Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

HIV/AIDS

Dokter Pembimbing :
dr. Dewi Martalena, Sp. PD

Disusun Oleh :
Ferdy Reza Nugraha
2210026029

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
PERIODE 9 JANUARI – 19 MARET 2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, wr. wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat karunianya penulis
dapat menyelesaikan tugas laporan Referat yang berjudul “HIV/AIDS”.
Dalam penulisan laporan referat ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis
menyampaikan terima kasih kepada dr. Dewi Martalena, Sp. PD sebagai dokter pembimbing
yang telah bersedia membimbing dan dan meluangkan waktunya.
Penulis menyadari bahwa laporan referat ini jauh dari kata sempurna. Maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembimbing dan pembaca
agar laporan ini dapat menjadi lebih baik dan menjadi masukan bagi penulis.
Demikian laporan referat ini dibuat sebagai tugas laporan dari kegiatan klinis di
Stase Ilmu Penyakit Dalam serta untuk menambah pengetahuan bagi penulis serta pembaca.

Jakarta, 12 Januari 2023

Penulis

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi HIV........................................................................................................3


Gambar 2. Replikasi Virus HIV.............................................................................................5
Gambar 3. Alur Pemeriksaan Laboratorium HIV..............................................................9

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Cara Penularan Infeksi HIV.....................................................................................4


Tabel 2. Stadium Klinis Infeksi HIV......................................................................................7
Tabel 3. Obat Antiretroviral (ARV)......................................................................................12

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................1

DAFTAR GAMBAR................................................................................................................2

DAFTAR TABEL.....................................................................................................................3

DAFTAR ISI.............................................................................................................................4

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................6

2.1. Definisi............................................................................................................................6

2.2. Epidemiologi...................................................................................................................6

2.3. Etiologi............................................................................................................................7

2.4. Faktor Risiko...................................................................................................................8

2.5. Cara Penularan.................................................................................................................8

2.6. Patofisiologi.....................................................................................................................9

2.7. Diagnosis.......................................................................................................................11

2.8. Tatalaksana....................................................................................................................16

2.9. Prognosis.......................................................................................................................19

BAB III KESIMPULAN........................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................21

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang dapat menginfeksi manusia dan
merusak sistem kekebalan tubuh menjadi lemah untuk melawan infeksi, hingga akan
menyebabkan kegagalan sistem kekebalan tubuh. Dimana virus ini akan menyebabkan
kondisi yang biasanya dikenal dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang
merupakan sebuah kondisi ataupun sebuah gejala yang muncul setelah virus HIV menyerang
dan menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh.

Infeksi HIV dianggap sebagai pandemi. Diperkirakan 38,6 juta orang hidup dengan HIV
di seluruh dunia, sermntara sekitar 25 juta orang telah meninggal karena virus ini. Masalah
HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara di seluruh
dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari HIV. Prevalensi HIV/AIDS
telah meningkat selama beberapa tahun terakhir dengan kemajuan dalam pengobatan yang
memungkinkan pasien hidup lebih lama dengan HIV. Faktor risiko yang terkait dengan
tertular infeksi HIV antara lain laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, praktek
seksual yang tidak aman, penggunaan obat intravena, transmisi vertikal, dan transfusi darah
atau produk darah.

Sejumlah besar pasien mungkin hanya mengalami infeksi tanpa gejala setelah paparan.
waktu yang biasa dari paparan hingga munculnya gejala adalah 2 sampai 4 minggu,
meskipun, dalam beberapa kasus, bisa sampai 10 bulan. Kumpulan gejala, yang dikenal
sebagai sindrom retroviral akut , dapat muncul secara akut. Meskipun tidak satu pun dari
gejala ini yang spesifik untuk HIV, adanya peningkatan keparahan dan durasinya merupakan
indikasi prognosis yang buruk.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) yang merupakan sebuah kondisi
ataupun sebuah gejala yang muncul setelah virus HIV menyerang dan menyebabkan
menurunnya sistem kekebalan tubuh. Dan virus yang menyebabkan kondisi ini adalah
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang ditularkan melalui darah
yang biasanya ditularkan melalui hubungan seksual, pemberian obat intravena bersama,
dan selama proses kelahiran atau melalui air susu manusia (penularan vertikal).
(Poorolajal, J., DKK, 2016)

