KRISIS HIPERGLIKEMIA
Oleh:
Erik Candra Alif U.
105070100111035
BAB 1
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu sindroma hiperglikemia kronis yang
disebabkan oleh defisiensi insulin, resistensi insulin, atau keduanya. Lebih dari 120 juta
penduduk di seluruh dunia menderita DM dan diperkirakan jumlah ini akan meningkat
menjadi 370 juta penduduk menjelang tahun 2030. Diabetes Mellitus (DM) merupakan
penyakit yang insidensinya terus meningkat secara eksponensial dari tahun ke tahun.
Indonesia sendiri menempati urutan keempat dari 10 negara dengan penderita DM
terbanyak di dunia (Wild et al, 2004). DM biasanya ireversibel, walaupun pasien masih bisa
menjalani hidup secara normal, tetapi komplikasi akhir dari penyakit DM ini bisa menurunkan
harapan hidup (Gale dan Anderson, 2009).
Menurut American Diabetes Association (ADA) (2005), dalam perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PERKENI) (2006), DM merupakan suatu kelompok penyakit
metabolic dengan karakteristik hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein sebagai akibat dari defek sekresi indulin, aksi insulin,
ataupun keduanya. Peningkatan insidensi DM yang eksponensial ini tentu akan diikuti oleh
meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi dari DM baik akut maupun kronis.
Komplikasi
akut
dapat
berupa
Ketoasidosis
diabetik
(KAD),
Koma
hiperosmolar
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi Diabetes Melitus
Normoglikemia
Diabetes
Gula
darah
puasa
<100 mg/dl
126 mg/dl
<140 mg/dl
>200 mg/dl
<200 mg/dl
disease (CAD), peripheral artery disease (PAD), cerebrovascular disease). Komplikasi non
vascular yaitu berupa gastroparesis, infeksi, dan perubahan kulit (Fauci et al., 2008).
3.5.1 Komplikasi kronis
3.5.1.1. Macroangiopathy
Komplikasi macroangiopathy adalah komplikasi diabetes yang menyerang pembuluh
darah besar. Komplikasi macroangiopathy dapat menyerang pembuluh darah berikut yaitu
pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak. Macroangiopathy
pada pembuluh darah jantung dapat mengakibatkan CVD. Pada pembuluh darah tepi
biasanya sering tanpa gejala, dan gejala yang muncul pertama biasanya berupa ulkus di
kaki (perkeni, 2006).
3.5.1.2. Microangiopathy
Pada microangiopathy, pembuluh darah yang terkena adala pembuluh darah mikro
atau kecil. Bisa menyebabkan diabetic retinopathy dan nefropathy. Diabetic retinopathy
adalah kelainan pada retina pada mata karena diabetes.. Pada nefropathy, terjadi kelainan
dari sistem filter yang terdapat di ginjal akibat kondisi hiperglikemi. Akibatnya terjadi
kebocoran filter sehingga protein bisa terdapat di urine. Kondisi dimana terdapat proteinprotein kecil dalam urine ini disebut microalbuminuria (ADA, 2007).
3.5.1.3. Neuropathy
Neuropathy disebabkan karena kerusakan pada dinding pembuluh darah kecil yang
mensuplai makanan sel saraf. Pada peripheral neuropathy terjadi sensasi kesemutan, mati
rasa, nyeri, atau kelemahan pada otot. Pada autonomic neuropathy ditemukan kelainan
pada sistem digestive, urinary tract, organ sex, jantung dan pembuluh darah, kelenjar
keringat, dan mata (ADA, 2007).
