Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
TURP (Transurethral Resection of Prostate) adalah operasi kedua terbanyak yang
dilakukan oleh ahli bedah setelah operasi katarak pada pria dengan umur lebih dari 65
tahun. Perkembangan teknologi membuat seorang urologis mampu mencapai seluruh
area sistem urinarius dengan menggunakan endoskopi yang meminimalkan trauma
pada pasien. Prosedur endoskopi pada sistem urinarius memerlukan penggunaan
cairan irigasi untuk mendilatasi ruang mukosa secara halus, membersihkan darah, dan
memotong jaringan atau debris untuk membersihkan lapangan operasi.sehingga
diperoleh penglihatan yang bagus saat operasi.

Walaupun begitu tidak otomatis prosedur ini tidak menimbulkan efek


samping bagi pasien. Walaupun terdapat peningkatan di bidang anestesi dan
kedokteran, 2,5%-20 % pasien yang mengalami TURP menunjukkan satu atau lebih
gejala sindrom TURP dan 0,5% - 5% diantaranya meninggal pada waktu perioperatif.
Hampir 5-10% pasien yang menjalani operasi TUR mengalami absorbsi sejumlah
kecil (1-2 liter) cairan. Maka dari itu penting bagi seorang anestesiologi mengetahui
manifestasi dari sindrom ini untuk dapat mengambil suatu keputusan yang dapat
menyelamatkan pasien dari efek samping yang berbahaya.

Penanganan penderita dengan sindrom TURP melaiputi penanganan


simptomatis dan etiologi. Ketika satu dari gejala tersebut sudah terlihatoperasi harus
dihentikan. Namun penanganan yang utama dari sindrom TURP adalah pencegahan.
Sebelum melakukan tindakan operasi seseorang ahli anestesi harus mampu
melakukan manajemen intraoperatif yang baik. Pengaturan alat saat operasi, lama
operasi, jenis anesthesia yang dipilih, tekanan yang digunakan harus diperhatikan
karena hal tersebut juga merupakan faktor yang berpengaruh dalam munculnya
sindrom ini.

1
BAB II
DESKRIPSI KASUS

II.1 Identitas Pasien


 Nama : Tn. H
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Tanggal Lahir : 23 Desember 1959
 Usia : 60 tahun
 No. Rekam Medis : 25-43-65-XX
 Diagnosa pra-bedah : Retensi urin ec BPH
 Tindakan : TURP

II.2 Hasil Anamnesa


Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 10
Februari 2018, pukul 17.00 WIB di ruang perawatan Cempaka atas .

Keluhan Utama
Sulit buang air kecil

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan sulit untuk buang air kecil kurang lebih 3 bulan
dan semakin berat sehingga harus mengejan saat BAK. Pasien juga mengatakan
pinggangnya dirasakan pegal sehingga sulit untuk duduk. Kondisi pasien
menjadi lemah sehingga cenderung tidur dan enggan beraktivitas. Keluhan, nyeri
dada, batuk, kejang, demam dan cemas disangkal.

2
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi (+), riwayat CKD on HD. riwayat DM, sakit jantung, ginjal,
sakit kuning dan TBC disangkal. Riwayat alergi makanan, udara, atau obat juga
disangkal.
Riwayat Pengobatan
Tidak ada obat yang rutin pasien minum.
Riwayat Kebiasaan:
Pasien seorang perokok, namun riwayat minum alkohol, ataupun
mengkonsumsi obat-obatan terlarang dan obat penenang disangkal.
Riwayat Operasi
Pasien tidak memiliki riwayat operasi apapun

II.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 Berat Badan : 56 Kg BMI:20,8 (Normoweight)
 Tinggi Badan : 165 Cm
 Tekanan Darah : 130/70 mmHg
 Nadi : 100 x/menit
 Pernafasan : 20 x/menit
 Suhu : 36,4º C

Kepala
 Bentuk : Normocephale
 Rambut : Warna hitam, distribusi rambut tidak merata, rambut
mudah dicabut.
 Mata : Pelpebra tidak cekung dan tidak edema, konjungtiva

3
anemis (-/-), sklera tidak ikterik (-/-), pupil mata isokor
kanan dan kiri, reflex cahaya positif (+/+).
 Telinga : Normotia, tidak ada cairan yang keluar dari telinga.
 Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum, tidak
hiperemis, dan tidak ada sekret yang keluar dari lubang hidung.
 Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1.
 Mulut : Mukosa bibir lembab, pucat, tidak sianosis.

Leher
 Inspeksi : Proporsi leher dalam batas normal, tidak terlihat adanya
massa atau benjolan, tidak ada hambatan dalam pergerakan.
 Palpasi : Trakea terletak ditengah, tidak teraba pembesaran
tiroid, KGB tidak teraba.

Thorax
1) Paru-paru
 Inspeksi : Bentuk dada normochest, pergerakan dinding dada
simetris, terlihat adanya massa didaerah dada sebelah kanan.
 Palpasi : Vocal fremitus sama antara dada kanan dan kiri.
 Perkusi : Suara perkusi sonor pada seluruh lapang paru.
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler, tidak ada ronkhi (-/-), tidak ada
wheezing (-/-).
2) Jantung
 Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat.
 Palpasi : Tidak teraba pulsasi iktus kordis.
 Perkusi : Perkusi tidak dilakukan secara maksimal
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, tidak ada murmur dan
tidak ada gallop.

4
Abdomen
 Inspeksi : Datar, dinding perut tidak tegang, tidak terlihat ada
massa menonjol.
 Auskultasi : Bising usus (+) normal.
 Palpasi : Perut supel, Nyeri tekan (-)
 Perkusi : Terdengar bunyi timpani pada lambung dan pekak pada
hati.