2.2. Epidemiologi
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari 690
ribu jiwa pada tahun 2019. Jumlah Orang Dengan HIV/AIDS diperkirakan mencapai 38
juta orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 19,2 juta
penderita adalah perempuan dan 1,8 juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus baru
HIV di tahun 2019 sebanyak 1,7 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 150
ribu di antaranya terjadi pada anak-anak. (UNAIDS-WHO, 2020)

Berdasarkan laporan Kementrian Kesehatan, jumlah ODHA di Indonesia pada tahun


2020 ditemukan sebanyak 427 ribu orang dengan sebanyak 365 ribu ODHA masih hidup
dan 61 ribu orang yang meninggal dikarenakan infeksi HIV.

Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada periode Januari-
Maret 2021, sekitar 69% adalah laki-laki dan 31% adalah perempuan. Berdasarkan cara
penularan, dilaporkan 13,0% pada heteroseksual; 0,5% pada pengguna narkotika suntik;
27,2% pada homoseksual; 8,8% lain-lain dan 50,4% tidak diketahui. Hal ini
menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok heteroseksual ke kelompok
homoseksual. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 25-49
tahun (71,3%), disususul pada kelompok usia 20-24 tahun (16,3%). (Kemenkes RI,
2021)

Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah


kumulatif kasus AIDS periode Januari-Maret 2021 berasal dari propinsi Jawa Tengah
sebesar 307 kasus, disusul Sumatera Utara dengan 216 kasus, kemudian diikuti oleh

2
Jawa Timur, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur dengan masing-masing jumlah kasus
secara berurutan sebesar 163 kasus, 109 kasus, dan 93 kasus AIDS. (Kemenkes RI, 2021)

3
3

2.3. Etiologi
Etiologi infeksi HIV adalah human immunodeficiency virus (HIV), yang merupakan
kelompok retrovirus dalam genus Lentivirus dari famili Retroviridae. HIV adalah virus
asam ribonukleat (RNA) positif, beruntai tunggal, diploid dan berkapsul. HIV memiliki
pembawa pesan DNA, yang merupakan genom virus terintegrasi (provirus) yang berada
di dalam DNA inang (Gilroy SA., 2021). Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan
dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada
glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4
pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di
bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti
ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase
enzyme). (Merati TP., DKK, 2006)

Gambar 1. Anatomi HIV

(Jameson J., DKK, 2018)

HIV dibedakan menjadi 2 spesies, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang masing-masing terdiri
lagi dari beberapa subtipe. HIV-1 adalah spesies HIV yang paling umum ditemukan di
seluruh dunia, sedangkan HIV-2 memiliki predominansi di daerah Afrika Barat.
Dibandingkan infeksi HIV-2, infeksi HIV-1 memiliki risiko transmisi yang lebih tinggi,
viral load yang lebih tinggi, dan lebih cepat berprogresi menjadi AIDS. (Gilroy SA.,
2021)
4

2.4. Faktor Risiko


Faktor risiko pada infeksi HIV antara lain adalah melakukan sexual intercourse tanpa
proteksi, terutama receptive anal intercourse dengan risiko transmisi 8 kali lebih tinggi,
berganti-ganti pasangan seksual, memiliki riwayat penyakit menular seksual seperti;
gonorrhea, klamidia, sifilis dan herpes genitalis; penggunaan jarum suntik yang sama
secara bergantian, kontak mukosa dengan darah yang terinfeksi HIV atau luka akibat
jarum suntik dan ibu hamil dengan infeksi HIV. (WHO, 2021)

2.5. Cara Penularan

Infeksi HIV ini terjadi dan ditularkan salah satunya melalui kontak seksual melintasi
permukaan mukosa, melalui paparan ibu-bayi, maupun melalui inokulasi perkutan.
(Shaw GM, Hunter E., 2012)

Tabel 1. Cara Penularan Infeksi HIV

Situs invasi Sublokasi anatomi Media transmisi Probabilitas transmisi


HIV per kejadian paparan

Saluran Vagina Air mani; darah 1 dalam 200–1 dalam


genital 2000
wanita
Ektoserviks

Endoserviks

Saluran Kulup bagian dalam Sekresi serviks dan 1 dalam 700–1 dalam
kelamin dubur; darah 3000
pria
Uretra penis

