Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes Militus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat

pancreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin

yang diproduksi secara efektif. Insulin ialah hormon yang mengatur keseimbangan kadar

gula darah. Akibatnya terjadi peningkatan kosentrasi glukosa di dala darah/ hiperglikemia

(Who, 2012).

Penyakit DM saat ini telah menjadi ancaman serius bagi kesehatan global. Dari data

yang di dapat secara global pada tahun 2016 terdapat 70% kasus DM dari total kematian

didunia dan lebih dari setengah beban penyakit. DM tipe 2 dengan angka kejadian 90-

95%. Estimasi yang dilakukan oleh IDF terdapat 382 juta orang yang hidup dengan

diabetes didunia pada tahun 2016. Diperkirakan pada tahun 2035 jumlah tersebut akan

meningkat menjadi 592 juta orang. Dari 382 orang tersebut, 175 juta diantaranya belum

terdiagnosis, sehingga terancam perkembangan komplikasi tanpa disadari dan tanpa

pencegahan, menyikapi akan masalah tersebut perlu adanya tindakan preventif yang harus

dilakukan seperti melakukan kegiatan fisik, membatasi asupan kolori yang berlebih dan

menghindari perilaku merokok (Kemenkes RI, 2018).

Perawatan diri merupakan salah satu usaha pencegahan komplikasi dan untuk

menurunkan angka kematian yang tinggi akibat DM. Prevalensi penderita ulkus diabetik

di Amerika Serikat sebesar 15-20%, risiko amputasi 15-46 kali lebih tinggi dibandingkan

dengan penderita non DM. penderita ulkus diabetik di Amerika Serikat memerlukan biaya

yang tinggi untuk perawatan yang diperkirakan antara $ 10.000 - $ 12.000 per tahun

untuk seorang penderita. Prevalensi penderita ulkus diabetik di Indonesia sekitar 15%,
angka amputasi 30%, angka mortalitas 32% dan ulkus diabetik merupakan sebab

perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk DM (Asiri dkk, 2013).

Indonesia saat ini sedang menghadapi ancaman DM serupa dengan dunia.

International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2017 melaporakan bahwa epidemic

DM di Indonesia masih menunjukkan kecendurungan meningkat. Indonesia sendiri

berada pada peringkat keenam di dunia setelah Tiongkok, India, Amerika Serikat, Brazil

dan Meksiko dengan jumlah penyandang DM usia 20-79 tahun sekitar 10,3 juta orang

(WHO,2018).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Daerah Sulawesi Utara angka kejadian atau

penemuan kasus DM pada tahun 2017 terdapat 3.919 kasus. Angka ini membuat kejadian

DM di Sulawesi Utara berada pada posisi ke 8 pada 10 penyakit yang menonjol yang

terjadi di Sulawesi Utara. Angka ini mungkin akan terus meningkat jika tidak ditanggapi

secara serius.

Penyakit ini pada dasarnya terbagi menjadi dua kelompok, yaitu DM tipe I dan DM

tipe II. DM tipe I terjadi sejak balita atau remaja, kemudian diketahui bahwa siapapun

dari segala usia juga dapat menderita tipe I ini, meskipun mayoritas kasus yang ada ialah

pada usia 30 tahun ke bawah. Sedangkan DM tipe II dapat menurun dari orangtua yang

menderita diabetes. Tetapi risiko terkena penyakit ini akan semakin tinggi jika kelebihan

berat badan dan kurangnya aktifitas bergerak. Oleh karena itu, dengan diet yang seimbang

untuk mengontrol berat badan dan olahraga yang baik DM tipe II ini dapat dikendalikan

(Arisman, 2010).

Menurut penelitian sebalumnya yang dilakukan oleh Hatabarat dkk (2018) terhadap

pasien DM dengan ulkus diabetikum. Hasil penelitiannya yaitu hubungan komplikasi DM

dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien DM. Peneliti lain yaitu Setiyorini dan

Wulandari (2017) yang meneliti tentang hubungan lama menderita dan kejadian
komplikasi dengan kualitas hidup lansia penderita DM tipe II. Hasil penelitian ini yaitu

tidak ada hubungan lama menderita dan kejadian komplikasi dengan kualitas hidup lansia

penderita DM tipe 2. Semakin lama seseorang menderita suatu penyakit, maka semakin

lama kesempatan untuk belajar tentang penyakitnya dan lebih berpengalaman dalam

menghadapi berbagai masalah yang timbul terkait dengan penyakitnya, sehingga

berkecenderungan memiliki kualitas hidup yang baik.

Keterlibatan penderita diabetes mellitus (DM) tipe II dalam kehidupan sehari-hari

untuk menangani penyakit yang dideritanya sangat penting. Penderita diabetes dituntut

untuk melaksanakan berbagai pengaturan yang berkaitan dengan pengaturan makan,

pengontrolan glukosa darah agar metabolismenya dapat terkendali dengan baik. Hal yang

dirasakan berat oleh adanya penanganan dan tuntutan yang tinggi untuk melakukannya

seperti; diet, pengaturan berat badan, pemeriksaan kadar gula darah. Diet dalam menjaga

makanan yang dikonsumsi seringkali menjadi kendala bagi penderita diabetes mellitus

(DM) tipe II, karena masih tergoda dengan segala bentuk makanan yang dapat

memperburuk kesehatan, bahkan komplikasi lain yang mungkin bisa dihadapi seperti

ulkus (Safitri, 2013).

Dari hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti didapati ada 134 pasien yang

berkujung pada 3 bulan terakhir dengan rata-rata kunjungan 44 pasien perbulannya,

dengan gagguan luka akibat diabetes tipe 2. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 6

orang pasien yang menderita DM tipe 2 dengan komplikasi ulkus diabetik 4 dari 6 orang

pasien mengatakan tidak konsisten dalam menjalani terapi diet dengan berbagai macam

alasan salah satunya ialah karena ketidakmampuan untuk menahan rasa ingin makan

makanan yang telah menjadi pantangan atau larangan. Dari uraian tersebut maka peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan kepatuhan diet DM dengan
proses penyembuhan ulkus diabetik pada pasien DM tipe 2 di RSUD Jailolo Kab.

Halmahera Barat”

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan kepatuhan diet DM dengan proses penyembuhan ulkusdiabetik

pada pasien DM tipe 2 di RSUD Jailolo Kab. Halmahera Barat?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Untuk menganalisa hubungan kepatuhan diet DM dengan proses penyembuhan

ulkus diabetik pada pasien DM tipe 2 di RSUD Jailolo Kab. Halmahera Barat

2. Tujuan Khusus

a. Teridentifikasi proses penyebuhan ulkus diabetik pada pasien DM tipe 2 di RSUD

Jailolo Kab. Halmahera Barat

b. Teridentifasi kepatuhan diet DM tipe 2 di RSUD Jailolo Kab. Halmahera Barat

c. Teridentifikasi hubungan kepatuhan diet DM tipe 2 di RSUD Jailolo Kab.

Halmahera Barat

D. Manfaat Penulisan

1. Untuk Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi fakultas Keperawatan dalam hal

ini sebagai mahasiswa keperawatan yang nantinya dalam proses praktik klinik

lapangan dapat mengenali proses penyembuhan ulkus diabetik DM tipe 2 dengan

faktor pendukungnya.

2. Untuk Lokasi Penelitian


Dengan hasil penelitian ini yang telah diperoleh diharapkan dapat menjadi

masukkan dan sebagai bahan evaluasi ulang hubungan kepatuhan diet DM dengan

proses penyembuhan luka pada pasien DM tipe 2 di.

3. Untuk Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti selanjutnya untuk

mengembangakan penelitian berikut.


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Diabetes Mellitus

1. Definisi Diabetes Mellitus

Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan”

(siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau madu.

Penyakit Diabetes Melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume urine

yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes Melitus adalah penyakit

hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan absolute insulin atau penurunan

relatife insensitivitas sel terhadap insulin (Smelzer dan Bare, 2009).

Diabetes Mellitus adalalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan klinis

termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, jika

telah berkembang penuh secara klinis maka Diabetes Mellitus ditandai dengan

hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerosis dan penyakit vaskular

mikroangiopati (Sastroasmoro, S., & Ismael, 2011).

Diabetes Mellitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat kadar

glukosa darah yang tinggi yang disebabkan jumlah hormone insulin kurang atau

jumlah insulin cukup bahkan kadang-kadang lebih, tetapi kurang efektif (Nursemierva,

2011).

