dan klinis
pasien dibutuhkannya motivasi dari ahli gizi dan keluarga agar pasien bisa segera
membaik dengan mematuhi ketentuan yang telah di berikan dan meningkatkan
asupan pasien hingga mencapai target.

L. Monitoring dan Evaluasi Tingkat Konsumsi Pasien


Monev 1 Energi Lemak Protein KH
Kebutuhan 2100 70 72 295,5
Asupan 817,3 13,9 21,5 129,2
% Asupan 38,9 19,8 29,8 43,7
Monev 2 Energi Lemak Protein KH
Kebutuhan 2100 70 72 295,5
Asupan 980,7 16,68 25,8 155
% Asupan 46,7 23,8 35,8 52,4
Monev 3 Energi Lemak Protein KH
Kebutuhan 2100 70 72 295,5
Asupan 1062,4 18,7 27,9 167,9
% Asupan 50,5 26,7 38,75 56,8

Asupan energi pasien hingga monev ketiga semakin meningkat meskipun


masih mencapai 50,5% asupan. Hal in berkaitan dengan kondisi pasien yang
membaik sehingga asupan meningkat. Hingga monev kedua rasa lemas bekurang
dan pasien telah mampu meningkatkan asupannya hingga monev ke tiga. Asupan
Kabohidrat, protein dan lemak pasien juga meningkat hingga monev ke tiga
meskipun asupan tersebut belum mencapai 90% asupan harian pasien.
Karbohidrat berfungsi sebagai sumber eneergi dan protein sebagai zat pembangun
sel-sel tubuh yang rusak akibat penyakit. Dengan peningkatan asupan karbohidrat
dan protein yang sesuai asupan maka dapat menunjang proses penyembuhan
pada pasien.
Asupan pasien semakin membaik dari monev pertama hingga monev ke tiga.
Pemeriksaan lab dan fisik klinis juga mendukung perkembangan pasien agar
asupan dapat meningkat. Pada monev pertama pasien mampu menghabiskan 50%
porsi dan meningkat dari monev ke 2 dan ke 3 menjadi 60% asupan dan 65%
asupan. Hal ini harus terus ditingkatkan agar pasien dapat menunjang kesembuhan
pasien lebih baik lagi.
M. Grafik Tingkat Konsumsi Pasien
Berikut adalah grafik asupan gizi pasien sejak monev ke 1 hingga monev ke 3 :
a. Grafik Pemenuhan Energi Harian Pasien
Garfi k pemenuhan energi
Kebutuhan Asupaan
2500

2100 2100 2100


2000

1500
980,7 1062,4
817,3
1000

500

0
Mo n ev ke-1 Mo n ev k e-2 Mo n ev ke-3

Konsumusi energi harian pasien telah meningkat dari monev ke 1


hingga monev ke 3. Hal ini dikarenakan kondisi fisik pasien yang mulai
membaik. Gejala lemas pada pasien sudah mulai berkurang, mesikpun
konsumsi energi harian pasien meningkat, namun belum memenuhi
kebutuhan harian pasien. Asupan harian pasien monev ke 3 hanya
memenuhi 50,5% dari kebutuhan.
Energi diperlukan tubuh untuk melakukan proses metabolisme. Jika
tubuh tidak mendapatkan asupan energi dengan maksimal dapat
menyebabkan tubuh lemas dan organ-organ tubuh mengalami gangguan
(Mardalena,2016). Pada proses penyembuhan pasien pun energi sangat
diperlukan. Tanpa energi yang memadai proses penyembuhan pasien tidak
akan optimal
b. Grafik tingkat Konsumsi Lemak

Grafi k konsumsi lemak


Kebutuhan Asupaan
80
70 70 70
70

60

50

40

30
13,9 16,68 18,7
20

10

0
M o n ev k e-1 M o n e v k e- 2 M o n ev k e-3

Konsumsi lemak pasien telah meningkat dari monev ke 1 hingga


monev ke 3. Hal ini dikarenakan kondisi fisik pasien yang mulai membaik
sehingga berpengaruh pada tingkat konsumsi pasien, mesikpun konsumsi
lemak pasien meningkat, namun belum memenuhi kebutuhan pasien. Asupan
lemak pada pasien monev ke 3 hanya memenuhi 26,7% dari kebutuhan.
Lemak berfungsi untuk memberdayakan vitamin, Lemak dalam
makanan mempermudah penyerapan vitamin larut lemak A, D, E dan K
(Mardalena,2016). Diketahui fungsi vitamin pada pasien sangatlah penting
untuk membentuk imun tubuh. Jika pasien defisit lemak maka pembentukan
imun tubuh dapat terganggu sehingga menyebabkan proses penyembuhan
pasien terganggu. Maka dari itu sangatla penting untuk memenuhi kebutuhan
lemak harian pada pasien
c. Grafik tingkat konsumsi protein

Grafi k konsumsi Protein


Kebutuhan Asupan
80
72 72 72
70

60

50

40
27,9
25,8
30 21,5

20

10

0
M o n ev k e -1 M o n e v k e-2 M o n e v k e- 3

Konsumsi Protein pada pasien telah meningkat dari monev ke 1


hingga monev ke 3. Hal ini dikarenakan kondisi fisik klinis pasien yang mulai
membaik sehingga berpengaruh pada tingkat konsumsi pasien, mesikpun
konsumsi protein pada pasien meningkat, namun belum memenuhi
kebutuhan pasien. Asupan protein pada pasien monev ke 3 hanya memenuhi
38,75% dari kebutuhan.
Protein berfungsi sebagai zat pembangun dalam tubuh. Menurut
Mardalena (2016) Protein sebagai zat pembangun berfungsi membentuk
jaringan baru untuk pertumbuhan, mengganti jaringan yang rusak maupun
bereproduksi. Jika tubuh defisit protein, maka tubuh tidak dapat mengganti
sel-sel yang telah rusak. Hal ini dapa menyebabkan proses penyembuhan
pasien terganggu.

d. Grafik tingkat konsums karbohidrat


Grafi k konsumsi karbohirat
Kebutuhan Asupaan
350

300
295,5 295,5 295,5
250

200
155 167,9
150 129,2

100

50

0
M o n ev k e -1 M o n ev k e-2 M o n ev k e-3

Konsumsi Karbohidrat pada pasien telah meningkat dari monev ke 1


hingga monev ke 3. Hal ini dikarenakan kondisi fisik klinis pasien yang mulai
membaik sehingga berpengaruh pada tingkat konsumsi pasien, mesikpun
konsumsi karbohidrat pada pasien meningkat, namun belum memenuhi
kebutuhan pasien. Asupan karbohidrat pada pasien monev ke 3 hanya
memenuhi 56,8% dari kebutuhan.
Menurut Mardalena (2016). Karbohidrat adalah sumber energi untuk
tubuh. Keberadaan karbohidrat di dalam tubuh, sebagian ada pada sirkulasi
darah sebagai glukosa, sebagian terdapat pada hati dan jaringan otot
sebagai glikogen, dan sebagian lagi sisanya diubah menjadi lemak untuk
kemudian disimpan sebagai cadangan energi di dalam jaringan lemak. Pada
proses penyembuhan pasien, energi yang dihasilkan karbohidrat digunakan
untuk melakukan metabolisme pada organ-organ tubuh. Jika defisit
karbhidrat akan mengakibatkan organ-organ pada tubuh tidak dapat bekerja
sempurna sehingga proses penyembuhan terhambat.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
1. Kesimpulan pada Diagnosa medis pasien mengalami Gagal Ginjal Stadium
5 (CKD st. 5) dengan HD reguler, Pendarahan di otak (ICH), dan
peningkatan kadar asam urat dalam darah (Hiperurisemia).
2. Didapatkan hasil Diagnosis gizi pada pasien yaitu NI 1.4 – Asupan energi
inadekuat terkait dengan kurang nafsu makan ditandai dengan asupan
energi 1,050 kkal (50% dari kebutuhan) dan NC 2.2 – perubahan nilai
laboratorium terkiat dengan penurunan fungsi ginjal ditandai dengan
peningkatan BUN dan kreatinin pada pasien.
3. Pada status gizi berdasarkan klasifikasi BB dapat diketahui IMT pasien
berada pada kategori Normal yaitu 22 dengan rentang normal (18,5-25,0)
sehingga bisa disumpulkan status gizi pasien yaitu status gizi normal.
4. Kesimpulan pada data hasil Laboratorium atau biokimia diketahui pada
monev kadar kreatinin (4,88 mg/dl) dan BUN (96 mg/dl) tinggi hingga
monev ketiga tetapi mengalami menurunan sehingga perlunya
pemeriksaan hasil lab secara berkala guna untuk mengetahui keadaan
pasien.
5. Pada Preskripsi Diet pasien di berikan Diet L TKRP RG dengan prinsip diet
Tinggi kalori dan cukup protein, Energi 35 kkal/kg BB (2100 kkal), Protein
1-1,2 g/kg BB (60-72 g), lemak cukup 30% dari kebutuhan energi (72 g)
dan kabohidrat dikurangi energi berasal dari protein dan lemak (295,5 g)
6. Pada tingkat asupan pasien dilihat dari hasil monev ke 1 hingga ke 3
mengalami peningkatan, kondisi fisik klinik sangat berpengaruh terhadap
tingkat asupan pasien, tingkat asupan pasien pada energi harian yaitu
50,5% dari kebutuhan, lemak 26,7%, protein 38,75%, dan karbohidrat
56,8% namun, peningkatan asupan makan pada pasien masih belum
mencapai target sehingga harus terus ditingkatkan agar pasien dapat
mencapai taget kebutuhan dan menunjang kesembuhan pasien lebih baik
lagi.
7. Pada intervensi pasien di berikan edukasi oleh ahli gizi tentang pentingnya
mengkonsumsi makanan sesuai taget kebutuhan guna untuk menunjang
kesembuhan pasien sasaran yang diberikan edukasi yaitu pasien dan
keluarga pasien, ahli gizi memberikan motivasi kepada pasien agar dapat
menghabiskan makanannya minimal 70% asupan dari kebutuhan.
CEREBRAL INFARCTION DUE TO THROMBOSIS OF CEREBRAL ARTERIES+DM+HT
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM SYARAF
RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA

LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN STUDI KASUS
ASUHAN GIZI PADA PENDERITA
CEREBRAL INFARCTION DUE TO THROMBOSIS OF CEREBRAL ARTERIES+DM+HT
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM SYARAF
RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya DM (Gibney, 2009).
Hubungannya dengan DM tipe 2 sangatlah kompleks, hipertensi dapat membuat sel
tidak sensitif terhadap insulin (resisten insulin). Insulin berperan meningkatkan ambilan
glukosa di banyak sel dan dengan cara ini juga mengatur metabolisme karbohidrat,
sehingga jika terjadi resistensi insulin oleh sel, maka kadar gula di dalam darah juga
dapat mengalami gangguan (Guyton, 2008).
DM disertai dengan hipertensi adalah jenis yang banyak menyerang masyarakat
dunia. Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada DM..
Hampir 60% DM disertai dengan hipertensi (Harie.2018). Penyakit ini harus ditangani
dengan tepat karena jika tidak dapat berbahaya dan mengancam jiwa. Hal ini juga
harus dilakukan sehingga dapat meminimalisir keparahan dan juga komplikasi pada
organ atau fungsi tubuh lainnya.
Menurut Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2010–2011, penyakit
diabetes mellitus (DM) menempati urutan ke-5 dari 10 besar penyakit tidak menular
penyebab rawat jalan di rumah sakit di Indonesia dengan persentase sebesar 1.92%
pada tahun 2009 dan sebesar 2,6% pada tahun 2010 (Kemenkes RI, 2012). Prevalensi
DM menurut Laporan Nasional tahun 2007 di daerah perkotaan didapatkan persentase
sebesar 6,8% di Provinsi Jawa Timur. Ditinjau dari segi pendidikan, prevalensi DM lebih
tinggi pada kelompok tidak sekolah dan tidak tamat SD. Menurut jenis pekerjaan,
prevalensi DM lebih tinggi pada kelompok ibu rumah tangga dan tidak bekerja, diikuti
pegawai dan wiraswasta. Berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita,
prevalensi DM meningkat sesuai dengan meningkatnya tingkat pengeluaran (Kemenkes
RI, 2008).
DM yang disertai dengan hipertensi sangatlah normal ditemui, hal ini karena
resistensi insulin ang menyebabkan glukosa darah tidak dapat dicerna dengan baik.
Glukosa tersebut menyebabkan timbulnya AGEs dimana pada waktu yang lama akan
menumpuk pada pembuluh darah. Penumpukan ini akan menyebabkan terganggunya
sirkulasi darah. Hal itulah yang menyebabkan hipertensi pada penderita DM.
(Fathoni,2018)
Pada kasus DM Hipertensi yang tidak ditangani dengan tepat, penyakit ini akan
menyebabkan komplikasi pada organ lain, seperti ginjal. Hal ini dapat disebabkan
tekanan darah yang tinggi menyebabkan membran pembuluh darah pada ginjal
membesar. Keadaan tersebut menyebabkan glomerulus pasien DM Hipertensi rusak
sehingga pasien akan menderita DM Nefropati. (Probosari, 2013). Tidak hanya itu,
kasus DM juga dapat menyebabkan ulkus pada luka, neuropati diabetik, dan lain-lain.

B. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan melaksanakan Manajemen Asuhan Gizi
Klinik pada pasien Cerebral Infarction Due To Thrombosis Of Cerebral Arteries dengan
Diabetes Melitus dan Hipertensi Di Ruang Rawat Inap Ruang Jantung RSPAL Dr.
Ramelan Surabaya.
C. Tujuan Khusus
6. Mengidentifikasi resiko masalah gizi dari hasil skrining gizi dan diagnosis medis.
7. Melakukan assesmen gizi kepada pasien Cerebral Infarction Due To Thrombosis Of
Cerebral Arteries dengan Diabetes Melitus dan Hipertensi
8. Menegakkan diagnosis gii kepada pasien Cerebral Infarction Due To Thrombosis
Of Cerebral Arteries dengan Diabetes Melitus dan Hipertensi
9. Menyusun dan melaksanakan intervensi gizi kepada pasien Cerebral Infarction Due
To Thrombosis Of Cerebral Arteries dengan Diabetes Melitus dan Hipertensi
10. Melaksanakan monitoring evaluasi gizi kepada pasien Cerebral Infarction Due To
Thrombosis Of Cerebral Arteries dengan Diabetes Melitus dan Hipertensi

D. Manfaat Studi Kasus


1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan dalam kegiatan pelayanan gizi di Rumah Sakit Khususnya
mengenai penatalaksanaan terapi diet pada pasien Cerebral Infarction Due To
Thrombosis Of Cerebral Arteries dengan Diabetes Melitus dan Hipertensi.
2. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat menambah pengetahuan danwawasan sekaligus memperdalam
pemahaman terhadap penatalaksanaan terapi diet pada pasien Cerebral Infarction
Due To Thrombosis Of Cerebral Arteries dengan Diabetes Melitus dan Hipertensi.
3. Bagi Pasien
Dapat mengaplikasikan penatalaksanaan terapi diet pada pasien Cerebral
Infarction Due To Thrombosis Of Cerebral Arteries dengan Diabetes Melitus dan
Hipertensi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus dengan Hipertensi


Diabetes Melitus adalah penyakit akibat resistensi insulin. Diabetes Militus
memiliki gejala klinis yang khas berupa poliuria dan polidipsia. Kumpulan gejala pada
Diabetes Melitus dapat terjadi karena gangguan sekresi, gangguan kerja insulin atau
keduanya Diabetes Melitus tipe adalah suatu sindrom heterogen yang ditandai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat dan lemak (Probosari, 2013).
Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya DM (Gibney, 2009).
Hubungannya dengan DM tipe 2 sangatlah kompleks, hipertensi dapat membuat sel
tidak sensitif terhadap insulin (resisten insulin). Insulin berperan meningkatkan ambilan
glukosa di banyak sel dan dengan cara ini juga mengatur metabolisme karbohidrat,
sehingga jika terjadi resistensi insulin oleh sel, maka kadar gula di dalam darah juga
dapat mengalami gangguan (Guyton, 2008).
Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal
hanya satu kali sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak
ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah
abnormal. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga kriteria yaitu jika keluhan klasik
ditemukan maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM, jika keluhan klasik ditemukan, dilakukan pemeriksaan
glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL, bila ada keraguan perlu dilakukan tes toleransi
glukosa oral (TTGO) dengan mengukur kadar glukosa darah 2 jam setelah minum 75 g
glukosa. Pada DM Hipertensi pemeriksaan juga akan meninjau tekenan darah pasien.
Apabila pasien tersebut memiliki tekanan darah yang tinggi dan cenderung naik dari
waktu ke waktu, maka pasien tersebut dapat didiagnosa DM Hipertensi (Purnamasari,
2009).

B. Klasifikasi Diabetes Mellitus


Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2015) adalah sebagai berikut :
a. Diabetes melitus (DM) tipe 1
DM yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel beta di pankreas. kerusakan
ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang terjadi secara absolut. Penyebab
dari kerusakan sel beta antara lain autoimun dan idiopatik.
b. Diabetes melitus (DM) tipe 2
Penyebab DM tipe 2 seperti yang diketahui adalah resistensi insulin. Insulin dalam
jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara optimal sehingga
menyebabkan kadar gula darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi insulin juga dapat
terjadi secara relatif pada penderita DM tipe 2 dan sangat mungkin untuk menjadi
defisiensi insulin absolut.
c. Diabetes melitus (DM ) tipe lain
Penyebab DM tipe lain sangat bervariasi. DM tipe ini dapat disebabkan oleh defek
genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati pankreas, obat, zat kimia, infeksi, kelainan imunologi dan sindrom
genetik lain yang berkaitan dengan DM.
d. Diabetes melitus Gestasional
Diabetes tipe ini menyerang wanita hamil dan hanya berlangsung pada waktu
kehamilan. Sama seperti DM tipe 2, penyebab dari Diabetes Millitus Gestasional
karena resistensi insulin pada masa kehamilan. Kondisi ini membutuhkan perhatian
serius karena dapat mengancam jiwa ibu dan anak.
.
C. Etiologi Diabetes Hipertensi
Diabetes Hipertensi ditegakkan setelah pasien diketahui memiliki gula darah dan
tekanan darah yang tinggi. Akibat resistensi insulin, gula darah tidak dapat dicerna
dengan baik. Gula darah tersebut menyebabkan terbentukna AGEs. Hal tersebut
membuat tekana darah tinggi karena AGEs menutupi saluran darah dan membuat
sirkulasi darah terhambat. Hipertensi juga merupakan faktor risiko utama untuk
terjadinya DM (Gibney, 2009).
Belum diketahui mengapa kondisi di atas terjadi pada penderita diabetes, tetapi
diduga terkait dengan tingginya kadar gula dan tekanan darah, dua kondisi yang dapat
mengganggu fungsi ginjal. Salah satu faktor risiko terjadinya penyakit ini adalah
kebiasaan mengonsumsi makanan penyebab gagal ginjal, misalnya makanan yang
terlalu manis Selain faktor-faktor lain yang seperti riwayat penyakit keluarga dan gaya
hidup juga dapat mempengaruhi terjadinya kasus ini.
Secara ringkas, beberapa faktor etiologis timbulnya penyakit ini adalah kurang
terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa > 140–160 mg/dl); faktor genetis;
kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan LFG, peningkatan tekanan
intraglomerulus); hipertensi sistemik; sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik),
keradangan, perubahan permeabilitas pembuluh darah, asupan protein berlebih,
gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol, pembentukan advanced glycation
and products, peningkatan produksi sitokin); pelepasan growth factors, kelainan
metabolisme karbohidrat atau lemak atau protein; kelainan struktural (hipertrofi
glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan membrana basalis glomerulus), gangguan
ion pumps (peningkatan Na+ - H+ pump dan penurunan Ca2+ – ATPase pump);
dislipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseride-mia), aktivasi protein kinase-C
(Hendromartono, 2009).