Saluran Rektum Air mani; darah 1 dalam 20–1 dalam 300


usus
Saluran GI bagian Air mani; darah 1 dalam 2500
atas
Darah ibu, sekret 1 dalam 5–1 dalam 10
genital (intrapartum)

ASI 1 dalam 5–1 dalam 10

Plasenta Vili korionik Darah ibu 1 dalam 10–1 dalam 20


(intrauterine)
5

Aliran Produk darah, benda 95 dalam 100–1 dalam


darah tajam 150
(Shaw GM, Hunter E., 2012)
2.6. Patofisiologi
Infeksi HIV pada prinsipnya adalah defisiensi imunitas selular oleh HIV yang
ditandai dengan penurunan limfosit T helper (sel CD4). Terjadinya penurunan sel T
helper CD4 menyebabkan inversi rasio normal sel T CD4/CD8 dan disregulasi produksi
antibodi sel B. Respon imun terhadap antigen mulai menurun, dan host gagal merespon
terhadap infeksi oportunistik maupun organisme komensal yang seharusnya tidak
berbahaya. Defek respon imun ini terutama terjadi pada sistem imunitas selular sehingga
infeksi cenderung bersifat nonbakterial. (Phanuphak N., 2020)

HIV bereplikasi dalam sel T yang teraktivasi, kemudian bermigrasi ke limfonodi dan
menyebabkan gangguan struktur limfonodi. Gangguan jaringan dendritik folikular di
limfonodi yang diikuti kegagalan presentasi antigen secara normal ini berperan dalam
proses penyakit. Gut-associated lymphoid tissue (GALT) juga berperan penting dalam
replikasi HIV. Meskipun portal masuk HIV melalui inokulasi darah secara langsung atau
paparan virus ke mukosa genital, traktus gastrointestinal memiliki banyak jaringan
limfoid yang ideal untuk replikasi HIV. GALT diketahui merupakan tempat penempelan
awal virus dan pembentukan reservoir proviral. (Thompson CG., DKK, 2017)

Gambar 2. Replikasi Virus HIV


6

(Jameson J., DKK, 2018)

Beberapa protein HIV menganggu fungsi sel T secara langsung, baik melalui
gangguan siklus sel maupun melalui penurunan regulasi molekul CD4. Efek sitotoksik
langsung dari replikasi virus bukanlah penyebab utama penurunan sel T CD4, melainkan
karena apoptosis sel T sebagai bagian dari hiperaktivasi imun dalam merespon infeksi
kronik. Sel yang terinfeksi juga dapat terdampak oleh serangan imun tersebut. HIV
menyebabkan siklus sel berhenti sehingga menganggu produksi profil sitokin. Pada
infeksi HIV terjadi penurunan IL-7, IL-12, IL-15, FGF-2, dan peningkatan TNF-alpha,
IP-10.

Infeksi HIV terdiri dari 3 fase, yaitu fase serokonversi akut, fase asimtomatik, dan
fase Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Pada fase serokonversi akut,
terjadi viremia plasma yang cepat disertai penyebaran virus yang luas terjadi 4-11 hari
setelah virus masuk ke dalam mukosa. Virus cenderung akan berintegrasi pada area
dengan transkripsi aktif. Hal ini dimungkinkan terjadi karena area tersebut memiliki
kromatin terbuka yang lebih banyak dan deoxyribonucleic acid (DNA) yang lebih mudah
diakses. Selama fase ini, proses infeksi mulai terjadi dan terbentuk reservoir proviral.
7

Reservoir ini mengandung sel yang terinfeksi (makrofag) dan mulai melepaskan virus.
Beberapa virus yang terbentuk mengisi kembali reservoir, beberapa melanjutkan proses
infeksi aktif. Reservoir proviral ini sangat stabil. Besarnya reservoir proviral berkorelasi
dengan viral load yang stabil dan berbanding terbalik dengan respon sel T CD8 anti-HIV.
Pada fase ini, viral load sangat tinggi (sangat menular) dan jumlah sel T CD4 menurun
cepat. Dengan munculnya respon sel T CD8 dan antibodi anti-HIV, viral load turun dan
jumlah sel T CD4 kembali ke rentang normalnya namun sedikit lebih rendah
dibandingkan sebelum infeksi.

