PENDAHULUAN
TURP (Transurethral Resection of Prostate) adalah operasi kedua terbanyak yang
dilakukan oleh ahli bedah setelah operasi katarak pada pria dengan umur lebih dari 65
tahun. Perkembangan teknologi membuat seorang urologis mampu mencapai seluruh
area sistem urinarius dengan menggunakan endoskopi yang meminimalkan trauma
pada pasien. Prosedur endoskopi pada sistem urinarius memerlukan penggunaan
cairan irigasi untuk mendilatasi ruang mukosa secara halus, membersihkan darah, dan
memotong jaringan atau debris untuk membersihkan lapangan operasi.sehingga
diperoleh penglihatan yang bagus saat operasi.
1
BAB II
DESKRIPSI KASUS
Keluhan Utama
Sulit buang air kecil
2
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi (+), riwayat CKD on HD. riwayat DM, sakit jantung, ginjal,
sakit kuning dan TBC disangkal. Riwayat alergi makanan, udara, atau obat juga
disangkal.
Riwayat Pengobatan
Tidak ada obat yang rutin pasien minum.
Riwayat Kebiasaan:
Pasien seorang perokok, namun riwayat minum alkohol, ataupun
mengkonsumsi obat-obatan terlarang dan obat penenang disangkal.
Riwayat Operasi
Pasien tidak memiliki riwayat operasi apapun
Kepala
Bentuk : Normocephale
Rambut : Warna hitam, distribusi rambut tidak merata, rambut
mudah dicabut.
Mata : Pelpebra tidak cekung dan tidak edema, konjungtiva
3
anemis (-/-), sklera tidak ikterik (-/-), pupil mata isokor
kanan dan kiri, reflex cahaya positif (+/+).
Telinga : Normotia, tidak ada cairan yang keluar dari telinga.
Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum, tidak
hiperemis, dan tidak ada sekret yang keluar dari lubang hidung.
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1.
Mulut : Mukosa bibir lembab, pucat, tidak sianosis.
Leher
Inspeksi : Proporsi leher dalam batas normal, tidak terlihat adanya
massa atau benjolan, tidak ada hambatan dalam pergerakan.
Palpasi : Trakea terletak ditengah, tidak teraba pembesaran
tiroid, KGB tidak teraba.
Thorax
1) Paru-paru
Inspeksi : Bentuk dada normochest, pergerakan dinding dada
simetris, terlihat adanya massa didaerah dada sebelah kanan.
Palpasi : Vocal fremitus sama antara dada kanan dan kiri.
Perkusi : Suara perkusi sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, tidak ada ronkhi (-/-), tidak ada
wheezing (-/-).
2) Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Tidak teraba pulsasi iktus kordis.
Perkusi : Perkusi tidak dilakukan secara maksimal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, tidak ada murmur dan
tidak ada gallop.
4
Abdomen
Inspeksi : Datar, dinding perut tidak tegang, tidak terlihat ada
massa menonjol.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Perut supel, Nyeri tekan (-)
Perkusi : Terdengar bunyi timpani pada lambung dan pekak pada
hati.
Kulit
Kulit tidak kering, tidak ada lesi, tidak sianosis dan tidak ikterik. Turgor kulit
baik, CRT < 2 detik
Ekstremitas
Superior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor
(-/-), edema (+/+), akral dingin (-/-), kesemutan (-/-), sensorik dan motorik
baik.
Inferior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor
(-/-), edema (+/+), akral dingin (-/-), kesemutan (-/-), sensorik dan motorik
baik.
Kesulitan Airway
Gigi : Terdapat gigi yang hilang. Tidak terdapat pemakaian
gigi palsu
Malampati : 3 (hanya tampak bagian atas uvula dan palatum mole).
3-3-2 rules : Bukaan mulut (3), jarak mentum ke hyoid (3), jarak
tiroid ke hyoid (2).
