Anda di halaman 1dari 7

PEMBAHASAAN SKENARIO 1

BLOK GANGGUAN ENDOKRIN DAN METABOLISME


LEARNING OBJECITVE

Dosen pembimbing:

dr. Rusdani ,MKKK

OLEH :
M. ALFIANSYAH
61120033

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BATAM
2022
LEARNING OBJECTIVE

Mahasiswa mampu :

1. Menjelaskan klasifikasi Diabetes Melitus


2. Menjelaskan epidemiologi Diabetes Melitus
3. Menjelaskan etiologi dan factor risiko Diabetes Melitus
4. Menjelaskan patofisiologi Diabetes Melitus
5. Menjelaskan manifestasi klinis Diabetes Melitus
6. Menjelaskan pendekatan diagnostik Diabetes Melitus
7. Menjelaskan penatalaksanaan Diabetes Melitus secara
holistik (Farmakologi dan Non Farmakologi)
8. Menjelaskan komplikasi Diabetes Melitus
9. Menjelskan prognosis Diabetes Melitus
10. Menjelaskan Penyakit Diabetes Melitus yang memerlukan
Rujukan

1. Klasifikasi Diabetes Melitus


Organisasi profesi yang berhubungan dengan Diabetes Melitus seperti American
Diabetes Association (ADA) telah membagi jenis Diabetes Melitus berdasarkan
penyebabnya. PERKENI dan IDAI sebagai organisasi yang sama di Indonesia
menggunakan klasifikasi dengan dasar yang sama seperti klasifikasi yang dibuat oleh
organisasi yang lainnya. Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan etiologi menurut
Perkeni (2015) adalah sebagai berikut :
a. Diabetes melitus (DM) tipe 1 Diabetes Melitus yang terjadi karena kerusakan atau
destruksi sel beta di pancreas kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin
yang terjadi secara absolut. Penyebab dari kerusakan sel beta antara lain autoimun dan
idiopatik.
b. Diabetes melitus (DM) tipe 2 Penyebab Diabetes Melitus tipe 2 seperti yang diketahui
adalah resistensi insulin. Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja
secara optimal sehingga menyebabkan kadar gula darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi
insulin juga dapat terjadi secara relatif pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 dan sangat
mungkin
untuk menjadi defisiensi insulin absolut.
c. Diabetes melitus (DM) tipe lain Penyebab Diabetes Melitus tipe lain sangat bervariasi.
DM tipe ini dapat disebabkan oleh efek genetik fungsi sel beta, efek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati pankreas, obat, zat kimia, infeksi, kelainan
imunologi dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan Diabetes Melitus.
d. Diabetes melitus Gestasional adalah diabetes yang muncul pada saat hamil. Keadaan
ini terjadi karena pembentukan beberapa hormone pada ibu hamil yang menyebabkan
resistensi insulin.

2. Epidemiologi Diabetes Mellitus


Pada tahun 2015 jumlah penderita DM secara global sebanyak 415 juta jiwa dan
diperkirakan terjadi peningkatan menjadi 642 juta jiwa pada tahun 2040 (International
Diabetes Federation, 2015:13). Selain itu, menurut WHO jumlah kematian yang
diakibatkan oleh DM pada tahun 2012 sebesar 1,5 juta jiwa. World Health Organization
juga memperkirakan bahwa negara berkembang pada abad ke-21 akan menanggung
beban berat atas epidemi DM. Hal ini dikarenakan lebih dari 70% atas pasien DM
terdapat di negara berkembang. Indonesia merupakan satu dari 10 negara yang memiliki
jumlah penderita DM terbanyak. Pada tahun 2015, jumlah penderita DM di Indonesia
sebanyak 10 juta orang (International Diabetes Federation, 2015:17). Berdasarkan data
dari WHO, prevalensi DM di Indonesia pada tahun 2000 yakni 8,4 juta orang dan
diperkirakan pada tahun 2030 akan mencapai 21,3 juta orang (World Health
Organization, 2016c). Berdasarkan data International Diabetes Federation, Indonesia
menduduki posisi ke-7 penderita DM yang berusia 20-79 tahun dengan jumlah 10 juta
jiwa dan diperkirakan Indonesia akan menduduki posisi ke-6 dengan jumlah penderita
DM yaitu 16,2 juta jiwa pada tahun 2040. Kasus DM tipe 2 saat ini, sudah banyak
ditemukan pada usia remaja pada saat sekitar pubertas, terutaman bagi penderita yang
memiliki riwayat keluarga positif menderita DM. Prevalensi DM pada umur 15 tahun
keatas di Indonesia berdasarkan konsensus pengelolaan DM sekitar tahun 1980-an dari
berbagai penelitian sebesar 1,5-2,3% serta daerah perkotaan mempunyai prevalensi lebih
tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan (Kementerian Kesehatan RI, 2014:1).
Selain itu, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 prevalensi DM akan
meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang dan cenderung menurun kembali
setelah berusia 64 tahun.

