HIV/AIDS
Dokter Pembimbing :
dr. Dewi Martalena, Sp. PD
Disusun Oleh :
Ferdy Reza Nugraha
2210026029
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat karunianya penulis
dapat menyelesaikan tugas laporan Referat yang berjudul “HIV/AIDS”.
Dalam penulisan laporan referat ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis
menyampaikan terima kasih kepada dr. Dewi Martalena, Sp. PD sebagai dokter pembimbing
yang telah bersedia membimbing dan dan meluangkan waktunya.
Penulis menyadari bahwa laporan referat ini jauh dari kata sempurna. Maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembimbing dan pembaca
agar laporan ini dapat menjadi lebih baik dan menjadi masukan bagi penulis.
Demikian laporan referat ini dibuat sebagai tugas laporan dari kegiatan klinis di
Stase Ilmu Penyakit Dalam serta untuk menambah pengetahuan bagi penulis serta pembaca.
Penulis
i
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................1
DAFTAR GAMBAR................................................................................................................2
DAFTAR TABEL.....................................................................................................................3
DAFTAR ISI.............................................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................5
2.1. Definisi............................................................................................................................6
2.2. Epidemiologi...................................................................................................................6
2.3. Etiologi............................................................................................................................7
2.6. Patofisiologi.....................................................................................................................9
2.7. Diagnosis.......................................................................................................................11
2.8. Tatalaksana....................................................................................................................16
2.9. Prognosis.......................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................21
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang dapat menginfeksi manusia dan
merusak sistem kekebalan tubuh menjadi lemah untuk melawan infeksi, hingga akan
menyebabkan kegagalan sistem kekebalan tubuh. Dimana virus ini akan menyebabkan
kondisi yang biasanya dikenal dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang
merupakan sebuah kondisi ataupun sebuah gejala yang muncul setelah virus HIV menyerang
dan menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh.
Infeksi HIV dianggap sebagai pandemi. Diperkirakan 38,6 juta orang hidup dengan HIV
di seluruh dunia, sermntara sekitar 25 juta orang telah meninggal karena virus ini. Masalah
HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara di seluruh
dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari HIV. Prevalensi HIV/AIDS
telah meningkat selama beberapa tahun terakhir dengan kemajuan dalam pengobatan yang
memungkinkan pasien hidup lebih lama dengan HIV. Faktor risiko yang terkait dengan
tertular infeksi HIV antara lain laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, praktek
seksual yang tidak aman, penggunaan obat intravena, transmisi vertikal, dan transfusi darah
atau produk darah.
Sejumlah besar pasien mungkin hanya mengalami infeksi tanpa gejala setelah paparan.
waktu yang biasa dari paparan hingga munculnya gejala adalah 2 sampai 4 minggu,
meskipun, dalam beberapa kasus, bisa sampai 10 bulan. Kumpulan gejala, yang dikenal
sebagai sindrom retroviral akut , dapat muncul secara akut. Meskipun tidak satu pun dari
gejala ini yang spesifik untuk HIV, adanya peningkatan keparahan dan durasinya merupakan
indikasi prognosis yang buruk.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang merupakan sebuah kondisi
ataupun sebuah gejala yang muncul setelah virus HIV menyerang dan menyebabkan
menurunnya sistem kekebalan tubuh. Dan virus yang menyebabkan kondisi ini adalah
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang ditularkan melalui darah
yang biasanya ditularkan melalui hubungan seksual, pemberian obat intravena bersama,
dan selama proses kelahiran atau melalui air susu manusia (penularan vertikal).