Pada fase asimtomatik, pasien yang terinfeksi menunjukkan sedikit atau bahkan tidak
ada gejala sama sekali selama beberapa tahun sampai 1 dekade atau lebih. Meski begitu,
HIV tetap dapat ditularkan pada fase ini. Replikasi virus tetap berlangsung. HIV tetap
aktif namun diproduksi dalam jumlah sedikit. Respon imun melawan virus juga terjadi,
yang ditandai dengan munculnya limfadenopati generalisata persisten pada beberapa
pasien. Selama fase ini, jika tidak diterapi, viral load akan tetap stabil (tidak meningkat
atau menurun), dan sel T CD4 akan menurun. Fase ini dapat berlangsung sampai 1
dekade atau lebih. Pada akhir fase asimtomatik, viral load akan meningkat, jumlah sel
CD4 menurun, mulai muncul gejala, dan memasuki fase AIDS.

Pada fase Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) ini akan terjadi jika sistem
imun telah rusak dan muncul infeksi oportunistik. Pasien didiagnosis AIDS jika Sel T
CD4 di bawah 200/µL atau ada infeksi oportunistik. Pada fase AIDS, sel CD4 terus turun
sehingga terjadi immunosupresi yang menyebabkan infeksi oportunistik. Viral load pada
fase ini tinggi dan sangat infeksius. Tanpa pengobatan, kesintasan hidup pasien dengan
AIDS adalah sekitar 3 tahun. (Gilroy SA., 2021)

2.7. Diagnosis
1. Anamnesis & Pemeriksaan Fisik
Tanyakan kepada pasien mengenai :
- Identitas dan latar belakang pasien (PSK, pengguna narkoba suntik, laki-laki seks
dengan laki-laki (LSL), waria dan warga binaan pemasyarakatan.
- Latar belakang seksual pasien (hubungan seks tanpa proteksi, pasangan seks
berganti-ganti, memiliki riwayat penyakit menular seksual, penyalahgunaan obat
dengan jarum suntik yang sama bergantian)
- Demam
8

- Malaise
- Ruam kulit
- Sakit kepala
- Sakit tenggorokan
- Pembengkakan KGB
- Nyeri sendi
- Keringat malam
- Diare (Brew BJ, Garber JY, 2018)

2. Stadium Klinis Infeksi HIV

Terdapat 4 stadium klinis infeksi HIV berdasarkan tanda dan gejala yang dapat
ditemukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik:

Tabel 2. Stadium Klinis Infeksi HIV

Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan


Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang


Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)


Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis (jiroveci)
Pneumoni bakterial yang berat berulang
9

Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.


Kandidiasis esophageal
TB Extraparu
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV
Abses otak Toksoplasmosis
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

(Kemenkes RI, 2017)

3. Pemeriksaan Penunjang

Infeksi HIV didiagnosis dengan pemeriksaan serologi dan virologi. Pemeriksaan


serologi bertujuan untuk mendeteksi antigen dan antibodi terhadap HIV. Pemeriksaan
serologi terdiri dari pemeriksaan antibodi saja atau pemeriksaan antibodi sekaligus
antigen (antigen p24). Metode yang sering digunakan untuk pemeriksaan serologi
adalah rapid immunochromatography test (tes cepat) dan enzyme immunoassay
(EIA). Pemeriksaan serologi dapat digunakan untuk pemeriksaan skrining HIV.
(Kemenkes RI, 2017)
10

Gambar 3. Alur Pemeriksaan Laboratorium HIV

(Kemenkes RI, 2017)


Intepretasi hasil pemeriksaan anti-HIV

Hasil positif:
 Bila hasil A1 reaktif. A2 rektif dan A3 reaktif

Hasil Negatif :
 Bila hasil A1 non reaktif
 Bila hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non reaktif
 Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko
11

Hasil indeterminate :
 Bila dua hasil reaktif
 Bila hanya 1 tes reaktif tapi berisiko atau pasangan berisiko

Tindak lanjut hasil pemeriksaan anti-HIV


Tindak lanjut hasil positif
 Rujuk ke pengobatan HIV

Tindak lanjut hasil negatif


 Bila hasil negatif dan berisiko dianjurkan pemeriksaan ulang minimum 3
bulan, 6 bulan dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama
 Bila hasil negatif dan tidak berisiko dianjurkan perilaku sehat

