Anda di halaman 1dari 23

Judul : Antifungal Resistance in Dermatophytes: Recent Trends and

Therapeutic Implications
Penulis : Ananta Khurana., Kabir Sardana, Anuradha Chowdahary
Diambil dari : Khurana A, Sardana K, Chowdahary A. Antifungal Resistance in
Dermatophytes: Recent Trends and Therapeutic Implications.
Elsevier. 2019; 132:1087-845.
Penerjemah : Aldian Indirawaty

RESISTENSI ANTIJAMUR PADA DERMATOFITA:


PENGGUNAAN TERBARU DAN IMPLIKASI
TERAPI
Abstrak
Dermatofitosis atau tinea merujuk pada infeksi jamur superfisial pada jaringan berkeratin. Walaupun
secara umum mudah untuk diobati, infeksi rekalsetran, menunjukkan infeksi luas dan sulit untuk
diobati pada tinea korporis dan kruris, meningkat pada beberapa negara di dunia. Kondisi ini
membutuhkan pemahaman terhadap komponen farmakokinetik dan farmakodinamik yang tersedia
pada obat antijamur untuk melawan dermatofita and kemungkinan terjadinya resistensi obat dan faktor
risiko lain saat ini. Pada ulasan ini, penulis menyediakan pembaca sebuah tinjauan komprehensif
resistensi in vitro maupun in vivo terhadap obat antijamur yang digunakan dalam klinis untuk
mengatasi dermatofita. Penulis juga menambahkan secara singkat, farmakokinetik obat-obatan
sistemik yang berkaitan dengan kulit. Mekanisme yang telah ditetapkan mengenai resistensi obat telah
didiskusikan dan aspek terkait kurangnya hubungan antara resistensi in vivo dan in vitro disajikan.
Akhir kata, kekurangan dari pengetahuan kita yang sudah ada mengenai topik ini dan arena untuk
penelitian ke depan lebih di perhatikan.

Pendahuluan
Dermatofita adalah kelompok jamur patogen primer yang paling sering
menyebabkan infeksi jamur pada manusia yang disebut dermatofitosis atau tinea.
Dermatofita (Onygenales, Arthrodermataceae) merupakan sekelompok jamur
berfilamen yang berkaitan erat dalam menginfeksi jaringan keratin seperti kulit,
rambut dan kuku. Trichophyton rubrum merupakan spesies penyebab infeksi yang
paling umum, namun terdapat peningkatan kasus infeksi pada beberapa negara di
dunia yang dapat disebabkan oleh T. interdigitale dan T. mentagrophytes.
Munculnya dermatofitosis rekalsitran, terutama pada kasus tinea korporis dan
kruris, selama beberapa tahun terakhir telah menjadi perhatian di seluruh dunia.

1
Akibat kemunculan kasus tersebut, menyebabkan peningkatan ketertarikan dalam
penelitian terbaru pada dermatofitosis, yang merupakan jamur yang paling sering
menyebabkan infeksi pada manusia. Pada bagian berikut, penulis membahas
golongan obat penting yang tersedia untuk pengobatan dermatofitosis dan meninjau
literatur yang ada tentang mekanisme resistensi antijamur spesifik untuk masing-
masing golongan. Penulis membahas lebih lanjut kegunaan klinis pada obat individu
setelah data yang ada pada kerentanan in vitro dan in-vivo masing-masing. Penulis
terutama berfokus pada antijamur sistemik yang berguna secara klinis karena dapat
menjadi landasan terapi dermatofitosis yang sulit diobati.

Antijamur yang Digunakan Pada Dermatofita dan Masalah Klinis yang Tak
Respon Terhadap Pengobatan
Beragam antijamur sistemik telah digunakan untuk dermatofita dengan
griseofulvin (GRI) sebagai pengobatan yang pertama kali digunakan yang dikenalkan
pada tahun 1950 dilanjutkan dengan ketokonazol (KTZ) pada tahun 1980 dan
flukonazol (FLU), terbinafin (TRB), dan itrakonazol (ITR) yang diperkenalkan pada
dekade berikutnya (Tabel 1).

