Disusun Oleh :
Linda Rahmaeka P17111171009
Naufalia Primandita A. P. P17111171016
Jonathan Sugiono P17111173030
Alfis Dyan Treesma P17111173033
Agnesia Bunga Nurhayati P17111173040
Lathifah Nur Oktaviani P17111173047
LEMBAR PERSETUJUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Umum
Memberikan asuhan gizi pada pasien DM Nefropati
C. Tujuan Khusus
1.Melakukan pengkajian gizi pada pasien DM Nefropati dengan Covid
2.Menetapkan diagnosis gizi pada pasien DM Nefropati dengan Covid
3.Merencanakan intervensi gizi untuk pasien DM Nefropati dengan Covid
4.Melakukan monitoring dan evaluasi pada pasien DM Nefropati dengan
Covid
.
C. Etiologi Diabetes Nefropati
E. Gejala
Gejala yang muncul pada penderita Diabetes Mellitus menurut Alfi (2019)
diantaranya :
a. Poliuri (banyak kencing)
Poliuri merupakan gejala awal diabetes yang terjadi apabila kadar
gula darah sampai di atas 160-180 mg/dl. Kadar glukosa darah yang
tinggi akan dikeluarkan melalui air kemih, jika semakin tinggi kadar
glukosa darah maka ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah
yang banyak. Akibatnya penderita diabetes sering berkemih dalam
jumlah banyak.
b. Polidipsi (banyak minum)
Polidipsi terjadi karena urin yang dikeluarkan banyak, maka penderita
akan merasa haus yang berlebihan sehingga banyak minum.
c. Polifagi (banyak makan)
Polifagi terjadi karena berkurangnya kemampuan insulin mengelola
kadar gula dalam darah sehingga penderita merasakan lapar yang
berlebihan.
d. Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan terjadi karena tubuh memecah cadangan
energi lain dalam tubuh seperti lemak
F. Faktor Resiko
Nama Ny. S
Umur 58 th
Jenis Kelamin Perempuan
BB 60 kg
TB 155 cm
Diagnosis
Diabetes Nefropati Stage 3 dengan Covid
Medis
GDA:593 mg/dl, Hb:10,5 g/dL, Kalium:2,89 mmol/L, Chlorida
Biokimia
109,9 mmol/L, BUN: 26 mg/dL
TD:128/87mmhg, suhu:36,4oc, RR:22/menit, abdomen BU
Fisik Klinis (+) N Supel
B. Assesment
1.Antropometri (AD)
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tubuh pasien untuk
mengetahui status gizi pasien tersebut. Pada kasus ini pengukuran
antropometri menggunakan IMT. Data yang diperlukan untuk mengetahui
IMT pasien adalah BB dan TB.
Pada pasien diketahui BB pasien adalah 60 kg dan TB pasien adalah 155
cm. Untuk mengetahui IMT maka diperlukan perhitungan yaitu :
IMT = BB(kg)/TB(m)2
IMT = 60/1,552
IMT = 24,9
Didapatkan IMT pasien adalah 24,9. Selanjutnya IMT tersebut
dibandingkan dengan standard menurut Kemenkes RI. Berikut adalah
kategori IMT menurut Kemenkes RI :
Kategori IMT
Kurus Kekurangan BB tingkat berat < 17,0
Kekurangan BB tingkat berat 17,0-18,4
Normal 18,5 – 25,0
Gemuk Kelebihan BB tingkat ringan 25,1 – 27,0
Kelebihan BB tingkat berat >27,0
4. Riwayat Gizi
a. Riwayat Gizi Terdahulu
Pada data riwayat gizi terdahulu pasien terdahulu, pasien telah
berusaha menjalankan diet DM dengan mengurangi makan minum
manis dan mengurangi nasi. Hal ini merupakan perilaku yang baik
ang telah diteapkan pasien karena pasien mengidap penyakit DM
sejak 5 tahun lalu. Sebelumnya pasien belum pernah mendapat
edukasi. Edukasi perlu diberikan agar pasien dan keluarga pasien
lebih memahami bagaimana diet untuk pasien Diabetes Nefropati.
Edukasi tesebut adalah mengenai pola makan 3T yaitu tepat jenis,
tepat jumlah dan tepat jadwal serta pola hidup sehat seperti berolah
raga, cuci tangan dan juga tidur teratur.
b. Riwayat Gizi Sekarang
Saat ini pasien menerima diet LLCDM 1500 kalori dengan protein
1 g/kgBB. Pasien tidak membawa makanan dari luar namun asupan
makan pasien ½ dari kebutuhan intake hariannya. Hal ini perlu
ditindak lanjuti agar pasien dapat meningkatkan asupan makannya.
Ahli gizi dapat menanyakan keluhan pasien yang mempengaruhi
sisa makan tersebut dan berkoordinasi dengan tenaga kesehatan
lain untuk mengatasi keluhan tersebut. Selain itu ahli gizi juga dapat
memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien.
5. Riwayat Personal
Saat ini pasien berusia 58 tahun. Usia pasien juga mempunyai
pengaruh terhadap keparahan penyakit. Semakin bertambahnya usia
maka organ pun tidak dapat bekerja semaksimal saat usia muda.
Meskipun hal ini juga dipengaruhi oleh banyak faktor seperti pola
hidup, tingkat stress dan keturunan. Aktivitas pasien saat ini adalah
berbaring di RS karena sakit yang dideritanya.
6. Diagnosis Gizi
N.C 2.2
Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi khusus yang berkaitan
dengan gangguan fungsi ginjal dan penyakit diabetes serta Covid 19
ditandai oleh ketidaknormalan kadar BUN, glukosa darah acak tinggi,
hyperkloremia, hypokalemia dan tekanan darah tinggi
N.I1.2
Kekurangan intake energi berkaitan kondisi pasien yang lemas
ditandai dengan asupan makanan ½ dari kebutuhan harian
7. Rencana Intervensi
1. Intervensi Diet
a. Tujuan Intervensi
Menurut Almatsir (2007) tujuan Diet Penyakit Diabetes Militus
dengan Nefropati adalah untuk mencapai dan mempertahankan
status gizi optimal serta menghambat laju kerusakan ginjal
dengan cara :
c. Syarat diet
Syarat Diet Penyakit Diabetes Militus dengan Nefropati menurut
Perkeni (2015) adalah
Perhitungan Kalori :
1.) Penentuan IMT
IMT = bb/tb2(m)
IMT = 60 / (1,55)2
IMT = 24,9
Perhitungan Protein :
Total kebutuhan protein untuk pasien Diabetes Nefropati
menurut Perkeni (2015) adalah :
Protein = 0,8 g/kgBB
Protein = 0,8 x 49,5
Protein = 39.6 g
Perhitungan Lemak =
Lemak = 30% x Energi Total
Lemak = 30 % x 1324,27
Lemak = 397,41 kkal = 44,15 g
Perhitungan Karbohidrat =
Karbohidrat = 60% x Energi Total
Karbohidrat = 60% x 1324,27
Karbohidrat = 794,56 kkal = 198,64 g
Jadi, diet yang di berikan adalah LLCDM 1300 kkal
2. Intervensi Edukasi
a. Tujuan Edukasi:
Memberikan motivasi kepada pasien untuk agar dapat
menghabiskan makanannya minimal 70% asupan
b. Sasaran :
Pasien
c. Waktu:
3 Maret 2021 pukul 09.00
d. Tempat:
Menggunakan telefon ruangan
e. Metode:
Diskusi dan sharing
f. Alat bantu:
-
g. Materi :
- Berdikusi mengenai kendala pasien dalam menghabiskan
makanannya,
- Mencari alternatif solusi untuk pasien agar dapat membantu
pasien mengahbiskan makanan hingga minimal 70% asupan
- Memberikan motivasi kepada pasien untuk menghabiskan
makanannya
8. Implementasi
Implementasi asuhan gizi, intervensi dan pemberian edukasi
dilakukan oleh ahli gizi RSPAL Dr. Ramelan Surabaya secara berkala.
Dapat dilakukan di dalam ruang rawat inap pasien langsung, atau jika
memungkinkan dapat melalui telepon sambungan ruangan/WA
keluarga pasien untuk menghindari kontak dengan pasien covid. Saat
pasien tidak mampu mengonsumsi makanan lunak LLCDM 1300, ahli
gizi mengganti dengan CDMRP 1300 kkal agar kebutuhan nutrisi
pasien dapat terpenuhi.Keseluruhan hasil monitoring dan evaluasi
ditulis dalam form evaluasi untuk selanjutnya diberikan tindak lanjut
sesuai permasalahan yang dihadapi. Pemberikan makanan
disesuaikan dengan kemampuan pasien.
9. Rencana Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan Evaluasi akan dilakukan oleh ahli gizi RSPAL Dr.
Ramelan Surabaya. Monitoring dan Evaluasi meliputi pemeriksaan
pada data biokimia, fisik klinis dan asupan pasien. Tujuan dari
monitoring dan evaluasi adalah untuk mengetahui perkembangan dari
asuhan gizi dan pengbatan baik. Diharapkan data biokimia, fisik klinis
dan asupan pasien membaik.
Diet yang diberikan kepada pasien menyesuaikan kemampuan
pasien dan aspan harian pasien. Untuk diet yang diberikan saat masuk
ke RS adalah LLCDM 1300 kkal dengan karbohidrat 180 gram, Lemak
43,15 gram dan protein 41 gram. Diharapkan pasien mampu
menghabiskan makanan sesuai dengan kebutuhan gizinya.
Jika pasien tidak mampu menghabiskan makanan sesuai dengan
kebutuhanya, maka ahli gizi akan menggantinya dengan makanan
enteral. Diet yang diberikan untuk perubahan diet dari makanan lunak
kepada pasien yaitu CDMRP 1300 kkal. Berikut adalah Nilai Gizi
CDMRP 1300 kkal
Energi Protein Lemak
Formula DCMRP Kh (g)
(kkal) (g) (g)
Nilai Gizi CDMRP 200 cc 220,27 34,53 6,03 6,65
Nilai Gizi CDMRP 6x200 cc 1321,64 207,2 36,19 39,89
Kebutuhan Pasien 1324,27 198,64 39,6 44,15
% Asupan 99,80 104,30 91,38 90,35
Dari tabel diatas diketahui pemberian diet CDMRP 1300 kkal pada
pasien telah memenuhi kebutuhan gizi pasien. Setelah dilakukan
pemasangan sonde, diharapkan asupan harian pasien dapat tercukupi
dan tidak ditemukan adanya keluhan pada pasien.
Selain itu, kebutuhan cairan pasien harus dipertimbangkan.
Pasien mendapatkan infus NS dan makanan cair. Menurut Istanti
(2013) asupan cairan pada pasien komplikasi ginjal dibatasi hanya
sebanyak insessible water loss (IWL) yaitu 500 cc yang mungkin
keluar dari pernafasan dan keringat. Selanjutnya IWL akan ditambah
dengan jumlah urin. Hal ini bertujuan untuk mencegah resiko
hipertensi, aritma, dan edema. Pada assessment awal pasien
mengeluarkan urin sebanyak 1000 cc. Untuk kebutuhan cairan perhari
pasien adalah :
Kebutuhan cairan = IWL + urin
Kebutuhan cairan = 500 + urin
Kebutuhan cairan = 500 + 1000
Kebutuhan cairan = 1500 c
Setelah itu kita dapat mengetahui kebutuhan cairan infus yang
diberikan kepada pasien / harinya.
BAB IV
Hasil Dan Pembahasan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Dari assesement yang telah dilakukan kepada pasien diketahui pasien
mengalami hyperglikemia, kadar BUN dan kreatin tinggi, hipertensi, PCR
Swab Positif Covid 19 serta intake makanan inadequat.
2. Diagnosis gizi pasien adalah asupan inadequat berkaitan dengan kondisi
pasien yang lemas ditandai dengan asupan makanan ½ dari kebutuhan
harian dan perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi khusus yang berkaitan
dengan gangguan fungsi ginjal dan penyakit diabetes serta Covid 19 ditandai
oleh ketidaknormalan kadar BUN, kreatinin, glukosa darah acak tinggi,
hyperkloremia, hypokalemia dan tekanan darah tinggi
3. Edukasi diberikan 2x kepada pasien mengenai kendala dan motivasi
untuk menghabiskan makanan, serta edukasi keluarga pasien mengenai
NGT yang dipasang pada pasien.
4. Pasien telah mengalami perbaikan yang signifikan pada monev ke 2
namun masih harus memonitoring TD , PCR Swab dan gula darah
pasien.
B. Saran
1. Ahli Gizi harus senantiasa memantau perkembangan pasien melalui
monitoring evaluasi secara berkala
2. Ahli gizi harus senantiasa melakukan koordinasi dengan tenaga
kesehatan lainnya untuk menunjang proses penyembuhan pasien
3. Keluarga pasien senantiasa diberikan edukasi berkenaan dengan
kondisi pasien
LAMPIRAN
Nama : Ny. S
ASSESSMENT/REASSESSMENT KESIMPULA
N
ANTROPOM BB = 60 kg N
ETRI
TB = 155 cm
B.D 1.2.2
Kreatinin
tinggi
F.H 7.3.1
RIWAYAT GIZI SEKARANG Bedrest
RIWAYAT PEKERJAAN: -
PERSONAL
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU : DM+ 5 tahun C.H 2.1.4
DM Nefropati
RIWAYAT PENTAKIT KELUARGA: - Stage 3
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG: DM Nefropati dengan Covid
Stage 3 dengan Covid
EDUKASI GIZI: -
N.I 1.2
Kekurangan intake energi berkaitan dengan kondisi pasien yang
lemas ditandai dengan asupan makanan ½ dari kebutuhan harian
Intervensi : RENCANA
MONITORING &
N.D-2.1.1
EVALUASI
Pemberian diet lunak
Asupan makan sesuai
R.C-1.5
kebutuhaan gizi yang
Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk mengurangi
dibutuhkan pasien.
mual pada pasien
Ketepatan diet sesuai
E-1.3
preskrip diet.
Edukasi kepada keluarga pasien untuk memonitoring asupan
harian pasien Biokimia : Gula Darah
Acak, Hb, Kalium,
Chlorida, dan BUN
PERUBAHAN DIET -
Fisik Klinis : Tekanan
Darah, suhu, RR
2. Tabel Monitoring Evaluasi
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN STUDI KASUS
ASUHAN GIZI PADA PENDERITA
DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI
RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA
Mengetahui, Menyetujui
Ka. Instalasi Gizi Instruktur Klinik
..............................................................
NIP........................................................ SITI NUR FATIKHAH, A.Md,Gz
NIP........................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Umum
Memberikan asuhan gizi pada pasien Diabetes Melitus dan Hipertensi
C. Tujuan Khusus
1.Melakukan pengkajian gizi pada pasien Diabetes Melitus dan Hipertensi
2.Menetapkan diagnosis gizi pada pasien Diabetes Melitus dan Hipertensi
3.Merencanakan intervensi gizi untuk pasien Diabetes Melitus dan Hipertensi
4. Melakukan monitoring dan evaluasi pada pasien Diabetes Melitus dan
Hipertensi
1. Diabetes Melitus
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2015). Gejala yang
dikeluhkan pada penderita Diabetes Melitus yaitu
polidipsia,poliuria,polifagia,penurunan beratbadan,kesemutan
1. Kelompokdenganberatbadanlebih(IndeksMassaTubuh[IMT]
≥23 kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai
berikut:
2. Liver:
3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot,
penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat
yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak
bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. PenigkatanFFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai
lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal
sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-
like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic
polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada
penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten
terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh
keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa
menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah
kelompok DPP-4 inhibitor.
6. Sel AlphaPancreas:
Sel- pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel- berfungsi dalam
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma
akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan
basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat
yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor
glukagon meliputi GLP-1 agonis,DPP- 4 inhibitor danamylin.
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis
DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan
puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui
peran SGLT-2 (Sodium Glucose co- Transporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi
melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga
akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus
ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja
di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu
contohobatnya.
8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu
yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari
resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru
meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.
Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin
danbromokriptin.
5. Gejala
Gejala yang muncul pada penderita Diabetes Mellitus menurut Alfi (2019)
diantaranya :
a. Poliuri (banyak kencing)
Poliuri merupakan gejala awal diabetes yang terjadi apabila kadar gula
darah sampai di atas 160-180 mg/dl. Kadar glukosa darah yang tinggi akan
dikeluarkan melalui air kemih, jika semakin tinggi kadar glukosa darah
maka ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang banyak. Akibatnya
penderita diabetes sering berkemih dalam jumlah banyak.
b. Polidipsi (banyak minum)
Polidipsi terjadi karena urin yang dikeluarkan banyak, maka penderita akan
merasa haus yang berlebihan sehingga banyak minum.
c. Polifagi (banyak makan)
Polifagi terjadi karena berkurangnya kemampuan insulin mengelola kadar
gula dalam darah sehingga penderita merasakan lapar yang berlebihan.
d. Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan terjadi karena tubuh memecah cadangan energi
lain dalam tubuh seperti lemak
6. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2
secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan
secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas
kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai
sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan
setiap penyandang DM (Perkeni, 2015)
C. Protein
2. Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu dantempe.
A. Natrium
1. Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama
dengan orang sehat yaitu <2300 mgperhari.
2. Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu
dilakukan pengurangan natrium secaraindividual.
3. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin,
soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan
natriumnitrit.
B. Serat
F. Pemanis Alternatif
1. Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak
melebihi batas aman (Accepted DailyIntake/ADI).
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Gambaran Umum
Nama Ny. N
Umur 64 th
Jenis Kelamin Perempuan
BB 50 kg
TB 155 cm
Diagnosis
DM HT
Medis
BUN : 25 mg/dL
Kreatinin : 1,2 mg/dL
Albumin : 4,41 mg/dL
Na : 139,8 mEq/L
Biokimia
K : 3,99 mmol/L
Cl : 110,8 mmol/L
GDA : 274 mg/dL
Pusing
GCS 456
TD : 147/75mmHg (normal : 120/80 mmHg)
Nadi : 78x/menit (normal : 60-100x/menit)
Suhu : 36,10C (36,5-37,50C)
Fisik Klinis
RR : 16x/menit (12-20x/menit)
SpO2 : 98-100%
Terpasang NGT
Terpasang O2 masker 6 lpm
Infus NS 1500 ml
Riwayat
-
Penyakit
B. Assessment
1.Antropometri (AD)
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tubuh pasien untuk mengetahui
status gizi pasien tersebut. Pada kasus ini pengukuran antropometri menggunakan
IMT. Data yang diperlukan untuk mengetahui IMT pasien adalah BB dan TB.
Pada pasien diketahui BB pasien adalah 50 kg dan TB pasien adalah 155 cm.
Untuk mengetahui IMT maka diperlukan perhitungan yaitu :
IMT = BB(kg)/TB(m)2
IMT = 50/1,552
IMT = 20,8
Didapatkan IMT pasien adalah 20,8. Selanjutnya IMT tersebut dibandingkan
dengan standard menurut Kemenkes RI. Berikut adalah kategori IMT menurut
Kemenkes RI :
Kategori IMT
Kurus Kekurangan BB tingkat berat < 17,0
Kekurangan BB tingkat berat 17,0-18,4
Normal 18,5 – 25,0
Gemuk Kelebihan BB tingkat berat 25,1 – 27,0
Kelebihan BB tingkat berat >27,0
4. Riwayat Gizi
a. Riwayat Gizi Terdahulu
Pada data riwayat gizi terdahulu, pasien dipuasakan karena saat diberi
NGT, keluar cairan hitam (hematin) disebabkan karena adanya gangguan
gastrointestinal dan diberi infus NS 1500 ml
b. Riwayat Gizi Sekarang
Saat ini pasien menerima dietCDM (Diabetasol 4x150 cc) 624 kalori
dengan protein sebesar 24 gram, lemak 16,8 g, dan karbohidrat 93,6 g.
Intake pasien saat ini masih kurang dibandingkan dengan angka yang
dibutuhkan. Energi yang masuk hanya 42% dari kebutuhan. Sedangkan,
untuk protein 40%, lemak 43%, dan karbohidrat 42%. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa asupan pasien tidak adekuat.
5.Riwayat Personal
Saat ini pasien berusia 64 tahun dan bekerja sebagai dosen di salah satu
universitas yang ada di Bali. Pasien tinggal bersama suami di Bali. Saat
bertugas di Surabaya, lalu sembahyang di pura, tiba-tiba pasien muntah
sebanyak 6 x dan pingsan.
6. Diagnosis Gizi
1. NI-2.11 Asupan inadekuat terkait pemberian makanan secara bertahap
pasca gangguan gastrointestinal ditandai dengan asupan energi 624
kkal (42% kebutuhan)
2. NC-2.2 Perubahan nilai laboratorium berkaitan dengan penurunan
fungsi endokrin ditandai dengan peningkatan GDA 274 mg/dL
3. NB-1.1Kurangnya pengetahuan tentang makanan cair DM terkait belum
pernah mendapat konsultasi gizi ditandai dengan keluarga pasien ingin
mengetahui resep makanan cair DM
7. Rencana Intervensi
A. Intervensi Diet
1. Tujuan Intervensi
Memberikan asupan energi sesuai kondisi pasien secara
bertahap mulai dari 80%-100% kebutuhan gizi (E : 1500
kkal) selama 3 hari
2. Prinsip diet
3J (Tepat jumlah, jadwal, dan jenis)
3. Preskripsi diet
CDM (6 x 200 cc) melalui NGT
B. Syarat Diet
1. Energi Diberkan bertahap, mulai dari 80-100 % (1200-
1500 kkal)
2. Portein diberikan mulai dari 45-56 g/hari
3. Lemak diberikan mulai dari 33-42 g/hari
4. KH diberikan mulai dari 180-225 g/hari
C. Intervensi Edukasi
BEE :
BB aktual x 25 kkal = 1250 kkal
REE :
BEE + FA + FS – FU
1250 kkal + (10% x 1250 kkal) + (20% x 1250 kkal) – (10% x 1250
kkal)
= 1500 kkal
Protein :
15% dari energi/hari
= 15% x 1500 kkal
= 225 kkal
= 56 g/hari
Lemak :
25% dari energi/hari
= 25% x 1500 kkal
= 375 kkal
= 42 g
KH :
60% dari energi/hari
= 60% x 1500 kkal
= 900 kkal
= 225 g/hari
Kebutuhan cairan :
30cc/kgBB/hari = 1500 cc
E. Implementasi
Implementasi asuhan gizi, intervensi dan pemberian edukasi
dilakukan oleh ahli gizi RSPAL Dr. Ramelan Surabaya secara berkala.
Dilakukan setiap visite pasien kepada keluarga pasien.
F. Monitoring dan Evaluasi
Pada saat setelah dilakukan operasi, pasien dipuasakan karena
terdapat cairan hitam pada NGT. Setelah kondisi pasien mulai stabil,
pasien diberikan Diet CDM (Diabetasol 4x150 cc). Namun, asupan
tersebut belum mencukupi kebutuhan gizi pasien. Oleh karena itu, perlu
adanya pemberian asupan secara berkala sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi pasien. Pasien Ny. N diberi asupan enteral 6x200 cc/hari dengan
Blendera 6 x 44 gram.
Berdasarkan data monitoring pasien, didapatkan grafik
pemenuhan gizi sebagai berikut :
A. Energi
Energi (kkal)
1600 1500 1500 1500
1485 1485
1400
1188
1200
1000
800
600
400
200
1
0
Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3
Energi Kebutuhan
Protein (g)
70
61 61
60 56 56 56
49
50
40
30
20
10
1
0
Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3
Protein Kebutuhan
Lemak (g)
60.00
49.60 49.60
50.00
42 42 42
39.70
40.00
30.00
20.00
10.00
1
0.00
Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3
Lemak Kebutuhan
Karbohidrat (g)
250.00
225 225 225
206.00 206.00
200.00
164.80
150.00
100.00
50.00
1
0.00
Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3
Karbohidrat Kebutuhan
B. Saran
Ruang/Bed : -
Usia : 64 th
ASSESSMENT/REASSESSMENT KESIMPULAN
ANTROPOMETRI BB : 50 kg Normal
TB : 155 cm
IMT : 20,8
g(94,5
%)
Terpasang
O2 masker 6 KH=1
lpm 64,8
g(73%
)
6
g(118
%)
KH=2
06
g(92%
)
Monev GDA = GCS = 3 2 4 CDM Penjelasan TD masih tinggi Malam Hari Pasien pindah ke
287 mg/dL 6x250 cara resep, ruang HCU Isolasi
3 TD = 151/81 cc) cara dan
Malam
mmHg jadwal GDA naik
hasil Asupa
makanan
n
Swab N= cair DM
E=148
PCR jadi : Covid 19
100x/menit 5
(+)
kkal(9
T = 370C 9%)
P=61
SPO2 =
g(109
100% %)
L=49,
6
Antropo Biokimia Klinik (Fisik Identifikasi
Diet Edukasi Rencana Tindak Lanjut
metri Hasil Normal dan Klinis) Masalah Baru
g(118
Kondisi %)
pasien KH=2
06
lemah
g(92%
)
Lampiran 1
ASUHAN GIZI PADA PASIEN TYPOID FEVER
RUMKITAL DR. RAMELAN SURABAYA
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN STUDI KASUS
ASUHAN GIZI PADA PASIEN TYPOID FEVER
RUMKITAL DR. RAMELAN SURABAYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam tifoid atau yang dikenal dengan penyakit tipes merupakan infeksi
akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica reservoar typhi, umumnya
disebut salmonella enterica reservoir typhi, umumnya disebut salmonella typhi
(S.typhi). jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia diperkirakan terdapat 21 juta
kasus dengan 128.000 sampai 161.000 kematian setiap tahun, kasus terbanyak
terdapat di Asia Selatan dan Asia Tenggara (WHO, 2018).
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit saluran cerna, dan beberapa
kasus yang tergolong berat menyebabkan gangguan kesadaran (Akhsin, 2010).
Demam tifoid ini disebabkan oleh infeksi bakteri yang dapat masuk ke dalam tubuh
manusia melalui makanan yang tercemar, penyebarannya terjadi melalui fecal- oral.
Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang utama di dunia.
Lazim di tentukan di berbagai belahan dunia yang memiliki keterbatasan akses ke
sarana air bersih dan kurangnya sanitasi, seperti di India, Nepal, Pakistan, (Crump et
al., 2010). Estimasi global terbaru penyakit ini berkisar dari 21 juta kasus per tahun
dan 222.000 kematian per tahun di seluruh dunia (World Health Organization, 2014).
TINJAUAN PUSTAKA
2. Etiologi Typhoid
Etiologi demam typhoid adalah Salmonella thypi (S.thypi 90%) dan
Salmonella Parathypi (S. parathypi A, B serta C). Bakteri ini berbentuk batang,
gram negatif tidak membentuk spora, motil, berkapsul dengan mempunyai
flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai
beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es sampah dan debu
Namun bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 60°C selama 15-20
menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi (Wahyudi, dkk 2019).
Bakteri Salmonella typhi mempunyai antigen O (somatic) adalah
komponen dinding sel dari lipopolisakardia yang stabil pada panas dan antigen
H (flagellum) adalah protein yang labil terhadap panas. Pada salmonella typhi,
salmonella Dublin, salmonella hirschfeldii terhadap antigen Vi yaitu polisakarida
kapsul. Penularan bakteri salmonella typhi yaitu pasien dengan typhoid dan
pasien dengan carier, carier yairu sesorang yang sembuh dari typhoid dan masih
terus mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1
tahun (Widagdo, 2011).
3. Patofisologi
Penularan bakteri Salmonella typhi biasanya dapat tertularkan
melalui berbagai cara, diantaranya yaitu yang dikenal dengan 5F, Food
(makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan juga
dapat melalui feses. Feses dan muntah pada seseorang dengan penderita
typhoid dapat menularkan kuman Salmonella typhi kepada orang lain. Kuman
tersebut dapat ditularkan melalui perantara Fly (lalat), dimana lalat akan
hingap dimakanan atau minuman yang akan dikonsumsi oleh seseorang
yang sehat. Apabila seseorang tersebut kurang memperhatikan kebersihan
dirinya seperti mencuci tangan sebelum makan dan makanan yang tercemar
bakteri salmonella typhi masuk ke dalam tubuh seseorang yang
mengonsumsi makanan tersebut melalui mulut. (Sodikin, 2011).