(Poorolajal, J., DKK, 2016)
2.2. Epidemiologi
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari 690
ribu jiwa pada tahun 2019. Jumlah Orang Dengan HIV/AIDS diperkirakan mencapai 38
juta orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 19,2 juta
penderita adalah perempuan dan 1,8 juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru
HIV di tahun 2019 sebanyak 1,7 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 150
ribu di antaranya terjadi pada anak-anak. (UNAIDS-WHO, 2020)
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada periode Januari-
Maret 2021, sekitar 69% adalah laki-laki dan 31% adalah perempuan. Berdasarkan cara
penularan, dilaporkan 13,0% pada heteroseksual; 0,5% pada pengguna narkotika suntik;
27,2% pada homoseksual; 8,8% lain-lain dan 50,4% tidak diketahui. Hal ini
menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok heteroseksual ke kelompok
homoseksual. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 25-49
tahun (71,3%), disususul pada kelompok usia 20-24 tahun (16,3%). (Kemenkes RI,
2021)
2
Jawa Timur, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur dengan masing-masing jumlah kasus
secara berurutan sebesar 163 kasus, 109 kasus, dan 93 kasus AIDS. (Kemenkes RI, 2021)
3
3
2.3. Etiologi
Etiologi infeksi HIV adalah human immunodeficiency virus (HIV), yang merupakan
kelompok retrovirus dalam genus Lentivirus dari famili Retroviridae. HIV adalah virus
asam ribonukleat (RNA) positif, beruntai tunggal, diploid dan berkapsul. HIV memiliki
pembawa pesan DNA, yang merupakan genom virus terintegrasi (provirus) yang berada
di dalam DNA inang (Gilroy SA., 2021). Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan
dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada
glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4
pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di
bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti
ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase
enzyme). (Merati TP., DKK, 2006)
HIV dibedakan menjadi 2 spesies, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang masing-masing terdiri
lagi dari beberapa subtipe. HIV-1 adalah spesies HIV yang paling umum ditemukan di
seluruh dunia, sedangkan HIV-2 memiliki predominansi di daerah Afrika Barat.
Dibandingkan infeksi HIV-2, infeksi HIV-1 memiliki risiko transmisi yang lebih tinggi,
viral load yang lebih tinggi, dan lebih cepat berprogresi menjadi AIDS. (Gilroy SA.,
2021)
4
Infeksi HIV ini terjadi dan ditularkan salah satunya melalui kontak seksual melintasi
permukaan mukosa, melalui paparan ibu-bayi, maupun melalui inokulasi perkutan.
(Shaw GM, Hunter E., 2012)
Endoserviks
Saluran Kulup bagian dalam Sekresi serviks dan 1 dalam 700–1 dalam
kelamin dubur; darah 3000
pria
Uretra penis
HIV bereplikasi dalam sel T yang teraktivasi, kemudian bermigrasi ke limfonodi dan
menyebabkan gangguan struktur limfonodi. Gangguan jaringan dendritik folikular di
limfonodi yang diikuti kegagalan presentasi antigen secara normal ini berperan dalam
proses penyakit. Gut-associated lymphoid tissue (GALT) juga berperan penting dalam
replikasi HIV. Meskipun portal masuk HIV melalui inokulasi darah secara langsung atau
paparan virus ke mukosa genital, traktus gastrointestinal memiliki banyak jaringan
limfoid yang ideal untuk replikasi HIV. GALT diketahui merupakan tempat penempelan
awal virus dan pembentukan reservoir proviral. (Thompson CG., DKK, 2017)
Beberapa protein HIV menganggu fungsi sel T secara langsung, baik melalui
gangguan siklus sel maupun melalui penurunan regulasi molekul CD4. Efek sitotoksik
langsung dari replikasi virus bukanlah penyebab utama penurunan sel T CD4, melainkan
karena apoptosis sel T sebagai bagian dari hiperaktivasi imun dalam merespon infeksi
kronik. Sel yang terinfeksi juga dapat terdampak oleh serangan imun tersebut. HIV
menyebabkan siklus sel berhenti sehingga menganggu produksi profil sitokin. Pada
infeksi HIV terjadi penurunan IL-7, IL-12, IL-15, FGF-2, dan peningkatan TNF-alpha,
IP-10.
Infeksi HIV terdiri dari 3 fase, yaitu fase serokonversi akut, fase asimtomatik, dan
fase Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Pada fase serokonversi akut,
terjadi viremia plasma yang cepat disertai penyebaran virus yang luas terjadi 4-11 hari
setelah virus masuk ke dalam mukosa. Virus cenderung akan berintegrasi pada area
dengan transkripsi aktif. Hal ini dimungkinkan terjadi karena area tersebut memiliki
kromatin terbuka yang lebih banyak dan deoxyribonucleic acid (DNA) yang lebih mudah
diakses. Selama fase ini, proses infeksi mulai terjadi dan terbentuk reservoir proviral.
7
Reservoir ini mengandung sel yang terinfeksi (makrofag) dan mulai melepaskan virus.
Beberapa virus yang terbentuk mengisi kembali reservoir, beberapa melanjutkan proses
infeksi aktif. Reservoir proviral ini sangat stabil. Besarnya reservoir proviral berkorelasi
dengan viral load yang stabil dan berbanding terbalik dengan respon sel T CD8 anti-HIV.