Mobilisasi leher : Baik
5
Trauma cervical : Tidak ada
Leher pendek : Tidak ada
HITUNG JENIS
Basofil 0.5 0-1 %
Eosinofil 2,8 1-3 %
Neutrophil H 76,4 52,0-76,0 %
Limfosit L 15,9 20-40 %
Monosit 4,4 2-8 %
RDW-CV H 15.7 11,5-14,5 %
6
Natrium (Na) darah 138 135-145 mEq/L
Kalium (K) darah L 3,2 3,50-5,00 mEq/L
Klorida (Cl) darah 106,0 99,0-107,0 mEq/L
7
HITUNG JENIS
Basofil 0.2 0-1 %
Eosinofil L 0,4 1-3 %
Neutrophil H 92,2 52,0-76,0 %
Limfosit L 3,9 20-40 %
Monosit 3,3 2-8 %
RDW-CV H 15.1 11,5-14,5 %
8
II.11 Tata Laksana
a. Subarachnoid
1) Bupivakain 15mg → 3 cc
2) Fentanyl 25 mcg → 4 cc
b. Tata laksana Jalan Napas
1) Pemasangan O2 4L dengan NK
c. Monitoring :
1) Pemantauan oksigenasi selama anestesia : pemantauan saturasi O2 dilakukan
dengan pemasangan pulse oximetry dan pantau melalui monitor
2) Pemantauan adekuat atau tidaknya fungsi sirkulasi pasien :
a. Pemantauan tekanan darah arterial dan denyut jantung
b. Pemantauan EKG secara kontinu mulai sebelum induksi anestesi
3) Pemantauan kebutuhan cairan pasien selama anestesia
Input : Berupa infus (Asering)
Output : Perdarahan, urin
9
a. Kebutuhan cairan :
Maintenance : (4x10) + (2x10) + (1x36) = 96ml
Puasa (6 Jam) : 96 x 6 = 576 ml
Stress operasi : skala ringan x BB 4 x 56 = 224 ml
BAB III
10
SINDROM TURP
III.1 Definisi
Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus vena pada
prostat dan memungkinkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi. Absorbsi dari cairan
dalam jumlah yang besar (2 liter atau lebih) menghasilkan konstelasi gejala dan tanda
yang disebut dengan sindrom TURP.
1. Hiponatremia
2. Hipoosmolaritas
3. Overload cairan
4. Gagal jantung kongestif
5. Edema paru
6. Hipotensi
7. Hemolisis
8. Keracunan cairan
9. Hiperglisinemia
10. Hiperamonemia
11. Hiperglikemia
12. Ekspansi volume intravaskular
III.2 Epidemiologi
11
Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan endoskopi urologi.
Insiden sindrom TURP mencapai 20% dan membawa angka mortalitas yang
signifikan. Walaupun terdapat peningkatan di bidang anestesi 2,5%-20 % pasien yang
mengalami TURP menunjukkan satu atau lebih gejala sindrom TURP dan 0,5% - 5%
diantaranya meninggal pada waktu perioperatif. Angka mortalitas dari sindrom TURP
ini sebesar 0,99%.
Walaupun air steril memiliki banyak kualitas yang diperlukan sebagai cairan irigasi
yang ideal, kerugian dalam penggunaannya adalah air dapat menyebabkan
hipotonisitas yang ekstrim, hemolisis, hiponatremia delusional dan gagal ginjal serta
syok. Air / Akuades (H20) menunjukkan visibilitas yang bagus karena air dengan sifat
hipotonisnya melisis sel darah merah, tetapi absorbsi yang signifikan bisa
12
menghasilkan acute water intoxication. Penggunaan air sebagai cairan irigasi dilarang
hanya pada reseksi transurethral tumor bladder.
Glycine, asam amino endogen dianjurkan sebagai cairan irigasi yang sesuai,
mengingat beberapa keuntungannya yaitu : harganya murah walaupun tidak semurah
air steril, isotonik dengan plasma hanya pada konsentrasi 2,2% namun efek samping
glisin pada konsentrasi ini lebih banyak. Osmolaritas glisin dengan konsentrasi 1,5%
adalah 230 mOsm/liter bila dibandingkan dengan osmolalitas serum 290 mOsm/liter
sehingga toksisitas ginjal dan kardiovaskular dapat terjadi. Penurunan konsentrasi
glisin dapat menyebabkan komplikasi yang lebih banyak akibat hipotonisitasnya
sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai cairan irigasi. Keuntungan glisin 1,5%
bila dibandingkan dengan air steril adalah tendensitasnya menyebabkan gagal ginjal
dan hemolisis yang lebih rendah.
c. Mannitol 3%
Mannitol dianggap tidak memiliki toksisitas yang disebabkan glisin, namun dapat
mendorong air keluar dari sel sehingga dapat menyebabkan overload dari sirkulasi.