Kulit
 Kulit tidak kering, tidak ada lesi, tidak sianosis dan tidak ikterik. Turgor kulit
baik, CRT < 2 detik

Ekstremitas
 Superior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor
(-/-), edema (+/+), akral dingin (-/-), kesemutan (-/-), sensorik dan motorik
baik.
 Inferior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor
(-/-), edema (+/+), akral dingin (-/-), kesemutan (-/-), sensorik dan motorik
baik.

Kesulitan Airway
 Gigi : Terdapat gigi yang hilang. Tidak terdapat pemakaian
gigi palsu
 Malampati : 3 (hanya tampak bagian atas uvula dan palatum mole).
 3-3-2 rules : Bukaan mulut (3), jarak mentum ke hyoid (3), jarak
tiroid ke hyoid (2).
 Mobilisasi leher : Baik

5
 Trauma cervical : Tidak ada
 Leher pendek : Tidak ada

II.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Hematologi (30-01-2020)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
DARAH PERIFER
LENGKAP
Hb L 9,2 13,0-16,0 g/dL
Ht L 29,0 37,0-43,0 %
Eritrosit L 3,15 4,00-5,00 juta/uL
Leukosit H 12.30 5000-10000 /uL
Trombosit 262 150.000-400.000 /uL
MCV H 9,21 82-92 fL
MCH 29,2 27-31 g/dL
MCHC L 31,7 32-36 g/dL

HITUNG JENIS
Basofil 0.5 0-1 %
Eosinofil 2,8 1-3 %
Neutrophil H 76,4 52,0-76,0 %
Limfosit L 15,9 20-40 %
Monosit 4,4 2-8 %
RDW-CV H 15.7 11,5-14,5 %

Hasil Pemeriksaan Elektrolit (30-01-2019)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

6
Natrium (Na) darah 138 135-145 mEq/L
Kalium (K) darah L 3,2 3,50-5,00 mEq/L
Klorida (Cl) darah 106,0 99,0-107,0 mEq/L

Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik (30-01-2020)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Ureum darah H 118 21-43 mg/dL
Kreatinin darah H 2,2 0,6-1,2 mg/dL

Hasil Pemeriksaan Elektrolit (31-01-2020)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Natrium (Na) darah 137 135-145 mEq/L
Kalium (K) darah 3,50 3,50-5,00 mEq/L
Klorida (Cl) darah 105,0 99,0-107,0 mEq/L

Hasil Pemeriksaan Hemostasis (1-02-2020)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
DARAH PERIFER
LENGKAP
Hb L 8,2 13,0-16,0 g/dL
Ht L 23,4 37,0-43,0 %
Eritrosit L 2,72 4,00-5,00 juta/uL
Leukosit H 27.00 5000-10000 /uL
Trombosit 176 150.000-400.000 /uL
MCV 86 82-92 fL
MCH 30,1 27-31 g/dL
MCHC 35 32-36 g/dL

7
HITUNG JENIS
Basofil 0.2 0-1 %
Eosinofil L 0,4 1-3 %
Neutrophil H 92,2 52,0-76,0 %
Limfosit L 3,9 20-40 %
Monosit 3,3 2-8 %
RDW-CV H 15.1 11,5-14,5 %

II.5 Diagnosis Klinis


 BPH
II.6 Tindakan
 TURP
II.7 Hasil Konsul
 Anestesi: Puasa 6 jam sebelum operasi dilaksanakan. Post op rawat ruangan
II.8 Kesimpulan
 ASA 3 dengan geriatri anemia, leukositosis, CKD on HD, HT, Ureum dan
Creatinin tinggi
II.9 Persiapan Alat
1. Spinal Set
2. Monitoring: EKG lead II, SpO2, NIBP
3. Obat Spinal Anestesi (Bupivakain, fentanyl), Obat non anatesi (Ondansentron,
Tramadol), dan Cairan (Asering), backup darah (PRC)

II.10 Status Anestesi


Tindakan anestesi yang diberikan adalah regional anestesi di subarachnoid.
Anestesi dilakukan pada posisi duduk. Lama anestesi 1 jam 25 menit (pukul 13.50 –
14.15) dan lama operasi 1 jam 5 menit (pukul 14.00 – 15.05).

8
II.11 Tata Laksana
a. Subarachnoid
1) Bupivakain 15mg → 3 cc
2) Fentanyl 25 mcg → 4 cc
b. Tata laksana Jalan Napas
1) Pemasangan O2 4L dengan NK

c. Monitoring :
1) Pemantauan oksigenasi selama anestesia : pemantauan saturasi O2 dilakukan
dengan pemasangan pulse oximetry dan pantau melalui monitor
2) Pemantauan adekuat atau tidaknya fungsi sirkulasi pasien :
a. Pemantauan tekanan darah arterial dan denyut jantung
b. Pemantauan EKG secara kontinu mulai sebelum induksi anestesi
3) Pemantauan kebutuhan cairan pasien selama anestesia
Input : Berupa infus (Asering)
Output : Perdarahan, urin

Tabel 1 Pemantauan Tanda-Tanda Vital Selama Operasi


Waktu Sistol Diastol Nadi SpO2
13.45 110 60 82 100
14.00 90 59 84 100
14.15 92 62 80 100
14.30 96 67 70 100
14.45 105 63 70 100
14.00 109 66 68 100
14.15 102 67 68 100

II.12 Pemantauan Cairan


Perhitungan:

9
a. Kebutuhan cairan :
Maintenance : (4x10) + (2x10) + (1x36) = 96ml
Puasa (6 Jam) : 96 x 6 = 576 ml
Stress operasi : skala ringan x BB  4 x 56 = 224 ml

b. Pemberian cairan intraoperatif:


Jam ke-I : Maintenance + ½ pengganti puasa + stress operasi
96 + (576/2) + 224 = 608
Total kebutuhan cairan :
660 ml + 525 ml + 525 ml = 1.710 ml
Jumlah pemberian cairan :
1. Asering : 500 ml
Total : 500 ml
Jumlah cairan keluar
1. Perdarahan : 25 ml
2. Urin : - ml
EBV (Estimated Blood Volume)  65 ml/kgBB x 56 kgBB = 3640 ml
% EBL (Estimated Blood Loss)  25 / 3640 x 100% = 0,6 %

II.13 Pasca Operasi


Pasien melewati RR (Recovery Room),pasien dirawat di ruangan post operasi.

BAB III

10
SINDROM TURP

III.1 Definisi

Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus vena pada
prostat dan memungkinkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi. Absorbsi dari cairan
dalam jumlah yang besar (2 liter atau lebih) menghasilkan konstelasi gejala dan tanda
yang disebut dengan sindrom TURP.

Manifestasi dari Sindrom TURP

1. Hiponatremia
2. Hipoosmolaritas
3. Overload cairan
4. Gagal jantung kongestif
5. Edema paru
6. Hipotensi
7. Hemolisis
8. Keracunan cairan
9. Hiperglisinemia
10. Hiperamonemia
11. Hiperglikemia
12. Ekspansi volume intravaskular

III.2 Epidemiologi

11
Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan endoskopi urologi.
Insiden sindrom TURP mencapai 20% dan membawa angka mortalitas yang
signifikan. Walaupun terdapat peningkatan di bidang anestesi 2,5%-20 % pasien yang
mengalami TURP menunjukkan satu atau lebih gejala sindrom TURP dan 0,5% - 5%
diantaranya meninggal pada waktu perioperatif. Angka mortalitas dari sindrom TURP
ini sebesar 0,99%.

III.3 Etiologi – Cairan Irigasi

Reseksi kelenjar prostate transuretra dilakukan dengan mempergunakan cairan irigasi


agar daerah yang di irigasi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah 5. Cairan
elektrolit / ionik tidak bisa digunakan untuk irigasi saat TURP karena cairan tersebut
mendispersi aliran elektrokauter dan menyebabkan hantaran saat operasi. Syarat
cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah : isotonik, non-hemolitik,
electrically inert, non-toksik, transparan, mudah untuk disterilisasi dan tidak mahal.
Akan tetapi sayangnya cairan yang memenuhi syarat seperti di atas belum
ditemukan5.

Untuk TURP biasanya menggunakan cairan nonelektrolit hipotonik sebagai


cairan irigasi seperti air steril, Glisin 1,5% (230 mOsm/L), atau campuran Sorbitol
2,7% dengan Mannitol 0,54% (230 Osm/L). Cairan yang boleh juga dipakai tapi
jarang digunakan adalah Sorbitol 3,3%, Mannitol 3%, Dekstrosa 2,5-4% dan Urea
1%..1,2,5

a. Air steril / akuades (H2O)

Walaupun air steril memiliki banyak kualitas yang diperlukan sebagai cairan irigasi
yang ideal, kerugian dalam penggunaannya adalah air dapat menyebabkan
hipotonisitas yang ekstrim, hemolisis, hiponatremia delusional dan gagal ginjal serta
syok. Air / Akuades (H20) menunjukkan visibilitas yang bagus karena air dengan sifat
hipotonisnya melisis sel darah merah, tetapi absorbsi yang signifikan bisa

12
menghasilkan acute water intoxication. Penggunaan air sebagai cairan irigasi dilarang
hanya pada reseksi transurethral tumor bladder.

b. Glycine 1.2%, 1.5%. 2.2%:

Glycine, asam amino endogen dianjurkan sebagai cairan irigasi yang sesuai,
mengingat beberapa keuntungannya yaitu : harganya murah walaupun tidak semurah
air steril, isotonik dengan plasma hanya pada konsentrasi 2,2% namun efek samping
glisin pada konsentrasi ini lebih banyak. Osmolaritas glisin dengan konsentrasi 1,5%
adalah 230 mOsm/liter bila dibandingkan dengan osmolalitas serum 290 mOsm/liter
sehingga toksisitas ginjal dan kardiovaskular dapat terjadi. Penurunan konsentrasi
glisin dapat menyebabkan komplikasi yang lebih banyak akibat hipotonisitasnya
sehingga tidak dapat lagi digunakan sebagai cairan irigasi. Keuntungan glisin 1,5%
bila dibandingkan dengan air steril adalah tendensitasnya menyebabkan gagal ginjal
dan hemolisis yang lebih rendah.

c. Mannitol 3%

Mannitol dianggap tidak memiliki toksisitas yang disebabkan glisin, namun dapat
mendorong air keluar dari sel sehingga dapat menyebabkan overload dari sirkulasi.
Disamping itu harganya lebih mahal dibandingkan glisin. Ekskresinya melalui ginjal
sehingga akan menurun pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

d. Dekstrosa 2.5% - 4%

Tidak digunakan lagi secara luas karena dapat menyebabkan membakar jaringan yang
direseksi dan berkaitan dengan hiperglikemia apabila diabsorbsi ke dalam sirkulasi.
Juga tidak disukai karena membuat lengket instrumen dan sarung tangan ahli bedah
saat operasi.