2. Klasifikasi

Menurut Smelzer dan Bare (2009), DM diklasifikasikan berdasarkan etiologinya

menjadi 4 jenis, yaitu:

a. Diabetes Mellitus Tipe 1


Diabetes Mellitus Tipe 1 merupakan penyakit hiperglikemia akibat ketiadaan

absolut insulin. Penyakit ini disebut juga Juvenile Diabetes atau Diabetes Mellitus

Dependen Insulin atau Insulin Dependen Diabetes Mellitus (IDDM), dengan

jumlah penderita sekitar 5%-10% dari seluruh penderita diabetes mellitus dan

umumnya terjadi pada usia muda (95% pada usia di bawah 25 tahun). Insiden

Diabetes Meliitus Tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru tiap tahunnya (Nursemierva,

2011).

Diabetes Mellitus Tipe 1 ditandai dengan terjadinya kerusakan sel B pankreas

yang disebabkan oleh proses autoimune, reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu

oleh adanya infeksi dalam tubuh. Akibatnya terjadi defisiensi insulin absolut

sehingga penderita mutlak memerlukan insulin dari luar (eksogen) untuk

mempertahankan kadar gula darah dalam batas normal (Smelzer dan Bare, 2009).

Hingga saat ini, DM Tipe 1 masih termasuk dalam kategori penyakit yang tidak

dapat dicegah, termasuk dengan cara diet atau olahraga. Pada fase awal

kemunculan penyakit ini, pederita kebanyakan memiliki kesehatan dan berat badan

yang masih cukup baik, dan respon tubuh terhadap insulin juga masih normal.
b. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemia akibat resistensi

insulin disertai defisiensi relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin. Pada

DM tipe 2, insulin tetap dihasilkan namun kadar insulin mungkin sedikit menurun

atau berada dalam rentang normal. Oleh karena itu DM tipe 2 ini disebut Non

Insulin Dependen Diabetes Mellitus (NIDDM).

Diabetes Mellitus Tipe 2 biasanya timbul pada orang yang berusia lebih dari 30

tahun. Namun dalam perkembangannya DM tipe 2 ini dapat timbul pada segala

usia. Jumlah penderita DM tipe 2 merupakan kelompok yang tersebar, hampir

mencapai 90-95% dari seluruh kasus DM. Insiden DM tipe 2 sebesar 650.000

kasus baru setiap tahunnya (WHO, 2012).

c. Diabetes Mellitus Tipe Lain

Diabetes Mellitus Tipe ini berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu

hiperglikemik karena penyakit lain seperti penyakit pankreas, hormonal, bahan

kimia, endokrinopati, kelainan reseptor insulin atau sindrom genetik tertentu

(Arisman, 2011).

d. Diabetes Mellitus Gestasional

Diabetes Mellitus Gestasional terjadi pada perempuan hamil yang sebelumnya

buka penderita Diabetes Mellitus. Sekitar 50% perempuan penderita penyakit ini

akan kembali ke status non-diabetes setelah masa kehamilan berakhir. Namun,

resiko mengalami Diabetes Mellitus Tipe 2 pada waktu mendatang lebih besar dari

pada normal. Faktor resiko terjadinya Diabetes Mellitus Gestisional adalah usia

tua, etnik, obesitas, riwayat keluarga dan riwayat Diabetes Mellitus Gestasional

terdahulu. Karena terjadinya peningkatan sekresi berbagai hormon yang


mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah

keadaan diabetagonik (Lanywati, 2011).

3. Diagnosis Diabetes Mellitus

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis

tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,

pemeriksaan glukosa darah yang dianjirkan adalah pemeriksaan glukosa secara

enzimatik dengan bahan dara plasma vena.

Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena, maupun angka kriteria

diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan WHO. Sedangkan untuk tujuan

pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan

glukosa darah kapiler dengan glukometer.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM apabila terdapat keluhan

klasik sperti ini, yaitu (Setiyohadi B, 2009) : Keluhan klasik DM berupa: poliuria,

polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya;

keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi

ereksi pada laki-laki, serta pruritus vulvae pada perempuan.

Diagnosis Diabetes Mellitus dapat ditegakkan melalui tiga cara jika keluhan klasik

ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200mg/dl sudah cukup untuk

menegakkan diagnosis DM; pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl dengan

adanya keluhan klasik; Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan

beban 75g glukosa lebih sensitiv dan spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan

glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan sendiri.

4. Etiologi Diabetes Mellitus

Menurut Smelzer dan Bare (2009), penyebab terjadinya Diabetes Mellitus sangat

bervariasi, bisa karena faktor keturunan, pola makan yang salah, usia (>40 tahun resiko
meningkat), kegemukan, ras, stres serta gaya hidup. Faktor genetik dan lingkungan

berperan dalam timbulnya kedua diabetes mellitus, tetapi faktor genetik lebih nyata

pada DM Tipe 2 dan diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya

resistensi insulin.

5. Faktor Resiko Diabetes Mellitus

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah

umur,riwayat Diabetes Mellitus, aktivitas fisik, indeks massa tubuh, tekanan darah,

stress dan kadar kolestrol. Kriteria individu yang beresiko menderita Diabetes

Mellitus Tipe 2 menurut PERKENI (2013) yaitu individu yang belum terkena Diabetes

Mellitus namun berpotensi untuk menderita Diabetes Mellitus dan individu yang

masuk dalam kelompok intoleransi glukosa. Faktor resiko keduanya sama yang

meliputi faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi; ras dan etnik, genetik (keluarga

penderita Diabetes Meliitus), usia (>45 tahun), riwayat melahirkan bayi dengan berat

badan (BB) >4kg atau pernah menderita Diabetes Mellitus Gestasional, riwayat lahir

dengan BB lahir rendah <2,5 kg.

Faktor resiko yang dapat dimodifikasi; berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh

[IMT] > 23kg/m2), kurangnya aktivitas fisik, hipertensi (> 140/90mmHg),

dislipidemia (High Density Lipoprotein [HDL] < 35 mg/dl dan trigliserda > 250

mg/dl), dan diet tinggi gula rendah serat. Faktor-faktor lain yang terkait dengan resiko

diabetes; penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang

terkait dengan resistensi insulin, penderita sindrome metabolik memiliki riwayat

Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)

sebelumnya dan memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, penyakit

jantung koroner (PJK), Peripheral Arterial Diseases (PAD).

6. Patofisiologi Diabetes Mellitus


Tubuh manusia memerlukan bahan bakar berupa energi untuk menjalankan

berbagai sel dengan baik. Bahan bakar tersebut bersumber dari sumber zat gizi

kabohidrat, protein, lemah yang di dalam tubuh mengalami pemecahan menjadi zat

yang sederhana dan proses pengolahan lebih lanjut untuk menghasilkan energi. Proses

pembentukan energi terutama yang bersumber dari glukosa memerlukan proses

metabolisme yang rumit. Dalam proses metabolisme tersebut, insulin memegang

peranan yang sangat penting yang bertugas memasukan glukosa ke dalam sel untuk

slanjutnya di ubah menjadi energi (Price, 2011).

Pada keadaan normal, glukosa diatur sedemikian rupa oleh insulin yang di produksi

oleh sel beta pankreas, sehinggah kadarnya di dalam darah selalu dalam batas aman

baik pada keadaan puasa maupun susudah makan. Kadar glukosa darah normal

berkisar antara 70-110 mg/dl, (Holt, R, 2010).

Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta pankreas pada

pulau langerhans. Tiap pankreas mengandung 100.000 pulau langerhans dan tiap

pulau berisikan 100 sel beta. Insulin memang memegang peranan yang sangat penting

dalam pengaturan kadar glukosa darah dan koordinasi penggunaan energi oleh

jaringan. Insulin yang dihasilkan sel beta pankreas dapat diibaratkan anak kunci yang

dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel agar dapat di metabolisme

menjadi energi. Bila insulin tidak ada atau tidak dikenali oleh reseptor pada

permukaan sel, maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan tetap berada dalam

darah sehingga kadarnya akan meningkat. Tidak adanya glukosa yang dimetabolisme

menyebabkan tidak ada energi yang dihasilkan sehingga badan menjadi lemah.

Pada Diabetes Mellitus tipe ini terdapat dua masalah utama yang berhubungan

dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan insulin. Normalnya insulin akan

terkait dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terkaitnya insulin
dengan insulin tersebut, terjadi suatu rangkaian reksi dalam metabolisme glukosa di

dalam sel. Resistensi insulin pada Diabetes Mellitus Tipe 2 disertai dengan penurunan

reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi

pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah

terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang

disekresikan.