Kemudian bakteri Salmonella typhi tersebut masuk ke dalam
lambung, sebagian bakteri yang masuk akan dimusnahkan oleh asam
lambung, sebagian lainnya masuk ke dalam usus halus bagian distal dan
mencapai jaringan limpoid (plak peyer). Di dalam jaringan limpoid bakteri
akan berkembang biak, melalui saluran limfe mesenterik lalu masuk ke aliran
darah sistemik (bakterimia I) dan mencapai sel-sel retikulo endotelial dari
hati dan limpa. Fase ini dianggap masa inkubasi 7-14 hari. Kemudian dari
jaringan ini bakteri dilepas ke sirkulasi sistemik (bakterimia II) melalui duktus
torasikus dan mencapai organ-organ tubuh terutama limpa, usus halus dan
kandung empedu.
Bakteri Samonella typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan
kompleks lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada patogenesis
typhoid. Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan
dimana bakteri Salmonella typhi berkembang biak. Sebagai stimulator yang
kuat untuk memproduksi sitokin oleh sel-sel makrofag dan sel lekosit di
jaringan yang meradang.
Sitokin ini merupakan mediator timbulnya demam dan gejala toksemia
(proinflamatory). oleh karena itu bakteri Salmonella typhi bersifat intraseluler
maka hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang-kadang pada
jaringan yang terinvasi dapat timbul infeksi. Kelainan patologis yang utama
terdapat di usus halus terutama di ileum bagian distal dimana terdapat
kelenjar plak peyer. Pada minggu pertama, plak peyer terjadi hiperpelasia
berlanjut menjadi nekrosis pada minggu ke 2 dan ulserasi pada minggu ke 3,
akhirnya terbentuk ulkus. Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan dan
perforasi yang merupakan komplikasi yang berbahaya. Hati membesar
karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuklear lainnya serta nekrosis
fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan rekulo endotelial lain
sperti limpa dan kelenjar.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid
sisebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental
disimpulkan bahwa endotoksemia buakn merupakan penyebab utama
demam pada typhoid. Endoktoksemia berperan pada patogenesis typhoid,
karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam ini
disebabkan karena adanya bakteri Salmonella typhi dan endotoksinnya
merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan
yang meradang (Sodikin, 2011).
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik pada typhoid menurut Nanda, 2015 :
a. Gejala pada anak : inkubasi antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14
hari.
b. Demam tinggi sampai akhir minggu pertama
c. Demam turun pada minggu ke 4, kecuali demam tidak tertangani akan
menyebabkan syok, stupor dan koma.
d. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
e. Nyeri kepala dan perut
f. Nyeri kepala dan perut
g. Kembung, mual muntah diare dan konstipasi
h. Pusing, bradikardi, nyeri otot
i. Batuk
j. Epistaksis
k. Lidah berselaput (kotor ditengah, ujung merah serta tremor)
Tanda dan gejala klinis penyakit typhoid sangat bervariasi, dari
gejala yang ringan sekali (sehingga tidak terdiagnosis), dan dengan gejala
yang khas (sindrom typhoid) sampai dengan gejala klinis berat yang
disertai komplikasi. Berdasarkan daerah atau negara serta menurut watu
di negara berkembang dapat berbeda dengan negara yang maju, tanda
dan gejala klinis yang timbul (Nanda, 2015).
Menurut Nanda, 2015 tanda dan gejala klinis yang sering muncul
pada typhoid meliputi :
a. Demam (peningkatan suhu tubuh)
Demam atau peningkatan suhu tubuh adalah gejala utama
pada typhoid. Apa awalnya penerita mengalami demam ringan,
selanjutnya suhu tubuh sering naik turun. Pada pagi hari suhu tubuh
lebih rendang atau normal dari pada sore hari dan malam hari suhu
tubuh lebih tinggi (demam intermitten). dari hari ke hari intensitas
demam pada penderita semakin tinggi disertai juga dengan gejala
klinis lainnya seperti sakit kepala (pusing) yang sering dirasakan
pada area frontal, nyeri pada otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia,
mual dan muntah. Pada minggu ke-2 intensitas demam pada
penderita semakin tinggi, kadang pula terus menerus (demam
kontinue). ketika kondisi pasien mulai membaik pada minggu ke-3
suhu badan berangsur menurun dan padat normal kembali pada
minggu ke-3 akhir. Demam yang khas pada typhoid tersebut tidak
selalu ada, tipe demam menjadi tidak beraturan, hal ini dikarenakan
intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal.
Pada anak khususnya balita, saat demam tinggi sangat rentang
terjadi kejang.
b. Gangguan Saluran Pencernaan
Pada pasien typhoid sering ditemukan bau mulut yang tidak
sedap karena adanya demam yang terlalu lama. Mukosa bibir kering,
kadang pecah-pecah, dan lidah terlihat kotor pucat. Ujung dan tepi
pada lidah kemerahan dan tremor (coated tongue/selaput putih).
Pada anak jarang ditemukan, dan pada umumnya pasien sering
mengeluh nyeri perut, terutama pada regio epigastrik (nyeri ulu hati),
desertai dengan mual dan juga muntah. Pada awalnya pasien sering
mengalami konstipasi. Pada minggu berikutnya pasien terkadang
mengalami diare.
c. Gangguan kesadaran
Pada umumnya terdapat gangguan kesadaran, kebanyakan
berupa penurunan kesadaran yang ringan. Apabila gejala klinis yang
timbul sangat berat tidak jarang pasien sampai somnolen dan koma
atau dengan gejala-gejala klinis seperti psychosis (Organic Brain
Syndrome).
d. Hepatosplenomegali
Gejala klinis pada hati atau limpa ditemukan adanya
pembesaran, dan adanya nyeri tekan
e. Bradikardia Relatif
Pada pasien typhoid, bradikardi relatif tidak sering ditemukan,
mungkin kerana teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi
relatif yaitu peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi. Bahwa setiap peningkatan suhu 1⁰C
tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.
Gejala lain yang timbul dapt ditemukan pada typhoid yaitu rose spot
(bintik merah) yang biasanya ditemukan diregio abdomen atas, serta
sudamina, serta gejala-gejala klinis yang berhubungan dengan
komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak sangatlah jarang
ditemukan, yang lebih sering yaitu epitaksis (gangguan rongga
hidung yang ditandai dengan keluarnya darah dari lubang hidung).
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Sodikin, 2011), pemeriksaan penunjang pada pasien typhoid
adalah:
a. Pemeriksaan darah Prerifer lengkap.
b. Dapat ditemukan leukopenia, dapat pula leukositosis atau kadar
leukosit normal. Leukosit dapat terjadi walaupun tanpa disertai
infeksi sekunder.
c. Pemeriksaan SGOPT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali
normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak
dapat memerlukan penanganan khusus.
d. Pemeriksaan Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap
bakteri Salmonella tpyhi. Uji widal dilakukan untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum pasien typhoid. Akibat adanya infeksi
oleh Salmonella typhi maka pasien membuat antibodi (aglutinin).
1) Kultur
a) Kultur darah : bisa positif pada minggu pertama
b) Kultur urin : bisa positif pada akhir kedua
c) Kultur fases : bisa positif pada minggu kedua
hingga minggu ketiga
6. Penatalaksanaan Diet
a. Tujuan diet
Tujuan diet penyakit lambung adalah untuk memberikan makanan
dan cairan secukupnya yang tidak memberatkan lambung serta
mencegah dan menetralkan sekresi asam lambung yang berlebihan
(Instalasi Gizi Perjan RS Dr. Cipto Mangkusumo, 2010).
b. Syarat Diet
Syarat-syarat diet penyakit lambung menurut Instalasi Gizi Perjan
RS Dr. Cipto Mangkusumo, 2008 adalah :
1) Mudah dicerna, porsi kecil, dan sering diberikan
2) Energi dan protein cukup, sesuai dengan kemampuan pasien
untuk menerimanya.
3) Lemak rendah, yaitu 15-20% dari kebutuhan energi total yang
ditingkatkan secara bertahap hingga sesuai dengan kebutuhan
4) Rendah serat, terutama serat tidak larut air yang ditingkatkan
secara bertahap.
5) Cairan cukup, terutama bila ada muntah
6) Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
D. Pemeriksaan Fisik/Klinis
a. Suhu : 37°C
b. Nadi : 112x/menit
c. Fisik :
- Batuk grok-grok pada anak
- Demam naik turun
- Mual
E. Riwayat Gizi
a. Riwayat Gizi dahulu :
Pola makan 3x sehari, pemberian ASI, mengonsumsi MP-ASI dengan
komposisi yang kurang lengkap dikarenakan alergi pada beberapa bahan
makanan
b. Riwayat Gizi Sekarang :
Makanan dimakan ¼ (25%) porsi dari yang disajikan, nasi tim 4-5 sdm, lauk
½ porsi. sayur 4 sdm dengan bentuk nasi tim lauk cacah alergi, pasien jarang
makan buah
F. Riwayat Personal
a. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak Tercukupinya nutrisi ibu anak
b. Riwayat Penyakit Sekarang : Thypoid Fever
G. Diagnosis Gizi
a. NI – 2.1 Asupan oral makanan tidak adekuat berkaitan dengan gangguan
pencernaan dengan gejala mual ditandai dengan asupan makanan hanya
25% dari kebutuhan 80%
b. NB – 1.1 Kurangnya pengetahuan terkait pemahaman makanan dan zat gizi
yang tidak baik oleh orang tua anak ditandai dengan adanya penyakit infeksi
demam thyphoid yang disebabkan oleh virus Salmonella Typhosa kerena
tidak teraturnya pola makan.
c. NB – 3.1 konsumsi makanan yang tidak aman berkaitan dengan kurangnya
pemahaman perilaku hidup bersih dan sehat ditandai dengan adanya infeksi
yang disebabkan oleh Salmonella Typhosa pada makanan yang tidak
terpantau baik dan besih.
b. Edukasi/Konseling Gizi :
Tujuan Umum :
Pasien mampu menerapkan diet yang telah diberikan dan keluarga pasien
patuh dalam memberikan makanan dari RS.
Tujuan Khusus :
1. Mampu Menjelaskan tentang hubungan penyakit dengan kebiasaan
pola makan, pola hidup bersih dan sehat
2. Mampu Menjelaskan Diet Lambung II kepada keluarga pasien
3. Mampu Menyebutkan tujuan Diet Lambung II
4. Mampu menyebutkan bahan makanan yang dianjurkan dan tidak
dianjurkan untuk pasien Tyhpoid Fever.
Sasaran : An. Hafis dan Keluarga
Waktu : 15 menit
Materi :
Nama : An.Hafis
Usia : 2 tahun
ASSESSMENT/REASSESSMENT KESIMPULAN
ANTROPOMETRI BB : 14 kg
PB : 85 cm
Zscore :
87,8 – 84,8
10,4 – 11,4
BIOKIMIA
Hemoglobin
10,7 g/dl 13-16 g/dl
(HGB) BD- 1.10.1
Hematokrit menurun ↓
FISIK-KLINIS Fisik :
Demam naik turun
Batuk grok-grok PD – 1.1.3 Sistem
Mual Kardiovaskuler suara
Klinis : pernafasan
Suhu : 37 °C PD – 1.1.7 Mual
N : 112 x/menit (100 – 160 x/menit)
PD – 1.1.9 Suhu tubuh
tinggi naik turun
RIWAYAT PEKERJAAN: -
PERSONAL
CH – 2.1.5
Gastrointestinal /
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU : - Saluran Cerna
EDUKASI GIZI: -
DIAGNOSA GIZI NI – 2.1 Asupan oral in adekuat dengan gangguan pencernaan ditandai
dengan asupan kurang dari kebutuhan
a. Tujuan Diet
- Meningkatkan asupan makan pasien hingga 80% dari yang disajikan RS
- Memberikan makanan sesuai keadaan pasien
b. Prinsip Diet
3 J (tepat jumlah, jadwal dan jenis)
c. Preskripsi Diet
- Jenis diet : Diet Lambung II
- Bentuk Makanan : Nasi Tim
- Rute Pemberian : Oral
- Frekuensi Pemberian : 3x makanan bisasa 1x selingan
- Pemesan diet : Nasi Tim Lauk cacah Alergi
d. Syarat Diet
- Mudah dicerna, porsi kecil, dan sering diberikan
- Energi diberikan bertahap mulai dari 80 % - 100 % yaitu 976 - 1220
kkal/hari
- Protein diberikan 15% yaitu 45,8 g /hari
- Lemak diberikan 20% yaitu 27 g/ hari
- KH diberikan 55 % yaitu 167,8 g / hari
Protein 45,8 g
Lemak 27 g
Karbohidat 167,8 g
BD – 1.10.2 Hematokrit
E - 1.1 Pemberian edukasi tentang
makanan dan zat gizi yang baik dan PD – 1.1.3 Sistem Kardiovaskuler suara pernafasan
perilaku hidup bersih pada penerita PD – 1.1.7 Mual
demam thyphoid
PD – 1.1.9 Suhu
Menu 1
Nasi Tim 50
Oseng-Oseng
50
Kangkung
Nasi Tim 50
Bola-Bola Daging
Makan Siang 30
bumbu tomat
Tahu Giling 50
Puding 50
Snack
Susu Sufor Soya 100
Nasi Tim 50
Bola-bola daging
Makan Malam 30
bumbu kecap
Tahu bacem 50
Sayur Laksa 50
Menu 2
Burger Daging 30
Oseng-oseng Tahu 50
Tumis sayur 50
Nasi Tim 50
Ragout Daging 30
Makan Siang
Tahu Giling bumbu
50
tomat
Acar Mateng 50
Puding 50
Snack
Susu Sufor Soya 100
Nasi Tim 50
Tahu Opor 50
Sayur Kimlo 50
BB : 14 kg
PB : 85 cm
Zscore :
BB/U : 1,3 Resiko Berat badan lebih
( > + 1 SD)
Berdasarkan tabel 2, pada Hasil data antropometri saat awal masuk rumah
sakit pasien memiliki Berat badan 14 kg dengan Panjang Badan 85 cm dan
dilakukan perhitungan status gizi Zscore dengan kategori menurut BB/U, PB/U dan
PB/BB pada anak laki-laki umur 0-60 bulan menggunakan standar penilaian status
gizi anak PMK No. 2 tahun 2020. Dari hasil perhitungan di dapatkan hasil bahwa
pasien memiliki status gizi lebih atau Obesitas dengan ambang batas > + 3 SD.
Berdasarkan tabel 3, pada awal masuk rumah sakit diketahui bahwa hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil IgM Salmonella Positif, hal ini
menunjukan bahwa kondisi pasien positif terpapar Indikasi kuat adanya bakteri
Salomenlla typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan. Pada hasil
pemeriksaan laboratorium saat monitoring dan evaluasi pertama indikasi terpapar
bakteri Salomenlla typhi masih menujukan indikasi yang kuat sehingga dilanjutkan
monitoring dan evaluasi kedua dan di dapatkan hasil pemeriksaan laboratorium IgM
Salmonella negatif. Pemeriksaan tersebut berguna untuk mendeteksi antibody IgM
terhadap Salmonella typhi yang biasanya muncul 3-4 hari setelah demam.
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Monitoring ke -1 Monitoring ke-2 Mintoring ke-3
Berdasarkan Grafik diatas, dapat diketahui bahwa asupan pasien meningkat. Tingkat
Konsumsi pada pasien yang awalnya hanya 25% dari porsi yang disajikan mengalami
peningkatan, pada hasil monitoring ke-1 asupan makan meningkat yaitu sebesar 50% dari
porsi yang disajikan, selanjutnya pada monitoring ke-2 asupan makan meningkat 10% yaitu
sebesar 60% dari porsi yang disajikan, dan pada monitoring ke-3 asupan makan meningkat
20% yaitu sebesar 80% dari porsi yang disajikan, sehingga dari hasil monitong ini di
dapatkan disimpulkan bahwa pasien sudah memenuhi target asupan makan perharinya
yaitu 80%.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil asuhan gizi disimpulkan bahwa :
1. Diagnosa medis pasien adalah Typoid Fever
2. Masalah Gizi Pasien adalah sebagai berikut :
a. NI – 2.1 Asupan oral in adekuat terkait dengan gangguan pencernaan
ditandai dengan asupan kurang dari kebutuhan
b. NB – 1.1 Kurangnya pengetahuan terkait pemahaman makanan dan zat
gizi yang tidak baik oleh orang tua anak ditandai dengan adanya penyakit
infeksi demam thyphoid yang disebabkan oleh virus Salmonella Typhosa
kerena tidak teraturnya pola makan.
c. NB – 3.1 konsumsi makanan yang tidak aman berkaitan dengan
kurangnya pemahaman perilaku hidup bersih dan sehat ditandai dengan
adanya infeksi yang disebabkan oleh Salmonella Typhosa pada makanan
yang tidak terpantau baik dan besih
3. Intervensi Gizi yang diberikan kepada pasien :
a. Preskripsi diet yang diberikan adalah Diet Lambung II dengan Bentuk
Nasi Tim lauk cacah Alergi dengan kebutuhan gizi yaitu Energi 1220
kkal, protein 45,8 g, Lemak 27 g, dan Karbohidrat 167,8 g diberikan
dengan frekuensi 3x makanan utama dan 1x selingan ditambahkan
dengan 6x 100cc susu formula soya.
b. Edukasi/Konseling yang diberikan adalah edukasi mengenai diet
lambung II dan hubungan makanan, penyakit.
c. Perkembangan fisik/klinis pasien terus membaik meskipun masih
mengalami demam naik turun
d. Perkembangan tingkat konsumsi energi dan zat gizi pasien sudah
memenuhi taget yaitu 80%
e.
B. Saran
Diharapkan pasien dapat meningkatkan asupan makan dan dapat mengonsumsi
makanan sesuai kondisi pasien.
ULKUS DIABETIKUM
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN STUDI KASUS
ASUHAN GIZI PADA PENDERITA
ULKUS DIABETIKUM
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA
B. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan melaksanakan Manajemen Asuhan Gizi
Klinik pada pasien Diabetes Melitus dengan Ulkus Di Ruang Rawat Inap A2 RSPAL Dr.
Ramelan Surabaya.
C. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi resiko masalah gizi dari hasil skrining gizi dan diagnosis medis.
2. Melakukan assesmen gizi kepada pasien Diabetes Melitus dengan Ulkus
3. Menegakkan diagnosis gizi kepada pasien Diabetes Melitus dengan Ulkus
4. Menyusun dan melaksanakan intervensi gizi kepada pasien Diabetes Melitus
dengan Ulkus
5. Melaksanakan monitoring evaluasi gizi kepada pasien Diabetes Melitus dengan
Ulkus
2. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat menambah pengetahuan danwawasan sekaligus memperdalam
pemahaman terhadap penatalaksanaan terapi diet pada pasien Diabetes Melitus
dengan Ulkus.
3. Bagi Pasien
Dapat mengaplikasikan penatalaksanaan terapi diet pada pasien Diabetes Melitus
dengan Ulkus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Penyakit
Ulkus diabetik merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya
komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati, keadaan
lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan, dan dapat
berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob (Dafianto,
2016). Ulkus ini juga disebut ulkus neuropati diabetik yang dapat terjadi pada individu
yang menderita diabetes melitus, sebagian akibat dari gangguan sirkulasi. Individu
penderita diabetes sering kali sulit untuk sembuh dan luka ini mungkin sulit diobati
(Rosdahl, 2015). Menurut Frykberg dalam Dafianto (2016), luka diabetik adalah luka
atau lesi pada pasien DM yang mengakibatkan ulserasi aktif dan merupakan penyebab
utama amputasi kaki.
2. Klasifikasi Penyakit
Menurut Dafianto (2016), klasifikasi laserasi dapat menfasilitasi pendekatan logis
untuk pengobatan dan bantuan dalam prediksi hasil. Beberapa sistem klasifikasi luka
telah dibuat, berdasarkan parameter seperti luasnya infeksi, neuropati, iskemia,
kedalaman atau luasnya kehilangan jaringan, dan lokasi. Klasifikasi derajat ulkus
diabetik dapat dibagi menjadi enam tingkatan menurut sistem Wagner berdasarkan
dalamnya luka, derajat infeksi, dan derajat gangren (PERKENI, 2015), yaitu:
Tabel 1. Klasifikasi derajat ulkus menurut sistem Meggitt-Wagner
Grade Deskripsi
0 Tidak terdapat luka, gejala hanya seperti nyeri
Luka
Pre/post
superfisial, Luka Luka
ulserasi,
tidak menembus ke menembus ke
Stage A dengan
melibatkan tendon atau tulang atau
jaringan epitel
tendon atau kapsul tulang sendi
yang lengkap
tulang
3. Etiologi Penyakit
Beberapa etiologi yang menyebabkan ulkus diabetes meliputi neuropati,
penyakit arterial, tekanan dan deformitas kaki. Faktor yang paling banyak menyebabkan
ulkus diabetik adalah neuropati, trauma, dan deformitas kaku, yang sering disebut
dengan Critical Triad of Diabetic Ulcers. Penyebab lain ulkus diabetik adalah iskemik,
infeksi, edema, dan kalus. Ulkus diabetik merupakan penyebab tersering pasien harus
diamputasi, sehingga faktor-faktor tersebut juga merupakan faktor predisposisi
terjadinya amputasi (Dafianto, 2016).
4. Patofisiologi Penyakit
Salah satu komplikasi kronik atau akibat jangka panjang diabetes melitus adalah
ulkus diabetik. Ulkus diabetik disebabkan oleh adanya tiga faktor yang sering disebut
Critical Triad of Diabetic Ucers yaitu Iskemik, Neuropati, dan Infeksi. Neuropati perifer
merupakan multifaktorial dan diperkirakan adalah akibat penyakit vaskuler yang
menutupi vasa nervorum, disfungsi endotel, defisiensi mioinositol, perubahan sintesis
mielin dan menurunnya aktivitas Na-K ATPase, hiperosmolaritas kronis, menyebabkan
edema pada saraf tubuh serta pengaruh peningkatan sorbitol dan fruktose (Dafianto,
2016). Keadaan hiperglikemia akan meningkatkan metabolisme glukosa melalui jalur
sorbitol. Sorbitol yang meningkat dapat mengakibatkan keadaan neuropati pada pasien
DM. Keadaan makroangiopati diabetik mempunyai gambaran hispatologis berupa
aterosklerosis. Pada keadaan makroangiopati diabetik akan mengakibatkan
penyumbatan vaskular dan apabila mengenai arteri-arteri perifer dapat mengakibatkan
insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada
ekstermitas (Dafianto, 2016).
Sherwood (2011) menyatakan bahwa ketika kadar glukosa dalam darah
mengalami peningkatan (hiperglikemiI, sel tubulus tidak mampu mereabsorpsi glukosa
dan mengakibatkan glukosa muncul pada urin. Glukosa yang ada pada urin akan
menimbulkan efek osmotik dan mengakibatkan tertariknya H2O ikut bersama glukosa,
sehingga terjadi poliuria. Besarnya cairan yang dibawa glukosa bersama urin akan
mengakibatkan dehidrasi dan kemudian menurunkan sirkulasi darah perifer (iskemia).
Menurut Ganong (2008), keadaan hiperglikemi akan mengakibatkan enzim
aldosa reduktase yang kemudian menyebabkan pembentukan sorbitol di dalam sel.
Penimbunan sorbitol pada jaringan saraf akan menyebabkan terjadinya neuropati,
termasuk neuropati perifer (Dafianto, 2016). Keadaan hiperglikemiakan memicu
pembentukan advance glycosylation end products (AGEs) yang dapat merusak
pembuluh darah dan mengganggu respons dari leukosit terhadap infeksi. Kondisi
hiperglikemi yang disertai dengan insufisiensi sirkulasi arterosklerotik dan penurunan
resistensi terhadap infeksi dapat menyebabkan terjadi ulkus kronis dan gangren,
terutama daerah kaki (Ganong, 2008).
Gangguan saraf motorik menyebabkan paralisis otot kaki dapat menyebabkan
terjadinya perubahan keseimbangan dan bentuk pada sendi kaki (deformitas),
perubahan cara berjalan, dan menimbulkan titik tekan baru dan penebalan pada telapak
kaki (kalus). Gangguan saraf sensorik menyebabkan mati rasa setempat dan hilangnya
perlindungan terhadap trauma sehingga pasien mengalami cedera tanpa disadari.
Gangguan saraf otonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit sehingga kulit menjadi
kering dan mudah mengalami luka yang sulit sembuh (Dafianto, 2016).
Alterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan
menyempit karena penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah.
Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot- otot kaki karena berkurangnya
suplai darah, sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam
jangka waktu lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang
menjadi ulkus diabetik (Dafianto, 2016).
5. Gejala
Tanda dan gejala ulkus diabetik (Yunus, 2018), yaitu:
a. Sering kesemutan
b. Nyeri kaki saat istirahat
c. Sensasi rasa berkurang
d. Kerusakan jaringan (nekrosis)
e. Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis, dan poplitea
f. Kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal
g. Kulit kering.
6. Faktor Resiko
Menurut Dafianto (2016), dalam penelitiannya di Kenya menunjukan bahwa
kapalan pada kaki dan tekanan darah diatas 130/80 mmHg berisiko tinggi untuk
terjadinya ulkus diabetik. Kondisi seperti sepatu yang tepat, pemeriksaan kaki secara
teratur, memiliki diet yang ditentukan, rencana latihan, tidak memiliki infeksi jamur, dan
memiliki pengetahuan tentang perawatan kaki akan melindungi penyandang DM dari
ulkus diabetik. Berdasarkan penelitian Dafianto (2016), pasien DM dengan ulkus dan
tanpa ulkus yang masing-masing 27 orang di RSUP Dr. M. Djamil dan RSI Ibnu Sina
Padang menunjukan bahwa lama DM, neuropati, penyakit arteri perifer, riwayat trauma,
dan perawatan kaki merupakan faktor risiko terjadinya ulkus diabetik. Penelitian
tersebut menyatakan bahwa arteri perifer dan trauma merupakan faktor yang paling
berpengaruh terhadap ulkus diabetik. Faktor perawatan kaki, neuropati motorik,
penyakit arteri perifer, pengendalian kadar glukosa darah, dan gangguan pengihatan
merupakan faktor risiko terjadinya ulkus (Dafianto, 2016). Menurut ADA (2015), faktor
risiko untuk terjadinya ulkus dan amputasi adalah:
a. Riwayat ulkus diabetik;
b. Amputasi;
c. Deformitas kaki;
d. Neuropati perifer;
e. Kallus;
f. Penyakit arteri perifer;
g. Kontrol glikemi yang kurang;
h. Nefropati diabetik;
i. Merokok.
7. Skrining
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2014) proses asuhan gizi terstandar
(PAGT) dilakukan pada pasien yang memiliki risiko masalah gizi yang dapat diketahui
melalui skrining gizi. Skrining dilakukan setelah pasien masuk rumah sakit dan diulang
setelah 7 hari pada pasien rawat inap menggunakan form skrining sesuai dengan
kondisi pasien. Pada pasien diabetes mellitus dapat menggunakan form skrining NRS-
2002 untuk pasien dewasa, semakin besar skor skrining maka semakin berisiko
malnutrisi.
8. Penatalaksanaan Diet
Menurut Wahyuningsih (2013) tujuan penatalaksanaan diet penderita
diabetes mellitus dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup,
mengurangi/menghilangkan keluhan diabetes mellitus, dan mengurangi risiko
komplikasi. Tujuan jangka panjang mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati, dan tujuan akhir pengelolaan adalah
turunnya morbiditas dan mortalitas akibat diabetes mellitus.
1) Jenis kelamin
Menurut Wahyuningsih (2013:144) kebutuhan basal wanita lebih
sedikit daripada pria. Oleh karena itu, kebutuhan basal wanita sebesar
25kkal/kg BB sedangkan kebutuhan basal pria 30kkal/kg BB.
2) Umur
Kebutuhan energi penderita diabetes mellitus berkurang seiring
bertambahnya umur.
Tabel 4. Pengurangan Berdasarkan Umur
Kategori Keterangan
0-40 th 0% BMR
40-59 th 5% BMR
60-69 th 10% BMR
≥70 th 15% BMR
Sumber: Soelistijo S, dkk. 2015
3) Aktivitas fisik
Jenis aktivitas yang berbeda membutuhkan kalori yang berbeda pula.
Menurut Soelistijo (2015) aktivitas dikategorikan menjadi 4 yaitu bedrest,
ringan, sedang dan berat.
Tabel 5. Penambahan Kebutuhan Berdasarkan Aktivitas Fisik
Kategori Keterangan
Bedrest 10% BMR
Ringan 20% BMR
Sedang 30% BMR
Berat 40% BMR
Sumber: Soelistijo S, dkk. 2015
4) Stress metabolic
Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolik
(sepsis, operasi, trauma).
