Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

STRUMA

Oleh :

Wildan Baiti A (2014730099)

Pembimbing :

dr. Lukman Nurfauzi,Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEKARWANGI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2019
BAB II
PEMBAHASAN
IDENTITAS

Nama : Ny. N

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 49 tahun

Tgl. Lahir : 12 Januari 1963

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : sukabumi

1. ANAMNESIS
Keluhan Utama

Benjolan di leher depan kanan sejak 3,5 tahun yang lalu.

Keluhan Tambahan

Tidak ada keluhan tambahan.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien wanita, berusia 49 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan adanya
benjolan yang muncul di leher depan sisi kanan sejak 3,5 tahun yang lalu.
Awalnya benjolan dirasakan sebesar kelereng, tapi seiring berjalannya waktu,
benjolan semakin membesar hingga berukuran kurang lebih sebesar telur ayam
kampung. Pasien tidak merasakan adanya nyeri di daerah leher. Tidak ada
keluhan gangguan bernapas atau gangguan menelan. Pasien tidak ada
mengeluhkan sering berkeringat pada kedua tangannya, nafsu makan normal,
dan tidak ada penurunan berat badan. Tidak ada keluhan demam, cepat haus,
gangguan buang air besar, gangguan siklus menstruasi, rasa berdebar-debar,
cepat lelah, rasa cemas dan sulit tidur. Pasien mengaku selalu menggunakan
garam beryodium dirumahnya. Pasien mengaku tidak pernah tinggal didaerah

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 2


yang penduduknya banyak menderita penyakit gondok. Sebelumnya pasien
belum pernah berobat atau mengonsumsi obat apapun.

Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi : Disangkal

Asma : Disangkal

Diabetes mellitus : Disangkal

Alergi : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarganya yang mengalami hal yang
serupa dengan pasien.

2. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum/Kesadaran : Tampak tidak sakit/compos mentis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : Afebris
Kepala : Normocephale, rambut hitam dengan distribusi
yang merata dan tidak mudah dicabut.
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
eksophtalmus -/-
Telinga : Bentuk normal, liang lapang, serumen (-), sekret
(-).
Hidung : Bentuk normal, sekret -/-, deviasi septum (-),
edema konka -/-
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, T1-T2 tenang.
Mulut : Bentuk normal, sianosis (-).

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 3


Leher : Lihat status lokalis
Thoraks
Cor : Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas kanan jantung pada sela iga IV linea
parasternalis dekstra. Batas kiri jantung pada sela
iga V linea midklavikularis sinistra. Batas atas
jantung pada sela iga II linea parasternalis sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler murni, gallop (-),
murmur (-)
Pulmo : Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus kanan dan kiri sama, nyeri tekan (-),
krepitasi (-), massa (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru depan dan belakang
Auskultasi :Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : Inspeksi :Datar, benjolan (-)
Auskultasi :Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans
muskuler (-), massa (-), hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas ¿ ¿, edema −¿− ¿


: Akral hangat +¿+ +¿+ −¿−¿ ¿ ,
¿
¿¿
¿
tremor −¿−−¿−¿ ¿
¿

Status Lokalis
Regio : Colli anterior
Inspeksi : Tampak benjolan di leher sisi kanan, berbatas
tegas, berukuran + 2 x 2 cm x 1 cm. Warna kulit
pada benjolan sama dengan warna kulit sekitar.
Benjolan ikut bergerak ke atas pada saat menelan.

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 4


Palpasi : Benjolan teraba kenyal, mobile (mudah
digerakkan). Nyeri tekan (-). Trakea berada di
tengah. Pembesaran KGB (-).

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 5


Hematologi
Darah rutin
Hemoglobin 13 12 - 16 g/dl
Hematokrit 41 37 - 47%
Eritrosit 4,5 4,3 - 6,0 juta/ul
Leukosit 4800 4800 - 10800/ul
Trombosit 229.000 150.000 - 400.000/ul
Bleeding time 2’00” 1 - 3 menit
Clotting time 5’00” 1 - 6 menit
MCV 91 80 - 96 fl
MCH 30 27 - 32 pg
MCHC 33 32 - 36 g/dl

Kimia
SGPT (ALT) 14 <40 U/l
SGOT (AST) 23 <35 U/l
Ureum 19 20 - 50 mg/dl
Kreatinin 1,0 0,5 - 1,5 mg/d

Pemeriksaan Radiologi
Foto Roentgen thorax : Sinus, diafragma, dan cor normal
Kedua hilus normal
Tak tampak proses spesifik aktif di kedua paru
Tak tampak infiltrasi di paru-paru
Kesan: Cor/pulmo normal

Pemeriksaan Sidik Tiroid


Pemeriksaan tiroid dilaksanakan dengan menggunakan radiofarmaka Tc99m per
technetate untuk angka penangkapan tiroid (uptake) dan sidik tiroid, serta
pemeriksaan in vitro menggunakan I125 untuk T3, T4, dan TSH (RIA).

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 6


In vitro : T3 RIA : 91,6 ng/dl (N: 65 - 214,5
ng/dl)
fT4 RIA : 1,52 ug/dl (N: 0,8 - 1,7 ug/dl)
TSH RIA : 1.59 uIU/ml (N: 0,27 - 3,75
uIU/ml)
Sintigram : Dari pencitraan, tampak kedua lobus membesar dengan
lobus kanan menangkap radioaktivitas tidak rata. Nodul
di bagian tengah lobus kanan menangkap radioaktivitas
kurang.

