Anda di halaman 1dari 58

MINI PROJECT

GAMBARAN SKRINING FAKTOR RISIKO DIABETES


MELITUS TIPE 2 PADA PASIEN RAWAT JALAN
PUSKESMAS GOMBONG 1

Oleh :
dr. Azizah Amalia Novia Sani
Pendamping :
dr. Anastasia Ardiningsih

PUSKESMAS GOMBONG 1
DINAS KESEHATAN KABUPATEN KEBUMEN
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Transisi epidemiologi biasa disebut dengan perubahan keadaan yang ditandai
dengan adanya perubahan angka kematian dan angka kesakitan akibat penyakit
infeksius menjadi penyakit non infeksius. Hal ini terjadi karena adanya era
globalisasi yang mengubah pola hidup di masyarakat, mulai dari sosial ekonomi dan
tingginya angka harapan hidup. Perubahan tersebut menimbulkan penyakit kronis
seperti jantung, diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit kronis lainnya (Smeltzer
dan Bare, 2008). Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolik
dengan karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya.
Data dari berbagai studi global menyebutkan bahwa penyakit DM adalah
masalah kesehatan yang besar. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan jumlah
penderita diabetes dari tahun ke tahun. IDF menyebutkan pada tahun 2015 sekitar
415 juta orang dewasa memiliki diabetes, kenaikan 4 kali lipat dari 108 juta di tahun
1980an. Apabila tidak ada tindakan pencegahan maka jumlah ini akan terus
meningkat tanpa ada penurunan. Diperkirakan pada tahun 2040 meningkat menjadi
642 juta penderita (IDF, 2015). Indonesia merupakan negara menempati urutan ke-
7 dengan estimasi penderita DM sejumlah 10 juta setelah Cina, India dan Amerika
Serikat, Brazil, Rusia, Mexico. Berdasarkan Riskesdas 2013 terjadi kecenderungan
peningkatan prevalensi DM di Indonesia yaitu dari 5,7% (2007) menjadi 6,9%
(Riskesdas, 2013).
Peningkatan jumlah penderita DM yang sebagian besar DM tipe 2, berkaitan
dengan beberapa faktor yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah, faktor risiko
yang dapat diubah dan faktor lain. Menurut American Diabetes Association (ADA)
bahwa DM berkaitan dengan faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi riwayat
keluarga dengan DM (first degree relative), umur ≥45 tahun, etnik, riwayat
melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah
menderita DM gestasional dan riwayat lahir dengan berat badan rendah (<2,5 kg).
Faktor risiko yang dapat diubah meliputi obesitas berdasarkan IMT ≥25 kg/m2 atau

2
lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90 cm pada laki-laki, kurangnya aktivitas
fisik, hipertensi, dislipidemi dan diet tidak sehat (ADA, 2013).
Sebanyak 2/3 penderita DM di Indonesia tidak mengetahui dirinya memiliki
diabetes dan berpotensi untuk mengakses layanan kesehatan dalam kondisi
terlambat. Lebih dari 60% laki-laki dan 40% perempuan dengan diabetes meninggal
sebelum berusia 70 tahun di wilayah Asia Tenggara. Populasi dari wilayah regional
Asia tenggara secara genetik memang rentan terhadap diabetogenetik lingkungan
sehingga memiliki ambang lebih rendah terhadap faktor seperti usia, kelebihan berat
badan, dan distribusi lemak tubuh. DM tipe 2 terjadi 10 tahun lebih cepat di wilayah
regional Asia Tenggara daripada orang-orang dari wilayah Eropa, pada usia dimana
merupakan masa paling produktif (WHO, 2016).
Diabetes Melitus dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Diabetes
merupakan faktor risiko dari penyakit kardiovaskuler (Hill, 2011). Penderita
diabetes berisiko mengalami Coronary Artery Disease sebanyak 3,2 kali lebih
besar dibandingkan non-penderita, risiko mengalami stroke sebanyak 2,9 kali lebih
besar, dan risiko 1,9 kali lebih besar untuk menderita penyakit terkait jantung
lainnya. Risiko ini meningkat pada penderita diabetes mellitus yang berusia 35-64
tahun (CDC, 2003 dalam Ariza, 2010). Data lain menunjukkan bahwa saat ini, 50%
penderita kasus baru diabetes mellitus tipe-2 di Inggris terdiagnosis mengalami
penyakit kardiovaskuler seperti atherosklerosis (Webb dkk., 2010). Sebanyak 60-
75% kematian akibat DM Tipe-2 di AS merupakan penderita DM dengan
komplikasi penyakit kardiovaskular dan cerebrovaskular (Goldberg, 2007). Selain
itu, rate Hipertensi dan Mikroalbuminuria pada remaja penderita DM Tipe-2 lebih
tinggi dibandingkan dengan remaja penderita DM Tipe-1 di Australia (Eppens,
2006). Selain penyakit kardiovaskuler, DM juga merupakan salah satu penyebab
utama penyakit ginjal dan kebutaan pada usia di bawah 65 tahun, dan juga amputasi
(Marshall dan Flyvbjerg, 2006 dalam Hill, 2011). Selain itu, diabetes juga menjadi
penyebab terjadinya amputasi (yang bukan disebabkan oleh trauma), disabilitas,
hingga kematian (Praet, 2009).
Dampak lain dari diabetes adalah, mengurangi usia harapan hidup. Diabetes
mengurangi usia harapan hidup sebesar 5-10 tahun. DM juga merupakan salah satu
penyebab utama penyakit ginjal dan kebutaan pada usia di bawah 65 tahun, dan

3
juga amputasi (Marshall dan Flyvbjerg, 2006 dalam Hill, 2011). Usia harapan
hidup pada penderita DM Tipe-2 yang mengidap penyakit mental serius, seperti
skizofrenia, bahkan 20% lebih rendah dibanding dengan populasi umum
(Goldberg, 2007).
Komplikasi Diabetes Melitus tersebut menyebabkan pengeluaran kesehatan
yang disebabkan oleh penyakit ini juga ternyata cukup besar. Padahal, fenomena
double burden of disease ini menyebabkan pemerintah perlu melakukan upaya
ekstra untuk menangani masalah kesehatan ini. Prevalensi Diabetes Melitus di
Indonesia juga terbukti meningkat tiap tahunnya sehingga perlu dilakukan upaya
pencegahan supaya prevelansinya tidak bertambah pesat. Untuk menanggulangi
diabetes dengan efektif dan efisien, kita perlu melakukan program pencegahan dan
penanggulangan dengan tepat sasaran. Caranya adalah dengan mengetahui
karakteristik individu yang berisiko untuk menderita diabetes melitus. Berkaitan
dengan permasalahan DM tersebut perlu dilakukan adanya skrining terhadap faktor
risiko DM, sehingga penanganan dan pencegahan kasus DM dapat dilakukan lebih
terarah dan disesuaikan dengan kondisi setempat serta dapat mengurangi jumlah
penderita DM.

B. Rumusan Masalah
Belum diketahuinya gambaran populasi yang berisiko terkena Diabetes Melitus di
wilayah kerja Puskesmas Gombong 1 tahun 2018
1. Bagaimana gambaran risiko kejadian DM tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas
Gombong 1?
2. Bagaimana gambaran risiko kejadian DM tipe 2 menurut faktor tetap seperti
usia, riwayat DM pada keluarga, dan riwayat DM gestasional?
3. Bagaimana gambaran risiko kejadian DM tipe 2 menurut faktor tidak tetap
seperti riwayat hipertensi, aktivitas fisik dan IMT?

4
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran skrining faktor risiko Diabetes Melitus
tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Gombong 1 tahun 2018
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran skrining faktor risiko DM tipe 2 di wilayah kerja
Puskesmas Gombong 1 ditinjau dari usia, riwayat DM gestasional, dan
riwayat DM keluarga
b. Diketahuinya gambaran skrining faktor risiko DM tipe 2 di wilayah kerja
Puskesmas Gombong 1 ditinjau dari riwayat hipertensi, aktivitas fisik
dan IMT

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman penulis
dalam meneliti secara langsung di lapangan
b. Untuk memenuhi salah satu tugas peneliti dalam menjalani program
internship dokter umum Indonesia
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai
faktor risiko Diabetes Melitus tipe 2
3. Bagi Tenaga Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Puskesmas
Gombong 1 untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dalam rangka
pencegahan penyakit Diabetes Melitus tipe 2.

E. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Pemeriksaan Umum (RPU)
Puskesmas Gombong 1. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang
disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dari masing-masing variable yang
diteliti menggunakan analisa unvariat.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Diabetes Melitus adalah suatu penyakit metabolik yang memiliki karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin, ataupun
keduanya (ADA, 2013). Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit
berbahaya yang dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama penyakit kencing
manis. DM adalah penyakit gangguan metabolik yang terjadi secara kronis atau
menahun karena tubuh tidak mempunyai hormon insulin yang cukup akibat
gangguan pada sekresi insulin, hormon insulin yang tidak bekerja sebagaimana
mestinya atau keduanya (Kemenkes RI, 2014). Mufeed Jalil Ewadh (2014)
menyebutkan bahwa DM adalah penyakit gangguan metabolik dengan ciri
ditemukan konsentrasi glukosa yang tinggi di dalam darah (hiperglikemia).
World Health Oragnization atau WHO (2016) menyebutkan bahwa Penyakit
ini ditandai dengan munculnya gejala khas yaitu poliphagia, polidipsia dan poliuria
serta sebagian mengalami kehilangan berat badan. DM merupakan penyakit kronis
yang sangat perlu diperhatikan dengan serius. DM yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan beberapa komplikasi seperti kerusakan mata, ginjal pembuluh darah,
saraf dan jantung.

B. Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA,
2013) yaitu :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi
akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering
kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar
penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada
usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.

6
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik,
kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin
untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam
darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM
type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah
usia 30 tahun.
3. DM gestasional
DM gestasional merupakan diabetes yang dialami pada wanita hamil.
Hal tersebut disebabkan oleh peningkatan sekresi pada berbagai hormon yang
memiliki efek metabolik terhadap toleransi glukosa pada saat kehamilan.
4. DM tipe lain
DM tipe lain ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti defek genetik
fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati, karena zat kimia atau obat, infeksi, dan sindrom genetik lain.

C. Epidemiologi
Prevalensi penderita DM di seluruh dunia sangat tinggi dan cenderung
meningkat setiap tahun. Jumlah penderita DM di seluruh dunia mencapai 415 juta
penderita pada tahun 2015. Jumlah penderita tersebut jauh meningkat dari tahun
1980 yang hanya 180 juta penderita. Jumlah penderita DM yang tinggi terdapat di
wilayah Asia Tenggara dan Western Pacific yang jumlahnya mencapai setengah
dari jumlah seluruh penderita DM di seluruh dunia. Presentase orang dewasa dengan
DM adalah 8,5% dimana artinya satu dari sebelas penduduk adalah penderita DM
dan 3,7 juta kematian disebabkan oleh DM maupun komplikasi dari DM (WHO,
2016).
Data Riskesdas menyatakan diabetes berada diurutan ke 4 penyakit kronis di
Indonesia berdasarkan prevalensinya. Terjadi peningkatan prevalensi DM dari
tahun 2007-2013 sebanyak 1,2%. Pada tahun 2007 prevalensi DM di Indonesia
sebanyak 5,7% dan meningkat menjadi 6,9% pada tahun 2013. Proporsi orang
dengan DM di Jawa Tengah sebanyak 383.431 jiwa, sedangkan di Kabupaten
Kebumen prevalensinya sebanyak 2.216 kasus. Sebanyak 2/3 orang dengan diabetes

7
di Indonesia tidak mengetahui dirinya memiliki DM dan berpotensi untuk
mengakses layanan kesehatan dalam kondisi terlambat (sudah dengan komplikasi).
Diabetes dengan komplikasi merupakan penyebab kematian tertingi ketiga di
Indonesia. Berat badan berlebih atau overweight dan obesitas merupakan faktor
risiko terbesar DM yang prevalensinya terus meningkat (Riskesdas, 2013).