5) Komplikasi
Menurut Wahyuningsih (2013) infeksi, trauma atau operasi yang
menyebabkan kenaikan suhu tubuh memerlukan tambahan kalori sebesar
13% untuk setiap kenaikan 1 derajat celcius.
6) Berat badan
Penderita diabetes mellitus yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi
sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat kegemukan, sedangkan untuk
penderita diabetes mellitus yang kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30%
sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Jumlah kalori yang
diberikan paling sedikit 1000-1200 kal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kal
perhari untuk pria. (Wahyuningsih, 2013)
Makanan yang dianjurkan pangan sumber karbohidrat seperti beras,
ubi, singkong, kentang, roti tawar, tepung terigu, sagu, dan tepung singkong;
pangan sumber protein hewani seperti daging sapi, ayam, ikan, telur, susu,
dan hasil olahannya; sayur rendah kalium; buah rendah kalium; dan semua
jenis bumbu selain gula.
Makanan yang dibatasi bagi penderita diabetes mellitus adalah
pangan sumber karbohidrat tinggi natrium seperti cake, sumber protein
hewani yang diawetkan, sumber protein nabati, sayuran tinggi kalium (seperti
tomat, kol, bayam, buncis, kembang kol, dll), buah tinggi kalium, berbagai
minuman bersoda dan beralkohol, serta semua jenis gula murni dan madu.
b. Diagnosis Gizi
Menurut Wahyuningsih (2013) diagnosis gizi merupakan kegiatan
mengidentifikasi dan memberi nama masalah gizi yang berisiko
menyebabkan masalah gizi. Berbeda dengan diagnosis medis, diagnosis gizi
diharapkan dapat terpecahkan melalui intervensi gizi. Terkait dengan
intervensi gizi, diagnosis gizi dapat berubah sesuai dengan respon pasien
Menurut Kusumohartono dan Hartono (2014) diagnosis gizi ditulis dengan
PES (Problem-EtiologiSigns/Symtomp). Problem atau permasalahan dipilih dengan
melihat acuan pada buku Nutrition Diagnosis, terdapat tiga domain terkait dengan
masalah gizi yaitu asupan, klinis, dan perilaku/lingkungan. Etiologi didapatkan
dengan melihat hasil pengkajian, yang dituliskan mengikuti istilah diagnostik gizi
dengan dihubungkan oleh kata “yang berhubungan/berkaitan dengan”. Selanjutnya,
pada bagian akhir adalah signs/symtomp atau tanda-tanda dan gejala yang
dituliskan dengan dihubungkan oleh kata “yang dibuktikan/ditandai oleh”. Semua ini
harus dinyatakan dengan istilah yang terukur sehingga dapat dimonitor untuk menilai
kemajuan dalam mencapai tujuan.
d. Intervensi Gizi
Menurut Kusumohartono dan Hartono (2014) intervensi gizi adalah suatu
tindakan terencana untuk mengatasi etiologi dalam problem gizi atau mengurangi
tanda-tanda dan gejala dalam masalah gizi. Intervensi gizi terdiri dari dua tahap yaitu
perencanaan dan implementasi. Tahap perencanaan dimulai dengan menentukan
prioritas diagnosis gizi berdasarkan derajat kegawatan masalah untuk
menghilangkan penyebab (etiologi dari problem), bila etiologi tidak dapat ditangani
oleh ahli gizi maka intervensi direncanakan untuk mengurangi tanda dan gejala
masalah
(signs/simptoms). Dilanjutkan dengan penentuan tujuan diet yang sesuai
dengan kondisi pasien, membuat strategi intervensi dilanjutkan dengan menyusun
preskripsi diet. Langkah selanjutnya yaitu implementasi rencana intervensi kepada
pasien.
1) Pemberian diet Penyampaian makanan atau zat gizi pasien diabetes mellitus
meliputi pemberian makan pasien diabetes mellitus dan camilan (makan utama
diberikan 3 kali dan camilan 2-3 kali per hari dengan interval waktu 3 jam), rute
pemberian diet melalui oral dan pengobatan terkait diabetes mellitus.
2) Edukasi Menurut Kementerian Kesehatan RI. (2014) edukasi adalah memberi
informasi untuk meningkatkan pengetahuan yang membantu pasien untuk
mengelola atau memodifikasi diet dan perubahan perilaku untuk menjaga atau
meningkatkan kesehatan.
3) Konseling Menurut Kementerian Kesehatan RI. (2014) konseling gizi adalah
proses pemberian dukungan pada pasien dalam menentukan prioritas, tujuan
dan membimbing kemandirian pasien dalam merawat diri sesuai kondisi dan
menjaga kesehatan.
Pada pasien diabetes mellitus konseling penting untuk meningkatkan motivasi
pelaksanaan dan penerimaan diet yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi
pasien, sehingga asupan pasien meningkat dan risiko malnutrisi berkurang.
4) Koordinasi asuhan gizi Koordinasi asuhan gizi merupakan upaya untu melakukan
konsultasi, rujukan atau kolaborasi, koordinasi pemberian asuhan gizi dengan
tenaga kesehatan/institusi/ dietisien lain yang dapat membantu dalam mengelola
masalah yang berkaitan dengan gizi.
B. Assesmen Gizi
1. Riwayat Gizi
a. Riwayat Gizi Sekarang
Pasien mendapatkan diet cair berbahan susu dengan bahan blendera berupa
CDM 6x200cc/24 jam secara enteral. Selain itu pasien juga mendapatkan nutrisi
parenteral berupa Infus NS (Natrium Chloride) 20 tpm dan Injeksi Ranitidin 1x1 iv.
Pasien terpasang NGT sebagai jalur konsumsi pasien.
Hasil Asupan 24 Jam:
Energi total sebesar 1201,2 Kkal (memenuhi 87,4% dari kebutuhan)
Protein total sebesar 48,4 gram (memenuhi 71,1% dari kebutuhan)
Lemak total sebesar 39,6 gram (memenuhi 103,7% dari kebutuhan)
Karbohidrat total sebesar 164,7 gram (memenuhi 87,2% dari kebutuhan)
Berdasarkan riwayat gizi sekarang dapat diketahui bahwa asupan lemak
pasien sudah terpenuhi. Namun untuk asupan energi masih dalam defisit ringan,
asupan protein daalam defisit sedang, dan asupan karbohidrat dalam defisit
sedang.
2. Pengkuruan Antropometri
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tubuh pasien untuk mengetahui
status gizi pasien tersebut. Pada kasus ini pengukuran antropometri menggunakan
IMT. Data yang diperlukan untuk mengetahui IMT pasien adalah BB dan TB. Pada
pasien diketahui BB pasien adalah 60 kg dan TB pasien adalah 160 cm. Untuk
mengetahui IMT maka diperlukan perhitungan yaitu:
IMT = BB(kg)/TB(m)2
IMT = 60/1,602
IMT = 23,4
Didapatkan IMT pasien adalah 23,4. Selanjutnya IMT tersebut dibandingkan
dengan standard menurut WHO. Berikut adalah kategori IMT menurut WHO :
Tabel 6. Kategori IMT
Kategori IMT
BB Kurang <18,5
BB Normal 18,5 – 22,9
BB Lebih : ≥23,0
1. Dengan Resiko 23,0 – 24,9
2. Obes I 25,0 – 29,9
3. Obes II ≥30
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan biokimia adalah pemeriksaan yang dilakukan secara uji
laboratoris pada spesimen jaringan tubuh tertentu yang bertujuan untuk mengetahui
suatu masalah pada spesimen tersebut. Pada pasien yaitu Ny. S telah dilakukan uji
specimen darah. Dari uji tersebut dapat diketahui bahwa terdapat beberapa status
biokimia darah yang tidak sesuai dengan nilai rujukan. Berikut adalah hasil uji
biokimia pasien:
b. Pemeriksaan Klinis
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang telah dilakukan didapatkan data
sebagai berikut:
Tabel 8. Data Pemeriksaan Klinik Ny. S
Indikator Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Interpretasi Hasil
Tekanan Darah 123/77 mmHg Rendah
Nadi 107/menit Tinggi
Suhu 36,50C Normal
RR 22/menit Tinggi
5. Riwayat Personal
a. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit dalam keluarga Ny. S
b. Perhitungan Protein:
Protein = 20% x Energi Total
Protein = 2% x 1274,4
Protein = 274,9 Kkal/4
Protein = 68,7 gram
c. Perhitungan Lemak:
Lemak = 25% x Energi Total
Lemak = 25% x 1374,4
Lemak = 343,6 Kkal/9
Lemak = 38,2 gram
d. Perhitungan Karbohidrat:
Karbohidrat = 55% x Energi Total
Karbohidrat = 55% x 1374,4
Karbohidrat = 755,9 Kkal/4
Karbohidrat = 189 gram
Standar Pembanding
a. Perhitungan Energi:
Energi: 25 – 30/kg BBI
Energi: 25 – 30/ 54kg
Energi: 1350 – 1620
b. Perhitungan Protein:
Protein: 10 – 20% total asupan energi
Protein: 10 – 20% 1350 – 1620/4
Protein: 33,8 – 81 gram
c. Perhitungan Lemak:
Lemak: 20 – 25% total asupan energi
Lemak: 20 – 25% 1350 – 1620/9
Lemak: 30 – 45 gram
d. Perhitungan Karbohidrat:
Karbohidrat: 45 – 65% total asupan energi
Karbohidrat: 45 – 65% 1350 – 1620/4
Karbohidrat: 151,9 – 263,3 gram
Syarat Diet
Energi diberikan untuk memenuhi kebutuhan sehari menurut PERKENI 2015 yaitu
1237 – 1511,8 Kkal (90 – 110% dari kebutuhan)
C. Diagnosis Gizi
Domain Intake
NI-2.1 Asupan energi Inadekuat berkaitan dengan peningkatan kebutuhan zat gizi
akibat adanya luka pada punggung kaki sebelah kiri ditandai dengan asupan energi
pasien defisit ringan (87,4%).
Domain Klinis
NC-2.2 Perubahan nilai laboratorium berkaitan dengan ganggunan fungsi endokrin
ditandai dengan Gula Darah Pasien sebsar 167 mg/dL.
D. Intervensi Gizi
a. Tujuan Intervensi
Membantu mengontrol Gula darah
Memberikan diet sesuai kebutuhan dan daya terima pasien
b. Preskripsi Diet
1. Jenis Diet
Enteral:
ND.3.1.2 Makanan siap pakai (komersial) → Pemesanan Diet: Formula
Komersial (Blendera) 6x200cc.
3. Route
Enteral melalui selang NGT
4. Bentuk Makanan
Bentuk makanan cari berupa formula komersial (Blendera) 6x200cc.
5. Frekuensi
Jadwal pemberian dengan interval 3 jam, dengan waktu pemberian yaitu:
Jam 07.00 WIB= 200cc
Jam 09.00 WIB= 200cc
Jam 12.00 WIB= 200cc
Jam 14.00 WIB= 200cc
Jam 18.00 WIB= 200cc
Jam 20.00 WIB= 200cc
c. Perencanaan Konseling
Tujuan Umum :
Membantu pasien dalam proses pemenuhan kebutuhan zat gizi secara enteral
untuk pasien Diabetes Melitus dengan Ulkus.
Tujuan Khusus:
i. Memberikan pengetahuan mengenai cara menyiapkan dan pemberian
makanan enteral untuk pasien
ii. Memberikan pengetahuan mengenai pentingnya pemenuhan protein
dalam penyembuhan luka
iii. Memberikan pengetahuan mengenai makanan yang yang dianjurkan,
dibatasi, dan tidak boleh di konsumis oleh pasien
Sasaran : Pasien dan Keluarga pasien
Metode : Konsultasi, tanya jawab dan demonstrasi
Alat Peraga : Leaflet makanan cair DM 1300 dan contoh makanan enteral
Materi :
i. Cara menyiapkan makanan enteral pasien, hygiene sanitasi peralatan
saat digunakan, dan cara pemberian makanan enteral kepada pasien
DM + Ulkus
ii. Makanan yang tinggi protein berkaitan secara langsung terhadap
penyembuhan luka pasien
iii. Makanan yang dianjurkan, dibatasi, dan tidak boleh di konsumis oleh
pasien Stroke+DM+HT
Evaluasi :
Menanyakan kembali materi yang telah diberikan. Sasaran mampu menjawab
semua pertanyaan yang telah diberikan.
1. Antropometri
Pengukuran antropometri pasien dilakukan hanya pada skrining awal, didapatkan
tinggi badan pasien 160 cm dan berat badan 60 kg dengan IMT 23,4. Menurut
WHO (2011) IMT pasien berlebih dengan resiko obesitas. Pengukuran antropometri
tidak dilakukan kembali pada monitoring hari 1 dan 2.
2. Biokimia
Pengukuran biokimia pasien pada skrining awal didapatkan hemoglobin sebesar 10,4
g/dL (rendah), hematokrit sebesar 32,9% (rendah), sel darah putih sebesar
19,77103/uL (tinggi), dan gula darah sebesar 167 mg/dL (normal). Pengukuran
biokimia yang dilakukan pada monitoring hari 1 yaitu kalium pasien sebesar 2,3
mmol/L (rendah), dan monitoring hari 2 yaitu klorida sebesar 97 mmol/L (normal),
kalium sebesar 4,01 mmol/L (normal), dan natrium 135 mmol/L (normal). Tidak
dilakukan pengukuran gula darah pasien pada monitoring hari 1 dan 2.
3. Asupan Makan
a) Energi
Energi yang dibutuhkan oleh tubuh berasal dari zat gizi yang merupakan sumber
utama seperti karbohidrat, lemak, dan protein. Energi yang diperlukan dinyatakan
dalam satuan kalori. Menurut Prof. DR. Achmad Djaeni Sediaoetama, MSc. (2010),
energi yang dipergunakan tubuh dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu :
a. Energi Bassal (Bassal Metabolism) digunakan untuk denyut jantung, laju
pernapasan, laju pencernaan, sebagai urogenital, sekresi kelenjar, biolistrik syaraf
dan lainnya.
b. Energi yang diperlukan tubuh untuk melakukan kegiatan atau aktivitas sehari – hari
Berikut merupakan gambaran dari hasil monitoring dan evaluasi pasien:
Kebutuhan dan Hasil Asupan Energi
Kebutuhan Energi
1400
1350
1300
1250
1200
1150
1100
Data Awal Hari 1 Hari 2
b) Protein
Protein merupakan salah satu zat makro yang penting bagi kehidupan. Secara umum
protein berfungsi antara lain untuk pertumbuhan, pembentukan komponen
struktual, pengangkut penyimpanan zat gizi, enzim, pembentukan jaringan tubuh,
dan sumber energi (Hardiansyah dan Supariasi, 2017). Berikut merupakan
gambaran dari hasil monitoring dan evaluasi pasien:
Kebutuhan dan Hasil Asupan Protein
Kebutuhan Protein
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Data Awal Hari 1 Hari 2
c) Lemak
Lemak (lipid) adalah zat organik hidrofobik yang bersifat sukar larut air. Namun, lemak
dapat larut pada pelarut non polar seperti, eter, alkohol, kloroform, dan benzene.
Lemak adalah zat yang kaya akan energi dan berfungsi sebagai sumber energi
yang memiliki peran penting dalam metabolism lemak (Hardinsyah dan Supariasa,
2017). Berikut merupakan gambaran dari hasil monitoring dan evaluasi pasien:
Kebutuhan dan Hasil Asupan Lemak
Kebutuhan Lemak
40
39.5
39
38.5
38
37.5
Data Awal Hari 1 Hari 2
d) karbohidrat
Karbohidrat merupakan zat makanan yang paling cepta menyuplai dan sebagai bahan
bakar tubuh, terutama masa tubuh dalam kondisi lapar. Karbohidrat adalah zat gizi
berupa senyawa organik yang terdiri dari atom karbon hydrogen dan oksigen yang
digunakan sebagai bahan pembentuk energi (Hardiansyah dan Supariasa, 2017).
Berikut merupakan gambaran dari hasil monitoring dan evaluasi pasien:
Kebutuhan dan Hasil Asupan Karbohidrat
Kebutuhan Karbohidrat
195
190
185
180
175
170
165
160
155
150
Data Awal Hari 1 Hari 2
4. Fisik-Klinis
Pengukuran fisik pasien pada skrining awal didapatkan pasien tampak lemak, tangan,
dan kaki sebelah kanan tampak lemah, terdapat luka pada punggung kaki sebelah
kiri. Pengukuran fisik yang dilakukan pada monitoring hari 1 yaitu pasien mual dan
muntah serta masih terdapat luka pada punggung kaki sebelah kiri, pada hari 2
pasien masih mengalami mual dan nyeri pada perut, serta masih terdappat luka
pada punggung kaki sebelah kiri.
Pengukuran klinis pasien pada skrining awal didapatkan tekanan darah sebesar
123/77 mmHg (rendah), nadi sebesar 107/menit (tinggi), suhu sebesar 36,50C
(normal), dan RR sebesar 22/menit (tinggi). Pengukuran klinis yang dilakukan pada
monitoring hari 1 yaitu tekanan darah sebesar 130/80 mm/Hg (normal), nadi
sebesar 78/menit (normal), suhu sebesar 36,10C (normal), RR sebesar 20/menit
(tinggi). Pada monitoring hari 2 yaitu tekanan darah sebesar 120/80 mm/Hg
(normal), suhu sebesar 36,50C (normal), RR sebesar 20/menit (tinggi). Salah satu
faktor penyebabnya yaitu infeksi yang terdapat pada punggung kaki pasien
mengalami infeksi. Keadaan tubuh merespon dengan mempercepat metabolisme
agar regenerasi luka dapat dipercepat. Hal ini menyebabkan Respiration Rate
pasien tinggi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil asuhan gizi yang telah dilakukan dan pemantauan selama
3 hari pada pasien di Ruang Rawat Inap A2 RSPAL Dr. Ramelan Surabaya,
dapat disimpulkan bahwa pasien seorang perempuan berusia 69 tahun dengan
IMT beresiko obesitas (23,4). Pasien mempunyai riwayat terdahulu DM tipe 2
dengan stroke dan jantung. Sekarang pasien menderita Diabetes Melitung
dengan ulkus.
Pasien Mengalami kelemahan pada lengan dan tungkai kanan pasien,
dengan keadaan umum pasien lemah, terdapat luka pada punggung kaki
sebelah kiri. Ketika pasien minum agak banyak pasien akan tersedak sejak 3
minggu, dan tidak mau makan dan minum sejak 2 hari. Aktifitas pasien tirah
baring. Pasien mendapatkan nutrisi enteral CDM 6x200cc dengan formula
blendera dan nutrisi parenteral berupainfus NS 20 tpm dan injeksi Ranitidin 1x1
iv. Kebutuhan energi pasien sebesar 1374,4 Kkal, protein sebesar 68,7 gram,
lemak sebesar 38,2 gram, dan karbohidrat sebesar 189 gram.
Diagnosa intake yang ditegakkan yaitu NI-2.1 yaitu asupan energi
Inadekuat berkaitan dengan peningkatan kebutuhan zat gizi akibat adanya luka
pada punggung kaki sebelah kiri ditandai dengan asupan energi pasien defisit
ringan (87,4%). Diagnosa klinis yang ditegakkan yaitu NC-2.2 yaitu p erubahan
nilai laboratorium berkaitan dengan ganggunan fungsi endokrin ditandai
dengan Gula Darah Pasien sebsar 167 mg/dL.
Intervensi gizi bertujuan mengontrol gula darah, meningkatkan Hb dan
hematokrit, penyembuhan luka, dan memberikan diet sesuai kebutuhan dan
daya terima pasien. Preskripsi diet yaitu 3J dengan tepat Jumlah, tepat Jadwal,
dan tepat Jenis, serta rendah garam. Diet cair berupa makanan formula
komersial (Blendera) dengan frekuansi 6x200cc ewat enteral melalui NGT.
Pasien juga mengalami tekanan darah tinggi pada monitoring hari
pertama, sehingga diperlukan koordinasi dengan DPJP agar dapat
menurunkan tekanan darah pasien agar kembali normal. Berdasarkan hasil
monitoring dan evaluasi diketahui bahwa terdapat masalah berupa asupan
energi pasien yang defisit ringan, asupan protein defisit sedang, dan asupan
karbohidrat yang defisit sedang. Tindak lanjut yang dilakukan yaitu menambah
konsentrasi larutan sesuai dengan perhitungan kebutuhan, sehingga asupan
pasien tidak defisit.
B. Saran
1. Bagi Rumah Sakit
Hasil asuhan gizi mengenai penatalaksanaan terapi diet pada pasien
Diabetes Melitus dengan Ulkus Di Ruang Rawat Inap A2 RSPAL Dr. Ramelan
Surabaya dapat dijadikan sebagai acuan dan perbaikan mengenai proses
asuhan gizi.
2. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang sudah didapatkan
sebelumnya dengan cara membuat asuhan gizi terhadap pasien.
3. Bagi Pasien dan Keluarga
Dapat menerapkan terapi diet pada penderita Diabetes Melitus dengan Ulkus
Di Ruang Rawat Inap A2 RSPAL Dr. Ramelan Surabaya setelah keluar rumah
sakit.
POST KOMA DIABETIKUM +HIPERTENSI
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM di RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN STUDI KASUS
ASUHAN GIZI PADA PENDERITA
POST KOMA DIABETIKUM + HIPERTENSI
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA
B. Tujuan Umum
Memberikan asuhan gizi pada pasien Post Koma Diabetes Millitus Hipertensi
C. Tujuan Khusus
1.Melakukan pengkajian gizi pada pasien Post Koma Diabetes Millitus Hipertensi
2.Menetapkan diagnosis gizi pada pasien Post Koma Diabetes Millitus Hipertensi
3. Menetapkan status gizi pasien Post Koma Diabetes Millitus Hipertensi
4. Menganalisis perkembangan asupan makanan pasien Post Koma Diabetes
Millitus Hipertensi
5. Menganalisis perkembangan biokimia pasien Post Koma Diabetes Millitus
Hipertensi
6. Menganalisis perkembangan fisik klinis pasien Post Koma Diabetes Millitus
Hipertensi
7. Merencanakan intervensi gizi untuk pasien Post Koma Diabetes Millitus Hipertensi
8.. Merencanakan edukasi gizi untuk pasien dan atau keluarga pasien Post Koma
Diabetes Millitus Hipertensi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Millitus dengan Hipertensi
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Gambaran Umum
Nama Ny. M
Umur 48 th
Jenis Kelamin Perempuan
BB 58 kg
TB 150 cm
Diagnosis
Post Koma Diabetikum Hipertensi
Medis
Biokimia GD2JPP:306 mg/dl, LDL = 269 , TG = 398, Kreatinin = 1,1
TD:201/80mmhg,RR:20/menit,GCS 456, Nadi : 113, suhu :
36,6oC, SPO2 = 98%
Fisik Klinis
Mual dan sakit kepala
Riwayat Gizi
Terdahulu
Diet LLCDMRG 1700 Kkal, Asupan makan ½ dari kebutuhan
harian karena mual
Riwayat Gizi
Asupan E= 856 kka l(50,6%), P= 28,75 g (45,3%), L= 17 g
Sekarang
(36,2%), KH= 164.g (64,4%)
B. Assesment
1.Antropometri (AD)
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tubuh pasien untuk mengetahui status
gizi pasien tersebut.Pada kasus ini pengukuran antropometri menggunakan IMT.Data
yang diperlukan untuk mengetahui IMT pasien adalah BB dan TB.
Pada pasien diketahui BB pasien adalah 60 kg dan TB pasien adalah 155 cm. Untuk
mengetahui IMT maka diperlukan perhitungan yaitu :
IMT = BB(kg)/TB(m)2
IMT = 58/1,52
IMT = 25,7
Didapatkan IMT pasien adalah 25,7. Selanjutnya IMT tersebut dibandingkan
dengan standard menurut Kemenkes RI. Berikut adalah kategori IMT menurut
Kemenkes RI :
Kategori IMT
Kurus Kekurangan BB tingkat berat < 17,0
Kekurangan BB tingkat berat 17,0-18,4
Normal 18,5 – 25,0
Gemuk Kelebihan BB tingkat ringan 25,1 – 27,0
Kelebihan BB tingkat berat >27,0
Tekanan darah tinggi berkaitan dengan kelebihan gula darah. Pasien diabetes
tidak mempunyai cukup hormon insulin untuk memproses glukosa (gula dari
makanan) atau insulin mereka tidak bekerja dengan efektif.Insulin adalah hormon
yang membuat tubuh dapat memproses glukosa dari makanan dan
menggunakannya untuk energi. Karena adanya masalah pada insulin, glukosa
tidak dapat masuk ke dalam sel-sel tubuh untuk membentuk energi dan akhirnya
akan terkumpul di aliran darah karena membentuk AGEs.
RR dan Nadi pada pasien normal namun pada batas atas. RR dan nadi yang
tinggi dapat menunjukkan pasien kesulitan bernafas atau kerja jantung yang
cepat. Pada beberapa obat Diabetes Millitus memiliki efek samping jantung
berdebar. Untuk situasi seperti itu diperlukan monitoring pada pasien oleh tenaga
kesehatan.
4. Riwayat Gizi
a. Riwayat Gizi Terdahulu
Sebelum pasien dirawat di ruang jantung, pasien dirawat di CPU Jantung dan
mendapat diet CDM 6x200 cc. Asupan E=1180 kkal( 69,7%), P= 48,84 g (76,9
%), L=39,6 g (84,3 %), KH=164,7 g (64,8%)
b. Riwayat Gizi Sekarang
Saat ini pasien menerima diet LLCDMRG 1700 kalori, namun asupan makan
pasien ½ dari kebutuhan intake hariannya. Asupan E= 856 kkal (50,6%), P=
28,75 g (45,3%), L= 17 g (36,2%), KH= 164.g (64,4%) Hal ini perlu ditindak
lanjuti agar pasien dapat meningkatkan asupan makannya. Ahli gizi dapat
menanyakan keluhan pasien yang mempengaruhi sisa makan tersebut dan
berkoordinasi dengan tenaga kesehatan lain untuk mengatasi keluhan
tersebut. Selain itu ahli gizi juga dapat memberikan edukasi kepada pasien dan
keluarga pasien.
5.Riwayat Personal
Saat ini pasien berusia 48 tahun. Usia pasien juga mempunyai pengaruh
terhadap keparahan penyakit. Semakin bertambahnya usia maka organ pun tidak
dapat bekerja semaksimal saat usia muda. Meskipun hal ini juga dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti pola hidup, tingkat stress dan keturunan. Aktivitas pasien
saat ini adalah berbaring di RS karena sakit yang dideritanya.
6. Diagnosis Gizi
N.I 1.2
Asupan energi inadekuat terkait dengan mual ditandai dengan asupan E 856 kkal(
50,6 %)
N.C 2.2
Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi khusus terkait dengan penurunan
fungsi endokrin ditandai dengan peningkatan glukosa dara 306 mg/dl
7.Rencana Intervensi
3. Intervensi Diet
a. Tujuan Intervensi
Meningkatkan asupan energi secara bertahap mulai dari 70-100%
kebutuhan selama 3 hari (E=1700 kkal)
b. Prinsip diet
3J(Tepat Jumlah, Jadwal, Jenis)
c. Syarat diet
6. Energi harian pasien berdasarkan Perkeni yaitu 1700 kkal
7. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 60% total asupan energy yaitu 254
gram. Terutama pada karbohidrat yang berserat tinggi. Sukrosa tidak
boleh lebih dari 5% total asupan energi.
8. Asupan lemak yaitu 25% kebutuhan kalori sebesar 47 gram, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Komposisi yang
dianjurkan adalah lemak jenuh <7% kebutuhan kalori, lemak tidak jenuh
ganda <10%, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Bahan makanan
yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan
lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu fullcream. Konsumsi
kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.
9. Kebutuhan protein pada pasien yaitu 15% dari kebutuhan harian sebesar
63,5 gram. dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi. Sumber
protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan
tempe
10. Anjuran asupan natrium untuk penyandang Diabetes Millitus sama
dengan orang sehat yaitu sebesar 10 – 20% total asupan energi. Pada
pasien dengan hipertensi perlu dilakukan pengurangan natrium secara
individu. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda,
dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit
11. Penyandang Diabetes Millitus dianjurkan mengonsumsi serat dari
kacang kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat. Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal
dari berbagai sumber bahan makanan.