Tidak lanjut hasil indeterminate


 Tes perlu diulang dengan spesimen baru minimum setelah dua minggu dari
pemeriksaan yang pertama
 Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR
 Bila tidak ada akses ke pemeriksaan PCR, rapid tes diulang 3 bulan, 6 bulan
dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama. Bila sampai satu tahun tetap
“indeterminate“ dan faktor risiko rendah, hasil dinyatakan sebagai negatif.
(Kemenkes RI, 2017)

Selain melakukan pemeriksaan secara serologi, dapat pula dilakukan pemeriksaan


virologi untuk mendeteksi virus HIV, yaiut dengan pemeriksaan asam nukleat (nucleic
acid test/NAT) dengan mendeteksi DNA dan RNA dari virus ini. Metode yang
digunakan untuk pemeriksaan virologi adalah polymerase chain reaction (PCR).
Pemeriksaan virologi digunakan pada bayi berusia dibawah 18 bulan, infeksi HIV
primer, kasus terminal dengan hasil pemeriksaan antibodi negatif namun gejala klinis
mengarah ke AIDS, dan konfirmasi hasil inkonklusif atau 2 hasil laboratorium yang
berbeda. (Kemenkes RI, 2017)

Selain mendeteksi DNA dan RNA HIV, pemeriksaan virologi juga dilakukan untuk
mengetahui viral load. Pemeriksaan viral load dilakukan untuk mengetahui perkiraan
jumlah virus HIV dalam darah, menandakan tingkat virulensi pasien, dan sebagai
target terapi ARV. Diharapkan setelah terapi ARV, nilai viral load dapat turun hingga
tidak terdeteksi yaitu 20-75 kopi/ml. Hal ini menandakan terapi ARV berhasil
12

menekan aktivitas HIV dan virulensi menjadi tergolong rendah dengan terapi ARV.
Viral load menunjukkan aktifnya replikasi virus yang berhubungan dengan progresi ke
arah AIDS dan kematian. Pasien dengan viral load >30,000/mL memiliki risiko
kematian akibat AIDS 18,3 kali lebih besar dibandingkan pasien dengan viral load
yang sudah tidak terdeteksi. (Gilroy SA., 2021)

Pemeriksaan HIV idealnya dilakukan setelah melewati window period, yaitu waktu
antara terpapar HIV sampai dapat dilakukan pemeriksaan diagnostik HIV. Window
period setiap orang berbeda-beda dan juga bergantung pada metode pemeriksaan yang
digunakan. Window period pada pemeriksaan NAT adalah 10-33 hari setelah paparan
HIV. Window period pada pemeriksaan antigen/antibodi adalah 18-45 hari setelah
paparan HIV untuk sampel darah vena dan 18-90 hari setelah paparan HIV untuk
sampel finger prick. Window period pemeriksaan antibodi (pemeriksaan cepat dan
pemeriksaan mandiri) adalah 23-90 hari setelah paparan HIV. (Kemenkes RI, 2017)

Pada pasien yang baru terdiagnosis infeksi HIV, perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk mendeteksi adanya infeksi oportunistik dan sebagai pertimbangan terapi
ARV. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah dengan Hitung sel CD4 (CD4 cell
count). Hitung sel CD4 dilakukan untuk menilai derajat imunodefisiensi dan sebagai
indikator adanya risiko infeksi oportunistik. Rentang normal jumlah CD4 adalah 500-
2000 sel/μL. Setelah terjadi serokonversi (HIV positif), jumlah CD4 akan terus
menurun. Jumlah CD4 di bawah 200 sel/μL diindikasikan sebagai AIDS di mana
risiko infeksi oportunistik tinggi. (Gilroy SA., 2021)

2.8. Tatalaksana
Penatalaksanaan infeksi HIV adalah dengan pemberian obat antiretroviral (ARV).
Hingga saat ini belum ada obat untuk menyembuhkan infeksi HIV. ARV yang digunakan
bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan HIV.
Terapi ARV harus diberikan kepada semua pasien dengan infeksi HIV tanpa melihat
stadium klinis dan nilai CD4.
13

Tabel 3. Obat Antiretroviral (ARV)