13
e. Cytal

Cytal adalah campuran dari Sorbitol 2.7% dan Mannitol 0.54% banyak digunakan di
Amerika Serikat sebagai cairan irigasi, namun tidak popular di India karena harganya
yang mahal dan tidak tersedia secara luas. Didalam tubuh, Sorbitol dimetabolisme
menjadi fruktosa, yang dapat menimbulkan masalah baru pada pasien yang
hipersensitif terhadap fruktosa

f. Urea 1%

Urea dapat menyebabkan kristalisasi pada intrumen selama reseksi maka dari itu
tidak dipilih untuk cairan irigasi.
Berdasarkan keuntungan dan kerugian tersebut diatas maka glisin
1,5% dan air steril yang paling sering digunakan sebagai cairan irigasi pada operasi
urologi endoskopi.

III.4 Patofisiologi dan Gejala Klinis

Sindrom TURP ini muncul intraoperatif maupun postoperatif dengan gejala sakit
kepala, kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia, hipotensi dan
seizure. Selain itu bisa berakibat lebih parah yaitu bisa bermanifestasi overload
sirkulasi cairan, toksisitas dari cairan yang digunakan sebagai cairan irigasi. Sindrom
TURP bisa terjadi setiap saat dan telah diobservasi awal setelah pembedahan dimulai
dan beberapa jam setelah pembedahan selesai

Jumlah cairan yang dapat memasuki daerah vaskularisasi dipengaruhi


beberapa faktor yaitu : tekanan hidrostatik dari cairan irigasi, jumlah venous sinus
yang terbuka, lama reseksi / paparan dan perdarahan vena yang terjadi. Tekanan
hidrostatis cairan irigasi yang rendah, semakin banyaknya vena yang terbuka saat
reseksi dan semakin lama waktu reseksi meningkatkan absorbsi air ke dalam sistem
sirkulasi.

14
1. Overload Sirkulasi
Uptake dari sejumlah kecil cairan irigasi dapat ditunjukkan pada setiap operasi TURP
melalui venous netwok of prostatic bed. Absorbsi cairan diteliti dengan cara
memeriksa udara ekspirasi dari etanol setelah penambahan etanol sampai dengan
konsentrasi lebih dari 1% ke dalam cairan irigasi. Uptake dari 1 liter cairan dalam
satu jam yang berkaitan dengan penurunan akut dari konsentrasi natrium serum 5-8
mmol/liter adalah jumlah volume yang secara statistic meningkatkan resiko gejala
terkait absorpsi (absorption related symptoms).

Reseksi biasanya berlangsung 45-60 menit dan rata-rata 20mL/menit dari


cairan irigasi diserap / diabsorbsi selama operasi TURP. Karena volume sirkulasi
yang meningkat, volume darah akan meningkat, tekanan sistolik dan diastolik
meningkat dan dapat menyebabkan gagal jantung. Absorbsi cairan mendilusi protein
serum dan menurunkan tekanan onkotik darah. Hal ini bersamaan dengan
peningkatan tekanan darah mendorong cairan dari vaskular menuju ke kompartmen
interstisial, menyebabkan edema paru dan serebri. Ditemukan pada absorbsi langsung
ke dalam sirkulasi, hampir lebih dari 70% cairan irigasi terakumulasi dalam ruang
interstisiil (periprostatik, retroperitoneal ). Untuk setiap 100 ml cairan yang
memasuki ruangan interstisial 10-15 mEq Na ikut masuk ke dalamnya.

Durasi operasi berpengaruh pada jumlah absorbsi dan overload sirkulasi.


Morbiditas dan mortalitas ditemukan lebih tinggi pada operasi dengan waktu lebih
dari 90 menit. Absorbsi intravaskular dipengaruhi ukuran prostat sedangkan absorbsi
interstisial dipengaruhi integritas kapsul prostat. Overload sirkulasi terjadi apabila
berat dari prostat lebih dari 45 gr. Faktor penting lainnya adalah tekanan hidrostatik
dari prostatic bed. Tekanan ini dipengaruhi ketinggian kolom cairan irigasi dan
tekanan dalam kandung kemih saat pembedahan. Tinggi yang ideal dari cairan adalah
60 cm sehingga kira-kira 300 ml cairan dapat dihasilkan per menit untuk
mendapatkan penglihatan yang baik.

15
2. Water Intoxication

Beberapa pasien dengan sindrom TURP menunjukkan gejala intoksikasi air dan
kelainan neurologis disebabkan karena peningkatan jumlah air dalam otaknya. Pasien
awalnya menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah. Kejang dapat berkembang
menjadi koma dalam posisi deserebrasi. Terdapat klonus dan respon Babinski positif.
Papiledema, yaitu pupil yang terdilatasi dan bereaksi lambat dapat terjadi. EEG
menunjukkan tegangan rendah bilateral. Gejala ini muncul apabila level Natrium
turun sampai di bawah 15-20 mEq / liter di bawah level normal.

3. Hyponatremia – Hiperosmolaritas

Kehilangan natrium klorida dari cairan ekstraseluler atau penambahan air yang
berlebihan pada cairan ekstra seluler akan menyebabkan penurunan konsentrasi
natrium plasma. Kehilangan natrium klorida primer biasanya terjadi pada dehidrasi
hipoosmotik dan berhubungan dengan volume cairan ekstraseluler.

