Anda di halaman 1dari 29

i

LAPORAN KASUS

“ABSES HEPAR”

Disusun Oleh :

Evidelia Sembiring (17010044)

Pembimbing :

dr. Mangema Junias R. Sinaga, Sp. B - KBD .

SMF ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDIKALANG

2018
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan kasih dan
perlindunganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ”Liver
abses”.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Mangema Junias Sinaga Sp.B-KBD selaku
pembimbing, dan teman teman yang telah membantu terselesaikannya laporan kasus ini tepat
pada waktunya. Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan laporan berikutnya. Semoga
laporan kasus ini bermanfaat.

Sidikalang, Agustus 2018

Penulis
iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................................ii
Daftar Isi................................................................................................................................. iii
Bab I Pendahuluan.................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................1
Bab II Tinjauan Pustaka.......................................................................................................
2. Anatomi ............................................................................................................

2.1.Defenisi..............................................................................................................
2.2. Epidemiologi....................................................................................................
2.3. Etiopatogenesis.................................................................................................
2.3.1. Amoebik.............................................................................................
2.3.2. Pyogenik............................................................................................
2.4. Diagnosis..........................................................................................................
2.4.1. Gejala Klinis......................................................................................
2.4.2. Pemeriksaan Fisik..............................................................................
2.4.3. Laboratorium......................................................................................
2.4.4. Radiologi............................................................................................
2.4.5. Kriteria Penegaakan Diagnosis..........................................................
2.5. Tata Laksana.....................................................................................................
2.5.1. Farmakologi.......................................................................................
2.5.2. Non-Farmkologi.................................................................................
2.5.2.1. Aspirasi Perkutan.........................................................
2.5.2.2 Drainase........................................................................
2.5.2.3. Reseksi Hati.................................................................
2.5.2.4 Diet Hati........................................................................
2.5.3. Penatalaksanaan Umum.....................................................................
2.6. Diagnosis Banding..............................................................................................
2.7. Prognosis............................................................................................................
Bab III Laporan Kasus..........................................................................................................
Daftar Pustaka........................................................................................................................
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Abses hati adalah bentuk infeksi hati yang disebabkan infeksi bakteri, parasit, maupun
jamur yang bersumber dari sistem gastrointestinal, ditandai dengan proses supurasi parenkim
hati. Abses hati merupakan masalah kesehatan dan sosial di beberapa negara berkembang, seperti
di Asia, terutama Indonesia. Prevalensi tinggi biasanya berhubungan dengan sanitasi buruk,
status ekonomi rendah, dan gizi buruk. Secara umum, abses hati dibagi dua, abses hati amoebik
dan abses hati piogenik. Abses hati amoebik lebih sering terjadi dibanding abses hepar piogenik.
Abses hati amoebik biasanya disebabkan oleh infeksi Entamoeba histolytica, sedangkan abses
hati piogenik oleh infeksi Enterobacteriaceae, Streptococci, Klebsiella, Candida, Salmonella dan
golongan lain¹.
Penderita umumnya mengalami demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali yang nyeri
spontan atau nyeri tekan atau disertai gejala komplikasi. Kadang gejalanya tidak khas, timbul
pelan-pelan atau asimptomatis. Kelainan pemeriksaan laboratorium ditemukan adalah anemia
ringan sampai sedang, dan leukositosis. Pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen dada, USG
atau CT Scan².
Abses hati banyak ditemukan di negara berkembang, terutama yang tinggal di daerah
tropis dan subtropis. Angka mortalitas abses hati masih tinggi yaitu berkisar antara 10-40%.
Insiden abses hati jarang, berkisar antara 15-20 kasus per 100.000 populasi dan tiga per empat
kasus abses hepardi negara maju adalah abses hepar piogenik, sedangkan di negara yang sedang
berkembang lebih banyak ditemukan abses hepar amoeba³.
Menurut Abbas M. et al (2014), 67 orang menderita abses hati di Qatar dimana 56 orang
menderita abses hati piogenik dan 11 orang menderita abses hati amoebik dengan rentang umur
18 tahun – 44 tahun.
2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2. Anatomi Sistem Hepatobilier

a. Hepar
Hepar merupakan organ endokrin terbesar di dalam tubuh. Hepar bertekstur lunak dan lentur,
serta terletak di bagian atas cavitas abdominalis tepat di bawah diaphragma. Hepar dapat dibagi
dalam lobus dexter yang besar dan lobus sinister yang kecil oleh perlekatan peritoneum oleh
ligamentum falciforme.