Perhitungan Kalori :
1.) Basal Metabolisme Rate (BMR)
Perhitungan BMR untuk jenis kelamin perempuan adalah
BMR= 25 x BBI
BMR = 25 x 45
BMR = 1450 kkal
5) Faktor stress
Pasien adalah pasien post koma sehingga memiliki faktor stress 10% dari
BMR
Perhitungan Protein :
Total kebutuhan protein untuk pasien menurut Perkeni (2015) adalah :
Protein = 15% x Energi total / 4
Protein = 15% x 1693,2 / 4
Protein = 63,5 g
Perhitungan Lemak =
Lemak = 25% x Energi Total / 9
Lemak = 25% x 1693,2 / 9
Lemak = 47 g
Perhitungan Karbohidrat =
Karbohidrat = 60% x Energi Total
Karbohidrat = 60% x 1693,2 / 4
Karbohidrat = 254 g
Jadi, diet yang di berikan adalah LLCDMRG 1700 kkal dengan
karbohidrat 254 g, lemak 47 g, dan protein 63,5 g.
4. Intervensi Edukasi
a. Tujuan Edukasi:
Memberikan motivasi kepada pasien agar dapat menghabiskan
makanannya minimal 70% asupan
b. Sasaran :
Pasien
c. Waktu:
10 Maret 2021 pukul 09.00
d. Tata Cara:
Menggunakan telefon ruangan
e. Metode:
Tanya jawab dengan keluarga pasien
f. Alat bantu:
-
g. Materi :
- Berdikusi mengenai kendala pasien dalam menghabiskan makanannya,
- Mencari alternatif solusi untuk pasien agar dapat membantu pasien
mengahbiskan makanan hingga minimal 70% asupan
- Memberikan motivasi kepada pasien untuk menghabiskan makanannya
10. Implementasi
Implementasi asuhan gizi, intervensi dan pemberian edukasi dilakukan oleh ahli
gizi RSPAL Dr. Ramelan Surabaya secara berkala. Dapat dilakukan di dalam
ruang rawat inap pasien langsung,. Saat pasien tidak mampu mengonsumsi
makanan lunak LLCDMRG 1700 kkal, ahli gizi mengganti dengan NTDM 1700
kkal agar kebutuhan nutrisi pasien dapat terpenuhi karena pasien mual saat
mengonsumsi diet lunak cacah.Keseluruhan hasil monitoring dan evaluasi ditulis
dalam form evaluasi untuk selanjutnya diberikan tindak lanjut sesuai
permasalahan yang dihadapi. Pemberikan makanan disesuaikan dengan
kemampuan pasien.
11. Rencana Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan Evaluasi akan dilakukan oleh ahli gizi RSPAL Dr. Ramelan
Surabaya. Monitoring dan Evaluasi meliputi pemeriksaan pada data biokimia, fisik
klinis dan asupan pasien. Tujuan dari monitoring dan evaluasi adalah untuk
mengetahui perkembangan dari asuhan gizi dan pengbatan baik. Diharapkan data
biokimia, fisik klinis dan asupan pasien membaik.
Diet yang diberikan kepada pasien menyesuaikan kemampuan pasien dan
aspan harian pasien. Untuk diet yang diberikan saat masuk ke RS adalah
LLCDMRG 1700 kkal dengankarbohidrat 254 g, lemak 47 g, dan protein 63,5
BAB IV
Hasil Dan Pembahasan
800 Asupan
600
400
200
0
1 2 3
Monev ke -
Konsumsi energi harian pasien telah meningkat dari monev 1 hingga monev
3. Hal ini dikarenakan kondisi fisik pasien yang mulai membaik. Pada monev 1
pasien mengalami mual, lesu, tidak nafsu makan, dan sakit kepala. Hal itulah yang
menyebabkan nafsu makan menurun sehingga pemenuhan kebutuhan harian
sedikit. Pada monev ke 2 nafsu makan pasien jauh lebih baik dikarenakan mual
yang sudah berkurang meskipun pasien masih merasakan sakit kepala. Hingga
monev ke 3 pasien hanya merasa pusing namun nafsu makan membaik. Meskipun
konsumsi energi harian pasien meningkat, namun belum memenuhi kebutuhan
harian pasien. Asupan harian pasien pada monev 3 hanya memenuhi 80,9%
kebutuhan. Anjuran asupan harian pasien yaitu 90%-110% atau 1530 kkal – 1870
kkal per hari.
Energi diperlukan tubuh untuk melakukan proses metabolisme. Jika tubuh
tidak mendapatkan asupan energi dengan maksimal dapat menyebabkan tubuh
lemas dan organ-organ tubuh mengalami gangguan (Mardalena,2016). Pada proses
penyembuhan pasien pun energi sangat diperlukan. Tanpa energi yang memadai
proses penyembuhan pasien tidak akan optimal.
20 Asupan
15
10
5
0
1 2 3
Monev ke-
Tingkat konsumsi lemak dari monev 1 hingga monev 3 telah meningkat. Pada
monev 1 pasien mengalami mual, lesu, tidak nafsu makan, dan sakit kepala. Hal
itulah yang menyebabkan nafsu makan menurun sehingga pemenuhan kebutuhan
lemak juga sedikit. Pada monev ke 2 terjadi peningkatan yang signifikan karena
nafsu makan pasien jauh lebih baik. Hal ini disebabkan mual yang sudah berkurang
meskipun pasien masih merasakan sakit kepala. Hingga monev ke 3 pasien hanya
merasa pusing namun nafsu makan membaik. Pada monev 2 dan 3 kebutuhan
lemak pasien telah mencapai standardnya dengan cakupan kebutuhan yaitu
memenuhi 91,5% kebutuhan lemak pada monev 2 dan 97,9% pada monev 3.
Lemak berfungsi untuk memberdayakan vitamin, Lemak dalam makanan
mempermudah penyerapan vitamin larut lemak A, D, E dan K (Mardalena,2016).
Diketahui fungsi vitamin pada pasien Covid 19 sangatlah penting untuk membentuk
imun tubuh. Jika pasien defisit lemak maka pembentukan imun tubuh dapat
terganggu sehingga menyebabkan proses penyembuhan pasien terganggu. Maka
dari itu sangatla penting untuk memenuhi kebutuhan lemak harian pada pasien.
3. Grafik Tingkat Konsumsi Protein
Tingkat Konsumsi Protein
70
63.5 63.5 63.5
60
50 46
43.13
40 Kebutuhan
gram
28.75 Asupan
30
20
10
0
1 2 3
Monev ke-
Berbeda dengan karbohidrat dan lemak yang sudah terpenuhi pada monev 2
dan 3, tingkat konsumsi protein pasien pada monev 1 hingga monev 3 belum
memenuhi kebutuhan hariannya. Hal ini terjadi karena protein yang diberikan RS
57,5 gram sementara kebutuhan pasien adalah 63,5 gram. Pemberian protein 57,5
gram telah memenuhi 90% kebutuhan pasien jika makanan dihabiskan. Namun
dikarenakan pasien tidak mampu menghabiskan keseluruhan makanan, maka
kebutuhan zat gizi protein juga belum terpenuhi.
Pada monev 1 pasien mengalami mual, lesu, tidak nafsu makan, dan sakit
kepala. Hal itulah yang menyebabkan nafsu makan menurun sehingga pemenuhan
kebutuhan protein sedikit. Pada monev ke 2 nafsu makan pasien jauh lebih baik
dikarenakan mual yang sudah berkurang meskipun pasien masih merasakan sakit
kepala. Hingga monev ke 3 pasien hanya merasa pusing namun nafsu makan
membaik. Konsumsi protein pasien dari monev 1 hingga monev 3 meningkat,
namun peningkatan tersebut belum memenuhi standard kebutuhan harian pasien.
Kebutuhan konsumsi protein harian pasien 15% atau 63,5 gram per hari.
Pada kasus ini kebutuhan protein dibuat lebih sesuai dengan anjuran PERKENI
untuk menghindari komplikasi pada penyakit lainnya karena diagnosis pasien yang
menderita Diabetes Millitus. Protein berfungsi sebagai zat pembangun dalam tubuh.
Menurut Mardalena (2016) Protein sebagai zat pembangun berfungsi membentuk
jaringan baru untuk pertumbuhan, mengganti jaringan yang rusak maupun
bereproduksi. Jika tubuh defisit protein, maka tubuh tidak dapat mengganti sel-sel
yang telah rusak. Hal ini dapa menyebabkan proses penyembuhan pasien
terganggu.
4. Grafik Tingkat Konsumsi Karbohidrat
Tingkat Konsumsi Karbohidrat
300
254 254 262.4
254
246
250
200
164
Kebutuhan
gram
150
Asupan
100
50
0
1 2 3
Monev ke-
Terapi pengobatan dan gizi pasien semakin hari semakin membaik dan
mempengaruhi kondisi serta nafsu makan pasien. Pada monev 1 pasien
mengalami mual, lesu, tidak nafsu makan, dan sakit kepala. Hal itulah yang
menyebabkan nafsu makan menurun sehingga pemenuhan kebutuhan karbohidrat
sedikit. Pada monev ke 2 nafsu makan pasien jauh lebih baik dikarenakan mual
yang sudah berkurang meskipun pasien masih merasakan sakit kepala. Hingga
monev ke 3 pasien hanya merasa pusing namun nafsu makan membaik. Konsumsi
karbohidrat pasien dari monev ke 1 hingga ke 3 telah meningkat dan telah sesui
dengan anjuran kebutuhan harian pasien.
Pada monev 2 dan 3 pasien asupan karbohidrat pasien telah memenuhi
96,9% asupan dan 103,3% asupan. Hal ini perlu dipertahankan agar kondisi pasien
semakin membaik meskipun harus tetap dimonitor karena asupan karbohidrat
pasien diperoleh dari nasi putih dan nasi putih banyak mengandung glukosa yang
tidak baik untuk kondisi penyakit pasien yaitu Diabetes Millitus dan Hipertensi jika
konsumsi berlebih.
Menurut Mardalena (2016). Karbohidrat adalah sumber energi untuk tubuh.
Keberadaan karbohidrat di dalam tubuh, sebagian ada pada sirkulasi darah sebagai
glukosa, sebagian terdapat pada hati dan jaringan otot sebagai glikogen, dan
sebagian lagi sisanya diubah menjadi lemak untuk kemudian disimpan sebagai
cadangan energi di dalam jaringan lemak. Pada proses penyembuhan pasien,
energi yang dihasilkan karbohidrat digunakan untuk melakukan metabolisme pada
organ-organ tubuh. Jika defisit karbhidrat akan mengakibatkan organ-organ pada
tubuh tidak dapat bekerja sempurna sehingga proses penyembuhan terhambat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Diagnosis medis pasien adalah Post Koma Diabetes Millitus dengan Hipertensi
2. Diagnosis gizi pasien adalah asupan energi inadekuat terkait dengan mual ditandai
dengan asupan E 856 kkal( 50,6 %) dan perubahan nilaii laboratorium terkait zat gizi
khusus terkait dengan penurunan fungsi endokrin ditandai dengan peningkatan
glukosa dara 306 mg/dl
3. Status gizi pasien saat ini yaitu pasien mengalami obesitas
4. Asupan pasien meningkat dari monev pertama 50% asupan, monev kedua 75%
asupan dan monev ketiga 80% asupan
5. Perkembangan biokimia pasien telah meningkat dari monev pertama GD2JPP
pasien 227 mg/dL dengan kategori tinggi menjadi kategori normal yaitu 122 mg/dL
pada monev kedua dan 103 mg/dL pada monev ketiga
6. Perkembangan fisik klinis pasien meningkat dari monev pertama dengan keluhan
mual, lemas, tidak nafsu makan dan sakit kepala hingga monev kedua mual telah
berkurang namun masih merasakan sakit kepala dan monev ketiga sakit kepala
telah berkurang
7. Edukasi diberikan kepada keluarga pasien mengenai kendala dan motivasi untuk
menghabiskan makanan pasien
8. Terapi gizi yang diberikan kepada pasien yaitu LLCDMRG 1700 kkal dengan
karbohidrat 254 g, lemak 47 g, dan protein 63,5 g dengan mempertimbagkan
kemampuan makan pasien dan keluhan yang dialami pasien
B. Saran
1. Ahli Gizi harus senantiasa memantau perkembangan pasien melalui monitoring
evaluasi secara berkala
2. Ahli gizi harus senantiasa melakukan koordinasi dengan tenaga kesehatan lainnya
untuk menunjang proses penyembuhan pasien
3. Keluarga pasien senantiasa diberikan edukasi berkenaan dengan kondisi pasien
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN STUDI KASUS
ASUHAN GIZI PADA PENDERITA
GAGAL GINJAL STAGE 5 + ICH + HT + HIPERURISEMIA
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA
B. Tujuan Umum
Memberikan asuhan gizi pada pasien Chronic Kidney Disease Stage 5 / CKD St. 5
(Gagal Ginjal Kronis stadium 5)
C. Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian gizi pada pasien Chronic Kidney Disease St.5
2. Menetapkan diagnosis gizi pada pasien Chronic Kidney Disease St.5
3. Merencanakan intervensi gizi untuk pasien Chronic Kidney Disease St.5
4. Melakukan monitoring dan evaluasi pada pasien Chronic Kidney Disease St.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
H. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) / Cronic Kidney Disease (CKD)
K. Patofisiologi
Patofisiologi GGK (Gagal Ginjal Kronik) pada awalnya tergantung dari penyakit
yang mendasarinya. Namun, setelah itu proses yang terjadi adalah sama. Pada
diabetes melitus, terjadi hambatan aliran pembuluh darah sehingga terjadi nefropati
diabetik, dimana terjadi peningkatan tekanan glomerular sehingga terjadi ekspansi
mesangial, hipertrofi glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area
filtrasi yang mengarah pada glomerulosklerosis (Sudoyo, 2009). Tingginya tekanan
darah juga menyebabkan terjadi GGK. Tekanan darah yang tinggi menyebabkan
perlukaan pada arteriol aferen ginjal sehingga dapat terjadi penurunan filtrasi
(Rahman,dkk, 2013).
Pada pasien GGK, terjadi peningkatan kadar air dan natrium dalam tubuh. Hal
ini disebabkan karena gangguan ginjal dapat mengganggu keseimbangan
glomerulotubular sehingga terjadi peningkatan intake natrium yang akan
menyebabkan retensi natrium dan meningkatkan volume cairan ekstrasel. Reabsorbsi
natrium akan menstimulasi osmosis air dari lumen tubulus menuju kapiler peritubular
sehingga dapat terjadi hipertensi .Hipertensi akan menyebabkan kerja jantung
meningkat dan merusak pembuluh darah ginjal. Rusaknya pembuluh darah ginjal
mengakibatkan gangguan filtrasi dan meningkatkan keparahan dari hipertensi
(Rahman, 2013).
Gangguan fungsi ginjal dapat berdampak pada kondisi klinis pasien,
diantaranya adalah:
a. Sindroma uremia (Irwan ,2016)
Ginjal merupakan organ dengan daya kompensasi tinggi. Jaringan ginjal sehat
akan mengambil alih tugas dan pekerjaan jaringan ginjal yang sakit dengan
mengkat perfusi darah ke ginjal dan flitrasi. Bila jaringan ginjal yang rusak
mencapai 77-85%, maka daya kompensasi tidak lagi mencukupi sehingga
timbul uremia yaitu penumpukan zat-zat yang tidak dapat dikeluarkan oleh
ginjal yang sakit. Gejala sindroma uremia adalah:
1. Gastrointestinal, yang ditandai dengan nafsu makan menurun, mual,
muntah, mulut kering, rasa pahit, perdarahan ephitel. Manifestasi
uremia pada saluran pencernaan adalah mual, muntah, anoreksia, dan
penurunan berat badan. Keadaan anoreksia, mudah lelah, dan
penurunan asupan protein menyebabkan malnutrisi pada penderita.
Penurunan asupan protein juga memengaruhi kerapuhan kapiler dan
mengakibatkan penurunan fungsi imun serta kesembuhan luka (Price
dan William, 2012).
2. Kulit kering, mengalami atrofi, dan gatal. Manifestasi sindrom uremia
pada kulit adalah gambaran kulit menyerupai lilin dan berwarna kuning
akibat gabungan antara retensi pigmen urokrom dan pucat karena
anemia, pruritus akibat deposit garam Ca++ atau PTH dengan kadar
yang tinggi, perubahan warna rambut, dan deposit urea yang berwarna
keputihan (Price dan William, 2012)
3. Pada sistem kardiovaskuler yaitu hipertensi, pembesaran jantung,
payah jantung, pericarditis
4. Anemia dan asidosis
5. Pada sistem neurologi yaitu apatis, neuropati perifer, depresi, prekoma.
b. Hiperkalemia
Kelebihan kalium atau hiperkalemia biasanya akibat dari disfungsi
ginjal sementara atau permanen. Kelebihan ini sering terjadi dalam kaitannya
dengan gagal ginjal. Kelebihan ini juga dapat terjadi sementara (dengan fungsi
ginjal normal) setelah trauma jaringan mayor atau setelah tranfusi cepat darah
yang disimpan di bank darah (Tambayong, 2016).
Kalium serum akan meningkat karena penyerapan kalium yang
meningkat, penurunan eksternal ginjal, kematian sel dan pelepasan kalium
serta keadaan yang menimbulkan hipoaldosteronisme. Pada hiperkalemia
terpenting pada klinik gagal ginjal akut (ARF). Tidak bijaksana untuk
melakukan operasi, kecuali bila kalium dapat dibuang terlebih dahulu.
Hemodialisis atau dialysis peritoneum merupakan pilihan terbaik (Sabiston,
1995).
c. Hipokalemia
Hipokalemia adalah konsentrasi kalium plasma kurang dari 3,5 mEq/1. Dapat
terjadi akibat penurunan asupan dalam diet, peningkatan pengeluaran kalium
dari ginjal, usus, atau lewat keringat, atau perpindahan kalium dari
kompartemen ekstrasel ke intrasel. Pada hypokalemia yang lebih parah,
muncul gejala kelemahan, keletihan, mual dan muntah, dan konstipasi
(Corwin, 2009).
Hipokalemia biasanya berhubungan dengan penurunan kalium total tubuh.
Diantara penyebab terlazimnya adalah penggunaan diuretik menahun dan
disini hipokalemia plasma dapat menunjukkan adanya kekurangan kalium total
tubuh yang besar. Penyebab lain dari hipokalemia meliputi pengeluaran
gastrointestinalis akibat muntah dan diare, serta pengeluaran ginjal akibat
asidosis tubulus ginjal (Sabiston, 1995).
Ada beberapa penyebab kekurangan kalium serum diantaranya adalah
kekurangan masukan, penggunaan diuretik pembuang-kalium, prosedur
bedah gastrointestinal dengan pengisapan nasogastrik dan penggantian yang
tidak tepat, sekresi gastrointestinal berlebihan, hiperadosteronisme, malnutrisi,
dan trauma atau luka bakar. Hipokalemia menyebabkan penurunan
kemampuan 15 tubulus ginjal untuk mengkonsentrasikan sisa, yang
menimbulkan peningkatan kehilangan air (Tambayong, 2016).
L. Manifestasi Klinik
Pasien GGK stadium 1 sampai 3 (dengan GFR ≥ 30 mL/menit/1,73 m2 )
biasanya memiliki gejala asimtomatik. Pada stadium-stadium ini masih belum
ditemukan gangguan elektrolit dan metabolik. Sebaliknya, gejala-gejala tersebut dapat
ditemukan pada GGK stadium 4 dan 5 (dengan GFR < 30 mL/menit/1,73 m2 )
bersamaan dengan poliuria, hematuria, dan edema. Selain itu, ditemukan juga uremia
yang ditandai dengan peningkatan limbah nitrogen di dalam darah, gangguan
keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa dalam tubuh yang pada keadaan lanjut
akanmenyebabkan gangguan fungsi pada semua sistem organ tubuh (Rahman,dkk,
2013).
Cara Mengatur diet pada gagal ginjal yaitu makanan diberikan porsi kecil,
padat kalori dan sering misalnya 6x sehari. Pilih makanan sumber protein sesuai
dengan jumlah yang telah ditentukan. Cairan lebih baik dibuat dalam bentuk
minuman. Masakan lebih baik dibuat tidak berkuah, seperti, ditumis, dipanggang,
dikukus atau dibakar. Dalam pembatasan garam, gunakan lebih banyak bumbu
seperti gula, asam dan bumbu dapur lainnya untuk menambah rasa seperti
lengkuas, kunyit, daun salam.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Gambaran Umum
Nama Tn. M
Umur 52 th
Jenis Kelamin Laki-Laki
BB 60 kg
TB 165 cm
Diagnosis
Gagal Ginjal Stage 5 HD reguler +ICH +HT + Hiperurisemia
Medis
Biokimia BUN 35 mg/dl, Kreatinin 4,4 mg/dl, K 2,9 mmol/L
TD 143,87 mm/Hg, DN 85x/menit, RR 20x/menit, Suhu
36,5oC, SPO2 99%
Fisik Klinis
Kelemahan anggota gerak kiri, GCS : 456
Riwayat Gizi
-
Terdahulu
Pasien mendapat diet L TKRP RG Habis ½ porsi, pasien
Riwayat Gizi
alergi ayam.
Sekarang
Serta mendapatkan infus NS 500 ml, Renxamin 500 ml
Riwayat
CKD st. 5 HD reguler +ICH +HT + Hiperurisemia
Penyakit
B. Assesment
1.Antropometri (AD)
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tubuh pasien untuk mengetahui status
gizi pasien tersebut.Pada kasus ini pengukuran antropometri menggunakan IMT.Data
yang diperlukan untuk mengetahui IMT pasien adalah BB dan TB.
Pada pasien diketahui BB pasien adalah 60 kg dan TB pasien adalah 165cm. Untuk
mengetahui IMT maka diperlukan perhitungan yaitu :
IMT = BB(kg)/TB(m)2
IMT = 60/1,652
IMT = 22
Didapatkan IMT pasien adalah 22. Selanjutnya IMT tersebut dibandingkan dengan
standard menurut Kemenkes RI. Berikut adalah kategori IMT menurut Kemenkes RI :
Kategori IMT
Kurus Kekurangan BB tingkat berat < 17,0
Kekurangan BB tingkat berat 17,0-18,4
Normal 18,5 – 25,0
Gemuk Kelebihan BB tingkat ringan 25,1 – 27,0
Kelebihan BB tingkat berat >27,0
Hasil Nilai
Data Lab Satuan Ket
Lab Rujukan
8-20
BUN 35 mg/dL T
mg/dl
0,7-1,5
Kreatinin 4,4 mg/dl T
mg/dl
3,5-5,0
K 2,9 mmol/L R
mmol/L
Dari data biokimia diatas dapat diketahui pasien mengalami Gagal Ginjal
Kronik dengan data lab Kreatinin tinggi yaitu 4,4 mg/dl. Tingginya kadar kreatinin
dalam darah bisa menjadi sinyal bahwa ginjal tidak berfungi sebagaimana mestinya.
Kreatinin adalah produk limbah yang diproduksi oleh otot. Saat kadar kreatinin di
dalam darah tinggi, maka ginjal menyaring dan membuangnya lewat urin, sehingga
kreatinin dapat menumpuk dalam darah. Selanjutnya dari hasil Tes Ureum atau blood
urea Nitrogen (BUN) memiliki kadar yang tinggi mengetahui adanya protein dan darah
dalam urine yang menandakan penurunan fungsi ginjal. Pada hasil laboratorium ini
menentukan kadar urea nitrogen dalam darah yang merupakan zat sisa dari
metabolism protein dan seharusnya dibuang melalui ginjal.
3. Pemeriksaan Klinis (PD)
Pemeriksaan fisik klinis adalah proses yang dilakukan ahli medis untuk
melakukan pemeriksaan tanda vital dan tanda klinis pasien.
Pada data fisik yang didapatkan dari pasien yaitu Tn. M adalah sebagai
berikut :
Nilai
Data Klinis Nilai Satuan Ket
Rujukan
Tekanan
143,87 mmHg 120/80 T
Darah
SpO2 99 % 95-100 N
RR 20 /menit 12-16 N
Nadi 85 /menit 60-100 T
Suhu 36,5 o
C 36,5-37,5 N
Pada pemeriksaan fisik pasien mengalami kelemahan anggota gerak kiri dan
CGS : 456. Kelemaahan adalah penurunan kekuatan pada satu atau lebih otot
pada manusia atau gangguan saraf. Sedangkan pemeriksaan CGS atau Glashow
Coma Scale adalah skala yang dipakai untuk memenuhi tingkat kesadaran
seseorang. Kesadaran dinilai dari tiga aspek yaitu mata, suara (kemampuan
biacara) dan Gerakan tubuh. Pada hasil pemeriksaan CGS di dapatkan hasil 456
yaitu pada suara pasien mendapatkan nilai 4 dengan tanda bahwa mata pasien
terbuka spontan tanpa perintah atau sentuhan maka di beriikan poin 4,
selanjutnya untuk nilai 5 yaitu pada suara pasien dapat menjawab semua
pertanyaan yang diajukan dengan benar dan sadar penuh terhadap orientasi
lokasi, lawan bicara, tempat, dan waktu maka di beri poin 5, sedangkan untuk nilai
6 yaitu pada Gerakan pasien yang dapat melakukan Gerakan Ketika di
perintahkan sehingga di berikan poin 6. Bisa disimpulkan bahwa poin dari
pemeriksaan CGS adalah skala 15 berarti tingkat kesadaran tinggi dan bisa
dibilang terjaga sepenuhnya.
5. Riwayat Gizi
a. Riwayat Gizi Terdahulu
-
b. Riwayat Gizi Sekarang
Saat ini pasien mendapatkan diet L TKRP RG 2100 kkal namun asupan
makan pasien ½ dari makanan yang diberikan dari RS energi 1.050 (50% dari
kebutuhan), Protein 36 gram (50% dari kebutuhan), Lemak 35 gram (50% dari
kebutuhan), karbohidat 147,75 gram (50% dari kebutuhan). Pasien alergi dengan
ayam dan mendapatkan infus NS 500 ml, Renxamin 500 ml. Ahli gizi dapat
menanyakan keluhan pasien tentang makanan tersebut dan berkoordinaso
dengan tenaga Kesehatan lian untuk mengatasi keluahan tersebut. Selain itu ahli
gizi dapat memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien.
6 .Riwayat Personal
-
7. Diagnosis Gizi
NI 1.4 – Asupan energi inadekuat terkait dengan kurang nafsu makan ditandai
dengan asupan energi 1,050 kkal (50% dari kebutuhan)
NC 2.2 – Perubahan nilai Laboratorium terkait dengan penurunan fungsi ginjal
ditandai dengan peningkatan BUN dan kreatinin pada pasien
8 .Rencana Intervensi
5. Intervensi Diet
a. Tujuan Intervensi
Meningkatkan asupan energi secara bertahap mulai dari 70-100 % dari
kebutuhan gizi (E = 2100 kkal)
b. Prinsip diet
Tinggi Kalori, Cukup Protein
c. Syarat diet
1. Energi, yaitu 35 kkal/kg BB, yakni sebanyak 2100 kkal
2. Protein cukup yaitu 1-1,2 g/kgBB yakni sebanyak 60 g - 72g. Protein sebaiknya
diberikan protein yang memiliki nilai biologik yang tinggi.
3. Lemak cukup, yaitu maksimal 30% dari kebutuhan energi total. Diutamakan lemak
tidak jenuh ganda yakni sebanyak 70 g
4. Karbohidrat, yaitu kebutuhan energi total dikurangi energi yang berasal dari potein
dan lemak yakni sebanyak 295,5 kkal
5. Cairan dibatasi, yaitu sebanyak jumlah urin sehari ditambah pengeluaran cairan
melalui keringat dan pernapasan (± 500 ml)
6.
d. Perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi
Perhitungan Kalori menggunakan Syarat Diet L TKRP RG dengan
pehitungan kebutuhan sebagai berikut :
Energi = 35 kkal / Kg BB
= 35 x 60
= 2.100 kkal
Protein = 1,2 g / kg BB
= 1,2 x 60
= 72 gram
Lemak = 30%
= 30% x 2100 / 9
= 70 gram
KH = (2100 – (72 x 4) – (70 x 9) / 4
= (2100 – 288 - 630) / 4 = 1182 / 4
= 295,5 gram
Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Pasien
Komposisi Zat Gizi Jumlah
Energi 2,100 kkal
Protein 72 g
Lemak 70 g
Karbohidrat 295,5 g
6. Intervensi Edukasi
a. Tujuan Edukasi:
Memberikan motivasi kepada pasien agar dapat menghabiskan
makanannya minimal 70% asupan
b. Sasaran :
Pasien
c. Waktu:
2 April 2021 pukul 09.00
d. Tata Cara:
Tanya jawab langsung ke ruangan pasien
e. Metode:
Tanya jawab dengan keluarga dan pasien
f. Alat bantu:
-
g. Materi :
- Berdikusi mengenai kendala pasien dalam menghabiskan makanannya,
- Mencari alternatif solusi untuk pasien agar dapat membantu pasien
mengahbiskan makanan hingga minimal 70% asupan
- Memberikan motivasi kepada pasien untuk menghabiskan makanannya
9. Implementasi
Monitoring dan Evaluasi akan dilakukan oleh ahli gizi RSPAL Dr.