Golongan Nama obat Dosis dewasa Dosis anak


Nucleoside Lamivudin 150 mg 2 kali ≥ 4 mg/kg 2kali sehari
reverse (3TC) sehari, atau 300
transcriptas mg sekali sehari  
e inhibitors Tenofovir 300 mg sekali >10 kg: 8 mg/kg sekali sehari
(NRTIs) (TDF) sehari
Zidovudin 500-600mg/hari 4-<9 kg: 12 mg/kg 2 kali sehari
(AZT)
terbagi dalam 2 9-<30 kg: 9 mg/kg 2 kali sehari
atau 3 dosis
≥30 kg: 250-300 mg 2 kali
sehari
Abacavir 300 mg 2 kali 14-<20 kg: 150 mg 2 kali sehari
(ABC) sehari, atau 600 atau 300 mg sekali sehari
mg, sekali sehari
≥20 kg-<25 kg: 450 mg sekali
sehari atau dalam 2 dosis terbagi

≥25 kg: sesuai dosis dewasa


Emtricitabine 200 mg sekali <33 kg: 6 mg/kg sekali sehari
(FTC) sehari
>33 kg: sesuai dosis dewasa
Penghambat Lopinavir/ 400/100 mg 2 2 minggu-6 bulan: 16 mg/4 mg
protease kali sehari atau per kg, 2 kali sehari
ritonavir
(LPV/r) 800/200 mg <15 kg: 12 mg/3 mg per kg 2
sekali sehari kali sehari

15-40 kg: 10 mg/5 mg per kg 2


kali sehari

≥40 kg: sesuai dosis dewasa


  Darunavir/ 800/100 mg ≥15-<30 kg: 600 mg
sekali sehari
ritonavir ≥30-<40 kg: 675 mg
(DRV/r)
≥40 kg: 800 mg

Semua dosis diberikan sekali


sehari
Non- Efavirenz 600 mg sekali 3,5-<5 kg: 100 mg
nucleoside (EFV) sehari.
reverse 5-<7,5 kg: 150 mg
transcriptas  
e inhibitors 7,5-<15 kg: 200 mg
(NNRTIs)
15-<20 kg: 250 mg
14

20-<25 kg: 300 mg

25-<32,5 kg: 350 mg

32,5-<40 kg: 400 mg

Semua dosis diberikan sekali


sehari.
  Nevirapine 200 mg sekali 150 mg/m2 sekali sehari untuk
(NVP) sehari untuk 14 14 hari pertama, selanjutnya 150
hari pertama, mg/m2 2 kali sehari
  selanjutnya (jika
tidak muncul ≥50 kg: sesuai dosis dewasa
ruam kulit) 200
mg 2 kali sehari
Integrase Dolutegravir 50 mg sekali 15-<20 kg: 20 mg
inhibitor (DTG) sehari
20-<30 kg: 25 mg

30-<40 kg: 35 mg

≥40 kg: 50 mg

≥40 kg: 50 mg

Semua dosis diberikan sekali


sehari

Terapi ARV diberikan dalam regimen kombinasi dengan 3 lini berjenjang. Regimen
lini pertama digunakan pada pasien yang baru didiagnosis infeksi HIV dan belum pernah
mendapatkan ARV sebelumnya (naif ARV). Regimen lini kedua digunakan jika terjadi
kegagalan terapi dengan lini pertama. Regimen lini ketiga digunakan jika terjadi
kegagalan terapi dengan lini kedua.

Regimen ARV lini pertama untuk dewasa (termasuk ibu hamil dan menyusui) dan
remaja 10-19 tahun adalah tenofovir ditambah lamivudin atau emtricitabine dan
efavirenz (tersedia dalam bentuk kombinasi dosis tetap/fixed dose combination). Jika
kombinasi tersebut dikontraindikasikan atau tidak tersedia, maka dapat digunakan
alternatif zidovudin ditambah lamivudin dan efavirens atau kombinasi zidovudin
ditambah lamivudin dan nevirapine. Regimen lini pertama untuk anak usia 3-10 tahun
adalah zidovudin atau tenofovir ditambah lamivudin dan efavirenz. Jika kombinasi
tersebut dikontraindikasikan atau tidak tersedia, maka dapat digunakan alternatif abacavir
15

ditambah lamivudin dan nevirapine atau efavirenz. Alternatif lain adalah zidovudin
ditambah lamivudin dan efavirenz atau nevirapine. Regimen ARV lini pertama untuk
anak usia <3 tahun adalah abacavir atau zidovudin ditambahkan lamivudin dan
lopinavir/ritonavir. Jika kombinasi tersebut dikontraindikasikan/tidak tersedia, maka
dapat digunakan alternatif abacavir atau zidovudin ditambahkan lamivudin dan
nevirapine.