4. Patofisiologis
Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada
metabolisme zat gizi karena insulin tidak dapat bekerja secara optimal, jumlah insulin
yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya. Gangguan tersebut dapat terjadi
karena 3 hal yaitu pertama karena kerusakan pada sel-sel beta pankreas karena
pengaruh dari luar seperti zat kimia, virus dan bakteri. Penyebab yang kedua adalah
penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas dan yang ketiga karena kerusakan
reseptor insulin di jaringan perifer (Fatimah, 2015).
Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas digunakan untuk mengatur
kadar glukosa darah dalam tubuh dan kadar glukosa darah yang tinggi akan
menstimulasi sel beta pankreas untuk mengsekresi insulin (Hanum, 2013). Sel beta
pankreas yang tidak berfungsi secara optimal dapat berakibat pada kurangnya sekresi
insulin sehingga kadar glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta
pankreas sangat banyak seperti contoh penyakit autoimun dan idiopatik.Gangguan
respons metabolik terhadap kerja insulin disebut dengan resistensi insulin. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh gangguan reseptor, pre reseptor dan post reseptor sehingga
dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari biasanya untuk mempertahankan kadar
glukosa darah agar tetap normal.
Insulin digunakan untuk menurunkan glukosa darah dengan cara
menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan otot dan lemak serta menekan produksi
glukosa oleh hati menurun. Penurunan sensitivitas insulin menyebabkan resistensi
insulin sehingga kadar glukosa dalam darah tinggi (Prabawati, 2012).
Cheung et al (2012) menyebutkan bahwa hiperglikemia sering disertai
dengan timbulnya sindrom metabolik yaitu hipertensi, dislipidemia, obesitas, disfungsi
endotel dan faktor protrombotik yang kesemuanya itu akan memicu dan memperberat
komplikasi kardiovaskuler. Salah satu komplikasi makroangiopati diabetes dapat terjadi
karena perubahan kadar gula darah, gula darah yang tinggi akan menempel pada
dinding pembuluh darah. Setelah itu terjadi proses oksidasi dimana gula darah bereaksi
dengan protein dari dinding pembuluh darah yang menimbulkan AGEs.
Advanced Glycosylated Endproducts (AGEs) merupakan zat yang dibentuk
dari kelebihan gula dan protein yang saling berikatan. Keadaan ini merusak dinding
bagian dalam dari pembuluh darah, dan menarik lemak yang jenuh atau kolesterol
menempel pada dinding pembuluh darah, sehingga reaksi inflamasi terjadi. Sel darah
putih (lekosit) dan sel pembekuan darah (trombosit) serta bahan-bahan lain ikut
menyatu menjadi satu bekuan plak (plaque), yang membuat dinding pembuluh darah
menjadi keras, kaku dan akhirnya timbul penyumbatan yang mengakibatkan perubahan
tekanan darah yang dinamakan hipertensi (Tandra, 2009). Mutmainah (2012) dalam
penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara kadar gula darah dengan
hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2.

5. Gejala
Gejala yang muncul pada penderita Diabetes Mellitus menurut Alfi (2019) diantaranya :
e. Poliuri (banyak kencing)
Poliuri merupakan gejala awal diabetes yang terjadi apabila kadar gula
darah sampai di atas 160-180 mg/dl. Kadar glukosa darah yang tinggi akan
dikeluarkan melalui air kemih, jika semakin tinggi kadar glukosa darah maka ginjal
menghasilkan air kemih dalam jumlah yang banyak. Akibatnya penderita diabetes
sering berkemih dalam jumlah banyak.
f. Polidipsi (banyak minum)
Polidipsi terjadi karena urin yang dikeluarkan banyak, maka penderita akan
merasa haus yang berlebihan sehingga banyak minum.
g. Polifagi (banyak makan)
Polifagi terjadi karena berkurangnya kemampuan insulin mengelola kadar
gula dalam darah sehingga penderita merasakan lapar yang berlebihan.
h. Sakit kepala
Sakit kepala merupakan gejala umum yang terdapat pada penderita
hipertensi, selain itu gejala seperti rasa berat pada tengkuk juga serng didapati pada
penderita hipertens akut (American Hearth Assosiation, 2017).

6. Faktor resiko
Pasien DM tipe 2 dengan hipertensi memiliki risiko 7 kali lebih besar untuk
mengalami gagal ginjal terminal (ESRD) dan 2-4 kali terjadi penyakit kardiovaskular,
seperti infark miokard, stroke, atau kematian, dibandingkan dengan pasien DM tipe 2
normotensi pada usia yang sama (Selim, dkk, 2013).
Penelitian lain menunjukan bahwa lebih dari 50% pasien DM menderita
Hipertensi dan secara signifikan hipertensi ini mempercepat timbulnya komlikasi DM
terhadap penyakit mikro dan makrovaskular yang meliputi Cardiovascular Disease
(CVD) dan Chronic Kidney Diesease (CKD). DM dengan komorbid hipertensi akan
meningkatkan risiko CVD dan CKD (Lastra, dkk., 2014).

7. Asuhan Gizi
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu
diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah
kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan
sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri (Perkeni, 2015).
e. Protein
Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi. Sumber protein
yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk
susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
f. Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Komposisi yang dianjurkan:
 Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.
 Lemak tidak jenuh ganda < 10 %.
 Selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu fullcream. Konsumsi
kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.
g. Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45 – 65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi. Pembatasan karbohidrat total <130
g/hari tidak dianjurkan. Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang
diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain. Sukrosa tidak
boleh lebih dari 5% total asupan energi. Pemanis alternatif dapat digunakan
sebagai pengganti glukosa, asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian
(Accepted Daily Intake/ADI). Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat
diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.
h. Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang sehat
yaitu <2300 mg/hari. Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu
dilakukan pengurangan natrium secara individual. Sumber natrium antara lain
adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat
dan natrium nitrit.
BAB III
GAMBARAN UMUM PASIEN

A. Data Identitas Pasien


d. Nama : Tn. S
e. No. RM : xxx
f. Usia : 47 Tahun

B. Assesmen Gizi
7. Riwayat Gizi
c. Riwayat Gizi Sekarang
Pasien mendapatkan diet cair berbahan susu dengan bahan blendera berupa
CDM 6x200cc/24 jam secara enteral. Selain itu pasien juga mendapatkan nutrisi
parenteral berupa Infus PZ 2 klof/hr, sitokinin 3x500mg, anemolat 1x1, pletaal
2x50mg, platogrix 1x1. Pasien terpasang NGT sebagai jalur konsumsi pasien.
Hasil Asupan 24 Jam:
 Energi total sebesar 1368 Kkal (memenuhi 87,6% dari kebutuhan)
 Protein total sebesar 55,5 gram (memenuhi 94,9% dari kebutuhan)
 Lemak total sebesar 43,5 gram (memenuhi 100% dari kebutuhan)
 Karbohidrat total sebesar 187,32 gram (memenuhi 77% dari kebutuhan)
Berdasarkan riwayat gizi sekarang dapat diketahui bahwa asupan protein,
dan lemak pasien sudah terpenuhi. Namun untuk asupan energi masih dalam
defisit ringan dan asupan karbohidrat dalam defisit sedang.

d. Riwayat Gizi Dahulu


Pasien terpasang NGT dikarenakan ketika mengkonsumsi air putih tersedak.
Pasien mendapatkan diet cair berbahan sisi dengan blendera berupa CDM
6x150cc/24 jam

8. Pengkuruan Antropometri
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tubuh pasien untuk mengetahui
status gizi pasien tersebut. Pada kasus ini pengukuran antropometri menggunakan
IMT. Data yang diperlukan untuk mengetahui IMT pasien adalah BB dan TB. Pada
pasien diketahui BB pasien adalah 68 kg dan TB pasien adalah 168 cm. Untuk
mengetahui IMT maka diperlukan perhitungan yaitu:
IMT = BB(kg)/TB(m)2
IMT = 68/1,682
IMT = 24,1
Didapatkan IMT pasien adalah 24,1. Selanjutnya IMT tersebut dibandingkan
dengan standard menurut WHO. Berikut adalah kategori IMT menurut WHO :
Tabel 1. Kategori IMT
Kategori IMT
BB Kurang <18,5
BB Normal 18,5 – 22,9
BB Lebih : ≥23,0
1. Dengan Resiko 23,0 – 24,9
2. Obes I 25,0 – 29,9
3. Obes II ≥30

Berdasarkan klasifikasi BB diatas dapat diketahui IMT pasien berada pada


kategori BB lebih dengan beresiko obesitas. Oleh karena itu perlu dilakukan
perhitungan Berat Badan Ideal Pasien:
BBI = 90% x (TB – 100) x 1 Kg
BBI = 90% x (168 – 100) x 1 Kg
BBI = 61,2 Kg

9. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan biokimia adalah pemeriksaan yang dilakukan secara uji
laboratoris pada spesimen jaringan tubuh tertentu yang bertujuan untuk mengetahui
suatu masalah pada spesimen tersebut. Pada pasien yaitu Tn. S telah dilakukan uji
specimen darah. Dari uji tersebut dapat diketahui bahwa terdapat beberapa status
biokimia darah yang tidak sesuai dengan nilai rujukan. Berikut adalah hasil uji
biokimia pasien:
Tabel 2. Data Pemeriksaan Laboratorium Tn. S
Indikator Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Interpretasi Hasil
Gula Darah Acak (GDA) 249 mg/dL Tinggi
White Blood Cell (WBC) 16,57 103/uL Tinggi

Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa pasien memiliki penyakit


diabetes dengan tingginya Gula Darah Acak (GDA) pasien.

10. Pemeriksaan Fisik dan Klinis


c. Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yag dilakukan didapatkan data sebagai
berikut:
 Lengan dan tungkai kiri pasien mengalami kelemahan
 Keadaan umum lemah, dan bradipsike
 Mual dan muntah
 Terpasang NGT

d. Pemeriksaan Klinis
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang telah dilakukan didapatkan data
sebagai berikut:
Tabel 3. Data Pemeriksaan Klinik Tn. S
Indikator Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Interpretasi Hasil
Tekanan Darah 181/104 mmHg Tinggi
Nadi 104/menit Tinggi
Suhu 36,80C Normal

Tekanan darah tinggi berkaitan dengan kelebihan gula darah. Pasien


diabetes tidak mempunyai cukup hormon insulin untuk memproses glukosa (gula
dari makanan) atau insulin mereka tidak bekerja dengan efektif. Insulin adalah
hormon yang membuat tubuh dapat memproses glukosa dari makanan dan
menggunakannya untuk energi. Karena adanya masalah pada insulin, glukosa tidak
dapat masuk ke dalam sel-sel tubuh untuk membentuk energi dan akhirnya akan
terkumpul di aliran darah. Tingginya gula dalam pembuluh darah yang mengelilingi
tubuh akan menyebabkan kerusakan pada organ-organ tubuh khususnya pembuluh
darah dan ginjal. Organ-organ inilah yang mempunyai peran dalam menjaga
tekanan darah yang normal. Bila terjadi kerusakan, tekanan darah dapat meningkat
dan menyebabkan kerusakan yang lebih jauh dan komplikasi.

11. Riwayat Personal


d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit dalam keluarga Tn. S

e. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat penyakit dahulu yaitu Diabetes Melitus Type 2.

f. Riwayat Penyakit Sekarang


Berdasarkan hasil diagnosa medis, pasien sedang menderita Cerebral Infraction
Due To Thrombosis Of Cerebral Arteries dengan Diabetes melitus dan Hipertensi.
Pasien Juga merupakan perokok yang memperparah penyakit yang diderita pasien.

12. Perhitungan Kebutuhan Zat Gizi


Perhitungan Kebutuhan Gizi
e. Perhitungan Kalori:
 Penentuan Berat Badan Ideal (BBI)
BBI = 90% x (TB – 100) x 1 Kg
BBI = 90% x (168 – 100) x 1 Kg
BBI = 61,2 Kg

 Basal Metabolisme Rate (BMR)


BMR = 30 x BBI
BMR = 30 x 61,2
BMR = 1836 Kkal

 Penentuan Faktor Aktivitas


Bed Rest (10% x BMR)
Faktor Aktivitas = 10% x 1836
Faktor Aktivitas = 183,6 Kkal

 Penentuan Faktor Umur


Faktor umur 40 – 59 tahun (5% BMR).
Faktor Umur = 5% x 1836
Faktor Umur = 91,8 Kkal
 Penentuan Energi Total
Energi Total = BMR + Faktor Aktivitas – Faktor Umur + IMT
Energi Total = 1836 + 183,6 – 91,8 + 24,1
Energi Total = 1951,9 Kkal

 DM dengan resiko Obesitas


Pengurangan 20% dari energi total
Faktor BB = 1951,9 – (20% x 1951,9)
Faktor BB = 1951,9 – 390,4
Faktor BB = 1561,5 Kkal
f. Perhitungan Protein:
Protein = 15% x Energi Total
Protein = 15% x 1561,5
Protein = 234,2 Kkal/4
Protein = 58,5 gram

g. Perhitungan Lemak:
Lemak = 25% x Energi Total
Lemak = 25% x 1561,5
Lemak = 390,4 Kkal/9
Lemak = 43,4 gram

h. Perhitungan Karbohidrat:
Karbohidrat = 60% x Energi Total
Karbohidrat = 60% x 1561,5
Karbohidrat = 936,9 Kkal/4
Karbohidrat = 234,2 gram

Standar Pembanding
e. Perhitungan Energi:
Energi: 30/kg BBI
Energi: 30/ 61,2kg
Energi: 1836

f. Perhitungan Protein:
Protein: 10 – 20% total asupan energi
Protein: 10 – 20% 1836/4
Protein: 45,9 – 81,8 gram

g. Perhitungan Lemak:
Lemak: 20 – 25% total asupan energi
Lemak: 20 – 25% 1836/9
Lemak: 40,8 – 51 gram

h. Perhitungan Karbohidrat:
Karbohidrat: 45 – 65% total asupan energi
Karbohidrat: 45 – 65% 1836/4
Karbohidrat: 206,55 – 298,4 gram

Syarat Diet
 Energi diberikan untuk memenuhi kebutuhan sehari yaitu 1561,5 Kkal
 Protein diberikan cukup sebesar 58,5 gram
 Lemak diberikan cukup sebesar 43,4 gram
 Karbohidrat diberikan cukup yaitu sebesar 234,2 gram

C. Diagnosis Gizi
Domain Intake
NI-2.3 Kekurangan intake nutrisi enteral berkaitan dengan peningkatan kebutuhan zat
gizi pasien ditandai dengan asupan energi pasien defisit ringan (87,6%) dan Karbohidrat
defisit sedang (77%).

Domain Klinis
NC-2.2 Perubahan nilai laboratorium berkaitan dengan hiperglikemia ditandai dengan
tingginya Gula Darah Acak sebesar 249 mg/dL.

D. Intervensi Gizi
f. Tujuan Intervensi
 Membantu mengontrol Gula Darah
 Mengantrol tekanan darah
 Memberikan diet sesuai kebutuhan kebutuhan dan daya terima pasien

g. Preskripsi Diet
6. Jenis Diet
Enteral:
ND.3.1.2 Makanan siap pakai (komersial) → Pemesanan Diet: Formula
Komersial (Blendera) 6x200cc.

7. Kandungan Zat Gizi yang Diberikan


 Energi 1561,5 Kkal
 Protein 58,5 gram
 Lemak 43,4 gram
 Karbohidrat 234,2 gram
8. Route
Enteral melalui selang NGT

9. Bentuk Makanan
Bentuk makanan cari berupa formula komersial (Blendera) 6x200cc.

10. Frekuensi
Jadwal pemberian dengan interval 3 jam, dengan waktu pemberian yaitu:
Jam 07.00 WIB= 200cc
Jam 09.00 WIB= 200cc
Jam 12.00 WIB= 200cc
Jam 14.00 WIB= 200cc
Jam 18.00 WIB= 200cc
Jam 20.00 WIB= 200cc

h. Perencanaan Edukasi
 Tujuan Umum :
Membantu pasien dalam proses pemenuhan kebutuhan zat gizi secara enteral
untuk pasien Cerebral Infraction Due To Thrombosis Of Cerebral Arteries
dengan Diabetes melitus dan Hipertensi.
 Tujuan Khusus:
i. Memberikan pengetahuan mengenai cara menyiapkan makanan enteral
untuk pasien.
ii. Memberikan pengetahuan mengenai cara pemberian makanan kepada
pasien.
iii. Memberikan pengetahuan mengenai makanan yang yang dianjurkan,
dibatasi, dan tidak boleh di konsumsi oleh pasien.
 Sasaran : Pasien dan Keluarga pasien
 Metode : Konsultasi, tanya jawab dan demonstrasi
 Alat Peraga : Leaflet makanan cair DM 1500+RG dan contoh makanan
enteral
 Materi :
i. Cara menyiapkan makanan enteral pasien, dan hygiene sanitasi
peralatan saat digunakan
ii. Cara pemberian makanan enteral kepada pasien Stroke+DM+HT
iii. Makanan yang yang dianjurkan, dibatasi, dan tidak boleh di konsumis
oleh pasien Stroke+DM+HT
 Evaluasi :
Menanyakan kembali materi yang telah diberikan. Sasaran mampu menjawab
semua pertanyaan yang telah diberikan.

i. Perencanaan Monitoring dan Evaluasi Gizi


3. Melakukan monitoring terhadap ketepatan diet asupan energi, protein, lemak,
dan karbohidrat.
4. Melakukan monitoring terhadap data penunjang terkait yaitu GDA, dan tekanan
darah.

j. Kolaborasi Pelayanan Gizi


Dalam memberikan asuhan gizi kepada pasien dilakukan kolaborasi
pelayanan gizi dengan dokter DPJP dalam pemberian makanan dan zat gizi.

E. Monitoring dan Evaluasi Gizi


3. Monitoring dan Evaluasi Terhadap Pemberian Makanan dan Zat Gizi
Berdasarkan hasil diagnosa medis pasien dilakukan intervensi mengenai
asupan makan sesuai dengan kebutuhan. hasil dari monitoring dan evaluasi
tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4. Hasil Pemberian Makanan dan Zat Gizi Tn. S
Standar Data Monitoring
Uraian Evaluasi
pembanding awal Hari 1 Hari 2 Hari 3
Jenis Diet Jenis diet
Formula
CDM Formula CDM Blendera Blendera Blendera sudah
CDM
(Blendera) 6x200cc 6x200cc 6x200cc 6x200cc menggunakan
6x200cc
6x200cc formula CDM
1368 1368 1368 1368 Asupan energi
Energi (Kkal) 1561,5
(87,6%) (87,6%) (87,6%) (87,6%) defisit ringan
Protein 55,5 55,5 55,5 55,5 Asupan protein
58,5
(gram) (94,9%) (94,9%) (94,9%) (94,9%) sesuai
Lemak 43,5 43,5 43,5 43,5 Asupan lemak
43,4
(gram) (100%) (100%) (100%) (100%) sesuai
Asupan
Karbohidrat 187,32 187,32 187,32 187,32
234,2 Karbohidrat
(gram) (77%) (77%) (77%) (77%)
defisit sedang

4. Monitoring Terhadap Data Penunjang Terkait yaitu GDA dan Tekanan Darah
Tidak dilakukan monitoring terhadap biokimia pasien yaitu Gula Darah Acak
(GDA). Monitoring terkait tekanan darah dilakukan setiap hari dengan hasil tekanan
darah tinggi pada hari 1 (150/90 mmHg).
BAB IV
PEMBAHASAN

1. Pemberian Makanan dan Zat Gizi


a) Energi
Energi yang dibutuhkan oleh tubuh berasal dari zat gizi yang merupakan
sumber utama seperti karbohidrat, lemak, dan protein. Energi yang diperlukan
dinyatakan dalam satuan kalori. Menurut Prof. DR. Achmad Djaeni Sediaoetama,
MSc. (2010), energi yang dipergunakan tubuh dapat dibagi menjadi dua kelompok
besar yaitu :
c. Energi Bassal (Bassal Metabolism) digunakan untuk denyut jantung, laju
pernapasan, laju pencernaan, sebagai urogenital, sekresi kelenjar, biolistrik syaraf
dan lainnya.
d. Energi yang diperlukan tubuh untuk melakukan kegiatan atau aktivitas sehari – hari
Berikut merupakan gambaran dari hasil monitoring dan evaluasi pasien:

Kebutuhan dan Hasil Asupan Energi


Kebutuhan Energi
1600

1550

1500

1450

1400

1350

1300

1250
Data Awal Hari 1 Hari 2 Hari 3

Gambar 1. Diagram Kebutuhan Hasil Asupan Energi


Berdasarkan diagram diatas, diperoleh hasil bahwa asupan energi pasien kurang
dari kebutuhan yang di butuhkan oleh pasien. Hal ini menunjukkan bahwa pasien masih
mengalami kekurangan asupan energi dengan kategori defisit ringan (87,6%). Oleh karena
itu diperlukan tambahan dari konsentrasi larutan yang diberikan kepada pasien agar asupan
energi pasien dapat terpenuhi. Sehingga dapat membantu penyembuhan pasien dan
mengontrol penyakit pasien.

b) Protein
Protein merupakan salah satu zat makro yang penting bagi kehidupan. Secara
umum protein berfungsi antara lain untuk pertumbuhan, pembentukan komponen struktual,
pengangkut penyimpanan zat gizi, enzim, pembentukan jaringan tubuh, dan sumber energi
(Hardiansyah dan Supariasi, 2017). Berikut merupakan gambaran dari hasil monitoring dan
evaluasi pasien:

Kebutuhan dan Hasil Asupan Protein


Kebutuhan Protein
59
58.5
58
57.5
57
56.5
56
55.5
55
54.5
54
Data Awal Hari 1 Hari 2 Hari 3

Gambar 2. Diagram Kebutuhan Hasil Asupan Protein


Berdasarkan diagram diatas, diperoleh hasil bahwa asupan protein pasien
mencukupi dari kebutuhan yang di konsumsi oleh pasien (94,9%). Oleh karena itu
diharapkan untuk mempertahankan asupan protein pasien dalam rangka membantu
penyembuhan pasien dan mengontrol penyakit pasien.

c) Lemak
Lemak (lipid) adalah zat organik hidrofobik yang bersifat sukar larut air. Namun,
lemak dapat larut pada pelarut non polar seperti, eter, alkohol, kloroform, dan
benzene. Lemak adalah zat yang kaya akan energi dan berfungsi sebagai sumber
energi yang memiliki peran penting dalam metabolism lemak (Hardinsyah dan
Supariasa, 2017). Berikut merupakan gambaran dari hasil monitoring dan evaluasi
pasien:
Kebutuhan dan Hasil Asupan Lemak
Kebutuhan Lemak
43.52
43.5
43.48
43.46
43.44
43.42
43.4
43.38
43.36
43.34
Data Awal Hari 1 Hari 2 Hari 3

Gambar 3. Diagram Kebutuhan Hasil Asupan Lemak


Berdasarkan diagram diatas, diperoleh hasil bahwa asupan lemak pasien mencukupi
dari kebutuhan yang di konsumsi oleh pasien (100%). Oleh karena itu diharapkan untuk
mempertahankan asupan lemak pasien dalam rangka membantu penyembuhan pasien dan
mengntrol penyakit pasien.

d) karbohidrat
Karbohidrat merupakan zat makanan yang paling cepta menyuplai dan sebagai
bahan bakar tubuh, terutama masa tubuh dalam kondisi lapar. Karbohidrat adalah zat gizi
berupa senyawa organik yang terdiri dari atom karbon hydrogen dan oksigen yang
digunakan sebagai bahan pembentuk energi (Hardiansyah dan Supariasa, 2017). Berikut
merupakan gambaran dari hasil monitoring dan evaluasi pasien:
Kebutuhan dan Hasil Asupan Karbohidrat
Kebutuhan Karbohidrat
250

200

150

100

50

0
Data Awal Hari 1 Hari 2 Hari 3

Gambar 4. Diagram Kebutuhan hasil Asupan Karbohidrat


Berdasarkan diagram diatas, diperoleh hasil bahwa asupan karbohidrat pasien
kurang dari kebutuhan yang di butuhkan oleh pasien. Hal ini menunjukkan bahwa pasien
masih mengalami kekurangan asupan karbohidrat dengan kategori defisit sedang (77%).
Oleh karena itu diperlukan tambahan dari konsentrasi larutan yang diberikan kepada pasien
agar asupan karbohidrat pasien dapat terpenuhi. Sehingga dapat membantu penyembuhan
pasien dan mengontrol penyakit pasien.