Ramelan Surabaya. Monitoring dan Evaluasi meliputi pemeriksaan pada data
biokimia, fisik klinis dan asupan pasien. Tujuan dari monitoring dan evaluasi
adalah untuk mengetahui perkembangan dari asuhan gizi dan pengbatan
baik. Diharapkan data biokimia, fisik klinis dan asupan pasien membaik.
BAB IV
Hasil Dan Pembahasan
Hasil Nilai
Data Lab Satuan Ket
Lab Rujukan
Monev 1
- - - -
-
Hasil Nilai
Data Lab Satuan Ket
Lab Rujukan
HB 8,4 g/dl 13,5-17,5 R
Monev 2
Albumin 3,09% % 2-6,5 N
CILab Hasil
106,4 mmol/L Nilai
2,15-2,57 T
Data Satuan Ket
Kreatinin Lab
4,88 mg/dl Rujukan
0,7- 1,5 T
Monev 3
HB
BUN 9,7
96 g/dl
mg/dl 13,5-17,5
8-20 R
T
Dapat diketahui dari monev pertama tidak ada pemeriksaan untuk hasil
laboratorium biokimia dikarenakan pada assement awal pasien sudah di cek hasil
biokimianya. Untuk monev ke 2 pasien terdapat evaluasi terhadap kadar CI 106,4
mmol/L, Kreatinin 4,88 mg/dl, Bun 96 mg/dl dan HB 8,4 g/dl dari hasil tersebut
didapatkan hasil yang Tinggi dan pada Hasil HB rendah dilakukan tranfusi sehingga
pada monev ke 3 dilakukan evaluasi pada kadar HB yaitu 9,7 g/dl terdapat
peningkatan pada hasil HB terlihat dari hasil Monev sebelumnya yaitu 8,4 g/dl.
Kreatinin dalam darah disaring oleh ginjal, lalu dibuang melalui urine. Ketika
ginjal bermasalah atau fungsi ginjal terganggumm kreatinin tidak dapat disaring
dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan kadar kreatinin dalam darah meningkat
(4,88 mg/dl) dan memicu berbagai masalah Kesehatan lainya. Untuk mengevaluasi
Kesehatan ginjal dan menentukan penyebab gangguan ginjal dilakukan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan seperti tes fungsi ginjal meliputi laju
filtrasi glomerulus (GFR) kadar BUN, Ureum dan kreatinin, sert ates urine seperti
urinalisis dan albumin urine.
Meningkatnya urea dalam darah dapat menandakan adanya masalah pada ginjal.
Peningkatan urea darah (BUN) (96 ml/dl) dapat disebabkan oleh prerenal
(dekompensasi jantung, dehidrasi yang berlebihan, peningkatan katabolisme
protein), penyebab renal (glomerulonephritis akut, nefritis kronis, penyakit ginjal
polikistik, dan nekrosis tubular ) dan penyebab postrenal (semua jenis obstruksi
pada saluran kemih, seperti batu ginjal, kelenjar prostat yang membesar dan
tumor). Ureum bersifat racun dan perlu segera dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal.
Kondisi ketika kadar ureum dalam darah terlalu tinggi (> 50 mg/dl) disebut uremia.
Hal ini dapat menyebabkan cepat lelah, pusing, mual, muntah, dan kram kaki.
Peran keluarga juga besar dalam pengobatan dan terapi pasien karena
keluargalah yang merawat pasien. Pemberien edukasi dan konseling dapat
menunjang proses penyembuhan pasien. Kelurga juga dapat dijadikan agen untuk
mengawasi pasien, seperti aktivitas fisik pasien dan juga makanan-makanan yang
harus dikonsumsi pasien.
1500
980,7 1062,4
817,3
1000
500
0
Mo n ev ke-1 Mo n ev k e-2 Mo n ev ke-3
60
50
40
30
13,9 16,68 18,7
20
10
0
M o n ev k e-1 M o n e v k e- 2 M o n ev k e-3
60
50
40
27,9
25,8
30 21,5
20
10
0
M o n ev k e -1 M o n e v k e-2 M o n e v k e- 3
300
295,5 295,5 295,5
250
200
155 167,9
150 129,2
100
50
0
M o n ev k e -1 M o n ev k e-2 M o n ev k e-3
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
1. Kesimpulan pada Diagnosa medis pasien mengalami Gagal Ginjal Stadium
5 (CKD st. 5) dengan HD reguler, Pendarahan di otak (ICH), dan
peningkatan kadar asam urat dalam darah (Hiperurisemia).
2. Didapatkan hasil Diagnosis gizi pada pasien yaitu NI 1.4 – Asupan energi
inadekuat terkait dengan kurang nafsu makan ditandai dengan asupan
energi 1,050 kkal (50% dari kebutuhan) dan NC 2.2 – perubahan nilai
laboratorium terkiat dengan penurunan fungsi ginjal ditandai dengan
peningkatan BUN dan kreatinin pada pasien.
3. Pada status gizi berdasarkan klasifikasi BB dapat diketahui IMT pasien
berada pada kategori Normal yaitu 22 dengan rentang normal (18,5-25,0)
sehingga bisa disumpulkan status gizi pasien yaitu status gizi normal.
4. Kesimpulan pada data hasil Laboratorium atau biokimia diketahui pada
monev kadar kreatinin (4,88 mg/dl) dan BUN (96 mg/dl) tinggi hingga
monev ketiga tetapi mengalami menurunan sehingga perlunya
pemeriksaan hasil lab secara berkala guna untuk mengetahui keadaan
pasien.
5. Pada Preskripsi Diet pasien di berikan Diet L TKRP RG dengan prinsip diet
Tinggi kalori dan cukup protein, Energi 35 kkal/kg BB (2100 kkal), Protein
1-1,2 g/kg BB (60-72 g), lemak cukup 30% dari kebutuhan energi (72 g)
dan kabohidrat dikurangi energi berasal dari protein dan lemak (295,5 g)
6. Pada tingkat asupan pasien dilihat dari hasil monev ke 1 hingga ke 3
mengalami peningkatan, kondisi fisik klinik sangat berpengaruh terhadap
tingkat asupan pasien, tingkat asupan pasien pada energi harian yaitu
50,5% dari kebutuhan, lemak 26,7%, protein 38,75%, dan karbohidrat
56,8% namun, peningkatan asupan makan pada pasien masih belum
mencapai target sehingga harus terus ditingkatkan agar pasien dapat
mencapai taget kebutuhan dan menunjang kesembuhan pasien lebih baik
lagi.
7. Pada intervensi pasien di berikan edukasi oleh ahli gizi tentang pentingnya
mengkonsumsi makanan sesuai taget kebutuhan guna untuk menunjang
kesembuhan pasien sasaran yang diberikan edukasi yaitu pasien dan
keluarga pasien, ahli gizi memberikan motivasi kepada pasien agar dapat
menghabiskan makanannya minimal 70% asupan dari kebutuhan.
CEREBRAL INFARCTION DUE TO THROMBOSIS OF CEREBRAL ARTERIES+DM+HT
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM SYARAF
RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN STUDI KASUS
ASUHAN GIZI PADA PENDERITA
CEREBRAL INFARCTION DUE TO THROMBOSIS OF CEREBRAL ARTERIES+DM+HT
DI BAGIAN PENYAKIT DALAM SYARAF
RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi merupakan faktor risiko utama untuk terjadinya DM (Gibney, 2009).
Hubungannya dengan DM tipe 2 sangatlah kompleks, hipertensi dapat membuat sel
tidak sensitif terhadap insulin (resisten insulin). Insulin berperan meningkatkan ambilan
glukosa di banyak sel dan dengan cara ini juga mengatur metabolisme karbohidrat,
sehingga jika terjadi resistensi insulin oleh sel, maka kadar gula di dalam darah juga
dapat mengalami gangguan (Guyton, 2008).
DM disertai dengan hipertensi adalah jenis yang banyak menyerang masyarakat
dunia. Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada DM..
Hampir 60% DM disertai dengan hipertensi (Harie.2018). Penyakit ini harus ditangani
dengan tepat karena jika tidak dapat berbahaya dan mengancam jiwa. Hal ini juga
harus dilakukan sehingga dapat meminimalisir keparahan dan juga komplikasi pada
organ atau fungsi tubuh lainnya.
Menurut Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2010–2011, penyakit
diabetes mellitus (DM) menempati urutan ke-5 dari 10 besar penyakit tidak menular
penyebab rawat jalan di rumah sakit di Indonesia dengan persentase sebesar 1.92%
pada tahun 2009 dan sebesar 2,6% pada tahun 2010 (Kemenkes RI, 2012). Prevalensi
DM menurut Laporan Nasional tahun 2007 di daerah perkotaan didapatkan persentase
sebesar 6,8% di Provinsi Jawa Timur. Ditinjau dari segi pendidikan, prevalensi DM lebih
tinggi pada kelompok tidak sekolah dan tidak tamat SD. Menurut jenis pekerjaan,
prevalensi DM lebih tinggi pada kelompok ibu rumah tangga dan tidak bekerja, diikuti
pegawai dan wiraswasta. Berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita,
prevalensi DM meningkat sesuai dengan meningkatnya tingkat pengeluaran (Kemenkes
RI, 2008).
DM yang disertai dengan hipertensi sangatlah normal ditemui, hal ini karena
resistensi insulin ang menyebabkan glukosa darah tidak dapat dicerna dengan baik.
Glukosa tersebut menyebabkan timbulnya AGEs dimana pada waktu yang lama akan
menumpuk pada pembuluh darah. Penumpukan ini akan menyebabkan terganggunya
sirkulasi darah. Hal itulah yang menyebabkan hipertensi pada penderita DM.
(Fathoni,2018)
Pada kasus DM Hipertensi yang tidak ditangani dengan tepat, penyakit ini akan
menyebabkan komplikasi pada organ lain, seperti ginjal. Hal ini dapat disebabkan
tekanan darah yang tinggi menyebabkan membran pembuluh darah pada ginjal
membesar. Keadaan tersebut menyebabkan glomerulus pasien DM Hipertensi rusak
sehingga pasien akan menderita DM Nefropati. (Probosari, 2013). Tidak hanya itu,
kasus DM juga dapat menyebabkan ulkus pada luka, neuropati diabetik, dan lain-lain.
B. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan melaksanakan Manajemen Asuhan Gizi
Klinik pada pasien Cerebral Infarction Due To Thrombosis Of Cerebral Arteries dengan
Diabetes Melitus dan Hipertensi Di Ruang Rawat Inap Ruang Jantung RSPAL Dr.
Ramelan Surabaya.
C. Tujuan Khusus
6. Mengidentifikasi resiko masalah gizi dari hasil skrining gizi dan diagnosis medis.
7. Melakukan assesmen gizi kepada pasien Cerebral Infarction Due To Thrombosis Of
Cerebral Arteries dengan Diabetes Melitus dan Hipertensi
8. Menegakkan diagnosis gii kepada pasien Cerebral Infarction Due To Thrombosis
Of Cerebral Arteries dengan Diabetes Melitus dan Hipertensi
9. Menyusun dan melaksanakan intervensi gizi kepada pasien Cerebral Infarction Due
To Thrombosis Of Cerebral Arteries dengan Diabetes Melitus dan Hipertensi
10. Melaksanakan monitoring evaluasi gizi kepada pasien Cerebral Infarction Due To
Thrombosis Of Cerebral Arteries dengan Diabetes Melitus dan Hipertensi
4. Patofisiologis
Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada
metabolisme zat gizi karena insulin tidak dapat bekerja secara optimal, jumlah insulin
yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya. Gangguan tersebut dapat terjadi
karena 3 hal yaitu pertama karena kerusakan pada sel-sel beta pankreas karena
pengaruh dari luar seperti zat kimia, virus dan bakteri. Penyebab yang kedua adalah
penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas dan yang ketiga karena kerusakan
reseptor insulin di jaringan perifer (Fatimah, 2015).
Insulin yang disekresi oleh sel beta pankreas digunakan untuk mengatur
kadar glukosa darah dalam tubuh dan kadar glukosa darah yang tinggi akan
menstimulasi sel beta pankreas untuk mengsekresi insulin (Hanum, 2013). Sel beta
pankreas yang tidak berfungsi secara optimal dapat berakibat pada kurangnya sekresi
insulin sehingga kadar glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta
pankreas sangat banyak seperti contoh penyakit autoimun dan idiopatik.Gangguan
respons metabolik terhadap kerja insulin disebut dengan resistensi insulin. Keadaan ini
dapat disebabkan oleh gangguan reseptor, pre reseptor dan post reseptor sehingga
dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari biasanya untuk mempertahankan kadar
glukosa darah agar tetap normal.
Insulin digunakan untuk menurunkan glukosa darah dengan cara
menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan otot dan lemak serta menekan produksi
glukosa oleh hati menurun. Penurunan sensitivitas insulin menyebabkan resistensi
insulin sehingga kadar glukosa dalam darah tinggi (Prabawati, 2012).
Cheung et al (2012) menyebutkan bahwa hiperglikemia sering disertai
dengan timbulnya sindrom metabolik yaitu hipertensi, dislipidemia, obesitas, disfungsi
endotel dan faktor protrombotik yang kesemuanya itu akan memicu dan memperberat
komplikasi kardiovaskuler. Salah satu komplikasi makroangiopati diabetes dapat terjadi
karena perubahan kadar gula darah, gula darah yang tinggi akan menempel pada
dinding pembuluh darah. Setelah itu terjadi proses oksidasi dimana gula darah bereaksi
dengan protein dari dinding pembuluh darah yang menimbulkan AGEs.
Advanced Glycosylated Endproducts (AGEs) merupakan zat yang dibentuk
dari kelebihan gula dan protein yang saling berikatan. Keadaan ini merusak dinding
bagian dalam dari pembuluh darah, dan menarik lemak yang jenuh atau kolesterol
menempel pada dinding pembuluh darah, sehingga reaksi inflamasi terjadi. Sel darah
putih (lekosit) dan sel pembekuan darah (trombosit) serta bahan-bahan lain ikut
menyatu menjadi satu bekuan plak (plaque), yang membuat dinding pembuluh darah
menjadi keras, kaku dan akhirnya timbul penyumbatan yang mengakibatkan perubahan
tekanan darah yang dinamakan hipertensi (Tandra, 2009). Mutmainah (2012) dalam
penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan antara kadar gula darah dengan
hipertensi pada penderita diabetes melitus tipe 2.
5. Gejala
Gejala yang muncul pada penderita Diabetes Mellitus menurut Alfi (2019) diantaranya :
e. Poliuri (banyak kencing)
Poliuri merupakan gejala awal diabetes yang terjadi apabila kadar gula
darah sampai di atas 160-180 mg/dl. Kadar glukosa darah yang tinggi akan
dikeluarkan melalui air kemih, jika semakin tinggi kadar glukosa darah maka ginjal
menghasilkan air kemih dalam jumlah yang banyak. Akibatnya penderita diabetes
sering berkemih dalam jumlah banyak.
f. Polidipsi (banyak minum)
Polidipsi terjadi karena urin yang dikeluarkan banyak, maka penderita akan
merasa haus yang berlebihan sehingga banyak minum.
g. Polifagi (banyak makan)
Polifagi terjadi karena berkurangnya kemampuan insulin mengelola kadar
gula dalam darah sehingga penderita merasakan lapar yang berlebihan.
h. Sakit kepala
Sakit kepala merupakan gejala umum yang terdapat pada penderita
hipertensi, selain itu gejala seperti rasa berat pada tengkuk juga serng didapati pada
penderita hipertens akut (American Hearth Assosiation, 2017).
6. Faktor resiko
Pasien DM tipe 2 dengan hipertensi memiliki risiko 7 kali lebih besar untuk
mengalami gagal ginjal terminal (ESRD) dan 2-4 kali terjadi penyakit kardiovaskular,
seperti infark miokard, stroke, atau kematian, dibandingkan dengan pasien DM tipe 2
normotensi pada usia yang sama (Selim, dkk, 2013).
Penelitian lain menunjukan bahwa lebih dari 50% pasien DM menderita
Hipertensi dan secara signifikan hipertensi ini mempercepat timbulnya komlikasi DM
terhadap penyakit mikro dan makrovaskular yang meliputi Cardiovascular Disease
(CVD) dan Chronic Kidney Diesease (CKD). DM dengan komorbid hipertensi akan
meningkatkan risiko CVD dan CKD (Lastra, dkk., 2014).
7. Asuhan Gizi
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu
diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah
kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan
sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri (Perkeni, 2015).
e. Protein
Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi. Sumber protein
yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk
susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
f. Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Komposisi yang dianjurkan:
Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %.
Selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu fullcream. Konsumsi
kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.
g. Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45 – 65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi. Pembatasan karbohidrat total <130
g/hari tidak dianjurkan. Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang
diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain. Sukrosa tidak
boleh lebih dari 5% total asupan energi. Pemanis alternatif dapat digunakan
sebagai pengganti glukosa, asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian
(Accepted Daily Intake/ADI). Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat
diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari
kebutuhan kalori sehari.
h. Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang sehat
yaitu <2300 mg/hari. Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu
dilakukan pengurangan natrium secara individual. Sumber natrium antara lain
adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat
dan natrium nitrit.
BAB III
GAMBARAN UMUM PASIEN
B. Assesmen Gizi
7. Riwayat Gizi
c. Riwayat Gizi Sekarang
Pasien mendapatkan diet cair berbahan susu dengan bahan blendera berupa
CDM 6x200cc/24 jam secara enteral. Selain itu pasien juga mendapatkan nutrisi
parenteral berupa Infus PZ 2 klof/hr, sitokinin 3x500mg, anemolat 1x1, pletaal
2x50mg, platogrix 1x1. Pasien terpasang NGT sebagai jalur konsumsi pasien.
Hasil Asupan 24 Jam:
Energi total sebesar 1368 Kkal (memenuhi 87,6% dari kebutuhan)
Protein total sebesar 55,5 gram (memenuhi 94,9% dari kebutuhan)
Lemak total sebesar 43,5 gram (memenuhi 100% dari kebutuhan)
Karbohidrat total sebesar 187,32 gram (memenuhi 77% dari kebutuhan)
Berdasarkan riwayat gizi sekarang dapat diketahui bahwa asupan protein,
dan lemak pasien sudah terpenuhi. Namun untuk asupan energi masih dalam
defisit ringan dan asupan karbohidrat dalam defisit sedang.
8. Pengkuruan Antropometri
Pengukuran antropometri adalah pengukuran tubuh pasien untuk mengetahui
status gizi pasien tersebut. Pada kasus ini pengukuran antropometri menggunakan
IMT. Data yang diperlukan untuk mengetahui IMT pasien adalah BB dan TB. Pada
pasien diketahui BB pasien adalah 68 kg dan TB pasien adalah 168 cm. Untuk
mengetahui IMT maka diperlukan perhitungan yaitu:
IMT = BB(kg)/TB(m)2
IMT = 68/1,682
IMT = 24,1
Didapatkan IMT pasien adalah 24,1. Selanjutnya IMT tersebut dibandingkan
dengan standard menurut WHO. Berikut adalah kategori IMT menurut WHO :
Tabel 1. Kategori IMT
Kategori IMT
BB Kurang <18,5
BB Normal 18,5 – 22,9
BB Lebih : ≥23,0
1. Dengan Resiko 23,0 – 24,9
2. Obes I 25,0 – 29,9
3. Obes II ≥30
9. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan biokimia adalah pemeriksaan yang dilakukan secara uji
laboratoris pada spesimen jaringan tubuh tertentu yang bertujuan untuk mengetahui
suatu masalah pada spesimen tersebut. Pada pasien yaitu Tn. S telah dilakukan uji
specimen darah. Dari uji tersebut dapat diketahui bahwa terdapat beberapa status
biokimia darah yang tidak sesuai dengan nilai rujukan. Berikut adalah hasil uji
biokimia pasien:
Tabel 2. Data Pemeriksaan Laboratorium Tn. S
Indikator Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Interpretasi Hasil
Gula Darah Acak (GDA) 249 mg/dL Tinggi
White Blood Cell (WBC) 16,57 103/uL Tinggi
d. Pemeriksaan Klinis
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis yang telah dilakukan didapatkan data
sebagai berikut:
Tabel 3. Data Pemeriksaan Klinik Tn. S
Indikator Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Interpretasi Hasil
Tekanan Darah 181/104 mmHg Tinggi
Nadi 104/menit Tinggi
Suhu 36,80C Normal
g. Perhitungan Lemak:
Lemak = 25% x Energi Total
Lemak = 25% x 1561,5
Lemak = 390,4 Kkal/9
Lemak = 43,4 gram
h. Perhitungan Karbohidrat:
Karbohidrat = 60% x Energi Total
Karbohidrat = 60% x 1561,5
Karbohidrat = 936,9 Kkal/4
Karbohidrat = 234,2 gram
Standar Pembanding
e. Perhitungan Energi:
Energi: 30/kg BBI
Energi: 30/ 61,2kg
Energi: 1836
f. Perhitungan Protein:
Protein: 10 – 20% total asupan energi
Protein: 10 – 20% 1836/4
Protein: 45,9 – 81,8 gram
g. Perhitungan Lemak:
Lemak: 20 – 25% total asupan energi
Lemak: 20 – 25% 1836/9
Lemak: 40,8 – 51 gram
h. Perhitungan Karbohidrat:
Karbohidrat: 45 – 65% total asupan energi
Karbohidrat: 45 – 65% 1836/4
Karbohidrat: 206,55 – 298,4 gram
Syarat Diet
Energi diberikan untuk memenuhi kebutuhan sehari yaitu 1561,5 Kkal
Protein diberikan cukup sebesar 58,5 gram
Lemak diberikan cukup sebesar 43,4 gram
Karbohidrat diberikan cukup yaitu sebesar 234,2 gram
C. Diagnosis Gizi
Domain Intake
NI-2.3 Kekurangan intake nutrisi enteral berkaitan dengan peningkatan kebutuhan zat
gizi pasien ditandai dengan asupan energi pasien defisit ringan (87,6%) dan Karbohidrat
defisit sedang (77%).
Domain Klinis
NC-2.2 Perubahan nilai laboratorium berkaitan dengan hiperglikemia ditandai dengan
tingginya Gula Darah Acak sebesar 249 mg/dL.
D. Intervensi Gizi
f. Tujuan Intervensi
Membantu mengontrol Gula Darah
Mengantrol tekanan darah
Memberikan diet sesuai kebutuhan kebutuhan dan daya terima pasien
g. Preskripsi Diet
6. Jenis Diet
Enteral:
ND.3.1.2 Makanan siap pakai (komersial) → Pemesanan Diet: Formula
Komersial (Blendera) 6x200cc.
9. Bentuk Makanan
Bentuk makanan cari berupa formula komersial (Blendera) 6x200cc.
10. Frekuensi
Jadwal pemberian dengan interval 3 jam, dengan waktu pemberian yaitu:
Jam 07.00 WIB= 200cc
Jam 09.00 WIB= 200cc
Jam 12.00 WIB= 200cc
Jam 14.00 WIB= 200cc
Jam 18.00 WIB= 200cc
Jam 20.00 WIB= 200cc
h. Perencanaan Edukasi
Tujuan Umum :
Membantu pasien dalam proses pemenuhan kebutuhan zat gizi secara enteral
untuk pasien Cerebral Infraction Due To Thrombosis Of Cerebral Arteries
dengan Diabetes melitus dan Hipertensi.
Tujuan Khusus:
i. Memberikan pengetahuan mengenai cara menyiapkan makanan enteral
untuk pasien.
ii. Memberikan pengetahuan mengenai cara pemberian makanan kepada
pasien.
iii. Memberikan pengetahuan mengenai makanan yang yang dianjurkan,
dibatasi, dan tidak boleh di konsumsi oleh pasien.
Sasaran : Pasien dan Keluarga pasien
Metode : Konsultasi, tanya jawab dan demonstrasi
Alat Peraga : Leaflet makanan cair DM 1500+RG dan contoh makanan
enteral
Materi :
i. Cara menyiapkan makanan enteral pasien, dan hygiene sanitasi
peralatan saat digunakan
ii. Cara pemberian makanan enteral kepada pasien Stroke+DM+HT
iii. Makanan yang yang dianjurkan, dibatasi, dan tidak boleh di konsumis
oleh pasien Stroke+DM+HT
Evaluasi :
Menanyakan kembali materi yang telah diberikan. Sasaran mampu menjawab
semua pertanyaan yang telah diberikan.
4. Monitoring Terhadap Data Penunjang Terkait yaitu GDA dan Tekanan Darah
Tidak dilakukan monitoring terhadap biokimia pasien yaitu Gula Darah Acak
(GDA). Monitoring terkait tekanan darah dilakukan setiap hari dengan hasil tekanan
darah tinggi pada hari 1 (150/90 mmHg).
BAB IV
PEMBAHASAN
1550
1500
1450
1400
1350
1300
1250
Data Awal Hari 1 Hari 2 Hari 3
b) Protein
Protein merupakan salah satu zat makro yang penting bagi kehidupan. Secara
umum protein berfungsi antara lain untuk pertumbuhan, pembentukan komponen struktual,
pengangkut penyimpanan zat gizi, enzim, pembentukan jaringan tubuh, dan sumber energi
(Hardiansyah dan Supariasi, 2017). Berikut merupakan gambaran dari hasil monitoring dan
evaluasi pasien:
c) Lemak
Lemak (lipid) adalah zat organik hidrofobik yang bersifat sukar larut air. Namun,
lemak dapat larut pada pelarut non polar seperti, eter, alkohol, kloroform, dan
benzene. Lemak adalah zat yang kaya akan energi dan berfungsi sebagai sumber
energi yang memiliki peran penting dalam metabolism lemak (Hardinsyah dan
Supariasa, 2017). Berikut merupakan gambaran dari hasil monitoring dan evaluasi
pasien:
Kebutuhan dan Hasil Asupan Lemak
Kebutuhan Lemak
43.52
43.5
43.48
43.46
43.44
43.42
43.4
43.38
43.36
43.34
Data Awal Hari 1 Hari 2 Hari 3
d) karbohidrat
Karbohidrat merupakan zat makanan yang paling cepta menyuplai dan sebagai
bahan bakar tubuh, terutama masa tubuh dalam kondisi lapar. Karbohidrat adalah zat gizi
berupa senyawa organik yang terdiri dari atom karbon hydrogen dan oksigen yang
digunakan sebagai bahan pembentuk energi (Hardiansyah dan Supariasa, 2017). Berikut
merupakan gambaran dari hasil monitoring dan evaluasi pasien:
Kebutuhan dan Hasil Asupan Karbohidrat
Kebutuhan Karbohidrat
250
200
150
100
50
0
Data Awal Hari 1 Hari 2 Hari 3
2. Monitoring Terhadap Data Penunjang Terkait yaitu GDA dan Tekanan Darah
Tidak dilakukan monitoring terhadap biokimia pasien yaitu Gula Darah Acak (GDA).
Monitoring terkait tekanan darah dilakukan setiap hari dengan hasil tekanan darah tinggi
pada hari 1 (150/90 mmHg). Tekanan darah tinggi berkaitan dengan kelebihan gula darah.
Pasien diabetes tidak mempunyai cukup hormon insulin untuk memproses glukosa (gula
dari makanan) atau insulin mereka tidak bekerja dengan efektif. (Gibney, 2009).
Hubungannya dengan DM tipe 2 sangatlah kompleks, hipertensi dapat membuat sel tidak
sensitif terhadap insulin (resisten insulin). Insulin berperan meningkatkan ambilan glukosa di
banyak sel dan dengan cara ini juga mengatur metabolisme karbohidrat, sehingga jika
terjadi resistensi insulin oleh sel, maka kadar gula di dalam darah juga dapat mengalami
gangguan (Guyton, 2008).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil asuhan gizi yang telah dilakukan dan pemantauan selama 3 hari
pada pasien di Ruang Rawat Inap Ruang Jantung RSPAL Dr. Ramelan Surabaya, dapat
disimpulkan:
1. Hasil Assessment
Seorang laki-laki berusia 47 tahun dengan IMT beresiko obesitas (24,1). Pasien
mempunyai riwayat terdahulu DM tipe 2 dan merupakan perokok. Sekarang pasien
menderita Cerebral Infraction Due To Thrombosis Of Cerebral Arteries dengan Diabetes
melitus dan Hipertensi.