Pada penderita toleransi terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang

berlebihan dan kadar gula akan dipertahankan pada tingkat yang normal/sedikit

meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak dapat mengimbangi peningkatan

kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan akan terjadi Diabetes

Meliitus Tipe 2, meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas

Diabetes Mellitus Tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat

untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya.

Kerena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada Diabetes Mellitus Tipe 2.

Pada keadaan diabetes, tubuh relatif kekurangan insulin sehingga pengaturan

glukosa darah menjadi kacau. Walaupun kadar glukosa darah sudah tinggi, pemecah

protein dan lemak menjadi glukosa melalui glukoneogenesis di hati tidak dapat

dihambat karena insulin yang kurang/resistensi sehingga kadar glukosa darah terus

meningkat. Akibatnya terjadi gejala-gejala seperti poliuri, polifagi, polidipsi, lemas

dan berat badan menurun (Nursemierva, 2011).

7. Gejala Diabetes Mellitus

Beberapa keluhan dan gejala klasik pada penderita diabetes tipe 2 yang perlu

mendapat perhatian menurut (Holt, T, 2010):

a. Gejala akut dan tanda dini, meliputi:


1) Penurunan berat badan, rasa lemas dan cepat lelah

Penurunan berat badan ini disebabkan karena penderita kehilangan

cadangan lemak dan otot digunakan sebagai sumber energi untuk menghasilkan

tenaga akibat dari kekurangan glukosa yang masuk ke sel.

2) Sering kencing (Poliuri)

Sering kencing terutama pada malam hari dengan jumlah airseni banyak

dikarenakan kadar gula darah meningkat sampai melampaui daya serap ginjal

terhadap glukosa sehingga terjadi osmotik diuresis dimana gula banyak

menarik cairan dan elektrolit.

3) Banyak minum (polidipsi)

Peningkatan rasa haus sering dialami oleh penderita karena banyaknya

cairan yang keluar melalui sekresi urin lalu akan berakibat pada terjadinya

dehidrasi intrasel sehingga merangsang pengeluaran ADH (Antidiuretik

Hormone) dan menimbulkan rasa haus.

4) Banyak makan (Polifagi)

Kalori yang dihasilkan dari makanan setelah dimetabolisasikan menjadi

glukosa dalam darah, tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan sehingga penderita

selalu merasa lapar. Tetapi walaupun klien banyak makan, tetap saja makanan

tersebut hanya akan berada sampai pembuluh darah.

b. Gejala Kronis Meliputi:

1) Gangguan penglihatan, berupa pandangan yang kabur sehingga sering

mengganti kacamata.

2) Gangguan sarah tepi sehingga sering merasa kesemutan, terutama pada malam

hari sering terasa sakit dan rasa kesemutan di kaki.

3) Gatal-gatal dan bisul


4) Rasa tebal pada kulit.

5) Gangguan seksual.

6) Keputihan.

8. Komplikasi

Klasifikasi komplikasi pada DM menurut Smaltzer & Burn (2009); dapat dibagi

menjadi dua kategori mayor; komplikasi akut dan komplikasi kronis sebagai berikut:

a. Komplikasi Akut

1) Hipoglikemia

Diagnosis ditegakan apabila terdapat gejala klinis (lapar, gemetar, keringan

dingin, berdebar, pusing, gelisah, koma) dan kadar glukosa darah <30-60

mg/dl.

2) Koma Lakto-Asidosis

Diagnosis ditegakkan apabila terjadi stupor atau koma, kadar glukosa darah

sekitar 250 mg/dl dan anion gab lebih dari 15-20 mEq/1.

3) Ketoasidosis Diabetik-Koma Diabetik (KAD)

Kriteria diagnosis KAD jika terdapat gejala klinis (poluri, podipsi mual dan

muntah, pernapasan kusmaul, lemah, dehidrasi, hipotensi sampai syok,

kesadaran terganggu sampai koma), kadar glukosa darah lebih dari 300 mg/dl

(hiperglikemia) dan bikarbonat kurang dari 20 mEq/1 (pH<7,5) dan terdapat

glukosuria dan ketonuria.

4) Koma Hiperosmolar Non-Ketotik (KHONK)

Diagnosis klinis dikenal dengan sebutan tetralogi KHONK (1 Yes, 3 No),

yaitu jika kadar glukosa darah >600 mg/dl (hiperglikemia) dengan tidak ada
riwayat diabetes sebelumnya (No DM History) biasanya ± 1000 mg/dl,

bikarbonat > 15 mEq/1, pH darah normal (No Kussmaul, No Ketonemia) gula

darah relatif rendah bila ada nefropati dan jika dehidrasi berat (hipotensi, syok),

No Kussmaul, terdapat gejala neurologi, reduksi urine +++, bau aseton tidak

didapatkan, ketonuria tidak didapatkan. Diagnosis pasi dikenal dengan

pentalogi KHONK, yaitu jika terdapat diagnosis klinis dan osmolaritas darah

>325-350 m.osm/l.
b. Komplikasi Kronis

1) Infeksi

Yaitu furenkel, karbunkel, Tubercolosis (TBC) Paru, mikosis.

2) Mata

Yaitu retinopati DM (Non Proliferasi Retinopaty, Maculopaty dan

Proliferasi Retinopaty), Glaucoma, perdarahan Corpus Vitreum.

3) Mulut

Ludah (kental, mulut kering = Xerostomia Diabetik), Gingiva (edema,

merah tua, gingivitis), periodentium (rusak biasanya karena mikroangiopati

periodontitis DM; semuanya menyebabkan gigi mudah goyah dan lepas), lidah

(tebal, rugae, gangguan rasa akibat dari neuropati).

4) Jantung

Mudah mengidap penyakit jantung koroner atau infark, silent Infarction ±

40% (karena neuropati otonom), adanya neuropati otonom menyebabkan

kenaikan denyut nadi per-menit.

5) Tractus Urogenetalis

Yaitu pada Nefropati Diabetik, sindrome kiemmelstiel wilson, Pielonefritis,

Diabetic Neurogenetic Vesical Dysfungtion, Impotensi Diabetik.

6) Saraf

Pada saraf perifer (Parestesia, Anesthesia, Gloves Neuropaty, Nocturnal

Pain) dan saraf otonom (Gastrointestinalis, Gastroparase Diabeticorum, diare

diabetik).

7) Kulit
Gatal, shinspot (Demopati Diabetik), Necrobiosis Lipoidica Diabeticorum,

kekuningan dan selulitis gangren.

9. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan diabetes mellitus secara umum adalah meningkatkan

kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan diabetes mellitus tipe 2

jangka pendek yaitu menghilangkan keluhan dan gejala, mempertahankan rasa nyaman

dan mencapai glukosa darah yang terkendali. Sedangkan pengelolaan jangka panjang

bertujuan untuk mencegah dan menghambat timbulnya penyakit komplikasi diabetes.

Tujuan akhir pengelolaan diabetes tipe 2 yaitu untuk menurunkan morbidikasi dan

mortalisasi diabetes mellitus (Perkeni, 2013).

Berdasarkan konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di

indonesia, terdapat empat pilar utama pengelolaan diabetes tipe 2 ini, yaitu edukasi,

terapi gizi medis/perencanaan makan (diet), latihan jasmani dan intervensi

farmakologis.

a. Edukasi

Kebersihan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi yang

dapat membuat klien dapat menerima keadaan diri klien, mebuat klien lebih

bersemangat dalam kehidupan, tidak stres memikirkan keadaan diri klien, dapat

menerima keadaan klien, dan pengembangan ketrampilan (skill), dan motivasi

yang berkenan dengan : 1) Makan-makanan sehat, 2) kegiatan jasmani secara

teratur, 3) menggunakan obat diabetes secara aman, teratur dan pada waktu-waktu

yang spesifik, 4) melakukan pemantauan gula darah mandiri dan memanfaatkan

berbagai informasi yang ada, 5) melakukan perawatan kaki secara berkala, 6)

mengelola diabetes dengan tepat, 7) mengembangkan sistem pendukung dan

mengajarkan ketrampilan dan 8) dapat mempegunakan fasilitas perawatan


kesehatan. Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan

penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil.

Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi dan memerlukan

penilaianm perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi (Perkeni, 2013).

b. Terapi Gizi Medis

Menurut Perkeni (2013), perencanaan makan (diet) dalam pengelolaan diabetes

mellitus sering disebut Terapi Gizi Medis (TGM). Kunci keberhasilan

perencanaan makan ini adalah keterlibatan secara menyeluruh semua tim mulai

dari dokter, ahli gizi dan petugas kesehatan lain serta pasien itu sendiri. Dalam

Konsensus Pengelolaan diabetes mellitus tipe II tahun 2011 dinyatakan bahwa

setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat diet sesuai dengan kebutuhannya

guna mendapatkan sasaran terapi. Perinsip pengaturan makan pada penyandang

Diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat, yaitu makanan

yang seimbang serta sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing

individu. Namun hal utama yang perlu ditekankan yaitu pentingnya keteraturan

makan dalam hal jumlah makanan, jenis makanan dan jadwal makanan.

c. Latihan Jasmani

Untuk mengontrol kadar glukosa darah, penderita diabetes sebaiknya

menghindari bermalas-malasan (kurang gerak) dengan cara melakukan latihan

jasmani dan aktivitas secara teratur. Latihan jasmani dilakukan secara teratur 3-4

kali seminggu selama kurang dari 30 menit (Perkeni, 2013). Latihan jasmani

selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan

memperbaiki sensivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.

Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik

seperti jalan kaki, bersepeda santai, joging, berenang dan senam kaki diabetes.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani

(Tjokronegoro, 2009).

d. Intervensi farmakologis

Menurut Perkeni (2013), jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan

pengaturan makan (diet) dan latihan jasmani, maka intervensi farmakologi

ditambahkan dapat berupa: 1) Obat Hiperglikemia Oral (OHO), 2) Insulin, 3)

Penghambat Glukoneogenesis, 4) Penghambat Glukosidase (Acarbose). Ke-empat

pilar tersebut saling berkaitan dan berperan dalam mencegah dan menstabilisasikan

kadar gula darah pasien DM Tipe 2. DM Tipe 2 muncul bukan hanya disebabkan

oleh faktor genetis saja, namun merupakan interaksi antara faktor genetis dengan

faktor resiko lain khususnya perilaku.

B. Ulkus Diabetik

1. Definisi

Ulkus diabetik adalah salah satu bentuk komplikasi kronik Diabetes mellitus

berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian

jaringan setempat. Ulkus diabetik merupakan suatu kondisi kerusakan jaringan kulit

yang dimulai dari epidermis, dermis, jaringan subkutan dan dapat menyebar ke

jaringan yang lebih dalam, seperti tulang dan otot. Ulkus diabetik merupakan luka

terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga

terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada

penderita yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi

disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob. Pasien diabetes sangat beresiko

terhadap kejadian luka di kaki dan merupakan jenis luka kronis yang sangat sulit

penyembuhannya. Tingkat keparahan kerusakan jaringan luka diabetes melitus sangat

dipengaruhi oleh deteksi dini dan penatalaksanaan luka yang


tepat sehingga bertujuan meminimalkan kerusakan jaringan yang lebih dalam (Yunus,

2014).

Permasalahan kaki merupakan salah satu komplikasi jangka panjang DM akibat

adanya kelainan mikrovaskular. Komplikasi jangka panjang ini dapat terjadi pada

pasien diabetes tipe 1 dan tipe 2. Pada umumnya tidak terjadi dalam 5 – 10 tahun

pertama setelah didagnosis. Tetapi tanda-tanda komplikasi mungkin ditemukan pada

saat mulai terdiagnosis DM tipe 2 karena DM yang dialami pasien tidak terdiagnosis

selama beberapa tahun (Smeltzer, dkk. 2008).

Ada banyak alasan mengapa klien diabetes beresiko tinggi terhadap kejadian luka

di kaki diantaranya diakibatkan karena kaki yang sulit bergerak terutama jika klien

dengan obesitas, neoropati sensorik, iskhemia sehingga proses penyembuhan menjadi

lambat akibat konstriksi pembuluh darah. Adanya gannguan sistem imunitas, pada

klien diabetes menyebabkan luka mudah terinfeksi dan jika terkontaminasi bakteri

akan menjadi gangrene sehingga makin sulit pada perawatannya serta beresiko

terhadap amputasi. Oleh karena itu perlu dipahami dan dimengerti karakteristik luka

diabetes melitus sehingga pilihan intervensi luka yang tepat dapat dilakukan (Waluya,

2008).

2. Etiologi

Penyebab terjadinya ulkus diabetik bersifat multifaktorial, yang dapat

dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu akibat perubahan patofisiologi,

deformitas anatomi dan faktor lingkungan. Perubahan patofisiologi menyebabkan

neuropati perifer, penyakit vaskular dan penurunan sistem imunitas. Faktor

lingkungan terutama adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu,

benda tajam, dan lain sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus

(Cahyono, 2007).
Menurut Benbow etiologi ulkus diabetik biasanya memiliki banyak komponen

meliputi neuropati sensori perifer, trauma, deformitas, iskemia, pembentukan kalus,

infeksi, dan edema. Sedangkan menurut Oguejiofor, Oli, dan Odenigbo selain

disebabkan oleh neuroati perifer (sensorik, motorik, otonom) dan penyakit

pembuluh darah perifer (makro dan mikro angiopati) faktor lain yang berkontribusi

terhadap kejadian ulkus kaki adalah deformitas kaki (yang dihubungkan dengan

peningkatan tekanan pada plantar), gender laki-laki, usia tua, kontrol gula darah

yang buruk, hiperglikemia yang berkepanjangan dan kurangnya perawatan kaki

(Tandra, 2009)

3. Patofisiologi Ulkus Diabetik

Terjadinya ulkus diabetik diawali dengan adanya hiperglikemia pada pasien

diabetes. Hiperglikemia ini menyebabkan terjadinya neuropati dan kelainan pada

pembuluh darah. Neuropati baik sensorik, motorik maupun autonomik yang akan

menimbulkan berbagai perubahan pada kulit ada otot. Kondisi ini selanjutnya

menyebabkan perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki yang akan

mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentannan terhadap infeksi

menyebabkan luka mudah terinfeksi. Faktor aliran darah yang kurang akan

menambah kesulitan pengelolaan kaki diabetik (Sudoyo dkk, 2006).

Neuropati perifer pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut

motorik, sensorik dan autonom, kerusakan serabut motorik dapat menimbulkan

kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus, pes

planus, halgus valgus, kontraktur tendon archiles), bersama dengan adanya

neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan serabut sensoris akibat

rusaknya serabut mielin menyebabkan penurunan sensasi nyeri sehingga

memudahkan terjadinya ulkus kaki. Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat
denervasi simpatik menimbulkan kulit kering (anhidriosis) dan terbentuk fisura

kulit dan edema kaki. Kerusakan serabut sensorik, motorik dan autonom

memudahkan terjadinya atropati charcot. Gangguan vaskular perifer baik akibat

makrovaskular (aterosklerosis) maupun gangguan mikrovaskular menyebabkan

terjadinya iskemia kaki. Keadaan tersebut disamping sebagai penyebab terjadinya

ulkus juga mempersulit proses penyembuhan (Waluya,2008)

4. Klasifikasi Ulkus

Menurut Wagner, stadium luka diabetes melitus dibagi menjadi 3 yaitu (Yunus,

2014)

a. Superficial Ulcer

Stadium 0: tidak terdapat lesi, kulit dalam keadaan baik tapi dalam bentuk tulang

kaki yang menonjol.

Stadium 1: hilangnya lapisan kulit hingga dermis dan kadang-kadang nampak luka

menonjol.

b. Deep Ulcer

Stadium 2: lesi terbuka dengan penetrasi ke tulang atau tendon (dengan goa).

Stadium 3: penetrasi hingga dalam, osteomilitis, plantar abses atau infeksi hingga

tendon.

c. Gangren

Stadium 4: ganggrein sebagian, menyebar hingga sebagian dari jari kaki, kulit

sekitarnya selulitis, gangren lembab/kering.

Stadium 5: seluruh kaki dalam kondisi nekrotik dan gangren.

