Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Dari berbagai penelitian epidemiologis nsudah jelas terbukti bahwa insidensi diabetes melitus (DM) meningkat menyeluruh di semua tempat di dunia. Penelitian epidemiologis yag dikerjakan di Indonesia maupunn di Jakarta menunjukkan kecenderungan serupa (Shabab, 2006). Di Negara berkembang, Diabetes mellitus sampai sat ini masih merupakan factor yang terkait sebagai penyebab kematian sebanyak 4- 5 kali lebih besar.Menurut estimasi data WHO maupun IDF, prevalensi Diabetes di Indonesia pada tahun 2000 adalah sebesar 5,6 juta penduduk, tetapi pada kenyataannya ternyata didapatkan sebesar 8,2 juta. Tentu saja hal ini sangat mencengangkan para praktisi, sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan secara komprehensif di setiap sektor terkait (Permana, 2005). Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi Diabetes Melitus maupun Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) meningkat seiring dengan pertambahan usia, menetap sebelum akhirnya menurun. Dari data WHO didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13 mg%/tahun pada 2 jam setelah makan (Kurniawan, 2010). Peningkatan insidensi diabetes melitus yang exponensial ini tentu akan diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai penelitian prospektif jelas menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti penyakit penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah, kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangrene dengan risiko amputasi (Shabab, 2006).

Kalau ditinjau lebih dalam lagi, ternyata hiperglikemia ini merupakan awal bencana bagi penderita Diabetes, hal ini terbukti dan terjadi juga pada penderita dengan gangguan toleransi glukosa yang sudah terjadi kelainan komplikasi vaskuler, walaupun belum diabetes. Hiperglikemia ini dihubungkan dengan kelainan pada disfunsi endothe, sebagai cikal bakalnya terjadi mikro maupun makroangiopati. Dengan demikian, apablia hiperglikemia terkendali dan terkontrol dengan baik, yang ditandai dengan HbA1c yang normal dapat menurunkan angka kejadian komplikasi pada DM (Permana, 2005).

B. TUJUAN Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui berbagai hal tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patofisiologi, gambaran klinis, kriteria diagnosis, penatalaksanaan komplikasi kronis pada DM.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI FISIOLOGI PANKREAS Terdapat di belakang lambung di depan vertebra lumbalis 1 dan 2 terdiri dari sel alpha dan beta. Sel alpha menghasilkan hormon glukagon dan sel beta menghasilkan hormon insulin. Hormon yang digunakan dalam pengobatan diabetes adalah hormon insulin yang merupakan sebuah protein yang turut dicernakan oleh enzim pencernaan protein. Fungsi hormon insulin adalah mengendalikan kadar glukosa. Selain itu terdapat pulau langerhans yang berbentuk oval yang tersebar ke seluruh tubuh pankreas dan terbanyak pada bagian kedua pankreas. Fungsi dari pulau langerhans adalah sebagai unit sekresi dalam pengeluaran homeostatik nutrisi, menghambat sekresi insulin glikogen dan polipeptida pankreas serta menghambat sekresi glikogen (Ganong, 2009)

B. DEFINISI Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik disertai bebagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah (Mansjoer, 2010). Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price, 2009). Sekelompok gangguan metabolik kronik, ditandai oleh hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, protein, disebabkan oleh defek sekresi insulin, sensitivitas insulin atau keduanya dan mengakibatkan terjadinya komplikasi kronis termasuk mikrovaskular, makrovaskular dan neuropati (Shabab, 2006). Dari beberapa definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa DM adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan hormonal (dalam hal ini hormon insulin yang diproduksi oleh pankreas) dan melibatkan metabolisme karbohidrat dimana seseorang tidak dapat memproduksi cukup insulin atau tidak menggunakan insulin yang diproduksi dengan baik.