Lobus dexter terbagi menjadi lobus quadratus dan lobus caudatus oleh adanya vesica
biliaris, fissura untuk ligamentum teres hepatitis, vena cava inferior, dan fissura untuk
ligamentum venosum. Penelitian menunjukkan bahwa pada kenyataannya lobus quadratus dan
lobus caudatus merupakan bagian fungsional lobus hepatitis sinister. Jadi cabang dextra dan
sinistra arteria hepatica dan vena porta, dan ductus hepaticus dexter dan sinister masing-masing
mengurus lobus dexter dan sinister (termasuk lobus uadratus dan lobus caudatus).3

Jelaslah bahwa terdapat sedikit tumpang tindih. Porta hepatis, atau hilus hepatis, terdapat
pada permukaan posteroinferior, dan terletak di antara lobus caudatus dan lobus uadratus. Bagian
atas ujung bebas omnentum minus melekat pada pinggir porta hepatis. Pada tempat ini, terdapat
ductus hepaticus dexter dan sinister, cabang dextra dan sinistra arteria hepatica, vena porta, dan
serabut saraf simpatik dan parasimpatik. Di sini terdapat kelenjar limfe hepar. Kelenjar ini
menampung cairan limfe hepar dan kandung empedu, dan mengirimkan serabut eferennya ke
nodi lymphoidei coeliaci.3

Seluruh hepar dikelilingi oleh capsula fibrosa, hanya sebagian ditutup oleh peritoneum.
Hepar tersusun oleh lobulus-lobulus hepatis. Vena centralis pada masing-masing lobulus
bermuara ke venae hepaticae. Di dalam ruangan di antara lobulus-lobulus terdapat canalis
hepatis, yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena porta, dan sebuah cabang dari ductus
choledochus (triad hepatis). Darah arteri dan vena berjalan di antara sel-sel hepar melalui
sinusoid dan dialirkan ke van centralis.3

Batas-batas penting hepar, yaitu:

- Ke anterior: Diaphragma, arcus costalis dexter dan sinister, pleura dextra dan
sinistra, serta margo inferior pulmo dexter dan sinister, processus xiphoideus, dan
dinding anterior abdomen pada angulus subcostalis.
- Ke posterior: Diaphragma, ren dexter, flexura coli dextra, duodenum, vesica
biliaris, vena cava inferior, oesophagus, dan fundus gastricus.
Vaskularisasi hepar adalah sebagai berikut:
- Arteri
Arteri hepatica, cabang arteria coeliaca (truncus coeliacus), berakhir dengan
bercabang menjadi ramus dexter dan sinister yang masuk ke dalam parta hepatis.
- Vena
Vena porta berakhir dengan bercabang menjadi cabang dexter dan sinister yang
masuk porta hepatis di belakang arteri. Venae hepaticae (tiga buah atau lebih) muncul
dari permukaan posterior hepatis dan bermuara ke dalam vena cava inferior.

Sirkulasi darah Melalui Hepar


Pembuluh-pembulus darah mengalirkan darah ke hepar adalah arteria hepatica propria
(30%) dan vena porta (70%). Arteriahepatica propria membawa darah yang kaya oksigen ke
hepar, dan vena membawa darah yang kaya akan hasil metabolisme pencernaan yang sudah
diabsorbsi dari tractus gastrointestinalis. Darah arteri dan vena dialirkan ke vena centralis
masing-masing lobulus hepatis melalui sinusoid hati. Vena centralis mengalirkan darah ke vena
hepatica dextra dan sinistra, dan vena-vena ini meninggalkan permukaan posterior hepar dan
bermuara langsung ke vena cava inferior.3

Aliran Limfe
Hepar menghasilkan banyak cairan limfe, sekitar sepertiga sampai detengah dari jumlah
seluruh cairan tubuh. Pembuluh limfe meninggalkan hepar dan masuk ke dalam sejumlah
kelenjar limfe yang ada di dalam porta hepatis. Pembuluh eferen berjalan ke nodi coelicaci.
Beberapa pembuluh limfe berjalan dan area nodi hepatis melalui diaphragma ke nodi lympoidei
mediastinales posteriores.3

Persarafan
Saraf simpatik dan parasimpatik membentuk plexus coeliacus. Truncus vagalis anterior
mencabangkan banyak ramus hepaticus yang berjalan langsung ke hepar bagian lobus caudatus
hepar.3

b. Ductus Biliaris/Saluran Empedu


Empedu disekresikan oleh sel-sel hepar dengan kecepatan tetap sekitar 40 ml per jam.
Jika pencernaan tidak terjadi, empedu disimpan dan dipekatkan di dalam vesica biliaris,
kemudian dikeluarkan ke duodenum. Ductus biliaris hepatis terdiri dari ductus hepaticus dexter
dan sinister, ductus hepaticus communis, ductus choledochus, vesica biliaris, dan ductus
cysticus.3

