PENDAHULUAN
1
(93,9%) menunjukkan kenaikan prevalensi DM (Profil Kesehatan Indonesia, 2014).
Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi tertinggi adalah Provinsi Sulawesi
Tengah (3,7%), provinsi terendah adalah Bengkulu dan Kalimantan Barat (1%).
Provinsi Sumatera Utara memiliki prevalensi DM dengan komplikasi (1,8%) dan
proporsi penderita DM dengan komplikasi 2,3%. Hasil Riset Kesehatan Dasar khusus
Provinsi Sumatera Utara tahun 2013, prevalensi DM tertinggi di Deli Serdang 2,9%,
di daerah Karo 1,9% dan terendah di Mandailing Natal 0.3% (Kemenkes, 2014).
Tingginya prevalensi DM sejalan dengan tingginya komplikasi dari DM itu
sendiri. Di Indonesia sendiri komplikasi kronik dari DM ini terdiri atas neuropati
(60%), penyakit jantung koroner (20,5%), ulkus diabetik (15%), retinopati diabetik
(10%), dan nefropati (7,1%) (Hastuti, 2008).
Pneumonia adalah suatu peradangan pada parenkim paru. Proses peradangan
tersebut terbanyak disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, dan jamur), selain
itu dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor lain (inhalasi bahan kimia atau makanan,
radiasi, dan lain-lain). Secara klinis pneumonia dapat diklasifikasikan sebagai suatu
peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit,
dan lain-lain). Secara anatomis pneumonia dapat diklasifikasikan sebagai pneumonia
lobaris, pneumonia segmentalis, dan pneumonia lobularis yang dikenal sebagai
bronkopneumonia dan biasanya mengenai paru bagian bawah. Selain itu pneumonia
dapat juga dibedakan berdasarkan tempat dapatannya, yaitu pneumonia komunitas
dan pneumonia rumah sakit.
2
menyebabkan perubahan pada pertahanan imun seseorang dan, akibatnya, terjadi
peningkatan kerentanan terhadap infeksi, khususnya infeksi paru.
Hiperglikemia kronis akibat kekurangan insulin absolut atau relatif
merupakan ciri gangguan metabolisme pada penderita diabetes mellitus, sehingga
tanda-tanda dan gejalanya khas. Insulin adalah driver yang sangat penting dari proses
anabolik. Besarnya dan durasi hiperglikemia sangat terkait dengan tingkat keparahan
komplikasi mikrovaskuler dan neurologis. Adanya komplikasi ini menambah risiko
terhadap infeksi. Kecenderungan untuk infeksi juga mungkin didasarkan pada kondisi
gangguan pada mekanisme pembersihan normal, dan pada gangguan fungsi sel imun
paru. Terdapat beberapa jenis infeksi paru yang mungkin lebih sering terjadi pada
penderita diabetes daripada di pada nondiabetis. Pasien diabetes juga terjadi
peningkatan risiko komplikasi pneumonia, seperti bakteremia, atau pneumonia
bakteri rekuren atau kronis, dan menyebabkan peningkatan kematian yang mungkin
berhubungan dengan penyakit medis yang terjadi bersamaan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
a. Sindrom diabetes monogenik, seperti neonatal diabetes, dan maturity-
onset diabetes of the young (MODY).
b. Penyakit eksokrin pankreas, seperti fibrosis kistik.
c. Karena pengaruh obat atau zat kimia, seperti dalam penggunaan
glukokortikoid, pengobatan HIV/AIDS atau paska transplantasi organ.
2.1.3 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2
Transporter glukosa yang paling utama dan berperan pada jaringan otot dan
jaringan lemak adalah Glucose transporter type 4 (GLUT-4). GLUT-4 normalnya
didaur ulang diantara membran plasma sel dan simpanan intraselular. Translokasi
GLUT-4 intraselular dirangsang oleh insulin, sebenarnya 8 dimulai dari ikatan insulin
kepada reseptor di bagian ekstraselular. Bila ada insulin, akan terjadi translokasi
reseptor ke membran plasma yang akan menyebabkan peningkatan glukosa masuk ke
dalam sel. Insulin akan berikatan dengan reseptor di ekstraseluler yang akan
menyebabkan reaksi fosforilasi. Reaksi tersebut akan memfosforilasi protein
intraseluler yaitu Insulin Reseptor Substrate-1 (IRS-1). IRS-1 memicu transpor
glukosa transmembran. Tingginya kadar glukosa darah pada seseorang yang
mengalami resistensi insulin maka akan menyebabkan terganggunya translokasi
GLUT-4 dari intraseluler ke membran plasma (Raymond RT, 2016).
Mekanisme utama patofisiologi DM tipe 2 adalah terjadinya resistensi insulin dan
insufisiensi sekresi insulin. Resistensi insulin berhubungan erat dengan kondisi
obesitas, dimana obesitas akan menyebabkan peningkatan kadar sitokin proinflamasi
sistemik, menyebabkan sel-sel tidak peka terhadap insulin. Mekanisme persisnya
yang menyebabkan sitokin proinflamasi dapat menyebabkan penurunan kepekaan sel
terhadap insulin masih belum dapat diketahui pasti (Ozougwu et al, 2013).