Pada fase ini, viral load sangat tinggi (sangat menular) dan jumlah sel T CD4 menurun
cepat. Dengan munculnya respon sel T CD8 dan antibodi anti-HIV, viral load turun dan
jumlah sel T CD4 kembali ke rentang normalnya namun sedikit lebih rendah
dibandingkan sebelum infeksi.
Pada fase asimtomatik, pasien yang terinfeksi menunjukkan sedikit atau bahkan tidak
ada gejala sama sekali selama beberapa tahun sampai 1 dekade atau lebih. Meski begitu,
HIV tetap dapat ditularkan pada fase ini. Replikasi virus tetap berlangsung. HIV tetap
aktif namun diproduksi dalam jumlah sedikit. Respon imun melawan virus juga terjadi,
yang ditandai dengan munculnya limfadenopati generalisata persisten pada beberapa
pasien. Selama fase ini, jika tidak diterapi, viral load akan tetap stabil (tidak meningkat
atau menurun), dan sel T CD4 akan menurun. Fase ini dapat berlangsung sampai 1
dekade atau lebih. Pada akhir fase asimtomatik, viral load akan meningkat, jumlah sel
CD4 menurun, mulai muncul gejala, dan memasuki fase AIDS.
Pada fase Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) ini akan terjadi jika sistem
imun telah rusak dan muncul infeksi oportunistik. Pasien didiagnosis AIDS jika Sel T
CD4 di bawah 200/µL atau ada infeksi oportunistik. Pada fase AIDS, sel CD4 terus turun
sehingga terjadi immunosupresi yang menyebabkan infeksi oportunistik. Viral load pada
fase ini tinggi dan sangat infeksius. Tanpa pengobatan, kesintasan hidup pasien dengan
AIDS adalah sekitar 3 tahun. (Gilroy SA., 2021)
2.7. Diagnosis
1. Anamnesis & Pemeriksaan Fisik
Tanyakan kepada pasien mengenai :
- Identitas dan latar belakang pasien (PSK, pengguna narkoba suntik, laki-laki seks
dengan laki-laki (LSL), waria dan warga binaan pemasyarakatan.
- Latar belakang seksual pasien (hubungan seks tanpa proteksi, pasangan seks
berganti-ganti, memiliki riwayat penyakit menular seksual, penyalahgunaan obat
dengan jarum suntik yang sama bergantian)
- Demam
8
- Malaise
- Ruam kulit
- Sakit kepala
- Sakit tenggorokan
- Pembengkakan KGB
- Nyeri sendi
- Keringat malam
- Diare (Brew BJ, Garber JY, 2018)
Terdapat 4 stadium klinis infeksi HIV berdasarkan tanda dan gejala yang dapat
ditemukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik:
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
3. Pemeriksaan Penunjang
Hasil positif:
Bila hasil A1 reaktif. A2 rektif dan A3 reaktif
Hasil Negatif :
Bila hasil A1 non reaktif
Bila hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non reaktif
Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko
11
Hasil indeterminate :
Bila dua hasil reaktif
Bila hanya 1 tes reaktif tapi berisiko atau pasangan berisiko
Selain mendeteksi DNA dan RNA HIV, pemeriksaan virologi juga dilakukan untuk
mengetahui viral load. Pemeriksaan viral load dilakukan untuk mengetahui perkiraan
jumlah virus HIV dalam darah, menandakan tingkat virulensi pasien, dan sebagai
target terapi ARV. Diharapkan setelah terapi ARV, nilai viral load dapat turun hingga
tidak terdeteksi yaitu 20-75 kopi/ml. Hal ini menandakan terapi ARV berhasil
12
menekan aktivitas HIV dan virulensi menjadi tergolong rendah dengan terapi ARV.