Cabang-cabang interlobularis choledochus terkecil terdapat di dalam canalis hepatis;


cabang-cabang ini menerima canaliculi biliaris; cabang-cabang ini saling berhubungan satu
dengan yang lain dan secara bertahap membentuk saluran yang lebih besar, sehingga akhirnya
pada porta hepatis membentuk ductus hepaticus dexter dan sinister.3
Ductus hepaticus dexter mengalirkan emperdu dari lobus hepatis dexter dan ductus
hepaticus sinister mengalirkan empedu dari lobus sinister, lobus caudatus, dan lobus uadratus.
Ductus hepaticus dexter dan sinister keluar dari lobus hepatis dexter dan sinister pada porta
hepatis. Dalam jarak pendek, keduanya bersatu membentuk ductus hepaticus communis. Ductus
ini bergabung dengan ductus cysticus dari vesica biliaris yang ada di sisi kanannya membentuk
ductus choledochus.3
Panjang ductus choledochus (ductus biliaris communis) sekitar 3 inci (8 cm). Pada
pertama perjalanannya, ductus ini terletak pada pinggir bebas kanan omentum minus, di depan
foramen epiploicum. Di sini ductus choledochus terletak di depan pinggir kanan vena porta dan
pada sisi kanan arteria hepatica. Pada bagian kedua perjalanannya, ductus terleltak di belakang
bagian pertama duodenum di sebelah kanan arteria gastroduodenalis. Pada bagian ketiga
perjalanannya, ductus terletak di dalam suclus yang terdapat pada facies posterior caput
pancreatis. Di sini, ductus choledochus bergabung dengan ductus pancreaticus mayor. Ductus
choledochus berakhir di bawah dengan menembus dinding medial bagian kedua duodenum kira-
kira dipertengahan panjangnya. Biasanya ductus choledochus bergabung dengan ductus
pancreaticus mayor, dan bersama-sama bermuara ke dalam ampulla kecil di dinding duodenum,
disebut ampulla hepatopancreatica (ampulla vateri). Ampulla ini bermuara ke dalam lamen
duodenum melalui sebuah papilla kecil, yaitu papilla duodeni mayor.3
Bagian terminal kedua ductus beserta ampulla dikelilingi oleh serabut otot sirkular,
disebut musculus sphincter ampullae (sphincter Oddi). Kadang-kadang, ductus choledochus dan
ductus pancreaticus mayor, masing-masing bermuara ke dalam duodenum pada tempat terpisah.
Variasi yang sering ditemukan, doperlihatkan di dalam Vesica Biliaris.

Vesica Biliaris dalah sebuah kantong berbentuk buah pir yang terletak pada permukaan
bawah heapr. Vesica biliaris mempunyai kemampuan menampung dan menyimpan empedu 30-
50 ml, serta memekatkan empedu dengan cara mengabsorbsi air. Vesica biliaris dibagi menjadi
fundus, corpus, dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol di bawah margo
inferior hepatis, di mana fundus bersentuhan dengan dinding arterior abdomen setinggi ujung
cartilago costalis IX dextra. Corpus vesicae biliaris terletak dan berhubungan dengan facies
visceralis hepar dan arahnya ke atas, belakang, dan kiri. Collum melanjutkan diri sebagai ductus
cysticus, yang berkelok ke dalam omentum minus dan bergabung dengan sisi kanan ductus
hepaticus communis untuk membentuk ductus choledodchus.3
Batas-batas penting ductus biliaris:
- Ke anterior: Dinding anterior abdomen dan facies inferior hepatis
- Ke posterior: Colon transversum dan bagian pertama dan kedua duodenum

c. Fisiologi Sistem Hepatobilier


Hepar merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh dan mempunyai fungsi yang sangat
bervariasi. Tiga fungsi dasar hepar adalah membentuk dan mensekresikan empedu ke dalam
tractus intestinalis; berperan pada banyak metabolisme yang berhubungan dengan karbohidrat,
lemak, dan protein; menyaring darah, menyingkirkan bakteri dan benda asing lain yang masuk
ke dalam darah dari rongga intestinum. Hepar mensintesis heparin, sebuah zat antikoagulan, dan
mempunyai fungsi detoksikasi yang penting. Hepar menghasilkan pigmen empedu dari
hemoglobin yang keluar dari sel darah merah dan mengekspresikan garam empedu. Pigmen dan
garam empedu dibawa ke duodenum oleh ductus choledochus. Menarik untuk dicatat bahwa
hepar mempunyai kapasitas cadangan dan regenaratif yang besar. Diperkirakan bahwa seorang
pasien dengan hepar normal dapat bertahan hidup dengan reseksi sekitar 85% dari volume total.4
Kantong empedu atau ductus biliaris berfungsi dalam hal menyimpan empedu yang
dihasilkan oleh hepar. Secara fisiologi jika pencernaan tidak terjadi, sphincter Oddi tetap
tertutup, dan empedu dikumppulkan di dalam vesica biliaris. Vesica biliaris akan memekatkan
empedu, menyimpan empedu, secara selektif mengabsorbsi garam empedu, mempertahankan
asam empedu, mengeluarkan cholesterol, dan mengekskresi mucus. Untuk membantu fungsi-
fungsi ini, tunica mucosa berubah menjadi lipatan-lipatan permanen yang saling berhubungan,
sehingga permukaannya tampak seperti sarang tawon. Sel-sel toraks yang meliputi permukaan
mucosa mempunyai banyak vili.4
Empedu dialirkan ke duodenum sebagai akaibat kontraksi dan pengosongan parsial
vesica biliaris. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak ke dalam
duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari tunica mukosa
duodeni. Lalu hormon masuk ke dalam darah dan menyebabkan kandung empedu berkontraksi.
Pada waktu yang bersamaan, otot polos yang terletak pada ujung distal ductus choledochus dan
ampula relaksasi, sehigga memungkinkan masuknya empedu yang pekat ke dalam duodenum.
Garam-garam empedu di dalam cairan empedu penting untuk mengemulsikan lemak di dalam
usus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak.4