Menurut University of Texas (UT sistem), stadium luka diabetes mellitus tersaji

dalam tabel berikut ini (Kristianto, 2010)

Tabel 2.1. Stadium luka diabetes menurut University of Texas (UT System)
Derajat
Tahapan
0 1 2 3
Pre atau Luka Luka
Luka
post superficial, superficial,
menyebar
lesi ulkus, Tidak Tidak
ke tulang
A epitelisasi termasuk termasuk
dan
tendon, tendon,
ke
tulang, tulang,
persendian
dan fasia dan fasia
B Infeksi Infeksi Infeksi Infeksi
C Iskemia Iskemia Iskemia Iskemia
Infeksi dan Infeksi dan Infeksi dan Infeksi dan
D
Iskemia Iskemia Iskemia Iskemia
Keterangan :

Derajat 0 (resiko rendah) : tanpa neuropati sensori;

Derajat 1 (resiko moderat) : neuropati sensori;

Derajat 2 (resiko tinggi) : neuropati sensori, penyakit vaskuler perifer

dan atau deformitas kaki;

Derajat 3 (resiko sangat tinggi) : ulkus kaki/amputasi.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa klasifikasi berdasarkan UT

system lebih baik dibandingkan menurut Wagner dalam menilai prediksi apa yang

akan terjadi seperti peningkatan stadium luka, penilaian derajat luka yang

dihubungkan dengan resiko terjadinya amputasi dan lamanya penyembuhan luka

(Firman, 2009).

Kemudahan yang ingin diperkenalkan untuk menilai derajat keseriusan luka

adalah menilai warna dasar luka. Sistem ini diperkenalkan dengan sebutan RYB

(Red, Yellow, Black) atau merah, kuning dan hitam (Arisanti,2014), yaitu:

1) Red / Merah

Merupakan luka bersih, dengan banyak vaskularisasi, karena mudah

berdarah. Tujuan perawatan luka dengan warna dasar merah adalah


mempertahankan lingkungan luka dalam keadaan lembab dan mencegah

terjadinya trauma dan perdarahan.

2) Yellow / Kuning

Luka dengan warna dasar kuning atau kuning kehijauan adalah jaringan

nekrosis. Tujuan perawatannya adalah dengan meningkatkan sistem autolisis

debridement agar luka berwarna merah, absorb eksudate, menghilangkan bau

tidak sedap dan mengurangi kejadian infeksi.

3) Black / Hitam

Luka dengan warna dasar hitam adalah jaringan nekrosis, merupakan

jaringan avaskularisasi. Tujuan perawatannya adalah sama dengan warna dasar

kuning yaitu warna dasar luka menjadi merah.

5. Tanda Dan Gejala

Tanda dan gejala ulkus diabetika (Arisanti, 2014) yaitu :

a. Sering kesemutan.

b. Nyeri kaki saat istirahat.

c. Sensasi rasa berkurang.

d. Kerusakan Jaringan (nekrosis).

e. Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea.

f. Kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal.

g. Kulit kering.

6. Prinsip Penatalaksanaan Luka

Dalam melakuka perawatan luka diabetic terdapat beberapa hal yang harus

diperhatikan (Kristianto, 2010).

a. Luka diistrihatkan agar penekanan pada luka dapat diminimalkan sehingga

kerusakan jaringan yang lebih luas dapat dicegah.


b. Menghilangkan jaringan mati (nekrotomi) untuk mencegah terjadinya infeksi.

c. Menjaga kemampuan luka tetap lembab sehingga meningkatkan kemampuan dari

internal jaringan untuk melakukan proses penyembuhan luka

d. Mencegah produksi eksudat yang berlebihan karena dapat menghambat proses

terbentuknya jaringan baru.

C. Tahapan Penyembuhan Luka

Tahapan atau proses penyembuhan luka terjadi melalui beberapa fase seperti yang

dikemukan oleh Arisanti (2014) berikut ini:

1. Tahap haemostasis dan koagulasi/penghentian perdarahan

a) Hemostasis adalah proses dimana darah dalam sistem sirkulasi tergantung dari

kontribusi dan interaksi dari 5 faktor yaitu dinding pembuluh darah, trombosit,

faktor koagulasi, sistem fibrinolisis, dan inhibitor. Hemostasis bertujuan untuk

menjaga agar darah tetap cair di dalam arteri dan vena, mencegah kehilangan darah

karena luka, memperbaiki aliran darah selama proses penyembuhan luka.

Hemostasis juga bertuiuan untuk menghentikan dan mengontrol perdarahan dari

pembuluh darah yang terluka.

b) Terjadi beberapa saat setelah luka

c) Timbul vasokonstriksi pembuluh darah

d) Terjadi pembentukan bekuan darah oleh thrombosit dan thromboplastin

2. Tahap peradangan (inflamasi)/pembersihan luka dari bakteri dan jaringan mati

a) Inflamasi terjadi 1 jam setelah luka sampai hari kedua atau ketiga.

b) Melibatkan PMN (Poly morfo nuclear) dan makrofag untuk membersihkan

bakteri dan debris.

c) Ciri-ciri luka: tampak kemerahan, bengkak/edema, nyeri, teraba hangat, drainase

yang keluar berupa plasma


3. Tahap proliferasi/perbaikan jaringan

Proliferasi terjadi hari ke-2 atau ke-3 setelah luka, terdiri dari angiogenesis,

deposisi kolagen, pembentukan granulasi, epitelisasi, dan kontraksi.

a) Angiogenesis, merupakan pembentukah pembuluh darah baru dengan bantuan sel

epitelial dan fibroblast.

b) Deposisi kolagen, merupakan pembentukan jaringan kolagen sebagai pembentuk

jaringan ikat pada luka, berlangsung sampai minggu ke-2 dan ke-4.

c) Pembentukan granulasi, terjadi pada hari ke-2 sampai ke-5 setelah luka,dibentuk

oleh fibroblas yang mengalami proliferasi dan maturasi.

d) Epitelisasi, dimana jaringan granulasi memudahkan terjadinya reepitelisasi,

terjadi setelah hari ke-5.

e) Kontraksi, merupakan bagian yang penting pada penyembuhan luka, terjadi

setelah hari ke-7, dan melibatkan myofibroblast.

4. Tahap maturasi/remodeling

a) Terjadi pembentukan dan penghancuran kolagen.

b) Bekas luka yang semula tebal, keras dan merah, menjadi tipis, lebih elastis dan

warnanya.

c) Lamanya tergantung ukuran luka dan kondisi luka.

d) Merupakan fase pemulihan jaringan ikat luka dan pembentukan otot.

e) Jika tidak terbentuk maka luka akan menjadi luka kronis, karena faktor pembuluh

darah.

D. Kepatuhan Diet

1. Definsi Kepatuhan

kepatuhan adalah kerelaan individu untuk melakukan sesuatu yang diharapkan atau

diminta oleh pemegang otoritas atau kekuasaan yang ditandai dengan tunduk dengan
kerelaan, mengalah, membuat suatu keinginan konformitas dengan harapan atau

kemauan orang lain sehingga dapat menyesuaikan diri. Dalam aspek kesehatan

dimaksudkan individu rela melakukan pengobatan dengan dukungan dari keluarga

atau kerabat yang ditentukan oleh otoritas atau kebijakan petugas kesehatan seperti

dokter, ahli gizi maupun ahli medis serta kerelaan dari individu tersebut dalam

menjalani pengobatan yang dilakukan. Kesadaran diri, pemahaman, kepribadian

menjadi komponen terpenting dalam pembentukan kepatuhan terhadap sistem

pengobatan tertentu ( Saifunurmazah, 2013).

2. Tujuan Terapi Diet

Tujuan utama dari pengobatan DM adalah untuk mempertahankan kadar gula

darah dalam kisaran yang normal. Namun terkadang, kadar gula darah yang benar-

benar normal sulit untuk dipertahankan (Basyiroh & Arifah N, 2011).

a. Memulihkan dan mempertahankan kadar glukosa darah dalam kisaran nilai yang

normal sehingga mencegah terjadinya glikosuria beserta gejala-gejalanya.

b. Mengurangi besarnya perubahan kadar glukosa darah postprandial. Tindakan ini

bersama-sama dengan normalisasi kadar glukosa darah, akan membantu

mencegah terjadinya komplikasi lanjut yang mencakup penyakit mikrovaskuler.

c. Memberikan masukan semua jenis nutrien yang memadai sehinga

memungkinkankan pertumbuhan normal dan perbaikan jaringan.

d. Memulihkan dan mempertahankan berat badan yang normal.

e. Mencapai dan mempertahankan kadar lipad serum normal.

f. Meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal.

g. Menghindari atau menangani komplikasi akut pasien yang menggunakan insulin

seperti hipoglikemia, komplikasi jangka pendek.

3. Jenis-Jenis Diet
Ada beberapa jenis diet pada penderita DM (Saifunurmazah. 2013)

a. Diet rendah kalori

Prioritas utama dalam mengatasi pasien DM adalah menurunkan berat

badanya. Pasien DM yang menjalani diet rendah kalori harus menyadari perlunya

penurunan berat badan dan berat badan yang sudah turun tidak boleh dibiarkan

naik kembali. Bagi para pasien DM tipe 2 yang mempunyai berat badan berlebih

penurunan berat badan harus diperhatikan dan didorong dengan mengukur berat

secara teratur.

b. Diet bebas gula.