Karena resistensi insulin, maka sel beta pankreas akan meningkatkan produksi
insulin untuk menyesuaikan keadaan glukosa darah dan kebutuhan relatif sel akan
insulin dimana kepekaannya telah berkurang. Oleh karena itu, pada keadaan
prediabetik, akan ditemukan keadaan hiperinsulinemia dengan kadar glukosa darah
yang masih normal. Namun kemampuan pankreas untuk mempertahankan sekresi
5
insulin yang tinggi tersebut terbatas, dan semakin lama resistensi insulin yang
semakin meningkat akan meningkatkan stres sel beta pankreas memproduksi insulin,
sehingga pelan-pelan sel-sel beta akan mengalami kemunduran produksi insulin, dan
terjadilah keadaan insufisiensi sekresi insulin (Ozougwu et al, 2013; Price & Wilson,
2003).
Saat resistensi insulin dan insufisiensi sekresi insulin terjadi, maka terjadilah
keadaan diabetes. Gula darah akan meningkat, dan mekanisme lain untuk
mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap dalam kadar normal diambil alih
oleh ginjal. Ginjal akan mengekskresikan glukosa, sehingga akan timbul glikosuria.
Kadar glukosa yang tinggi di urin inilah yang menjadi alasan diabetes mellitus juga
disebut penyakit “kencing manis” (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Glikosuria akan menyebabkan peningkatan tekanan osmotik urin. Hal ini akan
menyebabkan plasma darah yang melewati ginjal akan ditarik ke nefron sehingga
kadar air yang diekskresikan ginjal bertambah, menyebabkan poliuria. Poliuria
kemudian akan menyebabkan kadar cairan tubuh berkurang, sehingga mekanisme
fisiologis akan dehidrasi bekerja, menyebabkan rasa haus dan polidipsia. Glikosuria
menyebabkan sumber energi tubuh (glukosa) terbuang, ditambah dengan
ketidakmampuan relatif sel-sel tubuh mengonsumsi glukosa karena resistensi insulin
dan insufisiensi sekresi insulin, menyebabkan rasa lapar, polifagia, mudah lelah, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya pada pasien DM tipe
2. Oleh karena itu, poliuria, polidipsia, dan polifagia adalah gejala klasik DM yang
paling awal (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013; Price & Wilson, 2003)
Ginjal tidak dapat menyekresikan glukosa hingga pada kadar yang normal,
sehingga walaupun sudah terjadi glikosuria dan poliuria, kadar glukosa darah tetap
tinggi. Kadar glukosa darah yang tinggi ini akan menyebabkan gangguan metabolik
dan penumpukan “produk glukosa” sistemik, yang terutama akan menumpuk pada
pembuluh darah dan neuron. Apabila keadaan hiperglikemia tetap dibiarkan kronis,
maka komplikasi metabolik akut, vaskular, dan neurologis DM akan terjadi (Romesh,
2014; Ozougwu et al, 2013).
6
Komplikasi metabolik akut lebih dikarenakan oleh disfungsi kontrol
metabolik insulin, terutama pada hati, dibandingkan hiperglikemia itu sendiri. Insulin
tidak hanya menyebabkan glukosa darah dapat dikonsumsi oleh sel, namun insulin
juga mengontrol fungsi glikogenesis, lipogenesis, glukoneogenesis, lipolisis, dan
pembentukan badan keton. Ketosis adalah keadaan metabolik akut yang dapat terjadi
pada keadaan DM dengan insufisiensi sekresi insulin yang nyata, menyebabkan
keadaan yang disebut sebagai ketoasidosis metabolik (KAD). Namun KAD lebih
sering ditemui pada pasien dengan DM tipe 1. Keadaan ini ditandai dengan terjadinya
gejala-gejala asidosis, seperti takipnea, penurunan pH darah, dan penurunan kadar
bikarbonat darah (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Pada pasien dengan DM tipe 2, gangguan metabolik akut yang lebih sering
terjadi adalah hyperglicemic hyperosmolar state (HHS). Karena pada DM tipe 2
hanya terjadi (walau hanya pada awalnya) insufisiensi sekresi insulin relatif, maka
insulin yang ada masih cukup untuk mengontrol fungsi metabolik hati untuk
memproduksi badan keton, sehingga kadar badan keton pada tubuh dapat ditekan, dan
tidak terjadi ketosis. Namun, hiperglikemia akut, yang biasanya terjadi apabila
glukosa darah lebih dari 600 mg/dL dan terutama pada pasien tua, akan menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan osmotik plasma yang drastis, menyebabkan
pengeluaran urin masif yang menyebabkan dehidrasi. Kadar glukosa yang tinggi
tersebut juga menyebabkan kadar pH darah menurun, sehingga terjadi asidosis
nonketotik. Keadaan asidosis dan dehidrasi pada HHS ini dapat menyebabkan
penurunan kesadaran dan kematian apabila tidak segera ditangani dengan rehidrasi
dan pengontrolan hiperglikemia dengan insulin (Romesh, 2014; Ozougwu et al,
2013).