D. Patofisiologi
Diabetes Melitus disebabkan oleh adanya gangguan hormonal. Pada DM tipe
1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) disebabkan oleh adanya
kerusakan pada sel beta pankreas akibat proses autoimun, sedangkan DM tipe 2 atau
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) disebabkan oleh resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin merupakan menurunnya
kemampuan insulin dalam merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer,
sehingga menghambat produksinya di hati (Mansjoer et al., 2000; Smeltzer & Bare,
2008).
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah
dikenal merupakan patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan
lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha
pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimburkan terjadinya
gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2 (PERKENI, 2015).
Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet)
penting dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang
(PERKENI, 2015) :
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan
hanya untuk menurunkan HbAlc saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada
gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.

8
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa.
DeFronzo pada tahun 2009 menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan
sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-
2 tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous
octet.

Gambar 2.1 The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam
patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2

E. Faktor Risiko Diabetes Melitus


Risiko adalah probabilitas atau kemungkinan terjadinya penyakit atau
gangguan kesehatan. Sedangkan Faktor risiko atau Risk Factor merupakan salah
satu istilah dari risiko berupa penjabaran dari faktor- faktor determinan epidemiologi
suatu penyakit yang menentukan kemungkinan terjadinya suatu penyakit. Faktor
risiko bisa berupa karakteristik, perilaku, gejala, atau keluhan dari seseorang yang
tidak menderita yang secara statistik berhubungan dengan peningkatan insiden
sebuah penyakit (Bustan, 2008).
Diabetes Melitus Tipe 2 merupakan penyakit multifaktoral dengan komponen
genetik dan lingkungan yang memberikan kontribusi sama kuatnya terhadap proses
timbulnya penyakit tersebut. Sebagian faktor dapat dimodifikasi melalui perubahan
gaya hidup, sementara sebagian lainnya tidak dapat diubah. Faktor risiko Diabetes

9
Melitus antara laian adalah kadar glukosa darah yang tinggi, riwayat keluarga
menderita DM, obesitas, kurang aktivitas fisik, usia, hipertensi, riwayat DM saat
hamil, dan Sindrom Polikistik pada wanita (Michael dkk, 2005).
Ruang Lingkup Faktor Risiko DM dibagi atas dua faktor yaitu faktor yang
dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.
1. Faktor Risiko yang tidak dapat dimodifikasi
Faktor risiko yang sudah melekat pada seseorang sepanjang hidupnya
atau faktor risiko tetap. Sehingga faktor risiko tersebut tidak dapat dikendalikan.
Faktor risiko DM yang tidak dapat di modifikasi antara lain :
a. Ras dan Etnik
Ras atau etnik yang dimaksud adalah seperti suku atau kebudayaan
setempat dimana suku atau budaya dapat menjadi salah satu faktor risiko
DM yang berasal dari lingkungan. Biasanya, penyakit yang berhubungan
dengan ras atau etnik pada umumnya berkaitan dengan faktor genetik
dan faktor lingkungan (Masriadi, 2012).
b. Usia
Usia merupakan salah satu karakteristik yang melekat pada host atau
penderita penyakit. Usia mempunyai hubungan dengan tingkat
keterpaparan, besarnya fisik, serta sifat resistensi tertentu. Usia juga
berhubungan erat dengan sikap dan perilaku, juga karakteristik tempat
dan waktu. Perbedaan pengalaman terhadap penyakit menurut usia
sangat berhubungan dengan perbedaan tingkat keterpaparan dan proses
patogenesis (Masriadi, 2012).
Hasil analisis multivariat pada penelitian ” Gaya Hidup dan Status
Gizi Serta Hubungannya Dengan Diabetes Melitus Pada Wanita Dewasa
di DKI Jakarta ” menunjukkan bahwa faktor-faktor risiko Diabetes
Melitus pada perempuan dewasa antara lain usia > 45 tahun baik pada
wanita obes maupun tidak obes. Dalam penelitian Radio Putro tentang
“Studi Kasus di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Kariadi”
bahwa salah satu faktor risiko yang terbukti berhubungan dengan
kejadian DM tipe 2 adalah usia≥ 45 tahun.
Diabetes seringkali ditemukan pada masyarakat dengan usia tua

10
karena pada usia tersebut, fungsi tubuh secara fisiologis menurun dan
terjadi penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga kemampuan
fungsi tubuh terhadap pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang
optimal (Gusti & Erna, 2014)

c. Riwayat Keluarga Menderita DM


Seorang anak merupakan keturunan pertama dari orang tua dengan
DM (Ayah, ibu, saudara laki-laki, saudara perempuan). Risiko seorang
anak mendapat DM tipe 2 adalah 15% bila salah seorang tuanya
menderita DM dan kemungkinan 75% bilamana kedua-duanya
menderita DM. Pada umumnya apabila seseorang menderita DM maka
saudara kandungnya mempunyai risiko DM sebanyak 10% (Kemenkes
RI, 2008).
Risiko untuk mendapatkan DM dari ibu lebih besar 10-30% dari
pada ayah dengan DM. Hal ini dikarenakan penurunan gen sewaktu
dalam kandungan lebih besar dari ibu (Trisnawati & Soedijono, 2013).

d. Pernah melahirkan Bayi dengan Berat Badan ≥4.000 gram.


Wanita yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan berat lebih
dari 4000 gram dianggap berisiko terhadap kejadian Diabetes Melitus
baik tipe 2 maupun gestasional. Wanita yang pernah melahirkan bayi
dengan berat lebih dari 4 kg (4.000 gram/9 pounds) biasanya dianggap
sebagai praDiabetes (Lanywati, 2001).

2. Faktor Risiko yang dapat dimodifikasi


Faktor risiko yang dapat di modifikasi (Modifiable risk factor) artinya
faktor risiko ini akan bisa di hindari dengan memodifikasi atau disiasati dengan
tindakan tertentu sehingga faktor risiko itu menjadi tidak ada lagi. Faktor risiko
yang bisa di modifikasi :
a. Obesitas (IMT lebih dari 25kg/m2)
Obesitas adalah ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dengan
kebutuhan energi yang disimpan dalam bentuk lemak (jaringan subkutan

11
tirai usus, organ vital jantung, paru-paru, dan hati). Obesitas juga
didefinisikan sebagai kelebihan berat badan (Gusti & Erna, 2014). Indeks
masa tubuh orang dewasa normalnya ialah antara 18,5-25 kg/m2. JIka lebih
dari 25 kg/m2 maka dapat dikatakan seseorang tersebut mengalami obesitas.
Sebuah penelitian dilakukan oleh Shara dan Soedijono pada tahun 2012
untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Cengkareng, Jakarta
Barat. Dengan disai studi cross sectional didapatkan bahwa usia, riwayat
keluarga, aktfivitas fisik, tekanan darah, stres dan kadar kolestrol
berhubungan dengan kejaidan DM Tipe 2. Variabel yang sangat memiliki
hubungan dengan kejadian DM Tipe 2 adalah Indeks Massa Tubuh.
Pada pasien Diabetes tipe 2, pankreas yang memproduksi insulin
sebagian rusak. Sehingga insulin tidak dapat dihasilkan dalam jumlah yang
cukup. Kegemukan melambangkan seperti seakan- akan lubang kunci pada
sel-sel berubah bentuk sehingga diperlukan lebih banyak insulin. Namun
peningkatan kebutuhan insulin tersebut tidak dapat dipenuhi. Sebagai
akibatnya, konsentrasi glukosa darah menjadi tinggi (Sidartawan, 2008).
Ambilan (uptake) glukosa oleh sel yang meliputi sel otak, sel darah
merah, sel mukosa usus, tubulus renalis, dan plasenta. Di bawah pengaruh
insulin, sel-sel tersebut menggunakan glukosa sebagai bahan bakar dan
bukan lemak atau protein. Efek samping utama yang ditimbulkan oleh
insulin adalh hipoglikemia. Pada saat melakukan aktivitas fisik atau latihan
fisik, akan terjadi mekanisme lain yang digunakan oleh otot yang sedang
melakukan exercise (latihan fisik) untuk mengambil glukosa tanpa
bergantung pada insulin (Jordan, 2002).
b. Obesitas abdominal
Kelebihan lemak di sekitar otot perut berkaitan dengan gangguan
metabolik, sehingga mengukur lingkar perut merupakan salah satu cara
untuk mengukur lemak perut (Balkau, 2014). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Trisnawati dkk pada tahun 2013 di Puskesmas Kecamatan
Denpasar Selatan menunjukkan bahwa orang yang mengalami obesitas
abdominal (Lingkar perut pria >90 cm dan wanita >80 cm) berisiko 5,19

12
kali menderita Diabetes Melitus Tipe 2 (95% CI 2,31-11,68).Hal ini dapat
dijelaskan bahwa obesitas sentral khususnya di perut yang digambarkan
oleh lingkar pinggang lebih sensitif dalam memprediksi gangguanm akibat
resistensi insulin pada DM tipe 2 (Trisnawati dkk, 2013).
Pada orang yang obes, terjadi peningkatan pelepasan asam lemak bebas
(Free Fatty Acid/FFA) dari lemak visceral (lemak pada rongga perut) yang
lebih resisten terhadap efek metabolik insulin dan lebih sensitif terhadap
hormon lipolitik. Peningkatan FFA menyebabkan hambatan kerja insulin
sehingga terjadi kegagalan uptake glukosa ke dalam sel yang memicu
peningkatan produksi glukosa hepatik melalui proses glukoneosis
(Kemenkes RI, 2008).
Peningkatan jumlah lemak abdominal mempunyai korelasi positif
dengan hiperinsulin dan berkorelasi negatif dengan sensitivitas insulin
(Kemenkes RI, 2008). Itulah sebabnya mengapa obesitas abdominal
menjadi berisiko terhadap kejadian Diabetes Melitus. Untuk megukur
obesitas abdominal ialah dengan cara mengukur lingkar perutnya. Obesitas
abdominal ialah jika lingkar perut pada laki-laki >90 cm, sedangkan pada
wanita >80 cm.
c. Kurangnya aktifitas Fisik
Kurang aktivitas fisik dan obesitas merupakan faktor yang paling
penting dalam peningkatan kejadian Diebets Melitus tipe 2 di seluruh dunia
(Rios, 2010). Menurut WHO yang dimaksud dengan aktifitas fisik adalah
kegiatan paling sedikit 10 menit tanpa henti dengan melakukan kegiatan
fisik ringan, sedang dan berat. Aktifitas berat adalah pergerakan tubuh yang
menyebabkan pengeluaran tenaga cukup banyak (pembakaran kalori)
sehingga nafas jauh lebih cepat dari biasanya. Contohnya mengangkat air,
mendaki, berjalan cepat, mengangkat beban, tenis tunggal, badminton
tunggal, marathon, mencangkul dan menebang pohon. Aktivitas sedang
adalah pergerakan tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga cukup
besar atau dengan kata lain adalah bergerak yang menyebabkan nafas lebih
sedikit lebih cepat dari biasanya. Contohnya pekerjaan rumah tangga
(mencuci baju dengan tangan, mengepel, menimba air), tenis ganda,