2.1. Definisi
Abses hati merupakan bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang
ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati
1
nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah di dalam parenkim hati.

2.2. Epidemiologi
Abses hati lebih sering dijumpai pada pria usia 20 – 40 tahun, namun bisa terjadi di
segala usia. Dan sebanyak 60 % berlokasi di lobus kanan hati. Di negara berkembang abses hati
amoebik (AHA) lebih sering dijumpai dari pada abses hati pyogenik (AHP). Hampir 10%
penduduk dunia, terutama negara sedang berkembang terinfeksi E.histolytica tetapi hanya 1/10
yang menunjukkan gejal. Insidensi amebiasis hati di berbagai rumah sakit di Indonesia mberkisar
1
antara 5 – 15 % pasien/tahun.
Penelitian di Indonesia menunjukkan kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah
pria dengan rasio 3,4 – 8,5 kali lebih sering. Usia yang sering terkena adalah sekitar 20 – 50
tahun terutama pada dewasa muda. Penularan umumnya melalui jalur fekal-oral. Prevalensi
tinggi djumpai di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi
serta gizi yang buruk.

2.3. Etiopatogenesis
2.3.1. Amoebik
Penyebaran umumnya melalui fecal-oral dengan menelan kista baik melalui makanan
ataupun minuman yang terkontaminasi. E.histolytica terbagi dalam 2 bentuk tropozoit yang
invasif dan kista yang infektif. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya
dapat diurai oleh tripsin dalam usus halus. Lalu kista pecah dan melepaskan tropozoit yang
nantinya menginvasi mukosa usus. Lalu amuba ini akan mensekresi enzim cysteine protease,
shingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar ke seluruh tubuh secara hematogen
melalui invasi pada vena porta. Amuba yang masuk ke submukoasa memasuki kapiler darah, ikut
dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati amuba ini juga kembali mensekresikan
3

enzim proteolitik yang melisis jaringan hati dan membentuk abses. Di hati terjadi fokus
akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi akan
2
membesar dan menyatu membentuk abses.
Jarak waktu antara serangan di intestinal dengan timbulnya kelainan di hati berbeda-beda.
Bentuk yang akut dapat memakan waktu kurang dari 3 minggu. Tetapi bentuk yang kronis lebih
dari 6 bulan. Oleh karena itu penderita amebiasis tidak luput dari kemungkinan menderita abses
3
hepatis amebika.

Gambar 2.1. Patogenesis abses hati ameobik

2.3.2. Pyogenik
Bakteri pyogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari organ-
organ yang berdekatan atau melalui vena porta atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem
biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi
bakteri. Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena porta
dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan
1
menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakterimia sistemik
Penetrasi akibat trauma tajam akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim,
sedangkan penetrasi trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan
terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan di kanalikuli yang
1
menyebabkan masuknya bakteri ke hati.
4

Tabel 2.1 Mikroba patogen pada abses hati piogenik

Bakteri aerobik gram negatif Eschericia coli


Klebsiella pneumoniae
Pseudomonas aeruginosa
Proteus sp.
Enterobacter sp.
Citrobacter freundii
Morganella sp.
Serratia sp.
Haemophillus sp.
Legionella pneumophila
Yersinia sp.

Bakteri aerobik gram positif Viridans streptococci


Staphylococcus aureus
Enterococcus sp.
Beta-hemolytic streptococci
Streptococcus pneumoniae
Listeria monocytogenes

Bakteri anaerobik Anaerobic streptococci


Bacteroides sp.
Fusobacterium sp.
Peptostreptococcus sp.
Prevotella sp.
Actinomyces
Eubacterium
Propionibacterium acnes
Clostridium sp.
Lactobacillus sp.
Peptococcus sp.