C. EPIDEMIOLOGI Menurut laporan UKPDS, Komplikasi kronis paling utama adalah Penyakit kardiovaskuler dan strone, Diabeteic foot, Retinopati, serta nefropati diabetika. Dengan demikian sebetulnya kematian pada Diabetes terjadi tidak secara Iangsung akibat hiperglikemianya, tetapi berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Apabila dibandingkan dengan orang normal, maka penderita DM 5 x Iebih besar untuk timbul gangren, 17 x Iebih besar untuk menderita kelainan ginjal dan 25 x Iebih besar untuk terjadinya kebutaan. Selain komplikaskomplikasi yang disebutkan di atas, penderita DM juga memiliki risiko penyakit kardio-sebrovaskular seperti stroke, hipertensi dan serangan jantung yang jauh
4

Iebih tinggi daripada populasi normal. OIeh sebab itu penderita diabetes perlu diobati agar dapat terhindar dan berbagai komplikasi yang menyebabkan angka harapan hidup menurun. Kadar gula darah yang tinggi dan terus menerus dapat menyebabkan suatu keadaan gangguan pada berbagai organ tubuh. Akibat keracunan yang menetap ini, timbul perubahan-perubahan pada organ-organ tubuh sehingga timbul berbagai komplikasi. Jadi komplikasi umumnya timbul pada semua penderita baik dalam derajat ringan atau berat setelah penyakit berjalan 10-15 tahun (Kurniawan, 2010).

D. ETIOLOGI DIABETES MELLITUS DM ada dua jenis, yakni DM tipe 1 dan DM tipe 2. Pada DM tipe 1 pankreas menghasilkan sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan insulin, sedangkan DM tipe 2, pancreas tetap menghasilkan insulin, namun kadarnya lebih tinggi dan tubuh kebal/menolak (resistant) terhadap hormon insulin yang dihasilkan pancreas. DM tipe 2 ini dapat menyerang anak-anak remaja, tetapi lebih banyak menyerang orang di atas usia 30 tahun. Menurut kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa > 126 mg/dL dan tes sewaktu >200 mg/dL (Tjokroprawiro, 2007). Penderita kencing manis umumnya menampakkan tanda dan gejala dibawah ini: 1. Jumlah urine banyak (Polyuria) 2. Cepat merasa haus (Polydipsia) 3. Sering merasa lapar atau banyak makan (Polyphagia) 4. Urine mengandung gula (Glycosuria) 5. Kehilangan berat badan yang tidak jelas sebabnya 6. Kesemutan/mati rasa pada ujung syaraf ditelapak tangan & kaki 7. Cepat lelah dan lemah setiap waktu 8. Mengalami rabun penglihatan secara tiba-tiba
5

9. Apabila luka/tergores (korengan) lambat penyembuhannya 10. Mudah terkena infeksi terutama pada kulit. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit diabetes melitus terdiri dari: 1. Faktor resiko yang tidak dapat dirubah a. Genetik b. Ras dan etnis c. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG) d. Riwayat lahir dengan berat badan rendah e. Usia 2. Faktor resiko yang dapat dirubah a. Umur b. Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2). c. Kurangnya aktivitas fisik. d. Hipertensi (> 140/90 mmHg) e. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL) Diet tak sehat (unhealthy diet). (Tjokroprawiro, 2007)

(PERKENI, 2006).

E. KOMPLIKASI KRONIK DM Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan peran sentral terjadi komplikasi pada DM. Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur polyol, peningkatan pembentukan Protein Glikasi non enzimakti serta peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan komplikasi baik vaskulopati,

retinopati, neuropati ataupun nefropati diabetika. Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu: 1. Komplikasi Mikrovaskular a. Nefropati Diabetes mellitus tipe 2, merupakan penyebab nefropati paling banyak, sebagi penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengaikibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat retino pati dan hipertensi. Dengan demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah (Permana, 2005). b. Retinopati Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif dan Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat (Permana, 2005).