13
badminton ganda, berenang dan berjalan membawa beban. Sedangkan
contoh aktifitas ringan adalah berjalan dan pekerjaan kantor seperti
mengetik. Dengan kata lain, aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang
meningkatkan pengeluaran tenaga/energi dan pembakaran energi. Aktivitas
fisik dikategorikan cukup apabila seseorang melakukan latihan fisik atau
olah raga selama 30 menit setiap hari atau minimal 3-5 hari dalam seminggu
(Kemenkes RI, 2011).
Latihan olah raga secara teratur dapat membantu meningkatkan
sensitivitas tubuh terhadap insulin, yang membantu menjaga kadar gula
darah dalam kisaran normal. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan
pada pria yang diikuti selama 10 tahun, untuk setiap 500 kkal yang dibakar
per minggu melalui latihan, ada penurunan 6% risiko relatif untuk
pengembangan Diabetes. Penelitian itu juga mencatat manfaat yang lebih
besar pada pria yang lebih gemuk. Penggolongan aktivitas fisik menurut
WHO yang sesuai dengan pengendalian faktor risiko DM adalah dengan
melakukan latihan fisik sedang sampai berat selama 30 menit atau lebih
secara terus menerus dan dilakukan seminggu tiga kali merupakan aktivitas
fisik yang dapat meningkatkan kebugaran jasmani (Kemenkes RI, 2008).
Kegiatan fisik dan olahraga teratur sangatlah penting selain untuk
menghidari kegemukan, juga untuk mencegah terjadinya diabete Melitus
tipe 2. Pada waktu bergerak, otot-otot memakai lebih banyak glukosa
daripada pada waktu tidak bergerak. Dengan demikian kosentrasi glukosa
darah akan turun. Melalui olahraga/kegiatan jasmani, insulin akan bekerja
lebih baik, sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel-sel otot untuk
dibakar (Sidartawan, 2008).
Hasil penelitian Fitriyani di Kota Cilegon padatahun 2012
menunjukkan bahwa orang yang aktivitas sehari-harinya ringan memiliki
risiko 2,68 kali untuk menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan orang
yang aktivitas fisik sehari-harinya sedang dan berat.
d. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik yang tingginya
tergantung usia individu yang terkena. Tekanan darah berfluktuasi dalam

14
batas-batas tertentu, tergantung posisi tubuh, usiadan tingkat stres yang di
alami. Hipertensi dengan peningkatan tekanan sistol tanpa disertai
eningkatan diastol lebih sering terjadi pada lansia, sedangkan hipertensi
peningkatan tekanan diastol tanpa disertai peningkatan tekanan sistol lebih
sering terdapat pada dewasa muda.
Selain menjadi faktor risiko Diabetes Melitus tipe 2, hipertensi juga
merupakan kondisi umum yang biasanya berdampingan dengan DM dan
memperburuk komplikasi DM dan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular (Mangesha, 2007). Berdasarkan penelitian kohort yang
dilakukan oleh David Conen dkk (2007) pada wanita yang sehat
menunjukkan bahwa tekanan darah tinggi (selama 10 tahun masa
pengamatan) bisa berkembang menjadi Diabetes Melitus tipe 2.
Disimpulkan bahwa wanita yang memiliki tekanan darah tinggi memiliki
risiko yang tinggi terkena Diabetes Melitus tipe 2 dibandingkan dengan
wanita yang tekanan darahnya normal.
Disfungsi endotel bisa menjadi salah satu patofisiologi umum yang
menjelaskan hubungan kuat antara tekanan darah dan Kejadian Diabetes
Melitus tipe 2. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa penanda
disfungsi endotel berhubungan dengan onset Diabetes dan disfungsi endotel
berkaitan erat dengan tekanan darah dan hipertensi (Conen dkk, 2007).
Beberapa literatur mengaitkan hipertensi dengan resistensi insulin.
Pengaruh hipertensi terhadap kejadian Diabetes melitus disebabkan oleh
penebalan pembuluh darah arteri yang menyebabkan diameter pembuluh
darah menjadi menyempit. Hal ini akan menyebabkan proses pengangkutan
glukosa dari dalam darah menjadi terganggu.

e. Dislipidemia (HDL < 35mg/dl dan atau trigliserida >250mg/dl)


Dislipidemia adalah suatu perubahan kadar normal komponen lipid
darah, dapat meningkat (misalnya kolesterol, trigliserid, LDL dan lainnya)
atau menurun (misalnya HDL) (Tapan, 2005).
Dislipidemia merupakan salah satu faktor risiko utama aterosklerosis
dan penyakit jantung koroner. Dislipidemia adalah salah satu komponen

15
dalam trias sindrom metabolik selain Diabetes dan hipertensi (Pramono,
2009).

f. Pola Konsumsi tidak sehat (unhealthy diet)


Pemberian makanan yang sebaik-baiknya harus memperhatikan
kemampuan tubuh seseorang untuk mencerna makanan, usia, jenis kelamin,
jenis aktivitas, dan kondisi tertentu seperti sakit, hamil, menyusui. Untuk
hidup dan meningkatkan kualitas hidup, setiap orang memerlukan 5
kelompok zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral) dalam
jumlah yang cukup, tidak berlebihan dan tidak juga kekurangan. Di samping
itu, manusia memerlukan air dan serat untuk memperlancar berbagai proses
faali dalam tubuh (Kemenkes RI, 2008).
Peningkatan asupan buah-buahan dan sayuran telah disahkan sebagai
kebijakan kesehatan masyarakat untuk indikator pola hidup sehat.
Pengurangan asupan lemak dan peningkatan serat telah dilihat sebagai
alasan umumuntuk peningkatan konsumsi buah dan sayuran. Peningkatan
asupan serat dapat memperbaiki kontrol glikemik pada Diabetes (Jenkins,
2003).
Diet sehat yang berkaitan dengan penyakit Diabetes adalah konsumsi
sayur dan buah sebagai asupan serat untuk membantu metabolisme.
Sedangkan konsumsi gula atau makanan yang terlalu manis dengan jumlah
yang sangat berlebihan dapat menimbulkan risiko Diabetes Melitus.
Penelitian yang dilakukan oleh Sufiati dan Erma pada tahun 2012,
membuktikan bahwa asupan serat berhubungan erat dengan kadar gula
darah, kolesterol total dan status gizi pada penderita Diabetes Melitus.
Serat pangan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi glukosa
post-prandial dan respon insulin. Efek dari berbagai komponen serat
makanan berperan dalam pencegahan dan manajemen dari berbagai
penyakit, termasuk Diabetes tipe 2, sejak tahun tujuh puluhan. Serat bisa
meningkatkan sensitivitas insulin. Banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa asupan serat makanan yang relatif rendah secara signifikan
meningkatkan risiko Diabetes Melitus tipe 2 (Steyn, 2004).

16
Penyakit kronik seperti Diabetes Melitus tipe 2 muncul sebagai akibat
dari perubahan gaya hidup. Kebiasaan dan rutinitas yang merugikan
memiliki kekuatan untuk merusak kesehatan. Gaya hidup sedentarial
(banyak duduk), kebiasaan merokok, minum alkohol, diet tinggi lemak dan
kurang serat, obesitas, stress serta mengkonsumsi narkoba dan bahan kimia
pengawet bisa menjadi faktor penyebab terjadinya penyakit kronik
termasuk Diabetes Melitus (Suharjo & Cahyono, 2008).
g. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko terkenal dalam banyak penyakit,
termasuk berbagai jenis kanker dan penyakit kardiovaskular termasuk
Diabetes Melitus. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa merokok
merupakan faktor risiko untuk Diabetes Melitus tipe 2. Merokok telah
diidentifikasi sebagai faktor risiko yang memungkinkan untuk terjadinya
resistensi insulin. Merokok juga telah terbukti menurunkan metabolisme
glukosa yang dapat menyebabkan timbulnya Diabetes Melitus tipe 2. Ada
juga beberapa bukti yang menunjukkan bahwa merokok meningkatkan
risiko Diabetes melalui mekanisme indeks massa tubuh. Merokok juga telah
dikaitkan dengan risiko pankreatitis kronis dan kanker pankreas,
menunjukkan bahwa asap rokok dapat menjadi racun bagi pancreas (ASH,
2012).
Merokok meningkatkan kejadian Diabetes dan memperburuk
homeostasis glukosa dan komplikasi Diabetes kronis. Dalam komplikasi
mikrovaskuler, onset dan perkembangan nefropati Diabetes sangat
berhubungan dengan merokok. Merokok dikaitkan dengan resistensi
insulin, peradangan dan dyslipidemia. Dalam komplikasi makrovaskuler,
merokok dikaitkan dengan kejadian 2 sampai 3 kali lebih tinggi PJK dan
kematian. Namun, pencegahan merokok dan berhenti merokok mungkin
tidak cukup ditekankan dalam Diabetes klinik (Chang, 2012).
Sebuah tinjauan sistematis dilakukan terhadap 25 studi menemukan
bahwa ada hubungan antara merokok aktif dan peningkatan risiko Diabetes.
Risiko yang berhubungan dengan merokok Diabetes meningkat dengan
jumlah rokok yang dihisap. The Cancer Prevention Study 1, sebuah studi

17
kohort menemukan bahwa wanita yang merokok lebih dari 40 batang sehari
memiliki 74% peningkatan risiko Diabetes, sedangkan risiko pada laki-laki
meningkat 45% . Ada juga beberapa bukti, termasuk sebuah studi kohort
tahun 2011 lebih dari 10.000 orang, yang menunjukkan bahwa paparan asap
rokok dapat menjadi faktor risiko untuk pengembangan Diabetes Melitus
tipe 2 (ASH, 2012).

F. Manifestasi Klinis
Penyakit DM dapat menimbulkan berbagai gejala-gejala pada penderita. Gejala-
gejala yang muncul pada penderita DM sangat bervariasi antara satu penderita
dengan penderita lainnya bahkan, ada penderita DM yang tidak menunjukkan gejala
yang khas penyakit DM sampai saat tertentu. Gejala-gejala DM tersebut telah
dikategorikan menjadi gejala akut dan gejala kronis (Fitriyani, 2015).
Gejala klasik Diabetes Melitus (DM) adalah rasa haus yang berlebihan
(polidipsi), sering kencing terutama pada malam hari (poliuri), banyak makan
(polifagi) serta berat badan yang turun dengan cepat. Gejala kronik DM adalah Kulit
terasa panas, kebas, seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal pada kulit, kram,
keleahan, mudah mengantuk, penglihatan memburuk (buram) yang ditandai dengan
sering berganti lensa kacamata, gigi mudah goyah dan mudah lepas, keguguran pada
ibu hamil dan ibu melahirkan dengan berat bayi yang lebih dari 4 kilogram (Suyono,
2007).

G. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah ,pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria,
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti (PERKENI, 2015):
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

18
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Kriteria Diagnosis DM menurut PERKENI, 2015 antara lain :

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi; toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam
<14O mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl.
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

H. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup
Diabetes Melitus (DM) (Sudoyo Aru, 2006).
Tujuan penatalaksanaan DM adalah :
• Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
• Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan
adalah turunnya morbiditas dan maortalitas dini DM.