3.5.2. Komplikasi akut
Komplikasi akut dapat berupa diabetic ketoacidosis (DKA) dan hyperglicemic
hyperosmolar state (HSS). Ketoacidosis pada penderita DM terjadi akibat penumpukan
badan keton dalam sirkulasi tubuh. Badan keton disintesis dari free fatty acid (FFA) di dalam
liver. Normalnya, FFA akan disintesis menjadi trigliserida atau very low density lipoprotein
(VLDL), namun karena penderita diabetes terjadi hiperglucagonemia maka FFA lebih
cenderung akan membentuk badan keton. Hal ini akan menyebabkan ketoacidosis karena
badan keton bersifat asam (Fauci et al., 2008).
HHS terjadi pada individu tua, biasanya timbul gejala2 klasik diabetes seperti
poliuria, polidipsi, polifagi, dan kehilangan berat badan yang tidak dapat dijelaskan (perkeni,
2006). Pada HHS, kadar glukosa darah bisa mencapai lebih dari atau sama dengan 600
mg/dl. Gejala-gejalanya adalah bibir kering dan pecah-pecah, sangat kehausan, kulit hangat
namun tidak berkeringat, dan demam tinggi (ADA, 2007). Hal ini terjadi karena penumpukan
glukosa di dalam sirkulasi akan menyebabkan perbedaan tekanan osmotik, sehingga cairan
yang ada di dalam intrasel akan tertarik menuju intravaskuler (Fauci et al., 2008)
Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah sampai di bawah 60
mg/dl. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat,
gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun
sampai koma). Kondisi ini hipoglikemi akibat dari jatuhnya kadar glukosa darah bisa karena
penggunaan sulfonylurea atau insulin yang tidak disertai intake makanan (perkeni, 2006)
3.6 Hiperglikemia Krisis
Hiperglikemia krisis merupakan suatu komplikasi akut dari diabetes melitus ditandai
dengan tingginya kadar gula darah tubuh yang terdiri dari Ketoasidosis diabetik (disingkat
KAD) dan status hiperglikemia hiperosmolar (disingkat SHH). Manifestasi utamanya adalah
kekurangan insulin dan hiperglikemia yang berat. SHH terjadi ketika defisiensi insulin yang
relatif (terhadap kebutuhan insulin) menimbulkan dehidrasi dan akhirnya menyebabkan
kondisi hiperosmolaritas. KAD terjadi bila kekurangan insulin yang berat tidak saja
menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi yang berat tapi juga mengakibatkan produksi
keton meningkat serta asidosis. Diagnosis KAD ditegakkan bila ditemukan hiperglikemia (
250 mg/dL), ketosis darah atau urin, dan asidemia (pH < 7.3) (Kitabchi AE et al, 2008).
Kebanyakan pasien DKA adalah pasien DM tipe 1; sedangkan pasien dengan DM
tipe 2 juga memiliki resiko selama terjadi stres katabolik akibat penyakit akut seperti trauma,
pembedahan, atau infeksi. Angka kematian pada KAD <5% pada rumah sakit yang
berpengalaman, sedangkan angka kematian pasien SHH masih tinggi yaitu pada angka
11%. Kematian pada kondisi ini jarang disebabkan karena komplikasi metabolik akibat
hipergikemia
atau
ketoasidosis
tetapi
lebih
berhubungan
dengan
penyakit
yang
mendasarinya. Prognosis pada kedua kondisi akan lebih buruk pada pasien usia tua yang
ekstrim dan pada pasien dengan koma dan hipotensi (Kitabchi AE et al, 2008)..
3.6.1 Patogenesis
Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi insulin,
relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat. Kadar insulin tidak
adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang normal dan untuk mensupres
ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat melemahkan kapasitas sekresi insulin
dan menambah berat resistensi insulin sehingga membentuk lingkaran setan dimana
hiperglikemia bertambah berat dan produksi insulin makin kurang (Gaglia JL et al, 2004)
Pada KAD dan SHH, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah, terjadi
juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekholamin, kortisol, dan
hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh
ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang mengakibatkan
hyperglikemia dan perubahan osmolaritas extracellular (Kitabchi AE et al, 2008).
Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormon kontrainsulin pada
KAD juga mengakibatkan penglepasan/release asam lemak bebas dari jaringan adipose
(lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton (hydroxybutyrate [-OHB] dan acetoacetate) tak terkendali, sehingga mengakibatkan
ketonemia dan asidosis metabolik. Pada sisi lain, SHH mungkin disebabkan oleh
konsentrasi hormon insulin plasma yang tidak cukup untuk membantu ambilan glukosa oleh
jaringan yang sensitif terhadap insulin, tetapi masih cukup adekuat ( dibuktikan dengan Cpeptide) untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis; akan tetapi bukti-bukti untuk
teori ini masih lemah ( 4). KAD dan SHH berkaitan dengan glikosuria, yang menyebabkan
diuresis osmotik, sehingga air, natrium, kalium, dan elektrolit lain keluar (Ennis et al, 2007)
Tabel 3. Kriteria diagnosis dan total defisit cairan dan elektrolit pada KAD dan SHH
KAD terdiri dari trias biokimia yaitu hiperglikemia, ketonemia, dan metabolik asidosis.
Akumulasi dari asam keton mengakibatkan peningkatan anion gap. Anion gap dihitung
dengan mengurangi jumlah dari klorida dan konsentrasi bikarbonat dari konsentrasi natrium
(NA+ - (Cl-+HCO30-)). Anion gap normal berkisar <12+2 mEq/l. Akan tetapi banyak
laboratorium belakangan ini menghitung konsentrasi sodium dan klorida menggunakan
elektroda ion-spesifik, yang menghitung konsentrasi klorida plasma 2-6 mEq/l lebih tinggi
dari metode penghitungan sebelumnya. Oleh karena itu, anion gap normal dengan
menggunakan metode tersebut berkisar antara 7 dan 9 mEq/l, dan anion gap >10-12 mEq/l
mengindikasikan adanya peningkatan anion gap asidosis. Derajat keparahan dari KAD
diklasifikasikan menjadi ringan, moderate, atau parah berdasarkan keparahan dari metabolik
asidosis (pH darah, bikarbonat, keton) dan adanya perubahan status mental.
Kebanyakan pasien dengan krisis hiperglikemi datang dengan leukositosis
berbanding proporsional dengan konsentrasi badan keton dalam darah. Akan tetapi
leukositosis >25.000 menandakan adanya infeksi dan membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Konsentrasi natrium serum pada umumnya berkurang oleh karena perubahan osmotik yang
terjadi terus menerus dari intrasellular ke extracellular dalam keadaan hiperglikemia.
Konsentrasi kalium serum mungkin meningkat oleh karena pergeseran kalium extracellular
yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin, hypertonisitas, dan asidemia. Pasien
dengan konsentrasi kalium serum rendah atau lownormal pada saat masuk, mungkin akan
kekurangan kalium yang berat pada saat perawatan sehingga perlu diberi kalium dan perlu
monitoring jantung yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia akan menurunkan kalium
lebih lanjut dan dapat menimbulkan disritmia jantung.
pengobatan
KAD
dan
SHH
membutuhkan
koreksi
dehidrasi,
meningkat atau normal; NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang sama jika Na serum
rendah. Selama fungsi ginjal diyakinkini baik, maka perlu ditambahkan 2030 mEq/l kalium (
2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral. Keberhasilan
penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik (perbaikan dalam
tekanan darah), pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan fisik. Penggantian cairan
diharapkan dapat mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama. Perbaikan osmolaritas serum
mestinya tidak melebihi 3 mOsm kg-1 H2O h-1 ( 1420,22). Pada pasien dengan
gangguan ginjal atau jantung, pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung, ginjal,
dan status mental harus sering dilakukan selama pemberian cairan untuk menghindari
overload yang iatrogenik (Abbas et al, 2006)..