Selain komplikasi metabolik akut, dapat terjadi juga komplikasi jangka
panjang yang menyerang vaskular dan saraf. Hiperglikemia kronis menyebabkan
peningkatan kadar glikoprotein, dan glikoprotein tersebut akan menumpuk di
vaskular dan neuron. Pada vaskular, komplikasi penumpukan glikoprotein ini dibagi
menjadi lesi mikrovaskular dan lesi makrovaskular (Romesh, 2014; Ozougwu et al,
7
2013).
Lesi mikrovaskular akan menyebabkan komplikasi seperti retinopati diabetik
dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik ditandai dengan mikroaneurisma,
neovaskularisasi, dan perdarahan sehingga menyebabkan kebutaan. Sedangkan pada
nefropati diabetik, kadar glukosa masif darah yang melewati ginjal akan
menyebabkan lesi pada struktur nefron, sehingga dapat menyebabkan
glomerulosklerosis, yang kemudian akan meluas ke seluruh struktur nefron dan
menyebabkan gagal ginjal (Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Lesi makrovaskular akan menyebabkan aterosklerosis pada pembuluh-
pembuluh darah, terutama pada pembuluh darah perifer, pembuluh darah koroner,
dan pembuluh darah serebral. Lesi aterosklerotik pada pembuluh darah perifer lebih
sering nyata terjadi pada pembuluh darah telapak kaki, dimana disertai dengan
menurunnya sensitivitas sensorik terhadap trauma saat berjalan (neuropati), maka lesi
aterosklerotik pada pembuluh darah perifer tersebut akan menyebabkan darah sulit
untuk mengalir dan terjadi luka yang berulang pada daerah kaki. Hambatan aliran
darah pada daerah luka akan menyebabkan sel-sel imun yang berfungsi untuk
regenerasi dan peradangan tidak dapat sampai pada daerah lesi, sehingga
penyembuhan luka tidak terjadi dan terjadi infeksi pada daerah luka. Mekanisme
inilah yang menyebabkan ulkus diabetik pada penderita DM tipe 2 (Romesh, 2014;
Rowe, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Lesi aterosklerotik pada pembuluh darah koroner akan menyebabkan
penderita DM tipe 2 untuk lebih beresiko mengalami penyakit jantung koroner (PJK).
Lesi pada pembuluh darah serebral dapat meningkatkan resiko penderita DM tipe 2
untuk mengalami penyakit serebrovaskular (Cerebrovascular Disease; CVD)
(Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Mekanisme lain yang terjadi pada penderita DM tipe 2 adalah gangguan
metabolisme jalur poliol (glukosa, sorbitol, fruktosa) dikarenakan insufisiensi insulin
relatif menyebabkan kadar insulin yang kurang tidak dapat mengatur jalannya
metabolisme ini. Akibatnya, akan terjadi penumpukan sorbitol pada lensa mata, yang
8
akan menyebabkan elastisitas lensa berkurang, dan terjadilah katarak diabetika
(Ozougwu et al, 2013; Price & Wilson, 2003).
Penumpukan sorbitol juga terjadi pada serabut mielin, dimana sorbitol akan
merusak serabut mielin dan akson akan mengalami degenerasi. Penurunan
kemampuan akson ini akan menyebabkan neuropati diabetik, yang akan berakibat
luas kepada sistem saraf sensorik, sistem saraf motorik, dan sistem saraf otonom
(Romesh, 2014; Ozougwu et al, 2013).
Kerusakan sistem saraf sensorik akan menyebabkan parestesia, anestesia, dan
penurunan kepekaan akan rangsang nosiseptif, sehingga penderita DM tipe 2 dapat
mengalami kecenderungan untuk mengalami luka tanpa disadari, terutama pada
daerah kaki. Sedangkan pada sistem saraf motorik, dapat terjadi kelemahan otot.
Kerusakan pada sistem otonom dapat menyebabkan impotensi (Price & Wilson,
2003).
9
menyatakan bahwa usia sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan
kadar glukosa darah, sehingga semakin meningkat usia maka prevalensi DM
dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. Proses menua yang
berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis,
fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada
tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ, yang dapat mempengaruhi
fungsi homeostasis (Price and Wilson, 2006).
c. Jenis kelamin
Penyakit DM ini sebagian besar dijumpai pada perempuan dibandingkan laki-
laki karena terdapat perbedaan dalam melakukan semua aktivitas dan gaya
hidup sehari-hari yang sangat mempengaruhi kejadian suatu penyakit, dan hal
tersebut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit DM
(Soegondo, 2007). Jumlah lemak pada laki-laki dewasa rata-rata berkisar
antara 15-20% dari berat badan total, dan pada perempuan sekitar 20-25%.