Tipe diet ini digunakan untuk pasien DM yang berusia lanjut dan tidak

memerlukan suntikan insulin. Diet bebas gula diterapkan berdasarkan dua prinsip:

1) Tidak memakan gula dan makanan yang mengandung gula.

2) Mengkonsumsi makanan sumber hidratarang sebagai bagian dari keseluruhan

hidrat arang secara teratur.

Gula (gula pasir, gula jawa, aren dan lain-lain) dan makanan yang

mengandung gula tidak boleh dimakan karena cepat dicerna dan diserap

sehingga dapat menimbulkan kenaikan gula darah yang cepat. Makanan bagi

pasien DM harus mengandung hidratarang dalam interval yang teratur selama

sehari. Jumlah hidrat arang yag diperbolehkan terkandung dalam setiap

hidangan tergantung kepada kebutuhan energi tiap-tiap pasien.

c. Sistem penukaran hidratarang

Sistem penukaran hidratarang, digunakan pada pasien-pasien DM yang

mendapatkan suntikan insulin atau obat-obat hipoglemik oral dengan dosis tinggi.

Diet yang berdasarkan sistem ini merupakan diet yang lebih rumit untuk diikuti

oleh soerang pasien DM, tetapi mempunyai kelebihan, diet ini lebih bervariasi
serta lebih fleksibel daripada diet bebas gula. Tujuan dari adanya pembagian

penukaran hidratarang ini adalah untuk mengimbangi aktivitas insulin dengan

makanan sehingga dapat mencegah keadaan hipoglikemia (penurunan tekanan

darah) maupun hiperglikemia (peningkatan tekanan darah).

4. Makanan diet khusus untuk pasien DM

Ada 3 kelompok produk makanan diabetes mellitus (Hasdiana, 2012):

a. Produk makanan bebas gula yang rendah kalori antara lain buah yang

dikalengkan dalam air atau sari buah yang tidak manis, sup rendah kalori, dan

berbagai minuman yang bebas gula (sugar free) dan rendah kalori seperti coke

diet.

b. Produk makanan Khusus DM antara lain :

1) Berbagai kue dan biskuit khusus untuk pasien diabetes

2) Permen dan cokelat khusus untuk pasien diabetes, kecap manis, selai yang

khusus untuk pasien diabetes. Produk-produk makanan khusus ini dibuat

antara lain oleh Lynch, Tropicana Slim dan Slim and fit. Semua produk ini

bebas dari sukrosa tetapi mengandung bahan pemanis alternatif seperti

fruktosa dan sorbitol.

c. Pemanis Buatan

Ada beberapa pemanis buatan yang lazim digunakan di indonesia sebagai

pengganti gula. Bahan-bahan tersebut adalah sakarin (sarimanis), sorbitol,

fruktosa, dan aspartam (equal). Bahan pemanis ini digunakan dalam diet rendah

kalori dan dapat ditambahkan ke dalam minuman serta makanan matang.

d. Komposisi Makanan Yang Dianjurkan (Perkeni, 2011).

1) Karbohidrat

 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565%total asupan energi.


 Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.

 Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.

 Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat

makan sama dengan makanan keluarga yang lain.

 Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

 Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak

melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)

 Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam

sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau

makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

2) Lemak

 Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori.

 Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

 Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori

 Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh

tunggal.

 Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung

lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu

penuh (whole milk).

 Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.

3) Protein

 Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.

 Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang cumi,dll), daging

tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,

kacangkacangan, tahu, dan tempe.


 Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi

0,8 g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya

bernilai biologik tinggi.

4) Serat

Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan

mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta

sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,

serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan. 2) Anjuran konsumsi serat

adalah ± 25 g/hari

5) Natrium

 Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan

anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau

sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.

 Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.

 Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan

pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit


BAB III

KERANG KONSEP, HIPOTESIS, DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Variabel independent Variabel dependent

Proses penyembuhan
Kepatuhan diet DM Ulkus Diabetik DM tipe
2

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Hubungan Kepatuhan Diet DM Dengan Proses Penyembuhan

Ulkus Diabetik Pada Pasien DM Tipe 2 di RSUD Jailolo Kab. Halmahera Barat

B. Hipotesis

Ho : Tidak ada Hubungan Kepatuhan Diet DM Dengan Proses

Penyembuhan Ulkus Diabetik Pada Pasien DM Tipe 2 di RSUD Jailolo Kab.

Halmahera Barat

Ha : Ada Hubungan Kepatuhan Diet DM Dengan Proses

Penyembuhan Ulkus Diabetik Pada Pasien DM Tipe 2 di di RSUD Jailolo

Kab. Halmahera Barat


C. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Definisi
Variabel Alat Ukur Skala Ukur Hasil Ukur
Operasional

Kepatuhan Tingkat ketaan Kuesioner Nominal Patu jika ≥


diet DM dan kedisiplinan nilai median
pasien dalam
menjalani atau Tidak Patu
melaksanakan diet jika < nilai
DM median

Penyembuha Proses kuesioner Ordinal Derajat 1


n luka DM kembalinya
fungsi sel dan Derajat 2
jaringan ke tahap
yang lebih baik Derajat 3

Derajat 4

Derajat 5
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah non eksperimen dengan metode yang

digunakan yaitu kuantitaif. Dengan pendekatan cross sectional study yaitu melihat

hubungan kepatuhan diet dm dengan proses penyembuhan ulkus diabetik pada pasien DM

tipe 2 di RSUD Jailolo Kabupaten Halmahera Barat.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat penelitian

Penelitian dilaksanakan di RSUD Jailolo Kab. Halmahera Barat.

2. Waktu penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli tahun 2019

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari objek yang akan diteliti. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh pasien yang menderita DM tipe 2. Populasi dalam

penelitian ini yaitu sebanyak 44 pasien.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek penelitian. Teknik

yang digunakan untuk mengambil sampel adalah purposive sampling yaitu

pengambilan sampel atas pertimbangan peneliti sendiri (Suyanto, 2011). Untuk

menentukan besar sampel digunakan rumus sebagai berikut :

N
n=
1 + N(d)²
Keterangan :
n = jumlah sampel
N = besar populasi
d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan 10%(0,1)
44
n=
1 + 44(0,1)² n = 30

Berdasarkan perhitungan jumlah sampel yang diperoleh sebesar 30 responden

dengan kriteria pengambilan sampel sebagai berikut :

Kriteria Inklusi :

a. Responden dengan ulkus diabetik akibat DM tipe 2

b. Mampu berkomunikasi verbal dengan baik.

c. Mampu membaca, menulis dan berbahasa Indonesia.

d. Bersedia menjadi responden penelitian.

Kriteria eksklusi :

a. Responden yang berhalangan saat di lakukan penelitian

b. Responden yang mengalami masalah kesehatan yang mendadak seperti pusing, letih,

dan lemah dan masalah lain yang tidak memungkinkan untuk jadi responden.

D. Instrumen Penelitian

Instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner sebagai

alat pengumpulan data.

1. Kuesioner kepauhan diet DM

Kuesioner ini dibuat untuk mengetahui tingkat kepatuhan diet pada pasien dengan

DM. jumlah pertanyaan pada kuesioner ini sebanyak 8 item dengan menggunakan

skala likert yang terbagi atas 4 pilihan jawaban yaitu “tidak pernah” skor 1, “jarang”
skor 2, “kadang-kadang” skor 3, “selalu” skor 4. Kepatuhan diet rendah (tidak patuh)

jika nilai total < 25 dan tinggi (patuh) jika ≥ 25.

2. Lembar Observasi

Lembar obervasi ini bertujuan untuk melihat proses atau derajat ulkus diabetik

pada pasien dengan DM tipe 2.

E. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat : penyajian dalam bentuk distribusi frekuensi dilakukan untuk

melihat gambaran distribusi responden berdasarkan kepatuhan diet DM dengan

proses penyembuhan luka pada pasien dengan DM tipe 2.

2. Analisa Bivariat

Analisa Bivariat adalah analisa yang digunakan untuk melihat hubungan antar

variabel bebas dengan variabel terikat yang diduga berhubungan atau berkorelasi

(Sujarweni, 2014).

Analisa bivariat : menggunakan uji chi square. Untuk melihat apakah terdapat

hubungan antara jenis kelamin, tingkat pendidikan dan komunikasi terapeutik dengan

tingkat kecemasan pada pasien pre operasi.