2
Tabel 1 Anti jamur yang digunakan dalam dermatofitosis.
Kelas Obat Mekanisme kerja
Azol Sistemik: Flukonazol, Ketokonazole, Penghambatan lanosterol 14α
Itrakonazole, vorikonazol, Posakonazole, demethylase
Isavukonazole
Topikal: klotrimazol, mikonazole, ekonazol,
Lulikonazole, Lanokonazole, Efinakonazole,
Ketokonazole, Sertakonazole, Oksikonazole,
Eberkonazole, Fentikonazole , Bifonazole
Alilamin Sistemik: Terbinafine Penghambatan squalene
Topikal: Terbinafine, Butenafine, Naftifine epoksidase
Heterosiklik Griseofulvin Penghambatan agregasi
benzofuran mikrotubulus
Poliena Nistatin, Natamycin, Amfoterisin B (topikal) Disorganisasi membran sel
dengan membentuk pori-pori
Morfoline Amorolfine (topikal) Penghambatan C-14 reduktase
dan C8 isomerase
Tiokarbamate Tolnaftate (topikal) Penghambatan squalene
epoksidase
Hidroksipiridon Siklopirox (topikal) Kelasi trivalen logam kation
Penghambatan logam enzim
tergantung - katalase,
Peroksidase.
Penghambatan enzim yang
terlibat dalam mitokondria
transport elektron dan produksi
energi
Ekinokandins Anidulafungin, Caspofungin, Mikafunginglukan Penghambatan sintesis glucan
Lainnya Tavabarole (topikal) Sitoplasma leusill tRNA
sintetase – penghambatan
sintesis protein dan
penghentian pertumbuhan sel
ME 111 Penghambat suksinat
dehidrogenase
Efinakonazol dan tavabarole disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat, Eropa dan
banyak negara lain untuk onikomikosis dan memberikan tingkat kesembuhan yang
tidak terlalu tinggi. Lulikonazol, azol topikal memiliki aktivitas in vitro dan in vivo
yang tinggi dan keuntungan dari aplikasi sekali sehari. Azol generasi ketiga juga
menunjukkan konsentrasi penghambat minimal yang rendah tetapi penggunaan klinis
telah jarang dilaporkan dan terutama terbatas dalam pengaturan infeksi berat terkait
dengan imunodefisiensi yang mendasarinya. Ekinokandin juga telah menunjukkan
aktivitas in vitro terhadap dermatofita tetapi laporan tentang penggunaan klinis masih
kurang. Ada beberapa laporan in vitro tentang aktivitas antijamur rapamisin dan
analognya terhadap ragi tetapi belum ada aktivitas terhadap dermatofita.

3
"Resistensi" dan "Rekalsitran" adalah istilah yang umum digunakan dalam
keadaan kurangnya respon klinis pada dermatofitosis. Sementara penggunaan istilah
"resistensi" dibatasi pada kurangnya penghambatan in vitro, rekalsitrans adalah istilah yang
lebih luas yang lebih relevan secara klinis karena mencakup baik resistensi in vitro dan
semua kemungkinan penyebab lainnya kegagalan terapi. Beberapa faktor penting yang
terlibat dan dikenali dalam ulasan sebelumnya tercantum dalam tabel 2. Tabel 2 Faktor-faktor
yang bertanggung jawab atas kekambuhan pada dermatofitosis
Faktor Implikasi/skenario
Faktor jamur Kemampuan adaptasi penjamu,
Faktor virulensi,
Kemungkinan variasi dalam kerentanan obat pejamur
Faktor penjamu Terkait kekebalan
• Iatrogenik dan defek imun terkait penyakit,
• Gangguan kekebalan lokal oleh penyalahgunaan steroid topikal
• Dominasi respon imun Th2
Kepatuhan dengan pengobatan jangka panjang
Faktor obat Mekanisme aksi obat
MFC / MICrasio
Penyerapan suboptimal,
kekhawatiran kualitas,
Tingkat dicapai dalam kulit, kepatuhan keratin,
Resisten
Presentasi klinis Onikomikosis (kemungkinan peran biofilm)
Majocchi granuloma's,
Tinea imbrikata
Keterlibatan telapak tangan / telapak kaki