Jika terjadi kegagalan terapi ARV lini pertama dengan tenofovir ditambah lamivudin
dan nevirapine atau efavirenz, pada dewasa dapat diganti dengan lini kedua yaitu
zidovudin ditambah lamivudin dan lopinavir/ritonavir. Sementara itu, kegagalan terapi
ARV lini pertama dengan zidovudin ditambah lamivudin dan nevirapine atau efavirenz,
diganti dengan lini kedua yaitu tenofovir ditambah lamivudin dan lopinavir/ritonavir.
Pada anak, kegagalan terapi ARV lini pertama dengan regimen yang mengandung
abacavir atau kombinasi tenofovir dan lamivudin, diganti dengan lini kedua yaitu
zidovudin ditambah lamivudin. Sedangkan kegagalan terapi ARV lini pertama dengan
regimen yang mengandung zidovudin dan lamivudin, diganti dengan lini kedua yaitu
abacavir atau tenofovir ditambah lamivudin atau emtricitabine.

Jika setelah dilakukan terapi ARV lini kedua namun masih mengalami kegagalan terapi,
dapat diberikan regimen ARV lini ketiga. Pada lini ketiga ini untuk anak dan dewasa
adalah darunavir/ritonavir ditambah dengan dolutregravir. Regimen ini dapat
ditambahakan pula 1 atau 2 obat dari golongan Nucleoside reverse transcriptase
inhibitors (NRTI) seperti zidovudin. (Kemenkes RI, 2019)

2.9. Infeksi Oportunistik


Pada individu dengan infeksi HIV kronis yang tidak dalam pengobatan dengan obat
antiretroviral, ketika jumlah CD4+ turun, mereka rentan terhadap banyak infeksi yang
jarang terjadi pada inang imunokompeten, oleh karena itu disebut infeksi oportunistik
(IO). Adanya penyakit terdefinisi AIDS atau CD4+ kurang dari 200 sel/mm³ diperlukan
untuk menentukan AIDS dan literatur menjelaskan infeksi oportunistik yang berpotensi
fatal pada pasien ini yang seringkali sulit diobati.

Beberapa infeksi oportunistik yang akan terjadi pada infeksi HIV kronis, antara lain :

Semua jumlah CD4+


 Mycobacterium Tuberculosis
Jumlah CD4+ kurang dari 250 sel/mm^3
16

 Mucocutaneous candidiasis
 Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP)
Jumlah CD4+ < 150 sel/mm^3
 Histoplasma capsulatum
Jumlah CD4+ < 100 sel/mm^3
 Cryptococcus neoformans
 Kriptosporidiosis
 Virus herpes simpleks (HSV)
 Mikrosporidiosis
 JC virus infection
Jumlah CD4+ <50 sel/mm^3
 Cytomegalovirus
 Mycobacterium avium complex (MAC)
 Toxoplasma gondii encephalitis
 Bartonellosis
Infeksi yang hidup berdampingan dengan HIV
 Sifilis
 Infeksi Human Papilloma Virus
 Infeksi Virus Hepatitis B
 Infeksi Virus Hepatitis C

2.10. Prognosis
Prognosis infeksi HIV pada pasien yang tidak mendapat terapi adalah sangat buruk
dengan tingkat mortalitas lebih dari 90%. Rerata waktu dari infeksi sampai kematian
adalah 8-10 tahun. Angka tersebut bervariasi pada setiap individu. Meski demikian,
dengan inisiasi cepat dari terapi antiretroviral, prognosis bisa meningkat signifikan.

Infeksi HIV dapat berprogresi menjadi AIDS dalam waktu 15 tahun atau lebih.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat progresi infeksi HIV antara lain kesehatan
mental, penyalahgunaan zat, superinfeksi dengan strain HIV lain, status nutrisi, dan usia.
Kesintasan hidup pasien yang telah berprogresi menjadi AIDS dan tidak diobati yaitu <2
tahun. (Gilroy SA., 2021)
17
BAB III
KESIMPULAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang merupakan kelompok