19
Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus menurut PERKENI 2015, adalah :
1. Edukasi
Diabetes dan pola hidup memiliki hubungan yang erat, terutama
pada DM tipe 2. Penatalaksanaan pada klien dengan DM memerlukan
partisipasi aktif dari klien, keluarga ataupun masyarakat. Partisipasi
aktif tersebut akan dapat dilakukan dengan adanya perubahan perilaku,
sehingga diperlukan adanya edukasi atau pendidikan yang diberikan
pada klien dan keluarga
2. Terapi gizi medis
Terapi gizi dan diet merupakan salah satu kunci dasar dari
penatalaksanaan DM. Prinsip pengaturan gizi dan nutrisi pada pasien
DM tipe 2 yaitu makanan yang seimbang dan kebutuhan kalori serta zat
gizi disesuaikan pada masing- masing individu. Penatalaksanaan gizi
dan nutrisi tersebut memiliki tujuan, yaitu (a) memenuhi unsur makanan
esensial; (b) memperoleh berat badan yang sesuai dan mempertahankan
berat badan ideal tersebut; (c) memenuhi kebutuhan energi; (d)
memperoleh serta mempertahankan kadar glukosa darah dalam rentang
normal dan mencegah kenaikan kadar gula darah; dan (e) menurunkan
kadar lemak darah
3. Latihan jasmani
Latihan jasmani atau latihan fisik merupakan salah satu pilar
yang perlu dilaksanakan sacara teratur. Kegiatan latihan fisik ini dapat
menjaga kebugaran serta dapat memberikan dampak penurunan berat
badan serta memperbaiki sensitivitas insulin. Hal tersebut akan
memberikan dampak pada perbaikan pengendalian glukosa dalam
darah. Latihan jasmani ini dapat dilakukan dengan berjalan kaki,
berenang, atau aktivitas fisik yang tidak terlalu berat. Pelaksanaan
aktivitas jasmani ini dapat disesuaikan dengan kemampuan klien dan
dapat ditingkatkan sesuai dengan perkembangan yang ada

20
4. Intervensi farmakologis
Terapi farmakologis dilakukan beriringan dan diimbangi dengan
pelaksanaan pengaturan diet dan latihan jasmani. Terapi farmakologis
yang dapat diberikan terdiri dari obat hipoglikemik oral dan terapi
insulin. Ada dua jenis obat hipoglikemik oral yaitu pemicu sekresi
insulin dan penambah sensitivitas terhadap insulin. Obat yang termasuk
dalam pemicu sekresi insulin yaitu sulfonylurea dan glinid, sedangkan
yang termasuk dalam golongan obat penambah sensitivitas terhadap
insulin yaitu biguanid, tiazolidindion, penghambat glukosidase alfa dan
inkretin mimetik. Terapi farmakologis lain yang dapat dilakukan selain
obat hipoglikemik oral adalah dengan terapi insulin. Berdasarkan
PERKENI (2015) insulin dibagi menjadi lima jenis yaitu (a) insulin
kerja cepat (rapid acting insulin); (b) insulin kerja pendek (short acting
insulin); (c) insulin kerja menengah (intermediate acting insulin); (d)
insulin kerja panjang (long acting insulin); (e) insulin campuran tetap,
kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis
dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2 – 4 minggu). Apabila kadar
glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis
dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada
keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung
kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,
misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat adan yang menurun dengan
cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang
pemantauan mandiri tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya
harus diberikan pada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah
dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus
(PERKENI, 2006)

I. Pencegahan Diabetes Melitus


Masalah Diabetes Melitus di Indonesia cukup besar sehingga, Kementerian
Kesehatan RI memprioritaskan pengendalian DM diantara gangguan penyakit

21
metabolik lainnya selain penyakit penyerta seperti hipertensi, jantung korononer dan
stroke. Kementerian Kesehatan saat ini fokus pada pengendalian faktor risiko DM
melaui upaya promotif dan preventif dengan tidak mengesampingkan upaya kuratif
dan rehabilitatif. Saat ini pelayanan DM sudah dilaksanakan di Puskesmas dengan
pemberian obat sesuai kemampuan daerah masing-masing, Pada penyandang DM
rujuk balik dari Rumah Sakit yang merupakan peserta askes dapat diberikan obat oral
maupun suntikan selama 30 hari atau sesuai rekomendasi dokter RS (Kemenkes RI,
2013).
Upaya pencegahan Diabetes Mellitus di Indonesia terdiri dari upaya
pencegahan pirmer, sekunder dan tersier. Upaya tersebut akan dijelaskan sebagai
berikut :
a. Pencegahan Primer
Sasaran dari program pencegahan primer penyakit Diabetes Melitus
adalah kelompok masyarakat sehat. Kegiatan pokoknya berupa penggerakan
peran serta masyarakat dalam PHBS (mencakup perilaku tidak merokok,
meningkatkan aktivitas fisik, serta menerapkan pola konsumsi yang sehat).
Selain itu dilakukan deteksi dini faktor risiko DM tipe 2 secara rutin melalui
UKBM seperti Posbindu, serta peningkatan komunikasi, informasi, dan
edukasi faktor risiko DM (Kemenkes RI, 2008).
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan terhadap populasi berisiko dan
penderita DM. Kegiatan pengendalian meliputi penatalaksanaan faktor
risiko bagi populasi berisiko melalui pelayanan kesehatan dasar dan UKBM.
Sedangkan untuk penatalaksanaan kasus DM secara efektif oleh petugas
kesehatan. KIE juga diberikan kepada pasien dan keluarganya untuk
perawatan dan pencegahan komplikasi akibat DM. Pencegahan sekunder
bagi pasien DM bertujuan untuk melindungi pasien dari komplikasi
(Kemenkes RI, 2008).
Penderita Diabetes Melitus tidak bisa sembuh secara total, sehingga
diperlukan upaya perubahan gaya hidup seperti pola makan, aktivitas fisik,
serta mengkonsumsi obat secara rutin. Pengaturan pola makan dilakukan
untuk mengendalikan kadar glukosa dalam darah (David dan Linda, 2010).

22
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dilakukan kepada pasien DM yang telah
mengalami komplikasi. Pencegahan berupa perawatan luka dan gangguan
fungsi organ tubuh lainnya akibat komplikasi DM. Pencegahan tersier pada
pasien DM dilakukan untuk mencegah kecacatan dan kematian. Biasanya
komplikasi yang paling sering dialami penderita DM adalah infeksi pada
kaki yang bahkan bisa menyebabkan amputasi pada kaki bila sudah
memburuk. Oleh karena itu perawatan kaki bagi penderita DM sangat
diperlukan (Kemenkes RI, 2008).

J. Kegawatan pada DM
• Hipoglikemia
Hipoglikemia didefinisikan sebagai keadaan di mana kadar glukosa
plasma lebih rendah dari 45 mg/dl–50 mg/dl. Bauduceau, dkk
mendefinisikan hipoglikemia sebagai keadaan di mana kadar gula darah di
bawah 60 mg/dl disertai adanya gelaja klinis pada penderita (Bauduceau,
2010).
Pasien diabetes yang tidak terkontrol dapat mengalami gejala
hipoglikemia pada kadar gula darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan
orang normal, sedangkan pada pasien diabetes dengan pengendalian gula
darah yang ketat (sering mengalami hipoglikemia) dapat mentoleransi kadar
gula darah yang rendah tanpa mengalami gejala hipoglikemia. Pendekatan
diagnosis kejadian hipoglikemia juga dilakukan dengan bantuan Whipple’s
Triad yang meliputi: keluhan yang berhubungan dengan hipoglikemia, kadar
glukosa plasma yang rendah, dan perbaikan kondisi setelah perbaikan kadar
gula darah (Cryer, 2003).
Menurut Soeatmadji (2008) hipoglikemia akut diklasifikasikan
menjadi ringan, sedang, dan berat menurut gejala klinis yang dialami oleh
pasien sesuai Tabel 2.1

Tabel 2.1. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut


Ringan Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan
aktivitas sehari – hari yang nyata

23
Sedang Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan
aktivitas sehari – hari yang nyata
Berat Sering tidak simtomatik, pasien tidak dapat mengatasi sendiri
karena adanya gangguan kognitif
1. Membutuhkan pihak ketiga tetapi tidak membutuhkan
terapi parenteral
2. Membutuhkan terapi parenteral (glukagon intramuskuler
atau intravena)
3. Disertai kejang atau koma

Gejala dan Tanda Hipoglikemia

Gejala dan tanda dari hipoglikemia merupakan akibat dari aktivasi

sistem saraf otonom dan neuroglikopenia. Pada pasien dengan usia lajut dan

pasien yang mengalami hipoglikemia berulang, respon sistem saraf otonom

dapat berkurang sehingga pasien yang mengalami hipoglikemia tidak

menyadari kalau kadar gula darahnya rendah (hypoglycemia unawareness).

Kejadian ini dapat memperberat akibat dari hipoglikemia karena penderita

terlambat untuk mengkonsumsi glukosa untuk meningkatkan kadar gula

darahnya (Kushner, 2011).

Tabel 2.2. Gejala dan tanda yang muncul pada keadaan hipoglikemia
Kadar Gula Gejala Neurogenik Gejala Neuroglikopenik
Darah
79,2 mg/dL gemetar, goyah, gelisah irritabilita, kebingungan
70,2 mg/dL gugup, berdebar – debar sulit berpikir, sulit
berbicara
59,4 mg/dL berkeringat ataxia, paresthesia
50,4 mg/dL mulut kering, rasa kelaparan sakit kepala, stupor,
39,6 mg/dL pucat, midriasis kejang, koma, kematian
(Briscoe et al, 2006)

24
Rekomendasi tatalaksana hipoglikemia menurut PERKENI (2015) adalah sebagai
berikut :
• Hipoglikemia Ringan:
1. Pemberian konsumsi makanan tinggi gula (karbohidrat sederhana )
2. Gula murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain yang
berisi glukosa juga efektif untuk menaikkan gula darah
3. Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon kenaikkan
gula darah.
4. Glukosa 15-20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah terapi
pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar
5. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15
menit pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15 menit
setelah pengobatan hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan dapat diulang
kembali
6. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal,
pasien diminta untuk makan atau mengkonsumsi snack untuk mencegah
berulangnya hipoglikemia
• Hipoglikemia berat:
1. Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa
pemberian dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa diberikan
dextore 40% sebanyak 25 cc), diikuti dengan infus D5% atau D10%
2. Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian i.v tersebut. Bila kadar
glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang pemberian
dextrose 20%
3. Selanjutnya lakukan monitoring gula darah setiap 1-2 jam kalau masih
terjadi hipoglikemia berulang pemberian Dekstrose 20% dapat diulang
4. Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia

• Krisis Hiperglikemia
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada
Diabetes Melitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan
komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol

25
baik. Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik
(KAD), status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai
elemen kedua keadaan diatas (PERKENI, 2015).
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang
ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl),
disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat (300-320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan anion gap. Status
Hiperglikemi Hiperolmolar (SHH) adalah suatu keadaan dimana terjadi
peningkatan glukosa darah sangat tinggi (500-1200 mg/dl), tanpa tanda dan
gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml),
plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat. Kedua keadaan
(KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi, sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan
penatalaksanaan yang memadai (PERKENI, 2015).