Disamping itu harganya lebih mahal dibandingkan glisin. Ekskresinya melalui ginjal
sehingga akan menurun pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
d. Dekstrosa 2.5% - 4%
Tidak digunakan lagi secara luas karena dapat menyebabkan membakar jaringan yang
direseksi dan berkaitan dengan hiperglikemia apabila diabsorbsi ke dalam sirkulasi.
Juga tidak disukai karena membuat lengket instrumen dan sarung tangan ahli bedah
saat operasi.
13
e. Cytal
Cytal adalah campuran dari Sorbitol 2.7% dan Mannitol 0.54% banyak digunakan di
Amerika Serikat sebagai cairan irigasi, namun tidak popular di India karena harganya
yang mahal dan tidak tersedia secara luas. Didalam tubuh, Sorbitol dimetabolisme
menjadi fruktosa, yang dapat menimbulkan masalah baru pada pasien yang
hipersensitif terhadap fruktosa
f. Urea 1%
Urea dapat menyebabkan kristalisasi pada intrumen selama reseksi maka dari itu
tidak dipilih untuk cairan irigasi.
Berdasarkan keuntungan dan kerugian tersebut diatas maka glisin
1,5% dan air steril yang paling sering digunakan sebagai cairan irigasi pada operasi
urologi endoskopi.
Sindrom TURP ini muncul intraoperatif maupun postoperatif dengan gejala sakit
kepala, kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia, hipotensi dan
seizure. Selain itu bisa berakibat lebih parah yaitu bisa bermanifestasi overload
sirkulasi cairan, toksisitas dari cairan yang digunakan sebagai cairan irigasi. Sindrom
TURP bisa terjadi setiap saat dan telah diobservasi awal setelah pembedahan dimulai
dan beberapa jam setelah pembedahan selesai
14
1. Overload Sirkulasi
Uptake dari sejumlah kecil cairan irigasi dapat ditunjukkan pada setiap operasi TURP
melalui venous netwok of prostatic bed. Absorbsi cairan diteliti dengan cara
memeriksa udara ekspirasi dari etanol setelah penambahan etanol sampai dengan
konsentrasi lebih dari 1% ke dalam cairan irigasi. Uptake dari 1 liter cairan dalam
satu jam yang berkaitan dengan penurunan akut dari konsentrasi natrium serum 5-8
mmol/liter adalah jumlah volume yang secara statistic meningkatkan resiko gejala
terkait absorpsi (absorption related symptoms).
15
2. Water Intoxication
Beberapa pasien dengan sindrom TURP menunjukkan gejala intoksikasi air dan
kelainan neurologis disebabkan karena peningkatan jumlah air dalam otaknya. Pasien
awalnya menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah. Kejang dapat berkembang
menjadi koma dalam posisi deserebrasi. Terdapat klonus dan respon Babinski positif.
Papiledema, yaitu pupil yang terdilatasi dan bereaksi lambat dapat terjadi. EEG
menunjukkan tegangan rendah bilateral. Gejala ini muncul apabila level Natrium
turun sampai di bawah 15-20 mEq / liter di bawah level normal.
3. Hyponatremia – Hiperosmolaritas
Kehilangan natrium klorida dari cairan ekstraseluler atau penambahan air yang
berlebihan pada cairan ekstra seluler akan menyebabkan penurunan konsentrasi
natrium plasma. Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi pada dehidrasi
hipoosmotik dan berhubungan dengan volume cairan ekstraseluler.
Natrium penting dalam fungsinya untuk eksitasi sel, terutama pada jantung dan
otak. Hiponatremia dapat terjadi pasien yang mengalami TURP melalui berbagai
mekanisme :
16
Gejala hiponatremia adalah gelisah, kebingungan, inkoheren, koma dan kejang.
Ketika Na serum turun sampai di bawah 120 mEq / liter, hipotensi dan penurunan
kontraktilitas miokardial terjadi. Dibawah 115 mEq / l, bradikardi dan perluasan dari
kompleks QRS pada EKG dapat terjadi, ektopik ventrikuler dan inversi gelombang T
dapat terjadi. Di bawah 100 mEq / liter maka kejang umum, koma, henti nafas,
Ventricular Tachycardia (VT), Ventricular Fibrillation (VF) dan henti jantung
terjadi. Kebutuhan Na dihitung berdasarkan formula :
4. Glycine Toxicity
Kelebihan glisin yang diabsobrsi ke sirkulasi bersifat toksik pada jantung dan retina
dan dapat menyebabkan hiperammonia. Pada pasien glisin 1,5% berhubungan efek
subakut dari miokardium, muncul sebagai depressi atai inverse gelombang T. pada
EKG 24 jam setelah pembedahan. Absorbsi lebih dari 500 ml menunjukkan dua laki
resiko jangka panjang acute myocardial infarction. ini yang menyebabkan jumlah
mortalitas yang lebih tinggi antara operasi transuretra vs open prostatectomy masih
diperdebatkan oleh urologis hingga saat ini. Dilutional hypocalcemia juga dapat
menjadi penyebab gangguan kardiovaskular ketika glisin di absorbsi. Namun
kalsium dijaga tetap normal secara cepat dengan mobilisasi kalsium dari tulang.