2. Monitoring Terhadap Data Penunjang Terkait yaitu GDA dan Tekanan Darah
Tidak dilakukan monitoring terhadap biokimia pasien yaitu Gula Darah Acak (GDA).
Monitoring terkait tekanan darah dilakukan setiap hari dengan hasil tekanan darah tinggi
pada hari 1 (150/90 mmHg). Tekanan darah tinggi berkaitan dengan kelebihan gula darah.
Pasien diabetes tidak mempunyai cukup hormon insulin untuk memproses glukosa (gula
dari makanan) atau insulin mereka tidak bekerja dengan efektif. (Gibney, 2009).
Hubungannya dengan DM tipe 2 sangatlah kompleks, hipertensi dapat membuat sel tidak
sensitif terhadap insulin (resisten insulin). Insulin berperan meningkatkan ambilan glukosa di
banyak sel dan dengan cara ini juga mengatur metabolisme karbohidrat, sehingga jika
terjadi resistensi insulin oleh sel, maka kadar gula di dalam darah juga dapat mengalami
gangguan (Guyton, 2008).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil asuhan gizi yang telah dilakukan dan pemantauan selama 3 hari
pada pasien di Ruang Rawat Inap Ruang Jantung RSPAL Dr. Ramelan Surabaya, dapat
disimpulkan:
1. Hasil Assessment
Seorang laki-laki berusia 47 tahun dengan IMT beresiko obesitas (24,1). Pasien
mempunyai riwayat terdahulu DM tipe 2 dan merupakan perokok. Sekarang pasien
menderita Cerebral Infraction Due To Thrombosis Of Cerebral Arteries dengan Diabetes
melitus dan Hipertensi.
Pasien Mengalami kelemahan pada lengan dan tungkai kiri pasien, dengan
keadaan umum pasien lemah, dan brandispike, mual dan muntah. Pasien terpasang
NGT dengan keluhan tersedak karena minum air putih saja. Pasien mendapatkan nutrisi
enteral CDM 6x200cc dengan formula blendera dan nutrisi parenteral berupa Infus PZ 2
klof/hr, sitokinin 3x500mg, anemolat 1x1, pletaal 2x50mg, platogrix 1x1. Kebutuhan
energi pasien sebesar 1561,5 Kkal, protein sebesar 58,5 gram, lemak sebesar 43,4
gram, dan karbohidrat sebesar 234,2 gram.
2. Diagnosa Gizi
Domain Intake
NI-2.3 Kekurangan intake nutrisi enteral berkaitan dengan peningkatan kebutuhan zat
gizi pasien ditandai dengan asupan energi pasien defisit ringan (87,6%) dan Karbohidrat
defisit sedang (77%).

Domain Klinis
NC-2.2 Perubahan nilai laboratorium berkaitan dengan hiperglikemia ditandai dengan
tingginya Gula Darah Acak sebesar 249 mg/dL.
3. Intervensi Gizi
Intervensi gizi bertujuan mengontrol gula darah, emngontrol tekanan darah, dan
memberikan diet sesuai dengan ebutuhan dan daya terima pasien. Preskripsi diet yaitu
3J dengan tepat Jumlah, tepat Jadwal, dan tepat Jenis, serta rendah garam. Diet cair
berupa makanan formula komersial (Blendera) dengan frekuansi 6x200cc ewat enteral
melalui NGT.
4. Hasil Monitoring dan Evaluasi
Pasien juga mengalami tekanan darah tinggi pada monitoring hari pertama,
sehingga diperlukan koordinasi dengan DPJP agar dapat menurunkan tekanan darah
pasien agar kembali normal. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi diketahui
bahwa terdapat masalah berupa asupan energi pasien yang defisit ringan, dan asupan
karbohidrat yang defisit sedang. Tindak lanjut yang dilakukan yaitu menambah
konsentrasi larutan sesuai dengan perhitungan kebutuhan, sehingga asupan pasien
tidak defisit.

B. Saran
1. Bagi Rumah Sakit
Hasil asuhan gizi mengenai penatalaksanaan terapi diet pada pasien Cerebral
Infraction Due To Thrombosis Of Cerebral Arteries dengan Diabetes melitus dan
Hipertensi di Ruang Rawat Inap Ruang Jantung RSPAL Dr. Ramelan Surabaya dapat
dijadikan sebagai acuan dan perbaikan mengenai proses asuhan gizi.
2. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang sudah didapatkan
sebelumnya dengan cara membuat asuhan gizi terhadap pasien.
3. Bagi Pasien dan Keluarga
Dapat menerapkan terapi diet pada penderita Cerebral Infraction Due To Thrombosis
Of Cerebral Arteries dengan Diabetes melitus dan Hipertensi di Ruang Rawat Inap
Ruang Jantung RSPAL Dr. Ramelan Surabaya setelah keluar rumah sakit.
LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN STUDI KASUS

ASUHAN GIZI PADA PASIEN HEMATEMESIS MELENA


RUMKITAL Dr.RAMELAN – SURABAYA

Menyetujuti,

Koordinator PKL Subdep Gizi Pembimbing Kasus Mendalam


Rumkital Dr. Ramelan Surabaya Rumkital Dr. Ramelan Surabaya

Suzanna Primadona, SKM., M.Kes Yayuk Estuningsih, S.Gz., M.Kes


19640506 198703 2 003 19740302 199903 2 001

Mengetahui,
Kepala Subdep Gizi
Rumkital Dr. Ramelan Surabaya

I Wayan Dwija Karuasa, S.Gz, M.PH


Letkol Laut (K) NRP 12990/P
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hematemesis Melena adalah Buang Air Besar (BAB) dengan tinja berwarna
hitam, mirip aspal. Biasanya disebabkan karena pendarahan disaluran makan bagian
atas, darah berwarna hitam karena bereaksi dengan asam lambung. Diperlukan
darah sebanyak 50-100 mL untuk menimbulkan melena (Cahyono, S). Melena atau
Buang Air Besar (BAB) berdarah merupakan keadaan yang diakibatkan oleh
pendarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA). Negara Barat insidensi pendarahan
akut Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) mencapai 100 per 100.000
penduduk/tahun, laki-laki lebih banyak dari wanita, insidensi ini mengingatkan sesuai
dengan bertambahnya usia, di Indonesia kejadian yang sebenarnya dipopulasi tidak
diketahui. Berbeda dengan di Negara Barat dimana pendarahan karena tukak peptik
menempati urutan terbanyak maka di indonesia pendarahan karena ruptura varises
gastroesofageal merupakan penyebab tersering yang sekitar 50-60%, gastritis
erosiva hemoragika sekitar 25-30%, tukak peptik sekitar 10-15%, dan karena sebab
lainnya <5% (Fadila.M, 2015).
Hematemesis adalah muntah darah sedangkan melena adalah buang air
besar seperti aspal, umumnya disebabkan perdarahan saluran bagian atas mulai
dari esofagus sampai duodenum. Warna merah gelap/ hitam berasal dari konversi
Hemoglobin menjadi Hematin oleh bakteri setelah 14 jam. Umumnya perdarahan
SMBA (saluran makan bagian atas) termasuk penyakit gawat darurat yang
memerlukan tindakan medik intensif yang segera ke rumah sakit/ puskesmas karena
angka kematiannya yang tinggi, terutama pada perdarahan Varises Esofagus. Pada
tahun 2015 berkisar antara 40- 85%. Penyebab perdarahan saluran cerna bagian
atas yang terbanyak dijumpai di Indonesia adalah pecahnya Varises Esofagus
dengan rata-rata 40 – 55%, kemudian menyusul gastritis hemoragika dengan 20 –
25%, ulkus peptikum dengan 15 – 20 %, sisanya oleh keganasan, uremia dan
sebagainya (Padila, 2013).
Pasien dengan pendarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) mengalami
penurunan status gizi sehingga akan mempengaruhi kadar protein didalam darah
yang menyebabkan tubuh kekurangan asam amino esensial untuk mensintesis
berbagai macam zat termasuk hormon. Jenis protein yang paling sering diukur
adalah albumin serum,level albumin yang rendah merefleksikan status nutrisi
penderita yang dihubungkan dengan proses penyakit dan atau proses pemulihan.
Dukungan nutrisi sangat penting pada pengelolaan pasien dengan pendarahan
Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) dan dapat diberikan secara enteral, parenteral
atau bersama-sama secara enteral dan parenteral. Apabila usus berfungsi baik,
nutrisi diberikan dengan memakai konsep NED, pada keadaan usus tidak berfungsi
baik, maka bisa diberikan nutrisi parenteral atau nutrisi enteral dan parenteral
bersama-sama sehingga kebutuhan kalori, cairan, mineral, dan trace element dapat
terpenuhi (Faridah.V, 2017). Menurut Prof. DR. Dr. A. Halim Mubin, SpPD, MSc,
KPTI penatalaksaan pada klien Melena dalam memenuhi gizi klien yaitu dengan
terapi umum : Diet lunak , dilarang makanan berlemak, pedas, keras, alcohol, asam,
atau kopi, terapi komplikasi : pasang sonde lambung, memberikan cairan per infuse,
transfusi darah (Mubin. H) Kebutuhan nutrisi merupakan kebutuhan terhadap proses
pemasukan dan pengolahan zat makanan oleh tubuh yang bertujuan menghasilkan
energi dan digunakan dalam aktivitas tubuh (Hidayat, 2012)

B. Tujuan Umum
Memberikan asuhan gizi kepada pasien dengan diagnosa medis Melena

C. Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian gizi pasien
2. Menetapkan diagnosis gizi dibawah bimbingan CI/Pembimbing
3. Merencanakan intervensi gizi dan mengimplementasikan rencana intervensi
4. Melakukan monitoring evaluasi

D. Manfaat Studi Kasus


Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta pengalaman mahasiswa dalam
merencanakan dan melaksanakan manajemen proses asuhan gizi klinik.

BAB II

TINJAUAN USTAKA
A. Definisi
Melena adalah pengeluaran faeses atau tinja yang berwarna hitam seperti ter yang
disebabkan oleh adanya perdarahan saluran makan bagian atas. Warna
hematemesis tergantung pada lamanya hubungan atau kontak antara drah dengan
asam lambung dan besar kecilnya perdarahan, sehingga dapat berwarna seperti
kopi atau kemerah-merahan dan bergumpal-gumpal. Biasanya terjadi hematemesis
bila ada perdarahan di daerah proksimal jejunun dan melena dapat terjadi tersendiri
atau bersama-sama dengan hematemesis. Paling sedikit terjadi perdarahan
sebanyak 50-100 ml, baru dijumpai keadaan melena. Banyaknya darah yang keluar
selama hematemesis atau melena sulit dipakai sebagai patokan untuk menduga
besar kecilnya perdarahan saluran makan bagian atas. Hematemesis dan melena
merupakan suatu keadaan yang gawat dan memerlukan perawatan segera di rumah
sakit. (Padila.2013:267).
Hematemesis adalah muntah darah dan biasanya disebabkan oleh penyakit saluran
cerna bagian atas. Melena adalah keluarnya feses berwarna hitam per rektal yang
mengandung campuran darah, biasanya disebabkan oleh perdarahan usus
proksimal (Grace & Borley, 2007).
Hematesis melena merupakan suatu perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA)
yang termasuk dalam keadaan gawat darurat yang dapat terjadi karena pecahnya
varises esofagus, gastritis erosif, atau ulkus peptikum. (Arief Mansjoer, 2000 : 634).

B. Etiologi
Penyebab terjadinya hematemesis melena, antara lain :
1. Kelainan esofagus: varise, esofagitis, keganasan.
2. Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung dan duodenum, keganasan
dan lain-lain.
3. Penyakit darah: leukemia, DIC (disseminated intravascular coagulation), purpura
trombositopenia
4. Penyakit sistemik lainnya: uremik, dan lain-lain.
5. Pemakaian obat-obatan yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid,
alkohol, dan lai-lain.
Penting sekali menentukan penyebab dan tempat asal perdarahan saluran makan
bagian atas, karena terdapat perbedaan usaha penanggulangan setiap macam
perdarahan saluran makan bagian atas. Penyebab perdarahan saluran makan
bagian atas yang terbanyak dijumpai di Indonesia adalah pecahnya varises esofagus
dengan rata-rata 45-50 % seluruh perdarahan saluran makan bagian atas.
a. Kelainan di esophagus
1) Varises esophagus
Penderita dengan hematemesis melena yang disebabkan pecahnya varises
esophagus, tidak pernah mengeluh rasa nyeri atau pedih di epigastrium.Pada
umumnya sifat perdarahan timbul spontan dan masif.Darah yang
dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman dan tidak membeku karena sudah
bercampur dengan asam lambung.
2) Karsinoma esophagus
Karsinoma esophagus sering memberikan keluhan melena daripada
hematemesis.Disamping mengeluh disfagia, badan mengurus dan anemis,
hanya sesekali penderita muntah darah dan itupun tidak masif.
3) Sindroma Mallory – Weiss
Sebelum timbul hematemesis didahului muntah-muntah hebat yang pada
akhirnya baru timbul perdarahan.misalnya pada peminum alkohol atau pada
hamil muda. Biasanya disebabkan oleh karena terlalu sering muntah -
muntah hebat dan terus - menerus.
4) Esofagitis dan tukak esophagus
Esophagus bila sampai menimbulkan perdarahan lebih sering intermiten atau
kronis dan biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul melena daripada
hematemesis.Tukak di esophagus jarang sekali mengakibatkan perdarahan
jika dibandingka dengan tukak lambung dan duodenum.
b. Kelainan di lambung
1) Gastritis erisova hemoragika
Hematemesis bersifat tidak masif dan timbul setelah penderita minum obat
obatan yang menyebabkan iritasi lambung.Sebelum muntah penderita
mengeluh nyeri ulu hati.
2) Tukak lambung
Penderita mengalami dispepsi berupa mual, muntah , nyeri ulu hati dan
sebelum hematemesis didahului rasa nyeri atau pedih di epigastrium yang
berhubungan dengan makanan. Sifat hematemesis tidak begitu masif dan
melena lebih dominan dari hematemesis.
c. Kelainan darah : polisetimia vera, limfoma, leukemia, anemia, hemofili,
trombositopenia purpura.

C. Patofisiologis
Usaha mencari penyebab perdarahan saluran makanan dapat dikembalikan kepada
factor-faktor penyebab perdarahan, antara lain : factor pembuluh darah
(vasculopathy) seperti pada tukak peptic, pecahnya varises esophagus; factor
trobosit (thrombopathy) seperti pada ITP, factor kekurangan zat-zat pembentuk
darah (coagulopathy) seperti pada hemophilia, sirosis hati dan lain-lain. Malahan
pada serosis hati dapat terjadi ketiganya : vasculopathy, pecahnya varises
esophagus, thrombopathy, terjadinya pengurangan trombosit di sirkulasi perifer
akibat hipersplenisme, dan terdapat pula coagulophaty akibat kegagalan sel-sel hati.
Khusus pada pecahnya varises esophagus ada 2 teori, yaitu teori erosi yaitu
pecahnya pembuluh darah karena erosi dari makanan yang kasar (berserat tinngi
dan kasar), atau minum OAINS (NSAID), dan teori erupsi karena tekanan vena porta
yang terlalu tinggi, yang dapat pula dicetuskan oleh peningkatan tekanan intra
abdomen yang tiba-tiba seperti pada mengejan, mengangkat barang berat, dan lain-
lain.
Perdarahan saluran makan dapat pula dibagi menjadi perdarahan primer, seperti
pada : hemophilia, ITP, hereditary haemorrhagic telangiectasi, dan lain-lain. Dapat
pula secara sekunder, seperti pada kegagalan hati, uremia, DIC, dan iatrigenic
seperti penderita dengan terapi antikoagulan, terapi fibrinolitik, drug-induce
thrombocytopenia, pemberian transfuse darah yang massif, dan lain-lain. (I Made
Bakta, 1999 :55)
Adanya riwayat dyspepsia memperberat dugaan ulkus peptikum. Begitu juga riwayat
muntah-muntah berulang yang awalnya tidak berdarah, konsumsi alkohol yang
berlebihan mengarahkan ke dugaan gastritis serta penyakit ulkus peptikum. Adanya
riwayat muntah-muntah berulang yang awalnya tidak berdarah lebih kearah Mallory-
Weiss. Konsumsi alkohol berlebihan mengarahkan dugaan ke gastritis (30-40%),
penyakit ulkus peptikum (30-40%), atau kadang-kadang varises. Penurunan berat
badan mengarahkan dugaan ke keganasan. Perdarahan yang berat disertai adanya
bekuan dan pengobatan syok refrakter meningkatkan kemungkinan varises.
Adanya riwayat pembedahan aorta abdominalis sebelumnya meningkatkan
kemungkinan fistula aortoenterik. Pada pasien usia muda dengan riwayat
perdarahan saluran cerna bagian atas singkat berulang (sering disertai kolaps
hemodinamik) dan endoskopi yang normal, harus dipertimbangkan lesi Dieulafoy
(adanya arteri submukosa, biasanya dekat jantung, yang dapat menyebabkan
perdarahan saluran pencernaan intermitten yang banyak).

D. Manifestasi Klinis
Gejala yang ada yaitu :
1. Muntah darah (hematemesis)
2. Mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena)
3. Mengeluarkan darah dari rectum (hematoskezia)
4. Denyut nadi yang cepat, TD rendah
5. Akral teraba dingin dan basah
6. Nyeri perut
7. Nafsu makan menurun
8. Jika terjadi perdarahan yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya
anemia, seperti mudah lelah, pucat, nyeri dada dan pusing.

E. Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien Hematemesis Melena adalah koma hepatik
(suatu sindrom neuropsikiatrik yang ditandai dengan perubahan kesadaran,
penurunan intelektual, dan kelainan neurologis yang menyertai kelainan parenkim
hati), syok hipovolemik (kehilangan volume darah sirkulasi sehingga curah jantung
dan tekanan darah menurun), aspirasi pneumoni (infeksi paru yang terjadi akibat
cairan yang masuk saluran napas), anemi posthemoragik (kehilangan darah yang
mendadak dan tidak disadari).