Kesan : Struma nodosa (nodul dingin) non-toksik

4. Resume
Pasien wanita, 49 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan adanya
benjolan yang muncul di leher depan kanan sejak 3,5 tahun yang lalu. Tidak
ada nyeri tekan di daerah leher. Tidak ada keluhan gangguan bernapas atau
gangguan menelan. Pasien tidak ada mengeluhkan sering berkeringat pada
kedua tangannya, nafsu makan normal, dan tidak ada penurunan berat badan.
Tidak ada keluhan demam, cepat haus, gangguan nafsu makan, gangguan
buang air besar, gangguan siklus menstruasi, rasa berdebar-debar, cepat lelah,
rasa cemas dan sulit tidur.
Pemeriksaan fisik
Status generalis : Tidak ditemukan kelainan
Status lokalis : Regio colli anterior
Inspeksi : Tampak benjolan di leher sisi kanan, berbatas tegas,
berukuran + 3 x 3 cm x 2 cm. Warna kulit pada benjolan
sama dengan warna kulit sekitar. Benjolan ikut bergerak ke
atas pada saat menelan.
Palpasi :Benjolan teraba kenyal, mobile (mudah digerakkan). Nyeri
tekan (-). Trakea berada di tengah. Pembesaran KGB (-).
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan sidik tiroid

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 7


Sintigram : Dari pencitraan, tampak kedua lobus membesar dengan lobus
kanan menangkap radioaktivitas tidak rata. Nodul di bagian
tengah kanan menangkap radioaktivitas kurang
Kesan : Struma nodosa (nodul dingin) non-toksik

5. Diagnosis Kerja
Struma nodosa non-toksik (SNNT)

6. Diagnosis Banding
Karsinoma tiroid
Tiroiditis
Grave’s disease

7. Penatalaksanaan
Isthmus lobektomi

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI TIROID


Anatomi Tiroid

Kelenjar tiroid terletak di region leher antara fasia koli media dan fasia
prevertebralis bersama dengan trakea, esophagus, A. karotis komunis, V.

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 8


jugularis interna, dan N. vagus. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fasia
pretrakealis, melingkari trakea. Keempat kelenjar paratiroid umumnya
terletak pada permukaan belakang kelenjar tiroid. N. rekurens laryngeal
terletak di dorsal tiroid. Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari A. karotis
superior, A. tiroidea inferior, A. karotis eksterna. Sistem vena terdiri dari V.
tiroidea superior, V. tiroidea media, V. tiroidea inferior. Innervasi oleh N.
rekurens dan cabang N. laringeus superior.

Fisiologi Kelenjar Tiroid


Mekanisme pembentukkan hormon tiroid dijelaskan pada gambar berikut:

Pembentukkan hormon tiroid terjadi pada sel folikuler dari kelenjar tiroid.
Sel folikuler ini sendiri membentuk suatu folikel tiroid yang berisi koloid.
Dalam sel folikuler tiroid ini terdapat protein tiroglobulin sebagai media
pembentukkan hormone tiroid. Iodine sebagai bahan dasar hormon tiroid
diserap oleh sel folikuler kelenjar tiroid secara aktif. Iodine ini masuk ke
dalam koloid dari folikel dan diubah menjadi bentuk organik oleh enzim
tiroid peroksidase.
Selanjutnya tiroglobulin bila berikatan dengan dua molekul iodine akan
menjadi DIT (Diiodinated Thyrosine) dan jika hanya dengan satu molekul
iodine akan menjadi MIT (Monoiodinated Thyrosine). DIT dan MIT ini akan
saling berikatan (coupling) membentuk T4 dan T3. Jika ada sinyal
rangsangan bagi kelenjar tiroid untuk mengeluarkan hormon maka
tiroglobulin beserta T4 dan T3 akan berpindah ke sel folikuler. T4 dan T3
akan lepas dan berpindah ke sirkulasi. T4 dan T3 dapat bersirkulasi dalam

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 9


bentuk bebas ataupun terikat pada protein plasma yaitu thyroxine-binding
globulin (TBG). Hormon yang aktif ialah bentuk hormon bebas. T4 (tiroksin)
diproduksi lebih banyak dibandingkan dengan T3, namun T3 adalah bentuk
yang lebih aktif dari T4. Oleh karena itu T4 akan diubah menjadi T3 pada
jaringan target.
Regulasi hormon tiroid diatur oleh hipotalamus melalui thyrotropin-
releasing hormone (TRH) yang akan merangsang pituitari anterior untuk
mensekresi thyroid-stimulating hormone (TSH). TSH akan merangsang
kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon. Hormon tiroid yang terbentuk
akan berperan sebagai feedback negatif terhadap hipotalamus dan hipofisis
untuk mencegah oversekresi.

Hormon tiroid berperan dalam proses pertumbuhan dan


metabolisme tubuh. Hormon tiroid adalah substrat untuk metabolisme
oksidatif sehingga bersifat termogenik. Hormon ini juga dapat memodulasi
dan meningkatkan kerja reseptor beta adrenergic dan berperan dalam
metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak.