Manifestasi Klinis
Keadaan dekompensasi metabolik akut biasanya didahului oleh gejala
diabetes yang tidak terkontrol. Gejala-gejalanya antara lain lemah badan,
pandangan kabur, poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan. KAD
berkembang dengan cepat dalam waktu beberapa jam, sedangkan SHH
cenderung berkembang dalam beberapa hari yang mengakibatkan
hiperosmolalitas. Dehidrasi akan bertambah berat bila disertai pemakaian
diuretika. Gejala tipikal untuk dehidrasi adalah membran mukosa yang kering,
turgor kulit menurun, hipotensi dan takikardia. Pada pasien tua mungkin sulit
untuk menilai turgor kulit. Demikian juga pasien dengan neuropati yang lama
mungkin menunjukkan respons yang berbeda terhadap keadaan dehidrasi. Status
mental dapat bervariasi dari sadar penuh, letargi, sampai koma.
Bau nafas seperti buah mengindikasikan adanya aseton yang dibentuk dengan
ketogenesis. Mungkin terjadi pernafasan Kussmaul sebagai mekanisme
kompensasi terhadap asidosis metabolik. Pada pasien-pasien SHH tertentu,

26
gejala neurologi fokal atau kejang mungkin merupakan gejala klinik yang
dominan (ADA, 2008).
Walaupun infeksi adalah faktor presipitasi yang sering untuk DKA dan
SHH, pasien dapat normotermik atau bahkan hipotermik terutama oleh karena
vasodilatasi perifer. Hipotermia, jika ada, adalah suatu petanda buruknya
prognosis. Nyeri abdomen lebih sering terjadi pada KAD dibandingkan dengan
SHH. Diperlukan perhatian khusus untuk pasien yang mengeluh nyeri abdomen,
sebab gejala ini bisa merupakan akibat ataupun faktor penyebab DKA (terutama
pada pasien muda). Evaluasi lebih lanjut harus dilakukan jika keluhan ini tidak
berkurang dengan perbaikan dehidrasi dan asidosis metabolic (Gaglia et all,
2004).
Pemeriksaan penunjang
Evaluasi Laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau SHH
meliputi penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin serum, keton,
elektrolit (dengan anion gap), osmolaritas, analisa urine, benda keton urin
dengan dipstik, analisa gas darah pemeriksaan sel darah lengkap dengan hitung
jenis, dan elektrokardiogram. Kultur bakteri dari air seni, darah, dan
tenggorokan dan lain-lain harus dilakukan dan antibiotik yang sesuai harus
diberikan jika dicurigai ada infeksi. HbA1c mungkin bermanfaat untuk
menentukan apakah episode akut ini adalah akumulasi dari suatu proses
evolusiner yang tidak didiagnosis atau DM yang tidak terkontrol ,atau suatu
episode akut pada pasien yang terkendali dengan baik. Foto thorax harus
dikerjakan jika ada indikasi.
Konsentrasi natrium serum pada umumnya berkurang oleh karena
perubahan osmotik yang terjadi terus menerus dari intrasellular ke extracellular
dalam keadaan hiperglikemia. Konsentrasi kalium serum mungkin meningkat
oleh karena pergeseran kalium extracellular yang disebabkan oleh kekurangan
hormon insulin, hypertonisitas, dan asidemia. Pasien dengan konsentrasi kalium
serum rendah atau low-normal pada saat masuk, mungkin akan kekurangan
kalium yang berat pada saat perawatan sehingga perlu diberi kalium dan perlu
monitoring jantung yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia akan
menurunkan kalium lebih lanjut dan dapat menimbulkan disritmia jantung.

27
Adanya stupor atau koma pada pasien DM tanpa peningkatan osmolalitas efektif
( > 320 mOsm/kg) perlu pertimbangan kemungkinan lain penyebab perubahan
status mental (ADA, 2008).
Pada mayoritas pasien KAD kadar amilase meningkat, tetapi ini mungkin
berkaitan dengan sumber nonpankreatik. Serum lipase bermanfaat untuk
enentukan diagnosa banding dengan pankreatitis. Nyeri abdominal dan
peningkatan kadar amilase dan enzim hati lebih sering terjadi pada DKA
dibandingkan dengan SHH (ADA, 2008).

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada KAD dan SHH sebenarnya hampir sama. Pada
KAD lebih ditekankan untuk menurunkan gula darah dan pembentukan benda
keton, sedangkan pada SHH lebih dititiberatkan pada penggantian cairan yang
hilang atau rehidrasi.
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah :
1. Penggantian cairan tubuh dan garam yang hilang.
2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati
dengan pemberian insulin.
3. Mengatasi stres sebagai pencetus KAD.
4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyesuaian pengobatan.
Tatalaksana KAD meliputi :
• Terapi cairan
Cairan yang digunakan adalah garam fisiologis berdasarkan
perkiraan hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 mL/kgBB maka
pada jam pertama diberi 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter.
Ada dua keuntungan rehidrasi pada pasien KAD, yaitu memperbaiki
perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insulin. Bila
kadar glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan
mengandung glukosa.

28
• Insulin
Tujuannya bukan hanya untuk mencapai kadar glukosa normal,
tetapi juga untuk mengatasi keadaan ketonemia. Oleh karena itu jika
kadar glukosa <200 mg%, insulin diteruskan dan untuk mencegah
hipoglikemi diberi cairan mengandung glukosa sampai asupan kalori
oral pulih kembali. Sebuah penelitian menyatakan pemberian insulin
yang optimal adalah dengan pemberian awal dengan jalur IV dan
digabungkan dengan jalur subkutan atau intramuskular.
• Kalium
Pada keadaan KAD ion K bergerak ke luar sel dan selanjutnya
dikeluarkan melalui urin. Total defisit kaslium yang terjadi selama KAD
diperkirakan mencapai 3-5 mEq/kgBB. Selama terapi KAD ion K
kembali ke dalam sel dan untuk mengantisipasi masuknya ion K ke
dalam sel serta mempertahankan kadar K serum dalam batas normal,
perlu pemberian kalium.
• Glukosa
Setelah rehidrasi 2 jam pertama biasanya kadar glukosa darah akan
turun. Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi
penurunan kadar glukosa sekitar 60 mg%/jam. Bila kadar glukosa
mencapai < 200 mg% maka dapat dimulai infus mengandung glukosa.
• Bikarbonat
Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat.
Pemberian bikarbonat harus hati-hati dengan alasan: menurunkan pH
intraseluler akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat, efek negatif pada
disosiasi oksigen jaringan, hipertonis dan kelebihan natrium,
meningkatkan insidens hipokalemia, gangguan fungsi serebral, terjadi
alkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keto. Saat ini bikarbonat
hanya diberikan pada pH < 7,1walaupun demikian komplikasi asidosis
laktat dan hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi
pemberian bikarbonat.

29
Penatalaksanaan SHH meliputi lima pendekatan:
1. Rehidrasi intravena agresif.
2. Penggantian elektrolit.
3. Pemberian insulin intravena.
4. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta.
5. Pencegahan.
Tatalaksana untuk SHH adalah :
• Cairan
Merupakan terapi utama yang ditujukan untuk memperluas
volume intravaskular dan memperbaiki perfusi ginjal serta jaringan,
kekurangan cairan pada pasien dapat dihitung dan diberikan terapi
pengganti cairan. Kehilangan cairan umumnya sekitar 20-25% dari total
cairan tubuh atau 12-15% berat badan. Untuk memudahkan, kehilangan
cairan yang terjadi sekitar 150mL/kgBB. Tujuan utama terapi
penggantian cairan dalam 12 jam pertama adalah dapat mengganti satu
setengah kkali total kehilangan cairan. Penggunaan cairan isotonik
menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat
mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan
kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awal sebaiknya diberikan
1 liter cairan normal saline per jam. Jika pasien mengalami syok
hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma expanders.
• Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti,
karena kadar kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Kadar kalium
yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan
mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Kadar elektrolit harus
dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor.
Jika kadar kalium awal <3,3 mEq/L (3,3 mmol/L), pemberian insulin
ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat
sampai tercapai kadar kalium setidaknya 3,3 mEq/L). Jika kadar kalium
> 5,0 mEq/L, kadar kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq/L,
namun sebaiknya kadar kalium ini perlu dimonitor setiap 2 jam. Jika

30
kadar nya 3,3 - 5,0 mEq/L, maka 20-30 mEq kalium harus diberikan
dalam tiap liter cairan IV yang diberikan untuk mempertahankan kadar
kalium antara 4,0 - 5,0 mEq/L.
• Insulin
Dalam penatalaksanaan SHH, insulin bukan merupakan prioritas.
Insulin akan menyebabkan glukosa masuk ke dalam sel, sehingga cairan
akan berpindah ke dalam sel. Hal ini berpotensi menyebabkan
perburukan hipotensi, kolaps vaskuler, atau kematian. Pemberian insulin
dosis rendah, diberikan bila kondisi hemodinamik pasien dan perfusi
pasien sudah baik dan stabil.
Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15 U/kgBB secara
IV dan diikuti dengan drip 0,1 U/kgBB per jam sampai kadar glukosa
darah turun antara 250 sampai 300 mg/dL. Ketika kadar glukosa darah
<300 mg/dL sebaiknya iberikan dekstrosa secara IV dan dosis insulin
dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan
hiperosmolar.
• Idetifikasi masalah dan faktor penyebab
Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotik
kepada semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi
antibiotik dianjurkan sambil menunggu hasil kultur pada pasien usia
lanjut dan hipotensi. Peningkatan kadar CRP dan IL-6 merupakan
indikator awal sepsis pada pasien dengan SHH.

Kriteria Rujukan
Pasien harus dirujuk ke layanan sekunder (spesialis penyakit dalam) setelah
mendapat terapi rehidrasi cairan.

31
K. Kerangka Konsep

Faktor Tetap/ Non Modifable Risk


factors
• Umur
• Jenis kelamin
• Riwayat keluarga
• Riwayat DM gestasional
atau melahirkam bayi >
4000 gram
End point :
Diabetes Melitus tipe 2

Faktor Tidak Tetap/ Modifable


Risk factors
• Aktivitas fisik
• Obesitas
• Hipertensi

32
BAB III
RANCANGAN PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain studi non-
eksperimental, atau yang dikenal juga dengan observasional, menggunakan desain
penelitian cross-sectional.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di ruang pemeriksaan umum (RPU)
Puskesmas Gombong 1
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada 25 September hingga 25 Oktober 2018

C. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi
Populasi adalah target dimana peneliti menghasilkan hasil
penelitian (Shi, 2008 dalam Swarjana, 2012). Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh pasien rawat jalan yang berobat di RPU Puskesmas
Gombong 1.
2. Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah seluruh pasien rawat jalan yang
memeriksakan diri di RPU Puskesmas Gombong 1 yang berusia diatas 30
tahun dan belum terdiagnosis DM tipe 2.
Teknik pengambilan sampel yang dipakai adalah pengambilan
sampel secara accidental sampling, yakni pengambilan sampel secara
aksidental dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada
atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian
(Notoadmojo, 2010).

33
D. Teknik pengumpulan Data
Data diperoleh dari pengisian kuesioner yang telah disiapkan oleh peneliti
dengan menggunakan teknik waawancara maupun mengisi kuesioner.

E. Pengolahan Data
Kuesioner atau lembar hasil wawancara yang telah diisi dikumpulkan
kemudian diperiksa kelengkapannya, dimasukkan dan diolah dengan sistem
komputerisasi menggunakan program pengolahan data. Penilaian atau skoring
kuesioner berdasarkan ADA (American Diabetes Association).

F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian berupa kuesioner yang berisi pertanyaan tertulis tentang
faktor risiko DM tipe 2 yang dikeluarkan oleh ADA (American Diabetes
Association).