17
Glisin adalah asam amino yang berperan sebagai neurotransmitter utama pada system
saraf pusat. Tempat kerja glisin adalah terutama pada batang otak dan medulla
spinalis berbeda dengan neurotransmitter lainnya yaitu GABA yang bekerja pada area
subkortikal dan kortikal area. . Mekanisme kerjanya diakibatkan dari hiperpolarisasi
dari membran postsinaps dengan meningkatkan hantaran klorida. Pada konsentrasi
tinggi menyebabkan efek pada sistem saraf pusat dan gangguan penglihatan.
Glycolic acid, formal dan formaldehyde adalah metabolit lain dari glisin yang juga
menyebabkan gangguan penglihatan. Tanda seseorang mengalami toksisitas glisin
adalah mual, muntah, respirasi lambat, kejang, spell apneoea dan sianosis, hipotensi,
oligouria, anuria dan kematian.
Nilai normal glisin pada pria adalah 13-17 mg / liter. Glycine toxicity jarang
pada pasien TURP mungkin karena hampir seluruh glisin yang diabsorbsi ditahan
pada ruang periprostatik dan retroperitoneal yang tidak memiliki efek sistemik.
5. Ammonia Toxicity
Amonia adalah produk mayor dari metabolisme glisin. Konsentrasi ammonia yang
tinggi menekan pelepasan norepinefrin dan dopamine dalam otak. Hal ini
menyebabkan encephalopati TURP syndrome. Namun hal ini jarang terjadi pada
manusia. Karakteristik toksisitas yang terjadi adalah satu jam setelah pembedahan.
Pasien tiba-tiba mual dan muntah dan menjadi koma. Ammonia darah meningkat
menjadi 500 mikromol / liter (nilai normal : 11-35 mikromol / liter).
Hyperammonemia dapat bertahan sampai lebih dari 10 jam paska operasi karena
glisin secara kontinu diabsorbsi dari ruang periprostat.
18
Makanisme lain yang dapat menjelaskan adalah defisiensi arginin. Amonia
normalnya diubah menjdi urea dalam hati melalui ornithine cycle. Arginin adalah
produk intermediet dari siklus ini. Defisiensinya menandakan bahwa ornithine cycle
tidak berlangsung sempurna dan terjadi akumulasi amonia.
6. Hipovolemi, Hipotensi
Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin digunakan sebagai
cairan irigasi,terdiri dari transient arterial hipertension, yang bisa tidak muncul jika
pendarahan berlebihan, diikuti dengan perpanjangan hipertensi. Pelepasan substansi
jaringan prostatik dan endotoksin menuju sirkulasi dan asidosis mtabolik yang bisa
berkontribusi terhadap hipotensi. Kehilangan darah saat Sindrom TURP akan
menimbulkan hipovolemia, menyebabkan kehilangan kemampuan mengangkut
oksigen secara signifikan sehingga bisa menuju iskemia myokardial dan infark
miokard. Kehilangan darah berkorelasi dengan ukuran kalenjar prostat yang
direseksi, lamanya pembedahan dan skill dari operator. Rata-rata kehilangan darah
saat TURP adalah 10ml/gram dari reseksi prostat.
7. Gangguan Penglihatan
19
8. Perforasi
Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan instrumen
pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari kantung kemih dan
letusan didalam kantung kemih. Perforasi instrumen dari kapsul prostatik telah
diestimasi terjadi pada 1% dari pasien yang melakukan TURP. Tanda awal dari
perforasi, yang sering tidak diperhatikan adalah penurunan kembalinya cairan irigasi
dari kantung kemih. Dan diikuti oleh nyeri abdomen, distensi dan nausea. Bradikardi
dan hipotensi arterial juga ditemukan. Juga ada resiko tinggi kesalahan diurese
spontan. Pada perforasi intraperitoneal, gejalanya berkembang lebih cepat. Nyeri alih
bahu yang berkaitan dengan iritasi pada diafragma merupakan gejala khas Pallor,
diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea, muntah dan hipotensi bisa terjadi. Perforasi
ekstraperitonial, pergerakan refleks dari ekstemitas bawah bisa terjadi.
Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi. Kauter dari jaringan prostat
dipercaya bisa membebaskan gas yang mudah terbakar. Secara normal, tidak cukup
oksigen yang terdapat didalam kantung kemih agar bisa terjadi letusan. Tetapi jika
udara masuk bersama dengan cairan irigasi akan bisa berakibat timbulnya ledakan.
9. Koagulopati
20
10. Bakteremia, Septisemia dan Toksemia
Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat preoperatif.
Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi dengan tekanan tinggi, maka
bakteri akan masuk menuju sirkualsi. Pada 6% pasien, bakteremia menjadi
septisemia. Absorbsi dari endotoksin bakteri dan produksi toksin dari koagulasi
jaringan akan berakibat keadaan toksik pada pasien postoperatif. Gemetar yang parah,
demam, dilatasi kapiler dan hipertensi bisa terjadi secara temporer pada pasien ini.
11. Hipotermia
Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang akan
dilakukan TURP. Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi hemodinamika,
yang mengakibatkan pasien menggigil dan peningkatan konsumsi oksigen. Irigasi
kandung kemih merupakan sumber utama dari hilangnya panas dan penggunaan
cairan irigasi pada suhu ruangan menghasilkan penurunan suhu tubuh sekitar 1-2 oC.
Ini diperburuk oleh keadaan ruangan operasi yang bersuhu dingin. Pasien geriatri
diduga akan mengalami hipotermia karena disfungsi otonom. Vasokonstriksi dan
asidosis bisa berefek pada jantung dan berkontribusi terhadap manifestasi sistem saraf
pusat. Menggigil juga bisa diperparah oleh pendarahan dari tempat reseksi.
21
Gambar 1. Skema Patofisiologi sindrom TURP
III.5 Diagnosis
Diagnosis TURP syndrome didasarkan atas gejala klinis. Dibawah pengaruh anastesi
umum, diagnosis Sindrom TURP sukar dan sering ditunda. Tanda umum adalah
peningkatan yang tidak bisa dijelaskan, kemudian tekanan darah menurun dan terjadi
bradikardia refrakter. Perubahan dalam EKG seperti ritme nodal, perubahan ST,
22
gelombang U dan pelebaran kompleks QRS dapat diobservasi. Pengembalian dari
anestesi umum dan penggunaan pelemas otot bisa tertunda.
1. Manifestasi awal dari Sindrom TURP lebih bisa dideteksi pada pasien yang
sadar
2. Vasodilatasi periferal berfungsi untuk membantu meminimalisir overload
sirkulasi.
3. Memberikan lebih banyak tingkat analgesia postoperatif
4. Kehilangan darah akan lebih sedikit
Ketika dalam pengaruh anastesi regional, maka satu dari empat tanda mayor
ini dapat muncul. : peningkatan tekanan darah sistolik dengan sedikit peningkatan
pada tekanan darah diastolik, denyut yang lambat, perubahan aktivitas saraf pusat
(seperti kebingungan, semicoma, gelisah, nyeri kepala, mual, muntah). Kongestif
paru dengan tanda dyspnea, sianosis dan wheezing. Denyut jantung menurun.
Jika tidak diterapi secara cepat, maka pasien bisa mengalami sianotik dan
hipotensi dan menjadi henti jantung. Beberapa pasien muncul dengan gejala
neurologikal. Pasien menjadi lemah kemudian tidak sadar. Pupil dilatasi dan lambat
beraksi terhadap cahaya. Ini bisa diikuti dengan episode singkat dari kejang tonik -
klonik sebagai awal dari keadaan koma. Tetapi kemungkinan fluktuasi hemodinamis
yang tiba-tiba dari anestesia spinal atau epidural sebaiknya dipertimbangkan sebelum
melakukan anastesi regional.
23
dari pengaruh anestesia ia akan merasa sangat mengantuk, bingung, koma karena
intoksikasi air dalam otak atau peningkatan amonia dari metabolisme glisin.
24
dimana akan diterapi dengan terapi diuretik menggunakan furosemide.
Furosemide sebaiknya diberikan dengan dosis 1 mg/kg bb secara intravena.