Bakteri mikroaerofilik Streptococcus milleri group


5

Lain-lain Mycobacterium sp.


Chlamydia sp.
Candida sp.
Cryptococcus sp.
Verticillium sp.

Catatan: cetak tebal ditemukan pada >5% kasus.

2.4. Diagnosis
3
Penegakan diagnosa abses hati berdasarkan gambaran yang ditemui, sebagai berikut:

Tabel 2.2. Perbedaan gambaran AHP dengan AHA

Abses Hati Piogenik Abses Hati Amoebik

Demografi Usia 50 – 70 tahun Usia 20 – 40 tahun


Laki-laki=Perempuan Laki-laki>Perempuan (>10:1)

Faktor - Infeksi bakteri akut, Berpergian atau menetap di


Resiko Mayor khususnya intra abdominal daerah endemik (pernah
- Obstruksi bilier manipulasi menetap)
- Diabetes Melitus

Gejala Klinis Nyeri perut regio kuadran - Akut : Demam tinggi,


kanan atas, demam, menggigil, menggigil, nyeri abdomen,
rigor, lemah, malaise, sepsis
anoreksia, penurunan berat - Sub akut : Penurunan berat
badan, diare, batuk, nyeri dada badan, demam dan nyeri
pleuritik abdomen relatif jarang
- Khas : Tak ada gejala
kolonisasi usus dan kolitis.

Tanda Klinis Hepatomegali disertai nyeri Nyeri tekan perut regio


tekan, massa abdomen, ikterus kanan atas bervariasi
6

Laboratorium Leukositosis, anemia, >> enzim Serologi ameba postif


hati (alkali fosfatase melebihi (70-95%) Leukositosis
aminotransferase) peningkatan bervariasi dan anemia. Tidak
bilirubin, hipoalbuminemia ditemukan eosinofilia. Alkali
kultur darah (+) 50-60 % fosfatase meningkat namun
aminotransferase normal

Pencitraan Abses multifokal (50%) Khas: abses tunggal (80%)


Biasa nya lobus kanan Biasanya lobus kanan
Tepi ireguler Rounded atau oval, bersepta
wall enhacement pada CT scan
dengan kontras intravena

Cairan aspirasi Purulen Konsistensi dan warna


tampak kuman pada pewarnaan bervariasi. Steril.
gram. Kultur (+) 80% Tropozoit jarang ditemukan

2.4.1 Gejala Klinis


Umumnya pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas, gejala ini dijumpai pada
hamper kebanyakan kasus yang dijumpai (90%). Selain gejala tersebut, gejala lain seperti lemas,
demam, mual, muntah. Pada beberapa penelitian menyebutkan gejala awal dari liver abses
dimulai dengan keluhan mencret.

3
2.4.2. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan vital umumnya dijumpai demam. Pada mata sering dijumpai
konjungtiva palpebra inferior pucat dan sklera ikterik akibat abses multipel yang menekan duktus
biliaris. Pada pemeriksaan toraks dapan dijumpai peningkatan batas paru hati. Selain itu, suara
pernafasan dapat dijumpai melemah pada bagian paru kanan.
Dari pemeriksaan abdomen dapat dijumpai pembesaran hati yang nyeri tekan dan teraba
fluktuasi. Nyeri tekan pada region epigastrium menggambarkan kemungkinan abses di lobus kiri
dan keadaan ini harus diwaspadai mengingat kecenderungan abses di lobus kiri yang dapat
7

menyebabkan efusi pericardium. Apabila terdapat akut abdomen dan bising usus menghilang
maka kemungkinan terjadi perforasi ke peritoneum.

3
2.4.3. Laboratorium
Pada darah rutin biasanya dijumpai leukositosis, pada AHP total leukosit berkisar antara
15.000 – 22.000/mm³ sedangkan pada AHA berkisara antara 16.000 – 10.000/mm³. Pada AHP
juga dijumpai kultur darah yang positif, paling banyak adalah E.coli. Pada pemeriksaan Indirect
hemagglutination test, AHA juga dijumpai positif. Dan pemeriksaan feces dapat dijumpai
leukosit, kista dan bentuk tropozoit.
Pemeriksaan fungsi hati perlu dilakukan untuk menyingkirkan diagnosa banding, dan
mengetahui kronisitas penyakit. Pada abses hati yang akut dapat dijumpai peninggian SGOT.
Sementara itu, pada kasus yang kronik SGOT cenderung normal, akan tetapi terjadi peningkatan
SGPT. Hiperbilirubinemia jarang terjadi kecuali abses mengakibatkan kolestasis. Diagnosis
berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur
hasil aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis.