Penelitian mengenai resistensi antijamur pada dermatofitosis lebih tertinggal


dibandingkan dengan mikosis sistemik. Berbeda dengan data konsentrasi penghambat
minimal yang tersedia dari seluruh dunia, data korelasi klinis pengujian kerentanan
anti jamur anti fungal susceptibility testing (AFST) pada dermatofitosis terbatas
sehingga menghambat pemanfaatan klinis dari data konsentrasi penghambat minimal
in vitro. Diyakini bahwa terdapat hubungan antara resistensi in vitro dan kegagalan
klinis, tetapi mungkin tidak ada hubungan antara resistensi in vitro dan keberhasilan

4
terapi. Hal ini disebabkan karena respon in vivo tergantung pada banyak faktor selain
dari resistensi obat, seperti yang disebutkan dalam tabel 2. Hal yang penting lain, obat
berkerja dengan sel penjamu dan setiap penyimpangannya dapat menyebabkan respon
yang kurang optimal. Selanjutnya, farmakokinetik yang tidak menguntungkan adalah
hal penentu penting lainnya terutama faktor yang berkaitan dengan bioavailabilitas
obat dan kemampuan untuk mencapai tempat infeksi dalam jaringan tertentu.

Mekanisme Aksi Antijamur yang Digunakan Terhadap Dermatofita


Antijamur yang digunakan dalam dermatofitosis sebagian besar bekerja pada
langkah-langkah yang berbeda dari jalur sintesis ergosterol (Gambar 1).

Gambar 1. Langkah-langkah sintesis ergosterol pada membran sel jamur, enzim


yang terlibat dan gen yang mengkode setiap enzim. Disebutkan juga tempat kerja
anti jamur yang digunakan untuk melawan dermatofita.
Jalur dimulai dengan squalene yang diproduksi dari asetat melalui asetil
koenzim A, hidroksimetil glutaryl koenzim A, dan mevalonat. Ergosterol adalah
komponen penting yang membentuk sebagian besar membran plasma jamur.
Komponen ini tidak ada pada sel mamalia yang menghasilkan kolesterol, sehingga
menjadikannya target yang aman untuk intervensi obat. Ergosterol juga memiliki

5
regulasi penting atau fungsi pemicu dimana jumlah kecil sangat penting untuk
memicu proliferasi sel dan kecepatan sel memasuki siklus sel. Fungsi yang sedikit ini
tidak terkait dengan fungsi yang lebih besar ataupun fungsi structural, sebab sterol
tertentu dapat menggantikan sterol membran tanpa melalui fungsi pemicu untuk sel
siklus. Fenomena dimana ergosterol melakukan peran ganda ini disebut “sinergisme
sterol”.

Azol
Azol merupakan kelompok antijamur terbesar. Tiga generasi azol saat ini
digunakan secara klinis untuk dermatofitosis. Azol generasi pertama mengandung
imidazol dalam sistem cincinnya terutama digunakan secara topikal (kecuali KTZ)
karena memiliki bioavailabilitas oral yang buruk dan toksisitas yang tinggi dengan
penggunaan sistemik. Azol generasi kedua dan ketiga memiliki cincin triazol bukan
struktur imidazol. Triazol memiliki spektrum aktivitas yang lebih luas daripada
imidazol dan memiliki profil keamanan yang lebih baik, bioavailabilitas oral yang
lebih baik serta farmakokinetik/farmakodinamik yang lebih baik dibandingkan
dengan imidazol. Azol generasi kedua meliputi ITR dan FLU, sedangkan generasi
ketiga meliputi posakonazol, vorikonazol, dan isavukonazol.
Azol bekerja pada biosintesis ergosterol pada tiga tahap demetilasi C-14, yang
merupakan reaksi oksidatif yang dikatalisis oleh enzim sitokrom P-450 – 14α-
lanosterol demethylase (P-450DM). Interaksi terjadi antara atom nitrogen azol
dengan besi heme P-450DM. Hasil dari penyumbatan pada jalur tersebut dan
akumulasi 14-methylated sterol akan mengganggu fungsi ergosterol yang membuat
membran plasma rentan terhadap kerusakan lebih lanjut dan mengubah aktivitas
enzim terikat membran, penting yang terlibat dalam transportasi nutrisi dan sintesis
kitin. Penghambatan ergosterol yang masif (>99%) juga akan mengganggu fungsi
pemicu, mempengaruhi pertumbuhan dan proliferasi sel. Akumulasi sedang pada
sterol akan melalui jalur “alternatif”, yang menghasilkan pembentukan metabolit
sterol yakni dienol yang selanjutnya bersifat fungistatik ke sel. Selain itu, triazol juga