Tetapi, penggunaan furosemide dalam terapi Sindrom TURP dipertanyakan karena
meningkatkan ekskresi natrium. Oleh sebab itu 15% manitol disarankan sebagai
pilihan, dalam kaitan dengan kerjanya yang bebas dari ekskresi natrium dan
kecenderungan untuk meningkatkan osmolaritas ekstraseluler. Oksigen harus
diberikan dengan penggunaan nasal kanul. Edema paru sebaiknya dimanajemen
dengan intubasi dan ventilasi dengan penggunaan 100% oksigen.
Gas darah, hemoglobin dan serum sodium dinilai. Kalsium intravena bisa
digunakan untuk merawat gangguan gangguan jantung akut saat pembedahan. Kejang
sebaiknya diterapi dengan diazepam / midazolam / barbiturat / dilantin aau
penggunaan pelemas otot tergantung dari tingkat keparahannya. Gejala hiponatremia
yang bisa berakibat seizure bisa dihubungkan dengan dosis kecil dari midazolam (2-4
mg), diazepam (3-5 mg), thiopental (50-100 mg). Kehilangan darah diterapi dengan
transfusi PRC. Pada kasus dengan DIC, maka fibrinogen 3-4 gram sebaiknya
diberikan secara intravena diikuti dengan infus heparin 2000 unit secara bolus ( dan
kemudian diberikan 500 unit tiap jam). Fresh Frozen Plasma (FFP) dan platelet juga
bisa digunakan tergantung dari jenis koagulasinya.
Drainase pembedahan dari cairan retroperitoneal pada kasus perforasi bisa
menurunkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Arginin dapat diberikan
sebagai tambahan infus glisin untuk menurunkan efek toksik dari glisin pada jantung.
Mekanisme bagaimana arginin memproteksi jantung belum diketahui. Phenytoin
yang diberikan secara intravena (10-20 mg/kg) juga harus dipertimbangkan untuk
memperoleh aktivitas antikonvulsan. Intubasi endotrakeal secara umum disarankan
untuk mencegah aspirasi sampai status mental pasien menjadi normal. Jumlah dan
kadar salin hipertonik (3-5 %) diperlukan untuk mengkoreksi hiponatremia menjadi
batas / level yang aman, yang didasarkan konsentrasi serum sodium pasien. Solusi
salin hipertonis harus tidak diberikan dengan kecepatan tidak lebih dari 100 ml/jam
sehingga tidak menimbulkan eksaserbasi overload dari cairan sirkulasi. Hipotermi
dapat dihindari dengan meningkatkan suhu ruang operasi, penggunaan selimut hangat
25
dan menggunakan cairan irigasi dan intravena yang telah dihangatkan sampai suhu
370 C. Manajemen pasien yang mengalami koma harus meliputi oksigenasi, sirkulasi
yang memadai, penurunan tekanan intrakranial, penghentian kejang, terapi infeksi,
menjaga keseimbangan asam basa dan elektrolit dan suhu tubuh. Pemantauan yang
dilakukan glukosa, elektrolit (Na, K, Ca,. Cl, CO3, PO4), urea kreatinin, osmolaritas,
glisin, dan amonia. Pemeriksaan gas darah dapat melihat PH, PO2, PCO2, dan
karbonat. Perlu juga dilakukan EKG untuk memonitor fungsi kardiovaskular.
26
BAB IV
PEMBAHASAN
Tn. M usia 60 tahun dengan diagnosis preoperative retensi urin et causa BPH
dengan TURP. Proses anestesi, dibagi menjadi 3 tahapan. Tahapan pertama adalah
preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif.
1. Intraoperatif
Metode anestesi yang digunakan pada pasien adalah regional anestesi
subarachnoid. Teknik anestesi ini dipilih salah satunya dikarenaka kemungkinan
TURP sindrom yang dapat menurunkan kesadaran sehingga kesadaran pasien harus
selalu dipantau. Pasien diberikan injeksi bupivakain 15mg kemudian pasien
ditidurkan kemudian diberikan pemberian fentanyl 25mg yang berfungsi sebagai
analgesik tambahan. 15 menit setelah pemberian bupivakain diberikan ondansentron
untuk menangani gejala mual setelah operasi
Selama proses operasi dilakukan pemantauan untuk melihat tekanan darah,
denyut nadi, dan monitoring nyeri selama tindakan intraoperatif.
27
BAB V
KESIMPULAN
28
DAFTAR PUSTAKA
29
30