Terapi Insulin
Pada keadaan KAD ringan ( tabel 1), insulin reguler diberikan dengan infus intravena
secara kontinu adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa, jika tidak ada hipokalemia ( K+ <
3.3 mEq/l, maka pemberian insulin intravena secara bolus dengan dosis 0.15 unit/kg bb,
diikuti pemberian insulin reguler secara infus intravena yang kontinu dengan dosis 0.1 unit
kg-1 h-1 ( 57 unit/jam pada orang dewasa). Pemberian insulin secara bolus tidak
dianjurkan pada pasien pediatrik; pemberian insulin reguler dengan infus intravena secara
kontinu dengan dosis 0.1 unit kg-1 h-1 dapat diberikan pada pasienpasien tersebut. Dosis
insulin rendah ini pada umumnya dapat menurunkan konsentrasi glukosa plasma sebanyak
5075 mg dl-1 h-1, sebanding dengan pemberian insulin dosis tinggi (1-5) . Jika plasma
glukosa tidak turun sebanyak 50 mg/dl dari awal pada jam pertama, periksa dulu status
hidrasi; jika baik, infus insulin dapat digandakan tiap jam sampai tercapai penurunan glukosa
yang stabil antara 50 dan 75 mg/jam dicapai.
Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau 300 mg/dl untuk SHH,
mungkin dosis insulin perlu diturunkan menjadi 0.050.1 unit kg-1 h-1 ( 36 units/jam), dan
dextrose ( 510%) ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu, dosis insulin atau
konsentrasi dextrose perlu disesuaikan untuk memelihara rata-rata kadar glukosa sampai
asidosis pada KAD atau status mental dan hyperosmolaritas pada SHH membaik.
Ketonemia biasanya lebih lama hilang dibandingkan dengan hiperglikemia.
Pengukuran -OHB dalam darah secara langsung adalah metoda yang lebih disukai untuk
pemantauan KAD. Metoda Nitroprusside hanya mengukur aseton dan asam acetoacetic.
Bagaimanapun, -OHB, asam yang paling banyak dan paling kuat pada KAD, tidaklah
terukur dengan metoda nitroprusside. Selama therapy, -OHB dikonversi ke asam
asetoacetik, yang membuat para klinisi percaya bahwa ketosis memperburuk keadaan. Oleh
karena itu, penilaian benda keton dari urin atau serum dengan metoda nitroprusside tidak
digunakan sebagai suatu indikator terapi.
Selama terapi untuk KAD atau SHH, darah harus diperiksa tiap 24 jam untuk
memeriksa elektrolit serum, glukosa, urea-N, creatinine, osmolaritas, dan pH vena ( untuk
DKA). Biasanya, analisa gas darah tidak perlu dilakukan berulang-ulang ; pH vena (pada
umumnya 0.03 unit lebih rendah dari pH arteri) dan gap anion dapat diikuti, untuk memonitor
resolusi asidosis. Sehingga BGA tidak diperlukan pengecekan secara berulang pada monitor
terapi KAD dengan pertimbangan menghindari nyeri dan komplikasi akibat pengambilan
darah arteri.
Ketika pasien sudah bisa makan, jadwal multiple-dose harus dimulai menggunakan
kombinasi insulin kerja pendek/singkat dengan insulin kerja menengah atau lama untuk
mengendalikan glukosa plasma. Pemberian insulin intravena tetap diberikan untuk 12 jam
setelah regimen campuran insulin dimulai untuk memastikan hormon insulin plasma cukup.