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
a. Darah : Hb menurun / rendah
b. SGOT, SGPT yang meningkat merupakan petunjuk kebocoran dari sel yang
mengalami kerusakan.
c. Albumin, kadar albumin yang merendah merupakan
d. cerminan kemampuan sel hati yang kurang.
e. Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan
pembatasan garam dalam diet.
f. Peninggian kadar gula darah.
g. Pemeriksaan marker serologi pertanda ureus seperti HBSAg/HBSAB,
HBeAg, dll
2. Radiologi
a. USG untuk melihat gambaran pembesaran hati, permukaan splenomegali,
acites
b. Esofogus untuk melihat perdarahan esofogus
c. Angiografi untuk pengukuran vena portal
G. Penatalaksanaan
Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas harus sedini mungkin
dan sebaiknya diraat di rumah sakit untuk mendapatkan pengawasan yang teliti dan
pertolongan yang lebih baik. Pengobatan penderita perdarahan saluran makan
bagian atas meliputi :
1. Pengawasan dan pengobatan umum
a. Penderita harus diistirahatkan mutlak, obat-obat yang menimbulkan efek
sedatif morfin, meperidin dan paraldehid sebaiknya dihindarkan.
b. Penderita dipuasakan selama perdarahan masih berlangsung dan bila
perdarahan berhenti dapat diberikan makanan cair.
c. Infus cairan langsung dipasang & diberilan larutan garam fisiologis slama
belum ada darah.
d. Pengawasan tekanan darah, nadi, kesadaran penderita dan bila perlu
dipasang CVP monitor.
e. Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk
mengikuti keadaan perdarahan.
f. Transfusi darah diperlukan untuk menggati darah yang hilang dan
mempertahankan kadar hemoglobin 50-70 % harga normal.
g. Pemberian obat hemostatik seperti vitamin K, 4 x 10 mg/hari, karbasokrom
(Adona AC), antasida dan golongan H2 reseptor antagonis (simetidin atau
ranitidin) berguna untuk menanggulangi perdarahan.
h. Dilakukan klisma atau lavemen dgn air biasa disertai pemberian antibiotika yg
tidak diserap oleh usus, sebagai tindadakan sterilisasi usus. Tindakan ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan produksi amoniak oleh
bakteri usus, dan dapat menimbulkan ensefalopati hepatik.
2. Pemasangan pipa naso-gastrik
Tujuan pemasangan pipa naso gastrik adalah untuk aspirasi cairan lambung,
lavage (kumbah lambung) dengan air , dan pemberian obat-obatan. Pemberian
air pada kumbah lambung akan menyebabkan vasokontriksi lokal sehingga
diharapkan terjadi penurunan aliran darah di mukosa lambung, dengan demikian
perdarahan akan berhenti. Kumbah lambung ini akan dilakukan berulang kali
memakai air sebanyak 100- 150 ml sampai cairan aspirasi berwarna jernih dan
bila perlu tindakan ini dapat diulang setiap 1-2 jam. Pemeriksaan endoskopi
dapat segera dilakukan setelah cairan aspirasi lambung sudah jernih.

3. Pemberian pitresin (vasopresin)


Pitresin mempunyai efek vasokoktriksi, pada pemberian pitresin per infus akan
mengakibatkan kontriksi pembuluh darah dan splanknikus sehingga menurunkan
tekanan vena porta, dengan demikian diharapkan perdarahan varises dapat
berhenti. Perlu diingat bahwa pitresin dapat menrangsang otot polos sehingga
dapat terjadi vasokontriksi koroner, karena itu harus berhati-hati dengan
pemakaian obat tersebut terutama pada penderita penyakit jantung iskemik.
Karena itu perlu pemeriksaan elektrokardiogram dan anamnesis terhadap
kemungkinan adanya penyakit jantung koroner/iskemik.
4. Pemasangan balon SB Tube
Dilakukan pemasangan balon SB tube untuk penderita perdarahan akibat
pecahnya varises. Sebaiknya pemasangan SB tube dilakukan sesudah penderita
tenang dan kooperatif, sehingga penderita dapat diberitahu dan dijelaskan
makna pemakaian alat tersebut, cara pemasangannya dan kemungkinan kerja
ikutan yang dapat timbul pada waktu dan selama pemasangan.
Beberapa peneliti mendapatkan hasil yang baik dengan pemakaian SB tube ini
dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas akibat pecahnya
varises esofagus. Komplikasi pemasangan SB tube yang berat seperti laserasi
dan ruptur esofagus, obstruksi jalan napas tidak pernah dijumpai.
5. Pemakaian bahan sklerotik
Bahan sklerotik sodium morrhuate 5 % sebanyak 5 ml atau sotrdecol 3 %
sebanyak 3 ml dengan bantuan fiberendoskop yang fleksibel disuntikan
dipermukaan varises kemudian ditekan dengan balon SB tube. Tindakan ini tidak
memerlukan narkose umum dan dapat diulang beberapa kali. Cara pengobatan
ini sudah mulai populer dan merupakan salah satu pengobatan yang baru dalam
menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas yang disebabkan
pecahnya varises esofagus.
6. Tindakan operasi
Bila usaha-usaha penanggulangan perdarahan diatas mengalami kegagalan dan
perdarahan tetap berlangsung, maka dapat dipikirkan tindakan operasi .
Tindakan operasi yang basa dilakukan adalah : ligasi varises esofagus, transeksi
esofagus, pintasan porto-kaval. Operasi efektif dianjurkan setelah 6 minggu
perdarahan berhenti dan fungsi hari membaik.
Selain cara-cara tersebut diatas, adapula metode lain untuk menghentikan
perdarahan varises esophagus, antara lain :
1) Cyanoacrylate glue injection, memakai semacam lem jaringan (His-toacryl R)
yang langsung disuntikkan intravena.
2) Endoscopic band ligator
Sedangkan pada perdarahan non variceal, dapat dilakukan tindakan-tindakan
sebagai berikut :
a. Laser photo coagulation
b. Diathermy coagulation
c. Adrenalin injection
d. Sclerotheraphy injection.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Pasien


Ny. X, 76 tahun merupakan ibu rumah tangga yang menderita diabetes melitus
sejak 5 tahun yang lalu. Px masuk rumah sakit dengan keluhan luka di kaki
kanan sejak 4 hari lalu, awalnya luka tersebut kemerahan dgn pusat besar
berwarna putih, lalu semakin membengkak. Keluarga Px telah mendatangkan
perawat home care dan dibuka lukanya dan didapatkan banyak darah dan nanah
yang keluar dari luka tersebut. Kedua mata pasien tidak dapat melihat, awalnya
kiri lalu kanan. Mual dan muntah sebanyak 2x sebelum masuk rumah sakit. Saat
ini px masih keluar cairan merah dari NGT dan saat ini pasien mengalami melena
atau pendarahan organ saluran pencernaan yang ditandai dengan keluarga
darah pada selang nasogastrik (NGT) dan BAB darah merah kehitaman. Hasil
pemeriksaan laboratorium terbtu menunjukkan Hemoglobin 7.49 (rendah),
Albumin 2.33 (tinggi), BUN 33 mg/dl (tinggi), Chlorida 90.0 mmol/L (rendah),
Kalium 2.36 mmol/L (rendah), Kreatinin 1.6 mg/dl (tinggi) dan Natrium 131.8
mmol/L (rendah). Sedangkan pemeriksaan fisik/klinis menunjukkan Tendi 135/82
mmhg (tinggi), Nadi 72x/mnt, suhu 36,4 oC, RR 20x/mnt (rendah), dan KU lemah
motorik lat D hemidiskinesia D. Px datang ke rumah sakit sudah menggunakan
selang nasogastrik yang sudah mengeluarkan darah.

IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. XX
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Usia : 76 Tahun
4. Suku : Jawa
5. Status Pernikahan: Menikah
6. Pekerjaan : Mengurus rumah tangga
7. Agama : Kristen
8. Pendidikan : SMA
9. Bahasa : Indonesia
10. Diagnosis Medis : Melena
11. Jenis Diet : Diet Parenteral

B. Assesment (Pengkajian Pasien)


1. Pengkuran Antropometri (AD)
Berdasarkan perkiraan dari data AKG pada tahun 2019 didapatkan :

BB 53 kg
TB 157 cm
IMT 53/1,572 = 21,50
AKG, 2019
2. Pemeriksaan Biokimia (BD)
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (25 Februari 2021)

Jenis Hasil Nilai Normal Keterangan


Pemeriksaan Pemeriksaan
Hemoglobin 7.49 12.1 - 15.1 Rendah
Albumin 2.33 3.40 - 4.80 Rendah
BUN 33 mg/dl 10.0 – 24.0 Tinggi
Chlorida 90.0 mmol/L 95.0 – 105.0 Rendah
Kalium 2.36 mmol/L 3.40 – 4.80 Rendah
Kreatinin 1.6 mg/dl 0.6 – 1.5) Tinggi
Natrium 131.8 mmol/L 135.0 - 147.0 Rendah

3. Pemeriksaan Fisik/Klinis (PD)


a. Pemeriksaan Fisik (25 Februari 2021)
- Kesadaran Umum = lemah motorik
- Mual dan muntah 2x MRS
- Kedua mata px tidak dapat melihat sejak <5 tahun
- Luka kaki kanan sejak 4 hari yang lalu awalnya kemerahan dengan
pusat berwarna putih lalu semakin membengkak
- Keluar cairan dari NGT dan BAB darah merah kehitaman
(Hematemesis Melena)
b. Pemeriksaan Klinis
Hasil Pemeriksaan Klinis (25 Februari 2021)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Keterangan


Tekanan Darah 135/82 mmHg 120/80 mmHg Tinggi
Nadi 72x/mnt 60-100x/mnt Normal
Suhu 36,4 oC 36-37 oC Normal
RR 20x/mnt 60-100x/mnt Rendah

4. Riwayat Gizi (FH)


- Riwayat Gizi Dahulu
-
- Riwayat Gizi Sekarang
Px menggunakan NGT untuk mendapatkan asupan tetapi NGT
mengeluarkan darah.
5. Riwayat Personal (CH)
- Umur, pekerjaan, tingkat pendidikan, informasi terkait
gizi/penyakit yang diderita, peranan pasien dalam keluarga
Usia pasien adalah 76 tahun, pasien adalah seorang ibu rumah
tangga.
- Keadaan sosial ekonomi
-
- Riwayat penyakit keluarga
-
- Riwayat penyakit dahulu
Diabetes Melitus
- Riwayat penyakit sekarang
Diabetes Melitus
- Aktivitas fisik, kebiasaan berolahraga, gaya hidup (merokok,
peminum alkohol, dll), obat-obat yang digunakan
-
- Masalah psikologis
-
- Pantangan/alergi makanan
-
6. Diagnosis Gizi (NI, NB, NC)
- NC.2.1
Perubahan kemampuan mengasorpsi atau memetabolisme zat gizi
atau zat bioaktif pada saluran organ pencernaan ditandai dengan
ketidaknormalan enzim-enzim pencernaan pada feses yaitu BAB
darah merah kehitaman.
- NC – 2.2
Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi khusus yang berkaitan
dengan adanya pendarahan saluran pencernaan bagian atas yang
ditandai dengan ketidaknormalan kadar BUN (tinggi) dan kreatinin
(tingi).
7. Rencana Intervensi (ND, E/C, RC)
a) Intervensi Diet
Preskripsi Diet
1) Tujuan Pemberian Diet
- Memberikan makanan secukupnya yang memungkinkan istirahat
pada saluran cerna, mengurangi risiko pendarahan ulang dan
mencegah aspirasi.
- Mengusahakan keadaan gizi sebaik mungkin.
2) Prinsi Diet
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang Hematemesis Melenda
ini yaitu ketika pasien dalam fase akut akan diberikan makanan
parenteral melalui vena saja selama pendarahan dapat teratasi, hal ini
dilakukan untuk mengistirahatkan lambung pasien. Kemudian jika
pendarahan sudah dapat teratasi makan diet yang diberikan bukan
melalui parenteral saja.
3) Syarat Diet
- Tidak merangsang saluran cerna
- Tidak meninggalkan sisa
- Pada fase akut dapat diberikan makanan parenteral saja selama
24-48 jam untuk memberikan istirahat pada lambung
- Diet diberikan jika pendarahan pada lambung atau duodenum
sudah tidak ada.
4) Jenis Diet
- Diet parenteral penuh (TPN)
5) Perhitungan Kebutuhan Energi dan Zat Gizi
*Perhitungan kebutuhan cairan
Kebutuhan cairan = 30ml / kgBB / hari
= 30 / 53 / hari
= 1590
BEE = 655,1 + (9,56 x BB) + (1,85 x TB - (4,68 x U))
BEE = 655,1 + (9,56 x 53) + (1,85 x 157 - (4,68 x 76))
BEE = 655,1 + (506,68) + (290,45 - 355,68)
BEE = 655,1 + (506,68) + (65,23)
BEE = 1227,01
Kebutuhan E per hari = BEE x FS
= 1227,01 x 1,5
= 1840,5 kkal
Protein = (15% x total energi) : 4
= (15% x 1840,5) : 4
= 69,01 gram
Lemak = (25% x total energi) : 9
= (25% x 1840,5) : 9
= 51,12 gram
KH = (60% x total energi) : 4
= (60% x 1840,5) : 4
= 276,07 gram
6) Rencana Menu
Diet yang diberikan pada pasien adalah parenterral penuh (TPN) yang
pengaplikasiannya melalui vena.
7) Intervensi Edukasi/Konseling
1) Tujuan
- Memberikan konseling mengenai pola makan yang seimbang sesuai
dengan diet yang sudah ditentukan
- Memberikan konseling mengenai makanan yang boleh dikonsumsi,
tidak boleh dikonsumsi, serta bahan makanan dan olahan makanan
yang dibatasi konsumsinya.
- Membimbing klien dan keluarga dalam merawat diri sesuai dengan
kondisi pasien saat ini.
2) Sasaran
- Pasien dan keluarga pasien
3) Metode
- Konsultasi dan tanya jawab
4) Alat dan Bahan
- Leaflet
5) Materi
- Pola makan yang benar dan seimbang sesusai dengan diet yang telah
ditentukan
- Bahan makanan yang boleh dikonsumsi, dibatasi dan dihindari.
- Motivasi untuk pasien dan keluarga pasien.
6) Waktu
- 15-20 menit

7) Tempat
- Bed pasien
8) Media
- Leaflet
8. Implementasi
Implementasi yang dilakukan adalah pemberian diet parenteral yang
pengaplikasiannya melalui vena.
9. Monitoring dan Evaluasi
1) Monitoring dan Evaluasi Biokimia (25 Februari 2021)

Jenis Hasil Nilai Normal Keterangan


Pemeriksaan Pemeriksaan
Hemoglobin 7.49 12.1 - 15.1 Rendah
Albumin 2.33 3.40 - 4.80 Rendah
BUN 33 mg/dl 10.0 – 24.0 Tinggi
Chlorida 90.0 mmol/L 95.0 – 105.0 Rendah
Kalium 2.36 mmol/L 3.40 – 4.80 Rendah
Kreatinin 1.6 mg/dl 0.6 – 1.5) Tinggi
Natrium 131.8 mmol/L 135.0 - 147.0 Rendah
Hasil pemeriksaan biokimia tersebut didapatkan dari data biokimia terbaru Px
ketika datang ke rumah sakit. Data-data pemeriksaan biokimia tersebut yang
akan di monitoring dan di evaluasi selama px berada di rumah sakit.
2) Monitoring dan Evaluasi Fisik/Klinis (25 Februari 2021)
a. Pemeriksaan Fisik
- Kesadaran Umum = lemah motorik
- Mual dan muntah 2x MRS
- Kedua mata px tidak dapat melihat sejak <5 tahun
- Luka kaki kanan sejak 4 hari yang lalu awalnya kemerahan dengan
pusat berwarna putih lalu semakin membengkak
- Keluar cairan dari NGT dan BAB darah merah kehitaman
b. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Keterangan


Tekanan Darah 135/82 mmHg 120/80 mmHg Tinggi
Nadi 72x/mnt 60-100x/mnt Normal
o o
Suhu 36,4 C 36-37 C Normal
RR 20x/mnt 60-100x/mnt Rendah
Hasil pemeriksaan fisik/klinis pada px didapatkan ketika px datang ke
rumah sakit. Data pemeriksaan fisik/klinis tersebut yang akan di
monitoring dan di evaluasi selama px dirawat di rumah sakit.

10. Tabel Pelayanan Asuhan Gizi Terstandar (PAGT)


Nama : Ny. XX
No. Register : Xxxx
Ruang/Bed : IGD
Usia : 76 Th
Diagnosis Penyakit : Hematemesis Melena
ASSESSMENT/REASSESSMENT KESIMPULAN
ANTROPOMETRI - -

BIOKIMIA 9 Feb 2021 (01.29) 9 Feb 2021 (01.29)


- Gula darah puasa 68mg/dl (74.0 – 106.0) BD – 1.5.1

- Albumin 3.12 mg/dl (3.40 - 4.80) (Glukosa )


BD – 1.11.1
(Albumin )

11 Feb 2021 (01.21) 11 Feb 2021

- Albumin 2.73 mg/dl (3.40 – 4.80) (01.21)

- HGB 8.1 g/dl (12.1 - 15.1) BD – 1.11.1


(Albumin )
BD – 1.10.1

14 Feb 2021 (09.40) (Hemoglobin )

- Albumin 2.49 mg/dl (3.40 – 4.80) 14 Feb 2021

- Thoraks (Pneumonia kanan bawah Broncho (09.40)

vascular pattern meningkat di kedua lapang BD – 1.11.1

paru hasil kultur darah) (Albumin )

- HGB 10.2 g/dl (12.1 – 15.1) BD – 1.10.1

25 Feb 2021 (09.10) (Hemoglobin )

- HGB 7.49 (12.1 - 15.1)


25 Feb 2021
- Albumin 2.33 (3.40 - 4.80)
(09.10)
- BUN 33 mg/dl (10.0 – 24.0)
BD – 1.10.1
- Chlorida 90.0 mmol/L (95.0 – 105.0) (Hemoglobin )
- Kalium 2.36 mmol/L (3.40 – 4.80) BD – 1.11.1
(Albumin )
- Kreatinin 1.6 mg/dl (0.6 – 1.5)
BD – 1.2.1
- Natrium 131.8 mmol/L (135.0 - 147.0)
(Ureum )
BD - 1.2.6
(Chlorida )
BD - 1.2.7
(Kalium )
BD - 1.1.2
(Kreatinin )
BD – 1.2.5
(Natrium )
FISIK-KLINIS Fisik PD – 1.1.7
- Mual dan muntah 2x MRS Mual dan muntah
- Kedua mata pasien tidak dapat melihat sejak PD – 1.1.5
<5 tahun BAB darah merah
- Luka kaki kanan sejak 4 hari yg lalu awalnya kehitaman
kemerahan dengan pusat berwarna putih lalu
semakin membengkak
- RPO : sporetik, metronidazole, citicolin,
glimepirid 2 mg
- Keluar cairan dari NGT dan berak darah
merah kehitaman PD – 1.1.9
Klinis Tekanan darah
- Tensi 135/82 mmhg PD – 1.1.9
- Nadi 72x/mnt RR
o
- Suhu 36,4 C
- RR 20x/mnt
- GCS 434
- KU lemah motorik lat D hemidiskinesia D
- Retensi cairan +

RIWAYAT GIZI RIWAYAT GIZI DAHULU –

RIWAYAT GIZI SEKARANG


- NGT

AKTIFITAS FISIK: -

RIWAYAT PEKERJAAN: CH – 2.1.3


PERSONAL - Ibu rumah tangga Diabetes Melitus
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :
- Menderita DM kurang lebih 5 tahun terakhir
(namun mata tidak bisa melhat dikatakan
sejak 2005)
RIWAYAT PENTAKIT KELUARGA: -
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:
- Diabetes Melitus
EDUKASI GIZI: -
DIAGNOSA GIZI NC.2.1
Perubahan kemampuan mengasorpsi atau memetabolisme zat gizi atau zat
bioaktif pada saluran organ pencernaan ditandai dengan ketidaknormalan
enzim-enzim pencernaan pada feses yaitu BAB darah merah kehitaman.
NC – 2.2
Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi khusus yang berkaitan dengan
adanya pendarahan saluran pencernaan bagian atas yang ditandai dengan
ketidaknormalan kadar BUN (tinggi) dan kreatinin (tingi).
INTERVENSI GIZI RENCANA MONITORING & EVALUASI
RC.1.4 Kolaborasi dengan tim medis lain BD – 1.5.1
E.1.4 Pasien maupun keluarga diberikan (Glukosa)
edukasi gizi tentang pola makan yang BD – 1.10.1
sehat terkait dengan diet yang diberikan (Hemoglobin)
untuk pasien BD – 1.11.1
(Albumin)
BD - 1.1.2
PERUBAHAN DIET (Kreatinin)
- Diet parenteral BD - 1.2.6
(Chlorida)
BD – 1.2.1
(BUN)
BD - 1.2.7
(Kalium)
BD – 1.2.5
(Natrium)
PD – 1.1.7
Mual dan muntah
PD – 1.1.5
BAB darah merah kehitaman
PD – 1.1.9
Tekanan darah
PD – 1.1.9
RR
CH – 2.1.3
Diabetes Melitus

11. Perencanaan Menu Sehari


Menu dengan diet parenteral yang pengaplikasiannya melalui vena.
*Perhitungan kebutuhan cairan
Kebutuhan cairan = 30ml / kgBB / hari
= 30 / 53 / hari
= 1590

BEE = 655,1 + (9,56 x BB) + (1,85 x TB - (4,68 x U))


BEE = 655,1 + (9,56 x 53) + (1,85 x 157 - (4,68 x 76))
BEE = 655,1 + (506,68) + (290,45 - 355,68)
BEE = 655,1 + (506,68) + (65,23)
BEE = 1227,01
Kebutuhan E per hari = BEE x FS
= 1227,01 x 1,5
= 1840,5 kkal
Protein = (15% x total energi) : 4
= (15% x 1840,5) : 4
= 69,01 gram
Lemak = (25% x total energi) : 9
= (25% x 1840,5) : 9
= 51,12 gram
KH = (60% x total energi) : 4
= (60% x 1840,5) : 4
= 276,07 gram
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Diagnosa medis pasien : Hematemesis Melena
2. Tidak ada hasil antropometri yang menunjukkan status gizi sehingga
menggunakan standar dari AKG untuk mengolah kasus.
3. Hasil fisik/klinis pasien menunjukkan Tensi 135/82 mmhg (tinggi), Nadi 72x/mnt,
suhu 36,4 oC, RR 20x/mnt (rendah), dan KU lemah motorik lat D hemidiskinesia
D. Px datang ke rumah sakit sudah menggunakan selang nasogastrik yang
sudah mengeluarkan darah.
4. Hasil biokimia pasien menunjukkan Hemoglobin 7.49 (rendah), Albumin 2.33
(tinggi), BUN 33 mg/dl (tinggi), Chlorida 90.0 mmol/L (rendah), Kalium 2.36
mmol/L (rendah), Kreatinin 1.6 mg/dl (tinggi) dan Natrium 131.8 mmol/L (rendah).
5. Hasil dietary history tidak dapat diidentifikasi karena tidak adanya data dietary
history pada kasus tersebut.
6. Diagnosis gizi pasien meliputi :
- NC.2.1
Perubahan kemampuan mengasorpsi atau memetabolisme zat gizi atau
zat bioaktif pada saluran organ pencernaan ditandai dengan
ketidaknormalan enzim-enzim pencernaan pada feses yaitu BAB darah
merah kehitaman.
- NC – 2.2
Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi khusus yang berkaitan
dengan adanya pendarahan saluran pencernaan bagian atas yang
ditandai dengan ketidaknormalan kadar BUN (tinggi) dan kreatinin (tingi)
7. Implementasi yang dilakukan adalah pemberian diet parenteral yang
pengaplikasiannya melalui vena.
8. Hasil pengamatan selama studi kasus :
Pasien menderita Diabetes Melitus sejak 5 tahun yang lalu. Saat ini pasien
mengalami Hematemesis Melena atau pendarahan organ saluran pencernaan
yang ditandai dengan keluarga darah pada selang nasogastrik (NGT) dan BAB
darah merah kehitaman.