retrovirus dalam genus Lentivirus dari famili Retroviridae. Dimana virus ini akan
menyebabkan kondisi yang biasanya dikenal dengan Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS) yang merupakan sebuah kondisi ataupun sebuah gejala tahap akhir
pada infeksi HIV yang muncul setelah virus HIV menyerang dan menyebabkan
menurunnya sistem kekebalan tubuh.
Terdapat 4 stadium klinis infeksi HIV berdasarkan tanda dan gejala yang dapat
ditemukan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yaitu stadium 1 biasanya asimptomatik,
stadium 2 dengan sakit ringam, stadium 3 dengan sakit sedang dan stadium 4 sakit berat
atau biasanya disebut dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).
Infeksi HIV ini terjadi dan ditularkan salah satunya melalui kontak seksual melintasi
permukaan mukosa, melalui paparan ibu-bayi, maupun melalui inokulasi perkutan.
Terapi ARV diberikan dalam regimen kombinasi dengan 3 lini berjenjang. Regimen lini
pertama digunakan pada pasien yang baru didiagnosis infeksi HIV dan belum pernah
mendapatkan ARV sebelumnya (naif ARV). Regimen lini kedua digunakan jika terjadi
kegagalan terapi dengan lini pertama. Regimen lini ketiga digunakan jika terjadi
kegagalan terapi dengan lini kedua.
Prognosis infeksi HIV pada pasien yang tidak mendapat terapi adalah sangat buruk
dengan tingkat mortalitas lebih dari 90%. Rerata waktu dari infeksi sampai kematian
adalah 8-10 tahun. Angka tersebut bervariasi pada setiap individu. Meski demikian,
dengan inisiasi cepat dari terapi antiretroviral, prognosis bisa meningkat signifikan.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Brew, B. J., & Garber, J. Y. (2018). Neurologic sequelae of primary HIV infection.
Handbook of clinical neurology, 152, 65–74. https://doi.org/10.1016/B978-0-444-
63849-6.00006-2
2. Gilroy SA. HIV infection and AIDS. 2021.
https://emedicine.medscape.com/article/211316-overview#showall
3. Hladik, F., & McElrath, M. J. (2008). Setting the stage: host invasion by HIV. Nature
reviews. Immunology, 8(6), 447–457. https://doi.org/10.1038/nri2302
4. Jameson J, & Fauci A.S., & Kasper D.L., & Hauser S.L., & Longo D.L., & Loscalzo
J(Eds.), (2018). Harrison's Principles of Internal Medicine, 20e. McGraw Hill.
https://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?
bookid=2129&sectionid=191734593
5. Justiz Vaillant AA, Naik R. HIV-1 Associated Opportunistic Infections. [Updated
2022 Sep 20]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2022 Jan-.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Laporan Perkembangan HIV AIDS & Penyakit lnfeksi
Menular Seksual (PIMS) Triwulan I Tahun 2021 : Jakarta 2021.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana HIV,
2019
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Program Pengendalian HIV AIDS dan PIMS Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama, 2017
9. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
10. Phanuphak, N., & Gulick, R. M. (2020). HIV treatment and prevention 2019: current
standards of care. Current opinion in HIV and AIDS, 15(1), 4–12.
https://doi.org/10.1097/COH.0000000000000588
11. Poorolajal, J., Hooshmand, E., Mahjub, H., Esmailnasab, N., & Jenabi, E. (2016).
Survival rate of AIDS disease and mortality in HIV-infected patients: a meta-
analysis. Public health, 139, 3–12. https://doi.org/10.1016/j.puhe.2016.05.004

16
12. Shaw, G. M., & Hunter, E. (2012). HIV transmission. Cold Spring Harbor
perspectives in medicine, 2(11), a006965.
https://doi.org/10.1101/cshperspect.a006965
13. Thompson, C. G., Gay, C. L., & Kashuba, A. D. M. (2017). HIV Persistence in Gut-
Associated Lymphoid Tissues: Pharmacological Challenges and Opportunities. AIDS
research and human retroviruses, 33(6), 513–523.
https://doi.org/10.1089/AID.2016.0253
14. Vidya Vijayan KK, Karthigeyan KP, Tripathi SP, Hanna LE. Pathophysiology of
CD4+ T-Cell Depletion in HIV-1 and HIV-2 Infections. Front Immunol. 2017. 8:580.
doi: 10.3389/fimmu.2017.00580
15. UNAIDS-WHO. UNAIDS DATA 2020: Geneva. 2020.
16. World Health Organization. HIV/AIDS. 2021. https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/hiv-aids

17

Anda mungkin juga menyukai