Jika nilai  nilai 0.05 maka tidak terdapat hubungan antara variabel bebas dengan

variabel terikat. Jika nilai  nilai 0.05 maka terdapat hubungan antara variabel bebas

dengan variabel terikat.

F. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang akan didapat akan dilakukan pengolahan melalui beberapa tahap sebagai

berikut :

1. Pemeriksaan kembali (editing), yaitu untuk memeriksa data apa yang sudah sesuai

dengan harapan seta memeriksa kelengkapan dan keseragaman data


2. Pengkodean (coding), yaitu pemberian simbol serta menyederhanakan data dengan

pemeriksaan kode. Kegunaan dari koding ini adalah untuk mempermudah pada saat

analisis data dan juga mempercepat pada saat entri data.

3. Proses /entri data (proccessing), yaitu melakukan entri data dari kuesioner ke dalam

paket program komputer yaitu menggukan program komputer.

4. Pembersihan data (cleaning), yaitu pengecekan kembali data yang sudah di entri

apakah ada kesalahan atau tidak.

G. Etika Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan ini, peneliti memandang perlu adanya rekomendasi

dari pihak institusi atau pihak lain dengan mengajukan permohonan izin kepada instasi

tempat penelitian dalam hal ini RSUD Jailoilo Kab. Halmahera Barat.

Setelah mendapat persetujuan barulah dilakukan penelitian dengan menekankan

masalah etika penelitian yang meliputi :

1. Inforemed consent

Lembar persetujuan ini akan diberikan kepada responden yang akan diteliti yang

memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian. Bila

subjek menolak maka peneliti tidak akan memaksakan kehendak dan tetap

menghormati hak-hak subjek.

2. Anonymity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasian peneliti tidak akan mencantumkan nama responden,

tetapi lember tersebut diberi kode.

3. Confidentiality
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data

tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian. Data yang akan dikumpulkan

disimpan dalam disket? dan hanya bisa diakses oleh peneliti dan pembimbing.
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Lokasi Penelitian

RSUD JAILOLO Kabupaten Halmahera Barat terletak di Desa Acango Kecamatan

Jailolo. RSUD Jailolo Kabupaten Halmahera Barat dalam pelayanannya memiliki Visi

yaitu Menjadi Rumah Sakit Rujukan terbaik di propnsi Maluku Utara Timur . Misi yaitu;

Memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna dengan penuh kasih yang didasari oleh

etika profesi yang dilakukan sebagai wujud Ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Menciptakan suasana aman, nyaman dan tenang dengan berperilaku yang sopan dan

ramah terhadap penderita. Menjalankan dan mengembangkan kebijakan dan standar

pelayanan serta meningkatkan kualitas pemantauan dan evaluasi sistem pelayanan

kesehatan di rumahsakit, dengan Motto: Melayani dengan senyum dalam suasana penuh

kasih sayang.

RSUD JAILOLO Kabupaten halmahera barat terdiri dari beberapa instalasi yaitu;

Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Rawat Inap Pria (kelas II dan III), Instalasi Rawat Inap

Wanita (kelas II dan III), Instalasi Rawat Bedah (kelas II dan III), Instalasi Rawat

Bogenvil (VIP), Instalasi Rawat Inap Anak, Instalasi Rawat Inap Kandungan, Instalasi

Rawat Inap ICU, Instalasi Rawat Lavender, Instalasi Gawat Darurat, Rusng Operasi, ,

Radioterapi, Farmasi dan Sterilisasi, Gizi, Laboratorium Klinik, Poliklinik Mata,

Poliklinik THT, Poliklinik Kandungan, Poliklinik Penyakit Dalam, Poliklinik Bedah dan

Instalasi Rawat Bedah merupakan lokasi dilakukan penelitian.

B. Hasil

1. Karakteristik Responden

Tabel 1. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin responden

Jenis Kelamin Frekuensi %


Laki-laki 14 46.7
Perempuan 16 53.3
Total 30 100.0

Berdasarkan tabel 1 diatas menjelaskan bahwa jumlah responden paling banyak

yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 16 responden (53.3%), dan yang berjenis

kelamin laki-laki 14 responden (46.7%).

Tabel 2. Karateristik responden berdasarkan usia responden

Usia Frekuensi %

35-50 tahun 4 13.3


51-65 tahun 13 43.3
66-80 tahun 13 43.3
Total 30 100.0

Berdasarkan penjelasan tabel 2 diatas menunjukkan bahwa usia responden paling

banyak antara 51-65 tahun dan usia 66-80 tahun 13 responden (43.3%), usia 35-50

tahun 4 responden (13.3%).

Tabel 3. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan responden

Pendidikan Frekuensi %

SD 10 33.3
SMP 12 40.0
SMA 6 20.0
PT 2 6.7
Total 30 100.0

Berdasarkan penjelasan tabel 3 diatas menunjukkan bahwa jumlah responde paling

banyak berpendidikan SMP sebanyak 12 responden (40.0%), SD 10 responden


(33.3%), SMA \ 6 responden (20.2%), dan yang memiliki pendidikan tinggi 2

responden (6.7%).

2. Analisa Univariat

Tabel 4. Karakteristik responden berdasarkan kepatuhan diet

Kepatuhan diet Frekuensi %

Tidak Patuh 13 43.3


Patuh 17 56.7
Total 30 100.0

Berdasarkan penjelasan tabel 4 diatas menjukkan bahwa jumlah responden

sebagian besar patuh terhadap diet DM yaitu sebanyak 17 (56.7%), dan yang tidak

patuh 13 responden (43.3%)Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik responden berdasarkan derajat ulkus

Derajat Ulkus Frekuensi %

Derajat I 11 36.7
Derajat II 13 43.3
Derajat III 6 20.0
Total 30 100.0

Berdasarkan penjelasan tabel 5 mengambarkan bahwa derajat ulkus paling banyak

berada pada derajat 2 sebanyak 13 responden (43.3%), dan derajat 1 sebanyak 11

responden (36.7%), dan derajat 3 sebanyak 6 responden (20.0%).

3. Analisa Bivariat

Tabel 6. Hubungan kepatuhan diet dengan derajat ulkus

Kepatuha diet Derajat Ulkus Total p-


value
Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3

Tidak Patuh 1 8 4 13
7.7% 61.5% 30.8% 100.0%

Patuh 10 5 6 17 0,013

58.8% 29.4% 11.8% 100.0%

Total 11 13 6 30
36.7% 43.3% 20.0% 100.0%

Berdasarkan tabel 6 diatas menggambarkan bahwa hasil analisis hubungan

kepatuhan diet dengan derajat ulkus diabetikum, menunjukkan bahwa dari 17

responden dengan kepatuhan diet yang patuh dengan derajat ulkus derajat 1 sebanyak

10 responden (58.8%), derajat 2 sebanyak 5 responden (29.4%), dan derajat 3

sebanyak 4 responden (11.8%), sedangkan pada pada pasien dengan dengan

kepatuhan diet yang tidak patuh dari 13 responden yang mengalami ulkus derajat 1

sebanyak 1 responden (7.7%), derajat 2 sebanyak 8 responden (61.5%) dan derajat 3

sebanyak 4 responden (30.8%)

Berdasarkan hasil analisa uji chi square (x2) dengan nilai signifikansi (α) adalah

0,05 dan nilai p value 0,013 dari hasil analisa menggunakan Fisher's Exact Test.

Dapat disimpulkan bahwa ada Hubungan Kepatuhan Diet DM Dengan Proses

Penyembuhan Ulkus Diabetik Pada Pasien DM Tipe 2 di di RSUD Jailolo Kab.

Halmahera Barat.

C. Pembahasan

1. Diabetes

Diabetes merupakan sekelompok penyakit metabolik ditandai adanya

hiperglikemia yang dihasilkan dari cacat dalam sekresi insulin maupun aksi insulin.
Hiperglikemia kronik diabetes juga terkait akan kerusakan jangka panjang, disfungsi

dan kegagalan organ terutama ada organ ginjal, saraf, jantng, mata, dan pembulu

darah (ADA, 2014).

Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif yang mempunyai

angka prevalensi setiap tahunnya meningkat seiring dengan tingkat pertumbuhan

ekonomi. Pada penderita diabetes mellitus mengalami gangguan pada kelenjar

pankreas yaitu tidak dapat atau hanya sedikit memproduksi hormon insulin yang

berfungsi memasukkan glukosa ke dalam sel sehingga insulin tidak dapat memenuhi

kebutuhan tubuh. Hal ini awal dari kerusakan seluruh organ tubuh. Semakin tinggi

konsumsi karbohidrat akan semakin tinggi pula kadar glukosa darah. Kadar glukosa

darah yang tidak terkontrol dapat menyebabkan berbagai komplikasi baik akut

maupun kronis disebabkan oleh kontrol glukosa darah yang buruk (Ernawati, 2013).