Suatu penghentian mendadak insulin intravena dengan penundaan insulin subcutan akan
memperburuk keadaan; oleh karena itu, perlu diberikan insulin intravena dan inisiasi
subkutan secara bersamaan. Pasien yang telah diketahui menderita diabetes dapat
diberikan insulin dengan dosis seperti sebelum mereka terkena serangan KAD atau SHH
dan jika dibutuhkan dilakukan penyesuaian. Pada pasien diabetes yang baru, total insulin
awal mungkin berkisar antara 0.51.0 unit kg - 1 day-1, dibagi menjadi sedikitnya dua dosis
dalam bentuk campuran insulin kerja pendek dan panjang sampai mencapai suatu dosis
optimal yang diinginkan. Akan tetapi, penilaian klinins yang baik dan pengecekan gula darah
yang rutin adalah hal yang sangat vital dalam inisiasi regimen baru insulin pada pasien yang
belum pernah memakai insulin (Abbas et al, 2006)..
Kalium
Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan pada saat kadar
dalam darah dibawah 5.3 mEq/l, dengan catatan output urin cukup (50ml/jam). Biasanya,
2030 mEq kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup untuk
mempertahankan konsentrasi kalium serum antara 45 mEq/l. Penderita dengan KAD
jarang menunjukkan keadaan hipokalemia yang berat. Pada kasus-kasus demikian,
penggantian kalium harus dimulai bersamaan dengan cairan infus, dan terapi insulin harus
ditunda sampai konsentrasi kalium > 3.3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau cardiac
arrest dan kelemahan otot pernapasan (1).
Di samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan sampai sedang sering
terjadi pada penderita dengan krisis hiperglikemia. Terapi insulin, koreksi asidosis, dan
penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi kalium serum (Abbas et al,
2006).
Bikarbonat
Penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan kontroversi ( 28). Pada
pH >7.0, aktifitas insulin memblok lipolysis dan ketoacidosis dapat hilang tanpa
penambahan bikarbonat. Pemberian bikarbonat berhubungan dengan meningkatnya resiko
hipokalemia, mengurangi upktake oksigen oleh jaringan, dan edema otak. Beberapa
penelitian prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan atau perbaikan pada angka
morbiditas dan mortalitas dengan pemberian bikarbonat pada penderita KAD dengan pH
antara 6.9 dan 7.1 (10). Tidak ada laporan randomized study mengenai penggunaan
bikarbonat pada KAD dengan pH < 6.9.
Asidosis yang berat menyebabkan efek vaskuler yang kurang baik, jadi sangat
bijaksana pada pasien orang dewasa dengan pH < 6.9, diberikan sodium bikarbonat 100
mmol dalam 400 cc cairan steril (cairan isotonik) ditambah dengan 20 mEq KCl dengan
kecepatan 200 ml/jam selama 2 jam sampai ph vena >7.0. Tidak perlu tambahan bikarbonat
jika pH > 7.0. Pemberian insulin, seperti halnya bikarbonat, menurunkan kalium serum; oleh
karena itu supplemen Kalium harus diberikan dalam cairan infus seperti diuraikan di atas
dan harus dimonitor dengan ketat. Sesudah itu, pH aliran darah vena harus diukur tiap 2 jam
sampai pH mencapai 7.0, dan terapi bikarbonat harus diulangi tiap 2 jam jika perlu. (Abbas
et al, 2006).
Fosfat
Pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat. Konsentrasi fosfat
berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa penelitian prospektif gagal
membuktikan adanya keuntungan dengan penggantian fosfat pada KAD ( 32), dan
pemberian fosfat yang berlebihan dapat menyebabkan hypocalcemia yang berat tanpa
adanya gejala tetani . Sehingga penggunaan fosfat secara rutin pada terapi KAD atau SHH
tidak menghasilkan keuntungan secara klinis pada pasien. Bagaimanapun, untuk
menghindari kelainan jantung dan kelemahan otot dan depresi pernapasan oleh karena
hipofosfatemia, penggantian fosfat kadangkadang diindikasikan pada pasien dengan
kelainan jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan konsentrasi
fosfat serum < 1.0 mg/dl. Blia diperlukan, 2030 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan ke
larutan pengganti. Tidak ada studi mengenai penggunaan fosfat dalam HHS (Abbas et al,
2006).