Jadi peningkatan kadar lemak pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-
laki, sehingga faktor risiko terjadinya DM pada perempuan 3-7 kali lipat lebih
tinggi dibandingkan pada laki-laki yaitu 2-3 kali lipat (Soegondo, 2007).
d Berat badan
Obesitas adalah berat badan yang berlebih minimal 20% dari BB idaman atau
indeks massa tubuh lebih dari 25 kg/m2. Soegondo (2007) menyatakan bahwa
obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa
darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh tubuh termasuk
di otot berkurang jumlahnya dan kurang sensitif.
e. Aktivitas fisik
Kurangnya aktifitas merupakan salah satu faktor yang ikut berperan dalam
resistensi insulin pada DM tipe II (Soegondo, 2007). Kriska (2007)
menyatakan mekanisme aktifitas fisik dapat mencegah atau menghambat
perkembangan DM tipe II yaitu :
1) resistensi insulin
10
2) peningkatan toleransi glukosa
3) Penurunanlemak adipose
4) Pengurangan lemak sentral; perubahan jaringan otot. Aktivitas fisik yang
semakin jarang maka gula yang dikonsumsi juga akan semakin lama terpakai,
akibatnya prevalensi peningkatan kadar gula dalam darah juga akan semakin
tinggi.
f. Pola makan
Penurunan kalori berupa karbohidrat dan gula yang diproses secara
berlebihan, merupakan faktor eksternal yang dapat merubah integritas dan
fungsi sel beta individu yang rentan (Prince & Wilson, 2006). Individu yang
kelebihan berat badan harus melakukan diet untuk mengurangi kebutuhan
kalori sampai berat badannya turun mencapai batas ideal. Penurunan kalori
yang moderat (500-1000 Kkal/hari) akan menghasilkan penurunan berat
badan yang perlahan tapi progresif (0,5-1 kg/minggu). Penurunan berat badan
2,5-7 kg/bulan akan memperbaiki kadar glukosa darah (ADA, 2006).
g. Stress
Respon stress menyebabkan terjadinya sekresi sistem saraf simpatis yang
diikuti oleh sekresi simpatis-medular, dan bila stress menetap maka sistem
hipotalamus-pituitari akan diaktifkan dan akan mensekresi corticotropin
releasing factor yang menstimulasi pituitary anterior untuk memproduksi
adenocorticotropic faktor (ACTH). Adenocorticotropic menstimulasi
produksi kortisol, kortisol adalah hormon yang dapat menaikkan kadar gula
darah (Guyton, 2006).
11
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa
setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal
untuk zat ini, maka akan akan menimbulkan glukosa. Glukosa ini akan
mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan
timbul rasa haus (polidipsia). Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena
pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolute namun hanya relatif. Sejumlah
insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis. Apabila
terjadi hiperglikemia berat dan pasien berespon terhadap terapi diet, atau terhadap
obat-obat hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan
kadar darahnya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer
terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau
malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa
darah normal (Price and Wilson,2006).
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis Diabetes Melitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar
glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan
bahan darah utuh (whole blood) vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO (Sudoyo Aru, 2006).
Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Melitus (DM) dan
pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan
untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko
DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang
hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif
(Sudoyo Aru, 2006).
12
Diagnosis klinis Diabetes Melitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila ada
keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin
dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Apabila ditemukan
gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM,
maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM
juga dapat ditegakkan melalui cara pada tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau, gejala klasik DM + Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
(Purnamasari, D. 2009)
13
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu
15 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subyek yang dipeiksa tetap istirahat dan
tidak merokok
14
Pemeriksaan penyaringan
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko
Diabetes Melitus (DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan
ini bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu) maupun GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu), sehingga dapat
ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai
prediabetes, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut
15
merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di
kemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks Massa
Tubuh (IMT) ≥ 25 Kg/m2 dengan faktor resiko lain sebagai berikut
1. Aktivitas fisik kurang
2. Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative)
3. Masuk kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native
American, Asian American, Pasific Islander)
4. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau
riwayat DM gestasional (DMG)
5. Hipertensi (tekanan darah > 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti
hipertensi
6. Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
7. Wanita dengan sindrim polikistik ovarium
8. Riwayat Toleransi glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)
9. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas, akantosis
nigrikans)
10. Riwayat penyakit kardiovaskular
Tabel 2.
Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa
Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)
Bukan Belum pasti DM
DM DM
Kadar glukosa darah Plasma < 110 110-199 > 200
sewaktu (mg/dl) vena
Darah < 90 90-199 > 200
16
kapiler
Kadar glukosa darah Plasma < 110 110-125 > 126
puasa (mg/dl) vena
Darah < 90 90-199 > 110
kapiler
Sumber : Soegondo S (2005)
Tabel 3.
Kriteria diagnostik diabetes melitus * dan gangguan toleransi glukosa
1. Konsentrasi glukosa darah sewaktu (plasma vena) ³ 200 mg/dl
2. Konsentrasi glukosa darah puasa > 126 mg/dL atau
3. Kadar glukosa plasma ³ 200 mg/dl pada dua jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO **
*
Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang
lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik
berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi, polifagi dan berat
badan menurun cepat.
**
Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk
penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik
kadar glukosa darah puasa dan dua jam pasca pembebanan. Untuk DM
gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.
2.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah
normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien.