G. Analisis Data
Pada penelitian ini digunakan analisa univariat yaitu analisa yang
menggambarkan variabel-variabel penelitian secara tersendiri dalam bentuk
distribusi frekuensi dengan menggunakan rumus :
$
! ∶ × 100
%
X : persentase
f : frekuensi hasil pencapaian
N : jumlah responden

34
BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Puskesmas Gombong I


1. Kondisi Geografis
Puskesmas Gombong I berada di Jalan Yos Sudarso Timur No. 110,
Wero Gombong Kebumen, yang merupakan puskesmas rawat jalan, rawat
inap serta bersalin untuk umum.
Puskesmas Gombong I mempunyai wilayah kerja dengan luas 719,579
km2, dengan 5 desa, dengan jumlah penduduk 12.341 jiwa. Desa sebagai
wilayah kerja puskesmas Gombong I adalah, Wero, Kedungpuji, Panjangsari,
Banjarsari, dan Patemon. Batas Wilayah Puskesmas Gombong I :
• Sebelah Utara : Wilayah Kerja Puskesmas Sempor 1
• Sebelah Timur : Wilayah Kerja Pusesmas Karanganyar
• Sebelah Selatan : Wilayah Kerja Puskesmas Kwarasan
• Sebelah Barat : Wilayah Kerja Puskesmas Gombong 2

2. Keadaan Sosio-Demografi Penduduk


A. Jumlah penduduk
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Gombong I sebanyak
12.341 jiwa dengan jumlah Kepala keluarga 3.677.
Tabel 4.1. Jumlah Penduduk
Jumlah Jumlah Rata-rata
No. Nama Kelurahan
Penduduk KK Jiwa/KK
1. Wero 3.458 1.052 3,29
2. Kedungpuji 2.807 800 3,51
3. Panjangsari 1.975 599 3,30
4 Banjarsari 1.666 532 3,13
5 Patemon 2.435 694 3,51
Total 12.341 3.677 3,36

B. Rasio Jenis Kelamin Penduduk


Perkembangan penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat dari
perkembangan Rasio Jenis kelamin. Berdasarkan data monografi

35
Puskesmas Gombong I jumlah penduduk laki-Iaki dan perempuan relatif
lebih besar perempuan. Jumlah penduduk perempuan yakni sebesar 6272
jiwa, dan jumlah penduduk laki-Iaki dan 6079 jiwa.
Sedangkan komposisi penduduk berdasarkan umur seperti tabel dibawah
ini:
Diagram 4.1. Komposis Penduduk Berdasarkan Umur

Demografis tingkat pendidikan untuk penduduk diwilayah puskesmas


Gombong I, paling banyak adalah pendidikan SD sebanyak 2990
penduduk, dengan penjabaran tabel sebagai berikut :
Diagram 4.2 Komposisi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan

3. Daftar 10 Besar Penyakit di Puskesmas Gombong I Tahun 2017


Selama 1 tahun ditahun 2017 terdapat 10 besar penyakit masyarakat wilayah
kerja Gombong I yang berobat. Peringkat pertama terbanyak adalah ISPA,

36
dilanjut dengan Hipertensi. Berikut tabel 10 besar penyakit di Puskesmas
Gombong I :
Tabel 4.2. 10 Besar Penyakit di Puskesmas Gombong I tahun 2017
No Penyakit Jumlah Pasien
1 ISPA 3070
2 Hipertensi 1024
3 Serumen prop 750
4 Dyspepsia 534
5 Myalgia 490
6 Cepalgia 410
7 Dermatitis 350
8 Common Cold 290
9 Diabetes Milletus 280
10 Faringitis 268

B. Gambaran dan Analisa Hasil Penelitian


Penulis menggunakan metode kuantitatif dengan cara menyebarkan
kuesioner ke 100 responden untuk dilakukan skrining faktor risiko DM pada
responden menggunakan kriteria dan sistem penilaian yang telah ditetapkan oleh
ADA. Hasil penelitian dari pengumpulan data disajikan dalam bentuk tabel dan
diagram yang dilakukan untuk mendiskripsikan variabel dengan menggunakan
distribusi frekuensi dengan ukuran presentase.

41%
59%

Berisiko tinggi
Tidak berisiko tinggi

Gambar 4.1 Hasil Skrining Faktor Risiko DM tipe 2 di RPU Puskesmas


Gombong 1

Gambar 4.1 menunjukkan hasil skrining yang dilakukan kepada 100 orang
responden yang telah mengisi kuesioner faktor risiko DM tipe 2 oleh ADA.

37
Risiko tinggi DM didapatkan apabila hasil skor penilaian kuesioner >5. Hasilnya
didapatkan sebanyak 41 orang (41%) responden memiliki risiko tinggi DM.
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden
Frekuensi Risiko tinggi Tidak berisiko
Karakteristik DM tinggi DM
responden
N N(%) N(%)
Jenis kelamin
Laki-laki 45 19 (46,3) 26 (53,7)
Perempuan 55 22 (37,6) 33 (62,7)

Usia
<40 tahun 12 0 12 (100)
40-49 tahun 18 3 (16,7) 15 (83,3)
50-59 tahun 31 11 (34,5) 20 (64,5)
> 60 tahun 39 27 (69,2) 12 (30,8)
Riwayat DM gestasional
Ya 0 0 0
Tidak 55 22 (37,6) 33 (62,7)

Riwayat keluarga DM
Ya 24 18 (75) 6 (25)
Tidak 76 23 (28,3) 53 (71,6)

Riwayat hipertensi
Ya 47 26 (55,3) 21 (44,7)
Tidak 53 15 (28,3) 38 (71,7)

Aktivitas fisik
Ya 55 15 (27,3) 40 (72,7)
Tidak 45 26 (57,8) 19 (42,2)

IMT
<23 39 2 (5,1) 37 (94,8)
23-<30 47 25 (53,2) 22 (46,8)
30-<40 12 12 (100) 0
> 40
2 2 (100) 0

Tabel 4.3 menunjukkan hasil penelitian didapatkan jumlah laki-laki yang


menjadi responden sebanyak 45 orang, yang masuk dalam kelompok berisiko

38
tinggi DM sejumlah 19 orang (46,3%) dan jumlah responden perempuan dari
sebanyak 55 orang dimana sebanyak 22 orang (37,6%) masuk dalam kelompok
berisiko tinggi DM. Karakteristik usia pada penelitian ini dibagi menjadi 4
kategori yakni <40 tahun, 40-49 tahun, 50-59 tahun, > 60 tahun. Responden
paling banyak berasal dari usia > 60 tahun sebanyak 39 responden, yang berisiko
DM sebanyak 27 orang (69,2%). Karakteristik IMT dibagi menjadi 4 kategori
yakni <23, 23-<30, 30-<40, dan > 40, dengan frekuensi paling banyak didapatkan
IMT kategori 23-<30 sebanyak 47 responden dan IMT kategori > 30 hanya
didapatkan pada responden dengan risiko tinggi DM. Pada penelitian ini tidak
didapatkan responden yang pernah memiliki riwayat DM gestasional, sedangkan
responden dengan riwayat keluarga DM sebanyak 24(24%) orang, responden
dengan riwayat hipertensi sebanyak 47(47%) orang dan responden tidak
melakukan aktivitas fisik sebanyak 45 (45%) orang.
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kelompok Risiko Tinggi DM
Karakteristik Jumlah Persentase
Jenis kelamin
Laki-laki 19 46%
Perempuan 22 54%
Usia
<40 tahun 0 0
40-49 tahun 3 7%
50-59 tahun 11 27%
> 60 tahun 27 66%
Riwayat DM gestasional
Ya 0 0
Tidak 22 100%
Riwayat keluarga DM
Ya 18 44%
Tidak 23 56%
Riwayat hipertensi
Ya 26 63%
Tidak 15 37%
Aktivitas fisik
Ya 15 37%
Tidak 26 63%
IMT
<23 2 5%
23-<30 25 61%
30-<40 12 29%
> 40 2 5%

39
Tabel 4.4 menunjukkan responden mulai berisiko DM mulai umur > 40
tahun. Dari 41 responden 3 orang (7%) berada dalam kategori usia 40-49 tahun
dan jumlah terbanyak yang berisiko DM adalah usia > 60 tahun sebanyak 27
orang (66%), sisanya 11 orang (27%) berada dalam kategori 50-59 tahun.
Responden yang memiliki keluarga dengan DM sebanyak 18 orang (44%)
sedangkan 23 orang (56%) tidak memiliki keluarga dengan DM. Riwayat
hipertensi didapatkan pada 26 orang (63%) sisanya 15 orang (37%) tidak
memiliki riwayat hipertensi. Dari kategori aktivitas fisik sebanyak 26 orang
(63%) mengaku tidak melakukan aktivitas fisik di rumah, sisanya sebanyak 15
orang (37%) melakukan akivitas fisik. Frekuensi IMT paling banyak pada
kategori 23-<30 sebanyak 25 orang (61%), diikuti kategori 30-<40 sebanyak 12
orang (29%), dan kategori <23 serta > 40 masing-masing 2 orang (5%).

40
BAB V
PEMBAHASAN

Diabetes adalah suatu penyakit dimana tubuh tidak dapat menghasilkan insulin
(hormon pengatur gula darah) atau insulin yang dihasilkan tidak mencukupi atau
insulin tidak bekerja dengan baik. Oleh karena itu akan menyebabkan gula darah
meningkat saat diperiksa. Seseorang dinyatakan menderita Diabetes Melitus apabila
pada pemeriksaan laboratorium kimia darah, konsentrasi glukosa darah dalam
keadaan puasa pagi hari ≥126 mg/dL atau 2 jam sesudah makan ≥200 mg/dL atau bila
sewaktu/sesaat diperiksa >200mg/dL (Sidartawan, 2008).
Pada penelitian ini diketahui bahwa risiko kejadian Diabetes Melitus tipe 2
berdasarkan usia paling banyak ditemukan pada usia lebih dari 60 tahun (66%) dan
usia mulai berisiko DM pada usia >40 tahun. Usia bisa menjadi penanda bagi
seseorang untuk mengantisipasi penyakit Diabetes Melitus tipe 2. Pertambahan usia
merupakan faktor risiko yang penting untuk Diabetes Melitus. Dalam semua
penelitian epidemiologi pada berbagai populasi, prevalensi Diabetes Melitus
memperlihatkan peningkatan yang sangat spesifik menurut usia (Gibney dkk, 2009).
Teori menyatakan bahwa umur merupakan faktor pada orang dewasa, dengan
semakin bertambahnya umur kemampuan jaringan mangambil glukosa darah semakin
menurun. Penyakit ini lebih banyak terdapat pada usia di atas 40 tahun dari pada usia
yang lebih muda (Suiraoka, 2012).
Gambaran risiko Diabetes Melitus tipe 2 dalam penelitian ini juga sesuai dengan
hasil Riskesdas tahun 2013. Di Indonesia, dimana prevalensi Diabetes Melitus banyak
terjadi pada kelompok usia 55-64 tahun (4,8%) dan kelompok usia 65-74 tahun
(4,2%). Hasil dari penelitian Wicaksono (2011) di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah
Sakit Dr. Kariadi yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara umur
dengan kejadian Diabetes melitus Tipe 2 dimana orang yang berusia ≥45 tahun
mempunyai risiko 9 kali lebih besar untuk terjadinya DM tipe 2 dibandingkan dengan
yang berumur kurang dari 45 tahun.
Kenaikan kadar gula darah sangat berhubungan dengan umur, sehingga
prevalensi DM tipe 2 akan meningkat seiring dengan semakin meningkatnya umur
dan mengakibatkan semakin tinggi pula gangguan toleransi glukosa. Pada umur > 30