2
2.4.4. Radiologi
Pada foro thorax dijumpai dome diafragma yang meninggi, hal ini dimungkinkan akibat
penekanan abses. Pada USG abdomen didapati lesi berbentuk bulat atupun oval, tunggal,
berbatas tegas dan hipoekoid. USG abdomen juga dapat mengkonfirmasi letak lobus.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menyingkirkan diagnosa banding selanjutnya
adalah alfafetoprotein (AFP) dimana nilai normalnya 0-20ng/ml. Apabila didapati AFP >
400ng/ml maka nilai ini sangat sugestif untuk penegakan diagnosa hepatoma.
3
2.4.5. Kriteria penegakkan diagnosa
Kriteria Ramachandran (1973)
Bila didapatkan 3 atau lebih dari :
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respon terhadap terapi amebisid
8

3
2.5. Tatalaksana

2.5.1. Farmakologi
Penatalaksanaan untuk abses hati amebic yaitu pemberian amebisid jaringan untuk
mengobati kelainan hatinya, disusul amebisid intertinal untuk pemberantasan E.histoytica di
dalam usus sehingga mencegah kambuhnya kasus abses hati.
Pemberian derivat nitroimidazole seperti metronidazole masih merupakan lini pertama
pengobatan abses hati amoebik dengan dosis 3x750 mg selama 5-10 hari. Hal ini dikarenakan
kemampuannya sebagai agen amebiasis ekstraluminal. Akan tetapi obat ini tidak poten terhadap
kista (bentuk intraluminal) sehingga perlu dikombinasikan dengan Paramomycin dengan dosis
4X500mg. Pilihan lainnya dapat pula ditambahkan atau diganti dengan kloroquin fosfat dengan
dosis 1gr/hari selama 2 hari dilanjutkan dengan 500mg/hari selama 20 hari. Hal ini dilakukan
apabila setelah terapi metronidazole selama 5 hari tidak terdapat perbaikan ataupun bila terdapat
intoleransi. Obat lini kedua yang digunakan yakni dihydroemetin 1-1,5mg/kgBB/hari secara
intramuskular (maksimum 99gr/hari) selama 10 hari. Akan tetapi, yang terakhir disebutkan
relatif toksik sehingga perlu kewaspadaan pemakaian. Penatalaksanaan untuk abses hati piogenik
adalah dengan sefalosporin generasi ke-3 dan klindamisin atau metronidazole. Jika dalam waktu
48-72 jam belum ada perbaikan klinis dan laboratoris, maka antibiotika yang digunakan diganti
dengan antibiotika yang sesuai dengan hasil kultur sensitivitas aspirat abses hati.
Pengobatan secara parenteral dapat dirubah menjadi oral setelah pengobatan parenteral selama
10-14 hari, dan kemudian dilanjutkan kembali hingga 6 minggu.
9

2.5.2. Non farmakologi


2.5.2.1. Aspirasi jarum perkutan
Tindakan aspirasi terapeutik diindikasikan apabila :
1. Abses dikhawatirkan akan pecah ( terutama bila diameter >5 cm)
2. Tidak ada respon terhadap medikamentosa setelah 7 hari
3. Abses berada di lobus kiri memiliki risiko mudah pecah ke rongga
peritoneum ataupun perikardium.

2.5.2.2. Drainase perkutan


Drainase perkutan abses dilakukan dengan tuntunan USG abdomen atau CT scan abdomen.
Penyulit yang dapat terjadi : perdarahan, perforasi organ intra abdomen, infeksi, ataupun terjadi
kesalahan dalam penempatan kateter untuk drainase. Tindakan pembedahan berupa drainase
dilakukan apabila :
1. Abses disertai komplikasi infeksi sekunder
2 Abses jelas menonjol ke abdomen atau ruang interkosta
3 Terapi medika mentosa dan aspirasi tidak berhasil
4. Rupture abses ke rongga perikardial/pleural/peritoneum
5. Pus terlalu kental untuk dilakukan aspirasi

2.5.2.3.Reseksi hati
Pada abses hati piogenik multipel kadang diperlukan reseksi hati. Indikasi spesifik jika
didapatkan abses hati dengan karbunkel (liver carbuncle) dan disertai dengan hepatolitiasis,
terutama pada lobus kiri hati. Operasi menjadi pilihan terapi apabila terapi non-operative gagal
dalam pengobatan maupun adanya perdarahan serta bocornya abeses ke dalam rongga
peritoneum
10

2.5.2.4.Diet hati
Diet Hati I diberikan bila pasien dalam keadaan akut atau bila prekoma sudah dapat
diatasi dan pasien sudah mulai mempunyai nafsu makan. Melihat keadaan pasien, makanan
diberikan dalam bentuk cincang atau lunak. Pemberian protein dibatasi (30 g/hari) dan lemak
diberikan dalam bentuk mudah dicerna. Bila ada asites dan diuresis belum sempurna, pemberian
cairan maksimal 1 L/hari. Menurut beratnya retensi garam atau air, makanan diberikan sebagai
Diet Hati I Garam rendah. Bila ada asites hebat dan tanda-tanda diuresis belum membaik,
diberikan Diet Garam Rendah I(kadar natrium pada Diet garam rendah I ini adalah 200-400 mg
Na). Untuk menambah kandungan energi, selain makanan per oral juga diberikan makanan
parenteral berupa cairan glukosa.