Menurut Konsensus Perkeni 2011, ada empat pilar penatalaksanaan DM.
2.7.1 Edukasi
17
Pengelolaan mandiri DM secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien
dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi
pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup.
Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi,
pengembangan keterampilan (skill), dan upaya peningkatan motivasi.
2.7.2 Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori masing masing individu. Perlu ditekankan
pentingnya keteraturan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan
terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa darah dan
insulin. Menurut Smeltzer dan Bare (2002), tujuan utama terapi DM adalah
menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk
mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan
terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah normal
(euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola
aktivitas pasien. Salah satu penalaksanaan DM antara lain dengan diet dan
apabila DM telah terjadi komplikasi Chronic kidney disease (CKD) pada
stadium 3 maka penatalaksaan diet DM tidak tepat untuk digunakan.
Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan
DM. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diarahkan untuk mencapai tujuan
sebagai berikut:
a. Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan mineral)
b. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
c. Memenuhi kebutuhan energi
d. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang
aman dan praktis
e. Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat (Perkeni, 2011).
18
Syarat diet penyakit DM menurut Perkeni 2011 adalah :
a. Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal,
ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan
ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT) berdasarkan kriteria Asia
Pasifik dapat dihitung dengan rumus IMT = BB(kg)/ TB(m2).
b. Kebutuhan protein sebesar 10-20 % dari total asupan energy
c. Kebutuhan lemak dianjurkan sekitar 20-25% dari kebutuhan energi
total, dalam bentuk <7% dari kebutuhan energi total berasal dari lemak
jenuh, 10% dari lemak tak jenuh ganda, sedangkan sisanya dari lemak
jenuh tunggal. Asupan kolesterol dibatasi, yaitu < 200 mg hari.
d. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
e. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang DM dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain. Buahbuahan tidak
secara berlebihan dari 5% total asupan energy.
f. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
19
sementara yang sudah mendapat komplikasi dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan yang kurang gerak.
2.6.4 Terapi Farmakologis
a. Obat Anti-hiperglikemia Oral:
1. Insulin secretagogue: memacu sekresi insulin. Contohnya yaitu
sulfonilurea dan glinid.
2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin. Contohnya yaitu metformin
dan tiazolidindion (TZD).
3. Penghambat Glukosidase Alfa: menghambat absorbsi glukosa dalam
usus halus.
4. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV): saat kerja DPP-IV
dihambat maka GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi sehingga
dapat meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon.
5. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2):
menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal. Contohnya
yaitu: canagliflozin, empagliflozin.
b. Obat Antihiperglikemia Suntik
1. Insulin
2. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic: merangsang pelepasan insulin yang
tidak menimbulkan hipoglikemia (Eliana, 2015).
2.1.8 Komplikasi
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) komplikasi DM
dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Komplikasi akut
a. Hipoglikemia adalah kadar gula darah <50 mg/dl. Kadar gula yang rendah dapat
menyebabkan kerusakan pada sel–sel otak karena tidak mendapat pasokan
energi.
20
b. Hiperglikemia adalah kadar gula darah tiba–tiba tinggi. Keadaan ini dapat
menyebabkan ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar non ketotik (KHNK)
dan kemolakto asidosis.
2. Komplikasi kronis
a. Komplikasi makrovaskular yang biasanya terjadi adalah trombosit otak
(pembekuan darah pada sebagian otak), dan mengalami penyakit jantung
koroner (PJK).
b. Komplikasi mikrovaskular, seperti nefropati, diabetik retinopati, dan neuropati
(ADA, 2011).
2.2 Pneumonia
2.2.1 Definisi
Pneunomia adalah peradangan alat parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, protozoa), selain itu dapat juga disebabkan
oleh faktor-faktor lain (inhalasi bahan kimia atau makanan, radiasi, dan lain-lain).
2.2.2 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu
bakteri, virus, jamur, protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri.
Penyebab tersering pneumonia bakterialis adalah bakteri positif-gram, Streptococcus
pneumonia yang menyebabkan pneumonia streptokokus. Bakteri staphylococcus
aureus dan streptococcus aeruginosa. Pneumonia lainnya disebabkan oleh virus,
misalnya influenza.
Pneumonia lobaris adalah peradangan jaringan akut yang berat yang
disebabkan oleh pneumococcus. Nama ini menunjukkan bahwa hanya satu lobus paru
yang terkena. Ada bermacam-macam pneumonia yang disebabkan oleh bakteri lain,
misalnya bronkopneumonia yang penyebabnya sering haemophylus influenza dan
pneumococcus.
21
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi
sampai usia lanjut. Pecandu alcohol, pasien pasca operasi, orang-orang dengan
gangguan penyakit pernapasan, sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan
tubuhnya , adalah yang paling berisiko.
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan
yang sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia
lanjut, dan malnutrisi, bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan
merusak organ paru-paru.
22
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru
banyak disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu.
Selain itu, toksin-toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis
dapat secara langsung merusak sel-sel system pernapasan bawah. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan:
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara Kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 – 2,0 nm melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian
kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan
penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan
diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya
antibodi.