cerebral pada pasien orang dewasa; oleh karena itu, rekomendasi penilaian untuk pasien
orang dewasa lebih secara klinis, daripada bukti ilmiah. Pencegahan yang mungkin dapat
mengurangi resiko edema cerebral pada pasien dengan resiko tinggi adalah dengan
penggantian defisit air dan natrium berangsurangsur dengan perlahan pada pasien yang
hyperosmolar (maksimal pengurangan osmolaritas 3 mOsm kg-1 H2O h-1) dan
penambahan dextrose dalam larutan hidrasi saat glukosa darah mencapai 250 mg/dl. Pada
SHH, kadar glukosa darah harus dipertahankan antara 250-300 mg/dl sampai keadaan
hiperosmoler dan status mental perbaikan, dan pasien menjadi stabil (Rosenbloom AL,
2000).
Hypoxemia dan edema paru-paru yang nonkardiogenik dapat terjadi saat terapi KAD.
Hypoxemia disebabkan oleh suatu pengurangan dalam tekanan osmotik koloid yang
mengakibatkan penambahan cairan dalam paru-paru dan penurunan compliance paru paru.
Pasien dengan KAD yang mempunyai suatu gradien oksigen alveoloarteriolar yang lebar
pada saat pengukuran analisa gas darah awal atau ditemukannya ronkhi saat pemeriksaan
fisik berisiko lebih tinggi untuk terjadinya edema paru.
Peningkatan kadar amilase dan lipase yang non spesifik dapat terjadi pada KAD
maupun SHH. Pada penelitian Yadav dan kawan-kawan, peningkatan amilase dan lipase
terjadi pada 16 25% kasus KAD. Kadar amilase dan lipase dapat meingkat sampai lebih
dari 3 kali nilai normal tanpa bukti klinik dan CT-scan pankreatitis. Walaupun demikian,
pankreatitis akut dapat juga terjadi pada 10 15% kasus KAD.
Dilatasi gaster akut akibat gastroparesis yang diinduksi oleh keadaan hipertonisitas
merupaka komplikasi yang jarang terjadi tetapi dapat fatal. Pada keadaan ini risiko untuk
terjadinya perdarahan gastrointestinal lebih besar. Mungkin diperlukan dekompresi dengan
naso-gastric tube dan pemberian agen-agen penurun asam lambung sebagai tindakan
profilaksis (Abbas et al, 2006).
3.6.7 Pencegahan
Banyak kasus KAD dan SHH dapat dicegah dengan perawatan medik
yang baik, edukasi yang sesuai, dan komunikasi efektif dari tenaga kesehatan
selama belum timbulnya penyakit. Sick-day management harus mendapat
perhatian. Hal ini meliputi informasi spesifik pada 1) kapan menghubungi
sarana pelayanan kesehatan 2) target glukosa darah dan penggunaan shortacting insulin selama penyakit, 3) mengobati demam dan infeksi, dan 4)
inisiasi dari suatu diet cairan yang mudah dicerna yang mengandung
karbohidrat dan garam. Yang paling penting, pasien harus dinasehatkan
untuk tidak pernah menghentikan insulin dan untuk mencari dokter saat
mulai sakit .
Sick-Day Management yang berhasil tergantung pada keterlibatan
pasien dan anggota keluarganya. Pasien atau anggota keluarganya harus
mampu dengan teliti mengukur dan mencatat kadar glukosa darah, benda
keton pada urin atau darah ketika glukosa darah > 300 mg/dl, dosis insulin,
suhu badan, frekuensi pernafasan dan denyut nadi permenit, dan berat
badan. Pengawasan yang cukup dan sangat membantu dari staff atau
keluarga dapat mencegah terjadinya SHH dalam kaitan dengan keadaan
dehidrasi pada individu tua yang tidak mampu untuk mengenali atau
menghindari kondisi ini. Edukasi yang baik harus diberikan sehingga pasien
mengenai tanda dan gejala newonset diabetes; kondisi-kondisi, prosedur, dan
obat-obatan yang memperburuk kendali kencing manis; dan monitoring
glukosa dapat mengurangi kejadian dan beratnya HHS (1,2).