2.5.3. Penatalaksanaan Umum


Berdasarkan kesepakatan PEGI (Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal Indonesia) dan PPHI
(Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) di Surabaya pada tahun 1996:
1. Abses hati dengan diameter 1-5 cm : terapi medikamentosa, bila respon
negatif dilakukan aspirasi
2. Abses hati dengan diameter 5-8 cm: terapi aspirasi berulang
3. Abses hati dengan diameter ≥ 8 cm : drainase per kutan

2.6. Diagnosis Banding


Penyakit lain yang gejala klinisnya mirip dengan abses hati amuba antara lain kolesistitis
akut, hepatitis virus akut, dan karsinoma hati primer tipe febril. Untuk memastikan diagnostik,
perlu dilihat hasil pemeriksaan ultrasonografi, punksi, dan laboratorium.

2.7. Prognosis
2.7.1. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik yang tidak diterapi menyebabkan angka kematian mendekati 100%. Laporan
kasus terkini menyatakan bahwa angka kematian abses hati piogenik ± 10- 30% tergantung dari
penyakit dasar yang menyebabkan abses dan kondisi medis penderita.
11

2.7.2. Abses hati ameobik


Abses hati amoebik merupakan penyakit yang sangat “treatable”. Angka kematiannya <
1% bila tanpa penyulit. Penegakan diagnosis yang terlambat dapat memberikan penyulit abses
rupture sehingga meningkatkan angka kematian. Contohnya ruptur ke dalam peritoneum , angka
kematian 20% dan ruptur ke dalam perikardium , angka kematian 32- 100%.
12

BAB 3
LAPORAN KASUS

DATA PRIBADI PASIEN


Nama Pasien / No. MR Tn. H.O / 15.16.75
Jenis Kelamin Laki-laki
Umur 32 tahun
Alamat Lengkap Siempatnempu
Agama Kristen Protestan
Pekerjaan Petani
Tanggal Masuk RS 06 Agustus 2018 pkl. 00.00 WIB

ANAMNESIS PASIEN
Keluhan Utama Nyeri Perut
Hal ini dialami os ± 1minggu sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri perut dikeluhkan os terutama pada perut sebelah kanan
atas. Sebelumya os mengeluhkan hanya mual kemudian
dikusut sebanyak 2 kali. Kemudian nyeri dikeluhkan os
semakin memberat. Demam (+), mual dikeluhkan os, muntah
Telaah
dijumpai pada os. Buang angin (+), buang air besar (-) selama
± 3 hari ini, buang angin (+) warna kuning pekat seperti teh.
Os sehari-hari adalah peminum alkohol. Os juga mengeluhkan
mencret ±1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Riwayat sakit
kuning sebelumnya disangkal os
RPT -
RPO -

PEMERIKSAAN FISIK
VITAL SIGN
Sensorium Compos Mentis
13

Tekanan Darah 130/90


Nadi 90 x/i
RR 25 x/i
o
Suhu 37,8 c
STATUS GENERALISATA
Mata
Konjungtiva anemis -/-, skelera ikterik -/- , pupil isokor,
refleks cahaya +/+
Kepala
Hidung : dalam batas normal
Telinga : dalam batas normal
Mulut : dalam batas normal
Leher TVJ 5+2 cmHg, pembesaran KGB (-)
Cor
S1= S2, dalam batas normal, gallop (-), murmur (-),
Pulmo
Inspeksi : Simetris
Thorax Palpasi : SF Kanan=Kiri, Kesan normal
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru,
Auskultasi :
• Sp: Vesikuler
• St: Ronkhi (-/-); Wheezing (-/-)
Tidak tampak jejas.
Soepel, normoperistaltik, Nyeri tekan pada perut kanan
atas, Murphy Sign (+) teraba massa pada perut kanan atas.
Abdomen Normoperistaltik
• Hepar : Tidak Teraba
• Renal : Tidak Teraba
• Limpa : Tidak Teraba
Akral hangat
Ekstremitas
• Superior : Tidak ada keterbatasan gerak, CRT <3s
14

• Inferior : Tidak ada keterbatasan gerak

Pemeriksaan Penunjang
A. Laboratorium Darah Rutin

Jenis pemeriksaan Hasil

Hemoglobin (HGB) 11,1g%

6
Eritrosit 3,37x 10 /µL

Leukosit (WBC) 12.500/µL

Hematokrit 31,1%

3
Trombosit (PLT) 450 x10 /µL

B. Fungsi Hati
Jenis Pemeriksaan Hasil
SGOT 30,3 U/L
SGPT 22,8 U/L
Billirubin Total 0,66 mg/dl
Billirubin Direct 0,37 mg/dl
Gamma GT 156,8 U/L

C. Fungsi Ginjal
Jenis Pemeriksaan Hasil
Ureum 29,4 mg/dl
Creatinin 0,68 mg/dl
Uric Acid 3,1 mg/dl
15

D. Pemeriksaan USG Abdomen

Kesan : Dijumpai gambaran hiperekoeik dengan hipoekoik di tengah ukuran ±9x5cm,


kesan Liver Abses
E. Foto Thorax
Kesan : Tidak tampak kardiomegali, tidak tampak TB Paru Aktif

DIAGNOSIS KERJA
• LIVER ABSES
TATA LAKSANA
• Bed Rest
• IVFD Asering 20gtt/i
• Inj. Ceftriaxone 1 gr / 12 jam/ IV (skin test)
• Drip. Metronidazole 500mg/ 8jam/IV
• Inj. Gentamicin 80mg/12 jam
• Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam/ IV
• Inj. Ondansetron 8mg/8jam/IV
• Inj. Norages 1gr/12jam/IV/(K/P)
• Dulcolax supp 2x1
16

Follow Up Pasien
07 Agustus 2018
S : Nyeri perut kanan atas (+), Demam (+), Mual (+), Muntah (+) Buang angin (+), Buang air
besar (-), Buang air kecil (+) warna Kuning Pekat O : Sens : CM

Abdomen : Soepel, Nyeri tekan pada perut kanan atas, Murphy Sign (+), teraba
massa pada perut kanan atas, konsistensi keras, hepar tidak teraba, lien tidak teraba
A : Liver Abses
P:
• Bed Rest
• IVFD Asering 20gtt/i
• Inj. Ceftriaxone 1 gr / 12 jam/ IV (skin test)
• Drip. Metronidazole 500mg/ 8jam/IV
• Inj. Gentamicin 80mg/12 jam
• Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam/ IV
• Inj. Ondansetron 8mg/8jam/IV
• Inj. Norages 1gr/12jam/IV/(K/P)
• Dulcolax supp 2x1
08 Agustus 2018
S : Nyeri perut kanan atas (+) berkurang, Demam (-), Mual (-), Muntah (-) Buang angin (+),
Buang air besar (+), frek 1 kali, konsistensi keras Buang air kecil (+) warna Kuning Pekat
O : Sens : CM
Abdomen : Soepel, Nyeri tekan pada perut kanan atas, Murphy Sign (+), teraba
massa pada perut kanan atas, konsistensi keras, hepar tidak teraba, lien tidak teraba
A : Liver Abses
P:
• Bed Rest
• IVFD Asering 20gtt/i
• Inj. Ceftriaxone 1 gr / 12 jam/ IV (skin test)
• Drip. Metronidazole 500mg/ 8jam/IV
• Inj. Gentamicin 80mg/12 jam
17

• Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam/ IV


• Inj. Ondansetron 8mg/8jam/IV
• Inj. Norages 1gr/12jam/IV/(K/P)
• Diet MLS

• Observasi tanda-tanda peritonitis


09 Agustus 2018
S : Nyeri perut kanan atas (+) berkurang, Demam (-), Mual (-), Muntah (-) Buang angin (+),
Buang air besar (+), frek 1 kali, konsistensi keras Buang air kecil (+) warna Kuning Pekat
O : Sens : CM
Abdomen : Soepel, Nyeri tekan pada perut kanan atas, Murphy Sign (+) berkurang, teraba
massa pada perut kanan atas, konsistensi keras, hepar tidak teraba, lien tidak teraba
A : Liver Abses

P : Rencana Pasien PBJ


• Ciprofloxacin tab 2x500mg
• Metronidazole tab 3x500mg
• Na. Diclofenac tab 2x50mg
• Ranitidine tab 2x150mg
18

DAFTAR PUSTAKA

1. Bhatti, et al. 2014. Clinical and Phatological Comparison of Pyogenic and Amoebic Liver
Abscesses. Advances in Infetious Diseases, 4, 117-123.
2. El adha. 2013. Gambaran Ulatrasonografi pada Pasien Hepar. FK UGM.
3. PAPDI. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Interna Publishing.
4. Rianyta. 2012. Abses Hepar Tuberkulosis Ekstrapulmonal CDK-197/ vol. 39 no. 9.

Anda mungkin juga menyukai