3. Etiologi dan factor risiko Diabetes Melitus


Etilogi atau penyebab Diabetes Melitus (DM) adalah yaitu genetik atau faktor
keturunan, yang mana penderita Diabetes Melitus yang sudah dewasa lebih dari 50%
berasal dari keluarga yang menderita Diabetes Melitus dengan begitu dapat dikatakan
bahwa Diabetes Melitus cenderung diturunkan, bukan ditularkan.
Faktor lainnya yaitu nutrisi, nutrisi yang berlebihan (overnutrition) merupakan faktor
risiko pertama yang diketahui menyebabkan Diabetes Melitus, semakin lama dan
berat obesitas akibat nutrisi berlebihan, semakin besar kemungkinan terjangkitnya
Diabetes Melitus (dr Prapti dan Tim Lentera, 2003). Sering mengalami stress dan
kecanduan merokok juga merupakan faktor penyebab Diabetes Melitus.

4. Patofisiologi Diabetes Melitus


Diabetes melitus yang merupakan penyakit dengan gangguan pada metabolisme
karbohidrat, protein dan lemak karena insulin tidak dapat bekerja secara optimal,
jumlah insulin yang tidak memenuhi kebutuhan atau keduanya. Gangguan
metabolisme tersebut dapat terjadi karena 3 hal yaitu pertama karena kerusakan pada
sel-sel beta pankreas karena pengaruh dari luar seperti zat kimia, virus dan bakteri.
Penyebab yang kedua adalah penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas dan
yang ketiga karena kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer. Insulin yang
disekresi oleh sel beta pankreas berfungsi untuk mengatur kadar glukosa darah dalam
tubuh. Kadar glukosa darah yang tinggi akan menstimulasi sel beta pankreas untuk
mengsekresi insulin (Hanum, 2013). Sel beta pankreas yang tidak berfungsi secara
optimal sehingga berakibat pada kurangnya sekresi insulin menjadi penyebab kadar
glukosa darah tinggi. Penyebab dari kerusakan sel beta pankreas sangat banyak
seperti contoh penyakit autoimun dan idiopatik. Gangguan respons metabolik
terhadap kerja insulin disebut dengan resistensi insulin. Keadaan ini dapat disebabkan
oleh gangguan reseptor, prereseptor dan post reseptor sehingga dibutuhkan insulin
yang lebih banyak dari biasanya untuk mempertahankan kadar glukosa darah agar
tetap normal. Sensitivitas insulin untuk menurunkan glukosa darah dengan cara
menstimulasi pemakaian glukosa di jaringan otot dan lemak serta menekan produksi
glukosa oleh hati menurun. Penurunan sensitivitas tersebut juga menyebabkan
resistensi insulin sehingga kadar glukosa dalam darah tinggi. Kadar glukosa darah
yang tinggi selanjutnya berakibat pada proses filtrasi yang melebihi transpor
maksimum. Keadaan ini mengakibatkan glukosa dalam darah masuk ke dalam urin
(glukosuria) sehingga terjadi diuresis osmotik yang ditandai dengan pengeluaran urin
yang berlebihan (poliuria). Banyaknya cairan yang keluar menimbulkan sensasi rasa
haus (polidipsia). Glukosa yang hilang melalui urin dan resistensi insulin
menyebabkan kurangnya glukosa yang akan diubah menjadi energi sehingga
menimbulkan rasa lapar yang meningkat (polifagia) sebagai kompensasi terhadap
kebutuhan energi. Penderita akan merasa mudah lelah dan mengantuk jika tidak ada
kompensasi terhadap kebutuhan energi tersebut.