B. Saran
1. Pasien sebaiknya melakukan diet yang sudah dianjurkan.
2. Pasien sebaiknya melakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai penyakit
pasien.
3. Pasien sebaiknya melakukan perawatan medis secara intensif.
LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN STUDI KASUS

ASUHAN GIZI PADA PASIEN COVID-19 DISERTAI DIABETES MELITUS


RUMKITAL Dr.RAMELAN – SURABAYA

Menyetujuti,

Koordinator PKL Subdep Gizi Pembimbing Kasus Mendalam


Rumkital Dr. Ramelan Surabaya Rumkital Dr. Ramelan Surabaya

Suzanna Primadona, SKM., M.Kes Ika Mukti Virgiyanti, SST


19640506 198703 2 003 197309201996032001

Mengetahui,
Kepala Subdep Gizi
Rumkital Dr. Ramelan Surabaya

I Wayan Dwija Karuasa, S.Gz, M.PH


Letkol Laut (K) NRP 12990/P
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh turunan coronavirus baru,
‘CO’ diambil dari corona, ‘VI’ virus, dan ‘D’ disease (penyakit). COVID-19 disebabkan
oleh SARS-COV2 yang termasuk dalam keluarga besar coronavirus yang sama
dengan penyebab SARS pada tahun 2003, hanya berbeda jenis virusnya. Gejalanya
mirip dengan SARS, namun angka kematian SARS (9,6%) lebih tinggi dibanding
COVID-19 (saat ini kurang dari 5%), walaupun jumlah kasus COVID-19 jauh lebih
banyak dibanding SARS. COVID-19 juga memiliki penyebaran yang lebih luas dan
cepat ke beberapa negara dibanding SARS (Tim Kerja Kementerian Dalam Negeri,
2020). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan wabah koronavirus
2019-2020 sebagai Kesehatan Masyarakat Darurat Internasional (PHEIC) pada 30
Januari 2020, dan pandemi pada 11 Maret 2020.
Wabah penyakit ini begitu sangat mengguncang masyarakat dunia, hingga
hampir 200 Negara di Dunia terjangkit oleh virus ini termasuk Indonesia. Berbagai
upaya pencegahan penyebaran virus Covid-19 pun dilakukan oleh pemerintah di
negara-negara di dunia guna memutus rantai penyebaran virus Covid-19 ini, yang
disebut dengan istilah lockdown dan social distancing (Supriatna, 2020).
Sejak 31 Desember 2019 hingga 3 Januari 2020 kasus ini meningkat pesat,
ditandai dengan dilaporkannya sebanyak 44 kasus. Tidak sampai satu bulan,
penyakit ini telah menyebar di berbagai provinsi lain di China, Thailand, Jepang, dan
Korea Selatan. Sampel yang diteliti menunjukkan etiologi coronavirusbaru, awalnya,
penyakit ini dinamakan sementara sebagai 2019 novel coronavirus (2019-nCoV),
kemudian WHO mengumumkan nama baru pada 11 Februari 2020 yaitu Coronavirus
Disease (COVID-19) yang disebabkan oleh virusSevere Acute Respiratory
Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Virus ini dapat ditularkandari manusia ke
manusia dan telah menyebar secara luas. Kasus terbaru pada tanggal 13 Agustus
2020, WHO mengumumkan COVID-19, terdapat 20.162.474 juta kasus konfirmasi
dan 737.417 ribu kasus meninggal dimana angka kematian berjumlah 3,7 % di
seluruh dunia, sementara di Indonesia sudah ditetapkan 1.026.954 juta kasus
dengan spesimen diperiksa, dengan kasus terkonfirmasi 132.138 (+2.098) dengan
positif COVID-19 sedangkan kasus meninggal ialah 5.968 kasus yaitu 4,5% (PHEOC
Kemenkes RI, 2020).
Diabetes mellitus penyakit gangguan metabolik terutama metabolisme
karbohidrat yang disebabkan oleh berkurangnya atau ketiadaan hormon insulin dari
sel beta pankreas, atau akibat gangguan fungsi insulin, atau keduanya (Sutedjo,
2010). Terdapat dua jenis penyakit diabetes mellitus, yaitu Diabetes mellitus tipe I
(insulin-dependent diabetes mellitus) dan diabetes mellitus tipe II (noninsulin-
dependent diabetes mellitus). Diabetes mellitus tipe I yaitu dicirikan dengan
hilangnya sel penghasil insulin pada pulau-pulau langhernas pankreas sehingga
terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Diabetes mellitus tipe II, terjadi akibat
ketidakmampuan tubuh untuk merespon dengan wajar terhadap aktivitas insulin
yang dihasilkan pankreas (resistensi insulin), sehingga tidak tercapai kadar glukosa
yang normal dalam darah. Diabetes mellitus tipe II lebih banyak ditemukan dan
meliputi 90% dari semua kasus diabetes di seluruh dunia (Maulana, 2009).
Menurut WHO tahun 2011, diabetes mellitus termasuk penyakit yang paling
banyak diderita oleh penduduk di seluruh dunia dan merupakan urutan ke empat dari
prioritas penelitian nasional untuk penyakit degeneratif. Prevalensi Diabetes Mellitus
pada populasi dewasa di seluruh dunia diperkirakan akan meningkat sebesar 35%
dalam dua dasawarsa dan menjangkit 300 juta orang dewasa pada tahun 2025.
Bagian terbesar peningkatan angka pravalensi ini akan terjadi di negara-negara
berkembang (Gibney, 2009).
Berdasarkan trend statistik selama 10 tahun terakhir IDF memprediksi bahwa
Indonesia akan berada pada peringkat ke enam dengan jumlah penderita mencapai
12 juta jiwa pada tahun 2030 (IDF, 2011). Peningkatan jumlah penderita diabetes ini
90% hingga 95% adalah diabetes mellitus tipe II. Diabetes mellitus tipe II ini terjadi
akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin atau karena gangguan sekresi insulin
(Smeltzer & Bare, 2013).
Di Indonesia, diabetes mellitus berada diurutan 4 penyakit kronis berdasarkan
pravalensinya. Data Riskesdas tahun 2013, menyatakan prevalensi nasional
penyakit diabetes mellitus adalah 1,5%. Merujuk kepada prevalensi nasional,
Sumatera Barat memiliki prevalensi total DM sebanyak 1,3%. Dimana Sumatera
Barat berada diurutan 14 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Berdasarakan
umur, penderita banyak dalam rentang usia 56-64 tahun dengan prevalensi sebesar
4,8% (Kemenkes, 2013).

B. Tujuan Umum
Memberikan asuhan gizi kenapa pasien dengan diagnose medis Covid-19 disertai
Diabetes Melitus
C. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat melakukan skrining gizi kepada pasien menggunakan
perangkat MST
2. Mahasiswa dapat Melakukan pengkajian gizi kepada pasien
3. Mahasiswa dapat Menetapkan diagnosis gizi dibawah bimbingan CI/Pembimbing
4. Mahasiswa dapat Merencanakan intervensi gizi dan mengimplementasikan
rencana intervensi
5. Mahasiswa dapat Melakukan monitoring dan evaluasi kepada pasien
D. Manfaat Studi Kasus
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta pengalaman mahasiswa dalam
merencanakan manajemen proses asuhan gizi klinik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. COVID ARDS
a. Pengertian Covid-19
COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus severe acute
respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). COVID-19 dapat
menyebabkan gangguan sistem pernapasan, mulai dari gejala yang ringan
seperti flu, hingga infeksi paru-paru, seperti pneumonia. COVID-19
(coronavirus disease 2019) adalah jenis penyakit baru yang disebabkan oleh
virus dari golongan coronavirus, yaitu SARS-CoV-2 yang juga sering disebut
virus Corona.
b. Virologi Covid-19
Virus Corona merupakan virus RNA dengan ukuran partikel 60-140
nm (Meng dkk., 2020; Zhu dkk., 2020). Xu dkk. (2020) melakukan penelitian
untuk mengetahui agen penyebab terjadinya wabah di Wuhan dengan
memanfaatkan rangkaian genom 2019-nCoV, yang berhasil diisolasi dari
pasien yang terinfeksi di Wuhan. Rangkaian genom 2019-nCoV kemudian
dibandingkan dengan SARS-CoV dan MERS-CoV. Hasilnya, beberapa
rangkaian genom 2019-nCoVyang diteliti nyaris identik satu sama lain dan
2019-nCoVberbagirangkaian genom yang lebih homolog dengan SARS-CoV
dibanding dengan MERS-CoV.
Penelitian lebih lanjut oleh Xu dkk.(2020) dilakukan untuk mengetahui
asal dari 2019-nCoV dan hubungan genetiknya dengan virus Corona lain
dengan menggunakan analisis filogenetik. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa 2019-nCoV termasuk dalam genus betacoronavirus (Xu dkk.,
2020).Penelitian serupa untuk mengetahui agen penyebab wabah di Wuhan
juga dilakukan oleh Zhu dkk. (2020).
Hasil mikrograf elektron dari partikel untai negatif 2019-nCoV
menunjukkan bahwa morfologi virus umumnya berbentuk bola dengan
beberapa pleomorfisme. Diameter virus bervariasi antara 60-140 nm. Partikel
virus memiliki protein spike yang cukup khas, yaitu sekitar 9-12 nm dan
membuat penampakan virus mirip seperti korona matahari. Morfologi yang
didapatkan oleh Zhu dkk. (2020) serupa dengan family Coronaviridae.
Hasil analisis filogenetik yang dilakukan oleh Zhu dkk.(2020)
menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Xu dkk. (2020), bahwa virus
ini masuk dalam genus beta coronavirus dengan sub genus yang sama
dengan virus Corona yang menyebabkan wabah Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS) pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. International
Virus Classification Commisson menamakan agen kausatif ini sebagai SARS-
CoV-2 (Lingeswaran dkk., 2020; Susilo dkk., 2020).
Mekanisme virulensi virus corona berhubungan dengan protein
struktural dan protein nonstruktural. Virus Corona menyediakan messenger
RNA (mRNA) yang dapat membantu proses translasi dari proses
replikasi/transkripsi. Gen yang berperan dalam proses replikasi/transkripsi ini
mencakup 2/3 dari rangkaian RNA 5’-end dan dua Open Reading Frame
(ORF) yang tumpang tindih, yaitu ORF1a dan ORF1b. Dalam tubuh inang,
virus Corona melakukan sintesis poliprotein 1a/1ab (pp1a/pp1ab).
Proses transkripsi pada sintesis pp1a/pp1ab berlangsung melalui
kompleks replikasi-transkripsi di vesikel membran ganda dan juga
berlangsung melalui sintesis rangkaian RNA subgenomik. Terdapat 16
protein non struktural yang dikode oleh ORF. Bagian 1/3 lainnya dari
rangkaian RNA virus, yang tidak berperan dalam proses replikasi/transkripsi,
berperan dalam mengkode 4 protein struktural, yaitu protein S (spike), protein
E (envelope), protein M (membrane), dan protein N (nucleocapsid) (Gennaro
dkk., 2020; Ye dkk., 2020).
Jalan masuk virus ke dalam sel merupakan hal yang esensial untuk
transmisi. Seluruh virus Corona mengode gliko protein permukaan, yaitu
protein spike (protein S), yang akan berikatan dengan reseptor inangdan
menjadi jalan masuk virus ke dalam sel. Untuk genus betacoronavirus,
terdapat domain receptor binding pada protein S yang memediasi interaksi
antara reseptor pada sel inang dan virus. Setelah ikatan itu terjadi, protease
pada inang akan memecah protein S virus yang selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya fusi peptida spike dan memfasilitasi masuknya virus
ke dalam tubuh inang (Letko dkk., 2020). Mekanisme virulens ivirus Corona
berhubungan dengan fungsi protein non-struktural dan protein struktural.
Penelitian telah menekankan bahwa protein non-struktural mampu untuk
memblok respon imun innateinang. Protein E pada virus memiliki peran
krusial pada patogenitas virus. Protein E akan memicu pengumpulan dan
pelepasan virus (Gennaro dkk., 2020).
c. Patogenesis Covid-19
Virus dapat melewati membran mukosa, terutama mukosa nasal dan
laring, kemudian memasuki paru-paru melalui traktus respiratorius.
Selanjutnya, virus akan menyerang organ target yang mengekspresikan
Angiotensin Converting Enzyme2 (ACE2), seperti paru-paru, jantung, sistem
renal dan traktus gastrointestinal (Gennaro dkk., 2020).
Protein S pada SARS-CoV-2 memfasilitasi masuknya virus corona ke
dalam sel target. Masuknya virus bergantung pada kemampuan virus untuk
berikatan dengan ACE2, yaitu reseptor membran ekstraselular yang
diekspresikan pada sel epitel, dan bergantung pada primingprotein S ke
protease selular, yaitu TMPRSS2 (Handayani dkk., 2020; Kumar dkk., 2020;
Lingeswaran dkk., 2020). Protein S pada SARS-CoV-2 dan SARS-CoV
memiliki struktur tiga dimensi yang hampir identik pada domain receptor-
binding. Protein S pada SARS-CoV memiliki afinitas ikatan yang kuat dengan
ACE2 pada manusia. Pada analisis lebih lanjut, ditemukan bahwa SARS-
CoV-2 memiliki pengenalan yang lebih baik terhadap ACE2 pada manusia
dibandingkan dengan SARS-CoV. (Zhangdkk., 2020).
Periode inkubasi untuk COVID-19 antara 3-14 hari. Ditandai dengan
kadar leukosit dan limfosit yang masih normal atau sedikit menurun, serta
pasien belum merasakan gejala. Selanjutnya, virus mulai menyebar melalui
aliran darah, terutama menuju ke organ yang mengekspresikan ACE2 dan
pasien mulai merasakan gejala ringan. Empat sampai tujuh hari dari gejala
awal, kondisi pasien mulai memburuk dengan ditandai oleh timbulnya sesak,
menurunnya limfosit, dan perburukan lesi di paru. Jika fase ini tidak teratasi,
dapat terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARSD), sepsis, dan
komplikasi lain. Tingkat keparahan klinis berhubungan dengan usia (di atas
70 tahun), komorbiditas seperti diabetes, penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK), hipertensi, dan obesitas (Gennaro dkk., 2020; Susilo dkk., 2020).
Sistem imun innatedapat mendeteksi RNA virus melalui RIG-I-like
receptors, NOD-like receptors, dan Toll-like receptors. Hal ini selanjutnya
akan menstimulasi produksi interferon (IFN), serta memicu munculnya efektor
anti viral seperti sel CD8+, sel Natural Killer (NK), dan makrofag. Infeksi dari
betacoronavirus lain, yaitu SARS-CoV dan MERS-CoV, dicirikan dengan
replikasi virus yang cepat dan produksi IFN yang terlambat, terutama oleh sel
dendritik, makrofag, dan sel epitel respirasi yang selanjutnya diikuti oleh
peningkatan kadar sitokin proinflamasi seiring dengan progres penyakit
(Allegra dkk., 2020; Lingeswaran dkk., 2020).
Infeksi dari virus mampu memproduksi reaksi imunyang berlebihan
pada inang. Pada beberapa kasus, terjadi reaksi yang secara keseluruhan
disebut “badai sitokin”. Badai sitokin merupakan peristiwa reaksi inflamasi
berlebihan dimana terjadi produksi sitokin yang cepat dan dalam jumlah yang
banyak sebagai respon dari suatu infeksi. Dalam kaitannya dengan Covid-19,
ditemukan adanya penundaan sekresi sitokin dan kemokin oleh sel imun
innate dikarenakan blokade oleh protein non-struktural virus. Selanjutnya, hal
ini menyebabkan terjadinya lonjakan sitokin proinflamasi dan kemokin (IL-6,
TNF-α, IL-8, MCP-1, IL-1 β, CCL2, CCL5, dan interferon) melalui aktivasi
makrofag dan limfosit. Pelepasan sitokin ini memicu aktivasi sel imun adaptif
seperti sel T, neutrofil, dan sel NK, bersamaan dengan terus terproduksinya
sitokin proinflamasi. Lonjakan sitokin proinflamasi yang cepat ini memicu
terjadinya infiltrasi inflamasi oleh jaringan paru yang menyebabkan kerusakan
paru pada bagian epitel dan endotel. Kerusakan ini dapat berakibat pada
terjadinya ARDS dan kegagalan multi organ yang dapat menyebabkan
kematian dalam waktu singkat (Gennaro dkk., 2020; Lingeswaran dkk.,
2020).
Seperti diketahui bahwa transmisi utama dari SARS-CoV-2 adalah
melalui droplet. Akan tetapi, ada kemungkinan terjadinya transmisi melalui
fekal-oral. Penelitian oleh Xiao dkk. (2020) menunjukkan bahwa dari 73
pasien yang dirawat karena Covid-19, terdapat 53,42% pasien yang diteliti
positif RNA SARS-CoV-2 pada fesesnya. Bahkan, 23,29% dari pasien
tersebut tetap terkonfirmasi positif RNA SARS-CoV-2 pada fesesnya
meskipun pada sampel pernafasan sudah menunjukkan hasil negatif. Lebih
lanjut, penelitian juga membuktikan bahwa terdapat ekspresi ACE2 yang
berlimpah pada sel glandular gaster, duodenum, dan epitel rektum, serta
ditemukan protein nukleokapsid virus pada epitel gaster, duodenum, dan
rektum. Hal ini menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 juga dapat menginfeksi
saluran pencernaan dan berkemungkinan untuk terjadi transmisi melalui
fekal-oral (Kumar dkk., 2020; Xiao dkk., 2020).
d. Manifestasi Klinik Covid-19
Covid-19 menjadi perhatian penting pada bidang medis, bukan hanya
karena penyebarannya yang cepat dan berpotensi menyebabkan kolaps
sistem kesehatan, tetapi juga karena beragamnya manifestasi klinis pada
pasien (Vollono dkk., 2020).
Spektrum klinis Covid-19 beragam, mulai dari asimptomatik, gejala
sangat ringan, hingga kondisi klinis yang dikarakteristikkan dengan kegagalan
respirasi akut yang mengharuskan penggunaan ventilasi mekanik dan
supportdi Intensive Care Unit (ICU). Ditemukan beberapa kesamaan
manifestasi klinis antara infeksi SARS-CoV-2 dan infeksi betacorona virus
sebelumnya, yaitu SARS-CoV dan MERS-CoV. Beberapa kesamaan tersebut
diantaranya demam, batuk kering, gambaran opasifikasi ground-glass pada
foto toraks (Gennaro dkk., 2020; Huang dkk., 2020).
Gejala klinis umum yang terjadi pada pasien Covid-19,diantaranya
yaitu demam, batukkering, dispnea, fatigue, nyeri otot, dan sakit kepala
(Lapostolle dkk., 2020;Lingeswaran dkk., 2020). Berdasarkan penelitianyang
dilakukan oleh Huang dkk. (2020), gejala klinis yang paling sering terjadi
pada pasien Covid-19 yaitu demam (98%), batuk (76%), dan myalgia atau
kelemahan (44%). Gejala lain yang terdapat pada pasien, namun tidak
begitu sering ditemukan yaitu produksi sputum (28%), sakit kepala 8%, batuk
darah 5%, dan diare 3%. Sebanyak 55% dari pasien yang diteliti mengalami
dispnea.
Gejala klinis yang melibatkan saluran pencernaan juga dilaporkan
oleh Kumar dkk. (2020). Sakit abdominal merupakan indikator keparahan
pasien dengan infeksi COVID-19. Sebanyak 2,7% pasien mengalami sakit
abdominal, 7,8% pasien mengalami diare, 5,6% pasien mengalami mual
dan/atau muntah.Manifestasi neurologis pada pasien Covid-19 harus
senantiasa di pertimbangkan. Meskipun manifestasi neurologis tersebut
merupakan presentasi awal. Virus Coronadapat masuk pada sel yang
mengekspresikan ACE2, yang juga diekspresikan oleh sel neuron dan sel
glial (Farley & Zuberi, 2020; Vollono dkk., 2020).
Pada penelitian Vollono dkk. (2020), didapatkan seorang pasien
wanita 78 tahun terkonfirmasi Covid-19 mengalami focal status epilepticus
sebagai presentasi awal. Pasien memiliki riwayat status epileptikus pada dua
tahun sebelumnya, akan tetapi pasien rutin diterapi dengan asam valproat
dan levetiracetam dan bebas kejang selama lebih dari dua tahun. Tidak ada
gejala saluran pernapasan seperti pneumonia dan pasien tidak membutuhkan
terapi oksigen. Penelitian oleh Farley dan Zuberi (2020) juga menunjukkan
manifestasi neurologis pada pasien terkonfirmasi Covid-19 yaitu status
epileptikus pada pasien lelaki usia 8 tahun dengan riwayat ADHD, motor tic,
dan riwayat kejang sebelumnya.
B. DIABETES MELITUS
a. Pengertian DM
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. (PERKENI,2015). Menurut
Wahyuningsih (2013), diabetes mellitus merupakan kumpulan gejala yang
timbul pada seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan kadar
glukosa darah akibat kekurangan insulin, baik absolut maupun relatif.
b. Klasifikasi DM
Diabetes mellitus dapat diklasifikasikan berdasarkan kemampuan pankreas
menghasilkan hormon insulin yaitu sebagai berikut :
1) Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 merupakan kondisi dimana sel-β
dalam kelenjar pulau Langerhans dihancurkan oleh reaksi autoimun
dalam tubuh. Sebagai akibatnya adalah sangat rendahnya produksi
insulin. Pada tahap ini, insulin tidak lagi sanggup untuk menurunkan
kadar gula darah dengan cepat saat seseorang mengkonsumsi
makanan. Bahkan kadar gula darah akan semakin tinggi sebagai
akibat dari hilangnya fungsi insulin, yaitu fungsi untuk menghentikan
produksi glukagon, saat kadar gula darah tinggi (Wahyuningsih,
2013).
2) Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan diabetes yang sering
ditemui. Pada penderita diabetes mellitus tipe 2 ini, pankreas masih
dapat memproduksi insulin, bahkan dalam beberapa kasus insulin
yang diproduksi hampir sama dengan layaknya orang normal.
Masalahnya adalah saat insulin tersebut tidak sanggup untuk
memberikan reaksi terhadap sel dari tubuh untuk mengurangi gula.
Penderita diabetes mellitus tipe 2 biasanya resisten terhadap insulin.
Semakin lama jumlah sel-β akan berkurang dan penderita akhirnya
mendapatkan perlakuan yang sama dengan penderita diabetes
mellitus tipe 1, yakni injeksi insulin (Wahyuningsih, 2013).
3) Diabetes mellitus gestasional (GDM)
Diabetes mellitus gestasional merupakan intoleransi glukosa
yang terjadi saat kehamilan. Diabetes ini terjadi pada perempuan
yang tidak menderita diabetes sebelum kehamilannya. Hiperglikemi
terjadi selama kehamilan akibat sekresi hormon-hormon plasenta.
Sesudah melahirkan, kadar glukosa darah akan kembali normal. Anak
dari ibu dengan GDM memiliki risiko lebih besar mengalami obesitas
dan diabetes pada usia dewasa muda (Wahyuningsih, 2013).
c. Etiologi DM
Diabetes melitus menurut Kowalak, (2011) Wilkins, (2011) dan Andra, (2013)
mempunyai beberapa penyebab, yaitu :
a. Hereditas
Peningkatan kerentanan sel-sel beta pancreas dan perkembangan
antibodi autoimun terhadap penghancuran sel-sel beta
b. Lingkungan (makanan, infeksi, toksin, stress)
Kekurangan protein kronik dapat mengakibatkan hipofungsi pancreas.
Infeksi virus coxsakie pada seseorang yang peka secara genetic. Stress
fisiologis dan emosional meningkatkan kadar hormon stress (kortisol,
epinefrin, glucagon, dan hormon pertumbuhan), sehingga meningkatkan
kadar glukosa darah.
c. Perubahan gaya hidup
Pada orang secara genetik rentan terkena DM karena perubahan gaya
hidup, menjadikan seseorang kurang aktif sehingga menimbulkan
kegemukan dan beresiko tinggi terkena diabetes melitus.
d. Kehamilan
Kenaikan kadar estrogen dan hormon plasental yang berkaitan dengan
kehamilan, yang mengantagoniskan insulin.
e. Usia
Usia diatas 65 tahun cenderung mengalami diabetes melitus. Obesitas
Obesitas dapat menurunkan jumlah reseptor insulin di dalam tubuh.
Insulin yang tersedia tidak efektif dalam meningkatkan efek metabolic.
f. Antagonisasi efek insulin yang disebabkan oleh beberapa medikasi,
antara lain diuretic thiazide, kortikosteroid adrenal, dan kontraseptif
hormonal.
a. Patofisiologi DM
Ada berbagai macam penyebab diabetes melitus menurut Price,
(2012) dan Kowalak (2011) yang menyebabkan defisiensi insulin, kemudian
menyebabkan glikogen meningkat, sehingga terjadi proses pemecahan
gulabaru (glukoneugenesis) dan menyebabkan metabolisme lemak
meningkat. Kemudian akan terjadi proses pembentukan keton (ketogenesis).
Peningkatan keton didalam plasma akan mengakibatkan ketonuria (keton
dalam urin) dan kadar natrium akan menurun serta pH serum menurun dan
terjadi asidosis.
Defisiensi insulin mengakibatkan penggunaan glukosa menurun,
sehingga menyebabkan kadar glukosa dalam plasma tinggi (hiperglikemia).
Jika hiperglikemia parah dan lebih dari ambang ginjal maka akan
menyebabkan glukosuria. Glukosuria akan menyebabkan diuresis osmotik
yang meningkatkan peningkatan air kencing (polyuria) dan akan timbul rasa
haus (polidipsi) yang menyebabkan seseorang dehidrasi (Kowalak, 2011).
Glukosuria juga menyebabkan keseimbangan kalori negatif sehingga
menimbulkan rasa lapar yang tinggi (polifagia). Penggunaan glukosa oleh sel
menurun akan mengakibatkan produksi metabolisme energi menurun
sehingga tubuh akan menjadi lemah (Price et al, 2012).
Hiperglikemia dapat berpengaruh pada pembuluh darah kecil,
sehingga menyebabkan suplai nutrisi dan oksigen ke perifer berkurang.
Kemudian bisa mengakibatkan luka tidak kunjung sembuh karena terjadi
infeksi dan gangguan pembuluh darah akibat kurangnya suplai nutrisi dan
oksigen (Price et al, 2012). Gangguan pembuluh darah mengakibatkan aliran
darah ke retina menurun, sehingga terjadi penurunan suplai nutrisi dan
oksigen yang menyebabkan pandangan menjadi kabur. Akibat utama dari
perubahan mikrovaskuler adalah perubahan pada struktur dan fungsi ginjal
yang menyebabkan terjadinya nefropati yang berpengaruh pada saraf perifer,
sistem saraf otonom serta sistem saraf pusat (Price et al, 2012).
b. Manifestasi Klinis DM
Tanda dan gejala diabetes melitus menurut Smeltzeret al, (2013) dan
Kowalak (2011), yaitu :
a) Poliuria (air kencing keluar banyak) dan polydipsia (rasa haus yang
berlebih) yang disebabkan karena osmolalitas serum yang tinggi
akibat kadar glukosa serum yang meningkat
b) Anoreksia dan polifagia (rasa lapar yang berlebih) yang terjadi karena
glukosuria yang menyebabkan keseimbangan kalori negatif.
c) Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan yang disebabkan
penggunaan glukosa oleh sel menurun.
d) Kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa
gatal pada kulit.
e) Sakit kepala, mengantuk, dan gangguan pada aktivitas disebabkan
oleh kadar glukosa intrasel yang rendah.
f) Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang labil akibat
ketidakseimbangan elektrolit.
g) Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang disebabkan
karena pembengkakan akibat glukosa.
h) Sensasi kesemutan atau kebas di tangan dan kaki yang disebabkan
kerusakan jaringan saraf.
i) Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen yang disebabkan
karena neuropati otonom yang menimbulkan konstipasi.
j) Mual, diare, dan konstipasi yang disebabkan karena dehidrasi dan
ketidak seimbangan elektrolit serta neuropati otonom.