Natrium penting dalam fungsinya untuk eksitasi sel, terutama pada jantung dan
otak. Hiponatremia dapat terjadi pasien yang mengalami TURP melalui berbagai
mekanisme :

1. Dilusi serum Na akibat kelebihan absorbsi cairan irigasi

2. Hilangnya Na menuju aliran cairan irigasi pada tempat reseksi prostat

3. Hilangnya Na menuju ruangan interstisial pada periprostat dan


retroperitoneal

4. Jumlah besar glisin menstimulasi pelepasan atrial natriuretik peptida pada


kelebihan volume cairan menyebabkan natriuresis..

16
Gejala hiponatremia adalah gelisah, kebingungan, inkoheren, koma dan kejang.
Ketika Na serum turun sampai di bawah 120 mEq / liter, hipotensi dan penurunan
kontraktilitas miokardial terjadi. Dibawah 115 mEq / l, bradikardi dan perluasan dari
kompleks QRS pada EKG dapat terjadi, ektopik ventrikuler dan inversi gelombang T
dapat terjadi. Di bawah 100 mEq / liter maka kejang umum, koma, henti nafas,
Ventricular Tachycardia (VT), Ventricular Fibrillation (VF) dan henti jantung
terjadi. Kebutuhan Na dihitung berdasarkan formula :

Sodium Deficit = Normal serum Na - Estimated serum Na x Volume of body water

Namun gangguan fisiologis yang menyebabkan gangguan system saraf pusat


bukanlah hiponatremia tersebut melainkan hipoosmolalitas yang terjadi. Seperti yang
kita tahu bahwa sawar darah otak bersifat impermeabel terhadap natrium namun
permeabel terhadap air. Edema serebri terjadi akibat hipoosmolalitas akut yang
terjadi meningkatkan tekanan intrakranial, menyebabkan bradikardi dan hipertensi
(Cushing reflex).

4. Glycine Toxicity

Kelebihan glisin yang diabsobrsi ke sirkulasi bersifat toksik pada jantung dan retina
dan dapat menyebabkan hiperammonia. Pada pasien glisin 1,5% berhubungan efek
subakut dari miokardium, muncul sebagai depressi atai inverse gelombang T. pada
EKG 24 jam setelah pembedahan. Absorbsi lebih dari 500 ml menunjukkan dua laki
resiko jangka panjang acute myocardial infarction. ini yang menyebabkan jumlah
mortalitas yang lebih tinggi antara operasi transuretra vs open prostatectomy masih
diperdebatkan oleh urologis hingga saat ini. Dilutional hypocalcemia juga dapat
menjadi penyebab gangguan kardiovaskular ketika glisin di absorbsi. Namun
kalsium dijaga tetap normal secara cepat dengan mobilisasi kalsium dari tulang.

17
Glisin adalah asam amino yang berperan sebagai neurotransmitter utama pada system
saraf pusat. Tempat kerja glisin adalah terutama pada batang otak dan medulla
spinalis berbeda dengan neurotransmitter lainnya yaitu GABA yang bekerja pada area
subkortikal dan kortikal area. . Mekanisme kerjanya diakibatkan dari hiperpolarisasi
dari membran postsinaps dengan meningkatkan hantaran klorida. Pada konsentrasi
tinggi menyebabkan efek pada sistem saraf pusat dan gangguan penglihatan.
Glycolic acid, formal dan formaldehyde adalah metabolit lain dari glisin yang juga
menyebabkan gangguan penglihatan. Tanda seseorang mengalami toksisitas glisin
adalah mual, muntah, respirasi lambat, kejang, spell apneoea dan sianosis, hipotensi,
oligouria, anuria dan kematian.

Nilai normal glisin pada pria adalah 13-17 mg / liter. Glycine toxicity jarang
pada pasien TURP mungkin karena hampir seluruh glisin yang diabsorbsi ditahan
pada ruang periprostatik dan retroperitoneal yang tidak memiliki efek sistemik.

5. Ammonia Toxicity

Amonia adalah produk mayor dari metabolisme glisin. Konsentrasi ammonia yang
tinggi menekan pelepasan norepinefrin dan dopamine dalam otak. Hal ini
menyebabkan encephalopati TURP syndrome. Namun hal ini jarang terjadi pada
manusia. Karakteristik toksisitas yang terjadi adalah satu jam setelah pembedahan.
Pasien tiba-tiba mual dan muntah dan menjadi koma. Ammonia darah meningkat
menjadi 500 mikromol / liter (nilai normal : 11-35 mikromol / liter).
Hyperammonemia dapat bertahan sampai lebih dari 10 jam paska operasi karena
glisin secara kontinu diabsorbsi dari ruang periprostat.

Mekanisme mengapa hiperammonia tidak diderita oleh semua pasien yang


mengalami TURP masih belum jelas. Hiperamonia mengimplikasikan bahwa tubuh
tidak dapat memetabolisme glisin secara sempurna melalui glisin cleavage system.,
citric acid cycle dan konversi glycolic dan glioxylic acid.

18
Makanisme lain yang dapat menjelaskan adalah defisiensi arginin. Amonia
normalnya diubah menjdi urea dalam hati melalui ornithine cycle. Arginin adalah
produk intermediet dari siklus ini. Defisiensinya menandakan bahwa ornithine cycle
tidak berlangsung sempurna dan terjadi akumulasi amonia.

6. Hipovolemi, Hipotensi

Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin digunakan sebagai
cairan irigasi,terdiri dari transient arterial hipertension, yang bisa tidak muncul jika
pendarahan berlebihan, diikuti dengan perpanjangan hipertensi. Pelepasan substansi
jaringan prostatik dan endotoksin menuju sirkulasi dan asidosis mtabolik yang bisa
berkontribusi terhadap hipotensi. Kehilangan darah saat Sindrom TURP akan
menimbulkan hipovolemia, menyebabkan kehilangan kemampuan mengangkut
oksigen secara signifikan sehingga bisa menuju iskemia myokardial dan infark
miokard. Kehilangan darah berkorelasi dengan ukuran kalenjar prostat yang
direseksi, lamanya pembedahan dan skill dari operator. Rata-rata kehilangan darah
saat TURP adalah 10ml/gram dari reseksi prostat.