2.2. Struma
Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya
dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal.
Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 10


sekali dan mengadakan penekanan pada trakea, membuat dilatasi sistem vena
serta pembentukan vena kolateral.
Morfologi dari pembesaran kelenjar tiroid ada berbagai macam. Struma
difus adalah pembesaran yang merata dengan konsistensi lunak pada seluruh
kelenjar tiroid. Struma nodusa adalah jika pembesaran tiroid terjadi akibat
nodul, apabila nodulnya satu maka disebut uninodusa, apabila lebih dari satu,
baik terletak pada satu atau kedua sisi lobus, maka disebut multinodusa.
Ditinjau dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi
hormon tiroksin :

1. Hipertiroid, sering juga disebut sebagai toksika bila produksi hormon


tiroksin berlebihan.
2. Eutiroid, bila produksi hormon tiroksin dalam batas normal
3. Hipotiroid, bila produksi hormon tiroksin kurang dari normal.
Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek
fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi. Struma dapat dibagi
menjadi :
1. Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan
gejala klinis pada tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi
lagi menjadi:
a. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh
lobus,seperti yang ditemukan pada Grave’s disease.
b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah
satu lobus, seperti yang ditemukan pada Plummer’s disease.
2. Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak
menimbulkan gejala klinis pada tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya
dapat dibagi lagi menjadi
a. Diffusa, seperti yang ditemukan pada
endemik goiter
b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada
keganasan tiroid
Pada struma yang tanpa ada tanda-tanda hipertiroid, disebut struma non
toksika. Dari aspek histopatologi kelenjar tiroid, maka timbulnya struma bisa

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 11


kita jumpai akibat proses hiperplasia, peradangan atau inflamasi, neoplasma
jinak dan neoplasma ganas.
Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh:
1. Hiperplasi dan hipertrofi dari kelenjar tiroid
Setiap organ apabila dipacu untuk bekerja lebih berat maka akan
berkompensasi dengan jalan hipertrofi dan hiperplasi. Demikian pula
dengan kelenjar tiroid pada saat masa pertumbuhan atau pada kondisi
memerlukan hormon tiroksin lebih banyak, misal saat pubertas,
kehamilan.
2. Inflamasi atau infeksi kelenjar tiroid
a. Tiroiditis akut
b. Tiroiditis sub-akut (de Quervain)
c. Tiroiditis kronis (Hashimoto’s disease dan struma Riedel)
3. Neoplasma
a. Neoplasma jinak (adenoma)
b. Neoplasma ganas (adenocarcinoma) : papiliferum,folikularis,
anaplastik
Adapun klasifikasi klinisnya adalah sebagai berikut:
Grade 0 : tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya normal
Grade IA : teraba struma, tapi tak terlihat
Grade IB : teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi kepala
menengadah
Grade II : struma dapat dilihat dalam posisi biasa
Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak 6
meter
Grade IV : struma yang amat besar
Struma menimbulkan gejala klinis dikarenakan oleh perubahan kadar
hormon tiroid di dalam darah. Kelenjar tiroid dapat menghasilkan hormon
tiroid dalam kadar berlebih atau biasa disebut hipertiroid maupun dalam
kadar kurang dari normal atau biasa disebut hipotiroid. Gejala yang timbul
pada hipertiroid adalah :
 Peningkatan nafsu makan dan penurunan berat badan

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 12


 Tidak tahan panas dan hyperhidrosis
 Palpitasi, sistolik yang tinggi dan diastolik yang rendah sehingga
menghasilkan tekanan nadi yang tinggi (pulsus celler) dan dalam
jangka panjang dapat menjadi fibrilasi atrium
 Tremor
 Diare
 Infertilitas, amenorrhae pada wanita dan atrofi testis pada pria
 Exophtalmus
Gejala yang timbul pada hipotiroid adalah kebalikan dari hipertiroid :
 Nafsu makan menurun dan berat badan bertambah
 Tidak tahan dingin dan kulit kering bersisik
 Bradikardi, tekanan sistolik yang rendah dan tekanan nadi yang
lemah
 Gerak tubuh menjadi lamban dan edema pada wajah, kelopak mata
dan tungkai

A. Struma Difusa Toksik


- Definisi
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Grave’s Disease.
Penyakit ini juga biasa disebut Basedow. Trias Basedow meliputi
pembesaran kelenjar tiroid difus, hipertiroidi dan eksoftalmus.
Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda dengan gejala
seperti berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi
terhafap panas, penurunan berat badan, ketidakstabilan emosi,
gangguan menstruasi berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering
buang air besar ). Klinis sering ditemukan adanya pembesaran
kelenjar tiroid, kadang terdapat juga manifestasi pada mata berupa
exophthalmus dan miopatia ekstrabulbi. Walaupun etiologi penyakit
Graves tidak diketahui pasti, tampaknya terdapat peran dari suatu
antibodi yang dapat ditangkap reseptor TSH, yang menimbulkan
stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid. Penyakit ini juga

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 13


ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar
tiroid.