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling
mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun
seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru
kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi cairan. Dari jaringan paru-paru,
infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Bakteri
pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai penyebab pneumonia.
23
2.2.3 Klasfikasi
A. Berdasarkan klinis dan epidemiologi
1. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP)
2. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP)
3. Pneumonia pada penderita immunocompromised Host
4. Pneumonia aspirasi
24
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan
peribronkil. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan
mycoplasma. Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan
interstisial prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus
masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak merata
2.2.4 Diagnosis
Penegakan diagnosis pneumonia dapat dilakukan melalui:
Gambaran Klinis
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia. Gejala-gejala
meliputi:
1. Demam dan menggigil akibat proses peradangan
2. Batuk yang sering produktif dan purulen
3. Sputum berwarna merah karat atau kehijauan dengan bau khas
4. Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian
atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh
kadang-kadang melebihi 40º C, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai
batuk, dengan sputum mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah.
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagiam yang sakit tertinggal waktu
bernafas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang
melemah. Mungkin disertai ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar
pada stadium resolusi.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya >10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
25
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan
diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur
darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Anlalisa gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik.
Gambaran Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain:
Perselubungan homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis.
Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil.
Tidak tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada atelektasis.
Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru ; batas lesi
dengan jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di
lobus medius kanan.
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir
terkena.
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara
pada bronkus karena tiadanya pertukaran udara pada alveolus).
Foto thorax saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia,
hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya penyebab pneumonia
lobaris tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas
aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada
lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
26
Gambar 2.1 Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada satu
segmen/lobus (lobus kanan bawah PA maupun lateral)) atau bercak yang
mengikutsertakan alveoli yang tersebar. Air bronchogram biasanya ditemukan pada
pneumonia lobaris.
2.2.5 Penatalaksanaan
Dalam mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya.
Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat dirawat dirumah.
27
Obat penurunan panas hanya diberikan bila suhu > 400C, takikardi atau kelainan
jantung.
Bila nyeri pleura hebat dapat diberikan obat anti nyeri.
Pengobatan Kausal
Dalam pemberian antibiotika pada penderita pneumonia sebaiknya
berdasarkan MO(Mikroorganisme) dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi beberapa
hal perlu diperhatikan:
Penyakit yang disertai panas tinggi untuk penyelamatan nyawa dipertimbangkan
pemberian antibiotika walaupun kuman belum dapat diisolasi.
Kuman pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab sakit,
oleh karena itu diputuskan pemberian antibiotika secara empiric. Pewarnaan
gram sebaiknya dilakukan.
Perlu diketahui riwayat antibiotika sebelumnya pada penderita.
Pengobatan awal biasanya adalah antibiotik, yang cukup manjur mengatasi
pneumonia oleh bakteri, mikroplasma, dan beberapa kasus ricketsia. Kebanyakan
pasien juga bisa diobati di rumah. Selain antibiotika, pasien juga akan mendapat
pengobatan tambahan berupa pengaturan pola makan dan oksigen untuk
meningkatkan jumlah oksigen dalam darah. Pada pasien yang berusia pertengahan,
diperlukan istirahat lebih panjang untuk mengembalikan kondisi tubuh. Namun,
mereka yang sudah sembuh dari pneumonia mikroplasma akan letih lesu dalam
waktu yang panjang.
28
masalah kesehatan di dunia karena angka kematianya tinggi, tidak saja di negara
berkembang, tapi juga di Negara maju. Pengobatan pneumonia kebanyakan dilakukan
secara empiris yaitu menggunakan antibiotik spektrum luas yang bertujuan agar dapat
melawan beberapa kemungkinan penyebab infeksi. Tanpa disadari penggunaan
antibiotik spektrum luas yang tidak terkendali dapat menimbulkan efek samping obat
dan potensi terjadinya resistensi obat. Penggunaan obat yang tidak tepat dan efektif
untuk kedua penyakit ini dapat menimbulkan efek yang merugikan bagi tubuh
penderita. Oleh karena itu, pemilihan terapi farmakologi dan non farmakologi yang
tepat sangatlah penting agar tercapai terapi yang optimal.
Infeksi paru pada diabetes mellitus ditandai dengan perubahan pada
pertahanan imun host, di seluruh tubuh, dan khususnya secara lokal di paru-paru
maupun pada fungsi epitel pernapasan dan motilitas silia. Keadaan ini ditandai
dengan gambaran klinis yang serius, durasi yang lebih lama, komplikasi yang lebih
sering, dan peningkatan mortalitas. Angka kematian akiata infeksi paru pada pasien
diabetes dengan penyakit ginjal stadium akhir 10 kali daripada populasi umum.
Pentingnya keadaan hiperglikemia harus ditekankan dalam hal ini, karena dapat
menyebabkan perubahan pada pertahanan imun seseorang dan, akibatnya, terjadi
peningkatan kerentanan terhadap infeksi, khususnya infeksi paru.