7. Gangguan Penglihatan

Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara,


pandangan berkabut, dan melihat lingkaran disekitar objek. Pupil menjadi dilatasi dan
tidak merespons. Lensa mata normal. Gejala bisa muncul bersamaan dengan gejala
lain dari Sindom TURP atau bisa juga menjadi gejala yang tersembunyi.
Penglihatan kembali normal 8-48 jam setelah pembedahan. Kebutaan
TURP disebabkan oleh disfungsi retina yang kemungkinan karena keracunan glisin.
Karena itu persepsi dari cahaya dan refleks mengedipkan mata dipertahankan dan
respon pupil terhdap cahaya dan akomodasi hilang pada kebutaan TURP, tidak
seperti kebutaan yang disebabkan karena disfungsi kortikal serebri.

19
8. Perforasi

Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan instrumen
pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari kantung kemih dan
letusan didalam kantung kemih. Perforasi instrumen dari kapsul prostatik telah
diestimasi terjadi pada 1% dari pasien yang melakukan TURP. Tanda awal dari
perforasi, yang sering tidak diperhatikan adalah penurunan kembalinya cairan irigasi
dari kantung kemih. Dan diikuti oleh nyeri abdomen, distensi dan nausea. Bradikardi
dan hipotensi arterial juga ditemukan. Juga ada resiko tinggi kesalahan diurese
spontan. Pada perforasi intraperitoneal, gejalanya berkembang lebih cepat. Nyeri alih
bahu yang berkaitan dengan iritasi pada diafragma merupakan gejala khas Pallor,
diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea, muntah dan hipotensi bisa terjadi. Perforasi
ekstraperitonial, pergerakan refleks dari ekstemitas bawah bisa terjadi.
Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi. Kauter dari jaringan prostat
dipercaya bisa membebaskan gas yang mudah terbakar. Secara normal, tidak cukup
oksigen yang terdapat didalam kantung kemih agar bisa terjadi letusan. Tetapi jika
udara masuk bersama dengan cairan irigasi akan bisa berakibat timbulnya ledakan.

9. Koagulopati

DIC (Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi berkaitan dengan


pelepasan partikel prostat yang kaya akan jaringan thrombopalstin menuju sirkulasi
yang menyebabkan fibrinolisis sekunder. Dilutional trombositopenia bisa
memperbusuk situasi. DIC bisa dideteksi pada darah dengan timbulnya penurunan
jumlah platelet, FDP (Fibrin Degradation Products) yang tinggi (FDP > 150 mg/dl)
dan plasma fibrinogen yang rendah (400 mg/dl)

20
10. Bakteremia, Septisemia dan Toksemia

Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat preoperatif.
Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi dengan tekanan tinggi, maka
bakteri akan masuk menuju sirkualsi. Pada 6% pasien, bakteremia menjadi
septisemia. Absorbsi dari endotoksin bakteri dan produksi toksin dari koagulasi
jaringan akan berakibat keadaan toksik pada pasien postoperatif. Gemetar yang parah,
demam, dilatasi kapiler dan hipertensi bisa terjadi secara temporer pada pasien ini.

11. Hipotermia

Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien yang akan
dilakukan TURP. Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah situasi hemodinamika,
yang mengakibatkan pasien menggigil dan peningkatan konsumsi oksigen. Irigasi
kandung kemih merupakan sumber utama dari hilangnya panas dan penggunaan
cairan irigasi pada suhu ruangan menghasilkan penurunan suhu tubuh sekitar 1-2 oC.
Ini diperburuk oleh keadaan ruangan operasi yang bersuhu dingin. Pasien geriatri
diduga akan mengalami hipotermia karena disfungsi otonom. Vasokonstriksi dan
asidosis bisa berefek pada jantung dan berkontribusi terhadap manifestasi sistem saraf
pusat. Menggigil juga bisa diperparah oleh pendarahan dari tempat reseksi.

21
Gambar 1. Skema Patofisiologi sindrom TURP

III.5 Diagnosis

Anestesia Umum Vs Anestesia Regional Pada TURP

Diagnosis TURP syndrome didasarkan atas gejala klinis. Dibawah pengaruh anastesi
umum, diagnosis Sindrom TURP sukar dan sering ditunda. Tanda umum adalah
peningkatan yang tidak bisa dijelaskan, kemudian tekanan darah menurun dan terjadi
bradikardia refrakter. Perubahan dalam EKG seperti ritme nodal, perubahan ST,

22
gelombang U dan pelebaran kompleks QRS dapat diobservasi. Pengembalian dari
anestesi umum dan penggunaan pelemas otot bisa tertunda.

TURP dengan menggunakan anestesia regional tanpa sedasi (Awake TURP)


lebih dipilih daripada anestesia umum karena hal berikut :

1. Manifestasi awal dari Sindrom TURP lebih bisa dideteksi pada pasien yang
sadar
2. Vasodilatasi periferal berfungsi untuk membantu meminimalisir overload
sirkulasi.
3. Memberikan lebih banyak tingkat analgesia postoperatif
4. Kehilangan darah akan lebih sedikit

Ketika dalam pengaruh anastesi regional, maka satu dari empat tanda mayor
ini dapat muncul. : peningkatan tekanan darah sistolik dengan sedikit peningkatan
pada tekanan darah diastolik, denyut yang lambat, perubahan aktivitas saraf pusat
(seperti kebingungan, semicoma, gelisah, nyeri kepala, mual, muntah). Kongestif
paru dengan tanda dyspnea, sianosis dan wheezing. Denyut jantung menurun.