6
mempengaruhi reduksi obtusifolione menjadi obtusifoliol yang menghasilkan
akumulasi dari prekursor sterol termetilasi.
Tiga azol sistemik yang telah digunakan untuk mengobati dermatofitosis yaitu
KTZ, ITR dan FLU. KTZ menunjukkan perbaikin klinis yang baik dan mengatasi
masalah durasi pengobatan yang lama, kegagalan pengobatan, profil farmakokinetik
kulit yang tidak menguntungkan dan bioavailabilitas oral yang buruk terkait dengan
penggunaan GRI yang merupakan satu-satunya antijamur sistemik lain yang
digunakan untuk dermatofitosis pada saat itu. Pengobatan ini menawarkan
keuntungan berupa perlekatan obat dengan keratin yang tinggi dan tingkat terapeutik
persisten di stratum korneum sampai 10 hari pasca penghentian pengobatan. Menurut
penelitian sebelumnya , tidak ada kasus klinis resistensi terhadap KTZ yang
dilaporkan sampai saat ini, meskipun ada laporan akan adanya in vitro yang tinggi
pada konsentrasi penghambat minimal. Obat tersebut telah ditarik di beberapa negara,
dan diberi pembatasan ketat serta penyaranan di beberapa negara lain tetap dalam
pengawasan, mengingat efek samping hepatotoksik yang dapat terjadi, meskipun
beberapa argumen telah menentang hal ini. Obat ini terus digunakan sebagai agen
topikal yang efektif untuk mikosis superfisial dan kadang-kadang digunakan oleh
dokter sebagai obat cadangan untuk dermatofitosis yang sulit diobati dengan dosis
200-400 mg/hari.
Flukonazol memiliki bioavailabilitas oral yang baik, terakumulasi dengan
cepat di stratum korneum dan mencapai tingkat tinggi. Tapi setelah penghentian
pengobatan, mungkin ada re-difusi kembali ke dalam sirkulasi yang menunjukkan
aviditas pengikatan yang rendah. Eliminasi dari stratum korneum terjadi dengan
waktu paruh urutan 60-90 jam (lebih lambat dari eliminasi dengan plasma). Meskipun
tidak secara khusus diindikasikan untuk infeksi dermatofita, FLU dikatakan berguna
pada dermatofitosis, khususnya tinea kapitis. FLU awalnya digunakan dalam dosis 50
mg/hari tetapi kemudian dilihat dari karakteristik farmakokinetik kulit, dosis
mingguan 150 mg digunakan dalam percobaan dan dilaporkan efektif. Dengan waktu
paruh eliminasi SC 60-90 jam, obat mungkin tidak bertahan di luar konsentrasi