Pasien Mengalami kelemahan pada lengan dan tungkai kiri pasien, dengan
keadaan umum pasien lemah, dan brandispike, mual dan muntah. Pasien terpasang
NGT dengan keluhan tersedak karena minum air putih saja. Pasien mendapatkan nutrisi
enteral CDM 6x200cc dengan formula blendera dan nutrisi parenteral berupa Infus PZ 2
klof/hr, sitokinin 3x500mg, anemolat 1x1, pletaal 2x50mg, platogrix 1x1. Kebutuhan
energi pasien sebesar 1561,5 Kkal, protein sebesar 58,5 gram, lemak sebesar 43,4
gram, dan karbohidrat sebesar 234,2 gram.
2. Diagnosa Gizi
Domain Intake
NI-2.3 Kekurangan intake nutrisi enteral berkaitan dengan peningkatan kebutuhan zat
gizi pasien ditandai dengan asupan energi pasien defisit ringan (87,6%) dan Karbohidrat
defisit sedang (77%).
Domain Klinis
NC-2.2 Perubahan nilai laboratorium berkaitan dengan hiperglikemia ditandai dengan
tingginya Gula Darah Acak sebesar 249 mg/dL.
3. Intervensi Gizi
Intervensi gizi bertujuan mengontrol gula darah, emngontrol tekanan darah, dan
memberikan diet sesuai dengan ebutuhan dan daya terima pasien. Preskripsi diet yaitu
3J dengan tepat Jumlah, tepat Jadwal, dan tepat Jenis, serta rendah garam. Diet cair
berupa makanan formula komersial (Blendera) dengan frekuansi 6x200cc ewat enteral
melalui NGT.
4. Hasil Monitoring dan Evaluasi
Pasien juga mengalami tekanan darah tinggi pada monitoring hari pertama,
sehingga diperlukan koordinasi dengan DPJP agar dapat menurunkan tekanan darah
pasien agar kembali normal. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi diketahui
bahwa terdapat masalah berupa asupan energi pasien yang defisit ringan, dan asupan
karbohidrat yang defisit sedang. Tindak lanjut yang dilakukan yaitu menambah
konsentrasi larutan sesuai dengan perhitungan kebutuhan, sehingga asupan pasien
tidak defisit.
B. Saran
1. Bagi Rumah Sakit
Hasil asuhan gizi mengenai penatalaksanaan terapi diet pada pasien Cerebral
Infraction Due To Thrombosis Of Cerebral Arteries dengan Diabetes melitus dan
Hipertensi di Ruang Rawat Inap Ruang Jantung RSPAL Dr. Ramelan Surabaya dapat
dijadikan sebagai acuan dan perbaikan mengenai proses asuhan gizi.
2. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang sudah didapatkan
sebelumnya dengan cara membuat asuhan gizi terhadap pasien.
3. Bagi Pasien dan Keluarga
Dapat menerapkan terapi diet pada penderita Cerebral Infraction Due To Thrombosis
Of Cerebral Arteries dengan Diabetes melitus dan Hipertensi di Ruang Rawat Inap
Ruang Jantung RSPAL Dr. Ramelan Surabaya setelah keluar rumah sakit.
LEMBAR PERSETUJUAN
Menyetujuti,
Mengetahui,
Kepala Subdep Gizi
Rumkital Dr. Ramelan Surabaya
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hematemesis Melena adalah Buang Air Besar (BAB) dengan tinja berwarna
hitam, mirip aspal. Biasanya disebabkan karena pendarahan disaluran makan bagian
atas, darah berwarna hitam karena bereaksi dengan asam lambung. Diperlukan
darah sebanyak 50-100 mL untuk menimbulkan melena (Cahyono, S). Melena atau
Buang Air Besar (BAB) berdarah merupakan keadaan yang diakibatkan oleh
pendarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA). Negara Barat insidensi pendarahan
akut Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) mencapai 100 per 100.000
penduduk/tahun, laki-laki lebih banyak dari wanita, insidensi ini mengingatkan sesuai
dengan bertambahnya usia, di Indonesia kejadian yang sebenarnya dipopulasi tidak
diketahui. Berbeda dengan di Negara Barat dimana pendarahan karena tukak peptik
menempati urutan terbanyak maka di indonesia pendarahan karena ruptura varises
gastroesofageal merupakan penyebab tersering yang sekitar 50-60%, gastritis
erosiva hemoragika sekitar 25-30%, tukak peptik sekitar 10-15%, dan karena sebab
lainnya <5% (Fadila.M, 2015).
Hematemesis adalah muntah darah sedangkan melena adalah buang air
besar seperti aspal, umumnya disebabkan perdarahan saluran bagian atas mulai
dari esofagus sampai duodenum. Warna merah gelap/ hitam berasal dari konversi
Hemoglobin menjadi Hematin oleh bakteri setelah 14 jam. Umumnya perdarahan
SMBA (saluran makan bagian atas) termasuk penyakit gawat darurat yang
memerlukan tindakan medik intensif yang segera ke rumah sakit/ puskesmas karena
angka kematiannya yang tinggi, terutama pada perdarahan Varises Esofagus. Pada
tahun 2015 berkisar antara 40- 85%. Penyebab perdarahan saluran cerna bagian
atas yang terbanyak dijumpai di Indonesia adalah pecahnya Varises Esofagus
dengan rata-rata 40 – 55%, kemudian menyusul gastritis hemoragika dengan 20 –
25%, ulkus peptikum dengan 15 – 20 %, sisanya oleh keganasan, uremia dan
sebagainya (Padila, 2013).
Pasien dengan pendarahan Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) mengalami
penurunan status gizi sehingga akan mempengaruhi kadar protein didalam darah
yang menyebabkan tubuh kekurangan asam amino esensial untuk mensintesis
berbagai macam zat termasuk hormon. Jenis protein yang paling sering diukur
adalah albumin serum,level albumin yang rendah merefleksikan status nutrisi
penderita yang dihubungkan dengan proses penyakit dan atau proses pemulihan.
Dukungan nutrisi sangat penting pada pengelolaan pasien dengan pendarahan
Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) dan dapat diberikan secara enteral, parenteral
atau bersama-sama secara enteral dan parenteral. Apabila usus berfungsi baik,
nutrisi diberikan dengan memakai konsep NED, pada keadaan usus tidak berfungsi
baik, maka bisa diberikan nutrisi parenteral atau nutrisi enteral dan parenteral
bersama-sama sehingga kebutuhan kalori, cairan, mineral, dan trace element dapat
terpenuhi (Faridah.V, 2017). Menurut Prof. DR. Dr. A. Halim Mubin, SpPD, MSc,
KPTI penatalaksaan pada klien Melena dalam memenuhi gizi klien yaitu dengan
terapi umum : Diet lunak , dilarang makanan berlemak, pedas, keras, alcohol, asam,
atau kopi, terapi komplikasi : pasang sonde lambung, memberikan cairan per infuse,
transfusi darah (Mubin. H) Kebutuhan nutrisi merupakan kebutuhan terhadap proses
pemasukan dan pengolahan zat makanan oleh tubuh yang bertujuan menghasilkan
energi dan digunakan dalam aktivitas tubuh (Hidayat, 2012)
B. Tujuan Umum
Memberikan asuhan gizi kepada pasien dengan diagnosa medis Melena
C. Tujuan Khusus
1. Melakukan pengkajian gizi pasien
2. Menetapkan diagnosis gizi dibawah bimbingan CI/Pembimbing
3. Merencanakan intervensi gizi dan mengimplementasikan rencana intervensi
4. Melakukan monitoring evaluasi
BAB II
TINJAUAN USTAKA
A. Definisi
Melena adalah pengeluaran faeses atau tinja yang berwarna hitam seperti ter yang
disebabkan oleh adanya perdarahan saluran makan bagian atas. Warna
hematemesis tergantung pada lamanya hubungan atau kontak antara drah dengan
asam lambung dan besar kecilnya perdarahan, sehingga dapat berwarna seperti
kopi atau kemerah-merahan dan bergumpal-gumpal. Biasanya terjadi hematemesis
bila ada perdarahan di daerah proksimal jejunun dan melena dapat terjadi tersendiri
atau bersama-sama dengan hematemesis. Paling sedikit terjadi perdarahan
sebanyak 50-100 ml, baru dijumpai keadaan melena. Banyaknya darah yang keluar
selama hematemesis atau melena sulit dipakai sebagai patokan untuk menduga
besar kecilnya perdarahan saluran makan bagian atas. Hematemesis dan melena
merupakan suatu keadaan yang gawat dan memerlukan perawatan segera di rumah
sakit. (Padila.2013:267).
Hematemesis adalah muntah darah dan biasanya disebabkan oleh penyakit saluran
cerna bagian atas. Melena adalah keluarnya feses berwarna hitam per rektal yang
mengandung campuran darah, biasanya disebabkan oleh perdarahan usus
proksimal (Grace & Borley, 2007).
Hematesis melena merupakan suatu perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA)
yang termasuk dalam keadaan gawat darurat yang dapat terjadi karena pecahnya
varises esofagus, gastritis erosif, atau ulkus peptikum. (Arief Mansjoer, 2000 : 634).
B. Etiologi
Penyebab terjadinya hematemesis melena, antara lain :
1. Kelainan esofagus: varise, esofagitis, keganasan.
2. Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung dan duodenum, keganasan
dan lain-lain.
3. Penyakit darah: leukemia, DIC (disseminated intravascular coagulation), purpura
trombositopenia
4. Penyakit sistemik lainnya: uremik, dan lain-lain.
5. Pemakaian obat-obatan yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid,
alkohol, dan lai-lain.
Penting sekali menentukan penyebab dan tempat asal perdarahan saluran makan
bagian atas, karena terdapat perbedaan usaha penanggulangan setiap macam
perdarahan saluran makan bagian atas. Penyebab perdarahan saluran makan
bagian atas yang terbanyak dijumpai di Indonesia adalah pecahnya varises esofagus
dengan rata-rata 45-50 % seluruh perdarahan saluran makan bagian atas.
a. Kelainan di esophagus
1) Varises esophagus
Penderita dengan hematemesis melena yang disebabkan pecahnya varises
esophagus, tidak pernah mengeluh rasa nyeri atau pedih di epigastrium.Pada
umumnya sifat perdarahan timbul spontan dan masif.Darah yang
dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman dan tidak membeku karena sudah
bercampur dengan asam lambung.
2) Karsinoma esophagus
Karsinoma esophagus sering memberikan keluhan melena daripada
hematemesis.Disamping mengeluh disfagia, badan mengurus dan anemis,
hanya sesekali penderita muntah darah dan itupun tidak masif.
3) Sindroma Mallory – Weiss
Sebelum timbul hematemesis didahului muntah-muntah hebat yang pada
akhirnya baru timbul perdarahan.misalnya pada peminum alkohol atau pada
hamil muda. Biasanya disebabkan oleh karena terlalu sering muntah -
muntah hebat dan terus - menerus.
4) Esofagitis dan tukak esophagus
Esophagus bila sampai menimbulkan perdarahan lebih sering intermiten atau
kronis dan biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul melena daripada
hematemesis.Tukak di esophagus jarang sekali mengakibatkan perdarahan
jika dibandingka dengan tukak lambung dan duodenum.
b. Kelainan di lambung
1) Gastritis erisova hemoragika
Hematemesis bersifat tidak masif dan timbul setelah penderita minum obat
obatan yang menyebabkan iritasi lambung.Sebelum muntah penderita
mengeluh nyeri ulu hati.
2) Tukak lambung
Penderita mengalami dispepsi berupa mual, muntah , nyeri ulu hati dan
sebelum hematemesis didahului rasa nyeri atau pedih di epigastrium yang
berhubungan dengan makanan. Sifat hematemesis tidak begitu masif dan
melena lebih dominan dari hematemesis.
c. Kelainan darah : polisetimia vera, limfoma, leukemia, anemia, hemofili,
trombositopenia purpura.
C. Patofisiologis
Usaha mencari penyebab perdarahan saluran makanan dapat dikembalikan kepada
factor-faktor penyebab perdarahan, antara lain : factor pembuluh darah
(vasculopathy) seperti pada tukak peptic, pecahnya varises esophagus; factor
trobosit (thrombopathy) seperti pada ITP, factor kekurangan zat-zat pembentuk
darah (coagulopathy) seperti pada hemophilia, sirosis hati dan lain-lain. Malahan
pada serosis hati dapat terjadi ketiganya : vasculopathy, pecahnya varises
esophagus, thrombopathy, terjadinya pengurangan trombosit di sirkulasi perifer
akibat hipersplenisme, dan terdapat pula coagulophaty akibat kegagalan sel-sel hati.
Khusus pada pecahnya varises esophagus ada 2 teori, yaitu teori erosi yaitu
pecahnya pembuluh darah karena erosi dari makanan yang kasar (berserat tinngi
dan kasar), atau minum OAINS (NSAID), dan teori erupsi karena tekanan vena porta
yang terlalu tinggi, yang dapat pula dicetuskan oleh peningkatan tekanan intra
abdomen yang tiba-tiba seperti pada mengejan, mengangkat barang berat, dan lain-
lain.
Perdarahan saluran makan dapat pula dibagi menjadi perdarahan primer, seperti
pada : hemophilia, ITP, hereditary haemorrhagic telangiectasi, dan lain-lain. Dapat
pula secara sekunder, seperti pada kegagalan hati, uremia, DIC, dan iatrigenic
seperti penderita dengan terapi antikoagulan, terapi fibrinolitik, drug-induce
thrombocytopenia, pemberian transfuse darah yang massif, dan lain-lain. (I Made
Bakta, 1999 :55)
Adanya riwayat dyspepsia memperberat dugaan ulkus peptikum. Begitu juga riwayat
muntah-muntah berulang yang awalnya tidak berdarah, konsumsi alkohol yang
berlebihan mengarahkan ke dugaan gastritis serta penyakit ulkus peptikum. Adanya
riwayat muntah-muntah berulang yang awalnya tidak berdarah lebih kearah Mallory-
Weiss. Konsumsi alkohol berlebihan mengarahkan dugaan ke gastritis (30-40%),
penyakit ulkus peptikum (30-40%), atau kadang-kadang varises. Penurunan berat
badan mengarahkan dugaan ke keganasan. Perdarahan yang berat disertai adanya
bekuan dan pengobatan syok refrakter meningkatkan kemungkinan varises.
Adanya riwayat pembedahan aorta abdominalis sebelumnya meningkatkan
kemungkinan fistula aortoenterik. Pada pasien usia muda dengan riwayat
perdarahan saluran cerna bagian atas singkat berulang (sering disertai kolaps
hemodinamik) dan endoskopi yang normal, harus dipertimbangkan lesi Dieulafoy
(adanya arteri submukosa, biasanya dekat jantung, yang dapat menyebabkan
perdarahan saluran pencernaan intermitten yang banyak).
D. Manifestasi Klinis
Gejala yang ada yaitu :
1. Muntah darah (hematemesis)
2. Mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena)
3. Mengeluarkan darah dari rectum (hematoskezia)
4. Denyut nadi yang cepat, TD rendah
5. Akral teraba dingin dan basah
6. Nyeri perut
7. Nafsu makan menurun
8. Jika terjadi perdarahan yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya
anemia, seperti mudah lelah, pucat, nyeri dada dan pusing.
E. Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien Hematemesis Melena adalah koma hepatik
(suatu sindrom neuropsikiatrik yang ditandai dengan perubahan kesadaran,
penurunan intelektual, dan kelainan neurologis yang menyertai kelainan parenkim
hati), syok hipovolemik (kehilangan volume darah sirkulasi sehingga curah jantung
dan tekanan darah menurun), aspirasi pneumoni (infeksi paru yang terjadi akibat
cairan yang masuk saluran napas), anemi posthemoragik (kehilangan darah yang
mendadak dan tidak disadari).
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
a. Darah : Hb menurun / rendah
b. SGOT, SGPT yang meningkat merupakan petunjuk kebocoran dari sel yang
mengalami kerusakan.
c. Albumin, kadar albumin yang merendah merupakan
d. cerminan kemampuan sel hati yang kurang.
e. Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan
pembatasan garam dalam diet.
f. Peninggian kadar gula darah.
g. Pemeriksaan marker serologi pertanda ureus seperti HBSAg/HBSAB,
HBeAg, dll
2. Radiologi
a. USG untuk melihat gambaran pembesaran hati, permukaan splenomegali,
acites
b. Esofogus untuk melihat perdarahan esofogus
c. Angiografi untuk pengukuran vena portal
G. Penatalaksanaan
Pengobatan penderita perdarahan saluran makan bagian atas harus sedini mungkin
dan sebaiknya diraat di rumah sakit untuk mendapatkan pengawasan yang teliti dan
pertolongan yang lebih baik. Pengobatan penderita perdarahan saluran makan
bagian atas meliputi :
1. Pengawasan dan pengobatan umum
a. Penderita harus diistirahatkan mutlak, obat-obat yang menimbulkan efek
sedatif morfin, meperidin dan paraldehid sebaiknya dihindarkan.
b. Penderita dipuasakan selama perdarahan masih berlangsung dan bila
perdarahan berhenti dapat diberikan makanan cair.
c. Infus cairan langsung dipasang & diberilan larutan garam fisiologis slama
belum ada darah.
d. Pengawasan tekanan darah, nadi, kesadaran penderita dan bila perlu
dipasang CVP monitor.
e. Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk
mengikuti keadaan perdarahan.
f. Transfusi darah diperlukan untuk menggati darah yang hilang dan
mempertahankan kadar hemoglobin 50-70 % harga normal.
g. Pemberian obat hemostatik seperti vitamin K, 4 x 10 mg/hari, karbasokrom
(Adona AC), antasida dan golongan H2 reseptor antagonis (simetidin atau
ranitidin) berguna untuk menanggulangi perdarahan.
h. Dilakukan klisma atau lavemen dgn air biasa disertai pemberian antibiotika yg
tidak diserap oleh usus, sebagai tindadakan sterilisasi usus. Tindakan ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan produksi amoniak oleh
bakteri usus, dan dapat menimbulkan ensefalopati hepatik.
2. Pemasangan pipa naso-gastrik
Tujuan pemasangan pipa naso gastrik adalah untuk aspirasi cairan lambung,
lavage (kumbah lambung) dengan air , dan pemberian obat-obatan. Pemberian
air pada kumbah lambung akan menyebabkan vasokontriksi lokal sehingga
diharapkan terjadi penurunan aliran darah di mukosa lambung, dengan demikian
perdarahan akan berhenti. Kumbah lambung ini akan dilakukan berulang kali
memakai air sebanyak 100- 150 ml sampai cairan aspirasi berwarna jernih dan
bila perlu tindakan ini dapat diulang setiap 1-2 jam. Pemeriksaan endoskopi
dapat segera dilakukan setelah cairan aspirasi lambung sudah jernih.
BAB III
IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. XX
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Usia : 76 Tahun
4. Suku : Jawa
5. Status Pernikahan: Menikah
6. Pekerjaan : Mengurus rumah tangga
7. Agama : Kristen
8. Pendidikan : SMA
9. Bahasa : Indonesia
10. Diagnosis Medis : Melena
11. Jenis Diet : Diet Parenteral
BB 53 kg
TB 157 cm
IMT 53/1,572 = 21,50
AKG, 2019
2. Pemeriksaan Biokimia (BD)
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (25 Februari 2021)
7) Tempat
- Bed pasien
8) Media
- Leaflet
8. Implementasi
Implementasi yang dilakukan adalah pemberian diet parenteral yang
pengaplikasiannya melalui vena.
9. Monitoring dan Evaluasi
1) Monitoring dan Evaluasi Biokimia (25 Februari 2021)
AKTIFITAS FISIK: -
A. Kesimpulan
1. Diagnosa medis pasien : Hematemesis Melena
2. Tidak ada hasil antropometri yang menunjukkan status gizi sehingga
menggunakan standar dari AKG untuk mengolah kasus.
3. Hasil fisik/klinis pasien menunjukkan Tensi 135/82 mmhg (tinggi), Nadi 72x/mnt,
suhu 36,4 oC, RR 20x/mnt (rendah), dan KU lemah motorik lat D hemidiskinesia
D. Px datang ke rumah sakit sudah menggunakan selang nasogastrik yang
sudah mengeluarkan darah.
4. Hasil biokimia pasien menunjukkan Hemoglobin 7.49 (rendah), Albumin 2.33
(tinggi), BUN 33 mg/dl (tinggi), Chlorida 90.0 mmol/L (rendah), Kalium 2.36
mmol/L (rendah), Kreatinin 1.6 mg/dl (tinggi) dan Natrium 131.8 mmol/L (rendah).
5. Hasil dietary history tidak dapat diidentifikasi karena tidak adanya data dietary
history pada kasus tersebut.
6. Diagnosis gizi pasien meliputi :
- NC.2.1
Perubahan kemampuan mengasorpsi atau memetabolisme zat gizi atau
zat bioaktif pada saluran organ pencernaan ditandai dengan
ketidaknormalan enzim-enzim pencernaan pada feses yaitu BAB darah
merah kehitaman.
- NC – 2.2
Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi khusus yang berkaitan
dengan adanya pendarahan saluran pencernaan bagian atas yang
ditandai dengan ketidaknormalan kadar BUN (tinggi) dan kreatinin (tingi)
7. Implementasi yang dilakukan adalah pemberian diet parenteral yang
pengaplikasiannya melalui vena.
8. Hasil pengamatan selama studi kasus :
Pasien menderita Diabetes Melitus sejak 5 tahun yang lalu. Saat ini pasien
mengalami Hematemesis Melena atau pendarahan organ saluran pencernaan
yang ditandai dengan keluarga darah pada selang nasogastrik (NGT) dan BAB
darah merah kehitaman.
B. Saran
1. Pasien sebaiknya melakukan diet yang sudah dianjurkan.
2. Pasien sebaiknya melakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai penyakit
pasien.
3. Pasien sebaiknya melakukan perawatan medis secara intensif.
LEMBAR PERSETUJUAN
Menyetujuti,
Mengetahui,
Kepala Subdep Gizi
Rumkital Dr. Ramelan Surabaya
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh turunan coronavirus baru,
‘CO’ diambil dari corona, ‘VI’ virus, dan ‘D’ disease (penyakit). COVID-19 disebabkan
oleh SARS-COV2 yang termasuk dalam keluarga besar coronavirus yang sama
dengan penyebab SARS pada tahun 2003, hanya berbeda jenis virusnya. Gejalanya
mirip dengan SARS, namun angka kematian SARS (9,6%) lebih tinggi dibanding
COVID-19 (saat ini kurang dari 5%), walaupun jumlah kasus COVID-19 jauh lebih
banyak dibanding SARS. COVID-19 juga memiliki penyebaran yang lebih luas dan
cepat ke beberapa negara dibanding SARS (Tim Kerja Kementerian Dalam Negeri,
2020). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan wabah koronavirus
2019-2020 sebagai Kesehatan Masyarakat Darurat Internasional (PHEIC) pada 30
Januari 2020, dan pandemi pada 11 Maret 2020.
Wabah penyakit ini begitu sangat mengguncang masyarakat dunia, hingga
hampir 200 Negara di Dunia terjangkit oleh virus ini termasuk Indonesia. Berbagai
upaya pencegahan penyebaran virus Covid-19 pun dilakukan oleh pemerintah di
negara-negara di dunia guna memutus rantai penyebaran virus Covid-19 ini, yang
disebut dengan istilah lockdown dan social distancing (Supriatna, 2020).
Sejak 31 Desember 2019 hingga 3 Januari 2020 kasus ini meningkat pesat,
ditandai dengan dilaporkannya sebanyak 44 kasus. Tidak sampai satu bulan,
penyakit ini telah menyebar di berbagai provinsi lain di China, Thailand, Jepang, dan
Korea Selatan. Sampel yang diteliti menunjukkan etiologi coronavirusbaru, awalnya,
penyakit ini dinamakan sementara sebagai 2019 novel coronavirus (2019-nCoV),
kemudian WHO mengumumkan nama baru pada 11 Februari 2020 yaitu Coronavirus
Disease (COVID-19) yang disebabkan oleh virusSevere Acute Respiratory
Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Virus ini dapat ditularkandari manusia ke
manusia dan telah menyebar secara luas. Kasus terbaru pada tanggal 13 Agustus
2020, WHO mengumumkan COVID-19, terdapat 20.162.474 juta kasus konfirmasi
dan 737.417 ribu kasus meninggal dimana angka kematian berjumlah 3,7 % di
seluruh dunia, sementara di Indonesia sudah ditetapkan 1.026.954 juta kasus
dengan spesimen diperiksa, dengan kasus terkonfirmasi 132.138 (+2.098) dengan
positif COVID-19 sedangkan kasus meninggal ialah 5.968 kasus yaitu 4,5% (PHEOC
Kemenkes RI, 2020).
Diabetes mellitus penyakit gangguan metabolik terutama metabolisme
karbohidrat yang disebabkan oleh berkurangnya atau ketiadaan hormon insulin dari
sel beta pankreas, atau akibat gangguan fungsi insulin, atau keduanya (Sutedjo,
2010). Terdapat dua jenis penyakit diabetes mellitus, yaitu Diabetes mellitus tipe I
(insulin-dependent diabetes mellitus) dan diabetes mellitus tipe II (noninsulin-
dependent diabetes mellitus). Diabetes mellitus tipe I yaitu dicirikan dengan
hilangnya sel penghasil insulin pada pulau-pulau langhernas pankreas sehingga
terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Diabetes mellitus tipe II, terjadi akibat
ketidakmampuan tubuh untuk merespon dengan wajar terhadap aktivitas insulin
yang dihasilkan pankreas (resistensi insulin), sehingga tidak tercapai kadar glukosa
yang normal dalam darah. Diabetes mellitus tipe II lebih banyak ditemukan dan
meliputi 90% dari semua kasus diabetes di seluruh dunia (Maulana, 2009).
Menurut WHO tahun 2011, diabetes mellitus termasuk penyakit yang paling
banyak diderita oleh penduduk di seluruh dunia dan merupakan urutan ke empat dari
prioritas penelitian nasional untuk penyakit degeneratif. Prevalensi Diabetes Mellitus
pada populasi dewasa di seluruh dunia diperkirakan akan meningkat sebesar 35%
dalam dua dasawarsa dan menjangkit 300 juta orang dewasa pada tahun 2025.
Bagian terbesar peningkatan angka pravalensi ini akan terjadi di negara-negara
berkembang (Gibney, 2009).
Berdasarkan trend statistik selama 10 tahun terakhir IDF memprediksi bahwa
Indonesia akan berada pada peringkat ke enam dengan jumlah penderita mencapai
12 juta jiwa pada tahun 2030 (IDF, 2011). Peningkatan jumlah penderita diabetes ini
90% hingga 95% adalah diabetes mellitus tipe II. Diabetes mellitus tipe II ini terjadi
akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin atau karena gangguan sekresi insulin
(Smeltzer & Bare, 2013).
Di Indonesia, diabetes mellitus berada diurutan 4 penyakit kronis berdasarkan
pravalensinya. Data Riskesdas tahun 2013, menyatakan prevalensi nasional
penyakit diabetes mellitus adalah 1,5%. Merujuk kepada prevalensi nasional,
Sumatera Barat memiliki prevalensi total DM sebanyak 1,3%. Dimana Sumatera
Barat berada diurutan 14 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Berdasarakan
umur, penderita banyak dalam rentang usia 56-64 tahun dengan prevalensi sebesar
4,8% (Kemenkes, 2013).
B. Tujuan Umum
Memberikan asuhan gizi kenapa pasien dengan diagnose medis Covid-19 disertai
Diabetes Melitus
C. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat melakukan skrining gizi kepada pasien menggunakan
perangkat MST
2. Mahasiswa dapat Melakukan pengkajian gizi kepada pasien
3. Mahasiswa dapat Menetapkan diagnosis gizi dibawah bimbingan CI/Pembimbing
4. Mahasiswa dapat Merencanakan intervensi gizi dan mengimplementasikan
rencana intervensi
5. Mahasiswa dapat Melakukan monitoring dan evaluasi kepada pasien
D. Manfaat Studi Kasus
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta pengalaman mahasiswa dalam
merencanakan manajemen proses asuhan gizi klinik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. COVID ARDS
a. Pengertian Covid-19
COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus severe acute
respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). COVID-19 dapat
menyebabkan gangguan sistem pernapasan, mulai dari gejala yang ringan
seperti flu, hingga infeksi paru-paru, seperti pneumonia. COVID-19
(coronavirus disease 2019) adalah jenis penyakit baru yang disebabkan oleh
virus dari golongan coronavirus, yaitu SARS-CoV-2 yang juga sering disebut
virus Corona.
b. Virologi Covid-19
Virus Corona merupakan virus RNA dengan ukuran partikel 60-140
nm (Meng dkk., 2020; Zhu dkk., 2020). Xu dkk. (2020) melakukan penelitian
untuk mengetahui agen penyebab terjadinya wabah di Wuhan dengan
memanfaatkan rangkaian genom 2019-nCoV, yang berhasil diisolasi dari
pasien yang terinfeksi di Wuhan. Rangkaian genom 2019-nCoV kemudian
dibandingkan dengan SARS-CoV dan MERS-CoV. Hasilnya, beberapa
rangkaian genom 2019-nCoVyang diteliti nyaris identik satu sama lain dan
2019-nCoVberbagirangkaian genom yang lebih homolog dengan SARS-CoV
dibanding dengan MERS-CoV.