Viral load menunjukkan aktifnya replikasi virus yang berhubungan dengan progresi ke
arah AIDS dan kematian. Pasien dengan viral load >30,000/mL memiliki risiko
kematian akibat AIDS 18,3 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan viral load
yang sudah tidak terdeteksi. (Gilroy SA., 2021)
Pemeriksaan HIV idealnya dilakukan setelah melewati window period, yaitu waktu
antara terpapar HIV sampai dapat dilakukan pemeriksaan diagnostik HIV. Window
period setiap orang berbeda-beda dan juga bergantung pada metode pemeriksaan yang
digunakan. Window period pada pemeriksaan NAT adalah 10-33 hari setelah paparan
HIV. Window period pada pemeriksaan antigen/antibodi adalah 18-45 hari setelah
paparan HIV untuk sampel darah vena dan 18-90 hari setelah paparan HIV untuk
sampel finger prick. Window period pemeriksaan antibodi (pemeriksaan cepat dan
pemeriksaan mandiri) adalah 23-90 hari setelah paparan HIV. (Kemenkes RI, 2017)
Pada pasien yang baru terdiagnosis infeksi HIV, perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk mendeteksi adanya infeksi oportunistik dan sebagai pertimbangan terapi
ARV. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah dengan Hitung sel CD4 (CD4 cell
count). Hitung sel CD4 dilakukan untuk menilai derajat imunodefisiensi dan sebagai
indikator adanya risiko infeksi oportunistik. Rentang normal jumlah CD4 adalah 500-
2000 sel/μL. Setelah terjadi serokonversi (HIV positif), jumlah CD4 akan terus
menurun. Jumlah CD4 di bawah 200 sel/μL diindikasikan sebagai AIDS di mana
risiko infeksi oportunistik tinggi. (Gilroy SA., 2021)
2.8. Tatalaksana
Penatalaksanaan infeksi HIV adalah dengan pemberian obat antiretroviral (ARV).
Hingga saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan infeksi HIV. ARV yang digunakan
bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan HIV.
Terapi ARV harus diberikan kepada semua pasien dengan infeksi HIV tanpa melihat
stadium klinis dan nilai CD4.
13
30-<40 kg: 35 mg
≥40 kg: 50 mg
≥40 kg: 50 mg
Terapi ARV diberikan dalam regimen kombinasi dengan 3 lini berjenjang. Regimen
lini pertama digunakan pada pasien yang baru didiagnosis infeksi HIV dan belum pernah
mendapatkan ARV sebelumnya (naif ARV). Regimen lini kedua digunakan jika terjadi
kegagalan terapi dengan lini pertama. Regimen lini ketiga digunakan jika terjadi
kegagalan terapi dengan lini kedua.
Regimen ARV lini pertama untuk dewasa (termasuk ibu hamil dan menyusui) dan
remaja 10-19 tahun adalah tenofovir ditambah lamivudin atau emtricitabine dan
efavirenz (tersedia dalam bentuk kombinasi dosis tetap/fixed dose combination). Jika
kombinasi tersebut dikontraindikasikan atau tidak tersedia, maka dapat digunakan
alternatif zidovudin ditambah lamivudin dan efavirens atau kombinasi zidovudin
ditambah lamivudin dan nevirapine. Regimen lini pertama untuk anak usia 3-10 tahun
adalah zidovudin atau tenofovir ditambah lamivudin dan efavirenz. Jika kombinasi
tersebut dikontraindikasikan atau tidak tersedia, maka dapat digunakan alternatif abacavir
15
ditambah lamivudin dan nevirapine atau efavirenz. Alternatif lain adalah zidovudin
ditambah lamivudin dan efavirenz atau nevirapine. Regimen ARV lini pertama untuk
anak usia <3 tahun adalah abacavir atau zidovudin ditambahkan lamivudin dan
lopinavir/ritonavir. Jika kombinasi tersebut dikontraindikasikan/tidak tersedia, maka
dapat digunakan alternatif abacavir atau zidovudin ditambahkan lamivudin dan
nevirapine.
Jika terjadi kegagalan terapi ARV lini pertama dengan tenofovir ditambah lamivudin
dan nevirapine atau efavirenz, pada dewasa dapat diganti dengan lini kedua yaitu
zidovudin ditambah lamivudin dan lopinavir/ritonavir. Sementara itu, kegagalan terapi
ARV lini pertama dengan zidovudin ditambah lamivudin dan nevirapine atau efavirenz,
diganti dengan lini kedua yaitu tenofovir ditambah lamivudin dan lopinavir/ritonavir.
Pada anak, kegagalan terapi ARV lini pertama dengan regimen yang mengandung
abacavir atau kombinasi tenofovir dan lamivudin, diganti dengan lini kedua yaitu
zidovudin ditambah lamivudin. Sedangkan kegagalan terapi ARV lini pertama dengan
regimen yang mengandung zidovudin dan lamivudin, diganti dengan lini kedua yaitu
abacavir atau tenofovir ditambah lamivudin atau emtricitabine.