5. Manifestasi klinis Diabetes Melitus


Tanda dan gejala diabetes melitus menurut Smeltzer et al (2013). dan Kowalak
(2011), yaitu:
a. Poliuria (air kencing keluar banyak) dan polydipsia (rasa haus yang berlebih)
yang disebabkan karena osmolalitas serum yang tinggi akibat kadar glukosa
serum meningkat.
b. Anoreksia dan polifagia (rasa lapar yang berlebih) yang terjadi karena glukosuria
yang menyebabkan keseimbangan kalori negative.
c. Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan yang disebabkan penggunaan glukosa
oleh sel menurun.
d. Kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa gatal pada
kulit.
e. Sakit kepala, mengantuk, dan gangguan pada aktivitas disebabkan oleh kadar
glukosa intrasel yang rendah.
f. Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang labil akibat ketidakseimbangan
elektrolit.
g. Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang disebabkan karena
pembengkakan akibat glukosa.
h. Sensai kesemutan atau kebas di tangan dan kaki yang disebabkan kerusakan
jaringan saraf.
i. Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen yang disebabkan karena
neuropati otonom yang menimbulkan konstipasi.
j. Mual, diare, dan konstipasi yang disebabkan karena dehidrasi dan
ketidakseimbangan elektrolit serta neuropati otonom.

6. Pendekatan diagnostik Diabetes Melitus


Pendekatan diagnostik neuropati perifer yang baik dimulai dari pengenalan tanda dan
gejala yang khas pada penyakit ini. Neuropati perifer dapat bersifat difus seperti pada
neuropati perifer diabetik atau bersifat fokal seperti pada carpal tunnel syndrome.
Setelah menemukan tanda dan gejala yang khas dari penyakit ini, dokter di layanan
kesehatan primer juga dapat mengajukan pemeriksaan laboratorium sederhana untuk
menegakkan diagnosis. Neuropati perifer adalah kelompok kelainan yang
memengaruhi sistem saraf perifer. Secara klinis, neuropati perifer dapat dibedakan
menjadi tipe fokal, multifokal, dan polineuropati yang bersifat difus. Neuropati fokal
yang tersering adalah carpal tunnel syndrome dan penekanan saraf akibat hernia
nukleus pulposus. Sementara itu, contoh neuropati multifokal adalah pada lepra dan
contoh polineuropati adalah pada pasien diabetes mellitus tipe 1 dan diabetes mellitus
tipe 2.

7. Penatalaksanaan Diabetes Melitus secara


holistik (Farmakologi dan Non Farmakologi)
Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan Bersama dengan pengaturan makan dan Latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
1. Metformin 3 x 500 mg
2. Insulin basal 8 IU
Nonfarmakologi
1. Memberikan motivasi dan penjelasan mengenai penyakit yang sedang diderita oleh
pasien dan komplikasinya
2. Edukasi mengenai diet DM dan memberikan daftar menu diet DM yang sesuai
kebutuhan kalori dalam bentuk kalender.
3. Meningkatkan motivasi pasien untuk minum obat secara teratur dengan
mengajarkan minum obat tepat waktu.
4. Edukasi pasien untuk kontrol teratur dalam memeriksa kadar gula darah ke dokter
atau Puskesmas.
5. Edukasi dan mengajarkan kepada pasien mengenai perawatan kaki dan senam kaki
diabetes.