Jika tidak diterapi secara cepat, maka pasien bisa mengalami sianotik dan
hipotensi dan menjadi henti jantung. Beberapa pasien muncul dengan gejala
neurologikal. Pasien menjadi lemah kemudian tidak sadar. Pupil dilatasi dan lambat
beraksi terhadap cahaya. Ini bisa diikuti dengan episode singkat dari kejang tonik -
klonik sebagai awal dari keadaan koma. Tetapi kemungkinan fluktuasi hemodinamis
yang tiba-tiba dari anestesia spinal atau epidural sebaiknya dipertimbangkan sebelum
melakukan anastesi regional.

Selama anestesia umum berbagai tanda hipovolemia terjadi pada pasien.


Gejala sistem saraf pusat tidak ditemukan sampai pasien dibwawa ke ruang
pemulihan. Tanda respirasi tidak terlihat akibat ventilasi kendali atau assisted sera
konsentrasi tinggi O2 yang digunakan dalam anestesia. Namun ketika pasien tersadar

23
dari pengaruh anestesia ia akan merasa sangat mengantuk, bingung, koma karena
intoksikasi air dalam otak atau peningkatan amonia dari metabolisme glisin.

III.6. Tata Laksana Sindrom TURP

Terapi Sindrom TURP meliputi koreksi berbagai mekanisme patofisiologikal yang


bekerja pada homeostasis tubuh. Idealnya terapi tersebut harus dimulai sebelum tejadi
komplikasi sistem saraf pusat dan jantung yang serius. Ketika Sindrom TURP
didiagnosa, prosedur pembedahan sebaiknya diakhiri secepatnya. Kebanyakan pasien
bisa dimanajemen dengan restriksi cairan dan diuretic loop. Identifikasi gejala awal
sindrom TURP dan pencegahan, penting untuk mencegah efek yang fatal bagi pasien
yang mengalami pembedahan endoskopik. Hiponatremia yang terjadi sebelum
operasi harus dikoreksi terutama pada pasien yang menggunakan obat-obatan diuretic
dan diet rendah garam. Antibiotic profilaksis memiliki peran dalam pensegahan
bakterimia dan septisemia. Central Venous Pressure (CVP) monitoring atau
kateterisasi arteri pulmonalis diperlukan untuk pasien dengan penyakit jantung.
Tinggi ideal cairan irigasi adalah 60 cm. Untuk mengurangi timbulnya sindroma
TURP operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam.
Di samping itu beberapa operator memasang sistotomi suprapubik terlebih dahulu
sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sistemik. Untuk
kasus dengan operasi lebih dari satu jam staging TURP harus dilakukan. Kapsul
prostat harus dijaga dan distensi kandung kemih harus dicegah. Caranya dengan
sering mengosongkan kandung kemih. Koreksi hiponatremia sebaiknya
dilakukan dengan diuresis dan pemberian salin hipertonis 3-5% secara lambat dan
tidak lebih dari 0,5 meq/per 1 jam atau tidak lebih cepat dari 100 ml/jam. Tepatnya
200 ml salin hipertonis diperlukan untuk mengkoreksi hiponatremia. Pemberian
secara cepat dari salin akan mengakibatkan edema paru dan central pontine
myelinolysis. Dua pertiga dari salin hipertonis mengembalikan serum sodium dan
osmolaritas, sedangkan 1/3 meredistribusi air dari sel menuju ruang ekstraseluler,

24
dimana akan diterapi dengan terapi diuretik menggunakan furosemide.
Furosemide sebaiknya diberikan dengan dosis 1 mg/kg bb secara intravena.
Tetapi, penggunaan furosemide dalam terapi Sindrom TURP dipertanyakan karena
meningkatkan ekskresi natrium. Oleh sebab itu 15% manitol disarankan sebagai
pilihan, dalam kaitan dengan kerjanya yang bebas dari ekskresi natrium dan
kecenderungan untuk meningkatkan osmolaritas ekstraseluler. Oksigen harus
diberikan dengan penggunaan nasal kanul. Edema paru sebaiknya dimanajemen
dengan intubasi dan ventilasi dengan penggunaan 100% oksigen.
Gas darah, hemoglobin dan serum sodium dinilai. Kalsium intravena bisa
digunakan untuk merawat gangguan gangguan jantung akut saat pembedahan. Kejang
sebaiknya diterapi dengan diazepam / midazolam / barbiturat / dilantin aau
penggunaan pelemas otot tergantung dari tingkat keparahannya. Gejala hiponatremia
yang bisa berakibat seizure bisa dihubungkan dengan dosis kecil dari midazolam (2-4
mg), diazepam (3-5 mg), thiopental (50-100 mg). Kehilangan darah diterapi dengan
transfusi PRC. Pada kasus dengan DIC, maka fibrinogen 3-4 gram sebaiknya
diberikan secara intravena diikuti dengan infus heparin 2000 unit secara bolus ( dan
kemudian diberikan 500 unit tiap jam). Fresh Frozen Plasma (FFP) dan platelet juga
bisa digunakan tergantung dari jenis koagulasinya.
Drainase pembedahan dari cairan retroperitoneal pada kasus perforasi bisa
menurunkan morbiditas dan mortalitas secara signifikan. Arginin dapat diberikan
sebagai tambahan infus glisin untuk menurunkan efek toksik dari glisin pada jantung.
Mekanisme bagaimana arginin memproteksi jantung belum diketahui. Phenytoin
yang diberikan secara intravena (10-20 mg/kg) juga harus dipertimbangkan untuk
memperoleh aktivitas antikonvulsan. Intubasi endotrakeal secara umum disarankan
untuk mencegah aspirasi sampai status mental pasien menjadi normal. Jumlah dan
kadar salin hipertonik (3-5 %) diperlukan untuk mengkoreksi hiponatremia menjadi
batas / level yang aman, yang didasarkan konsentrasi serum sodium pasien. Solusi
salin hipertonis harus tidak diberikan dengan kecepatan tidak lebih dari 100 ml/jam
sehingga tidak menimbulkan eksaserbasi overload dari cairan sirkulasi. Hipotermi
dapat dihindari dengan meningkatkan suhu ruang operasi, penggunaan selimut hangat