2. Komplikasi Makrovaskular Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM timbul lebih cepat, lebih seing terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular dan penderita diabetes meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal. Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar gula darah yang baik. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular, di mana peninggian kadar insulin menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar insulin puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular. a. Penyakit Jantung Koroner Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktor risiko koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes. Akibat gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pektoris (nyeri dada paroksismal serti tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifiras atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau mendapat nitrat sublingual. Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan tidak mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejala-gejala mi dapat tidak timbul pada pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti. b. Stroke Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering timbul dan dengan prognosis yang lebih serius
9

untuk penderita diabetes. Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia, berupa: - Pusing, sinkop - Hemiplegia: parsial atau total - Afasia sensorik dan motorik - Keadaan pseudo-dementia c. Penyakit pembuluh darah Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya aterosklerosis, yang dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah. Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka akan meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnuya terjadi payah jantung. Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada diabetes disbanding pada orang normal. Risiko ini akan meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia, obes, hipertensi atau merokok. Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi pada penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada diabetes, penyakit pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai fase IV. Faktor factor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang disertai infeksi merupakan factor utama terjadinya proses gangrene diabetik. Pada penderita dengan gangrene dapat mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai factor pencetus koma, ataupun kematian. 3. Neuropati Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering terjadi pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM. Manifestasi klinis dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati biasanya progresif di mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal. Yang terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau lengan. Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur syaraf akibat adanya peningkatan jalur polyol,
10

penurunan pembentukan myoinositol, penurunan Na/K ATP ase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal (Shabab, 2006).

F. PATOGENESIS TERJADINYA KOMPLIKASI KRONIK Adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Perubahan dasar atau disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah, maupun pada sel mesengial ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pertumbuhan pada sel, yang kemudian akan menyebabkan terjadinya komplikasi vaskular diabetes. Pada retinopati diabetik proliferatif , didapatkan hilangnya sel perisit dan terjadi pembentukan mikroaneurisma. Disamping itu juga terjadi penyumbatan dan hambatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan kelainan mikrovaskular berupa lokus iskemik. Sel retina kemudian merespons dengan meningkatkan faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGHF = Vascular Endothelial Growth Factor) dan selanjutnya memacu neovaskularisasi pada pembuluh darah (Sudoyo, 2009). Pada neuropati jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolik sel-sel schwann dan menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan propioseptik, dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks refleks tendon dalam, kelemahan otot dan atrofi. Pada nefropati diabetik, faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan AGEs (advance glycosilation end-products). Peningkatan AGEs akan menimbulkan kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi
11

jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reduktase. Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal.terjadi peningkatan tekanan gromelurar, dan disertai meningkatnya matriks ekstraselular akan menyebabkan terjadinya penebalan membran basal, ekspansi mesangial dan, hipertrofi glomerular. Semua itu akan menyebabkan

berkurangnya area filtrasi dan kemudian mengarah ke glomerosklerosis (Price, 2005). Pada sistem vaskular dapat terjadinya plak aterosklerosis kemudian berlanjut pada penyumbatan pembuluh darah dan akan memacu terjadinya sindrom koroner akut dan CVA. Gabungan dari gangguan biokimia akibat dari insufisiensi insulin dapat menyebabkan gangguan vaskular. Gangguan- gangguan ini akibat dari: 1. Penimbunan sorbitol dalam intima vaskular, 2.

Hiperlipoproteinemia, 3. Kelainan pembekuan pembuluh darah (Price, 2005). Patogenesis terjadinya kelainan vaskular pada diabetes melitus meliputi imbalans metabolik maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah maupun sel mesangial keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel tersebut juga berespon terhadap substansi vasoaktif dalam darah. Jaringan kardiovaskuler, demikian juga jaringan lain yang rentan terhadap komplikasi kronik diabetes (jaringan syaraf, sel endotel pembuluh darah, sel retina, lensa) mempunyai kemampuan memasukkan glukosa dalam sel tanpa memerlukan insulin (insulin dependent) namun pada keadaan hiperglikemia sel akan kebanjiran glukosa yang disebut hiperglisolia. Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel yang kemudian berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi (Sudoyo, 2009). Hiperglisolia akan meningkatkan diasilgliserol (DAG), selanjutnya meningkatkan protein Kinase C beta, yang akan berpengaruh menurunkan
12

aktivitas fibrinolisis. Semua kelainan tersebut akan mengarah proses angiopati diabetik. PKC juga akan berpengaruh pada kegagalan pengaturan fungsi trombosit. Keadaan ini juga akan menambah kemungkinan terjadinya prokoagulasi pada penyandang DM (Sudoyo, 2009).