c. Diagnosis DM
Pada diagnosis diabetes mellitus, pemeriksaan yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah
plasma vena. Walaupun demikian, sesuai dengan kondisi setempat dapat
juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai dengan
pembakuan oleh WHO. Terdapat perbedaan antara uji diagnostik DM dan
pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
mengidentifikasi mereka yang tidak memiliki gejala, namun memiliki risiko
DM. (Soegondo,Soewondo, dan Subekti, 2009). Penegakan diagnosis
penyaring dapat melihat acuan darikonsensus pengelolaan DM tipe 2 oleh
PERKENI (Wahyuningsih, 2013), yaitu sebagai berikut

Tabel 1. Kadar Gula Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan


Penyaring dan Diagnosis DM (mg/ml)
Bukan DM
Jenis Pemeriksaan Belum
DM Pasti DM
Kadar glukosa Plasma <100 100-199 ≥ 200
darah sewaktu vena
(mg/dl) Darah <90 90-199 ≥ 200
Kapiler
Kadar glukosa Plasma <100 100-125 ≥ 126
puasa vena
(mg/dl) Darah <90 90-99 ≥ 100
Kapiler
sumber: PERKENI,2015

d. Komplikasi DM
Komplikasi dari diabetes mellitus menurut Smeltzeret al, (2013) dan
Tanto et al, (2014) diklasifikasikan menjadi komplikasi akut dan komplikasi
kronik. Komplikasi akut terjadi karena intoleransi glukosa yang berlangsung
dalam jangka waktu pendek yang mencakup :
a) Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan dimana glukosa dalam darah
mengalami penurunan dibawah 50 sampai 60 mg/dL disertai dengan
gejala pusing,gemetar, lemas,pandangan kabur, keringat dingin, serta
penurunan kesadaran.
b) Ketoasidosis Diabetes (KAD)
KAD adalah suatu keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolic
akibat pembentukan keton yang berlebih.
c) Sindrom nonketotik hiperosmolar hiperglikemik (SNHH)
Suatu keadaan koma dimana terjadi ganagguan metabolisme yang
menyebabkan kadar glukosa dalam darah sangat tinggi,
menyebabkan dehidrasi hipertonik tanpa disertai ketosis serum.
Komplikasi kronik menurut Smeltzeret al, (2013) biasanya terjadi pada
pasien yang menderita diabetes mellitus lebih dari 10 –15 tahun.
Komplikasinya mencakup :
- Penyakit makrovaskular (Pembuluh darah besar): biasanya
penyakit ini memengaruhi sirkulasi koroner, pembuluh darah
perifer, dan pembuluh darah otak.
- Penyakit mikrovaskular (Pembuluh darah kecil): biasanya penyakit
ini memengaruhi mata (retinopati) dan ginjal (nefropati); kontrol
kadar gula darah untuk menunda atau mencegah komplikasi
mikrovaskular maupun makrovaskular.
- Penyakit neuropatik: memengaruhi saraf sensori motorik dan
otonom yang mengakibatkan beberapa masalah, seperti impotensi
dan ulkus kaki.
e. Penatalaksanaan DM
Penatalaksaan pada pasien diabetes menurut Perkeni (2015) dan
Kowalak (2011) dibedakan menjadi dua yaitu terapi farmakologis dan non
farmakologi:
a) Terapi farmakologi
Pemberian terapi farmakologi harus diikuti dengan pengaturan pola
makan dan gaya hidup yang sehat. Terapi farmakologi terdiri dari obat
oral dan obat suntikan, yaitu:
1) Obat antihiperglikemia oral
Menurut Perkeni, (2015) berdasarkan carakerjanya obat ini
dibedakan menjadi beberapa golongan, antara lain:
- Pemacu sekresi insulin: Sulfonilurea dan Glinid Efek
utama obat sulfonilurea yaitu memacu sekresi insulin oleh
sel beta pancreas. Cara kerja obat glinid sama dengan
cara kerja obat sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama yang dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial.
- Penurunan sensitivitas terhadap insulin: Metformin dan
Tiazolidindion (TZD)
Efek utama metformin yaitu mengurangi produksi glukosa
hati (gluconeogenesis) dan memperbaiki glukosa perifer.
Sedangkan efek dari Tiazolidindion (TZD) adalah
menurunkan resistensi insulin dengan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan glukosa di
perifer.
- Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase
alfaFungsi obat ini bekerja dengan memperlambat absopsi
glukosa dalam usus halus, sehingga memiliki efek
menurunkan kadar gula darah dalam tubunh sesudah
makan.
- Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV) Obat
golongan penghambat DPP-IV berfungsi untuk
menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1
(Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi
glukagon sesuai kadar glukosa darah (glucose
dependent).
2) Kombinasi obat oral dan suntikan insulin Kombinasi
Obat antihiper glikemia oral dan insulin yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi obat antihi perglikemia oral dan
insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang),
yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Terapi tersebut
biasanya dapat mengendalikan kadar glukosa darah dengan baik
jika dosis insulin kecil atau cukup. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 6- 10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan melihat nilai
kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Ketika kadar
glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun
sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi
kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obat
antihipe rglikemia oral dihentikan (Perkeni, 2015).
b) Terapi non farmakologi
Terapi non farmakologi menurut Perkeni, (2015) dan Kowalak, (2011)
yaitu:
- Edukasi
Edukasi bertujuan untuk promosi kesehatan supaya hidup
menjadi sehat. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan
dan bisa digunakan sebagai pengelolaan DM secara holistic.
- Terapi nutrisi medis (TNM)
Pasien DM perlu diberikan pengetahuan tentang jadwal makan
yang teratur, jenis makanan yang baik beserta jumlah kalorinya,
terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa
darah maupun insulin.
- Latihan jasmani atau olahraga
Pasien DM harus berolahraga secara teratur yaitu 3 sampai 5 hari
dalam seminggu selama 30 sampai 45 menit, dengan total 150
menit perminggu, dan dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2
hari berturut-turut. Jenis olahraga yang dianjurkan bersifat aerobic
dengan intensitas sedang yaitu 50 sampai 70% denyut jantung
maksimal seperti: jalan cepat, sepeda santai, berenang, dan
jogging. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara: 220 –
usia pasien
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Pasien


Ny TIS
No RM = 352511
TTL 14 Sept 63
TB = 156 cm, BB = 68 kg
Masuk Rumah Skit pada tanggal 5 Maret 2021, pukul 14.41. Px dirawat diruang
isolasi biasa, Px adalah Covid. Px mengalami penurunan nafsu makan (mual,
lambung begah, sesak nafas, lemas BAB cair 2x/hari). Riwayat Penyakit px adalah
DM dan Hipertensi. Riwayat Obat: Glimepirid 2 mg dan amlodipin 5 mg obat rutin. Px
saat MRS gula darah = 371, selama isolasi px diberikan diet DM 1700 tim lauk
cincang (3 utama 2 selingan). Px hanya bs mengkonsumsi 45% dari total rata2
selama 2 hr isolasi. Di hari ke 2 px mengalami gelisah dan batuk2 (sadar) diketahui
TD 139/38 , nadi 86 , SPO 94 , RR 35, Suhu 36,3. Px dokter kedua Confirm Covid
ARDS berat jadi pindah ke ICU. Rapid pcr + di tgl 6 maret 2021. Px pindah ke ICU
saat pindah diberikan infus NS 500 ml, kemudian dokter memberikan makanan
enteral dalam bentuk sonde + infus dextrose 5% 6x 100 ml. Diberikan obat heparin
lasik lefofloksi neropenem dikasih obat untuk pengencer darah. Obat anti virus,
antibiotik,, uab nebul, obat untuk lambung (anti mual). Kemudian dr dokter penyakit
dalam pindah ICU Gula darah 238, tensi 144/80 (terkontrol), BUN 9, kreatinin 0,5,
natrium 126, kalium 3,67, obatnya dikasih insulin, Px terakhir Hiperglikemi Tidak
Terkontrol, selama di ICU px mendapatkan asupan makanan berbentuk sonde.
Identitas Pasien
12. Nama : Ny. TIS
13. Jenis Kelamin : Perempuan
14. Usia : 57 Tahun
15. Pekerjaan : Mengurus rumah tangga
16. Agama : Islam
17. Bahasa : Indonesia
18. Diagnosis Meids : Covid-19
19. Jenis Diet : Diet Diabetes Melitus
B. Assesment (Pengkajian Pasien)
12. Riwayat Gizi (FH)
- Riwayat Gizi Dahulu
Px hanya mengkonsumsi 45% dari total rata-rata selama 2 hari di
Isolasi Biasa
- Riwayat Gizi Sekarang
Sonde + D5 6x 100 ml & Infus NS 500 ml
13. Pengkuran Antropometri (AD)

BB 68 kg
TB 156 cm
IMT 68/1,562 = 21,79

14. Pemeriksaan Biokimia (BD)


Hasil Pemeriksaan Laboratorium (5 Maret 2021)

Jenis Hasil Nilai Normal Keterangan


Pemeriksaan Pemeriksaan
Glukosa Darah 371 74.0 - 106.0 Tinggi
Covid-19 + - Positif

15. Pemeriksaan Temuan Fisik (PD)


c. Pemeriksaan Fisik (5 Maret 2021)
- Penurunan Nafsu Makan
- Mual
- Lambung begah
- Sesak nafas
- Lemas
- BAB Cair 2x/hari
Pemeriksaan (6 Maret 2021)

- TD 138/38 mmHg
- Nadi 86x/mnt (60 – 100 mmHg)
- SPO 94 (memakai alat bantu pernafasan HFNC)
- RR 35x/mnt (12 20x/mnt)
- Suhu 36,3
16. Riwayat Personal (CH)
- Umur, pekerjaan, tingkat pendidikan, informasi terkait
gizi/penyakit yang diderita, peranan pasien dalam keluarga
Usia pasien adalah 57 tahun, pasien adalah seorang ibu rumah
tangga.
- Keadaan sosial ekonomi
-
- Riwayat penyakit keluarga
-
- Riwayat penyakit dahulu
Diabetes Melitus dan Hipertensi
- Riwayat penyakit sekarang
Covid-19 dan Diabetes Melitus
- Aktivitas fisik, kebiasaan berolahraga, gaya hidup (merokok,
peminum alkohol, dll), obat-obat yang digunakan
-
- Masalah psikologis
-
- Pantangan/alergi makanan
-
17. Diagnosis Gizi (NI, NB, NC)
- NC.2.1
Kekurangan intake makanan dan minuman oral berkaitan dengan
meningkatnya kebutuhan energi ditandai dengan asupan makanan
oral kurang dari 80% yaitu 726 kkal dari total energi 1738 kkal.
- NC – 2.2
Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi khusus berkaitan dengan
gangguan fungsi endokrin ditandai dengan hasil dari biokimia glukosa
darah yang meningkat
18. Rencana Intervensi
b) Intervensi Diet
8) Tujuan Intervensi
Tujuan Diet Penyakit Diabetes Melitus adalah :
a. Meningkatkan intake makanan dan minuman oral secara bertahap.
Target sasaran dalam 1 hari 60%, dengan cara memodifikasi bentuk
makanan menjadi makanan cair yang dikonsumsi secara oral.
b. Membantu menurunkan/mengelola kadar glukosa darah dengan
memberikan diet DM dalam bentuk cair

c. Prinsip Diet
- Tepat jumlah
- Tepat jenis
- Tepat jadwal
d. Syarat Diet
- Kebutuhan energi cukup yaitu 1738 kkal.
- Kebutuhan protein normal yaitu 65,1 gram
- Kebutuhan lemak sedang yaitu 48,2 gram
- Kebutuhan karbohidrat adalah sia dari kebutuhan energi total
yaitu 260,7 gram
- Tidak merangsang saluran cerna
- Diberikan setiap 2-3 jam sekali
- Kandungan energi minimal 1kkal/ml. Konsentrasi cairan diberikan
secara bertahap ½ , 3,4 , sampai penuh.
- Jenis Diet Untuk px DM dengan kondisi kusus/NGT (Sonde)
menggunakan Formula Enteral Rumah Sakit
- Bentuk Makanan Sonde (NGT)
- Rute Pemberian secara Enteral (NGT)
- Jadwal pemberian 3x/hari selang waktu 1-3 hari tergantung
dengan kondisi pasien.
e. Jenis Diet
- Diet Diabetes Melitus
f. Perhitungan Kebutuhan Energi dan Zat Gizi
*Perhitungan Kebutuhan Cairan :
Kebutuhan Cairan = 30 ml / kgBB / hari
= 30 x 50,4