- Patofisiologi
Grave’s Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
kelainan sistem imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang
disebut sebagai Thyroid Receptor Antibodies. Zat ini menempati
reseptor TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara berlebiham,
sehingga TSH tidak dapat menempati reseptornya dan kadar hormone
tiroid dalam tubuh menjadi meningkat.
- Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan
metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara
klinis terlihat jelas. Peningkatan metabolisme menyebabkan
peningkatan kebutuhan kalori, dan seringkali asupan ( intake) kalori
tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi penurunan berat badan
secara drastis. Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler
terlihat dalam bentuk peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 14


peningkatan curah jantung/ cardiac output sampai dua-tiga kali
normal, dan juga dalam keadaan istirahat. Irama nadi meningkat dan
tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus celer; penderita
akan mengalami takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard, dan
rangsangan saraf autonom dapat mengakibatkan kekacauan irama
jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan fibrilasi ventrikel.
Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga
sering timbul polidefekasi dan diare. Hipermetabolisme susunan saraf
biasanya menyebabkan tremor, penderita sulit tidur, sering terbangun
di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi,
kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan
yang sangat menggangu.
Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan
takipnea yang tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama
otot-otot bagian proksimal, biasanya cukup mengganggu dan sering
muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan elektrolit
yang dipicu oleh adanya hipertiroidi tersebut. Gangguan menstruasi
dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia. Kelainan mata
disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap
reseptor pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata.
Jaringan ikat dan jaringan lemaknya menjadi hiperplastik sehingga
bola mata terdorong ke luar dan otot mata terjepit. Akibatnya terjadi
eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata akibat
keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.

- Tatalaksana
Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan
tirotoksisitas/hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-
tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara
pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium
radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan
hipertiroidi dilakukan terutama jika pengobatan dengan

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 15


medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang
baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun
kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

B. Struma Nodosa Toksik


- Definisi
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah
satu lobus yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran
noduler terjadi pada usia dewasa muda sebagai suatu struma yang
nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik.
Pertama kali dibedakan dari penyakit Grave’s oleh Plummer, maka
disebut juga Plummer’s disease.
- Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada
kelenjar tiroid yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas,
namun jika tidak segera diobati, dalam 15-20 tahun dapat
menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan dari nontoksik menjadi toksik antara lain adalah nodul
tersebut berubah menjadi otonom sendiri (berhubungan dengan
penyakit autoimun), pemberian hormon tiroid dari luar, pemberian
yodium radioaktif sebagai pengobatan.
- Gejala Klinis
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Grave’s disease
dengan Plummer’s disease karena sama-sama menunjukan gejala-
gejala hipertiroid. Yang membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di
mana pada saat palpasi kita dapat merasakan pembesaran yang hanya
terjadi pada salah satu lobus.
- Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummer’s Disease juga sama dengan
Grave’s yaitu ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/
hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil (PTU)
atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 16


tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau
tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi
dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal
dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya
memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai
terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.

C. Struma Difusa Nontoksik


- Definisi
Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan
pembesaran kelenjar tiroid yang terjadi pada suatu populasi, dan
diperkirakan berhubungan dengan defisiensi diet dalam harian.
Epidemologi Endemik goiter diperkirakan terdapat kurang lebih
5% pada populasi anak sekolah dasar/preadolescent (6-12 tahun),
seperti terbukti dari beberapa penelitian. Goiter endemik terjadi
karena defisiensi yodium dalam diet. Kejadian goiter endemik
sering terjadi di derah pegunungan, seperti di himalaya, alpens,
daerah dengan ketersediaan yodium alam dan cakupan pemberian
yodium tambahan belum terlaksana dengan baik.
- Patofisiologi
Umumnya, mekanisme terjadinya goiter disebabkan oleh adanya
defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat
disebabkan oleh kelainan sintesis hormon tiroid kongenital
ataupun goitrogen (agen penyebab goiter seperti intake kalsium
berlebihan maupun sayuran familiBrassica). Kurangnya iodin
menyebabkan kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis. Hal
ini akan memicu peningkatan pelepasan TSH (thyroid-stimulating
hormone) ke dalam darah sebagai efek kompensatoriknya. Efek
tersebut menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperplasi dari sel
folikuler tiroid, sehingga terjadi pembesaran tiroid secara
makroskopik. Pembesaran ini dapat menormalkan kerja tubuh,
oleh karena pada efek kompensatorik tersebut kebutuhan hormon

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 17


tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada beberapa kasus, seperti
defisiensi iodin endemik, pembesaran ini tidak akan dapat
mengompensasi penyakit yang ada. Kondisi itulah yang dikenal
dengan goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid mengikuti
level dan durasi defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada
seseorang.
Goiter Difus
Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran
yang tampak tanpa membentuk nodul. Benttuk ini biasa ditemukan dengan
sifat non-toksik (fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini disebut
juga goiter simpel. Dapat juga disebut sebagai goiter koloid karena sel
folikel yang membesar tesebut umumnya dipenuhi oleh koloid. Kelainan
ini muncul pada goiter endemik dan sporadik. Goiter endemik muncul di
tempat yang tanah, air, maupun suplai makanannya mengandung sedikit
iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin secara meluas di daerah teresebut.
Contoh daerahnya adalah daerah pegunungan Alps, Andes atau Himalaya.
Sementara itu, goiter sporadik muncul lebih jarang dan dapat disebabkan
oleh berbagai hal, yaitu konsumsi bahan yang menghambat sintesis
hormon tiroid atau gangguan enzim untuk sintesis hormon tiroid yang
turun secara herediter. Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya,
yaitu hiperplastik dan involusi koloid. Pada fase hiperplastik, kelenjar
tiroid membesar secara difus dan simetris, walaupun pembesarannya tidak
terlalu besar (hingga 100-150 gram). Folikel-folikelnya dilapisi oleh sel
kolumner yang banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini tidak sama di
keseluruhan kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan atau
kebutuhan tubuh akan hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel
folikel sehingga terbentuk folikel yang besar dan dipenuhi oleh koloid.
Biasanya secara makroskopik tiroid akan terlihat coklat dan translusen,
sementara secara histologis akan terlihat bahwa folikel dipenuhi oleh
koloid serta sel epitelnya gepeng dan kuboid.
- Gejala Klinis