Penelitian lebih lanjut oleh Xu dkk.(2020) dilakukan untuk mengetahui
asal dari 2019-nCoV dan hubungan genetiknya dengan virus Corona lain
dengan menggunakan analisis filogenetik. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa 2019-nCoV termasuk dalam genus betacoronavirus (Xu dkk.,
2020).Penelitian serupa untuk mengetahui agen penyebab wabah di Wuhan
juga dilakukan oleh Zhu dkk. (2020).
Hasil mikrograf elektron dari partikel untai negatif 2019-nCoV
menunjukkan bahwa morfologi virus umumnya berbentuk bola dengan
beberapa pleomorfisme. Diameter virus bervariasi antara 60-140 nm. Partikel
virus memiliki protein spike yang cukup khas, yaitu sekitar 9-12 nm dan
membuat penampakan virus mirip seperti korona matahari. Morfologi yang
didapatkan oleh Zhu dkk. (2020) serupa dengan family Coronaviridae.
Hasil analisis filogenetik yang dilakukan oleh Zhu dkk.(2020)
menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Xu dkk. (2020), bahwa virus
ini masuk dalam genus beta coronavirus dengan sub genus yang sama
dengan virus Corona yang menyebabkan wabah Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS) pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. International
Virus Classification Commisson menamakan agen kausatif ini sebagai SARS-
CoV-2 (Lingeswaran dkk., 2020; Susilo dkk., 2020).
Mekanisme virulensi virus corona berhubungan dengan protein
struktural dan protein nonstruktural. Virus Corona menyediakan messenger
RNA (mRNA) yang dapat membantu proses translasi dari proses
replikasi/transkripsi. Gen yang berperan dalam proses replikasi/transkripsi ini
mencakup 2/3 dari rangkaian RNA 5’-end dan dua Open Reading Frame
(ORF) yang tumpang tindih, yaitu ORF1a dan ORF1b. Dalam tubuh inang,
virus Corona melakukan sintesis poliprotein 1a/1ab (pp1a/pp1ab).
Proses transkripsi pada sintesis pp1a/pp1ab berlangsung melalui
kompleks replikasi-transkripsi di vesikel membran ganda dan juga
berlangsung melalui sintesis rangkaian RNA subgenomik. Terdapat 16
protein non struktural yang dikode oleh ORF. Bagian 1/3 lainnya dari
rangkaian RNA virus, yang tidak berperan dalam proses replikasi/transkripsi,
berperan dalam mengkode 4 protein struktural, yaitu protein S (spike), protein
E (envelope), protein M (membrane), dan protein N (nucleocapsid) (Gennaro
dkk., 2020; Ye dkk., 2020).
Jalan masuk virus ke dalam sel merupakan hal yang esensial untuk
transmisi. Seluruh virus Corona mengode gliko protein permukaan, yaitu
protein spike (protein S), yang akan berikatan dengan reseptor inangdan
menjadi jalan masuk virus ke dalam sel. Untuk genus betacoronavirus,
terdapat domain receptor binding pada protein S yang memediasi interaksi
antara reseptor pada sel inang dan virus. Setelah ikatan itu terjadi, protease
pada inang akan memecah protein S virus yang selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya fusi peptida spike dan memfasilitasi masuknya virus
ke dalam tubuh inang (Letko dkk., 2020). Mekanisme virulens ivirus Corona
berhubungan dengan fungsi protein non-struktural dan protein struktural.
Penelitian telah menekankan bahwa protein non-struktural mampu untuk
memblok respon imun innateinang. Protein E pada virus memiliki peran
krusial pada patogenitas virus. Protein E akan memicu pengumpulan dan
pelepasan virus (Gennaro dkk., 2020).
c. Patogenesis Covid-19
Virus dapat melewati membran mukosa, terutama mukosa nasal dan
laring, kemudian memasuki paru-paru melalui traktus respiratorius.
Selanjutnya, virus akan menyerang organ target yang mengekspresikan
Angiotensin Converting Enzyme2 (ACE2), seperti paru-paru, jantung, sistem
renal dan traktus gastrointestinal (Gennaro dkk., 2020).
Protein S pada SARS-CoV-2 memfasilitasi masuknya virus corona ke
dalam sel target. Masuknya virus bergantung pada kemampuan virus untuk
berikatan dengan ACE2, yaitu reseptor membran ekstraselular yang
diekspresikan pada sel epitel, dan bergantung pada primingprotein S ke
protease selular, yaitu TMPRSS2 (Handayani dkk., 2020; Kumar dkk., 2020;
Lingeswaran dkk., 2020). Protein S pada SARS-CoV-2 dan SARS-CoV
memiliki struktur tiga dimensi yang hampir identik pada domain receptor-
binding. Protein S pada SARS-CoV memiliki afinitas ikatan yang kuat dengan
ACE2 pada manusia. Pada analisis lebih lanjut, ditemukan bahwa SARS-
CoV-2 memiliki pengenalan yang lebih baik terhadap ACE2 pada manusia
dibandingkan dengan SARS-CoV. (Zhangdkk., 2020).
Periode inkubasi untuk COVID-19 antara 3-14 hari. Ditandai dengan
kadar leukosit dan limfosit yang masih normal atau sedikit menurun, serta
pasien belum merasakan gejala. Selanjutnya, virus mulai menyebar melalui
aliran darah, terutama menuju ke organ yang mengekspresikan ACE2 dan
pasien mulai merasakan gejala ringan. Empat sampai tujuh hari dari gejala
awal, kondisi pasien mulai memburuk dengan ditandai oleh timbulnya sesak,
menurunnya limfosit, dan perburukan lesi di paru. Jika fase ini tidak teratasi,
dapat terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARSD), sepsis, dan
komplikasi lain. Tingkat keparahan klinis berhubungan dengan usia (di atas
70 tahun), komorbiditas seperti diabetes, penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK), hipertensi, dan obesitas (Gennaro dkk., 2020; Susilo dkk., 2020).
Sistem imun innatedapat mendeteksi RNA virus melalui RIG-I-like
receptors, NOD-like receptors, dan Toll-like receptors. Hal ini selanjutnya
akan menstimulasi produksi interferon (IFN), serta memicu munculnya efektor
anti viral seperti sel CD8+, sel Natural Killer (NK), dan makrofag. Infeksi dari
betacoronavirus lain, yaitu SARS-CoV dan MERS-CoV, dicirikan dengan
replikasi virus yang cepat dan produksi IFN yang terlambat, terutama oleh sel
dendritik, makrofag, dan sel epitel respirasi yang selanjutnya diikuti oleh
peningkatan kadar sitokin proinflamasi seiring dengan progres penyakit
(Allegra dkk., 2020; Lingeswaran dkk., 2020).
Infeksi dari virus mampu memproduksi reaksi imunyang berlebihan
pada inang. Pada beberapa kasus, terjadi reaksi yang secara keseluruhan
disebut “badai sitokin”. Badai sitokin merupakan peristiwa reaksi inflamasi
berlebihan dimana terjadi produksi sitokin yang cepat dan dalam jumlah yang
banyak sebagai respon dari suatu infeksi. Dalam kaitannya dengan Covid-19,
ditemukan adanya penundaan sekresi sitokin dan kemokin oleh sel imun
innate dikarenakan blokade oleh protein non-struktural virus. Selanjutnya, hal
ini menyebabkan terjadinya lonjakan sitokin proinflamasi dan kemokin (IL-6,
TNF-α, IL-8, MCP-1, IL-1 β, CCL2, CCL5, dan interferon) melalui aktivasi
makrofag dan limfosit. Pelepasan sitokin ini memicu aktivasi sel imun adaptif
seperti sel T, neutrofil, dan sel NK, bersamaan dengan terus terproduksinya
sitokin proinflamasi. Lonjakan sitokin proinflamasi yang cepat ini memicu
terjadinya infiltrasi inflamasi oleh jaringan paru yang menyebabkan kerusakan
paru pada bagian epitel dan endotel. Kerusakan ini dapat berakibat pada
terjadinya ARDS dan kegagalan multi organ yang dapat menyebabkan
kematian dalam waktu singkat (Gennaro dkk., 2020; Lingeswaran dkk.,
2020).
Seperti diketahui bahwa transmisi utama dari SARS-CoV-2 adalah
melalui droplet. Akan tetapi, ada kemungkinan terjadinya transmisi melalui
fekal-oral. Penelitian oleh Xiao dkk. (2020) menunjukkan bahwa dari 73
pasien yang dirawat karena Covid-19, terdapat 53,42% pasien yang diteliti
positif RNA SARS-CoV-2 pada fesesnya. Bahkan, 23,29% dari pasien
tersebut tetap terkonfirmasi positif RNA SARS-CoV-2 pada fesesnya
meskipun pada sampel pernafasan sudah menunjukkan hasil negatif. Lebih
lanjut, penelitian juga membuktikan bahwa terdapat ekspresi ACE2 yang
berlimpah pada sel glandular gaster, duodenum, dan epitel rektum, serta
ditemukan protein nukleokapsid virus pada epitel gaster, duodenum, dan
rektum. Hal ini menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 juga dapat menginfeksi
saluran pencernaan dan berkemungkinan untuk terjadi transmisi melalui
fekal-oral (Kumar dkk., 2020; Xiao dkk., 2020).
d. Manifestasi Klinik Covid-19
Covid-19 menjadi perhatian penting pada bidang medis, bukan hanya
karena penyebarannya yang cepat dan berpotensi menyebabkan kolaps
sistem kesehatan, tetapi juga karena beragamnya manifestasi klinis pada
pasien (Vollono dkk., 2020).
Spektrum klinis Covid-19 beragam, mulai dari asimptomatik, gejala
sangat ringan, hingga kondisi klinis yang dikarakteristikkan dengan kegagalan
respirasi akut yang mengharuskan penggunaan ventilasi mekanik dan
supportdi Intensive Care Unit (ICU). Ditemukan beberapa kesamaan
manifestasi klinis antara infeksi SARS-CoV-2 dan infeksi betacorona virus
sebelumnya, yaitu SARS-CoV dan MERS-CoV. Beberapa kesamaan tersebut
diantaranya demam, batuk kering, gambaran opasifikasi ground-glass pada
foto toraks (Gennaro dkk., 2020; Huang dkk., 2020).
Gejala klinis umum yang terjadi pada pasien Covid-19,diantaranya
yaitu demam, batukkering, dispnea, fatigue, nyeri otot, dan sakit kepala
(Lapostolle dkk., 2020;Lingeswaran dkk., 2020). Berdasarkan penelitianyang
dilakukan oleh Huang dkk. (2020), gejala klinis yang paling sering terjadi
pada pasien Covid-19 yaitu demam (98%), batuk (76%), dan myalgia atau
kelemahan (44%). Gejala lain yang terdapat pada pasien, namun tidak
begitu sering ditemukan yaitu produksi sputum (28%), sakit kepala 8%, batuk
darah 5%, dan diare 3%. Sebanyak 55% dari pasien yang diteliti mengalami
dispnea.
Gejala klinis yang melibatkan saluran pencernaan juga dilaporkan
oleh Kumar dkk. (2020). Sakit abdominal merupakan indikator keparahan
pasien dengan infeksi COVID-19. Sebanyak 2,7% pasien mengalami sakit
abdominal, 7,8% pasien mengalami diare, 5,6% pasien mengalami mual
dan/atau muntah.Manifestasi neurologis pada pasien Covid-19 harus
senantiasa di pertimbangkan. Meskipun manifestasi neurologis tersebut
merupakan presentasi awal. Virus Coronadapat masuk pada sel yang
mengekspresikan ACE2, yang juga diekspresikan oleh sel neuron dan sel
glial (Farley & Zuberi, 2020; Vollono dkk., 2020).
Pada penelitian Vollono dkk. (2020), didapatkan seorang pasien
wanita 78 tahun terkonfirmasi Covid-19 mengalami focal status epilepticus
sebagai presentasi awal. Pasien memiliki riwayat status epileptikus pada dua
tahun sebelumnya, akan tetapi pasien rutin diterapi dengan asam valproat
dan levetiracetam dan bebas kejang selama lebih dari dua tahun. Tidak ada
gejala saluran pernapasan seperti pneumonia dan pasien tidak membutuhkan
terapi oksigen. Penelitian oleh Farley dan Zuberi (2020) juga menunjukkan
manifestasi neurologis pada pasien terkonfirmasi Covid-19 yaitu status
epileptikus pada pasien lelaki usia 8 tahun dengan riwayat ADHD, motor tic,
dan riwayat kejang sebelumnya.
B. DIABETES MELITUS
a. Pengertian DM
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. (PERKENI,2015). Menurut
Wahyuningsih (2013), diabetes mellitus merupakan kumpulan gejala yang
timbul pada seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan kadar
glukosa darah akibat kekurangan insulin, baik absolut maupun relatif.
b. Klasifikasi DM
Diabetes mellitus dapat diklasifikasikan berdasarkan kemampuan pankreas
menghasilkan hormon insulin yaitu sebagai berikut :
1) Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 merupakan kondisi dimana sel-β
dalam kelenjar pulau Langerhans dihancurkan oleh reaksi autoimun
dalam tubuh. Sebagai akibatnya adalah sangat rendahnya produksi
insulin. Pada tahap ini, insulin tidak lagi sanggup untuk menurunkan
kadar gula darah dengan cepat saat seseorang mengkonsumsi
makanan. Bahkan kadar gula darah akan semakin tinggi sebagai
akibat dari hilangnya fungsi insulin, yaitu fungsi untuk menghentikan
produksi glukagon, saat kadar gula darah tinggi (Wahyuningsih,
2013).
2) Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan diabetes yang sering
ditemui. Pada penderita diabetes mellitus tipe 2 ini, pankreas masih
dapat memproduksi insulin, bahkan dalam beberapa kasus insulin
yang diproduksi hampir sama dengan layaknya orang normal.
Masalahnya adalah saat insulin tersebut tidak sanggup untuk
memberikan reaksi terhadap sel dari tubuh untuk mengurangi gula.
Penderita diabetes mellitus tipe 2 biasanya resisten terhadap insulin.
Semakin lama jumlah sel-β akan berkurang dan penderita akhirnya
mendapatkan perlakuan yang sama dengan penderita diabetes
mellitus tipe 1, yakni injeksi insulin (Wahyuningsih, 2013).
3) Diabetes mellitus gestasional (GDM)
Diabetes mellitus gestasional merupakan intoleransi glukosa
yang terjadi saat kehamilan. Diabetes ini terjadi pada perempuan
yang tidak menderita diabetes sebelum kehamilannya. Hiperglikemi
terjadi selama kehamilan akibat sekresi hormon-hormon plasenta.
Sesudah melahirkan, kadar glukosa darah akan kembali normal. Anak
dari ibu dengan GDM memiliki risiko lebih besar mengalami obesitas
dan diabetes pada usia dewasa muda (Wahyuningsih, 2013).
c. Etiologi DM
Diabetes melitus menurut Kowalak, (2011) Wilkins, (2011) dan Andra, (2013)
mempunyai beberapa penyebab, yaitu :
a. Hereditas
Peningkatan kerentanan sel-sel beta pancreas dan perkembangan
antibodi autoimun terhadap penghancuran sel-sel beta
b. Lingkungan (makanan, infeksi, toksin, stress)
Kekurangan protein kronik dapat mengakibatkan hipofungsi pancreas.
Infeksi virus coxsakie pada seseorang yang peka secara genetic. Stress
fisiologis dan emosional meningkatkan kadar hormon stress (kortisol,
epinefrin, glucagon, dan hormon pertumbuhan), sehingga meningkatkan
kadar glukosa darah.
c. Perubahan gaya hidup
Pada orang secara genetik rentan terkena DM karena perubahan gaya
hidup, menjadikan seseorang kurang aktif sehingga menimbulkan
kegemukan dan beresiko tinggi terkena diabetes melitus.
d. Kehamilan
Kenaikan kadar estrogen dan hormon plasental yang berkaitan dengan
kehamilan, yang mengantagoniskan insulin.
e. Usia
Usia diatas 65 tahun cenderung mengalami diabetes melitus. Obesitas
Obesitas dapat menurunkan jumlah reseptor insulin di dalam tubuh.
Insulin yang tersedia tidak efektif dalam meningkatkan efek metabolic.
f. Antagonisasi efek insulin yang disebabkan oleh beberapa medikasi,
antara lain diuretic thiazide, kortikosteroid adrenal, dan kontraseptif
hormonal.
a. Patofisiologi DM
Ada berbagai macam penyebab diabetes melitus menurut Price,
(2012) dan Kowalak (2011) yang menyebabkan defisiensi insulin, kemudian
menyebabkan glikogen meningkat, sehingga terjadi proses pemecahan
gulabaru (glukoneugenesis) dan menyebabkan metabolisme lemak
meningkat. Kemudian akan terjadi proses pembentukan keton (ketogenesis).
Peningkatan keton didalam plasma akan mengakibatkan ketonuria (keton
dalam urin) dan kadar natrium akan menurun serta pH serum menurun dan
terjadi asidosis.
Defisiensi insulin mengakibatkan penggunaan glukosa menurun,
sehingga menyebabkan kadar glukosa dalam plasma tinggi (hiperglikemia).
Jika hiperglikemia parah dan lebih dari ambang ginjal maka akan
menyebabkan glukosuria. Glukosuria akan menyebabkan diuresis osmotik
yang meningkatkan peningkatan air kencing (polyuria) dan akan timbul rasa
haus (polidipsi) yang menyebabkan seseorang dehidrasi (Kowalak, 2011).
Glukosuria juga menyebabkan keseimbangan kalori negatif sehingga
menimbulkan rasa lapar yang tinggi (polifagia). Penggunaan glukosa oleh sel
menurun akan mengakibatkan produksi metabolisme energi menurun
sehingga tubuh akan menjadi lemah (Price et al, 2012).
Hiperglikemia dapat berpengaruh pada pembuluh darah kecil,
sehingga menyebabkan suplai nutrisi dan oksigen ke perifer berkurang.
Kemudian bisa mengakibatkan luka tidak kunjung sembuh karena terjadi
infeksi dan gangguan pembuluh darah akibat kurangnya suplai nutrisi dan
oksigen (Price et al, 2012). Gangguan pembuluh darah mengakibatkan aliran
darah ke retina menurun, sehingga terjadi penurunan suplai nutrisi dan
oksigen yang menyebabkan pandangan menjadi kabur. Akibat utama dari
perubahan mikrovaskuler adalah perubahan pada struktur dan fungsi ginjal
yang menyebabkan terjadinya nefropati yang berpengaruh pada saraf perifer,
sistem saraf otonom serta sistem saraf pusat (Price et al, 2012).
b. Manifestasi Klinis DM
Tanda dan gejala diabetes melitus menurut Smeltzeret al, (2013) dan
Kowalak (2011), yaitu :
a) Poliuria (air kencing keluar banyak) dan polydipsia (rasa haus yang
berlebih) yang disebabkan karena osmolalitas serum yang tinggi
akibat kadar glukosa serum yang meningkat
b) Anoreksia dan polifagia (rasa lapar yang berlebih) yang terjadi karena
glukosuria yang menyebabkan keseimbangan kalori negatif.
c) Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan yang disebabkan
penggunaan glukosa oleh sel menurun.
d) Kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa
gatal pada kulit.
e) Sakit kepala, mengantuk, dan gangguan pada aktivitas disebabkan
oleh kadar glukosa intrasel yang rendah.
f) Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang labil akibat
ketidakseimbangan elektrolit.
g) Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang disebabkan
karena pembengkakan akibat glukosa.
h) Sensasi kesemutan atau kebas di tangan dan kaki yang disebabkan
kerusakan jaringan saraf.
i) Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen yang disebabkan
karena neuropati otonom yang menimbulkan konstipasi.
j) Mual, diare, dan konstipasi yang disebabkan karena dehidrasi dan
ketidak seimbangan elektrolit serta neuropati otonom.
c. Diagnosis DM
Pada diagnosis diabetes mellitus, pemeriksaan yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah
plasma vena. Walaupun demikian, sesuai dengan kondisi setempat dapat
juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai dengan
pembakuan oleh WHO. Terdapat perbedaan antara uji diagnostik DM dan
pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
mengidentifikasi mereka yang tidak memiliki gejala, namun memiliki risiko
DM. (Soegondo,Soewondo, dan Subekti, 2009). Penegakan diagnosis
penyaring dapat melihat acuan darikonsensus pengelolaan DM tipe 2 oleh
PERKENI (Wahyuningsih, 2013), yaitu sebagai berikut
d. Komplikasi DM
Komplikasi dari diabetes mellitus menurut Smeltzeret al, (2013) dan
Tanto et al, (2014) diklasifikasikan menjadi komplikasi akut dan komplikasi
kronik. Komplikasi akut terjadi karena intoleransi glukosa yang berlangsung
dalam jangka waktu pendek yang mencakup :
a) Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan dimana glukosa dalam darah
mengalami penurunan dibawah 50 sampai 60 mg/dL disertai dengan
gejala pusing,gemetar, lemas,pandangan kabur, keringat dingin, serta
penurunan kesadaran.
b) Ketoasidosis Diabetes (KAD)
KAD adalah suatu keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolic
akibat pembentukan keton yang berlebih.
c) Sindrom nonketotik hiperosmolar hiperglikemik (SNHH)
Suatu keadaan koma dimana terjadi ganagguan metabolisme yang
menyebabkan kadar glukosa dalam darah sangat tinggi,
menyebabkan dehidrasi hipertonik tanpa disertai ketosis serum.
Komplikasi kronik menurut Smeltzeret al, (2013) biasanya terjadi pada
pasien yang menderita diabetes mellitus lebih dari 10 –15 tahun.
Komplikasinya mencakup :
- Penyakit makrovaskular (Pembuluh darah besar): biasanya
penyakit ini memengaruhi sirkulasi koroner, pembuluh darah
perifer, dan pembuluh darah otak.
- Penyakit mikrovaskular (Pembuluh darah kecil): biasanya penyakit
ini memengaruhi mata (retinopati) dan ginjal (nefropati); kontrol
kadar gula darah untuk menunda atau mencegah komplikasi
mikrovaskular maupun makrovaskular.
- Penyakit neuropatik: memengaruhi saraf sensori motorik dan
otonom yang mengakibatkan beberapa masalah, seperti impotensi
dan ulkus kaki.
e. Penatalaksanaan DM
Penatalaksaan pada pasien diabetes menurut Perkeni (2015) dan
Kowalak (2011) dibedakan menjadi dua yaitu terapi farmakologis dan non
farmakologi:
a) Terapi farmakologi
Pemberian terapi farmakologi harus diikuti dengan pengaturan pola
makan dan gaya hidup yang sehat. Terapi farmakologi terdiri dari obat
oral dan obat suntikan, yaitu:
1) Obat antihiperglikemia oral
Menurut Perkeni, (2015) berdasarkan carakerjanya obat ini
dibedakan menjadi beberapa golongan, antara lain:
- Pemacu sekresi insulin: Sulfonilurea dan Glinid Efek
utama obat sulfonilurea yaitu memacu sekresi insulin oleh
sel beta pancreas. Cara kerja obat glinid sama dengan
cara kerja obat sulfonilurea, dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama yang dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial.
- Penurunan sensitivitas terhadap insulin: Metformin dan
Tiazolidindion (TZD)
Efek utama metformin yaitu mengurangi produksi glukosa
hati (gluconeogenesis) dan memperbaiki glukosa perifer.
Sedangkan efek dari Tiazolidindion (TZD) adalah
menurunkan resistensi insulin dengan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan glukosa di
perifer.
- Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase
alfaFungsi obat ini bekerja dengan memperlambat absopsi
glukosa dalam usus halus, sehingga memiliki efek
menurunkan kadar gula darah dalam tubunh sesudah
makan.
- Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV) Obat
golongan penghambat DPP-IV berfungsi untuk
menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1
(Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi
glukagon sesuai kadar glukosa darah (glucose
dependent).
2) Kombinasi obat oral dan suntikan insulin Kombinasi
Obat antihiper glikemia oral dan insulin yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi obat antihi perglikemia oral dan
insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang),
yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Terapi tersebut
biasanya dapat mengendalikan kadar glukosa darah dengan baik
jika dosis insulin kecil atau cukup. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 6- 10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan melihat nilai
kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Ketika kadar
glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun
sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi
kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obat
antihipe rglikemia oral dihentikan (Perkeni, 2015).
b) Terapi non farmakologi
Terapi non farmakologi menurut Perkeni, (2015) dan Kowalak, (2011)
yaitu:
- Edukasi
Edukasi bertujuan untuk promosi kesehatan supaya hidup
menjadi sehat. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan
dan bisa digunakan sebagai pengelolaan DM secara holistic.
- Terapi nutrisi medis (TNM)
Pasien DM perlu diberikan pengetahuan tentang jadwal makan
yang teratur, jenis makanan yang baik beserta jumlah kalorinya,
terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa
darah maupun insulin.
- Latihan jasmani atau olahraga
Pasien DM harus berolahraga secara teratur yaitu 3 sampai 5 hari
dalam seminggu selama 30 sampai 45 menit, dengan total 150
menit perminggu, dan dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2
hari berturut-turut. Jenis olahraga yang dianjurkan bersifat aerobic
dengan intensitas sedang yaitu 50 sampai 70% denyut jantung
maksimal seperti: jalan cepat, sepeda santai, berenang, dan
jogging. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara: 220 –
usia pasien
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
BB 68 kg
TB 156 cm
IMT 68/1,562 = 21,79
- TD 138/38 mmHg
- Nadi 86x/mnt (60 – 100 mmHg)
- SPO 94 (memakai alat bantu pernafasan HFNC)
- RR 35x/mnt (12 20x/mnt)
- Suhu 36,3
16. Riwayat Personal (CH)
- Umur, pekerjaan, tingkat pendidikan, informasi terkait
gizi/penyakit yang diderita, peranan pasien dalam keluarga
Usia pasien adalah 57 tahun, pasien adalah seorang ibu rumah
tangga.
- Keadaan sosial ekonomi
-
- Riwayat penyakit keluarga
-
- Riwayat penyakit dahulu
Diabetes Melitus dan Hipertensi
- Riwayat penyakit sekarang
Covid-19 dan Diabetes Melitus
- Aktivitas fisik, kebiasaan berolahraga, gaya hidup (merokok,
peminum alkohol, dll), obat-obat yang digunakan
-
- Masalah psikologis
-
- Pantangan/alergi makanan
-
17. Diagnosis Gizi (NI, NB, NC)
- NC.2.1
Kekurangan intake makanan dan minuman oral berkaitan dengan
meningkatnya kebutuhan energi ditandai dengan asupan makanan
oral kurang dari 80% yaitu 726 kkal dari total energi 1738 kkal.
- NC – 2.2
Perubahan nilai laboratorium terkait zat gizi khusus berkaitan dengan
gangguan fungsi endokrin ditandai dengan hasil dari biokimia glukosa
darah yang meningkat
18. Rencana Intervensi
b) Intervensi Diet
8) Tujuan Intervensi
Tujuan Diet Penyakit Diabetes Melitus adalah :
a. Meningkatkan intake makanan dan minuman oral secara bertahap.
Target sasaran dalam 1 hari 60%, dengan cara memodifikasi bentuk
makanan menjadi makanan cair yang dikonsumsi secara oral.
b. Membantu menurunkan/mengelola kadar glukosa darah dengan
memberikan diet DM dalam bentuk cair
c. Prinsip Diet
- Tepat jumlah
- Tepat jenis
- Tepat jadwal
d. Syarat Diet
- Kebutuhan energi cukup yaitu 1738 kkal.