3.6.8 Kesimpulan
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada Diabetes
Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan komplikasi serius
yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik. Krisis hiperglikemia dapat
terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH)
atau kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan diatas. KAD adalah keadaan yang
ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang berlebihan, sedangkan
SHH ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum yang biasanya
lebih tinggi dari KAD murni (Abbas E et al, 2006) . Sangat penting membedakan
hiperglikemi krisis termasuk KAD atau SHH. Karena manajemen KAD maupun SHH
berbeda satu sama lain. Semakin cepat kita mengetahui tipe hiperglikemi semakin cepat
penanganan pasien sehingga kondisi pasien akan jauh lebih baik. Untuk membedakan
hiperglikemi krisis termasuk jenis KAD atau HHS dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
seperti DL, SE, dan BGA. Selain terapi spesifik KAD maupun SHH juga sangat penting
terapi cairan untuk mencegah dehidrasi maupun mengobati dehidrasi karena pada pasienpasien hiperglikemi krisis rentan mengalami dehidrasi.
Pada kasus diatas, kemungkinan besar pasien mengalami penurunan kesadaran
diakibatkan oleh hiperglikemi tanpa membuang kemungkinan adanya penyebab lain seperti
hipertensif encephalopathy. Namun pada kasus diatas pasien tidak mengalami gejala yang
mendukung kearah hipertensif enchepalopathy sehingga dapat disimpulkan kemungkinan
penyebab penurunan kesadaran pada pasien tersebut adalah hiperglikemi krisis itu sendiri.
Untuk dapat memastikan penyebab pasti dari penurunan kesadaran dapat dilakukan
pemeriksaan tambahan seperti SE, dan BGA untuk mengetahui status osmolaritas dan
adanya metabolik asidosis, dimana kedua hal tersebut adalah gambaran khas dari SHH
serta KAD yang merupakan manifestasi dari hiperglikemi krisis. Penekanan dalam kasus kali
ini adalah bagaimana mendiagnosa pasien hiperglikemi krisis serta penanganannya.
Hiperglikemia >250
mg/dL disertai :
Riwayat DM
Perubahan
status
mental hingga koma
Tanda
Dehidrasi
(
takikardi,
turgor
menurun,
hipotensi
hingga syok)
Demam
Rehidrasi dengan
NS 0,45%-0,9%
1L/jam
Cek SE, BGA, DL, GDS
Serial, osmolaritas
darah, UL, Ur/Cr
SHH
Perubahan sensoris
Perubahan status mental
lebih sering pada SHH
Tanda2 asidosis (-)
Hiperosmolar >320
mOsm/kg
KAD
Gejala muncul lebih cepat (<24
jam)
nyeri abdomen (50-75% kasus
KAD)
- Muntah bewarna seperti kopi
(25% kasus KAD)
Tanda2 asidosis (nafas kussmaul,
bau keton, ketonuria)
Metabolik asidodis (ph <7.00)
Anion Gap >12
Keton Urin (+)
Bikarbonat <15
Daftar Pustaka
Abbas E et al, 2006. Hyperglycemic crises in patients with diabetes mellitus.American
Diabetes Association. Diabetes Care volume 29, num 12, december 2006.
Guyton, A.C. & Hall, J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi kesembilan,
Setiawan, Tengadi, K.A., Santoso, A., (penerjemah). EGC. Jakarta,
hal.
761-
and
practice. 5th ed.Porte D Jr, Sherwin RS, Ed. Amsterdam, Elsevier,2007, 827 844.
Rosenbloom AL : Intracerebral crises during treatment of diabetic ketoacidosis. Diabetes
Care 13: 22-23, 2000 .