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 18


Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran
kelenjar tiroid. Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan
eutiroid, namun sebagian lagi mengalami keadaaan hipotiroid.
Hipotiroidisme lebih sering terjadi pada anak-anak dengan defek
biosintetik sebagai penyebabnya, termasuk defek pada transfer yodium.
- Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan struma
dan mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan pemberian
SoL Lugoli selama 4-6 bulan. Bila ada perbaikan, pengobatan dilanjutkan
sampai tahun dan kemudian tapering off dalam 4 minggu. Bila 6 bulan
sesudah pengobatan struma tidak juga mengecil maka pengobatan
medikamentosa tidak berhasil dan harus dilakukan tindakan operatif.

D. Struma Nodosa Nontoksik


- Definisi
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang
secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-
tanda hypertiroidisme. Istilah struma nodosa menunjukkan
adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang
menyebabkan pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena
tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada tubuh, maka pembesaran
asimetris ini disebut sebagai struma nodosa nontoksik. Kelainan
ini sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai
tanda-tanda keganasan yang mungkin ada.
- Patofisiologi
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter
endemis terjadi 10% populasi di daerah dengan defisiensi
yodium, maka goiter sporadis terjadi pada seseorang yang tidak

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 19


tinggal di daerah endemik beryodium rendah. Penyebabnya
sampai sekarang belum diketahui dengan jelas, bisa terdapat
gangguan enzim yang penting dalam sintesis hormon tiroid atau
konsumsi obat-obatan yang mengandung litium, propiltiourasil,
fenilbutazone, atau aminoglutatimid.
- Gejala Klinis
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami
keluhan karena tidak ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting
pada diagnosis SNNT adalah tidak adanya gejala toksik yang
disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada palpasi
dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu
lobus. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena
pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar
tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita
dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa
keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu
pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat
menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral.
Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan
sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian
mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan.
Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan
sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar.
Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan
trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa
berat karena terfiksasi pada trakea.
- Tatalaksana
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT.
Macam-macam teknik operasinya antara lain
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus,
bila subtotal maka kelenjar disisakan seberat 3 gram.

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 20


b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah
satu lobus diikuti oleh isthmus.
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan
seluruh kelenjar tiroid
d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu
pengangkatan sebagian lobus kanan dan sebagian kiri, sisa
jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk
mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N.
Rekurens Laryngeus

E. Penegakkan diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis yang rinci, pemeriksaan fisik yang seksama sering sudah cukup
mendukung dalam menegakkan diagnosis kerja yang tajam untuk penderita
struma. Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa
benjolan di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid
atau hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus
digali lebih jauh apakah pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai
dengan gangguan menelan, gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu
baru ditanyakan ada tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjar
tiroid. Perlu juga ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk
mengetahui apakah ada kecendrungan ke arah struma endemik. Sebaliknya jika
pasien datang dengan keluhan ke arah gejala-gejala hiper maupun hipofungsi dari
tiroid, harus digali lebih jauh ke arah hiper atau hipo dan ada tidaknya benjolan di
leher. Selain hal-hal yang mendukung terjadinya struma akibat peradangan atau
hiperplasi dan hipertrofi, maka perlu juga ditanyakan hal-hal yang diduga ada
kaitannya dengan keganasan pada kelenjar tiroid, terutama pada struma uninodusa
nontoksika antara lain:
1. Umur < 20 tahun atau > 50 tahun
2. Riwayat terpapar radiasi leher waktu kanak-kanak
3. Pembesaran kelenjar tiroid yang cepat
4. Disertai suara parau

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 21


5. Disertai disfagia
6. Disertai nyeri
7. Riwayat keluarga yang menderita kanker
8. Penderita struma hiperplasi, diterapi dengan hormone tiroksin tetap
membesar
9. Disertai sesak nafas