G. DIAGNOSIS DINI 1. Retinopati Diagnosis dini retinopati dapat diketahui melalui pemeriksaan retina secara rutin. Dianjurkan untuk memeriksakan retina mata pada kesempatan pertama pertemuan dengan penyandang DM dan kemudian setiap tahun atau lebih cepat lagi kalau diperlukan sesuai dengan keadaan retinanya. Terdapat tiga stadium yaitu non proliferatif, preproliferatif, proliferatif. Disebut non proliferatif apabila hanya ditemukan perubahan mikrovaskular dalam retina. Penyumbatan kapiler retina akan menimbulkan hambatan perfusi, iskemia tersebut akan merang sang pembentukan pembuluh drah baru

(neovaskularisasi). Terdapat beberapa cara pemeriksaan retina: Dengan menggunakan oftalmoskop standart, slit lamp, fotografi retina. Sesegera mungkin rujukan pada ahli mata (Sudoyo, 2009) 2. Nefropati Kelainan dimulai dengan ditemukannya mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan pengelolaan dan pengobatan substitusi. Pemeriksaan untuk mencari mikroalbuminuria seyogyanya selalu dilakukan pada saat diagnosis DM ditegakkan dan diulang setiap tahun. Penyandang DM dengan laju filtrasi glomerulus atau bersihan kreatinin <30 mL/menit seyogyanya dipersiapkan untuk terapi berupa dialisis maupun transplantasi ginjal (Sunaryanto, 2010).

13

3. Penyakit Jantung Koroner Kewaspadaan harus ditingkatkan terutama untuk mereka yang mempunyai resiko tinggi terjadinya kelainan aterosklerosis seperti mereka yang mempunyai riwayat keluarga penyakit pembuluh darah koroner ataupun riwayat keluarga DM yang kuat. Jika ada ketidaknyamanan pada daerah dada, harus segera dilanjutkan dengan pemerikaaan penjaring yang teliti untuk

mencari adanya penyakit pembuluh darah koroner, paling sedikit dengan pemeriksaan EKG saat istrihat kemudian dilanjutkan pemeriksaan EKG dengan beban. Rasa nyeri mungkin tidak nyata karena terdapat neuropati DM. 4. Penyakit Pembuluh Darah Perifer Mengelola berbagai faktor resiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal penting dalam usaha pencegahan terjadinya kaki diabetes. Adanya perubahan bentuk kaki (callus, kapalan, dll), neuropati dan adanya penurunan aliran darah ke kaki merupakan hal yang harus selalu dicari. Penyuluhan para penyandang DM mengenai diabetes melitus pada umumnya dan perawatan kaki pada khususnya perlu digalakkan. Pemeriksaan kaki lengkap berkala setiap tahun merupakan hal yang perlu dikerjakan untuk mencegah terjadinya kaki diabetes/ulkus/gangren. (Sudoyo, 2009)

H. PENATALAKSANAAN 1. Retinopati Diabetik Tujuan utama pengobatan retinopati diabetik adalah untuk mencegah kebutaan permanen. Kontrol glukosa darah yang baik merupakan dasar dalam mencegah terjadinya retinopati diabetik atau memburuknya retinopati diabetik yang sudah ada. Metode pencegahan dan pengobatan retinopati diabetik saat ini meliputi:
14

Kontrol glukosa darah Kontrol tekanan darah Ablasi kelenjar hipofisis melalui pembedahan Fotokoagulasi dengan laser Vitrektomi untuk perdarahan vitreus atau ablasio retina. Penyandang DM tanpa retinopati saat ditegakkan diagnosis DM perlu kewaspadaan, karena 5%-10% akan mengalami retinopati nonproliferatif setelah 1 tahun, dan akan beralih ke stadium proliferatif dalam waktu 4 tahun. 2. Nefropati Tata laksana nefropati diabetik tergantung pada tingkatan apakah masih normoalbuminuria, mikrolabuminuria, atau sudah makroalbuminuria. Tetapi pada prinsipnya tatalaksana non farmakologis nefropati diabetik adalah: a. Edukasi. Hal ini dilakukan untuk mencapai perubahan prilaku, melalui pemahaman tentang penyakit DM, makna dan perlunya pemantauan dari pengendalian DM, penyulit DM, intervensi farmakologis dan non-farmakologis, hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi, dll. b. Perencanaan makan. Perencanaan makan pada penderita DM dengan komplikasi penyakit ginjal diabetik disesuaikan dengan penatalaksanaan diet pada penderita gagal ginjal kronis. Perencanaan diet yang diberikan adalah diet tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam. Dalam upaya mengurangi progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah protein sangat penting. Dalam suatu penelitian klinik selama 4 tahun pada penderita DM Tipe I diberi diet mengandung protein 0,9 gr/kgBB/hari selama 4 tahun menurunkan resiko terjadinya penyakit gagal ginjal tahap akhir (PGTA=ESRD) sebanyak 76 %. Pada umumnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung

15

protein sebanyak 0,8 gr/kgBB/hari yaitu sekitar 10 % dari kebutuhan kalori pada penderita dengan nefropati overt, akan tetapi bila LFG telah mulai menurun, maka pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gr/kgBB/hari mungkin bermanfaat untuk memperlambat penurunan LFG selanjutnya. Jenis protein sendiri juga berperan dalam terjadinya dislipidemia. Pemberian diet rendah protein ini harus diseimbangkan dengan pemberian diet tinggi kalori, yaitu rata-rata 40-50 Kal/24 jam. Penderita DM sendiri cenderung mengalami keadaan dislipidemia. Keadaan ini perlu diatasi dengan diet dan obat bila diperlukan. Dislipidemia diatasi dengan statin dengan target LDL kolesterol < 100mg/dl pada penderita DM dan < 70 mg/dl bila sudah ada kelainan kardiovaskuler. 3. Latihan Jasmani. Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, tapi tetap harus disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani penderita. Contoh latihan jasmani yang dimaksud adalah jalan, sepeda santai, joging, berenang. Prinsipnya CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance). Intervensi Farmakologis yang perlu dilakukan adalah : 1. Pengendalian DM Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun) dengan melibatkan ribuan penderita telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah secara intensif akan mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskuler, baik pada DM tipe I maupun tipe II. Oleh karena itu, perlu sekali diupayakan agar terapi ini dilaksanakan sesegera mungkin. Diabetes terkendali yang dimaksud adalah pengendalian secara intensif kadar gula darah, lipid dan kadar HbAlc sehingga mencapai kadar yang diharapkan. Selain itu pengendalian status gizi dan tekanan darah juga perlu diperhatikan (Sunaryanto, 2010).
16

2. Pengendalian Tekanan Darah Pengendalian tekanan darah merupakan hal yang penting dalam pencegahan dan terapi nefropati diabetik. Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi efek perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi maupun terhadap organ kardiovaskuler. Makin rendah tekanan darah yang dicapai, makin baik pula renoproteksi. Banyak panduan yang menetapkan target yang seharusnya dicapai dalam pengendalian tekanan darah pada penderita diabetes. Pada penderita diabetes dan kelainan ginjal, target tekanan darah yang dianjurkan oleh American Diabetes Association dan National Heart, Lung, and Blood Institute adalah < 130/80 mmHg, akan tetapi bila proteinuria lebih berat 1 gr/24 jam, maka target lebih rendah yaitu < 125/75 mmHg. Pengelolaan tekanan darah dilakukan dengan dua cara, yaitu non-farmakologis dan famakologis. Terapi non-farmakologis adalah melalui modifikasi gaya hidup antara lain menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok, serta mengurangi konsumsi garam. Harus diingat bahwa untuk mencapai target ini tidak mudah. Sering harus memakai kombinasi berbagai jenis obat dengan berbagai efek samping dan harga obat yang kadang sulit dijangkau penderita. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan apapun jenis obat yag dicapai. Akan tetapi karena Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) dan Angiotensin Reseptor blocker (ARB), dikenal mempunyai efek antiprotein uric maupun renoproteksi yang baik, maka selalu disukai pemakaian obat-obatan ini sebagai awal pengobatan hipertensi pada penderita DM. Pada penderita hipertensi dengan mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, ACE inhibitor dan ARB merupakan terapi utama yang paling dianjurkan. Jika salah satu tidak dapat diterima atau memberikan hasil yang kurang maksimal maka dapat dianjurkan penggunaan Non
17