Hiperglikemia kronis akibat kekurangan insulin absolut atau relatif
merupakan ciri gangguan metabolisme pada penderita diabetes mellitus, sehingga
tanda-tanda dan gejalanya khas. Insulin adalah driver yang sangat penting dari proses
anabolik. Besarnya dan durasi hiperglikemia sangat terkait dengan tingkat keparahan
komplikasi mikrovaskuler dan neurologis. Adanya komplikasi ini menambah risiko
terhadap infeksi. Kecenderungan untuk infeksi juga mungkin didasarkan pada kondisi
gangguan pada mekanisme pembersihan normal, dan pada gangguan fungsi sel imun
paru. Terdapat beberapa jenis infeksi paru yang mungkin lebih sering terjadi pada
penderita diabetes daripada di pada nondiabetis. Pasien diabetes juga terjadi
peningkatan risiko komplikasi pneumonia, seperti bakteremia, atau pneumonia
29
bakteri rekuren atau kronis, dan menyebabkan peningkatan kematian yang mungkin
berhubungan dengan penyakit medis yang terjadi bersamaan.
Terapi pada pasien pneumonia dengan faktor resiko diabetes dimulai dengan
terapi antibiotik sesegera mungkin (berdasarkan hasil pemeriksaan antibiogram jika
mungkin). Prioritas harus diberikan terhadap antibiotik dari kelompok kuinolon dan
aztreonam (kelompok-kelompok ini melakukan penetrasi intraseluler yang lebih baik
dan mempunyai efikasi yang lebih baik pada pasien immunocompromised). Harus
diperhatikan pada kemungkinan perkembangan resistensi terhadap antibiotik.
Keadaan glikemik harus dalam keadaan baik karena akan berpengaruh pada sistem
kekebalan tubuh.
Penatalaksanaan pada pasien ini harus melibatkan pendekatan yang
komprehensif untuk semua aspek pengobatan pasien. Diperlukan kontrol glikemik
karena berkaitan dengan fungsi sel kekebalan tubuh. Selain itu, manajemen cairan
dan resusitasi pada pasien diabetes dengan gagal jantung atau ginjal yang terjadi
bersamaan dapat mempersulit terapi. Bahkan tanpa adanya tingkat kreatinin serum,
pasien mungkin mengalami disfungsi ginjal yang hanya terlihat oleh adanya mikro
atau makroalbuminuria. Banyak antibiotik yang digunakan dalam pengobatan infeksi
paru harus disesuaikan pada pasien dengan hanya ginjal. Aminoglikosida sangat
rentan terhadap perbutukan disfungsi ginjal pada penderita diabetes.
Penggunaan sitokin/imunomodulator
Karena sel kekebalan yang mungkin mengalami defek ikut bertanggung jawab atas
peningkatan kejadian infeksi dan morbiditas tinggi dan mortalitas terkait pada penderita
diabetes, obat ini mampu menambah fungsi sel inang secara teoritis menawarkan modalitas
terapi yang menarik untuk melengkapi agen antimikroba saat ini. Terapi sitokin eksogen
dapat berfungsi sebagai terapi adjuvant pada infeksi yang rumit seperti pada MDR
Mycobacterium tuberculosis atau beberapa spesies bakteri yang resisten terhadap multipel
30
obat, mengurangi keparahan infeksi, melindungi risiko tinggi pada host, atau digunakan
sebagai vaksin immunoadjuvant.
31
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 ANAMNESIS
Nama : Ny. EP
Usia : 35 tahun
Agama : Kristen
3.1.2 AUTOANAMNESIS
32
ini. Mual (+), muntah disangkal, nafsu makan baik,
BAB (+) normal.