Gambar 5. Pasien penderita struma multinodusa


Pada anamnesis dan pemerikasaan fisik untuk mengetahui adanya gangguan
fungsi pada penderita struma, maka harus ditanyakan dan diperikasa hal-hal yang
mendukung adanya hipertiroid, antara lain:
1. Berat badan turun, makannya banyak akan tetapi badan tetap kurus
(Paradoxa Muller)
2. Kulit basah (hiperhidrosis), telapak tangan terasa hangat/panas/lembab dan
kulit telapak tangan terasa halus akibat hipermetabolisme dan hiperhidrosis
pada kelenjar keringat. Penderita tidak tahan terhadap hawa panas lebih
tahan terhadap hawa dingin.
3. Takikardia, bila tidur nadinya tetap cepat, waspada ancaman atrial fibrilasi
4. Tremor, gejala ini hamper selalu ada. Suruh penderita meluruskan lengannya
ke depan dan merentangkan jari-jarinya, sambil memejamkan mata,
diletakkan sehelai kertas diatas jari-jarinya, maka akan terlihat ada atau
tidak tremor
5. Eksoptalmus, hampir 50% penderita, bisa bilateral atau unilateral.
Patofisiologi belum jelas. Diduga akibat penambahan lemak dan infiltrasi
limfosit retrobulbar

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 22


a. Eksoptalmus ringan: melebarnya fisura palpebra superior
(Steilwag’s sign) akibat retraksi otot palpebra superior. Apabila
penderita kita suruh mengikuti gerakan tangan ke atas dan ke bawah
dengan agak cepat tampak palpebra superior ketinggalan gerak.
b. Eksoptalmus sedang: bila penderita menundukkan kepala
kemudian kita suruh melirik ke atas, maka kerutan di dahi akan tampak
sedikit sekali, bahkan tidak ada (Joffroy’s sign)
c. Eksoptalmus berat: lemak retrobulber sudah menumpuk,
ditambah edema retrobulber, sehingga dijumpai gejala kongestif
itraorbital. Optamoplegia, kelemahan otot mata akibat protusi bola
mata, sehingga bisa strabismus atau diplopia. Pada fase lanjut geraka
konvergensi bola mata terganggu (Mobius’s sign)
6. Gelisah, hipermetabolisme system saraf membuat niali ambang saraf
menurun, sehingga penderita menjadi iritabel, timbul tremor halus, depresi
7. Diare, hipereristaltik pada sitem pencernaan, mengakibatkan absorbsi
tidak sempurna, dengan gejala akibatnya antara lain kekurangan vitamin dan
mineral
8. Thyroid thrill, hipervaskular pada tiroid
9. Gangguan keseimbangan hormonal lain, gangguan pola menstruasi
10. Kelainan kulit, karena hipermetabolisme kulit, maka kulit hangat dan
halus (fine texture) dan karena vasodilatasi, bila digores akan membekas
(dermografi).
11. Basal Metabolisme Rate (BMR). Pengukuran mengguanakan
Spirometri (Oxygen consumption rate) atau secara klinis kita bisa mengukur
dengan rumus empiris: % BMR = 0,75 {0,74(s-d)+n}-72 s = sistole, d =
diatole, n = nadi tensi dan nadi diukur pada keadaan basal harga normal
(-)10% sampai (+)10%
Biasanya penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipo atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan
berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi
jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 23


berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan
di leher.
Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan
strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak
mengganggu pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat
menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. Struma
nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah
kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan
gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan
pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar.
Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik
untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi
pada trakea.
Pemeriksaan fisik pada pasien struma dilakukan secara sistematis (urut dari
atas ke bawah), simetris (bandingkan kanan dan kiri), simultan (kanan dan
kiri bersamaan). Secara rutin harus dievaluasi juga keadaan kelenjar getah
bening lehernya, adakah pembesaran, dianjurkan penderita membuka
bajunya.
Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala penderita
sedikit fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi, dengan
demikan tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua
tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di tengkuk penderita sedang
keempat jari yang lain dari arah lateral mengeveluasi tiroid serta mencari
pole bawah kelenjar tiroid sewaktu penderita disuruh menelan.
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal, maka tidak dapat diraba
trakea dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai
bentukan yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan. Biasanya
struma masih bisa digerakkan ke arah lateral dan susah digerakkan ke arah
vertikal. Struma menjadi terfiksir apabila sangat besar, keganasan yang
sudah menembus kapsul, tiroiditis dan sudah ada jaringan fibrosis setelah
operasi. Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu lobus (misalnya
lobus kiri penderita), maka dilakukan dengan jari tangan kiri diletakkan di

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 24


medial di bawah kartilago tiroid, lalu dorong benjolan tersebut ke kanan.
Kemudian ibujari tangan kanan diletakkan di permukaan anterior benjolan.
Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus
sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut.
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan:
1. lokasi: lobus kanan, lobus kiri, ismus
2. ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
3. jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
4. konsistensi: kistik, lunak, kenyal, keras
5. nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
6. mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoideus
7. pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak

Pemeriksaan Penunjang
Pemerikasaan penunjang yang digunakan dalam diagnosis penyakit tiroid
terbagi atas:
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi tiroid: Pemerikasaan
hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay
(RIA) dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau
plasma darah. Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita
penyakit tiroid, kadar normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-
120 ng/dL; T3 sangat membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal pada
orang dewasa antara 1,0-2,6 nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat
membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer di mana basal TSH
meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang meningkat sampai 3 kali normal.
2. Pemeriksaan laboratorium untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid:
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum
penderita dengan penyakit tiroid autoimun.
- antibodi tiroglobulin
- antibodi mikrosomal
- antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 25


- antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
- thyroid stimulating hormone antibody (TSA)
3. Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya
deviasi trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya
secara klinis pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan
Lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan dengan
intubasi anastesinya. Bahkan tidak jarang untuk konfirmasi diagnostik
tersebut sampai memerlukan CT-scan leher.
4. USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
 menentukan jumlah nodul
 membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
 mengukur volume dari nodul tiroid
 mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
 Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah
 Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
5. Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji tangkap tiroid, yaitu
dengan prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap
radioaktivitas yang lebih tinggi. Metabolisme hormon tiroid sangat erat
hubungannya dengan yodium, sehingga dengan yodium yang dimuati
bahan radioaktif kita bisa mengamati aktivitas kelenjar tiroid maupun
bentuk lesinya.
6. Pemeriksaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle
aspiration biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar
jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB
saja.
7. Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi
diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu
keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC
dilakukan pemeriksaan patologi anatomis untuk memastikan proses ganas
atau jinak serta mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid
dengan parafin block.

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 26


Diagnosis
Dalam membuat diagnosis kerja pada penderita struma, maka hendaknya
bisa menyampaikan kondisi struma tersebut dari aspek morfologi, aspek fungsi,
dan kalau memang memungkinkan aspek histopatologinya. Dalam melakukan
diagnosis untuk penderita struma, usahakan untuk bisa mencantumkan diagnosis
mencakup ketiga aspek tersebut.
Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang.
Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinoduler pada saat dewasa. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita
berusia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia
sampai bentuk involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh
tiroksin. Sekitar 5 % dari struma nodosa mengalami keganasan. Tanda keganasan
ialah setiap perubahan bentuk, perdarahan lokal dan tanda penyusupan di kulit, n.
rekurens, trakea atau esofagus.
Penatalaksanaan
Pilihan terapi nodul tiroid:
a. Terapi supresi dengan hormon levotirosin
b. Pembedahan
c. Iodium radioaktif

A. Terapi Supresi dengan Hormon Levothyroxine


Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH (<0.1
µIU/mL) masih dalam kontroversi. Tujuannya adalah untuk mengecilkan
nodul tiroid dan mencegah kembali munculnya nodul baru atau pertumbuhan
kecil massa yang serupa dengan nodul awal.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa pengecilan nodul tiroid lebih sering
terjadi pada penderita dengan kombinasi terapi long-term-TSH di banding
dengan penderita yang tanpa kombinasi TSH. Lebih dari 50% kasus nodul
dapat mengecil, tetapi jika hanya dengan terapi Levothyroxine (LT4) saja
maka persentase keberhasilannya hanya 20%.

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 27


Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu jam
sebelum makan (kondisi lambung kosong) agar absorbsinya maksimal.
Disarankan agar minum tablet Levothyroxine (LT4) dengan menggunan
segelas air agar tablet lebih mudah larut dan mudah terserap. Jangan
mengkonsumsi tablet calcium, iron supplements, dan antasida karena akan
menghambat absorbsi obat Levothyroxine (LT4). Dosis maksimum yang
diberikan adalah 400 microgram per hari.
Saat ini, pengobatan Levothyroxine (LT4) secara rutin pada penderita
dengan nodule tiroid tidak direkomendasikan. Pengunaan Levothyroxine
(LT4) harus dihindari pada penderita: (1) dengan nodule yang besar (large
nodule), (2) pada kasus long-standing goiter, (3) jika level TSH <1 µIU/mL,
(4) wanita post-menopause, (5) penderita usia lebih dari 60 tahun, (6)
penderita dengan osteoporosis, (7) penderita dengan penyakit kardiovaskuler,
dan (8) penderita dengan systemic illness.
Berikut ini adalah hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan terhadap
penggunaan Levothyroxine (LT4), antara lain: Pengobatan dengan
Levothyroxine (LT4) hanya menunjukkan hasil klinis yang signifikan pada
minoritas jumlah penderita dan variasi respons-nya belum diketahui dengan
baik. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) hendaknya tidak boleh terlalu
suppressive karena akan menimbulkan adverse effect. Jika nodul tiroid tidak
mengecil dengan pemberian Levothyroxine (LT4), tindakan reaspiration harus
segera dilakukan. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) tidaklah berguna
untuk tindakan pencegahan recurrent goiter pasca tindakan lobectomy.

B. Pembedahan
Operasi tiroid (tiroidektomi) merupaka operasi bersih dan tergolong
operasi besar. Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung
patologiya serta ada tidaknya penyebaran dari karsinomanya. Ada 6
macam operasi, yaitu:
1. Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang
mengandung jaringan patologis

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 28


2. Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi); pengangkatan
satu sisi lobus tiroid
3. Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang
mengandung jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid
4. Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang
patologis berikut sebagian besar lobus kontralateralnya.
5. Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
6. Operasi yang sifatnya ”extended”:
a. Tiroidektomi total + laringektomi total
b. Tiroidektomi total + reseksi trakea
c. Tiroidektomi total + sternotomi
d. Tiroidektomi total + FND atau RND
Indikasi operasi pada struma adalah:
A. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
B. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
C. Struma dengan gangguan tekanan
D. Kosmetik.