7
penghambatan untuk jangka waktu yang memadai setelah dosis mingguan. Terdapat
laporan non-responsivitas klinis terhadap FLU mingguan dan beberapa laporan
tentang konsentrasi penghambat minimal in vitro yang tinggi sebesar 48% resisten
terhadap FLU dalam penelitian terbaru dari India sehingga obat ini tidak digunakan
sebagai obat lini utama untuk dermatofitosis lagi.
Itrakonazol terbukti efektif digunakan untuk dermatofitosis sejak lebih dari
tiga dekade terakhir. Obat ini memiliki profil farmakokinetik kulit yang baik,
meskipun bioavailabilitas oral buruk dan menunjukkan variasi antar individu yang
tinggi. ITR dengan cepat mencapai stratum korneum terutama melalui sebum dan
mencapai kadar yang jauh lebih tinggi di stratum korneum daripada plasma.
Perlekatan terhadap keratin tinggi dan dapat dipertahankan hingga 3-4 minggu setelah
penghentian pengobatan, tergantung pada berbagai bagian tubuh. Tidak ada kasus
klinis yang pasti dari resistensi ITR yang dilaporkan pada dermatofitosis meskipun
kadang-kadang konsentrasi penghambat minimal didapatkan tinggi, terutama dengan
T.interdigitale. Dosis biasa yang digunakan disebutkan dalam tabel 3.
Tabel 3 Standar dan modifikasi rejimen pengobatan untuk tinea korporis / kruris
Obat Rekomendasi Standard Modifikasi
Terbinafin 250 mg peroral (2-3 minggu)+ 250 mg BD
jangka waktu yang lebih lama
Itrakonazol rejimen tetap durasi pendek &: Dosis yang lebih tinggi
100 mg peroral (15 hari) lebih lama durasi
200 mg / hari (7 hari) 50-100mg peroral
Flukonazole 150 mg / minggu (2-6 minggu)
Ketoconazole Penggunaan dibatasi di banyak 200-400 mg / hari untuk infeksi bandel,
negara karena efek merugikan dengan melakukan pemantauan fungsi hati
hepatotoksik secara hati-hati
Kombinasi topikal antijamur-azol dan asam salisilat - untuk meningkatkan
topikal allylamines, untuk penyakit yang deskuamasi meningkatkan
terbatas+ penggunaandari Ciclopirox dan
amorolfine sebagai anti jamur
topikal

Proses pembuatan kompleks ITR menggunakan kapsul sehingga kualitas obat yang
lebih rendah dapat menjadi alasan untuk respon terapeutik yang buruk terutama di
negara berkembang dimana masih ada produksi obat-obatan rumahan.

8
Mekanisme Resistensi Terhadap Azol

Penjelasan mekanisme resistensi azol pada dermatofita belum diketahui secara


pasti. Namun pada penelitian eksperimental menunjukkan beberapa kemungkinan
mekanisme yang dirinci di bawah ini dan digambarkan pada (Gambar 2).

Gambar 2. Kemungkinan mekanisme resistensi azol pada dermatofit.

Efflux Obat
Efflux obat yang bergantung pada energi oleh transporter terikat membran
adalah mekanisme utama resistensi azol tingkat tinggi pada jamur patogen. Kelompok
super transporter ATP Binding Cassette (ABC) sangat berperan di sini. ABC
transporter merupakan efflux utama yang menghidrolisis ATP untuk ekspor substrat
dan bertanggung jawab untuk menghilangkan atau menyerap molekul yang tidak
diinginkan (beracun) dari sel. Protein ini secara evolusioner berasal dari prokariota ke
manusia dan mengandung dua wilayah berbeda nukleotide-binding domain (NBD)
yang sangat terkonservasi dan variable transmembran domain (TMD). ABC
transporter baik importer maupun eksporter ditemukan pada bakteri, sedangkan
mayoritas anggota keluarga eukariotik berfungsi dalam arah ekspor. Terdapat 5 famili