Alergi obat :-
Berat Badan : 75 kg
IMT : 30 kg/m2
Pernapasan : 30 kali/menit
Temperatur : 37’ C
33
Lidah : Dalam batas normal
3.2.3 THORAKS
Inspeksi : Simetris
3.2.4 ABDOMEN
Inspeksi : Simetris
Perkusi : Timpani
3.2.6 EKSTREMITAS
3.2.7 GENITALIA
34
Tanggal 04/01/2020
Darah Rutin
Hemoglobin 13,5 12-16 gr/dl
Hematokrit 39,7 36-46 %
Leukosit 10.700 4.500-11.000/mm3
Eritrosit 4,52 4,20 – 5,40
Trombosit 301.000 150.000-400.000/mm3
MCV 86,7 80-97 fL
MCH 29,8 26,5 – 33,5pg
MCHC 34,4 31,5- 35,5 %
LED 74 0-20 mm/jam
Kimia Darah
35
3.3.2 FOTO THORAX
3.5. Penatalaksanaan :
- O2 4-5 L/i
- IVFD RL 20 gtt/i
- Konsul dr. Sp.P
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam
- Inj. Methylprednisolon 1amp/8jam
- Inj. Vit C 1gr/24jam
- Inj. N-Acetylsistein 1amp/24jam
- Bcomzet 2x1
- Rencena swab PCR
- Konsul ke Sp.PD
- Omeprazole 1amp/12jam
- Inj. Apidra 3x20 IU
- Inj. Mecobalamin 1amp/24jam
- Furosemide 1x1
- Candesartan 1x8mg
36
BAB IV
Tanggal Assessment
06/012021 S/ Lemas (+), sesak nafas(+), demam (+), batuk(+)
37
Inj. Apidra 3x20 IU
Paracetamol (K/P)
Furosemide 1x1
Azytromicin 1x1
Candesartan 1x8mg
Bcomzet 1x1
O/ TD: 140/100 mmHg, Hr: 98x/I, RR: 24x/I, SpO2: 96x/I, T: 36,6
KGD: 257 mg/dL
38
P/ Inj. Apidra 3x20 IU
Inj. Lantus 10 IU
N Acetylsistein 3x200 mg
Furosemid 1x1
Azytromicin 1x1
Diovan 1x80 mg
Bcomzet 1x1
11/02/2021 S/ Sesak nafas sudah berkurang, batuk(+)
39
P/ Inj. Apidra 3x20 IU
Inj. Lantus 0 – 0 - 20IU
N-Acetylsistein 3x1
Azytromicin 1x1
Oseltamivir 2x1
Diovan 1x80 mg
Furosemide 1x1
Bcomzet 1x1
14/01/2021 S/ Batuk (+)
40
O/ TD: 161/96 mmHg, HR: 82x/I, RR: 22x/I, T: 36,6, SpO2:
98%,
KGD: 191 mg/dL
A/ DM Type 2 + Pneumonia + Covid-19 Terkonfirmasi
41
Furosemide 1x1
Bcomzet 1x1
19/01/2021 S/ Batuk sudah berkurang
BAB V
DISKUSI KASUS
42
Pasien datang ke RSUD Djasamen Saragih dengan keluhan sesak nafas yang
dialami sejak ± 1 minggu ini. Pasien juga memiliki riwayat batuk dan demam.Pasien
juga mengeluhkan lemas dan tidak bisa tidur. Hasil pemeriksaan darah lengkap
dijumpai peningkatan leukosit dan LED. Pemeriksaan HbA1c dijumpai nilai
13,5gr/dl. Pada hasil pemeriksaan thoraks didapatkan kesan Pneumonia bilateral.
Kejadian infeksi paru pada penderita DM tipe II merupakan kegagalan sistem
pertahanan tubuh, dalam hal ini paru mengalami gangguan fungsi pada epitel
pernafasan dan juga motilitas silia. Gangguan fungsi dari endotel kapiler vaskular
paru, kekakuan korpus sel darah merah, perubahan kurva disosiasi oksigen akibat
kondisi hiperglikemia yang lama menjadi faktor kegagalan mekanisme pertahanan
melawan infeksi. Selain itu dapat juga disebabkan oleh adanya gangguan sistem imun
pada penderita DM tipe II, peningkatan daya lekat bakteri Mycobacterium
tuberculosis pada sel penderita DM tipe II, adanya komplikasi mikroangiopati,
makroangiopati dan neuropati, dan banyaknya intervensi medis pada pasien DM tipe
II.
43
Awasi bila timbul muntah-muntah atau terjadi hiperglikemia berat atau
hipoglikemia dan tindaki segera. Pada pasien rawat inap tindakan adalah monitor
kadar glukosa plasma 4 jam terakhir, tingkatkan dosis insulin untuk mengatasi
hiperglikemia bila perlu berikan insulin IV atau tetes. Pada pasien yang memakai obat
hiperglikemia oral pertimbangkan untuk mengganti atau menambah dosis insulin,
pertahankan hidrasi dan pemberian cairan intravena bila diperlukan.Pengobatan
Pneumonia - DM meliputi pengobatan terhadap DM dan pengobatan pneumonia
secara bersamaan.
DAFTAR PUSTAKA
44
American Diabetes Association. (2017). “Standards of Medical Care in Diabetes
2017”. Vol. 40. USA : ADA
Chehade Joe M, Ali Mac Sheikh, Moradin Arshag D, 2009. The Role of
Micronutrients in Managing Diabetes. From Research Practice,Diabetes
spectrum volume 22 number 4.
45
Depkes R.I. 2008. Pedoman Pengendalian Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Guyton AC, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Ozougwu JC, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba CB. 2013. The pathogenesis
and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. Journal of
Physiology and Pathophysiology ; 4(4):46-57.
Price, SA. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Raymond RT. 2016. Patogenesis diabetes tipe 2: resistensi defisiensi insulin. Dexa
Medica.
46
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editor. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III. Jakarta:
FK UI
Rao Yeluri Seshagiri, V Rao Dharma, 2016. Serum Magnesium Levels in Type 2
Diabetes. Department of General Medicine , Gayatri Vidya Parishad Institute
of Health Care and MeicalTecnology. Vishakapatnam Andira Pradesh. India.
Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006
Zhang Xiaoyan, Cui, Xiaoli, Wang Shuo, dkk, 2014. Association Between Diabetes
Mellitus with Metabolic Syndrome and Diabetic Microangiopathy.
Department of Endocrinology< First Affiliated Hospital, Lianing Medical
Collage.China.
47