Kontraindikasi operasi pada struma:


a. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
b. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang lain
yang belum terkontrol
c. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit
digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian
biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek prognosanya. Perlekatan
pada trakea ataupun laring dapat sekaligus dilakukan reseksi trakea atau
laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas
sulit dilakukan eksisi yang baik.
d. Struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya
karena metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah
dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan mortalitas
yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 29


C. Terapi dengan Iodium Radioaktif (Radioiodine 131)
Pengobatan dengan radioiodine 131 diindikasikan untuk: (1) small
goiter (volume <100 mL), (2) tanpa ada kecurigaan malignancy, (3)
penderita dengan riwayat operasi sebelumnya, (4) penderita dengan resiko
tindakan bedah.
Jika penderita mempunyai lesi nodul yang besar maka ia akan
membutuhkan radioiodine dalam jumlah banyak dan hal ini dapat
menyebabkan terjadinya efek resisten terhadap terapi. Satu satunya kontra
indikasi prosedur ini adalah kehamilan dan laktasi, yang bisa dideteksi
segera dengan tes kehamilan pada penderita.
Terapi dengan radioiodine berhasil pada 85% - 100% penderita
tiroid nodul. Masa nodul dapat mengecil sebesar 35% setelah tiga bulan,
bahkan mengecil sampai 45% setelah 24 bulan terapi). Pengobatan ini
efektif dan aman, meskipun penelitian lain melaporkan bahwa pengunaan
dosis tinggi dapat menyebabkan thyroid cancer, leukemia; namun
demikian, studi epidemiologi tidak menunjukkan efek klinis yang
signifikan terhadap timbulnya carcinoma dan leukemia.
Penggunaan high-iodine-content-drugs (misalnya: amiodarone)
hendaknya dihindari sebelum melakukan prosedur terapi dengan
radioiodine, agar tidak mempengaruhi thyroid radioiodine uptake. Jika
mungkin, obat anti-tiroid hendaknya distop tiga minggu sebelum prosedur
pengobatan, dan tidak boleh diberikan selama 3-5 hari pasca prosedur
terapi dengan radioiodine, untuk mencegah menurunnya efektifitas terapi.
Jumlah radioiodine yang dipergunakan secara fixed adalah 300 – 1800
MBq, dosis ini tanpa mempertimbangkan ukuran nodul. Sehinga prosedur
ini simple, murah, dan hasilnya memuaskan. Prosedur ini dibilang berhasil
jika nilai TSH mecapai 0,5 µIU/mL. Jika kondisi ini belum tercapai, maka
terapi dapat diulang setelah 3 sampai 6 bulan.

Komplikasi

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 30


Pada tindakan operasi tiroidektomi, bisa dijumpai komplikasi awal dan lanjut.
Disamping itu ada pula yang membagi komplikasi yang terjadi dalam metabolik
dan non metabolik. Komplikasi awal antara lain:
a. perdarahan
b. paralise n. laringeus rekuren, paralise n. rekuren superior
c. trakeomalasia
d. infeksi
e. tetani hipokalsemia
f. krisis tiroid (thyroid storm)
Sedangkan komplikasi lanjut berupa:
a. keloid;
b. hipotiroiditi;
c. hipertiroiditi yang kambuh

Diagnosis Banding
a. Colloid goiter
b. Tiroiditis penyakit autoimun misal Tiroiditis Hashimoto
c. Dishormogenetik Goiter defisiensi enzim kongenital
d. Struma Reidel idiopatik
e. Neoplasma

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 31


BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat
penting untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan
cermat untuk mengetahui ada tidaknya tanda-tanda toksisitas yang
disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid dalam tubuh. Begitu juga
dengan tanda-tanda keganasan yang dapat diketahui secara dini.

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 32


DAFTAR PUSTAKA
AME/AACE Guideline.2006. American Association of Clinical
Endocrinologists and Association Medici Endocrinologi, Medical
Guidelines For Clinical Practice for the diagnosis and management of
thyroid nodule. http://www.aace.com/pub/pdf/guidelines/thyroid_
nodule.pdf.

Daniel. 2008. Jeli dan Praktis Menghadapi Kelainan Tiroid.


http://www.farmacia.com/rubrik/one_news_print.asp.

Jamson, L. 2005. Diseases of Tyroid Gland. Harrisons Principles of Internal


Medicine, 16 th edition, Mcgraw-Hill Medical Publishing Division

Johan, S. M. 2006. Nodul tiroid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi
IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI

Djokomoeljanto, R. 2006. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme.


Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Penyakit Dalam FKUI

Sjamsuhidajat., Jong, W. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah: Sistem endokrin.


Jakarta: EGC

Solymosi.2007. Therapy for Nontoxic Nodular Goiter..


http://www.thyroidmanager.org/Chapter17/ch01s10.html.

Wijayahadi, Y., Marwowinoto, M., Reksaprawira., Murtedjo, U. 2000. Kelenjar


Tiroid: Kelainan, Diagnosis dan Penatalaksanaan. Seksi Bedah Kepala
& Leher, Bagian Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Surabaya: Jawi Aji Surabaya

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 33


Widjosono, Garitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor
Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997 : 925-952.

Kariadi KS Sri Hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik &
Hipertiroidisme : Buku Ajar Ilmu Pneyakit Dalam, Edisi Keiga, Penerbit
FKUI, Jakarta, 1996 : 757-778.

Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat,


Buku Dua, EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.

Liberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit
Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA | 34

Anda mungkin juga menyukai