41
tahun proses penuaan yang berlangsung mengakibatkan perubahan anatomi tubuh,
fungsi tubuh dan biokimia. Menurut WHO pada umur > 30 tahun, maka kenaikan
kadar glukosa darah bisa sampai 1-2 mg/dL/tahun pada saat tidak makan dan akan
naik 5,6-13 mg/dL pada 2 jpp atau 2 jam setelah makan (Sudoyo, 2009).
Peningkatan risiko diabetes seiring dengan umur, khususnya pada usia lebih dari
40 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan intolenransi
glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β
pancreas dalam memproduksi insulin (Sunjaya, 2009). Selain itu pada individu yang
berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot sebesar 35%.
Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30% dan
memicu terjadinya resistensi insulin.
Riwayat orang tua erat kaitannya dengan faktor genetik. Berbagai studi telah
menemukan gen yang menyebabkan kerentanan terhadap penyakit diabetes.
Penelitian dari Genome-Wide Association menemukan bahwa terdapat jenis Single
Nucleotide Polimorphisms (SNPs) yang terkait dengan fungsi sel b pankreas yang
memicu terjadinya DM Tipe-2 (Sladek, 2007 dalam Praet, 2009). Penelitian di India
Utara juga menemukan gen DOK5 sebagai gen yang menimbulkan kerentanan akan
diabetes dan obesitas (Tabassum dkk., 2010).
Pada penelitian ini diketahui pada kelompok berisiko DM sebanyak 44%
memiliki riwayat keluarga DM. Menurut penelitian Gratia (2015) pendugaan faktor
risiko riwayat keluarga dengan DM diperoleh probabilitas untuk terjadinya DM pada
orang dengan tidak ada riwayat keluarga menderita DM dan ada riwayat keluarga
adalah lebih kurang 1 banding 4 dengan asumsi sekitar 73% kasus DM dapat dicegah
dengan memperhatikan faktor risiko adanya riwayat keluarga menderita DM. Salah
satu kelompok yang berisiko tinggi menderita DM jika ada salah satu yang
mempunyai keturunan baik pada orang tuanya atau kakeknya, saudaranya dan lain-
lain yang menderita DM. Faktor risiko keluarga lain adalah mereka yang melahirkan
anak di atas 4 kg (gestasional DM).
Responden yang memiliki keluarga dengan DM harus waspada. Risiko menderita
DM bila salah satu orang tuanya menderita DM adalah sebesar 15%. Jika kedua orang
tua memiliki DM maka risiko untuk menderita DM adalah 75%. Risiko untuk
mendapatkan DM dari ibu lebih besar 10-30% dari pada ayah dengan DM. Hal ini

42
dikarenakan penurunan gen sewaktu dalam kandungan lebih besar dari ibu. Jika
saudara kandung menderita DM maka risiko untuk menderita DM adalah 10% dan
90% jika yang menderita adalah saudara kembar identik. Bagi masyarakat yang
memiliki keluarga yang menderita DM, harus segera memeriksa kadar gula darahnya
karena risiko menderita DM besar (Diabetes UK, 2010).
Ada hubungan yang bermakna antara tekanan darah dengan diabetes melitus.
Beberapa literatur mengaitkan hipertensi dengan resistensi insulin. Pengaruh
hipertensi terhadap kejadian diabetes melitus disebabkan oleh penebalan pembuluh
darah arteri yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit. Hal
ini akan menyebabkan proses pengangkutan glukosa dari dalam darah menjadi
terganggu (Zieve, 2012).
Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok berisiko tinggi DM sebanyak 63%
responden memiliki riwayat hipertensi. Penelitian menurut Sujaya (2009)
menemukan bahwa individu yang mengalami hipertensi mempunyai risiko 1,5 kali
lebih besar untuk mengalami diabetes dibanding individu yang tidak hipertensi.
Temuan Riskesdas 2007 yang menyatakan bahwa prevalensi Toleransi Glukosa
Terganggu (TGT) dan diabetes melitus (menurut pemeriksaan kadar gula darah)
cenderung lebih tinggi pada kelompok yang menderita hipertensi, dibandingkan
dengan yang tidak hipertensi. Pada kelompok yang hipertensi, persentase TGT dan
diabetes mellitus adalah masing- masing sebesar 15,1% dan 9%. Angka yang lebih
rendah ditemukan pada kelompok yang tidak hipertensi, dengan persentase TGT dan
diabetes melitus masing-masing sebesar 8,4% dan 3,4% (Balitbangkes, 2008).
Aktivitas fisik juga merupakan faktor risiko mayor dalam memicu terjadinya
DM. Latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan kualitas pembuluh darah dan
memperbaiki semua aspek metabolik, termasuk meningkatkan kepekaan insulin serta
memperbaiki toleransi glukosa. Hasil penelitian di Indian Pima, orang-orang yang
aktivitas fisiknya rendah 2,5 kali lebih berisiko mengalami DM dibandingkan dengan
orang- orang yang 3 kali lebih aktif.
Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan jumlah energi yang dikonsumsi melebihi
jumlah energi yang dikeluarkan, sehingga menimbulkan keseimbangan energi positif
yang disimpan pada jaringan adipose. Hal ini menyebabkan terjadinya resistensi
insulin yang berkembang menjadi DM Tipe-2 (WHO, 2003). Hasil penelitian ini

43
menunjukkan bahwa kelompok berisiko tinggi DM sebagian besar (63%) mengaku
tidak melakukan aktivitas fisik.
Aktivitas fisik dapat membantu menurunkan kadar gula darah pada penderita
diabetes. Aktivitas fisik, khususnya dalam intensitas sedang dan tinggi, dapat
membantu menurunkan kadar lemak tubuh, dan juga meningkatkan sensitivitas
insulin. Meskipun demikian, dampak dari aktivitas fisik hanya bertahan selama jangka
pendek, yaitu 3-6 hari sejak dilakukannya aktivitas fisik terakhir. Oleh karena itu,
diperlukan tekad yang kuat serta konsistensi untuk mengubah gaya hidup menjadi
lebih aktif dan sehat, jika ingin menurunkan risiko diabetes mellitus (Goldstein dan
Mueller- Wieland, 2008).
Perlunya kegiatan yang menggerakkan dan memotivasi masyarakat untuk hidup
sehat dan mengubah gaya hidup, yaitu dengan Gerakan Masyarakat Sehat atau
Germas. Germas harus terus digalakkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
menjalankan pola hidup sehat. Pencegahan jauh lebih baik dibanding melakukan
pengobatan ketika sudah terjangkit penyakit (Antara, 2017).
Faktor kesehatan fisik yaitu IMT berhubungan dengan diabetes melitus. Risiko
untuk menderita diabetes melitus baik pada pria maupun wanita menjadi naik
beberapa kali berhubungan dengan kenaikan IMT. Indeks masa tubuh secara bersama-
sama dengan variable lainnya mempunyai hubungan yang signifikan dengan diabetes
melitus. Hai ini sejalan dengan penelitian Webber (2004) yang menemukan bahwa
Setiap peningkatan 1 kg berat badan dapat meningkatkan risiko terjadinya diabetes
melitus sebesar 4,5% (Webber, 2004 dalam Sujaya, 2009). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pada kelompok berisiko tinggi DM didapatkan sebagian besar
IMT berada pada kategori IMT 23-<30 sebanyak 61% yang menunjukkan rata-rata
orang berisiko DM dalam status gizi over weight dan 34% responden dengan risiko
tinggi DM menunjukkan status gizi obesitas.
Penelitian Sujaya (2009) juga menemukan bahwa individu yang mengalami
obesitas mempunyai risiko 2,7 kali lebih besar untuk terkena diabetes mellitus
dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami obesitas. Adanya pengaruh
indek masa tubuh terhadap diabetes mellitus ini disebabkan oleh kurangnya aktivitas
fisik serta tingginya konsumsi karbohidrat, protein dan lemak yang merupakan faktor
risiko dari obesitas. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya Asam Lemak atau Free

44
Fatty Acid (FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan menurunkan translokasi
transporter glukosa ke membrane plasma, dan menyebabkan terjadinya resistensi
insulin pada jaringan otot dan adipose (Teixeria-Lemos dkk,2011). Literatur lain
menyebutkan bahwa lemak yang berlebih menyebabkan otot, yang biasanya
memanfaatkan glukosa, lebih banyak menggunakan lemak sebagai ‘bahan bakar’
(Hauner dalam Goldstein dan Mueller- Wieland, 2008).
Kenaikan indeks massa tubuh, yang dipicu oleh kurangnya aktivitas fisik dan juga
ketidakseimbangan konsumsi makanan, ternyata dapat menyebabkan kenaikan risiko
diabetes melitus. Oleh karena itu, untuk upaya pencegahan primer diabetes mellitus,
gaya hidup sehat dengan pola makan gizi seimbang dan olah raga yang teratur perlu
dilakukan untuk menjaga agar indeks massa tubuh tetap berada pada tingkat normal.
Selain itu, untuk upaya pencegahan sekunder dan tersier, pengendalian berat badan
juga penting dilakukan, untuk mencegah diabetes berkembang menjadi semakin
parah, serta mencegah timbulnya komplikasi yang lebih lanjut (Fatimah, 2015).

45
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
1. Hasil penelitian menunjukkan 41% responden berisiko tinggi untuk
menderita DM
2. Usia responden mulai berisiko menderita DM adalah diatas 40 tahun
dengan jumlah tertinggi pada usia lebih dari 60 tahun
3. Riwayat keluarga dengan DM didapatkan pada 44% responden dengan
risiko tinggi DM
4. Sebagian besar responden dengan risiko tinggi DM memiliki riwayat
hipertensi dan tidak melakukan aktivitas fisik
5. Responden dengan risiko tinggi DM sebagian besar memiliki IMT
kategori overweigth dan obesitas
B. Saran
1. Bagi Masyarakat
• Memeriksakan diri untuk deteksi dini faktor risiko Diabetes Melitus
tipe 2 ke pelayanan kesehatan agar bisa dilakukan upaya
pengendalian terhadap faktor risiko yang bisa dimodifikasi
• Bagi masyarakat yang berisiko tinggi menderita DM tipe 2 sebaiknya
melakukan pemeriksaan laboratorium
2. Bagi Puskesmas dan Petugas Kesehatan
• Menggalakkan program skrining faktor risiko Diabetes Melitus tipe
2, melalui kegiatan seperti posbindu, posyandu lansia dan GERMAS
• Meningkatkan program promosi kesehatan tentang faktor risiko
Diabetes Melitus tipe 2 kepada masyarakat
3. Bagi Peneliti
• Penelitian selanjutnya dapat dikembangkan dengan target penelitian
yang lebih luas, sehingga hasil penelitian dapat digunakan tidak hanya
orang-orang yang berkaitan (pasien dan praktisi medis), tetapi
masyarakat luas

46
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. Classification and Diagnosis. Diabetes Care 2013;


36(Suppl.1): S13.
Ariza, M. A., Vimalananda, V. G., & Rosenzweig, J. L. (2010). The economic
consequences of diabetes and cardiovascular disease in the United
States. Reviews in endocrine and metabolic disorders, 11(1), 1-10.
Balitbangkes Depkes, R. I. (2008). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Indonesia Tahun 2007.
Chang, Sang Ah. 2012. Smoking and Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes &
Metabolism Journal. Volume 36 :399-403.
Charles & Anne. 2010. Bersahabat dengan Diabetes Mellitus Tipe 2. Diterjemahkan
oleh: Joko Suranto. Depok: Penebar Plus.
Diabetes UK. 2010. Diabetes in the UK: Key Statistics on Diabates.
Eppens, Maike C., dkk.. “Prevalence of Diabetes Complications in Adolescents With
Type 2 Compared With Type 1 Diabetes.” Diabetes Care 29 (2006): 1300-
1306.
Fatimah, R. N. (2015). Diabetes melitus tipe 2. Jurnal Majority, 4(5).
Gress TW, Nieto J, Shaha E, Wofford MR, Brancati FL. Hypertension and Anti
hypertension Therapy as Risk Factors for Type 2 Diabetes Mellitus. N Engl
Med 2000; 342: 905-12.
Goldstein, Barry J. Dan Dirk Mueller-Wielend. 2008. Type-2 Diabetes: Principles
and Practice. New York: Informa Healthcare.
Gusti & Erna. 2014. Hubungan Faktor Risiko Usia, Jenis Kelamin, Kegemukan dan
Hipertensi dengan Kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 di Wilayah Kerja
Puskesmas Mataram. Media Bina Ilmiah. Volume 8. No.1 : 39-44.
Hill, Jill. “Diabetes monitoring: risk factors, complications and management.” Nurse
Prescribing 9 (2011): 122-130.
IDF, D. A. G. (2015). Update of mortality attributable to diabetes for the IDF
Diabetes Atlas: Estimates for the year 2013. Diabetes research and clinical
practice, 109(3), 461.