- Kebutuhan protein normal yaitu 65,1 gram
- Kebutuhan lemak sedang yaitu 48,2 gram
- Kebutuhan karbohidrat adalah sia dari kebutuhan energi total
yaitu 260,7 gram
- Tidak merangsang saluran cerna
- Diberikan setiap 2-3 jam sekali
- Kandungan energi minimal 1kkal/ml. Konsentrasi cairan diberikan
secara bertahap ½ , 3,4 , sampai penuh.
- Jenis Diet Untuk px DM dengan kondisi kusus/NGT (Sonde)
menggunakan Formula Enteral Rumah Sakit
- Bentuk Makanan Sonde (NGT)
- Rute Pemberian secara Enteral (NGT)
- Jadwal pemberian 3x/hari selang waktu 1-3 hari tergantung
dengan kondisi pasien.
e. Jenis Diet
- Diet Diabetes Melitus
f. Perhitungan Kebutuhan Energi dan Zat Gizi
*Perhitungan Kebutuhan Cairan :
Kebutuhan Cairan = 30 ml / kgBB / hari
= 30 x 50,4
= 1512 ml/hari
Berat Badan = 68 kg
= 1158,764 x 1,5
= 1738 kkal
Food History Antropometri Biokimia Fisik Klinis Riwayat Identifikasi Rencana Tindak
Tanggal
(FH) (AD) (BD) (PD) Personal (CH) Masalah Baru Lanjut
07 Maret - Infus : - GDA = Keluhan - - -
2021 371 Sesak
NS 500 ml
BUN = 9 HFNC
Sonde Creatinin SPO2 = 85
= 0,5 TD = 134/82
Volume
Na = 126 mmHg
Pemberian 6x K = 3,67 Nadi =
GD PP 124x/mnt
300 kkal
Sore = Suhu = 36℃
personde : 300 RR –
GDA pre 39x/mnt
Dalam sehari
breakfast GCS = 4/5/6
asupan Energi = 126
1738 kkal,
Protein = 65,1
gram, Lemak =
48,2 gram, KH =
260,7 gram
Pemenuhan
kebutuhan zat
gizi
Energi = 60%
(1042 kkal)
Protein = 60%
(39 gram)
Lemak = 60%
(28 gram)
KH = 60% (156
gram)
Riwayat Obat :
Novorapid 3x8
subcutan
Premeal
Levemir 0-0-10
CDM 6x
dikonsumsi
ALASAN :
Penggunaan
kortikosteroid
eksogen
berhubungan
dengan
hiperglikemia dan
terapi kortikosteroid
dosis tinggi
meningkatkan
resistensi insulin
pada pasien yang
sebelumnya sudah
menderita diabetes
atau yang tanpa
diabetes. Efek
pemberian
glukortikoid pada
glukosa telah
diamati dalam
beberapa jam
setelah pemberian
steroid dan efek
tersebut muncul
tergantung dosis
yang diberikan.
Sebuah studi
berbasis populasi
lebih dari 11.000
pasien menemukan
bahwa resiko
hiperglikemia
meningkat searah
dengan
meningkatnya dosis
steroid sehari-hari.
( Canadian Diabetes
Association Clinical
Practice Guidelines
Expert Commite.
2013 dan American
Diabetes
Association. 2012
dalam jurnal Bistok
Sihombing, Arina
Vegas. 2018)
20. Tabel Pelayanan Asuhan Gizi Terstandart (PAGT)
Nama : Ny. TIS
Ruang/Bed : ICU
Usia : 57 th 6 bulan
ASSESSMENT/REASSESSMENT KESIMPULAN
Sonde + D5 6x 100 ml
Infus NS 500 ml
AKTIFITAS FISIK: -
RIWAYAT OBAT :
- Glimepirid 2 mg
- Amlodipin 5 mg
- Levofloksasin dan meropenem
- Avigan
Obat untuk lambung (untuk mual)
ANTROPOMETRI Bb = 68 kg AD-1.1.5
Obesitas
Tb = 156 cm
(Normal = 18,5
IMT = 27,9 (Obesitas)
BBI = = (TB-100) – 10% (TB-100) – 25,0)
= 56 – 5,6
= 50,4 kg
Karena px
mempunyai
riwayat penyakit
DM sebelum
terkena Covid-
19
Mengutip dari
Bangalore
Mirror, px
terjangkit virus
corona yang
memiliki gula
darah tinggi dua
kali lebih besar
mengalami
kematian
daripada px
yang memiliki
jumlah gula
darah normal.
Intensif (ICU)
= 1512 ml/hari
Menurut Perhitungan Perkeni (2019) Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Pasien
DM adalah :
Berat Badan = 68 kg
= 1158,764 x 1,5
= 1738 kkal
BAB IV
C. Kesimpulan
1. Dari hasil skrining gizi menggunakan perangkat MST diperoleh skor 0
dengan Interpretasi “Resiko Rendah” yaitu pasien tidak beresiko
malnutrisi.
*Pasien dalam kondisi khusus : Penyakit DM dan perawatan intensif
2. Dari hasil assesment gizi pada pasien wanita usia 57 tahun 6 bulan
dengan status gizi obesitas dirawat dengan diagnosis Diabetes Melitus
+ COVID-19 memiliki status gizi obesitas (IMT = 27,9 Kg/m).
3. Dari hasil diagnosis gizi pasien berkaitan dengan asupan makanan oral
pasien dan berkaitan dengan gangguan fungsi endokrin.
4. Hasil intervensi riwayat makan pasien semakin hari berlangsung
meningkat yaitu sesuai target >60% dan 6x sonde dapat diterima.
Tetapi, hasil biokimia glukosa darah menunjukkan hasil yang tetap yaitu
tinggi yaitu batas normal (74-106 mg/dL).
5. Dari hasil monev tanggal 09 Maret 2021 menunjukkan bahwa hasil
biokimia Glukosa darah 379 mg/dL termasuk dalam kategori tinggi
karena adanya interaksi obat yang dikonsumsi yaitu Dexametasone
(Golongan obat Kortikosteroid).
D. Saran
4. Pasien sebaiknya melakukan diet yang sudah dianjurkan.
5. Pasien sebaiknya melakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai penyakit
pasien.
6. Pasien sebaiknya melakukan perawatan medis secara intensif.
DAFTAR PUSTAKA
Alfi, Azizah And Idi, Setiyobroto And Weni, Kurdanti .2019. Konseling Gizi
Menggunakan Media Aplikasi Nutri Diabetic Care Untuk Meningkatkan
Pengetahuan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Gamping I. Skripsi
Thesis, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Almatsier, Sunita. 2007. Penuntun Diet. Jakarta: Pt Gramedia Utama
Departemen Kesehatan Ri. 2003. Pedoman Praktis Terapi Gizi Medis. Depkes. Ri.
Jakarta.
Fathoni, Ahmad. 2018. Aplikasi Pedoman Diet Nefropati Diabetik Berdasarkan
Konsensus Perkeni 2015. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Fatimah, R.N. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. Jakarta: J Majority. Vol. 4, No. 5:93-
99.
Hanum, N.N., 2013. Hubungan Kadar Glukosa Darah Sewaktu Dengan Profil
Lipid. Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah.
Hendromartono, 2009, Nefropati Diabetik, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid Iii Edisi V, Interna Publishing, Jakarta.
Kementrian Kesehatan Ri. 2012. Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan,
Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Pusat Data Dan Informasi Kemenkes Ri
Mardalena, Ida. (2017). Dasar-Dasar Ilmu Gizi Dalam Keperawatan Konsep dan.
Penerapan Pada Asuhan Keperawatan. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.
Nasution, Zunayroh. 2013. Nefropati Diabetik Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe
2 Yang Terkontrol Dan Tidak Terkontrol: Kajian Terhadap Mikroalbumin Urin
Sebagai Marker Nefropati Diabetes. Tesis. Universitas Sumatera Utara.
Niainu, N. 2015. Hubungan Status Nutrisi Ibu Nifas Dengan Proses Penyembuhan
Luka Post Section Caesarea.
Pb Perkeni. 2020. Pernyataan Resmi Dan Rekomendasi Penanganan Diabetes
Millitus Di Era Pandemi Covid 19. Nomor : 293/Pb.Perkeni/Iv/2020
Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Indonesia.2009. Indonesian Journal
Of Clinical Pathology And Medical Laboratory Majalah Patologi Klinik Indonesia
Dan Laboratorium Medik. Vol 15. No. 3 Juli 2009 Issn 0854-4263
Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2
Di Indonesia. Jakarta. Pb Perkeni
Prabawati, R. K. (2012). Mekanisme Seluler Dan Molekular Resistensi Insulin.
Tugas Biokimia Program Pasca Sarjana Ilmu Biomedik Program Double Dolgree
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, 1, 1– 15
Probosari, E., 2013, Faktor Resiko Gagal Ginjal Pada Diabetes Melitus, Journal Of
Nutrition And Health, Vol.1, No.1
Purnamasari, Dyah. 2009. Diagnosis Dan Klasifi Kasi Diabetes Melitus, Dalam
Sudoyo, Aru W Sudoyo Dkk (Eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Kelima,
Jilid Iii. Jakarta: Interna Publishing
Putri, Rahmadany.2015. Faktor Determinan Nefropati Diabetik Pada Penderita
Diabetes Mellitus Di Rsud Dr. M. Soewandhie Surabaya. Jurnal Berkala
Epidemiologi, Vol. 3, No. 1 Januari 2015: 109–121
Rivandi, Janis. 2018. Hubungan Diabetes MelitusDengan Kejadian Gagal Ginjal
Kronik. Majority Volume 4 Nomor 9 Desember 2015
Tambajong, RY Dkk. 2016. Gambaran Natrium Dan Klorida Pada Pasien.
Penyakit Ginjal Kronik Stadium 5 non-dialisis. Jurnal e-Biomedik (eBm), Volume 4,
Nomor 1, Januari-Juni 2016
William E.Mitch, Saulo Klahr. 1998 Handbook of Nutrition and the Kidney. 3 rd
edition. Lippincott-Raven. Philadelphia. New York..
Perkeni. 2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2
Di Indonesia. Jakarta. Pb Perkeni
Alfi, Azizah And Idi, Setiyobroto And Weni, Kurdanti .2019. Konseling Gizi
Menggunakan Media Aplikasi Nutri Diabetic Care Untuk Meningkatkan
Pengetahuan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Gamping I. Skripsi
Thesis, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Almatsier, Sunita. 2007. Penuntun Diet. Jakarta: Pt Gramedia Utama
Departemen Kesehatan Ri. 2003. Pedoman Praktis Terapi Gizi Medis. Depkes. Ri.
Jakarta.
Fathoni, Ahmad. 2018. Aplikasi Pedoman Diet Nefropati Diabetik Berdasarkan
Konsensus Perkeni 2015. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Fatimah, R.N. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. Jakarta: J Majority. Vol. 4, No. 5:93-
99.
Nasution, Zunayroh. 2013. Nefropati Diabetik Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe
2 Yang Terkontrol Dan Tidak Terkontrol: Kajian Terhadap Mikroalbumin Urin
Sebagai Marker Nefropati Diabetes. Tesis. Universitas Sumatera Utara.
Pb Perkeni. 2020. Pernyataan Resmi Dan Rekomendasi Penanganan Diabetes
Millitus Di Era Pandemi Covid 19. Nomor : 293/Pb.Perkeni/Iv/2020
Prabawati, R. K. (2012). Mekanisme Seluler Dan Molekular Resistensi Insulin.
Tugas Biokimia Program Pasca Sarjana Ilmu Biomedik Program Double Dolgree
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, 1, 1– 15
Probosari, E., 2013, Faktor Resiko Gagal Ginjal Pada Diabetes Melitus, Journal Of
Nutrition And Health, Vol.1, No.1
Purnamasari, Dyah. 2009. Diagnosis Dan Klasifi Kasi Diabetes Melitus, Dalam
Sudoyo, Aru W Sudoyo Dkk (Eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Kelima,
Jilid Iii. Jakarta: Interna Publishing
William E.Mitch, Saulo Klahr. 1998 Handbook of Nutrition and the Kidney. 3 rd
edition. Lippincott-Raven. Philadelphia. New York..
Bhuta, Z. A., 2006, Typhoid Fever Current Concepts, Infectious Diseases in
Clinical Practice, 14 (2), 266-271.
BPOM, 2008, Infomatorium Obat Nasional Indonesia, DepKes RI, Jakarta
Chowta, NK. & Chowta, MN., 2005, Study Of Clinical Profile And Antibiotic
Response In Typoid Fever, Indian Journal of Medical Microbiology, 23(2), 125-
127.
Entjang, I., 2003, Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan
Sekolah Tenaga Kesehatan, Hal 52-54, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Gunawan,S.G.,2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi Kelima, Penerbit Departemen
Farmakologi dan Therapeutik FKUI, Jakarta.
Priyanto, 2009, Farmakoterapi & Terminologi Medis, Hal 30-32, Leskonfi, Jakarta.
Pudiastuti, R.I., 2011, Waspadai Penyakit pada Anak, Hal 58-63, PT Indeks,
Jakarta.
ADA (American Diabetes Association). 2015. Standards of Medical Care In
Diabetes. The Journal of Clinical and Applied Research and Education
Vol.38: S1-S91.
Adhiarta. 2011. Penatalaksanaan Kaki Diabetik. Artikel dalam Forum Diabetes
Nasional V. Bandung. Pusat Informasi Ilmiah Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.
Alexiadou, K., Doupis, J. 2012. Management of diabetic foot ulcers: Diabetes
Journal. 3(4):5-6.
Almatsier, S. 2010. Penuntun Diet. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ariono, Christian. 2015. Nutrisi Enteral. [Skripsi]. Bandung: Fakultas Kedokteran-
Universitas Padjadjaran.
Beck, M. E. 2011. Ilmu Gizi dan Diet Hubungannya Dengan Penyakit –Penyakit
Untuk Perawat dan Dokter. Yayasan Essentia Medica (YEM). Yogyakarta.
Breit, N.G., Mechanick, J.I. 2006. Nutritional Strategies for Wound Healing in
Diabetic Patients.
Brem, H., Sheehan, P., Boulton, A. J. 2004. Protocol for Treatment of Diabetic
Foot Ulcers. Am J Surg. 187(5A) p:15 – 105.
Dafianto, R. 2016. Pengaruh relaksasi otot progresif terhadap resiko ulkus kaki
diabetik pada pasien diabetes mellitus tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas
Jelbuk Kabupaten Jember. Skripsi. Jember: Universitas Jember.
Doupis, J., Veves, A. 2008. Classification, Diagnosis, and Treatment of
Diabetic Foot Ulcers. Wound. 20(1) p:117 – 126.
Effendi, A.T, Waspadji, S. 2011. Terapi Gizi Medik. Aspek Biomolekuler Diabetes
Melitus II. FKUI Jakarta.
Ganong, W. F. 2008. Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Kemenkes RI. 2014. Proses Asuhan Gizi Tersandar (PAGT). Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI 2014, 108.
Knapp s. 2012. Diabetes and infection . Division of infectious diseases and
tropical medicine. Medical university of Vienna.324 p:1-5.
NICE Clinical Guideline. 2015. Diabetic foot problems Prevention and
Management, National Institute for Health and Care Excellence.
Pemayun, T. G., Naibaho, R. M., Novitasari, D., Amin, N., & Minuljo, T. T. 2015.
Risk factors for lower extremity amputation in patients with diabetic foot
ulcers: a hospital-based case– control study. Diabetic foot & ankle, 6.
PERKENI, 2015, Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia, PERKENI, Jakarta.
PERKENI. 2011. Konsensus Penglelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI. Jakarta. Indonesia.
Roni Purnomo, Sri Setyowati, Christantie Effendy. 2007. Gambaran Pemberian
Makanan Enteral Pada Pasien Dewasa Di RSUP Dr.Sarjito Yogyakarta.
Jurnal Keperawatan. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman
Journal of Nursing), Volume 2 (3) p: 141 – 153.
Rosdahl, C B dan Mary T. Kowalski. 2015. Buku Ajar Keperawatan Dasar.
Jakarta: EGC
Rustama, D.S. 2010. Diabetes Mellitus. Dalam: Jose RL. Batubara, dkk,
Endokrinologi Anak, Edisi I. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
Sari, Yunita. 2015. Perawatan Luka Diabetes. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Saventy, Amelia. 2016. Pengaruh Pemberian Makanan Cair Melalui Naosgastric
Tube (NGT) Terhadap Indeks Masa Tubuh (IMT), Hemoglobin, dan Kadar
Albumin Pasien Kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta.
[Skripsi]. Jakarta: Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan-Universitas Esa Unggul.
Sherwood, Laura Iee. 2011. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC.
Singh, N., Amstrong, D. G., Lipsky, B. A. 2005. Preventing Foot Ulcers in
Patients with Diabetes. J Am Med Ass 293 p:217 – 28.
Sitepu, Ade, M., Djafar, Dewi, U. dan Panda, Agnes, L. 2016. Gambaran Jumlah
Leukosit Pada Pasien Infark Miokard Akut di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou
Manado. Jurnal e-Clinic 4(2).
Soelistijo, S. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. E-book. Jakarta: Pb. PERKENI
Almatsier, S. 2010. Penuntun Diet. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
American Heart Association. 2017. Guideline for the Prevention, Detection,
Evaluation, and Management of High Blood Pressure in Adults.
Guidelines Made Simple. A Selection of Tables and Figures.
Ariono, Christian. 2015. Nutrisi Enteral. [Skripsi]. Bandung: Fakultas Kedokteran-
Universitas Padjadjaran.
Cheung, B.M.C & Li, C.2012. Diabetes and Hypertension: is There a Common
Metabolic Pathway. PMC. 2012 Apr; 14(2): 160–166.
Fathoni, Ahmad. 2018. Aplikasi Pedoman Diet Nefropati Diabetik Berdasarkan
Konsensus Perkeni 2015. Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Gibney MJ., Kearney MJ., Arab L. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC. pp 5.
Guyton AC., Hall JE. 2008. Metabolisme Karbohidrat Dan Pembentukan
Adenosin Tripospat dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Jakarta: EGC.
Hendromartono, 2009, Nefropati Diabetik, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid Iii Edisi V, Interna Publishing, Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI 2012. Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan,
Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Pusat Data Dan Informasi
Kemenkes RI.
Lastra, D. Syed, S. Kurukulasuriya, R., Manrique, C. Sowers, J. R. 2014. Type 2
Diabetes Mellitus and Hypertension: An Update. Metab Clin
North Am. 43(1) p: 103 – 122.
Mutmainah, I. 2013. Hubungan Kadar Gula Darah Dengan Hipertensi Pada
Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Dirumah Sakit Umum P.I Derek
Karanganyar, Fakultas Kedokteran Unirvesitas Muhamadiyah.
Surakarta. Skripsi.
PERKENI. 2015. Konsnsus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe
2 di Indonesia 2015.
Probosari, E., 2013, Faktor Resiko Gagal Ginjal Pada Diabetes Melitus, Journal
Of Nutrition And Health, Vol.1, No.1
Purnamasari, Dyah. 2009. Diagnosis Dan Klasifi Kasi Diabetes Melitus, Dalam
Sudoyo, Aru W Sudoyo Dkk (Eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi Kelima, Jilid III. Jakarta: Interna Publishing
Roni Purnomo, Sri Setyowati, Christantie Effendy. 2007. Gambaran Pemberian
Makanan Enteral Pada Pasien Dewasa Di RSUP Dr.Sarjito
Yogyakarta. Jurnal Keperawatan. Jurnal Keperawatan Soedirman (The
Soedirman Journal of Nursing), Volume 2 (3) p: 141 – 153.
Saventy, Amelia. 2016. Pengaruh Pemberian Makanan Cair Melalui Naosgastric
Tube (NGT) Terhadap Indeks Masa Tubuh (IMT), Hemoglobin,
dan Kadar Albumin Pasien Kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais
Jakarta. [Skripsi]. Jakarta: Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan-
Universitas Esa Unggul.
Selim S, Abougalambou I, Abougalambo AS. 2013. A Study Evaluating
Prevalence Of Hypertension and Risk Factors Affecting on Blood
Pressure Control Among Type 2 Diabetes Patients Attending
Teaching Hospital in Malaysia. Diabetes & Metabolic
Syndrome:ClinicalResearch & Reviews.pp.83-86.
Tandra,.H.2009. Kiss Diabetes Goodbye. Surabaya: Jaring Pena.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi ke-
IV. Jakarta: Interna Publishing.
Waspadji, S. 2006. Kaki Diabetes. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu Penyakit
Dalam, Jilid III, Edisi keempat, Penerbit FK UI, Jakarta
Waspadji, S., Sukardji, Meida, O. 2010. Pedoman Diet Diabetes Melitus. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Jakarta.
Yunus, B. 2015. "faktor yang mempengaruhi lama penyembuhan luka pada
pasien diabetes mellitus" di Rumah Sakit ETN center Makasar.
Yunus, B., 2015. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lama Penyembuhan Luka Pada
Pasien Ulkus Diabetikum di Rumah Perawatan ETN Center Makasar Tahun
2014”, Skripsi, S.Kep, UIN Alauddin Makasar.
Yusuf, S., Okuwa, M., Irwan, M., Rassa, S., Laitung, B., Thalib, A., & Sugama, J.
2016. Prevalence and Risk Factor of Diabetic Foot Ulcers in a Regional Hospital,
Eastern Indonesia. Open Journal of Nursing, 6(1), 1.
Zubair, M., Malik, A., Ahmad, J. 2015. Diabetic foot ulcer: A review. American
Journal of Internal Medicine, 3(2): 28-49.
American Heart Association. 2017. Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation,
and Management of High Blood Pressure in Adults. Guidelines Made Simple. A
Selection of Tables and Figures.
Cheung, B.M.C & Li, C.2012. Diabetes and Hypertension: is There a Common
Metabolic Pathway. PMC. 2012 Apr; 14(2): 160–166.
Fathoni, Ahmad. 2018. Aplikasi Pedoman Diet Nefropati Diabetik Berdasarkan
Konsensus Perkeni 2015.Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Gibney MJ., Kearney MJ., Arab L. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. pp 5.
2009.
Guyton AC., Hall JE. Metabolisme Karbohidrat Dan Pembentukan Adenosin Tripospat
dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2008.
Hendromartono, 2009, Nefropati Diabetik, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
Iii Edisi V, Interna Publishing, Jakarta.
Kementrian Kesehatan Ri. 2012. Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan,
Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Pusat Data Dan Informasi Kemenkes Ri
Lastra, D. Syed, S. Kurukulasuriya, R., Manrique, C. Sowers, J. R. 2014. Type 2
Diabetes Mellitus and Hypertension: An Update. Metab Clin North Am. 43(1) p: 103
– 122.
Mardalena, Ida. (2017). Dasar-Dasar Ilmu Gizi Dalam Keperawatan Konsep dan.
Penerapan Pada Asuhan Keperawatan. Yogyakarta : Pustaka Baru Press
Mutmainah, I. 2013. Hubungan Kadar Gula Darah Dengan Hipertensi Pada Pasien
Diabetes Mellitus Tipe 2 Dirumah Sakit Umum P.I Derek Karanganyar, Fakultas
Kedokteran Unirvesitas Muhamadiyah. Surakarta. Skripsi.
Perkeni.2015. Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 Di
Indonesia. Jakarta. Pb Perkeni
Probosari, E., 2013, Faktor Resiko Gagal Ginjal Pada Diabetes Melitus, Journal Of
Nutrition And Health, Vol.1, No.1
Purnamasari, Dyah. 2009. Diagnosis Dan Klasifi Kasi Diabetes Melitus, Dalam
Sudoyo, Aru W Sudoyo Dkk (Eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Kelima, Jilid
Iii. Jakarta: Interna Publishing
Selim S, Abougalambou I, Abougalambo AS. 2013. A Study Evaluating Prevalence Of
Hypertension and Risk Factors Affecting on Blood Pressure Control Among Type 2
Diabetes Patients Attending Teaching Hospital in Malaysia. Diabetes & Metabolic
Syndrome:ClinicalResearch&Reviews.pp.83-86.
Rubenstein, D., Wayne, D., & Bradley, J. (2007).Lecture notes kedokteran klinisedisi
ke-6. Jakarta : Erlangga
Guyton A. C., Hall J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC.
P. 208 – 212, 219 – 223, 277 – 282, 285 – 287.
Allegra, A., Gioacchino, M. Di, Tonacci, A., Musolino, C., & Gangemi, S. (2020).
Immunopathology of SARS-CoV-2 Infection : Immune Cells and
Mediators , Prognostic Factors , and Immune-Therapeutic Implications.
Journal of Molecular Sciences, 21(4782), 1–19.
https://doi.org/10.3390/ijms21134782
Gennaro, F. Di, Pizzol, D., Marotta, C., Antunes, M., Racalbuto, V., Veronese,
N., & Smith, L. (2020). Coronavirus Diseases ( COVID-19 ) Current
Status and Future Perspectives : A Narrative Review. International
Journal of Environmental Research and Public HealthEnvironmental
Research and Public Health, 17(2690), 1–11.
https://doi.org/10.3390/ijerph17082690
Handayani, D., Hadi, D. R., Isbaniah, F., Burhan, E., & Agustin, H. (2020).
Penyakit Virus Corona 2019. Jurnal Respirologi Indonesia, 40(2), 119–
129.
Kumar, C. V. S., Mukherjee, S., Harne, P. S., Subedi, A., Ganapathy, M. K.,
Patthipati, V. S., & Sapkota, B. (2020). Novelty in the Gut : A
Systematic Review Analysis of the Gastrointestinal Manifestations of
COVID-19. BMJ Open Gastroenterology, 7(e000417), 1–9.
https://doi.org/10.1136/bmjgast-2020-000417
Lapostolle, F., Schneider, E., Vianu, I., Dollet, G., Roche, B., Berdah, J., …
Adnet, F. (2020). Clinical Features of 1487 COVID - 19 Patients with
Outpatient Management in the Greater Paris : the COVID - Call Study.
Internal and Emergency Medicine, (0123456789).
https://doi.org/10.1007/s11739-020-02379-z
Letko, M., Marzi, A., & Munster, V. (2020). Functional Assessment of Cell Entry
and Receptor Usage for SARS-CoV-2 and Other Lineage B
Betacoronaviruses. Nature Microbiology, 5, 562–569.
https://doi.org/10.1038/s41564-020-0688-y
Lingeswaran, M., Goyal, T., Ghosh, R., & Suri, S. (2020). Inflammation ,
Immunity and Immunogenetics in COVID-19 : A Narrative Review.
Indian Journal of Clinical Biochemistry, 35(3), 260–273.
https://doi.org/10.1007/s12291-020-00897-3
Meng, H., Xiong, R., He, R., Lin, W., Hao, B., Zhang, L., & Lu, Z. (2020). CT
Imaging and Clinical Course of Asymptomatic Cases with Covid-19
Pneumonia at Admission in Wuhan, China. Journal of Infection,
81(2020), e33–e39. Retrieved from
https://doi.org/10.1016/j.jinf.2020.04.004
Smeltzer Suzanne C., Bare Brenda G., Hinkle Janice L., Cheever Kerry H.
(2013). Keperawatan medikal bedah Brunner & Suddarth ed. 12; alih
bahasa: Devi Yulianti, Amelia Kimin; editor edisi Bahasa Indonesia: Eka
Anisa Mardella.Jakarta: EGC.
Subekti I., 2009.Buku Ajar Penyakit Dalam:Neuropati Diabetik, Jilid III, Edisi 4,
Jakarta: FK UIpp. 1948.
Vollono, C., Rollo, E., Romozzi, M., Frisullo, G., Servidei, S., Borghetti, A., &
Calabresi, P. (2020). Focal Status Epilepticus as Unique Clinical
Feature of Covid-19: A Case Report. Europian Journal of Epilepsy,
78(2020), 109–112. Retrieved from
https://doi.org/10.1016/j.seizure.2020.04.009
Xiao, F., Tang, M., Zheng, X., Liu, Y., Li, X., & Shan, H. (2020). Evidence for
Gastrointestinal Infection of SARS-CoV-2. Elsevier Gastroenterology,
158(6), 1831–1833. Retrieved from https://doi.org/10.1053/j.gastro.2
020.02.055
Xu, X., Chen, P., Wang, J., Feng, J., Zhou, H., Li, X., … Hao, P. (2020).
Evolution of Novel Coronavirus from The Ongoing Wuhan Outbreak
and Modeling of Its Spike Protein For Risk Of Human Transmission.
Science China Life Sciences. Science China Life Sciences, 63(3), 457–
460.
Zhu, N., Zhang, D., Wang, W., Li, X., Yang, B., Song, J., … Tan, W. (2020). A
Novel Coronavirus from Patients with Pneumonia in China, 2019. The
New England Journal of Medicine, 382(8), 727–733.
https://doi.org/10.1056/NEJMoa2001017