Jika setelah dilakukan terapi ARV lini kedua namun masih mengalami kegagalan terapi,
dapat diberikan regimen ARV lini ketiga. Pada lini ketiga ini untuk anak dan dewasa
adalah darunavir/ritonavir ditambah dengan dolutregravir. Regimen ini dapat
ditambahakan pula 1 atau 2 obat dari golongan Nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NRTI) seperti zidovudin. (Kemenkes RI, 2019)
Beberapa infeksi oportunistik yang akan terjadi pada infeksi HIV kronis, antara lain :
Mucocutaneous candidiasis
Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP)
Jumlah CD4+ < 150 sel/mm^3
Histoplasma capsulatum
Jumlah CD4+ < 100 sel/mm^3
Cryptococcus neoformans
Kriptosporidiosis
Virus herpes simpleks (HSV)
Mikrosporidiosis
JC virus infection
Jumlah CD4+ <50 sel/mm^3
Cytomegalovirus
Mycobacterium avium complex (MAC)
Toxoplasma gondii encephalitis
Bartonellosis
Infeksi yang hidup berdampingan dengan HIV
Sifilis
Infeksi Human Papilloma Virus
Infeksi Virus Hepatitis B
Infeksi Virus Hepatitis C
2.10. Prognosis
Prognosis infeksi HIV pada pasien yang tidak mendapat terapi adalah sangat buruk
dengan tingkat mortalitas lebih dari 90%. Rerata waktu dari infeksi sampai kematian
adalah 8-10 tahun. Angka tersebut bervariasi pada setiap individu. Meski demikian,
dengan inisiasi cepat dari terapi antiretroviral, prognosis bisa meningkat signifikan.
Infeksi HIV dapat berprogresi menjadi AIDS dalam waktu 15 tahun atau lebih.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat progresi infeksi HIV antara lain kesehatan
mental, penyalahgunaan zat, superinfeksi dengan strain HIV lain, status nutrisi, dan usia.
Kesintasan hidup pasien yang telah berprogresi menjadi AIDS dan tidak diobati yaitu <2
tahun. (Gilroy SA., 2021)
17
BAB III
KESIMPULAN
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Brew, B. J., & Garber, J. Y. (2018). Neurologic sequelae of primary HIV infection.
Handbook of clinical neurology, 152, 65–74. https://doi.org/10.1016/B978-0-444-
63849-6.00006-2
2. Gilroy SA. HIV infection and AIDS. 2021.
https://emedicine.medscape.com/article/211316-overview#showall
3. Hladik, F., & McElrath, M. J. (2008). Setting the stage: host invasion by HIV. Nature
reviews. Immunology, 8(6), 447–457. https://doi.org/10.1038/nri2302
4. Jameson J, & Fauci A.S., & Kasper D.L., & Hauser S.L., & Longo D.L., & Loscalzo
J(Eds.), (2018). Harrison's Principles of Internal Medicine, 20e. McGraw Hill.
https://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?
bookid=2129§ionid=191734593
5. Justiz Vaillant AA, Naik R. HIV-1 Associated Opportunistic Infections. [Updated
2022 Sep 20]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2022 Jan-.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Laporan Perkembangan HIV AIDS & Penyakit lnfeksi
Menular Seksual (PIMS) Triwulan I Tahun 2021 : Jakarta 2021.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana HIV,
2019
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Program Pengendalian HIV AIDS dan PIMS Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama, 2017
9. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
10. Phanuphak, N., & Gulick, R. M. (2020). HIV treatment and prevention 2019: current
standards of care. Current opinion in HIV and AIDS, 15(1), 4–12.
https://doi.org/10.1097/COH.0000000000000588
11. Poorolajal, J., Hooshmand, E., Mahjub, H., Esmailnasab, N., & Jenabi, E. (2016).
Survival rate of AIDS disease and mortality in HIV-infected patients: a meta-
analysis. Public health, 139, 3–12. https://doi.org/10.1016/j.puhe.2016.05.004
16
12. Shaw, G. M., & Hunter, E. (2012). HIV transmission. Cold Spring Harbor
perspectives in medicine, 2(11), a006965.
https://doi.org/10.1101/cshperspect.a006965
13. Thompson, C. G., Gay, C. L., & Kashuba, A. D. M. (2017). HIV Persistence in Gut-
Associated Lymphoid Tissues: Pharmacological Challenges and Opportunities. AIDS
research and human retroviruses, 33(6), 513–523.
https://doi.org/10.1089/AID.2016.0253
14. Vidya Vijayan KK, Karthigeyan KP, Tripathi SP, Hanna LE. Pathophysiology of
CD4+ T-Cell Depletion in HIV-1 and HIV-2 Infections. Front Immunol. 2017. 8:580.
doi: 10.3389/fimmu.2017.00580
15. UNAIDS-WHO. UNAIDS DATA 2020: Geneva. 2020.
16. World Health Organization. HIV/AIDS. 2021. https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/hiv-aids
17