47
Jenkins, David JE dkk. 2003. Type 2 Diabetes and The Vegetarian Diet. American
Journal of Clinic Nutrition. 78 :610–616.
Kemenkes RI. 2008. Pedoman Teknis Pengukuran Faktor Risiko Diabetes Melitus.
Direktorat PPTM Ditjend PP&PL.
Kemenkes RI. 2008. Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pengendalian Penyakit
Tidak Menular di Puskesmas. Direktorat PPTM Ditjend PP&PL.
Kemenkes RI. 2011. Strategi Nasional Penerapan Pola Konsumsi Makanan Dan
Aktifitas Fisik Untuk Mencegah Penyakit Tidak Menular
Kemenkes, R. I. (2013). Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kemenkes, RI. 2016. Infodatin Diabetes. Jakarta: Pusat data dan informasi
Kemenkes RI.
Mansjoer, A. (2000). Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius, 86-92.
Metzger, B. E., Metzger, B. E., Kotulak, D., & Brick, P. (2006). American Medical
Association Guide to Living with Diabetes: preventing and treating type 2
diabetes: essential information you and your family need to know. Wiley.21-
30
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Pangemanan., Malayu. 2014. Analisis Faktor Resiko Penyebab Terjadinya DM Tipe
2 Pada Wanita Usia Produktif di Puskesmas Wawonasa. Jurnal e-Biomedik
(eBM). Volume 2 Nomor 2.
PERKENI. (2015). Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. PB. PERKENI.
Praet, Stefan F. E. dan Luc J. C. van Loon. “Exercise therapy in Type 2 diabetes.”
Springer Acta Diabetol 46 (2009): 263-278.
Sidartawan, S. (2008). Hidup secara Mandiri dengan Diabetes Melitus. Jakarta’:
Bala Penerbit FK UI, 35-39.
Sladek, R., Rocheleau, G., Rung, J., Dina, C., Shen, L., Serre, D., & Balkau, B.
(2007). A genome-wide association study identifies novel risk loci for type 2
diabetes. Nature, 445(7130), 881.

48
Smeltzer, S.C., Bare B.G. 2008. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Suiraoka, I. P. (2012). Penyakit Degeneratif. Yogyakarta: Nuha Medika, 45-51.
Sujaya, I. N. (2009). Pola konsumsi makanan tradisional Bali sebagai faktor risiko
diabetes melitus tipe 2 di Tabanan. Jurnal skala husada, 6(1), 75-81.
Suyono S, Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, Simadibrat M, et al. Diabetes
Melitus Indonesia. Jakarta: IPD FKUI; 2007. Hal.1852-7.
Tabassum, Rubina dkk.. “Evaluation of DOK5 as a susceptibility gene for type 2
diabetes and obesity in North Indian population.” Biomed Central Medical
Genetics 11 (2010): 1-7.
Tapan, Erik. 2005. Penyakit Degeneratif. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Teixeria-Lemos, dkk. 2011. Regular physical exercise training assists in preventing
type 2 diabetes development: focus on its antioxidant and anti-inflammantory
properties. Biomed Central Cardiovascular Diabetology 10: 1-15
Webb, D. R. dkk.. “Rationale and design of the ADDITION-Leicester study, a
systematic screening programme and Randomised Controlled Trial of multi-
factorial cardiovascular risk intervention in people with Type 2 Diabetes
Mellitus detected by screening.” Trials 11 (2010): 1-12.
World Health Organization. (2016). Global report on diabetes. World Health
Organization.

49
LAMPIRAN

KUESIONER PENELITIAN

50
Kuesinoer Penelitian

APAKAH ANDA BERISIKO TERKENA DM?

IDENTITAS

Nama : ……………………………

Usia : ……………………………

Alamat : ……………………………

TB : ……………Cm

BB : …………… kg

Silakan silang jawaban Anda

1. Berapakah usia Anda?

A. Kurang dari 40 tahun

B. 40-49 tahun

C. 50-59 tahun

D. 60 tahun atau lebih

2. Jika anda perempuan apakah anda pernah mengalami diabetes pada

kehamilan?

A. Ya B. Tidak

3. Apakah anda memiliki keluarga dengan diabetes?

A. Ya B. Tidak

4. Apakah anda memiliki riwayat darah tinggi?

A. Ya B. Tidak

5. Apakah anda sehari-hari melakukan aktivitas fisik?

A. Ya B. Tidak

51
REVISI

DIABETES GESTASIONAL

A. Definisi
Diabetes melitus gestasional adalah keadaan intoleransi karbohidrat yang
memiliki awitan atau pertama kali ditemukan pada kehamilan.

B. Faktor Predisposisi
Obesitas, riwayat intoleransi glukosa, riwayat DMG pada kehamilan
sebelumnya,riwayat diabetes pada keluarga.

C. Diagnosis
Ø Semua ibu hamil dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan untuk melihat

adanya diabetes melitus gestasional, namun waktu dan jenis pemeriksaannya


bergantung pada faktor risiko yang dimiliki ibu.
Ø Faktor risiko diabetes melitus gestasional meliputi: obesitas, adanya riwayat

diabetes melitus gestasional sebelumya, glukosuria, adanya riwayat keluarga


dengan diabetes, abortus berulang, adanya riwayat melahirkan dengan cacat
bawaan atau bayi >4000 gram, dan adanya riwayat preeklampsia.
Ø Pasien dengan faktor risiko tersebut perlu diperiksa lebih lanjut sesuai standar

diagnosis diabetes melitus di kunjungan antenatal pertama. Diagnosis diabetes


melitus ditegakkan bila kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dl (disertai
gejala klasik hiperglikemia) ATAU kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl
ATAU kadar glukosa 2 jam setelah TTGO >200 mg/dl ATAU kadar HbA1C
>6,5%. Hasil yang lebih rendah perlu dikonfirmasi dengan melakukan
pemeriksaan TTGO di usia kehamilan antara 24-28 minggu.
Ø Pemeriksaan konfirmasi dan pemeriksaan untuk ibu hamil tanpa faktor risiko

dilakukan pada usia kehamilan 24-28 minggu, dengan cara sebagai berikut:
• Minta ibu untuk makan makanan yang cukup karbohidrat selama 3
hari, kemudian berpuasa selama 8-12 jam sebelum dilakukan
pemeriksaan.

52
• Periksa kadar glukosa darah puasa dari darah vena di pagi hari,
kemudian diikuti pemberian beban glukosa 75 gram dalam 200 ml air,
dan pemeriksaan kadar glukosa darah 1 jam lalu 2 jam kemudian.
Ø Diagnosis diabetes melitus gestasional ditegakkan apabila ditemukan:

• Kadar gula darah puasa > 92 mg/dl, ATAU


• Kadar gula darah setelah 1 jam > 180 mg/dl, ATAU
• Kadar gula darah setelah 2 jam > 153 mg/dl

Gambar Algoritma Diagnosis Diabetes Gestasional

53
D. Tatalaksana
a. Tatalaksana Umum
• Penatalaksanaan diabetes melitus gestasional dilakukan secara terpadu
oleh dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis obstetri dan
ginekologi, ahli gizi, dan dokter spesialis anak.
• Sedapat mungkin rujuk ibu ke rumah sakit untuk mendapatkan
penatalaksanaan yang adekuat.
• Jelaskan kepada pasien bahwa penatalaksanaan diabetes melitus
gestasional dapat mengurangi risiko memiliki bayi besar, mengurangi
kemungkinan terjadinya hipoglikemia neonatal, dan mengurangi
kemungkinan bayi mengidap diabetes di usia dewasa kelak.
b. Tatalaksana Khusus
Ø Tujuan penatalaksanaan adalah mencapai dan mempertahankan kadar
glukosa darah puasa <95mg/dl dan kadar glukosa 2 jam sesudah makan
<120 mg/dl.
Ø Pengaturan diet perlu dilakukan untuk semua pasien:
• Tentukan berat badan ideal: BB ideal = 90% x (TB-100)
• Kebutuhan kalori = (BB ideal x 25) + 10-30% tergantung aktivitas
fisik + 300 kal untuk kehamilan
• Bila kegemukan, kalori dikurangi 20-30% tergantung tingkat
kegemukan. Bila kurus, ditambah sekitar 20-30% sesuai kebutuhan
untuk meningkatkan BB
• Asupan protein yang dianjurkan adalah 1-1,5 g/kgBB
Ø Pemberian insulin dilakukan di rumah sakit dan dipertimbangkan bila
pengaturan diet selama 2 minggu tidak mencapai target kadar glukosa
darah.
Ø Pemberian insulin dimulai dengan dosis kecil yaitu 0,5-1,5 unit/kgBB/
hari.
Ø Pemantauan ibu dan janin dilakukan dengan pemeriksaan tinggi fundus
uteri, USG, dan kardiotokografi.

54
Ø Penilaian fungsi dinamik janin plasenta (FDJP) dilakukan tiap minggu
sejak usia kehamilan 36 minggu
• Skor <5 merupakan tanda gawat janin dan indikasi untuk melakukan
seksio sesarea. Lakukan amniosentesis dahulu sebelum terminasi
kehamilan bila usia kehamilan <38 minggu untuk memeriksa
kematangan janin.
• Skor >6 menandakan janin sehat dan dapat dilahirkan pada umur
kehamilan aterm dengan persalinan normal.
Ø Bila usia kehamilan telah mencapai 38 minggu dan janin tumbuh normal,
tawarkan persalinan elektif dengan induksi maupun seksio sesarea untuk
mencegah distosia bahu.
Ø Lakukan skrining diabetes kembali 6-12 minggu setelah bersalin. Ibu
dengan riwayat diabetes melitus gestasional perlu diskrining diabetes
setiap 3 tahun seumur hidup.

Sumber :
Kementerian Kesehatan, R. I. (2013). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.

55
TES TOLERANSI GLUKOSA ORAL

TTGO atau tes toleransi glukosa oral adalah salah satu tes yang dilakukan
untuk mengetahui toleransi seseorang terhadap glukosa. TTGO dilakukan jika
diagnosis DM belum bisa ditegakkan secara pasti. Indikasi dilakukan TTGO bila DM
belum bisa dipastikan dengan :
• GDP : 100 -125 mg/dl
• GDS : 140 -199 mg/dl
Menurut Tjokroprawiro (2010) pelaksanaan TTGO dilakukan dengan cara yaitu :
1. Tiga hari sebelum tes, pasien makan karbohidrat cukup dan melakukan
kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
2. Kemudian pasien puasa semalam (10-12 jam, minimal 8 jam)
3. Besok paginya glukosa darah puasa diperiksa
4. Setelah itu pasien diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml,
diminum dalam waktu 5 menit dan berpuasa kembali
5. Setelah 2 jam dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
6. Selama pemeriksaan pasien tetap istirahat, tidak boleh merokok, tetapi boleh
minum air putih
Jika GDP dan GDS normal, maka bisa dilakukan pemeriksaan TTGO dengan
ketentuan jika hasilnya ≥ 200 mg/dl, maka diagnosis DM dapat ditegakkan. Jika
hasilnya 140-199 mg/dl, maka disebut Toleransi Glukosa Terganggu (TGT). Jika <
140 mg/dl, maka pasien dikatakan normal.

56
ALGORITMA TATALAKSANA KAD

57
ALGORITMA TATALAKSANA SHH

Sumber : ADA, 2012

58

Anda mungkin juga menyukai