Dihydropyridine CalciumChannel Blockers (NDCCBs) (Sunaryanto, 2010). 3. Penyakit Jantung Koroner Berdasarkan rekomendasi ADA (America Diabetes Association),

penatalaksanaan terhadap semua pasien DM terutama ditujukan terhadap penurunan resiko kardiovaskular secara komperhensif. Rekomendasi ADA tentang target yang harus dicapai dalam penatalaksanaan diabetes melitus dalam upaya menurunkan resiko kardiovaskular adalah : No 1 Parameter Kontrol glikemik : - A1C -Kadar gula darah preprandial -Kadar gula darah postprandial 2 3 Tekanan darah Lipid: LDL Trigliserida HDL (Kurniawan, 2010) 4. Neuropati Penanganan pertama adalah mendiagnosa sedini mungkin, kedua dengan kendali glikemik dan perawatan kaki sebaik baiknya, ketiga dengan pengendalian keluhan neuropati/nyeri neuropati. Perawatan kaki dapat dilakukan dengan cara menghindari trauma kult seperti sepatu yang sempit, cegah trauma berulang,serta menjaga kebersihan kulit. Pengendalian glukosa darah merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dan kemudian monitor HbA1c secara berkala. Disamping itu pengendalian faktor metabolik <100 mg/dl <150 mg/dl >40 mg/dl < 7% 90-130 mg/dl <180 mg/dl <130/80 mmHg Target yang harus dicapai

18

lain seperti hemoglobin, albumin, dan lipid juga perlu dilakukan. Untuk memperbaiki neuropati diabetik dapat diberikan obat obat sebagai berikut: Golongan aldose reductase inhibitor yang berfungsi menghambat penimbunan sorbitol dan fruktosa. Alpha Lipoic Acid, suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan radikal hidroksil, superoksida, dan peroksil serta membentuk kembali glutation. Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan AGEs Alfa tokoferol, asam alfa lipoik, asam aksorbat merupakan zat yang dikatakan dapat mengurangi efek negatif stress oksidatif dan inflamasi pada penyandang DM. NSAID ibuprofen untuk mengurangi rasa nyeri. (Shabab, 2006)

19

BAB III KESIMPULAN

Komplikasi diabetes jangka panjang dapat dibagi menjadi tiga tipe: mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati perifer. Insidensi diabetes makin meningkat diseluruh Negara, pada kenyataannya juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat diabetes. Gangguan metabolisme pada penderita DM sangat berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, sehingga menimbulkan komplikasi akut maupun kronik. Deteksi dini penderita baru DM merupakan upaya pencegahan meningkatnya komplikasi DM. Komplikasi diabetik dapat dikurangi atau dicegah jika pengobatan diabetes cukup efektif untuk membawa kadar glukosa ke dalam kisaran normal. DM adalah penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, sehingga yang berperan dalam pengelolaannya tidak hanya tim medis dan paramedis tetapi lebih penting lagi ke ikut sertaan pasien sendiri dan keluarganya.

20

DAFTAR PUSTAKA

Ganong, W. F. (2009). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta, EGC

Kurniawan, I. (2010). Diabetes Melitus Tipe 2 pada Usia Lanjut. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 60, Nomor: 12

Mansjoer, A. (2010). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta, EGC

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. (2006). Konsensus Pengelelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni, Jakarta

Permana, H. (2005). Komplikasi Kronik dan Penyakit Penyerta Pada Diabetes. Department of Internal Medicine Padjadjaran University Medical School

Price, S. A. (2005). Patofisiologi kedokteran edisi 6. Jakarta, EGC

Shahab, Alwi. (2006). Diagnosis dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus. http://dokter-alwi.com/diabetes.html (20 Agustus 2009).

Sudoyo, A. W.dkk. (2009). Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi Keempat. Jakarta, Balai Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Sunaryanto, A. (2010). Penatalaksanaan Penderita dengan Diabetik Nefropathi.


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar

Tjokoprawiro, A. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Sutomo Surabaya. Surabaya: Airlangga University Press
21

22

Anda mungkin juga menyukai