8. Komplikasi Diabetes Melitus


Gagal Ginjal Kronik (Cronic kidney Failure)
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal
yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Gagal ginjal akibat DM disebut juga nefropati diabetika. Berbagai teori seperti
peningkatan produk glikosilasi nonenzimatik, peningkatan jalur poliol,
glukotoksisitas, dan protein kinase-C memberikan kontribusi pada kerusakan ginjal.
Terjadi perubahan pada membrane basalis glomerulus yaitu proliferasi dari selsel
mesangium. Hal ini menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah
sehingga terjadi perubahan permeabilitas membrane basalis glomerulus yang ditandai
dengan timbulnya albuminuria. Selain itu, akhir-akhir ini penelitian klinis
mendapatkan adanya sklerosis dan gagal ginjal, yang mana dapat berkontribusi
terhadap kematian. Menurut National Kidney Foundation(2011)kriteria penyakit
ginjal kronik adalah:
a. Kerusakan ginjal ≥3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional dari ginjal,
dengan atau tanpa berkurangnya laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi
berupa kelainan patologi atau kelainan laboratorik pada darah, urin, atau kelainan
pada pemeriksaan radiologi.
b. LGF <60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama >3 bulan, dengan
atau tanpa kerusakan ginjal. Prevalensi penyakit gagal ginjal kronik saat ini terus
mengalami
peningkatan di seluruh belahan dunia. Diperkirakan lebih dari 50 juta penduduk dunia
mengalami PGK dan 1 juta dari mereka membutuhkan terapi pengganti ginjal.17
Penelitian di jepang memperkirakan sekitar 13 % dari jumlah penduduk atau sekitar
13,3 juta orang yang memiliki penyakit ginjal kronik pada tahun 2005.
Studi di Indonesia menyebutkan angka insidensi pasien PGK sebesar 30,7 perjuta
penduduk dan angka kejadianya sebesar 23,4 perjuta penduduk. Jumlah pasien yang
menderita penyakit ginjal kronik diperkirakan akan terus meningkat, peningkatan ini
sebanding dengan bertambahnya jumlah populasi, peningkatan populasi usia lanjut,
serta peningkatan jumlah pasien hipertensi dan diabetes.

9. Prognosis Diabetes Melitus


Prognosis dari DM bergantung pada pola hidup yang dilakukan oleh pasien dalam
mengontrol kadar gula nya. Pasien dengan kontrol glikemik ketat (HbA1c < 7%),
tanpa disertai riwayat gangguan kardiovaskuler, dan juga tidak ada gangguan
mikrovaskuler serta makrovaskuler akan mempunyai harapan hidup lebih lama.
Namun jika pasien memiliki Riwayat penyakit kardiovaskuler dan telah menderita
diabetes lama (≥ 15 tahun) akan mempunyai harapan hidup lebih singkat, walaupun
telah melakukan kontrol glikemik ketak sekalipun. DM dapat menyebabkan
mortalitas dan morbiditas karena dapat berkomplikasi pada penyakit kardiovaskuler,
penyakit ginjal, gangguan pembuluh darah perifer, gangguan saraf (neuropati), dan
retinopati. Pengontrolan kadar glikemik merupakan cara efektif untuk pencegahan
DM.

10. Penyakit Diabetes Melitus yang memerlukan


Rujukan
Kebijakan rujukan kasus diabetes melitus dari puskesmas ke Rumah Sakit harus
sesuai dengan prinsip rujukan yang diatur dalam PMK no 1 tahun 2012pasal 9,
tentang sistem rujukan. Pasal tersebut mengatakan bahwa faskes dapat melakukan
rujukan /ertikal apabila pasien membutuhkan pelayanankesehatan spesialistik atau
sub spesialistik dan perujuk tidak dapatmemberikan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien karenaketerbatasan fasilitas, peralatan dan atau ketenagaan,
tidak berdasarkan indikasi sosial. Rujukan ulangan juga dapat diberikan kembali
apabila terapi oleh dokter spesialis di rumah sakit belum selesai.Berdasarkan PMK no
5 tahun 2014, dikatakan bahwa puskesmas harus dapat menangani kasus DM-2 non
insulin dependent, untuk kasus DM tipe 1 atau 2 dengan insulin dependent atau DM
tipe lain dan Diabetes Gestasional makapuskesmas diharuskan melakukan rujukan
vertikal ke rumah sakit. Pada pasienyang terdiagnosis diabetes tipe 2 baru, puskesmas
dapat merujuk ke dokterspesialis di rumah sakit untuk menentukan apakah terdapat
komplikasi daripenyakit tersebut, untuk nantinya mendapat rujukan balik beserta
terapi yangdapat diberikan di puskesmas. Setelah menjalani terapi selama 2-3 bulan,
pasien baru dapat dirujuk kembali apabila target gula darah tidak tercapai dengan 2
obat dan diet yang sehat. Namun bila pasien menunjukkan penyakitlain seperti seperti
KAD, nefropati, neuropati, retinopati, cardiomyopati atau DM tipe 1 atau 2 dengan
insulin dependent atau Diabetes Gestasional pasiendapat dirujuk ke rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai