Anda di halaman 1dari 50

CASE REPORT

ENSEFALOPATI HEPATIKUM E.C SIROSIS HEPATIS

Disusun oleh:
Tegar Maulana
1102014263

Pembimbing:
dr. Deden Djatnika, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD KABUPATEN BEKASI
PERIODE 19 NOVEMBER 2018 – 26 JANUARI 2019

1
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. W
Usia : 37 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Cibitung
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah
Pekerjaan : Supir angkot
Tanggal Masuk RS : 19 November 2018
Pendidikan terakhir : SMK

II. ANAMNESIS
Anamnesis menggunakan teknik auto dan alloanamnesis pada tanggal 21 November
2018 di Bangsal Anggrek 2 RSUD Kabupaten Bekasi.
A. Anamnesis
Keluhan utama : Penurunan kesadaran 5 jam smrs
Keluhan tambahan : Sesak, perut membesar, nyeri perut

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi diantar oleh istrinya pada
tanggal 19 November 2019
Pasien datang dengan penurunan kesadaran 5 jam smrs dengan keadaan
mengamuk, bicara kacau, berteriak, dan tidak mengenali orang di sekitarnya. Sebelum
kejadian tersebut pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan ataupun zat-zat terlarang.
Keluhan pasien disertai sesak yang memberat 1 minggu ini. sesak dirasa sepanjang hari
diperberat dengan posisi tidur telentang dan diperingan apabila tidur miring. sesak
tidak disertai batuk, nyeri dada, ataupun berdebar-debar.

2
Pasien juga mengeluhkan perutnya yang membesar sejak 2 bulan smrs. bengkak
hanya didapatkan di perut saja. bengkak disertai nyeri tekan. Bengkak muncul perlahan
dan sepanjang hari. pasien merasa perutnya terasa penuh sehingga tidak nafsu makan.
keluhan perut membesar disertai dengan nyeri tekan pada bagian perut kanan yang
menjalar ke pinggang.
Buang air kecil pasien menjadi lebih sedikit kurang lebih 1 botol aqua (±1 liter)
dalam sehari, berwarna kuning tanpa ada darah. Buang air besar pasien tidak terdapat
kelainan.
Pasien pernah dirawat di rumah sakit dengan muntah dan berak darah dengan
diagnosis sirosis hepatis dua bulan SMRS. Riwayat pengobatan pasien mengaku tidak
tahu obat yang sudah di dapatkan pada terapi sebelumnya
Pasien memiliki kebiasaan meminum alkohol dan merokok sejak 20 tahun yang
lalu. Pasien berhenti minum alkohol dan merokok sejak 1 tahun yang lalu.
C. Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan penurunan kesadaran sebelumnya.
Riwayat hipertensi -, riwayat diabetes -, riwayat kejang -, riwayat gangguan mental dan
perilaku -
D. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan penurunan kesadaran,
sesak, perut membesar, dan muntah serta berak darah. Pasien menyangkal adanya
hipertensi dan diabetes pada keluarga.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Umum :
1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Berat
2. Kesadaran : Apatis E3 M6 V4 (GCS: 13)
3. Tanda Vital
Tekanan Darah : 121/42 mmHg (L)
Heart Rate : 136 x/menit (H)
Respiration Rate : 24 x/menit (H)

3
Suhu : 36,5 °C
BB: 40 kg
TB: 160 cm
Lingkar perut: 109 cm
B. Pemeriksaan Khusus :
1. Kulit
Tampak ikterik, turgor normal
2. Kepala
Normocephal, Rambut tidak mudah dicabut dan berwarna hitam.
3. Mata
Konjungtiva anemis +/+
Sklera ikterik +/+
Refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, Pupil
Isokor ±3 mm
4. Telinga
Tidak ditemukan kelainan dan tidak ada sekret yang keluar dari liang
telinga
5. Hidung
 Tidak ada pernafasan cuping hidung.
 Tidak ditemukan kelainan pada hidung dan tidak ada sekret yang
keluar dari lubang hidung.
6. Mulut
 Bibir kering, tidak sianosis
 Mukosa lidah basah
 Uvula ditengah
 Tonsil T1-T1 tenang
 Faring tidak hiperemis
 Lidah tidak deviasi
7. Leher
 Jugular Vein Pressure (JVP) normal -2Th

4
 Trakea tidak deviasi
 Tidak terdapat adanya pembesaran kelenjar getah bening
 Tidak terdapat adanya pembesaran kelenjar tiroid
8. Thorax
a. Paru
 Inspeksi : Dada simetris normal kiri-kanan pada
gerakan statis dan dinamis. Retraksi
intercostal (-), Retraksi suprasternal (-),
 Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris normal
pada kedua lapang paru. Nyeri tekan (-)
 Perkusi : Redup pada basal paru kanan dan kiri
 Auskultasi : Ronkhi basah halus (+/+) di basal paru kanan &
kiri, wheezing (-/-)

b. Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus cordis teraba pada 2 cm medial
linea midklavikularis sinistra ICS 5, kuat
angkat, tidak ada vibrasi.
 Perkusi :
o Batas jantung kanan : Linea sternalis sinistra ICS 5.
o Batas jantung kiri: Pada 2 cm lateral dari linea
midclavicularis sinistra ICS 6.
o Batas pingang jantung : Linea parasternalis sinistra ICS
3
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur sistolik (-
), murmur distolik (-), gallop (-)

5
c. Abdomen
 Inspeksi : Abdomen cembung, dilatasi vena (+), caput
medusa (-), spider nevi (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi : Teraba keras, nyeri tekan (+) pada
hipokondrium kanan, murphy sign (+), undulasi (+), rovsing
sign (-), hepar dan lien tidak teraba.
 Perkusi : Shifting dullness (+), redup pada hampir
seluruh lapang abdomen

d. Ekstremitas
Akral hangat, capillary refilll time (CRT) < 2 detik dan pucat pada
kedua telapak tangan, palmar eritem (-).
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan :
a. Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan tanggal 19/11/2018
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 8,4 (L) 12 – 16 g/dL
Hematokrit 27 (L) 37 – 47%
Eritrosit 3,36 (L) 4.3 – 6.0 juta/uL
Leukosit 19.000 (H) 4.800 – 10.800/uL
Trombosit 243.000 150.000 – 400.000/uL
MCV 80 80 – 96 fL
MCH 25 (L) 27 – 32 pg
MCHC 31 (L) 32 – 36 g/dL
Hitung Jenis :
Basofil 0 0–1%
Eosinofil 0 (L) 1–3%
Neutrofil 84 (H) 50 – 70 %

6
Limfosit 10 (L) 20 – 40 %
Monosit 6 2–8%
Laju endap darah 30 (H) <10 mm/jam
Kimia klinik
Natrium (Na) 130 (L) 135 – 147 mmol/L
Kalium (K) 5,8 (H) 3.5 – 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 95 95 – 105 mmol/L
Protein total 7,5 6,4-8,3 g/dL
Albumin 2,2 (L) 3,5-5,2 g/dL
Globulin 5,3 (H) 2,5-3,9 g/dL
Bilirubin total 3,0 (H) 0,3-1,2 mg/dL
SGOT (AST) 243 (HH) 0-35 U/L
SGPT (ALT) 73 (H) 0-45 U/L
Glukosa sewaktu 78 74-106 mg/dL
Ureum 169 (HH) 19-44 mg/dL
Kreatinin 3,4 (H) 0,67-1,17 mg/dL
Serologi
Anti HIV Non-reaktif Non-reaktif
Anti HCV Non-reaktif Non-reaktif
HBsAg Non-reaktif Non-reaktif

b. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto thorax AP: Kesan efusi pleura kanan
b. USG abdomen: Kesan gambaran sirosis hepatis dengan asites
masif. Kolesistitis dengan sludge kandung empedu. USG spleen,
pankreas, ginjal kanan dan kiri, vesika urinaria, prostat, serta
usus-usus saat ini tidak ada kelainan

V. RESUME
Pasien datang dengan penurunan kesadaran 5 jam smrs dengan keadaan
mengamuk, bicara kacau, berteriak, dan tidak mengenali orang di sekitarnya. Sebelum

7
kejadian tersebut pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan ataupun zat-zat terlarang.
Keluhan pasien disertai sesak yang memberat 1 minggu ini, sepanjang hari diperberat
dengan posisi tidur telentang dan diperingan apabila tidur miring. sesak tidak disertai
batuk, nyeri dada, ataupun berdebar-debar. Keluhan lainnya yaitu perut membesar
sejak 2 bulan smrs. Bengkak hanya didapatkan di perut saja, disertai nyeri tekan,
muncul perlahan dan menetap sepanjang hari. Keluhan perut membesar disertai dengan
nyeri tekan pada bagian perut kanan yang menjalar ke pinggang. Buang air kecil pasien
menjadi lebih sedikit kurang lebih 1 botol aqua (±1 liter) dalam sehari, berwarna kuning
tanpa ada darah. Buang air besar normal. Pasien pernah dirawat di rumah sakit dengan
muntah dan berak darah dengan diagnosis sirosis hepatis dua bulan SMRS. Pasien
memiliki kebiasaan meminum alkohol dan merokok sejak 20 tahun lalu berhenti
minum alkohol dan merokok sejak 1 tahun yang lalu. Pasien tidak pernah mengalami
keluhan penurunan kesadaran sebelumnya. Riwayat hipertensi (-), riwayat diabetes (-
), riwayat kejang (-), riwayat gangguan mental dan perilaku (-). Riwayat keluhan
seperti sekarang ini tidak ditemukan pada keluarga pasien.
Hasil pemeriksaan fisik Tekanan Darah: 121/42 mmHg (L) Heart Rate: 136
x/menit (H) Respiration Rate : 24 x/menit (H). Inspeksi kulit: tampak ikterik. Mata:
konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik +/+. Pemeriksaan paru didapatkan Perkusi :
Redup pada basal paru kanan dan kiri, Auskultasi: Ronkhi basah halus (+/+) di basal
paru kanan & kiri, wheezing (-/-). Pemeriksaan abdomen pada inspeksi: Abdomen
cembung, dilatasi vena (+), caput medusa (-), spider nevi (-), auskultasi: Bising usus
(+) normal, palpasi: Teraba keras, nyeri tekan (+) pada hipokondrium kanan, murphy
sign (+), undulasi (+), rovsing sign (-), hepar dan lien tidak teraba. perkusi: Shifting
dullness (+), redup pada hampir seluruh lapang abdomen. Pada ekstremitas: akral
hangat, capillary refilll time (CRT) < 2 detik dan pucat pada kedua telapak tangan,
palmar eritem (-).
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin: 8,4 (L) Hematokrit:
27 (L), Eritrosit:3,36 (L), Leukosit: 19.000 (H), MCH: 25 (L), MCHC: 31 (L).
Neutrofil: 84 (H), Limfosit: 10 (L). Laju endap darah: 30 (H), Natrium (Na): 130 (L),
Kalium (K):5,8 (H), Albumin: 2,2 (L), Globulin: 5,3 (H), Bilirubin total: 3,0 (H) SGOT

8
(AST): 243 (HH), SGPT (ALT):73 (H), Ureum: 169 (HH), Kreatinin: 3,4 (H), Anti
HIV: Non-reaktif, Anti HCV: Non-reaktif , HbsAg: Non-reaktif. Hasil pemeriksaan
radiologi: Foto thorax AP: Kesan efusi pleura kanan. USG abdomen: Kesan gambaran
sirosis hepatis dengan asites masif. Kolesistitis dengan sludge kandung empedu. USG
spleen, pankreas, ginjal kanan dan kiri, vesika urinaria, prostat, serta usus-usus saat ini
tidak ada kelainan.

VI. DAFTAR PERMASALAHAN


Ensefalopati hepatikum e.c sirosis hepatik
Isolated Diastolic Hypotension
Asites masif e.c sirosis hepatik
Hipoalbuminemia
Hiperglobulinemia
Chronic kidney disease grade 4 (GFR=22 ml/min/1.73m2)
Efusi pleura
Kolesistitis
Anemia
Hiponatremia
Hiperkalemia

VII. DIAGNOSIS KLINIS


Ensefalopati hepatikum e.c sirosis hepatik dengan anemia
Kolesistitis
Chronic kidney disease grade 4

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Sirosis biliaris (mikronodular)
Sirosis alkoholik (makronodular)

9
IX. USULAN PEMERIKSAAN
Antimitochondrial antibody & AMA M2
Alkalin fosfatase
Gamma glutamil transferase
X. PERENCANAAN
1. Rencana Diagnostik
Tampung urin 24 jam
Urinalisis
Ukur balance cairan, lingkar perut
Diagnostik paracentesis
2. Rencana Terapi
Terapi non-medikamentosa
 Tirah baring
 Diet garam 5,2 gram per hari
Terapi medikamentosa
 Curcuma FCT Tab 20 mg 3x1
 Spironolakton Tab 100 mg 1x1
 Asam folat Tab 400mcg 1x1
 Inj seftriakson 2x1 gr IV

Terapi tindakan
 Pro HD
 Paracentesis Therapeutic

XI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI HATI

Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh dan organ terbesar setelah kulit
sebagai bagian tubuh tunggal dengan berat 1500 g dan merupakan 2.5% dari berat
tubuh dewasa. Pada fetus yang matur, saat hati bekerja sebagai organ topoetik,
merupakan 5% berat tubuh fetus. Hati berada pada kuadran kanan atass abdomen yang
dilindungi oleh tulang iga dan diafragma seperti pada Gambar 1. Hati berada setinggi
iga ke 7-11 pada sisi kanan dan menyeberangi garis tengah hingga ke papila mammae
kiri sesuai dengan ukuran normal lobus kanan dan kiri hati. Hati menempati hampir
keseluruhan daerah hipokondrium kanan, epigastrium, dan beberapa bagian
hipokondrium kiri. Hati dapat bergerak dipengaruhi posisi tubuh dan pernapasan. Pada
posisi berdiri tegak karena dipengaruhi oleh gaya gravitasi, hati akan berada lebih ke
inferior, begitu juga saat seseorang melakukan inspirasi maksimal (Moore, 2015).

Gambar 1. Anatomi permukaan dari hati.


Sumber: Moore (2015)

Hati dibagi menjadi dua bagian secara anatomis, yaitu lobus kanan dan kiri,
dimana lobus kanan enam kali lebih besar dari lobus kiri. Pada bagian posterior, hati
memiliki lobus kaudatus pada bagian superior dari lobus kanan dan lobus quadratus

11
pada bagian inferiornya. Lobus kanan dan kiri hati dipisahkan oleh lipatan peritoneum
pada bagian anterior yang dinamakan ligamen falsiformis, pada bagian posterior
dipisahkan oleh fissura ligamentum venosum pada bagian superior dan fissura
ligamentum teres pada bagian inferior (lokasi kandung empedu) seperti pada Gambar
2.

Gambar 2. Permukaan viseral hati


(Sumber: Moore, 2015)

Hati menerima 25% darah dari jantung, dengan sel parenkimal hati menjadi sel
yang paling banyak . Sel-sel parenkim hati adalah sel yang mendapat perfusi paling
banyak dibandingkan organ lainnya dikarenakan setiap sel mendapatkan kontak O2 dari
kedua sisi sel. Dari total aliran darah hati (100-130 ml / menit per 100 g hati, 30 ml /
menit per kilogram berat badan), seperlima hingga sepertiga darah ke hati dipasok oleh
arteri hepatika sedangkan sisanya dipasok oleh vena porta (Lautt, 2009). Hati memiliki
dua sumber suplai darah, yaitu: vena porta yang memenuhi 75-80% kebutuhan darah
hati dan arteri hepatika yang merupakan 20-25%. Darah portal, memiliki 40% oksigen
lebih banyak dibanding darah yang kembali ke jantung dari sirkuit sistemik. Vena porta
hepatika membawa nutrisi yang diserap oleh ke hati melewati sinusoid hati untuk sel-
sel parenkim hati (Gambar.3). Darah yang kemudian masuk ke vena sentralis pada
masing-masing lobulus hati kemudian masuk ke vena hepatika (kiri, kanan, dan tengah)
dan menuju ke jantung melalui vena kava inferior. Lipid yang diserap di pencernaan
akan dibawa ke hati melalui sistem limfatik. Aliran darah dari arteri hepatika
didistribusikan untuk struktur non-parenkimal hati terutama duktus biliaris

12
intrahepatika (dextra & sinistra). Darah arterial yang bertekanan tinggi dan tinggi
oksigen bercampur dengan darah vena yang kurang teroksigenasi, namun kaya akan
nutrisi di dalam sinusoid (Lautt, 2009). Vena porta hepatika merupakan cabang dari
vena mesentrika superior dan vena splenika posterior yang berada di daerah anterior
dari vena cava inferior.

Gambar 3. Sistem sirkulasi vena porta


(Sumber: uclahealth.org)
Arteri hepatika merupakan cabang dari celiac trunk yang dibagi menjadi arteri hepatika
komunis yang diteruskan menjadi arteri gastroduodenal dan arteri hepatika propria.
Arteri hepatika propria kemudian bercabang menjadi arteri hepatika dextra dan sinistra
seperti ditunjukkan pada Gambar.4.

Gambar 4. Drainasi vena porta dan suplai arteri ke hati


(Sumber: Sibukesky, 2013)

13
Distribusi supplai darah portal dan drainasi bilier dari hati menyebabkan hati
dapat dibagi menjadi empat bagian secara fungsional. Lobus kaudatus dapat dianggap
sebagai bagian hati ketiga selain lobus kanan dan kiri hati dikarenakan vaskularisasi
independen dua percabangan dari triad portal dan didrainasi oleh 1 atau 2 vena hepatika
kecil yang kemudian masuk secara langsung melewati vena hepatika utama menuju
vena kava inferior. Hati dapat dibagi menjadi delapan segmen reseksi, masing-masing
difasilitasi secara independen oleh cabang kedua atau ketiga dari triad portal seperti
pada Gambar 5.

Gambar 5. Segmentasi Hati


(Sumber: Moore, 2015)

Jaringan hati terusun oleh sel parenkim dan sel non-parenkim dengan proporsi
hepatosit (sel parenkim) sebesar 60-80% dan sel non-parenkim sebesar 20-40% seperti
ditunjukkan pada Gambar 6 (Racanelli and Rehermann, 2006).

14
Gambar 6. Komposisi dari sel hati normal
(Sumber: Racanelli and Rehermann, 2006)
Parenkim hati terdiri dari ribuan lobulus hati (~0.7 × 2 mm) berisi dari
kumpulan sel hepatosit yang tersusun radial seperti pada Gambar 7.

Gambar 7. Lobulus hepar beserta hepatosit dan sinusoid


(Sumber: Mescher and Junqueira, 2013)
Hepatosit pada lobulus hati dikelilingi oleh serat retikulin. Pada bagian perifer, tiap
lobulus memiliki 3 sampai 6 area portal dengan jaringan ikat fibrosa, yang masing-

15
masing terdiri dari struktur interlobular yang disebut “Portal Triad”, yaitu: (a) cabang
venula dari vena porta, yang kaya akan nutrisi namun rendah O2, (b) cabang arteriol
dari arteri hepatika untuk suplai O2, (c) satu atau dua duktus biliaris cabang dari sistem
bilier. Pada area portal triad, terdapat jaringan limfatik dan jaringan saraf. Di antara
sel-sel hepatosit terdapat sinusoid yang menjadi tempat bercampurnya darah dari arteri
hepatika dan vena porta. Tiap sinusoid dilapisi oleh sel endotel fenstrata yang
dikelilingi oleh lamina basalis dan serta retikular. Diskontinuitas dan fenestrasi endotel
menyebabkan plasma dapat mengisi ruang perisinusoidal (space of Disse) yang
ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Ruang perisinusoida/space of Disse


(Sumber: vivo.colostate.edu)

Kontak langsung antara hepatosit dan plasma memfasilitasi fungsi hepatosit yang
melibatkan penyerapan dan pengeluaran nutrisi, protein, dan toksin.
Terdapat dua sel yang penting pada sinusoid di lobulus hepatik (Gambar. 9),
yaitu: (a) Makrofag stellata pada hati yang dinamakan sel kupffer ditemukan pada
sinusoid. Sel ini memfagositosis eritrosit membebaskan heme dan zat besi untuk
digunakan atau disimpan pada kompleks ferritin. Sel kuppfer juga berfungsi sebagai
antigen-presenting cells (APC) dan mengeluarkan bakteri atau debris yang terbawa
darah portal. (b) sel hepatic stellata (sel Ito) di ruang perisinusoidal menyimpan vitamin
A dan vitamin lainnya yang larut lemak pada droplet lemak. Sel-sel mesenkimal ini
juga memproduksi matriks ekstraselular (ECM) yang dapat menjadi miofibroblas jika
terdapat kerusakan hati dan sitokin yang mengatur aktivitas sel kuppfer (Mescher and
Junqueira, 2013).

16
Gambar 9. Sel sel non-parenkimal hati
(Sumber: jotscroll.com)

Bagian penting lainnya dari hati adalah saluran empedu yang berguna untuk
mengalirkan cairan garam empedu dari hati untuk dikonsentrasikan dan disimpan pada
kandung empedu (dikeluarkan lewat duodenum) seperti pada Gambar 10. Cairan
empedu disekresikan oleh hepatosit dan diserap oleh kedua lobus hati melalui
kanalikuli, duktus intralobular, kemudian menuju duktus hepatis sinistra dan dextra,
masuk ke kandung empedu melewati duktus hepatis komunis yang sejajar dengan vena
hepatika, dan terakhir melalui duktus sistikus. Duktus sistikus memfasilitasi aliran
empedu untuk masuk dan keluar kandung empedu dalam proses penyimpanan atau
pengeluaran melalui duktus biliaris komunis (gabungan dari duktus sistikus dan duktus
hepatik komunis). Duktus biliaris komunis ini kemudian turun dan melewati bagian
posterior dari duodenum dan caput pankreas yang bergabung dengan duktus pankreatik
utama (duktus wirsungi) membentuk ampula hepatopankreas (ampulla Vater) yang
kemudian masuk ke duodenum melalui papilla duodenalis.

17
Gambar 10. Jalur masuk dan keluar cairan empedu
(Sumber: healthdocbox.com)
Papilla duodenalis diatur oleh sphincter of Oddi yang merupakan katup muskular
(Mahadevan, 2014).

2.2 FISIOLOGI HATI

Hati berfungsi untuk menyimpan dan memproduksi sejumlah substansi yang


dibutuhkan tubuh, seperti glukosa, asam amino, dan protein plasma. Secara umum
fungsi utama hati dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu (a) metabolisme tubuh secara
keseluruhan, (b) detoksifikasi, (c) ekskresi produksi sisa yang berikatan dengan protein
atau bahan larut lemak (Koeppen, Stanton and Berne, 2010).
A. Fungsi metabolik hati

Hepatosit berkontribusi dalam metabolisme nutrisi utama: karbohidrat, lemak,


dan protein. Hati juga berperan dalam glukoneogenesis, yaitu perubahan bentuk lain
dari gula menjadi glukosa. Hati juga dapat menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen
pada saat kelebihan glukosa dan dapat mengeluarkannya dalam bentuk glukosa ke
dalam aliran darah saat dibutuhkan. Proses ini dinamakan fungsi buffer glukosa dari
hati. Saat fungsi hati terganggu, konsentrasi glukosa darah dapat meningkat drastis
setelah masuknya sumber karbohidrat, sedangkan terjadi hipoglikemia di antara waktu

18
makan dikarenakan ketidakmampuan hati
untuk membentuk glukosa dari senyawa lain.
Hepatosit juga berperan dalam
metabolisme lipid yaitu oksidasi asam lemak
untuk suplai energi tubuh. Hepatosit juga
merubah produk hasil metabolisme
karbohidrat menjadi lemak yang disimpan
dalam jaringan adiposa dan menyintesis
lipoprotein, kolesterol, dan fosfolipid dalam
jumlah besar. Hepatosit juga merubah
kolesterol menjadi asam empedu.
Hati berperan penting dalam
Gambar 11. Aliran darah pada hati
metabolisme protein. Hati menyintesis semua
(Sumber: (Koeppen, Stanton and Berne, 2010)
asam amino non-esensial. Hati memproduksi
hampir seluruh protein yang terdapat di plasma terutama albumin yang berguna dalam
tekanan onkotik, begitu juga dengan faktor pembekuan darah. Pasien dengan penyakit
hatu dapat mengalami edema perifer dikarenakan hipoalbuminemia dan berisiko terjadi
kelainan perdarahan. Hati sangat berperan dalam pembuangan amonia dari hasil
katabolime perotein dengan cara merubah amonia menjadi urea yang kemudian
diekskresi oleh ginjal.
B. Fungsi detoksifikasi hati

Hati sebagai penjaga utama membatasi masuknya substansi toksik dan ekstraksi
produk metabolik toksik dari bagian lain di tubuh dan merubahnya menjadi bentuk
kimia yang dapat diekskresi. Hati dapat memenuhi fungsi ini dikarenakan suplai
darahnya yang berbeda dengan bagian tubuh lainya yaitu mayoritas darah diperoleh
oleh pembuluh darah vena porta dari intestinal seperti pada Gambar 11. Sumber suplai
darah tersebut secara strategis agar dapat menerima nutrisi yang berguna ataupun
substansi yang berbahaya seperti obat-obatan ataupun toksin. Molekul-molekul
tersebut akan diekstraksi oleh hepatosit bergantung dari efisiensi molekul tersebut,

19
yang kemudian memasuki metabolisme lintas pertama baik dalam jumlah sedikit
ataupun banyak. Hal ini yang menyebabkan tidak semua substansi obat dapat mencapai
konsentrasi terapetik di aliran darah jika masuk melalui oral. Detoksifikasi terjadi
dalam dua tingkatan yaitu secara fisik maupun kimia. Sel kupffer adalah fagosit
jaringan yang dapat memfagosit bakteri dalam darah yang mengalir dari vena porta.
Tingkatan kedua yaitu dengan pertahanan biokimia, dimana terdapat enzim yang
dikeluarkan oleh hepatosit untuk merubah toksin endogen maupun eksogen agar larut
air dan tidak mudah untuk diserap kembali oleh intestinal. Reaksi metabolik terdiri dari
dua fase, yaitu (1) Reaksi fase I yang terdiri dari oksidasi, hidroksilasi, dan reaksi lain
yang dikatalisis oleh enzim sitokrom P450. (2) Reaksi fase II adalah reaksi konjugasi
produk dengan asam glukoronat, sulfat, asam amino, atau glutation untuk memudahkan
ekskresi. Produk dari reaksi tersebut kemudian diekskresikan melalui empedu atau
kembali ke aliran darah untuk diekskresikan oleh ginjal.
C. Fungsi ekskresi hati

Ginjal berperan penting dalam ekskresi zat sisa yang larut air, namun hanya zat
yang berukuran kecil (70-100 nm) yang dapat dieksresikan via filtrasi glomerulus. Zat
lain yang berukuran lebih besar terikat oleh protein plasma, termasuk metabolit
lipofilik dan xenobiotik, hormon steroid, dan logam berat, tidak dapat difiltrasi oleh
glomerulus. Substansi-substsansi tersebut berbahaya jika terakumulasi di dalam tubuh,
sehingga terdapat mekanisme hati yang mengekskresikannya ke dalam cairan empedu.
Sel hepatosit menarik substansi dengan afinitas tinggi dengan menggunakan
transportan membran basolateral yang kemudian substansi tersebut masuk ke dalam
proses meabolisme pada mikrosom dan di dalam sitosol. Substansi tersebut kemudian
dapat diekskresikan dalam cairan empedu melalui membran kanalikuli pada hepatosit
lalu diekskresikan ke dalam usus dan keluar melalui feses.
Fungsi hati secara spesifik adalah sebagai berikut:
1. Membantu dalam metabolisme karbohidrat
Fungsi hati menjadi penting, karena hati mampu mengontrol kadar gula dalam
darah. Misalnya, pada saat kadar gula dalam darah tinggi, maka hati dapat

20
mengubah glukosa dalam darah menjadi glikogen yang kemudian disimpan
dalam hati (Glikogenesis), lalu pada saat kadar gula darah menurun, maka
cadangan glikogen di hati atau asam amino dapat diubah menjadi glukosa dan
dilepakan ke dalam darah (glukoneogenesis) hingga pada akhirnya kadar gula
darah dipertahankan untuk tetap normal. Hati juga dapat membantu pemecahan
fruktosa dan galaktosa menjadi glukosa dan serta glukosa menjadi lemak (Hall
2016).
2. Membantu metabolisme lemak
Membantu proses Beta oksidasi, dimana hati mampu menghasilkan asam lemak
dari Asetil Koenzim A. Mengubah kelebihan Asetil Koenzim A menjadi badan
keton (Ketogenesis). Mensintesa lipoprotein-lipoprotein saat transport asam-
asam lemak dan kolesterol dari dan ke dalam sel, mensintesa kolesterol dan
fosfolipid juga menghancurkan kolesterol menjadi garam empedu, serta
menyimpan lemak (Hall 2016).
3. Membantu metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah dalam deaminasi (mengubah
gugus amino, NH2) asam-asam amino agar dapat digunakan sebagai energi atau
diubah menjadi karbohidrat dan lemak. Mengubah amoniak (NH3) yang
merupakan substansi beracun menjadi urea dan dikeluarkan melalui urin
(ammonia dihasilkan saat deaminase dan oleh bakteri-bakteri dalam usus),
sintesis dari hampir seluruh protein plasma, seperti alfa dan beta globulin,
albumin, fibrinogen, dan protombin (bersama-sama dengan sel tiang, hati juga
membentuk heparin) dan transaminasi transfer kelompok amino dari asam
amino ke substansi (alfa-keto acid) dan senyawa lain (Hall 2016)
4. Menetralisir obat-obatan dan hormon
Hati dapat berfungsi sebagai penetralisir racun, yakni pada obatobatan seperti
penisilin, ampisilin, erythromisin, dan sulfonamide juga dapat mengubah sifat-
sifat kimia atau mengeluarkan hormon steroid, seperti aldosteron dan estrogen
serta tiroksin (Hall 2016).
5. Mensekresikan cairan empedu

21
Bilirubin, yang berasal dari heme pada saat perombakan sel darah merah,
diserap oleh hati dari darah dan dikeluarkan ke empedu. Sebagian besar dari
bilirubin di cairan empedu di metabolisme di usus oleh bakteri-bakteri dan
dikeluarkan di feses (Hall 2016). Dalam proses konjugasi yang berlangsung di
dalam retikulum endoplasma sel hati tersebut, mekanisme yang terjadi adalah
melekatnya asam glukuronat (secara enzimatik) kepada salah satu atau kedua
gugus asam propionat dari bilirubin. Hasil konjugasi (yang kita sebut sebagai
bilirubin terkonjugasi) ini, sebagian besar berada dalam bentuk diglukuronida
(80%), dan sebagian kecil dalam bentuk monoglukuronida (Hall 2016).
Penempelan gugus glukuronida pada gugus propionat terjadi melalui suatu
ikatan ester, sehingga proses yang terjadi disebut proses esterifikasi. Proses
esterifikasi tersebut dikatalisasi oleh suatu enzim yang disebut bilirubin uridin-
difosfat glukuronil transferase (lazimnya disebut enzim glukuronil transferase
saja), yang berlokasi di retikulum endoplasmik sel hati (Hall 2016). Akibat
konjugasi tersebut, terjadi perubahan sifat bilirubin. Perbedaan yang paling
mencolok antara bilirubin terkonjugasi dan tidak terkonjugasi adalah sifat
kelarutannya dalam air dan lemak. Bilirubin tidak terkonjugasi bersifat tidak
larut dalam air, tapi mempunyai afinitas tinggi terhadap lemak. Karena sifat
inilah, bilirubin tak terkonjugasi tidak akan diekskresikan ke urin. Sifat yang
sebaliknya terdapat pada bilirubin terkonjugasi (Hall 2016). Karena
kelarutannya yang tinggi pada lemak, bilirubin tidak terkonjugasi dapat larut di
dalam lapisan lemak dari membran sel. Peningkatan dari bilirubin tidak
terkonjugasi dapat menimbulkan efek yang sangat tidak kita inginkan, berupa
kerusakan jaringan otak. Hal ini terjadi karena otak merupakan jaringan yang
banyak mengandung lemak (Hall 2016).
6. Mensintesis garam-garam empedu
Garam-garam empedu digunakan oleh usus kecil untuk mengemulsi dan
menyerap lemak, fosfolipid, kolesterol, dan lipoprotein (Hall 2016).

22
7. Sebagai tempat penyimpanan
Selain glikogen, hati juga digunakan sebagai tempat menyimpan vitamin (A,
B12, D, E, K) serta mineral (Fe dan Co). Sel-sel hati terdiri dari sebuah protein
yang disebut apoferritin yang bergabung dengan Fe membentuk Ferritin
sehingga Fe dapat disimpan di hati. Fe juga dapat dilepaskan jika kadarnya
didarah turun (Hall 2016).
8. Sebagai fagosit
Sel-sel Kupffer’s dari hati mampu memakan sel darah merah dan sel darah putih
yang rusak serta bakteri (Hall 2016).
9. Mengaktifkan vitamin D
Hati dan ginjal dapat berpartisipasi dalam mengaktifkan vitamin D.
10. Menghasilkan kolesterol tubuh
Hati menghasilkan sekitar separuh kolesterol tubuh, sisanya berasal dari
makanan. Sekitar 80% kolesterol yang dibuat di hati digunakan untuk membuat
empedu. Kolesterol merupakan bagian penting dari setiap selaput sel dan
diperlukan untuk membuat hormon-hormon tertentu (termasuk hormon
estrogen, testosteron dan hormonadrenal).
2.3 SIROSIS HATI
2.3.1 DEFINISI SIROSIS HATI

Sirosis merupakan perubahan histologis dari nodul regeneratif yang dikelilingi


oleh jaringan fibrosa sebagai respon dari kerusakan hati kronis, yang dapat
menyebabkan hipertensi porta dan penyakit hati tahap akhir (Schuppan and Afdhal,
2008). Menurut Tsochatzis (2014), sirosis adalah hasil dari beberapa mekanisme
kerusakan hati yang mengakibatkan nekroinflamasi dan fibrogenesis, secara histologis
terdapat regenerasi nodul difus yang dikelilingi oleh septa fibrotik yang selanjutnya
menyebabkan menghilangnya sel-sel parenkim normal dan kolapsnya struktur hati.
Secara bersamaan, mekanisme tersebut menyebabkan distorsi arsitektur vaskular hati.
Distorsi ini berakibat pada meningkatan resistensi aliran darah portal dan disfungsi
sintetik hati. Secara klinis, sirosis merupakan penyakit hati tahap akhir yang sering

23
menyebabkan kematian, namun dapat dicegah dengan transplantasi hati, serta strategi
prevensi terjadinya varises esofagus dan karsinoma hepatoselular.
Para histopatologis di seluruh dunia telah bersepakat bahwa istilah sirosis dapat
diganti dengan penyakit hati lanjut yang dimaksudkan untuk menjelaskan proses
dinamik dan prognosis yang bervariasi pada kelainan tersebut. Terlebih lagi, fibrosis
yang terjadi, walaupun pada tahap sirosis, dapat meembaik jika terapi spesifik tersedia,
seperti antiviral untuk hepatitis kronis B dan C.
2.3.2 EPIDEMIOLOGI SIROSIS HATI

Sirosis hati menjadi salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas yang terus
meningkat. Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika
dibandingkan dengan kaum wanita sekita 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak
antara golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 – 49 tahun (Sutadi,
2003). Kematian karena sirosis secara global menyebabkan lebih dari 1 juta kematian
pada tahun 2010. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan 676.000 jiwa pada tahun
1980. Pada tahun 2015 penyebab utama sirosis hati adalah hepatitis B dan hepatitis C
dengan prevalensi 257 juta orang terinfeksi virus hepatitis B kronik (HBV). Asia dan
afrika adalah dua benua endemik dengan prevalensi kesuluruhan lebih dari 8%.
Terdapat 71 juta orang dengan infeksi virus hepatitis C (HCV) pada tahun 2015 di
seluruh dunia. Selain infeksi hepatitis, alkohol adalah faktor risiko penting dari sirosis
hati. Pada tahun 2005-2015, prevalensi sirosis hati dikarenakan alkohol meningkat
hingga 16,1 % dibandingkan HBV (11,9%), HCV (14,2%), dan karena sebab lainnya
(9,9%). Sirosis hepatis adalah tahap akhir dari penyakit-penyakit hati kronis dan sering
diacuhkan sampai muncul komplikasi, seperta varises hemoragik, peritonitis spontan
bakterial, asites, atau ensefalopati hepatik. Hampir setengah dari pasien yang
terdiagnosis kanker hati, memiliki sirosis hati. Pada tahun 2012 prevalensi kanker hati
meningkat hingga urutan kelima dari seluruh kanker, menjadikan 9,1% kematian dari
total mortalitas karena semua jenis kanker. Mortalitas terbesar terdapat pada asia timur
dan asia tenggara (Wong and Huang, 2018).

24
Secara global, pada tahun 2010, sirosis hati yang diakibatkan oleh alkohol
menyebabkan 493,300 kematian (156,900 wanita dan 336,300 pria). Menurut CDC
pada tahun 2016 di Amerika kematian yang diakibatkan oleh sirosis hati atau penyakit
hati kronis sebesar 40.545 jiwa dari 2.744.248 kematian. Menurut WHO (2018) laju
kematian dikarenakan sirosis hati dengan usia 15 tahun ke atas di Indonesia tahun 2016
sebesar 51,1 per 100.000 populasi pria dan 27,1 per 100.000 untuk populasi wanita.
2.3.3 ETIOLOGI SIROSIS HATI

Cedera hati akut menyebabkan reaksi inflamasi kompleks dan proses


remodelling matriks yang menghasilkan restorasi arsitektur normal. Cedera hati kronis
menyebabkan disregulasi penyembuhan yang berkepanjangan dengan akumulasi
protein matriks yang akhirnya berkembang menjadi sirosis. Sirosis adalah stadium
lanjut fibrosis hati yang ditandai dengan dua hal yaitu: (a) distorsi arsitektur hati terkait
dengan septa fibrotik vaskularisasi di sekitar pulau-pulau regenerasi nodul hepatosit
(b) shunt intrahepatic porto-hepatic dan arteri-vena dalam septa fibrotik yang
progresif.

Gambar 12. Etiologi sirosis hati


(Sumber: Syed and Chaudhry, 2018)

25
Konsekuensi klinis utama dari sirosis adalah: (a) gangguan fungsi hepatosit, (b)
peningkatan resistensi intrahepatik (hipertensi portal), (c) pengembangan karsinoma
hepatoseluler (HCC).
Sirosis secara tradisional dipandang sebagai proses yang tidak dapat diubah
yang pada akhirnya menghasilkan kematian tetapi data terbaru menunjukkan bahwa
regresi atau bahkan pembalikan dapat dilakukan jika diberikan antivirus untuk hepatitis
C (Syed and Chaudhry, 2018). Cedera pada sel hati dapat disebabkan oleh infeksi,
metabolik, autoimun, vaskular, herediter, atau faktor kimia.
Hati memiliki sel dan jaringan dalam jumlah terbatas untuk merespon
kerusakan sel yaitu: (a) degenerasi hepatik dan akumulasi intraselular, nekrosis
hepatosit dan apoptosis, inflamasi, dan fibrosis. Etiologi secara umum sirosis hepatis
terdiri dari (Gambar 12):
a) Metabolik
a. Non-alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD)/Nonalcoholic
Steatohepatitis (NASH)
b) Obat dan toksin
a. Alcoholic liver disease
b. Drug-induced liver damage
c) Infeksi
a. Hepatitis B atau C
d) Penyakit kandung empedu, autoimun
a. Primary sclerosing cholangitis (PSC)
b. Primary biliary cirrhosis (PBC)
c. Hepatitis autoimun
e) Penyakit genetik dan infiltrative
a. Wilson’s disease
b. Hemokromatosis
c. Defisiensi alpha-1 antitrypsin
f) Kriptogenik (~10-15%)

26
2.3.4 PATOGENESIS SIROSIS HATI

Hati terbentuk dari sel parenkim (hepatosit) dan sel lain yang berupa sel non-
parenkinmal. Dinding sinusoid hati terdiri dari tiga sel nonparenkimal: sel endotel
sinusoidal (LSECs), sel kupffer (KCs), dan sel stellata hepatik (HSCs). Kedua sel
parenkim dan non-parenkim berperan dalam inisiasi dan progresi fibrosis dan sirosis
hati (Zhou, 2014).
a) Sel stellata hepatik (HSCs)
HSC merupakan sel penyimpan lemak, atau disebut juga sel Ito, liposit, sel
perisinusoidal, atau sel yang kaya akan vitamin A, berada pada space of Disse
pada hati normal dan berfungsi sebagai simpanan dari vitamin A dan retionoid
lainnya. Apabila terjadi kerusakan atau tereksposur oleh sitokin inflmasi seperti
platelet-derived growth factor (PDGF), transforming growth factor (TGF)-β,
tumor nercrosis factor (TNF)-α, dan interleukin (IL)-1, HSCs teraktivasi
sehingga terjadi proliferasi sel dan migrasi, kontraksi setelah berubah menjad
myofibroblast dengan generasi kolagen dalam jumlah besar serta matriks ekstra
seluler yang menghasilkan fibrosis hati. Proses ini terjadi dalam tiga tahap yaitu
inisiasi, perpetuasi, dan resolusi seperti pada Gambar 13.

Gambar 13. Manifestasi fenotipik sel stellata hepatik setelah kerusakan sel dan resolusinya
(Sumber: Friedman, 2000)

27
b) Sel endotel sinusoidal (LSECs)
LSECs terdiri dari dinding sinusoidal, atau disebut juga garis endotelial. LSECs
memiliki fenestra pada permukaan endotel yang diameternya berukuran 150-
175 nm dan berperan sebagai filter dinamis yang memfasilitai pertukaran
cairan, solut, dan partikel di antara darah sinusoidal dan sel parenkimal.
Konsumsi alkohol berlebihan dapat menyebabkan defenstrasi dan menurunkan
jumlah fenestra. Defenestrasi dan kapilarisasi dari endotel hepatik dapat
menurunkan jumlah retinol (suatu derivat vitamin A) yang berdampak pada
inisiasi fibrosis perisinusoidal via sekresi IL-33 yang menginduksi HSCs lalu
menjadi fibrosis. Defenstrasi dan kapilarisasi LSECs menurunkan pertukaran
substrat dan menyebabkan disfunngsi hati pada sirosis seperti pada Gambar 14.

Gambar 14. Efek kerusakan sel endotel sinusoidal saat terjadi sirosis hati
(Sumber: Friedman, 2000)
c) Sel kupffer (KCs)
KCs atau lebih dikenal sel Browics-Kupffer atau makrofag stellata, adalah
makrofag residen pada dinding sinusoid hati yang membentuk sistem
retikuloendotelial (RES). KCs dapat teraktivasi oleh infeksi virus, alkohol, diet
tinggi lemak dan deposisi zat besi. KCs yang teraktivasi akan menghancurkan

28
hepatosit dengan cara memproduksi mediatur larutan yang dapat
mengeliminasi infeksi virus. Inflamasi hati yang termediasi oleh sel kupffer
memperberat kerusakan hati dan fibrosis. KCs terlibat dalam aktivasi HSCs dan
formasi fibrosis.
d) Sel hepatosit
Hepatosit adalah sel parenkim hati utama dan menjadi target kerusakan hati
yang disebabkan oleh agen hepatotoksik, seperti virus hepatitis, metabolit
alkohol, dan asam empedu. Penyakit hati kronis dapat menginduksi apoptosis
atau kompensasi regenerasi sel hepatosit. Hepatosis yang rusak akan
mengeluarkan reactive oxygen species (ROS) dan mediator fibrogenik, yang
menginduksi aktivasi HSCs dan menstimulasi proses fibrogenik dari
myofibroblast.
Sirosis hepatis terjadi karena adanya aktivitas yang komplek dari sinyal
termediasi sitokin yang menyebabkan aktivasi HSCs dan fibrogenesis. Beberapa
sitokin yang berperan penting adalah sebagai berikut:
1. Platelet-derived growth factor (PDGF)
PDGF berperan dalam aktivasi HSCs dan menginduksi efek mitogenik dan
fibrogenik yang berhubungan dengan matrix remodelling pada fibrosis hati.
2. Tumor growth factor- (TGF-β)
TGF-β adalah faktor induksi fibrogenesis terkuat pada fibrosis hati. Faktor ini
disintesis oleh HSCs/myofibroblast, KCs, LSECs, dan hepatosit di hati. Salah
satu faktor dari famili TGF-β, yaitu TGF-β1 dapat menginhibisi sintesis DNA
dan menginduksi apoptosis hepatosit yang kemudian berperan dalam hilangnya
jaringan dan pengrungan ukuran hati yang sering ditemukan pada sirosis.
3. Tumor necrosis factor-(TNF-α)
TNF-α diproduksi oleh monosit, makrofag, HSCs, dan KCs, faktor ini memilika
aktivitas proinflamasi dan sitotoksik terhadap sel-sel hati. Faktor ini memiliki
efek paradoks yaitu dapat mengaktivasikan HSCs dan menyintesis matriks
ekstraseluler yang selanjutnya mengakibatkan fibrosis hati. Faktor lainnya

29
adalah TNF-α dapat menginduksi apoptosis HSCs serta menginhibisi ekspresi
pro-collagen α1 sehingga mengurangi fibrosis.
4. Interferon (IFN)
Leukosit menyintesis IFN- α dan IFN- β sebagai respon infeksi virus, dan sel
limfosit T menghasilkan IFN-γ sebagai stimulasi beberapa antigen dan
mitogen. IFN memiliki efek menurunkan fibrosis hati walaupun eradikasi virus
belum tercapai, yang menandakan adanya efek antifibrotik via apoptosis HSCs
5. Interleukin (IL)
Interleukin memiliki efek pro-fibrogenik dan anti-fibrogenik. IL-1 dapat secara
langsung mengaktivasi HSCs terlebih dalam inflamasi hati karena alkohol dan
steatosis. IL-10 memiliki efek antifibrogenik dikarenakan dapat menurunkan
respon proinflamasi dengan menginhibisi ekspresi TGF-β1. IL-22 dapat
meningkatkan imunitas antimikrobial dan perbaikan jaringan pada permukaan
sel. IL-6 memiliki efek meningkatkan regenerasi hepatosit melalui nuclear
factor kappa beta (NF-κB).

2.3.5 PATOFISIOLOGI SIROSIS HATI

Tiga karakteristik utama dari sirosis adalah (1) bersifat difus mengenai hampir
seluruh jaringan hati, (2) fibrosis septa yang membentuk jembatan, (3) nodulus
parenkim hati yang terdiri atas campuran sel hati yang masih tersisa dengan sel hati
baru yang berasal dari replikasi hepatosit (Kumar et al., 2005).
Transisi dari penyakit liver kronis menuju sirosis melibatkan infamasi, aktivasi
sel stelata hepatik yang dilanjutkan diengan fibrogenesis, angiogenesis, dan lesi
parenkimal yang disebabkan oleh oklusi vaskular. Proses tersebut menyebabkan
perubahan mikrovaskular hati, yang terlihat dari remodelling sinusoidal (deposisi
matriks ekstraseluler dari proliferasi sel stelata yang menghasilkan kapilarisasi sinusoid
hati, pembentukan jalur pembuluh darah alternatif (shunts) yang diakibatkan
angiogenesis dan kehilangan sel parenkim serta disfungsi endotel seperti dirangkum
pada Gambar 15.

30
Disfungsi endotel ditandai dengan insufisiensi pengeluaran vasodilator yang
paling berperan yaitu nitrit oksida. Pelepasan nitrit oksida diinhibisi oleh rendahnya
aktivitas nitrit oksida sintetase sebagai hasil dari insufisiensi proses fosforilasi
dependent protein kinase-B, sedikitnya kofaktor dikarenakan stres oksidatif dan
tingginya konsentrasi inhibitor nitrit oksida dengan peningkatan produksi
vasokonstriktor (stimulasi adrenergik dan thromboxan A2, tapi juga dipengaruhi
aktivasi sistem renin angiotensin, hormon antidiuretik, dan endotelin)
Peningkatan resistensi hepatik pada aliran darah portal adalah faktor utama
peningkatan tekanan darah portal pada sirosis yang disebabkan oleh gangguan
struktural penyakit hati lanjutan dan abnormalitas fungsi yang menyebabkan
peningkatan tonus vaskular hepatik.
Mekanisme molekular ini menjadi target baru dalam penelitian terapi sirosis.
Vasodilatasi splanchnic dengan peningkatan aliran darah ke sistem vena porta
berkontribusi dalam peningkatan tekanan portal, yang merupakan respon adaptif
terhadap perubahan hemodinamik intrahepatik dalam kasus sirosis, dengan mekanisme
antagonis peningkatan tonus vaskular hepatik. Karena proses ini, percobaan untuk
mengkoreksi hipertensi portal dengan memperbaiki resistesi hepatik atau aliran darah
portal harus disesuaikan dengan sirkulasi intrahepatik atau splanchnic vasodilatasi,
yang keduanya dengan hipertensi portal berperan penting dalam patogenesis asites dan
sindrom hepatorenal. Vasodilatasi sistemik lebih jauh lagi dapat menyebabkan
ketidakcocokan dengan ventilasi pulmonal/perfusi yang dalam perkembangannya
dapat menjadu sindrom hepatopulmonal dan hipoksemia arterial. Hipertensi
portopulmonal ditandai dengan vasokontriksi pulmonal, yang disebabkan oleh
disfungsi endotel pada sirkulasi pulmonal. Pembentukan dan peningkatan ukuran
varises dipengaruhi oleh faktor anatomi, peningkatan tekanan portal, dan aliran darah
kolateral , serta angiogenesis yang bergantung pada faktor pertumbuhan vaskular
endotel (VEGF), yang akhirnya menybabkan perdarahan variseal. Dilatasi pembulah
darah mukosa gaster dapat menyebabkan gastropati hipertensi portal. Sebagai
tambahan, shunting dari darah portal menuju sirkulasi sistemik melalui kolateral
portosistemik adalah penyebab utama dari ensefalopati heppatik, yang mengurangi

31
efektivitas metabolisme lintas pertama dari obat oral dan penurunan fungsi sistem
retikuloendotelial. Kapilarisasi sinusoid dan shunts intrahepatik juga berperan penting
karena perubahan tersebut berpengaruh dengan perfusi hepatosit yang menyebabkan
kegagalan hati (Tsochatzis, 2014).

Gambar 15. Patofisiologi hipertensi portal pada sirosis hepatis


(Sumber: Tsochatzis, 2014)

Penyebab terbanyak sirosis hati yang semakin berkembang adalah disebabkan


oleh alkoholisme ataupun non alkoholisme. Perjalanan penyakit sirosis sering ditandai
dengan perlemakan hati (fatty liver) atau sering disebut sebagai steatosis hepatik yang
merupakan kondisi lemak berlebih di dalam jaringan hati. Perlemakan hati dibagi
menjadi alkoholik dan non-alkoholik, kemudian perlemakan hati non-alkoholik dibagi
menjadi hepatitis non-alkoholik dan steatohepatitis non-alkoholik. Penyebab
perlemakan hati non-alkoholik adalah di antaranya: (a) diabetes tipe 2, (b) obesitas
sentral, (c) dislipidemia, (d) hipertensi, (e) kelaparan, (f) kwaschiorkor, dan lain-lain.
Batas antara alkoholik dan non-alkoholik adalah melebihi 30 g pada pria dan
20 g pada wanita (Hashimoto, Tokushige and Ludwig, 2014). Keterkaitan antara
steatosis hati, hepatitis alkoholik, dan sirosis alkoholik dapat berkembang secara
sendiri dan tidak berkesinambungan (Gambar 16).

32
Gambar 16. Penyakit hati alkoholik
(Sumber: Kumar et al., 2005).

Metabolisme etanol oleh enzim alcohol dehidrogenase merusak sitokrom P-450


sehingga dapat meningkatkan perubahan obat lain menjadi metabolit yang bersifat
toksik. Sebagai contoh peminum alkohol menahun dapat menjadikan obat parasetamol
bersifat toksik kuat walaupun diberikan dalam dosis terapi.
Steatosis sel hati diakibatkan meningkatnya metabolisme lipiddikarenakan efek
dari metablisme etanol oleh alkohol dehidrogenase dan asetaldehid dehidrogenase. Hal
lain yang terjadi adalah kegagalan dalam penyusunan dan sekresi lipoprotein, serta
peningatan katabolisme lemak perifer.
Dalam tingkatan yang mendekati sirosis hepatis, hepatitis alkoholik terjadi
karena beberapa sebab yaitu: (a) asetaldehid (metabolit etanol) mengiduksi hasil
sampingan perksidasi lipid yang dapat merusak kerangka dan fungsi membran sel, (b)
alkohol langsung merusak susunan kerangka sel mitokondria, (c) reactive oxygen
species (ROS) dihasilkan selama oksidasi etanol yang kemudian memicu nekrosis
hepatosit, (c) inflamasi yang dipernatari sitokin menyebabkan kerusakan hepatosit.
Sirosis hati dapat terjadi pada alkoholik kronik yang memperlihatkan sirosis
makronodular.

33
Terdapat tiga tahap perlemakan hati dapat menjadi sirosis hati, yaitu diawali
dengan tahap perlemakan hati dimana ati menjadi besar (hepatomegali), terjadi
penambahan berat hati (normal 1.200 g) hingga dapat mencapai 6.000 g dan dapat
mengisi ruang abdominal hingga lebih dari 3 jari dari arcus aorta. Pada tahap
selanjutnya yaitu tahap fibrotik, hati kembali ke ukuran semula namun perlemakan
jaringan berubah menjadi fibrosis dan terjadi inflamasi kronis yang ireversibel yang
kemudian menuju tahap akhir yaitu tahap nodular (sirosis) dimana hati menjadi tidak
rata atau nodular, ukuran hati berkurang hingga tidak berada pada perbatasan iga. Sel-
sel hati mencoba untuk melakukan regeneraasi namun tidak berhasil sehingga muncul
“nodul regenerasi” yang hanya secara pasial dapat menggantikan fungsi normal hati
kembali.
Secara morfologis, sirosis dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1)
mikronodular, (2) makronodular, (3) campuran. Mikronodular memiliki diameter
nodul berukuran kurang dari 3 mm, sirosis dikarenakan alkohol, hemokromatosis,
obstruksi vena hepatik, obstruksi bilier kronis. Makronodular memiliki diameter nodul
berukuran kurang dari 3 mm, sirosis dikarenakan hepatitis B and C, defisiensi alpha-1
antitrypsin, dan primary biliary cholangitis.

2.3.6 MANIFESTASI KLINIS SIROSIS HATI

Sekuele utama sirosis adalah hipertensi portal. Tekanan portal yang normal
adalah antara 5-10 mmHg. Pada hipertensi portal terjadi kenaikan tekanan dalam
sistem portal yang lebih dari 15 mmHg dan bersifat menetap. Keadaan ini akan
menyebabkan limpa membesar (splenomegali), pelebaran pembuluh darah kulit pada
dinding perut disekitar pusar (caput medusae), pada dinding perut yang menandakan
sudah terbentuknya sistem kolateral, wasir (hemorrhoid), dan penekanan pembuluh
darah vena esofagus atau cardia (varices oesophagus) yang dapat menimbulkan muntah
darah (hematemesis), atau berak darah (melena). Palmar eritema (kemerahan pada
telapak tangan yang hilang apabila ditekan) terjadi dengan mekanisme yang sama
dengan spider nevi (pembuluh darah yang dilatasi dengan bagian tengah kemerahan

34
dan cabang seperti kaki laba-laba) yaitu peningkatan sirkulasi estrogen yang
diakibatkan oleh penurunan kemampuan hati untuk melakukan metabolisme steroid.
Jika pendarahan yang keluar sangat banyak maka dapat timbul syok (renjatan).
Perjalanan penyakit pasien sirosis tahap lanjut biasanya dipersulit oleh sejumlah
sekuele penting yang tidak bergantung pada etiologi penyekit hati yang mendasari,
seperti timbul asites, ensefalopati, dan perubahan ke arah kanker hati primer
(hepatoma)
Gangguan metabolik yang bermacam-macam juga bisa didapatkan. Intoleransi
glukosa karena resistensi insulin endogen, walaupun secara klinis, jarang disertai
diabetes. Hiperventilasi sentral dapat terjadi akibat alkalosis respiratorik. Peningkatan
pelepasan urine diakibatkan hipomagnesemia dan hipofosfatemia. Pada pasien dengan
asites dan hiponatremi dilusional, hipokalemi terjadi karena meningkatnya pengeluaran
potassium lewat urine yang disebabkan oleh hipoaldosteronisme. Prerenal azotemia
juga ditemukan pada beberapa pasien. (Podolsky, 2005)
Salah satu manifestasi dari sirosis hepatis adalah menurunnya kadar albumin.
Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh manusia, yaitu
sekitar 55-60% dari protein serum yang terukur.Albumin terdiri dari rantai polipeptida
tunggal dengan berat molekul 66,4 kDa dan terdiri dari 585 asam amino. Pada molekul
albumin terdapat 17 ikatan disulfida yang menghubungkan asam-asam amino yang
mengandung sulfur. Molekul albumin berbentuk elips sehingga bentuk molekul seperti
itu tidak akan meningkatkan viskositas plasma dan terlarut sempurna. Kadar albumin
serum ditentukan oleh fungsi laju sintesis, laju degradasi dan distribusi antara
kompartemen intravaskular dan ektravaskular. Cadangan total albumin sehat (70 kg)
dimana 42% berada di kompartemen plasma dan sisanya dalam kompartemen
ektravaskular. Sintesis albumin hanya terjadi di hepar dengan kecepatan pembentukan
12-25 gram/hari.

35
Tanda Penyebab
Spider nevi Estradiol meningkat
Palmar eritema Gangguan metabolisme hormon seks
Perubahan kuku
- Muerche’s lines Hipoalbuminemia
- Terry’s nails Hipoalbuminemia
- Clubbing Hipertensiportopulmonal
Osteartropati hipertrofi Chronic proliferative periostitis
Kontraktur Dupuytren Proliferasi Fibroplastik dan gangguan
deposit kolagen
Ginekomastia Estradiol meningkat
Hipogonadisme Perlukaan gonad primer atau supresi
fungsi hipofisis/hipotalamus
Ukuran hati mengecil Hipertensi porta
Splenomegali Hipertensi porta
Asites Hipertensi porta
Caput medusae Hipertensi porta
Bising daerah Hipertensi porta
epigastrium
Fetor hepaticus Dimetil sulfida meningkat
Ikterus Bilirubin meningkat (2-3 mg/dl)
Dupuytren Contracture
Asterixis/Flapping Ensefalopati hepatikum
tremor

Gambar 17. Manifestassi klinis sirosis hepatis


(Sumber: grepmed.com)

2.3.7 DIAGNOSIS SIROSIS HATI

Anamnesis
Gejala klinis tidak selalu tampak pada awal terjadinya sirosis, atau tidak
spesifik, seperti anoreksia, penurunan berat badan, mudah lelah. Pada keadaan lanjut
baru menampakkan kondisi yang melemah, penurunan atau gagal fungsi hati mulai
tampak dan biasanya dipicu oleh bertambahnya beban metabolisme hati oleh adanya
infeksi sistemik atau perdarahan gastrointestinal. Sebagian besar kasus sirosis
melibatkan mekanisme berikut: (a) gagal fungsi hati yang progresif, (b) hipertensi
portal yang mengalami komplikasi, (c) terjadinya karsinoma sel hati (Kumar et al.,
2005).

36
Pemeriksaan Fisik
Secara klinis sirosis dapat dibedakan menjadi sirosis kompensata (gejala klinis
belum ada atau minimal) dengan sirosis dekompensata (gejala klinis sudah jelas).
Sirosis kompensata bersifat asimtomatis dan hanya dapat didiagnosis melalui
pemeriksaan fungsi hati. Bila ada gejala yang muncul dapat berupa kelelahan non-
spesifik, penurunan libido, atau gangguan tidur. Tanda khas (stigmata) sirosis juga
seringkali belum nampak pada tahap ini. Sebenarnya sekitar 40% kasus sirosis
kompensata telah mengalami varises esofagus, namun belum menunjukkan tanda-
tanda perdarahan.
Sirosis dekompensata terjadi apabila ditemuka paling tidak satu dari
manifestasi (tanda stigmata) berupa: ikterus, asites, dan edema perifer, hematemesis
melena, jaundice atau ensefalopati (baik tanda dan gejala minimal hingga perubahan
status mental). Asites merupakan tanda dekompensata yang paling sering ditemukan
(sekitar 80%). Selain itu terdapat beberapa stigma sirosis lainnya yang dapat
diidentifikasi seperti pada Gambar 17.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium:
a. Parameter hematologi: hemoglobin, leukosit, hitung trombosit, waktu
protombin.
b. Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat
(SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) dan serum glutamil piruvat
transaminase (SGPT). Kadar SGOT dan SGPT meningkat tapi tidak
begitu tinggi. SGOT lebih tinggi daripada SGPT. Namun, kadar
transaminase normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis.
c. Alkali fosfatase dengan bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis
primer dan sirosis bilier.
d. Gamma-glutamil transpeptidase dapat ditemukan dalam konsentrasi
tinggi pada penyakit hati alkoholik kronik.
e. Bilirubin

37
f. Albumin dan globulin, albumin menurun seiring dengan perburukan
sirosis sedangkan konsentrasi globulin meningkat.
g. Waktu protrombin mencerminkan derajat disfungsi sintesis di hati. Pada
sirosis waktu protrombin memanjang.
h. Natrium serum
i. Biokimia serum: bilirubin, transaminase (ALT dan AST), alkalin
fosfatase, gamma glutamyl transpeptidase, albumin, globulin.
j. Apabila ditemukan asites: kadar elektrolit (natrium, kalium, bikarbonat,
klorida), ureum dan kreatinin, serta urinalisis (urin 24 jam).
k. Deteksi pemantauan etiologi seperti serologi hepatitis B dan hepatitis C,
profil lipid, glukosa, penanda autoimun, dan sebagainya.
2. Biopsi hati dan pemeriksaan histopatologis, merupakan baku emas (gold
standard) dalam diagnosis dan klasifikasi derajat sirosis.
3. Pemeriksaan radiologi (non-invasif):
a. Deteksi nodul hati atau tanda hipertensi porta: USG hati, CT-scan/MRI.
b. Penilaian kekauan jaringan hati (derajat fibrosis): transien elastografi.
4. Pemeriksaan esofago-gastroduodenoskopi (EGD) untuk deteksi varises
esofagus.
5. Prediktor sirosis secara indirek:
a. Rasio AST/ALT>1. Namun, rasio sebaliknya tidak mengeksklusi
kejadian sirosis.
b. Skor APRI (indeks rasio AST/trombosit) untuk etiologi hepatitis B
kronis dan hepatitis C. Hasil nilai sama atau lebih dari 1 dapat
mendeteksi sirosis

38
Gambar 18. Skor APRI
(Sumber: https://www.hepatitisc.uw.edu/go/evaluation-staging-monitoring/evaluation-staging/core-
concept/all)

2.3.8 DIAGNOSIS BANDING SIROSIS HATI

Adapun beberapa diagnosis banding terkait dengan gejala klinis sirosis hepatis
adalah sebagai berikut:
 Hipertensi Portal Intrahepatik: Fulminant hepatic failure, Veno-occlusive
disease
 Hipertensi Portal Eksytrahepatik: Hepatic vein obstruction (ie, Budd-Chiari
syndrome), Congestive heart failure
 Hipoalbuminemia: Sindroma Nefrotik
 Protein-losing enteropathy: Malnutrisi
 Miscellaneous disorders: Myxedema, Tumor Ovarium, Pancreatic ascites,
Biliary ascites

2.3.9 TATALAKSANA SIROSIS HATI

Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi


progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan
hati, pencegahan dan penanganan komplikasi, beberapa tatalaksana untuk gejala
umum sirosis hati adalah:

39
a. Asites
Terapi non-medika mentosa
1. Tirah baring.
2. Diit rendah garam dan air. Jumlah diet garam yang dianjurkan biasanya
sekitar 2 gram per hari dan cairan sekitar 1 liter sehari.

Terapi medikamentosa

1. Pemberian diuretik Spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari.


Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari
tanpa adanya edema kaki, 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana
pemberian Spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan
furosemide dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemide bisa
ditambah dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/hari.
Kombinasi diuretik spironolakton dan furosemide dapat menurunkan dan
menghilangkan edema dan asites pada sebagian besar pasien.
2. Parasentesis abdomen dilakukan bila pemakaian diuretik tidak berhasil
(asites refrakter). Asites yang sedemikian besar sehingga menimbulkan
keluhan nyeri akibat distensi abdomen dan atau kesulitan bernafas karena
keterbatasan diafragma, parasentesis dapat dilakukan dalam jumlah lebih
dari 5 liter (Large Volume Paracentesis = LVP). Pengobatan lain untuk
asites refrakter adalah TIPS (Transjugular Intravenous Portosystemic
Shunting) atau transplantasi hati.
b. Ensefalopati Hepatik
Pada pasien Ensefalopati Hepatik dimulai dengan diit rendah protein dan
laktulosa oral. Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia,
sehingga pasien buang air besar dua sampai tiga kali sehari. Neomisin atau
metronidazol bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil
ammonia.

40
c. Varises Esofagus
Sekali varises mengalami perdarahan, dia bertendensi perdarahan ulang dan
setiap kali berdarah pasien berisiko meninggal. Sebelum berdarah dan sesudah
berdarah bisa diberikan obat penyekat beta (propranolol). Waktu perdarahan
akut, bisa diberikan preparat somatostasin. Endoskopi terapetik, baik
skleropterapi maupun ligasi endoskopi, keduanya efektif untuk menghentikan
perdarahan varises aktif maupun untuk mencegah perdarahan berulang. Untuk
pasien yang gagal dalam pengobatan dengan beta bloker, skleroterapi, maupun
ligasi endoskopi dapat dilakukan TIPS. Namun, efek samping yang paling
sering adalah ensefalopati hepatik.
d. Peritonitis Bakterial Spontan
Pasien dengan dugaan peritonitis baktrerial spontan dianjurkan untuk
diparasentesis. Kelainan ini sering timbul pada pasien sirosis lanjut dengan
sistem imun atau kekebalan yang rendah. Dengan pemberian antibiotika yang
baik (sefotaksim 3 x 2 gram iv selama 5 hari), dan deteksi serta pengobatan
dini, prognosis biasanya baik.
e. Hipersplenisme
Hipersplenisme biasanya hanya menimbulkan anemia, leukopenia, dan
trombositopenia ringan dan biasanya tidak perlu pengobatan. Namun bila
anemia sangat hebat, dapat diberikan transfusi atau pengobatan dengan
eritopoetin atau epoetin α, suatu hormon perangsang produksi sel darah merah.
Bila jumlah leukosit sangat menurun, dapat diberikan granulocyte-colony
stimulating factor untuk meningkatkan jumlah leukosit. Sampai saat ini belum
ada obat yang diakui secara resmi dapat meningkatkan jumlah trombosit.
Sebagai tindakan pencegahan, pasien trombositopenia tidak menggunakan
NSAID atau aspirin yang dapat mengganggu fungsi trombosit. Bila trombosit
sangat rendah ini diikuti perdarahan yang berarti, dianjurkan transfusi
trombosit.
f. Transplantasi Hati

41
Bila sirosis telah semakin berlanjut, transplantasi hati tampaknya menjadi satu-
satunya pilihan pengobatan. Rata-rata 80% pasien yang ditransplantasi hati
dapat hidup dalam lima tahun.
g. Pengobatan Tambahan
Defisiensi zink sering ditemukan pada pasien sirosis, pengobatan dengan zink
sulfat dalam dosis 220 mg 2 x per hari per oral, dapat memperbaiki keluhan
dispepsia dan merangsang nafsu makan pasien. Pruritus merupakan keluhan
yang sering ditemukan, rasa gatal yang ringan dapat diperbaiki dengan
pemberian antihistamin. Kolestiramin merupakan obat utama pruritus pada
penyakit hati. Pada pasien sirosis dapat mengalami osteoporosis, karena itu
penting pemberian suplemen kalsium dan vitamin D. Penambahan nutrisi
dalam bentuk suplemen cairan atau bubuk, sangat membantu perbaikan gizi
pasien. Latihan teratur, termasuk jalan dan berenang dianjurkan pada pasien
sirosis.

2.3.10 KOMPLIKASI SIROSIS HATI

Adapun beberapa komplikasi yang sering terjadi pada sirosis hepatis, yakni:
1. Edema dan ascites
Dengan bertambah berat sirosis, terjadi pengiriman sinyal ke ginjal untuk
melakukan retensi garam dan air dalam tubuh. Garam dan air yang berlebihan,
padsa awalnya akan mengumpul di jaringan di bawah kulit di sekitar tumit dan
kaki, karena efek gravitasi pada waktu berdiri atau duduk. Penumpukan cairan
ini disebut edema atau sembab pitting (pitting edema). Pembengkakan ini
menjadi lebih berat pada sore setelah berdiri atau duduk dan berkurang pada
malam hari sebagai hasil menghilangnya efek gravitasi pada waktu tidur.
Dengan beratnya sirosis dan semakin banyaknya air diretensi, air akhirnya
mengumpul dalam rongga abdomen antara dinding dan organ dalam perut.
Penimbuinan cairan ini disebut ascites, yang berakibat pembesaran perut,
keluhan rasa perut tak enak, dan peningkatan berat badan.

42
2. Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)
Cairan dalam rongga perut merupakan tempat ideal untuk pertumbvuhan
kuman. Dalam keadaan normal, rongga perut hanya mengandung sedikit
cairan, sehingga mampu menghambat infeksi dan memusnahkan bakteri yang
masuk ke dalam rongga perut (biasanya dari usus), atau mengarahkan bakteri
ke vena porta atau hati, dimana mereka akan dibunuh semua. Pada sirosis,
cairan yang mengumpul dalam perut, tidak mampu lagi menghambat invasi
bakteri secara normal. Selain itu, ;lebih banyak bakteri yang mampu
mendapatkan jalannya sendiri dari usus ke ascites. Karena itu infeksi perut dan
ascites ini disebut sebagai peritonitis bakteri spontan.
3. Perdarahan Varises Esofagus
Pada pasien sirosis, jaringan ikat dalam hati menghambat aliran darah dari usus
yang kembali ke jantung. Kejadian ini dapat meningkatkan tekanan dalam
vena porta (hipertensi porta). Sebagai hasil peningkatan aliran darah dan
peningkatan tekanan vena porta ini, vena-vena di bagian bawah esophagus dan
bagian atas lambung akan melerbar, sehingga timbul varises esophagus dan
lambung. Makin tinggi tekanan portanya, makin besar varisesnya, dan makin
besar kemungkinan pasien mengalami perdarahan varises. Perdarahan
biasanya hebat dan tanpa pengobatan yang cepat dapat berakibat fatal.
Keluhan perdarahan varises bisa berupa muntahan darah ataupun
hematemesis. Bahan muntahan dapat berwarna merah bercampur bekuan
darah, atau seperti kopi akibat efek asam lambung terhadap darah. Buang air
besar berwarna hitam dan lembek (melena) dan keluhan lemah dan pusing
pada saat posisi berubah yang disebabkan penurunan tekanan darah mendadak
saat melakukjan perubahan posisi berdiri dari berbaring.
4. Ensefalopati Hepatik
Beberapa protein makanan yang masuk ke dalam usus akan digunakan oleh
bakteri-bakteri normal usus. Dalam proses pencernaan ini, beberapa bahan
akan terbentuk dalam usus. Bahan-bahan ini sebagian akan terserap kembali
ke dalam tubuh. Beberapa di antaranya, misalnya amoniak, berbahaya

43
terhadap otak. Dalam keadaan normal, bahan-bahan toksik dibawa dari usus
lewat vena porta masuk kedalam hati untuk didetoksifikasi. Pada sirosis, sel-
sel hati tidak berfungsi normal, baik akibat kerusakan maupun akibat
hilangnya hubungan normal sel-sel ini dengan darah. Sebagai tambahan,
beberapa bagian darah dalam vena porta tidak dapat masuk kedalam hati, tetapi
langsung masuk ke dalam vena lain (bypass). Akibatnya, bahan-bahan toksik
dalam darah tidak dapat masuk sel hati, sehingga terjadi akumulasi bahan ini
dalam darah. Bila bahan-bahan toksik ini terkumpul cukup banyak, fungsi otak
akan terganggu. Kondisi ini disebut ensefalopatik hepatic. Tidur lebih banyak
siang dibanding malam (perubahan pola tidur) merupakan tanda awal
ensefalopatik hepatik.
5. Sindroma Hepatorenal
Pasien dengan sireosis yang memburuk dapat berkembang menjadi sindroma
hepatorenal. Sindroma ini merupakan komplikasi serius karena terdapat
penurunan fungsi ginjal namun ginjal secara fisik sebenarnya tidak mengalami
kerusakan sama sekali. Batasan sindroma hepatorenal adalah kegagalan ginjal
secara progresif untuk membersihkan bahan-bahan toksik didalam darah dan
kegagalan memproduksi urin dalam jumlah normal, meskipun fungsi lain
ginjal yang penting tidak terganggu.2,4,7
6. Sindroma Hepatopulmonal
Pasien-pasien ini mengalami kesulitan napas akibat sejumlah hormone tertentu
terlepas pada sirosis yang lanjut karena fungsi paru abnormal. Masalah dasar
paru adalah tidak tersedianya cukup aliran darah dari pembuluh darah kecil
dalam paru yang mengadsakan kontak dengan alveoli dalam paru. Aliran darah
lewat paru mengambil pintasan sekitar alveoli dan tidak dap[at mengambil
cukup oksigen sehingga pasien merasa sesak atau napas pendek terutama saat
latihan.
7. Hipersplenisme
Limpa dalam keadaan normal berfungsi menyaring sel-sel darah merah
leukosit dan trombosit yang sudah tua. Darah dari limpa akan bergabung

44
dengan aliran darah usus kedalam vena porta. Akibat peningkatan tekanan
vena porta karena sirosis terjadi blockade aliran darah dari limpa. Akibatnya
terjadi alioran darah balik kelimpa dan limpa membesar (splenomegali).
Dengan pembesaran limpa fungsi filtrasi terhadap sel-sel darah dan trombosit
ikut meningkat sehingga jumlahnya akan menurun. Hipersplenisme dapat
menjelaskan terjadinya anemia, leucopenia, dan trombositopenia.
8. Kanker Hati
Sirosis meningkatkan resiko terjadinya kanker hati primer . keluhan
terrbanyak kanker hati primer adalah nyeri perut, pembengkakan, pembesaran
hati, penurunan berat badan dan demam. Selain itu kanker hati juga dapat
menyebabkan berbagai kelainan seperti eritrositosis, hipoglikemia, dan
hiperkalasemia.
2.3.11 PROGNOSIS SIROSIS HATI

Prognosis sirosis hepatis dapat dinilai menggunakan kriteria sirosis hepatis


menurut Child – Pugh:

Gambar 19. Klasifikasi Child-Pugh


(Sumber: https://www.hepatitisc.uw.edu/go/key-populations-situations/treatment-cirrhosis/core-
concept/all)
Berdasarkan kriteria tersebut diatas, dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Grade A (5-6) memiliki prognosis bertahan dalam satu tahun 100%.

45
2. Grade B (7-9) memiliki prognosis bertahan dalam satu tahun 80%.
3. Grade C (10-15) memiliki prognosis bertahan dalam satu tahun 45%.

46
BAB III
DISKUSI KASUS

1. Apa diagnosis pasien tersebut?


Pasien ini menderita ensefalopati hepatikum yang disebabkan oleh sirosis
hepatis. Ensefalopati hepatikum dapat ditegakkan menggunakan West-haven
criteria, yang mana pada pasien tersebut berada pada ensefalopati hepatik
tingkat 2 yang ditandai dengan disorientasi visual, mengamuk, bicara kacau.
Pasien didiagnosis sirosis hepatik dari anamnesis terdapat gejala asites yang
masif, riwayat hematemesis melena. Dari pemeriksaan laboratorium
didapatkan peningkatan enzim hati AST dan ALT, penurunan albumin darah
serta peningkatan globulin darah yang mengindikasikan terdapat kegagalan
fungsi hati. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan murphy sign (+) sebagai
kecurigaan kolesistitis dan dibuktikan hasil rontgen thorax dan USG didapatkan
hasil terdapat sludge empedu. Hasil perhitungan GFR menggunakan rumus
cockroft-gault didapatkan penurnan GFR menjadi 22ml/min.1,73m2 yang telah
masuk dalam kategori gagal ginjal kronik grade 4.

Gambar 20. Kriteria ensefalopati hepatikum menurut West-Haven


(Sumber: Wróblewski et al., 2015)

2. Apa terapi yang sesuai dengan pasien tersebut?


Tirah baring dilakukan agar pasien tidak merasa sesak karena asites yang
dideritanya, diet rendah garam diperlukan untuk mengurangi retensi cairan di
dalam rongga perut. Curcuma diberikan sebagai suplemen hati yang saat ini

47
sedang dalam kerusakan kronis. Diuretik yang direkomendasikan menurut
guideline sirosis (Moore, 2006) adalah spironolakton dengan dosis inisial 100
mg per hari, bila kurang efektif dapat dikombinasikan dengan furosemid. Asam
folat berguna untuk peningkatan produksi sel darah merah. Injeksi antibiotik
seftriakson diperlukan untuk profilaksus adanya peritonitis bakterial spontan
akibat dari asites masif pada pasien tersebut (sudah terdapat leukositosis dan
peningkatan neutrofil). Hemodialisis dilakukan dikarenakan pasien sudah
masuk ke dalam kategori gagal ginjal kronis tingkat 4. Paracentesis dilakukan
selain untuk diagnostik juga untuk mengurangi tekanan pada dinding perut dan
organ viseral lainnya yang akhirnya dapat mengurangi rasa nyeri dan sesak.

48
DAFTAR PUSTAKA

Friedman, S. (2000). Molecular Regulation of Hepatic Fibrosis, an Integrated Cellular


Response to Tissue Injury. Journal of Biological Chemistry, 275(4), pp.2247-
2250.
Hall, J. (2016). Guyton and Hall textbook of medical physiology. Elsevier.
Hashimoto, E., Tokushige, K. and Ludwig, J. (2014). Diagnosis and classification of
non-alcoholic fatty liver disease and non-alcoholic steatohepatitis: Current
concepts and remaining challenges. Hepatology Research, 45(1), pp.20-28.
Koeppen, B., Stanton, B. and Berne, R. (2010). Berne and Levy principles of
physiology. St. Louis, Mo.: Elsevier Mosby.
Kumar, V., Abbas, A., Fausto, N., Robbins, S. and Cotran, R. (2005). Robbins and
Cotran pathologic basis of disease. Philadelphia, Pa.: Elsevier Saunders.
Lautt WW. (2009) Hepatic Circulation: Physiology and Pathophysiology. San Rafael
(CA): Morgan & Claypool Life Sciences; Chapter 2, Overview. Tersedia di:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK53069/. Diakses pada tanggal
09/12/2018
Mahadevan, V. (2014). Anatomy of the gallbladder and bile ducts. Surgery (Oxford).
Mescher, A. and Junqueira, L. (2013). Junqueira's basic histology. New York:
McGraw-Hill Medical.
Moore, K., Agur, A. and Dalley, A. (2015). Essential clinical anatomy. Philadelphia:
Wolters Kluwer Health.
Moore, K. (2006). Guidelines on the management of ascites in cirrhosis. Gut,
55(suppl_6), pp.vi1-vi12.
Podolsky,D.K.(2005). Cirrhosis and its Complication in D.L. kasper,A.S.Fauci,D.L.
Longo, E. Brainwald,S.L. Nauser J. L. Jameson. Harrison’s principles of
Internal medicine, 16 (2), New York: McGraw-Hill. pp :1858-1869.
Racanelli, V. and Rehermann, B. (2006). The liver as an immunological
organ. Hepatology, 43(S1), pp.S54-S62.

49
Schuppan, D. and Afdhal, N. (2008). Liver cirrhosis. The Lancet, 371(9615), pp.838-
851.
Setiawan, M. (2017). Hubungan antara Kejadian Asites pada Cirrhosis Hepamtis
dengan Komplikasi Spontaneous Bacterial Peritonitis. Saintika Medika, 7(2).
Sibulesky, L. (2013). Normal liver anatomy. Clinical Liver Disease, 2(S1), pp.S1-S3.
Sutadi, S,M. (2003). Sirosis Hepatis. USU Digital library. Fakultas Kedokteran Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Universitas Sumatera Utara
Syed, N. and Chaudhry, S. (2018). Cirrhosis | McMaster Pathophysiology Review.
[online] Pathophys.org. Tersedia di: http://www.pathophys.org/cirrhosis/.
Diakses pada tanggal 11/12/2018.
Tsochatzis, E., Bosch, J. and Burroughs, A. (2014). Liver cirrhosis. The Lancet,
383(9930), pp.1749-1761.
WHO. (2018). Liver cirrhosis (15+), age-standardized death rates by country.
Tersedia di: http://apps.who.int/gho/data/node.main.A1092. Diakses pada
tanggal 11/12/2018
Wong, M. and Huang, J. (2018). The growing burden of liver cirrhosis: implications
for preventive measures. Hepatology International, 12(3), pp.201-203.

Wróblewski, T., Kobryń, K., Kozieł, S., Ołdakowska-Jedynak, U., Pinkas, J.,
Danielewicz, R., Ziarkiewicz-Wróblewska, B. and Krawczyk, M. (2015).
Acetaminophen (Paracetamol) induced acute liver failure – A social problem in
an era of increasing tendency to self-treatment. Annals of Agricultural and
Environmental Medicine, 22(4), pp.762-7667.
Zhou, W. (2014). Pathogenesis of liver cirrhosis. World Journal of Gastroenterology,
20(23), p.7312.

50

Anda mungkin juga menyukai