= 1512 ml/hari

Menurut Perhitungan Perkeni (2019) Kebutuhan Energi dan Zat Gizi


Pasien DM adalah :

Ny TIS Perempuan Usia 57 Tahun

Berat Badan = 68 kg

Tinggi Badan = 156 cm


Berat Badan Ideal (BBI) = (TB-100) – 10% (TB-100)

= (156-100) – 10% (156-100)


= 56 – 5,6
= 50,4 kg
- BEE = 655,1 + (9,56 x BB) + (1,85 x TB) – (4,68 x U)
= 655,1 + (9,56 x 50,4) + (1,85 x 156) – (4,68 x 57)

= 655,1 + 481,824 + 288,6 – 266,76


= 1158,764
Kebutuhan Perhari = BEE x FS

= 1158,764 x 1,5

= 1738 kkal

Perbedaan Kandungan Gizi Formula Enteral Untuk Pasien DM Per Penyajian

Kandungan Gizi Dia******* (60 gram)


Energi (kkal) 260
Protein (gram) 7
Lemak (gram) 10
Karbohidrat (gram) 39

- Protein = (15% x total Energi) : 4


= (15% x 1738) : 4
= 65,1 gram
- Lemak = (25% x total energi) : 9
= (25% x 1738) : 9
= 48,2 gram
- Karbohidrat = (60% x total energi) : 4
= (60% x 1738) : 4
= 260,7 gram
19. Tabel Monitoring dan Evaluasi

Food History Antropometri Biokimia Fisik Klinis Riwayat Identifikasi Rencana Tindak
Tanggal
(FH) (AD) (BD) (PD) Personal (CH) Masalah Baru Lanjut
07 Maret - Infus : - GDA = Keluhan - - -
2021 371 Sesak
NS 500 ml
BUN = 9 HFNC
Sonde Creatinin SPO2 = 85
= 0,5 TD = 134/82
Volume
Na = 126 mmHg
Pemberian 6x K = 3,67 Nadi =
GD PP 124x/mnt
300 kkal
Sore = Suhu = 36℃
personde : 300 RR –
GDA pre 39x/mnt
Dalam sehari
breakfast GCS = 4/5/6
asupan Energi = 126
1738 kkal,
Protein = 65,1
gram, Lemak =
48,2 gram, KH =
260,7 gram
Pemenuhan
kebutuhan zat
gizi
Energi = 60%
(1042 kkal)
Protein = 60%
(39 gram)
Lemak = 60%
(28 gram)
KH = 60% (156
gram)
Riwayat Obat :
Novorapid 3x8
subcutan
Premeal
Levemir 0-0-10
CDM 6x
dikonsumsi

08 Maret Infus : - - Masih sesak - - -


2021 tetapi sudah
NS 500 cc
berkurang
Sonde 6x dapat TD = 122/75
mmHg
diterima
Nadi =
Volume 97x/mnt
Suhu =
Pemberian 6x
36,8℃
300 kkal RR= 28x/mnt
HFNC
personde :
SPO = 97
Dalam sehari GCS = 4/5/8
asupan Energi =
1738 kkal,
Protein = 65,1
gram, Lemak =
48,2 gram, KH =
260,7 gram
Riwayat Obat :
Sp Heparin,
lasix, miloz
Remdesivir
1x100 mg H3
Levofloksasin
1x750 mg H3
Nebul bisolvon-
midatro 3x
Lansoprazol 1x1
inj
Resfar drip
Impepsa 3x30cc
Dexametasone
1x6 mg H3
09 Maret Infus : - Glukosa Sesak - NC-2.3 RC-1.4
2021 Darah TD = 115/73
NS 500cc Interaksi obat dan Kolaborasi dengan
379 mmHg
Sonde dapat Nadi – makanan berkaitan tim medis lain
diterima 100x/mnt
dengan pemberian seperti dokter dan
Volume Suhu =
36,2℃ obat Dexametasone perawat yaitu
Pemberian 6x
RR =
(Golongan obat dengan cara
300 kkal 24x/mnt
HFNC Kortikosteroid) mengganti
personde :
SPO = 95
ditandai dengan obat/memberikan
Dalam sehari GCS = 4/5/6
Glukosa darah beberapa menu
asupan Energi =
masih meningkat yang bisa
1738 kkal,
menurunkan kadar
Protein = 65,1
Diagnosa ini sudah
gram, Lemak = terjadi ketika Pasien glukosa darah
48,2 gram, KH = pertama kali dirawat
260,7 gram dirumah sakit yaitu
Glukosa Darah
Meningkat

ALASAN :
Penggunaan
kortikosteroid
eksogen
berhubungan
dengan
hiperglikemia dan
terapi kortikosteroid
dosis tinggi
meningkatkan
resistensi insulin
pada pasien yang
sebelumnya sudah
menderita diabetes
atau yang tanpa
diabetes. Efek
pemberian
glukortikoid pada
glukosa telah
diamati dalam
beberapa jam
setelah pemberian
steroid dan efek
tersebut muncul
tergantung dosis
yang diberikan.
Sebuah studi
berbasis populasi
lebih dari 11.000
pasien menemukan
bahwa resiko
hiperglikemia
meningkat searah
dengan
meningkatnya dosis
steroid sehari-hari.
( Canadian Diabetes
Association Clinical
Practice Guidelines
Expert Commite.
2013 dan American
Diabetes
Association. 2012
dalam jurnal Bistok
Sihombing, Arina
Vegas. 2018)
20. Tabel Pelayanan Asuhan Gizi Terstandart (PAGT)
Nama : Ny. TIS

No. Register : 352511

Ruang/Bed : ICU

Usia : 57 th 6 bulan

Diagnosis Penyakit : Covid-19 + DM

ASSESSMENT/REASSESSMENT KESIMPULAN

RIWAYAT GIZI RIWAYAT GIZI DAHULU – FH-1.1.1.1


Perkiraan
Px hanya mengkonsumsi 45% dari total
asupan energi
rata-rata selama 2 hari di Isolasi Biasa
dalam 24 jam
Tingkat Konsumsi : tidak adekuat

45/100 x 1738 kkal = 782 kkal (Jadi


pasien mengkonsumsi sekitar 782 kkal
dalam 24 jam)

RIWAYAT GIZI SEKARANG

Sonde + D5 6x 100 ml

Infus NS 500 ml

AKTIFITAS FISIK: -

RIWAYAT OBAT :

- Glimepirid 2 mg
- Amlodipin 5 mg
- Levofloksasin dan meropenem
- Avigan
Obat untuk lambung (untuk mual)

ANTROPOMETRI Bb = 68 kg AD-1.1.5
Obesitas
Tb = 156 cm
(Normal = 18,5
IMT = 27,9 (Obesitas)
BBI = = (TB-100) – 10% (TB-100) – 25,0)

= (156-100) – 10% (156-100)

= 56 – 5,6

= 50,4 kg

BIOKIMIA 5 Maret 2021 (14.41) 9 Feb 2021


(01.29)
- Glukosa darah 371 mg/dl (74.0 –
106.0) ↑ BD – 1.5.1
- Glukosa Darah

Karena px
mempunyai
riwayat penyakit
DM sebelum
terkena Covid-
19

Mengutip dari
Bangalore
Mirror, px
terjangkit virus
corona yang
memiliki gula
darah tinggi dua
kali lebih besar
mengalami
kematian
daripada px
yang memiliki
jumlah gula
darah normal.

FISIK-KLINIS Temuan Fisik PD-1.1.9


Respiratory Rate
MRS 5 MARET 2021 PUKUL 14.41

- Penurunan nafsu makan Alasan :
- Mual
RR meningkat
- Lambung begah
dikarenakan
- Sesak nafas
adanya
- Lemas
komplikasi
- BAB cair 2x/hari
penyakit pada
HARI KE-2 6 MARET 2021
Covid-19 salah
- TD 138/38 mmHg satunya adalah
- Nadi 86x/mnt (60 – 100 mmHg) ARDS (Acute
- SPO 94 (memakai alat bantu Respiratory
pernafasan HFNC) Distress
- RR 35x/mnt (12 20x/mnt) Syndrome),
- Suhu 36,3 ditandai dengan
peningkatan
RR, sesak
nafas dan
penurunan
SPO2.

RIWAYAT RIWAYAT PENYAKIT DAHULU : CH – 2.1.3


PERSONAL Diabetes
DM dan Hipertensi
Melitus
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:
CH-2.1.13
Covid-19 Hiperglikemi ARDS + Perawatan Covid-19

Intensif (ICU)

DIAGNOSA GIZI NI-2.1 Kekurangan intake makanan dan minuman oral


berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan energi ditandai
dengan asupan makanan oral kurang dari 80% yaitu 726 kkal
dari total energi 1738 kkal.

NC – 2.2 Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi khusus


berkaitan dengan gangguan fungsi endokrin ditandai dengan
hasil dari biokimia glukosa darah yang meningkat
INTERVENSI GIZI RENCANA MONITORING & EVALUASI

ND-1.2 Modifikasi distribusi,, jenis, BD-1.5.1 Glukosa Darah


atau jumlah makanan dan zat gizi
PD-1.1.9 Respiratory Rate
pada waktu makan atau pada waktu
khusus FH-1.1.1.1 Perkiraan asupan energi
dalam 24 jam tidak adekuat
E-1.4 Pasien maupun keluarga
diberikan edukasi gizi tentang pola CH – 2.1.3 Diabetes Melitus
makan yang sehat terkait dengan diet CH-2.1.13 Covid-19
yang diberikan untuk pasien

RC.1.4 Kolaborasi dengan perawat


yaitu monitoring dari pemberian
makanan dan tim dokter untuk volume
pemerian makanan cair.

21. Perencanaan Menu Sehari


*Perhitungan Kebutuhan Cairan :
Kebutuhan Cairan = 30 ml / kgBB / hari
= 30 x 50,4

= 1512 ml/hari

Menurut Perhitungan Perkeni (2019) Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Pasien
DM adalah :

Ny TIS Perempuan Usia 57 Tahun

Berat Badan = 68 kg

Tinggi Badan = 156 cm

Berat Badan Ideal (BBI) = (TB-100) – 10% (TB-100)

= (156-100) – 10% (156-100)


= 56 – 5,6
= 50,4 kg
- BEE = 655,1 + (9,56 x BB) + (1,85 x TB) – (4,68 x U)
= 655,1 + (9,56 x 50,4) + (1,85 x 156) – (4,68 x
57)
= 655,1 + 481,824 + 288,6 – 266,76
= 1158,764
Kebutuhan Perhari = BEE x FS

= 1158,764 x 1,5

= 1738 kkal

Kandungan Gizi Formula Enteral Untuk Pasien DM

Kandungan Gizi Dia******* (60 gram)


Energi (kkal) 260
Protein (gram) 7
Lemak (gram) 10
Karbohidrat (gram) 39

- Protein = (15% x total Energi) : 4


= (15% x 1738) : 4
= 65,1 gram
- Lemak = (25% x total energi) : 9
= (25% x 1738) : 9
= 48,2 gram
- Karbohidrat = (60% x total energi) : 4
= (60% x 1738) : 4
= 260,7 gram

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

C. Kesimpulan
1. Dari hasil skrining gizi menggunakan perangkat MST diperoleh skor 0
dengan Interpretasi “Resiko Rendah” yaitu pasien tidak beresiko
malnutrisi.
*Pasien dalam kondisi khusus : Penyakit DM dan perawatan intensif
2. Dari hasil assesment gizi pada pasien wanita usia 57 tahun 6 bulan
dengan status gizi obesitas dirawat dengan diagnosis Diabetes Melitus
+ COVID-19 memiliki status gizi obesitas (IMT = 27,9 Kg/m).
3. Dari hasil diagnosis gizi pasien berkaitan dengan asupan makanan oral
pasien dan berkaitan dengan gangguan fungsi endokrin.
4. Hasil intervensi riwayat makan pasien semakin hari berlangsung
meningkat yaitu sesuai target >60% dan 6x sonde dapat diterima.
Tetapi, hasil biokimia glukosa darah menunjukkan hasil yang tetap yaitu
tinggi yaitu batas normal (74-106 mg/dL).
5. Dari hasil monev tanggal 09 Maret 2021 menunjukkan bahwa hasil
biokimia Glukosa darah 379 mg/dL termasuk dalam kategori tinggi
karena adanya interaksi obat yang dikonsumsi yaitu Dexametasone
(Golongan obat Kortikosteroid).
D. Saran
4. Pasien sebaiknya melakukan diet yang sudah dianjurkan.
5. Pasien sebaiknya melakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai penyakit
pasien.
6. Pasien sebaiknya melakukan perawatan medis secara intensif.