Penyakit diabetes melitus tidak dapat disembuhkan, namun dengan pengendalian

melalui pengelolaan diabetes melitus dapat mencegah terjadinya kerusakan dan

kegagalan organ dan jaringan. Diabetes melitus merupakan penyakit yang

berhubungan dengan gaya hidup, karena itu berhasil tidaknya pengelolaan diabetes

melitus sangat tergantung dari pasien itu sendiri dalam mengendalikan kondisi

penyakitnya dengan menjaga kadar glukosa darahnya tetep terkendali. Pengendalian

diabetes melitus dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu edukasi, latihan jasmani,

terapi nutrisi medis (TNM) dan farmakologi (Chayati, 2019).

Keadaan kadar glukosa darah meningkat dapat menyebabkan terjadinya resiko

ulkus kaki yang sukar disembuhkan antara lain penurunan kemampuan pembuluh

darah dalam berkontraksi maupun relaksasi akibatnya perfusi jaringan bagian distal

dari tungkai kurang baik dan keadaan hiperglikemia merupakan lingkungan yang

subur untuk berkembang biaknya kuman patogen yang bersifat anaerob karena plasma
darah penderita diabetes yang tidak terkontrol baik dan memiliki kekentalan

(viskositas) yang tinggi akibatnya aliran darah melambat dan suplai oksigen

berkurang (Maryunani, 2013).

Faktor resiko terjadinya ulkus kaki meliputi usia, lama menderita diabetes mellitus,

jenis kelamin, neuropati diabetes, penyakit arteri perifer, riwayat ulserasi kaki atau

amputasi, kontrol gula darah yang buruk, deformitas kaki, dan merokok, sedangkan

faktor yang mempengaruhi kadar gula darah antara lain diet yang tidak teratur,

olahraga yang kurang, obat-obatan, stress, dan penyakit atau infeksi lainnya (Boulton,

2013).

Menurut klasifikasi derajat ulkus kaki diabetik Wagner terdapat rentang derajat

ulkus dari 0 sampai 5. Semakin tinggi derajat ulkus, semakin parah tingkat luka

diabetik yang dialami (Tarwoto, 2013).

2. Kepatuhan diet

Perubahan pola kehidupan dapat menimbulkan penyakit-penyakit degeneratif

seperti penyakit Serebrovaskuler, Geriatri, Diabetes Mellitus, Rematik dan Katarak.

Diabetes Mellitus menjadi masalah nasional di urutan ke 4 dari prioritas penelitian

nasional untuk penyakit degenerative (Tjokroprawiro, 2012).

Kepatuhan diet merupakan suatu hal yang penting untuk dapat mengembangkan

rutinitas (kebiasaan) yang dapat membantu penderita dalam mengikuti jadwal diet

penderita. Pasien yang tidak patuh dalam menjalankan terapi diet menyebabkan kadar

gula yang tidak terkendali. Kepatuhan dapat sangat sulit dan membutuhkan faktor-

faktor yang mendukung agar kepatuhan dapat berhasil, faktor pendukung tersebut

adalah dukungan keluarga, pengetahuan, dan motivasi agar menjadi bias dengan
perubahan yang dilakukan dengan cara mengatur untuk meluangkan waktu dan

kesempatan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri (Lolulapan, 2009)

Kepatuhan (Compliance) adalah tingkat ketaatan pasien dalam melaksanakan cara

pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh yang lain. Konsep

kepatuhan (Compliance) dalam konteks medis adalah tingkatan yang menunjukkan

perilaku pasien dalam mentaati dan mengikuti prosedur atau saran dari ahli medis.

Kepatuhan (Compliance) atau ketaatan (Adherence) adalah derajat dimana pasien

mengikuti anjuran klinis yang diberikan oleh dokter yang mengobatinya (Safitri,

2013)

Kepatuhan diet penderita DM Tipe 2 sebagai bentuk perilaku kesehatan

merupakan ketaatan keaktifan penderita DM tipe 2 terhadap aturan makan yang

diberikan, kapetuhan diet DM adalah perilaku meyakini dan menjalankan

rekomendasi diet DM yang diberikan oleh petugas kesehatan (Tera, 2011).

Kepatuhan diet merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam penatalaksanaan

penyakit DM tipe 2. Hal tersebut dikarenakan perencanaan makan merupakan salah

satu pilar utama dalam pengelolaan diabetes mellitus tipe 2 (Perkeni, 2011).

Kepatuhan pasien DM tipe 2 terhadap prinsip gizi dan perencanaan makan

merupakan kunci keberhasilan dalam penatalaksanaan penyakit DM tipe 2 namun

merupakan salah satu kendala pada pelayanan diabetes, diet merupakan kebiasaan

yang paling sulit diubah dan paling rendah tingkat kepatuhannya dalam menejemen

diri seorang penderita DM (Lestari, 2012).

3. Hubungan Kepatuhan Diet DM Dengan Proses Penyembuhan Ulkus Diabetik Pada

Pasien DM Tipe 2.

Berdasarkan tabel 6 diatas menggambarkan bahwa hasil analisis hubungan

kepatuhan diet dengan derajat ulkus diabetikum, menunjukkan bahwa dari 18


responden dengan kepatuhan diet yang patuh dengan derajat ulkus derajat 1 sebanyak

11 responden (61.1%), derajat 2 sebanyak 6 responden (33.3%), dan derajat 3

sebanyak 1 responden (5.6%), sedangkan pada pada pasien dengan dengan kepatuhan

diet yang tidak patuh dari 26 responden yang mengalami ulkus derajat 1 sebanyak 6

responden (23.1%), derajat 2 sebanyak 14 responden (11.8%) dan derajat 3 sebanyak

6 responden (23.1%)

Berdasarkan hasil analisa uji chi square (x2) dengan nilai signifikansi (α) adalah

0,05 dan nilai p value 0,045 dari hasil analisa menggunakan Fisher's Exact Test.

Dapat disimpulkan bahwa ada Hubungan Kepatuhan Diet DM Dengan Proses

Penyembuhan Ulkus Diabetik Pada Pasien DM Tipe 2 di di RSUD Jailolo Kab.

Halmahera Barat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chayati, 2019.

Gambaran Kepatuhan Manajeman Diabetes Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Ngoresan

Jebres. Penelitian di Puskesmas Ngoresan yang patuh pada kategori pengobatan

(81%) dan Aktivitas Fisik (76%) dan yang tidak patuh ada kategori pengetahuan

(49%) dan terapi gizi (55%).

Hasil lain yang senada juga dikemukan oleh Theresia dkk (2018) Kepatuhan Diet

Pasien Dm Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Dan Dukungan Keluarga Di Wilayah

Puskesmas Sudiang Raya, menunjukkan bahwa pengetahuan pasien DM di

Puskesmas Sudiang Raya baik (79,2%), umumnya dukungan keluarga (87,5%), dan

pasien DM tidak patuh (91,7%).

Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Verawati

(2016) Hubungan Antara Kadar Glukosa Darah Dengan Derajat Ulkus Kaki Diabetik.

Diperoleh 10,0% derajat 1 ulkus kaki diabetik dengan kadar glukosa darah <200

mg/dl, 40,0% derajat 2 ulkus kaki diabetik dengan kadar glukosa darah ≥200 mg/dl,
50,0% derajat 3 ulkus kaki diabetik dengan kadar glukosa darah ≥200 mg/dl dan tidak

di temukannya derajat ulkus kaki diabetik 0, 4, 5. Uji alternatif yaitu uji kolmogorof

smirnof dengan derajat kepercayaan 95% dan α = 5% yaitu terdapat hubungan antara

derajat ulkus kaki diabetik dengan kadar glukosa darah pada penderita diabetes

mellitus di RSUD Dr. Ibnu Sutowo Baturaja dengan p value = 0,009.

Asumsi peneliti bahwa kepatuhan diet memegang peranan yang begitu penting

dalam penyembuhan luka pada pasien DM, hal ini karena jika seorang pasien patuh

terhadap diet yang sedang dijalaninya maka akan mengontrol kadar gula darahnya

sehingga proses granulasi luka bisa lebih cepat selain dari terapi farmasi.

Anda mungkin juga menyukai