25
dan menggunakan cairan irigasi dan intravena yang telah dihangatkan sampai suhu
370 C. Manajemen pasien yang mengalami koma harus meliputi oksigenasi, sirkulasi
yang memadai, penurunan tekanan intrakranial, penghentian kejang, terapi infeksi,
menjaga keseimbangan asam basa dan elektrolit dan suhu tubuh. Pemantauan yang
dilakukan glukosa, elektrolit (Na, K, Ca,. Cl, CO3, PO4), urea kreatinin, osmolaritas,
glisin, dan amonia. Pemeriksaan gas darah dapat melihat PH, PO2, PCO2, dan
karbonat. Perlu juga dilakukan EKG untuk memonitor fungsi kardiovaskular.

26
BAB IV
PEMBAHASAN

Tn. M usia 60 tahun dengan diagnosis preoperative retensi urin et causa BPH
dengan TURP. Proses anestesi, dibagi menjadi 3 tahapan. Tahapan pertama adalah
preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif.

1. Intraoperatif
Metode anestesi yang digunakan pada pasien adalah regional anestesi
subarachnoid. Teknik anestesi ini dipilih salah satunya dikarenaka kemungkinan
TURP sindrom yang dapat menurunkan kesadaran sehingga kesadaran pasien harus
selalu dipantau. Pasien diberikan injeksi bupivakain 15mg kemudian pasien
ditidurkan kemudian diberikan pemberian fentanyl 25mg yang berfungsi sebagai
analgesik tambahan. 15 menit setelah pemberian bupivakain diberikan ondansentron
untuk menangani gejala mual setelah operasi
Selama proses operasi dilakukan pemantauan untuk melihat tekanan darah,
denyut nadi, dan monitoring nyeri selama tindakan intraoperatif.

27
BAB V
KESIMPULAN

Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus vena


pada prostat dan memungkinkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi. Absorbsi dari
cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau lebih) menghasilkan konstelasi gejala
dan tanda yang disebut dengan sindrom TURP. Cairan yang tersering digunakan
sebagai cairan irigasi adalah air steril dan glisin yang bersifat hipotonik, namun pada
kasus ini cairan yang diginakan adalah cairan hipertonik NaCl 0.9%. Sindrom TURP
dipengaruhi beberapa hal diantaranya : terbukanya sinus prostat saat pembedahan,
tekanan irigasi, durasi operasi dan cairan irigasi yang bersifat hipotonik. Sindrom
TURP ini muncul intraoperatif maupun postoperatif dengan gejala sakit kepala,
kelelahan terus menerus, confusion, sianosis, dispnea, aritmia, hipotensi dan seizure.
Selain itu bisa berakibat lebih parah yaitu bisa bermanifestasi overload sirkulasi
cairan, toksisitas dari cairan yang digunakan sebagai cairan irigasi. Prinsip
penanganan sindrom TURP yang utama adalah pencegahan, restriksi cairan, diuretic
loop, serta terapi intensif untuk pasien yang mengalami koma.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Moorthy HK, Philip S. TURP Syndrome - Current Consept in Pathology and


Physiology. Indian J Urology 2001 17 : 97-102.
2. Imlak S, Weavind L, Dabaey, Wenker O. TURP Syndrome. The Internet
Journal of Anesthesiology 1999 vol. 3 NI. Published : January 1, 1999. Last
Update : Januari 1,1999.
3. Moore K, Agur A. Kelenjar Prostat. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta :
Hippokrates. 2002.
4. Purnomo B. Hiperplasia Prostat. Dasar-Dasar Urologi Edisi 2. Jakarta :
Sagung Seto.2007.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. McGraw-
Hill : New York. 2006.
6. Mutlu M, Titiz M. Hyponatremia and Neurological Manifestation of TURP
syndrome. The Internet Journal of Anesthesiology 2007. Vol : 12. No.1.
7. Hahn RG. Fluid Absobrtion in Endoscopy Surgery. British Journal of
Anesthesiology 2006. 96. pp 8-20.
8. Jensen V. TURP Syndrome. Can J Anesthesia. 2000. pp. 90-97
9. Guyton A. Hall J. Buku Ajar Fisiologi. Jakarta : ECG. 2001.
10. Bougar FS, Sue DY. Hipervolemia. Current Critical Care And Diagnosis and
Treatment. Appleton and Lange : USA. 1994
11. Gravenstein D. Transurethral Resection of the Prostate (TURP) Syndrome A
Review of Patofisiology and Management. Aneshesia analgesia.. 1997.
pp.438-446

29
30

Anda mungkin juga menyukai