DAFTAR PUSTAKA
Alfi, Azizah And Idi, Setiyobroto And Weni, Kurdanti .2019. Konseling Gizi
Menggunakan Media Aplikasi Nutri Diabetic Care Untuk Meningkatkan
Pengetahuan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Gamping I. Skripsi
Thesis, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Almatsier, Sunita. 2007. Penuntun Diet. Jakarta: Pt Gramedia Utama
Departemen Kesehatan Ri. 2003. Pedoman Praktis Terapi Gizi Medis. Depkes. Ri.
Jakarta.
Fathoni, Ahmad. 2018. Aplikasi Pedoman Diet Nefropati Diabetik Berdasarkan
Konsensus Perkeni 2015. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Fatimah, R.N. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. Jakarta: J Majority. Vol. 4, No. 5:93-
99.
Hanum, N.N., 2013. Hubungan Kadar Glukosa Darah Sewaktu Dengan Profil
Lipid. Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah.
Hendromartono, 2009, Nefropati Diabetik, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid Iii Edisi V, Interna Publishing, Jakarta.
Kementrian Kesehatan Ri. 2012. Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan,
Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Pusat Data Dan Informasi Kemenkes Ri
Mardalena, Ida. (2017). Dasar-Dasar Ilmu Gizi Dalam Keperawatan Konsep dan.
Penerapan Pada Asuhan Keperawatan. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.
Nasution, Zunayroh. 2013. Nefropati Diabetik Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe
2 Yang Terkontrol Dan Tidak Terkontrol: Kajian Terhadap Mikroalbumin Urin
Sebagai Marker Nefropati Diabetes. Tesis. Universitas Sumatera Utara.
Niainu, N. 2015. Hubungan Status Nutrisi Ibu Nifas Dengan Proses Penyembuhan
Luka Post Section Caesarea.
Pb Perkeni. 2020. Pernyataan Resmi Dan Rekomendasi Penanganan Diabetes
Millitus Di Era Pandemi Covid 19. Nomor : 293/Pb.Perkeni/Iv/2020
Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Indonesia.2009. Indonesian Journal
Of Clinical Pathology And Medical Laboratory Majalah Patologi Klinik Indonesia
Dan Laboratorium Medik. Vol 15. No. 3 Juli 2009 Issn 0854-4263
Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2
Di Indonesia. Jakarta. Pb Perkeni
Prabawati, R. K. (2012). Mekanisme Seluler Dan Molekular Resistensi Insulin.
Tugas Biokimia Program Pasca Sarjana Ilmu Biomedik Program Double Dolgree
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, 1, 1– 15
Probosari, E., 2013, Faktor Resiko Gagal Ginjal Pada Diabetes Melitus, Journal Of
Nutrition And Health, Vol.1, No.1
Purnamasari, Dyah. 2009. Diagnosis Dan Klasifi Kasi Diabetes Melitus, Dalam
Sudoyo, Aru W Sudoyo Dkk (Eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Kelima,
Jilid Iii. Jakarta: Interna Publishing
Putri, Rahmadany.2015. Faktor Determinan Nefropati Diabetik Pada Penderita
Diabetes Mellitus Di Rsud Dr. M. Soewandhie Surabaya. Jurnal Berkala
Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 109–121
Rivandi, Janis. 2018. Hubungan Diabetes MelitusDengan Kejadian Gagal Ginjal
Kronik. Majority Volume 4 Nomor 9 Desember 2015
Tambajong, RY Dkk. 2016. Gambaran Natrium Dan Klorida Pada Pasien.
Penyakit Ginjal Kronik Stadium 5 non-dialisis. Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 4,
Nomor 1, Januari-Juni 2016
William E.Mitch, Saulo Klahr. 1998 Handbook of Nutrition and the Kidney. 3 rd
edition. Lippincott-Raven. Philadelphia. New York..
Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2
Di Indonesia. Jakarta. Pb Perkeni
Alfi, Azizah And Idi, Setiyobroto And Weni, Kurdanti .2019. Konseling Gizi
Menggunakan Media Aplikasi Nutri Diabetic Care Untuk Meningkatkan
Pengetahuan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Gamping I. Skripsi
Thesis, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Almatsier, Sunita. 2007. Penuntun Diet. Jakarta: Pt Gramedia Utama
Departemen Kesehatan Ri. 2003. Pedoman Praktis Terapi Gizi Medis. Depkes. Ri.
Jakarta.
Fathoni, Ahmad. 2018. Aplikasi Pedoman Diet Nefropati Diabetik Berdasarkan
Konsensus Perkeni 2015. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Fatimah, R.N. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. Jakarta: J Majority. Vol. 4, No. 5:93-
99.
Nasution, Zunayroh. 2013. Nefropati Diabetik Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe
2 Yang Terkontrol Dan Tidak Terkontrol: Kajian Terhadap Mikroalbumin Urin
Sebagai Marker Nefropati Diabetes. Tesis. Universitas Sumatera Utara.
Pb Perkeni. 2020. Pernyataan Resmi Dan Rekomendasi Penanganan Diabetes
Millitus Di Era Pandemi Covid 19. Nomor : 293/Pb.Perkeni/Iv/2020
Prabawati, R. K. (2012). Mekanisme Seluler Dan Molekular Resistensi Insulin.
Tugas Biokimia Program Pasca Sarjana Ilmu Biomedik Program Double Dolgree
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, 1, 1– 15
Probosari, E., 2013, Faktor Resiko Gagal Ginjal Pada Diabetes Melitus, Journal Of
Nutrition And Health, Vol.1, No.1
Purnamasari, Dyah. 2009. Diagnosis Dan Klasifi Kasi Diabetes Melitus, Dalam
Sudoyo, Aru W Sudoyo Dkk (Eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Kelima,
Jilid Iii. Jakarta: Interna Publishing
William E.Mitch, Saulo Klahr. 1998 Handbook of Nutrition and the Kidney. 3 rd
edition. Lippincott-Raven. Philadelphia. New York..
Bhuta, Z. A., 2006, Typhoid Fever Current Concepts, Infectious Diseases in
Clinical Practice, 14 (2), 266-271.
BPOM, 2008, Infomatorium Obat Nasional Indonesia, DepKes RI, Jakarta
Chowta, NK. & Chowta, MN., 2005, Study Of Clinical Profile And Antibiotic
Response In Typoid Fever, Indian Journal of Medical Microbiology, 23(2), 125-
127.
Entjang, I., 2003, Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan
Sekolah Tenaga Kesehatan, Hal 52-54, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Gunawan,S.G.,2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi Kelima, Penerbit Departemen
Farmakologi dan Therapeutik FKUI, Jakarta.
Priyanto, 2009, Farmakoterapi & Terminologi Medis, Hal 30-32, Leskonfi, Jakarta.
Pudiastuti, R.I., 2011, Waspadai Penyakit pada Anak, Hal 58-63, PT Indeks,
Jakarta.
ADA (American Diabetes Association). 2015. Standards of Medical Care In
Diabetes. The Journal of Clinical and Applied Research and Education
Vol.38: S1-S91.
Adhiarta. 2011. Penatalaksanaan Kaki Diabetik. Artikel dalam Forum Diabetes
Nasional V. Bandung. Pusat Informasi Ilmiah Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.
Alexiadou, K., Doupis, J. 2012. Management of diabetic foot ulcers: Diabetes
Journal. 3(4):5-6.
Almatsier, S. 2010. Penuntun Diet. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ariono, Christian. 2015. Nutrisi Enteral. [Skripsi]. Bandung: Fakultas Kedokteran-
Universitas Padjadjaran.
Beck, M. E. 2011. Ilmu Gizi dan Diet Hubungannya Dengan Penyakit –Penyakit
Untuk Perawat dan Dokter. Yayasan Essentia Medica (YEM). Yogyakarta.
Breit, N.G., Mechanick, J.I. 2006. Nutritional Strategies for Wound Healing in
Diabetic Patients.
Brem, H., Sheehan, P., Boulton, A. J. 2004. Protocol for Treatment of Diabetic
Foot Ulcers. Am J Surg. 187(5A) p:15 – 105.
Dafianto, R. 2016. Pengaruh relaksasi otot progresif terhadap resiko ulkus kaki
diabetik pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas
Jelbuk Kabupaten Jember. Skripsi. Jember: Universitas Jember.
Doupis, J., Veves, A. 2008. Classification, Diagnosis, and Treatment of
Diabetic Foot Ulcers. Wound. 20(1) p:117 – 126.
Effendi, A.T, Waspadji, S. 2011. Terapi Gizi Medik. Aspek Biomolekuler Diabetes
Melitus II. FKUI Jakarta.
Ganong, W. F. 2008. Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Kemenkes RI. 2014. Proses Asuhan Gizi Tersandar (PAGT). Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI 2014, 108.
Knapp s. 2012. Diabetes and infection . Division of infectious diseases and
tropical medicine. Medical university of Vienna.324 p:1-5.
NICE Clinical Guideline. 2015. Diabetic foot problems Prevention and
Management, National Institute for Health and Care Excellence.
Pemayun, T. G., Naibaho, R. M., Novitasari, D., Amin, N., & Minuljo, T. T. 2015.
Risk factors for lower extremity amputation in patients with diabetic foot
ulcers: a hospital-based case– control study. Diabetic foot & ankle, 6.
PERKENI, 2015, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia, PERKENI, Jakarta.
PERKENI. 2011. Konsensus Penglelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI. Jakarta. Indonesia.
Roni Purnomo, Sri Setyowati, Christantie Effendy. 2007. Gambaran Pemberian
Makanan Enteral Pada Pasien Dewasa Di RSUP Dr.Sarjito Yogyakarta.
Jurnal Keperawatan. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman
Journal of Nursing), Volume 2 (3) p: 141 – 153.
Rosdahl, C B dan Mary T. Kowalski. 2015. Buku Ajar Keperawatan Dasar.
Jakarta: EGC
Rustama, D.S. 2010. Diabetes Mellitus. Dalam: Jose RL. Batubara, dkk,
Endokrinologi Anak, Edisi I. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
Sari, Yunita. 2015. Perawatan Luka Diabetes. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Saventy, Amelia. 2016. Pengaruh Pemberian Makanan Cair Melalui Naosgastric
Tube (NGT) Terhadap Indeks Masa Tubuh (IMT), Hemoglobin, dan Kadar
Albumin Pasien Kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta.
[Skripsi]. Jakarta: Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan-Universitas Esa Unggul.
Sherwood, Laura Iee. 2011. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC.
Singh, N., Amstrong, D. G., Lipsky, B. A. 2005. Preventing Foot Ulcers in
Patients with Diabetes. J Am Med Ass 293 p:217 – 28.
Sitepu, Ade, M., Djafar, Dewi, U. dan Panda, Agnes, L. 2016. Gambaran Jumlah
Leukosit Pada Pasien Infark Miokard Akut di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou
Manado. Jurnal e-Clinic 4(2).
Soelistijo, S. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. E-book. Jakarta: Pb. PERKENI
Almatsier, S. 2010. Penuntun Diet. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
American Heart Association. 2017. Guideline for the Prevention, Detection,
Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults.
Guidelines Made Simple. A Selection of Tables and Figures.
Ariono, Christian. 2015. Nutrisi Enteral. [Skripsi]. Bandung: Fakultas Kedokteran-
Universitas Padjadjaran.
Cheung, B.M.C & Li, C.2012. Diabetes and Hypertension: is There a Common
Metabolic Pathway. PMC. 2012 Apr; 14(2): 160–166.
Fathoni, Ahmad. 2018. Aplikasi Pedoman Diet Nefropati Diabetik Berdasarkan
Konsensus Perkeni 2015. Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Gibney MJ., Kearney MJ., Arab L. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC. pp 5.
Guyton AC., Hall JE. 2008. Metabolisme Karbohidrat Dan Pembentukan
Adenosin Tripospat dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Jakarta: EGC.
Hendromartono, 2009, Nefropati Diabetik, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid Iii Edisi V, Interna Publishing, Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI 2012. Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan,
Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Pusat Data Dan Informasi
Kemenkes RI.
Lastra, D. Syed, S. Kurukulasuriya, R., Manrique, C. Sowers, J. R. 2014. Type 2
Diabetes Mellitus and Hypertension: An Update. Metab Clin
North Am. 43(1) p: 103 – 122.
Mutmainah, I. 2013. Hubungan Kadar Gula Darah Dengan Hipertensi Pada
Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Dirumah Sakit Umum P.I Derek
Karanganyar, Fakultas Kedokteran Unirvesitas Muhamadiyah.
Surakarta. Skripsi.
PERKENI. 2015. Konsnsus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe
2 di Indonesia 2015.
Probosari, E., 2013, Faktor Resiko Gagal Ginjal Pada Diabetes Melitus, Journal
Of Nutrition And Health, Vol.1, No.1
Purnamasari, Dyah. 2009. Diagnosis Dan Klasifi Kasi Diabetes Melitus, Dalam
Sudoyo, Aru W Sudoyo Dkk (Eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi Kelima, Jilid III. Jakarta: Interna Publishing
Roni Purnomo, Sri Setyowati, Christantie Effendy. 2007. Gambaran Pemberian
Makanan Enteral Pada Pasien Dewasa Di RSUP Dr.Sarjito
Yogyakarta. Jurnal Keperawatan. Jurnal Keperawatan Soedirman (The
Soedirman Journal of Nursing), Volume 2 (3) p: 141 – 153.
Saventy, Amelia. 2016. Pengaruh Pemberian Makanan Cair Melalui Naosgastric
Tube (NGT) Terhadap Indeks Masa Tubuh (IMT), Hemoglobin,
dan Kadar Albumin Pasien Kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais
Jakarta. [Skripsi]. Jakarta: Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan-
Universitas Esa Unggul.
Selim S, Abougalambou I, Abougalambo AS. 2013. A Study Evaluating
Prevalence Of Hypertension and Risk Factors Affecting on Blood
Pressure Control Among Type 2 Diabetes Patients Attending
Teaching Hospital in Malaysia. Diabetes & Metabolic
Syndrome:ClinicalResearch & Reviews.pp.83-86.
Tandra,.H.2009. Kiss Diabetes Goodbye. Surabaya: Jaring Pena.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi ke-
IV. Jakarta: Interna Publishing.
Waspadji, S. 2006. Kaki Diabetes. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid III, Edisi keempat, Penerbit FK UI, Jakarta
Waspadji, S., Sukardji, Meida, O. 2010. Pedoman Diet Diabetes Melitus. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Jakarta.
Yunus, B. 2015. "faktor yang mempengaruhi lama penyembuhan luka pada
pasien diabetes mellitus" di Rumah Sakit ETN center Makasar.
Yunus, B., 2015. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lama Penyembuhan Luka Pada
Pasien Ulkus Diabetikum di Rumah Perawatan ETN Center Makasar Tahun
2014”, Skripsi, S.Kep, UIN Alauddin Makasar.
Yusuf, S., Okuwa, M., Irwan, M., Rassa, S., Laitung, B., Thalib, A., & Sugama, J.
2016. Prevalence and Risk Factor of Diabetic Foot Ulcers in a Regional Hospital,
Eastern Indonesia. Open Journal of Nursing, 6(1), 1.
Zubair, M., Malik, A., Ahmad, J. 2015. Diabetic foot ulcer: A review. American
Journal of Internal Medicine, 3(2): 28-49.
American Heart Association. 2017. Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation,
and Management of High Blood Pressure in Adults. Guidelines Made Simple. A
Selection of Tables and Figures.
Cheung, B.M.C & Li, C.2012. Diabetes and Hypertension: is There a Common
Metabolic Pathway. PMC. 2012 Apr; 14(2): 160–166.
Fathoni, Ahmad. 2018. Aplikasi Pedoman Diet Nefropati Diabetik Berdasarkan
Konsensus Perkeni 2015.Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Gibney MJ., Kearney MJ., Arab L. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. pp 5.
2009.
Guyton AC., Hall JE. Metabolisme Karbohidrat Dan Pembentukan Adenosin Tripospat
dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2008.
Hendromartono, 2009, Nefropati Diabetik, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
Iii Edisi V, Interna Publishing, Jakarta.
Kementrian Kesehatan Ri. 2012. Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan,
Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Pusat Data Dan Informasi Kemenkes Ri
Lastra, D. Syed, S. Kurukulasuriya, R., Manrique, C. Sowers, J. R. 2014. Type 2
Diabetes Mellitus and Hypertension: An Update. Metab Clin North Am. 43(1) p: 103
– 122.
Mardalena, Ida. (2017). Dasar-Dasar Ilmu Gizi Dalam Keperawatan Konsep dan.
Penerapan Pada Asuhan Keperawatan. Yogyakarta : Pustaka Baru Press
Mutmainah, I. 2013. Hubungan Kadar Gula Darah Dengan Hipertensi Pada Pasien
Diabetes Mellitus Tipe 2 Dirumah Sakit Umum P.I Derek Karanganyar, Fakultas
Kedokteran Unirvesitas Muhamadiyah. Surakarta. Skripsi.
Perkeni.2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 Di
Indonesia. Jakarta. Pb Perkeni
Probosari, E., 2013, Faktor Resiko Gagal Ginjal Pada Diabetes Melitus, Journal Of
Nutrition And Health, Vol.1, No.1
Purnamasari, Dyah. 2009. Diagnosis Dan Klasifi Kasi Diabetes Melitus, Dalam
Sudoyo, Aru W Sudoyo Dkk (Eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Kelima, Jilid
Iii. Jakarta: Interna Publishing
Selim S, Abougalambou I, Abougalambo AS. 2013. A Study Evaluating Prevalence Of
Hypertension and Risk Factors Affecting on Blood Pressure Control Among Type 2
Diabetes Patients Attending Teaching Hospital in Malaysia. Diabetes & Metabolic
Syndrome:ClinicalResearch&Reviews.pp.83-86.

Tandra,.H.2009. Kiss Diabetes Goodbye. Surabaya: Jaring Pena.

Almatsier. 2005. Penuntun Diet. Jakarta : PT Gramedia Utama


Almatsier, S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Anggraeni, A. C. 2012. Asuhan Gizi Nutritional Care Proses. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Arsip Rekam Medik. 2015. Prevalensi Gagal Ginjal Kronik Hemodialisa Rawat Jalan di
RSUD Kabupaten Sukoharjo.
Batticaca, B. Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Metabolisme. Jakarta: Salemba Medika
Cahyaningsih, Niken. 2011. Hemodialisis : Panduan Praktis Perawatan Gagal Ginjal.
Jogjakarta : Mitra Cendekia Press.
Desitasari, Tri Gamya U, Misrawati. 2013. Hubungan Tingkat Pengetahuan, Sikap Dan
Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan Diet Pasien Gagal Ginjal Kronik
Yang Menjalani Hemodialisa. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Riau. Riau. 29-114
Fritiwi DH. 2009. Tingkat Pengetahuan, Sikap, Tindakan Keluarga Pasien Hemodialisis
Mengenai Gagal Ginjal Kronik di Klinik Rasyida Medan. [Skripsi]. Medan:
USU
Lumenta, Nico A. 1992. Penyakit Ginjal. Penerbit. Arcan, Jakarta
National Kidney Foundation. 2011. Chronic Kidney Disease (CKD) and Diet:
Assessment, Management and Treatment.
R.S Dr. Cipto Mangunkusumo. 2005. Penuntun Diet, PT. Gramedia. Jakarta
Sapri, Akhmad. 2008. Asuhan Gagal Ginjal Kronik Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kepatuhan dalam Mengurangi Asupan Cairan pada Gagal Ginjal Kronik yang
Menjalani Hemodialisa di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.
Sutedjo, AY. 2009. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Yogyakarta : Amara Books
Yulliaw, A. 2009. Hubungan Karakteristik Individu Dengan Kualitas Hidup Dimensi Fisik
pasien Gagal Ginjal Kronik di Rs Dr. Kariadi Semarang
Wilson. L Mc C. 2006. Payah Ginjal Kronik. Dalam Patofisiologi Edisi 6 Bab 2. Jakarta :
EGC ; 912
Susetyowati. Peranan Konsultasi Gizi Berkelanjutan Terhadap Kadar Albumin
Penderita Penyakit Ginjal Kronik dengan Hemodialisis di RS dr. Sardjito Yogyakarta.
Berkala Kesehatan Klinik. Vol.XI.No.1. 2005
Almatsier, Sunita. 2004. Penuntun Diet (Edisi Baru). PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta: Kompas Gramedia.

Szkudelski,T., 2001, The Mechanism of Alloxan and Streptozotocin Action in B Cells of


the Rats Pancreas, Physiol Res, 50 (6): 537-46.

Sherwood,Lauralee. 2001. Fisiologi manusia :dari sel ke sistem. Jakarta : EGC

Agarwala, G. C., 2005, Short Textbook of Physiology.Academa. Newkatra.

Rubenstein, D., Wayne, D., & Bradley, J. (2007).Lecture notes kedokteran klinisedisi
ke-6. Jakarta : Erlangga

Guyton A. C., Hall J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC.
P. 208 – 212, 219 – 223, 277 – 282, 285 – 287.

Wyss, M. andKaddurah-daouk, R. 2000. Creatine and creatinine metabolism.


Physiological reviews.

Arfandhy Sanda, Mutmainnah Mutmainnah, Ibrahim Abdul Samad (2017). ANALYSIS


OF BLOOD UREA NITROGEN/CREATININ RATIO TO PREDICT THE
GASTROINTESTINAL BLEEDING TRACT SITE. RSUD ABDUL WAHAB
SJAHRANIE – SAMARINDA.

Puspa Wardhani (2017). CLINICAL PATHOLOGY AND MEDICAL LABORATORY.


Majalah Patologi Klinik Indonesia dan Laboratorium Medik. Vol. 24, No. 1,
November 2017.

Penatalaksanaan Hematemesis Melena. 2018. Fakultas Kedokteran Universitas


Lambung Mangkurat Banjarmasin - Kalimantan Selatan.

Allegra, A., Gioacchino, M. Di, Tonacci, A., Musolino, C., & Gangemi, S. (2020).
Immunopathology of SARS-CoV-2 Infection : Immune Cells and
Mediators , Prognostic Factors , and Immune-Therapeutic Implications.
Journal of Molecular Sciences, 21(4782), 1–19.
https://doi.org/10.3390/ijms21134782

Andra, S. W., & Yessie, M. P. (2013). KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah


Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep.Yogyakarta: Nuha
Medika.
Farley, M., & Zuberi, J. (2020). COVID-19 Precipitating Status Epilepticus in a
Pediatric Patient. Journal of Case Report, 21, 1–4.
https://doi.org/10.12659/AJCR.925776

Gennaro, F. Di, Pizzol, D., Marotta, C., Antunes, M., Racalbuto, V., Veronese,
N., & Smith, L. (2020). Coronavirus Diseases ( COVID-19 ) Current
Status and Future Perspectives : A Narrative Review. International
Journal of Environmental Research and Public HealthEnvironmental
Research and Public Health, 17(2690), 1–11.
https://doi.org/10.3390/ijerph17082690

Gibney, M.J., et al. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.

Handayani, D., Hadi, D. R., Isbaniah, F., Burhan, E., & Agustin, H. (2020).
Penyakit Virus Corona 2019. Jurnal Respirologi Indonesia, 40(2), 119–
129.

Kemenkes Ri. 2013.Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:Balitbang


Kemenkes Ri

KEMENKES RI. (2020b). Situasi Terkini Perkembangan Coronavirus Disease


(COVID-19) 5 Mei 2020. Retrieved May 6, 2020, from Public Health

Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Kumar, C. V. S., Mukherjee, S., Harne, P. S., Subedi, A., Ganapathy, M. K.,
Patthipati, V. S., & Sapkota, B. (2020). Novelty in the Gut : A
Systematic Review Analysis of the Gastrointestinal Manifestations of
COVID-19. BMJ Open Gastroenterology, 7(e000417), 1–9.
https://doi.org/10.1136/bmjgast-2020-000417

Lapostolle, F., Schneider, E., Vianu, I., Dollet, G., Roche, B., Berdah, J., …
Adnet, F. (2020). Clinical Features of 1487 COVID - 19 Patients with
Outpatient Management in the Greater Paris : the COVID - Call Study.
Internal and Emergency Medicine, (0123456789).
https://doi.org/10.1007/s11739-020-02379-z

Letko, M., Marzi, A., & Munster, V. (2020). Functional Assessment of Cell Entry
and Receptor Usage for SARS-CoV-2 and Other Lineage B
Betacoronaviruses. Nature Microbiology, 5, 562–569.
https://doi.org/10.1038/s41564-020-0688-y

Lingeswaran, M., Goyal, T., Ghosh, R., & Suri, S. (2020). Inflammation ,
Immunity and Immunogenetics in COVID-19 : A Narrative Review.
Indian Journal of Clinical Biochemistry, 35(3), 260–273.
https://doi.org/10.1007/s12291-020-00897-3

Maulana, Heri, d.j, Promosi Kesehatan (Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran


EGC, 2009).

Meng, H., Xiong, R., He, R., Lin, W., Hao, B., Zhang, L., & Lu, Z. (2020). CT
Imaging and Clinical Course of Asymptomatic Cases with Covid-19
Pneumonia at Admission in Wuhan, China. Journal of Infection,
81(2020), e33–e39. Retrieved from
https://doi.org/10.1016/j.jinf.2020.04.004

PERKENI, 2015, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia,PERKENI, Jakarta.

Price, W. L. (2012). Patofisiologi konsep klinis proses -proses penyakit ed.


6.Jakarta: ECG.

Smeltzer Suzanne C., Bare Brenda G., Hinkle Janice L., Cheever Kerry H.
(2013). Keperawatan medikal bedah Brunner & Suddarth ed. 12; alih
bahasa: Devi Yulianti, Amelia Kimin; editor edisi Bahasa Indonesia: Eka
Anisa Mardella.Jakarta: EGC.

Soegondo S., 2009. Buku Ajar Penyakit Dalam:Insulin : Farmakoterapi pada


Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2, Jilid III, Edisi 4,
Jakarta: FK UI pp. 1884.

Soewondo P, 2009.,Buku Ajar Penyakit Dalam:Insulin : Koma Hiperosmolar


Hiperglikemik non Ketotik, Jilid III, Edisi 4, Jakarta: FK UIpp. 1913.

Subekti I., 2009.Buku Ajar Penyakit Dalam:Neuropati Diabetik, Jilid III, Edisi 4,
Jakarta: FK UIpp. 1948.

Supriatna, E. (2020). Wabah Corona Virus Disease Covid 19 Dalam


Pandangan Islam. SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya Syar-I, Covid 19
Tanto, Chris, et al. (2014). Kapita selekta kedokteran / editor, Chris Tanto et al,
Ed. 4.Jakarta: Media Aesculapius.

Vollono, C., Rollo, E., Romozzi, M., Frisullo, G., Servidei, S., Borghetti, A., &
Calabresi, P. (2020). Focal Status Epilepticus as Unique Clinical
Feature of Covid-19: A Case Report. Europian Journal of Epilepsy,
78(2020), 109–112. Retrieved from
https://doi.org/10.1016/j.seizure.2020.04.009

Wahyuningsih R. Penatalaksanaan Diet pada Pasien. 1st ed. Yogyakarta:


Graha Ilmu; 2013

Williams., & Wilkins. (2011). Nursing:MenafsirkanTanda-Tanda dan Gejala


Penyakit. jakarta : PT Indeks.

Xiao, F., Tang, M., Zheng, X., Liu, Y., Li, X., & Shan, H. (2020). Evidence for
Gastrointestinal Infection of SARS-CoV-2. Elsevier Gastroenterology,
158(6), 1831–1833. Retrieved from https://doi.org/10.1053/j.gastro.2
020.02.055

Xu, X., Chen, P., Wang, J., Feng, J., Zhou, H., Li, X., … Hao, P. (2020).
Evolution of Novel Coronavirus from The Ongoing Wuhan Outbreak
and Modeling of Its Spike Protein For Risk Of Human Transmission.
Science China Life Sciences. Science China Life Sciences, 63(3), 457–
460.

Zhu, N., Zhang, D., Wang, W., Li, X., Yang, B., Song, J., … Tan, W. (2020). A
Novel Coronavirus from Patients with Pneumonia in China, 2019. The
New England Journal of Medicine, 382(8), 727–733.
https://doi.org/10.1056/NEJMoa2001017

Anda mungkin juga menyukai