9
ABC transporter yaitu ABC A, ABC B, ABC C, ABC D dan ABC G. Selain itu, tiga
famili lain - ABCB atau multi-drug resistance (MDR), ABCC atau resistensi multi
obat-associated protein (MRP) dan ABCG keluarga pleio tropic drug resistance
(PDR) telah banyak dipelajari. Ekspresi yang berlebihan dari transporter ABC terjadi
dengan adanya obat-obatan dan berpotensi menyebabkan multi-drug resistance. PDR
membentuk kelompok terbesar di antara ini dan memberikan resistensi terhadap
triazol pada Candida albicans (CDR1 dan CDR2), C. glabrata (CgCDR1, CgCDR2
dan SNQ2), C. krusei (ABC1) dan Cryptococcus neo formans (AFR1). Kemungkinan
mekanisme tipe MDR disarankan untuk dermatofita dengan laporan klinis T. rubrum
menunjukkan resistensi terhadap GRI dan tiokonazol. Keberadaan transporter ABC di
dermatofita dibuktikan dalam penelitian eksperimental jauh kemudian. Maranhao dan
kawan-kawan (2009) menunjukkan urutan yang mirip dengan gen yang mengkode
transporter ABC resistensi banyak obat, copper ATPase, kelompok fasilitator utama
dan permease di T. rubrum dan menunjukkan peningkatan regulasi gen adanya
keratin. Urutan yang identik dengan gen TruMDR2, yang mengkode transporter ABC
di T. rubrum telah dideteksi. Selanjutnya, T. rubrum bermutasi DeltaTruMDR2
menunjukkan pengurangan pertumbuhan pada kuku manusia, menunjukkan
keterlibatan transporter pada patogenitas T. rubrum. Fachin dan kawan-kawan (2006)
juga mengkloning dan mengurutkan gen salinan tunggal TruMDR2 dari T. rubrum.
Hal ini menunjukkan homologi yang tinggi dengan transporter ABC yang terlibat
dalam efflux obat pada jamur lain. Terjadi peningkatan tingkat transkripsi TruMDR2
gen ketika miselia terkena antijamur akriflvine, KTZ, GRI, FLU, ITR dan tiokonazol.
Gen TruMDR1, juga mengkodekan ABC transporter dengan homologi tinggi dengan
transporter ABC yang terlibat dalam efflux obat pada jamur lain, juga kemudian
diisolasi dari T. rubrum dan menunjukkan peningkatan serupa dalam ekspresi dengan
paparan azol dan GRI. Namun, tidak seperti pengamatan dengan TruMDR2,
Cervelatti dan kawan-kawan (2006) tidak menemukan ekspresi basal gen TruMDR1
pada T. rubrum yang tidak diobati, menunjukkan bahwa ekspresinya hanya diinduksi
oleh racun metabolik yang ada di lingkungan.

10
Modifikasi Target Obat
Gen Erg11 bertugas untuk mongkode 14α-lanosterol demethylase. Ekspresi
berlebih dari produk gen dan mutasi pada Erg11 dilaporkan berperan pada
mekanisme resistensi azol pada ragi, tetapi belum dijelaskan pada dermatofita.

Respon Stress
Dermatofit telah terbukti mengeluarkan banyak protein dalam respon terhadap
stres lingkungan dan paparan obat sebagai mekanisme adaptif. Beberapa diantaranya
misalnya protein heat shock hsp70, hsp90, dan PacC yang merupakan virulensi
penting sebagai faktor untuk dermatofit. Relevansi terhadap resistensi obat ini belum
dijelaskan dengan rinci, tetapi diyakini bahwa adaptasi stres menstabilkan sel dengan
adanya obat dan memungkinkannya untuk mengembangkan mekanisme resistensi
yang lebih mendalam seiring waktu. Selanjutnya, stres yang disebabkan oleh
antijamur dan obat-obatan sitotoksik dalam konsentrasi sub-inhibitor menyebabkan
respons stres terkompensasi, dan kemungkinan mengarah pada ekspresi gen yang
berlebihan yang terlibat dalam detoksifikasi seluler, efflux obat, dan jalur pensinyalan
dan dengan demikian dapat berkontribusi pada toleransi obat. Penghambatan Hsp
merupakan target potensial untuk penelitian antijamur di masa mendatang.
Dengan demikian, pemahaman kita tentang resistensi azol pada dermatofit
terbatas saat ini. Tidak ada mekanisme resistensi tertentu yang diselidiki secara
menyeluruh dan terbukti relevan dengan skenario klinis. Selanjutnya, jika ada
mekanisme umum yang berperan seperti yang disarankan, perbedaan kegunaan klinis
dari azol yang berbeda untuk dermatofitosis membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Terbinafin dan Alilamin Lainnya
Alilamin bekerja dengan menghambat enzim squalene epoxidase (SQLE)
secara non-kompetitif, menghalangi sintesis 2, 3 oxido squalene dan dengan demikian
menyebabkan akumulasi squalene dan penipisan ergosterol. Afinitas SQLE
dermatofit untuk TRB jauh lebih tinggi daripada enzim ragi atau SQLE pada
mamalia. Selain itu, terjadi kemungkinan akumulasi TRB di T. rubrum, semakin

11
menambah potensi obat. Efek fungisida yang dicapai secara in vitro pada konsentrasi
TRB yang tidak sepenuhnya mencegah biosintesis ergosterol menunjukan bahwa
kematian sel pada organisme yang rentan mungkin akibat dari akumulasi squalene
daripada defisiensi ergosterol. Efek yang tepat dari squalene intraseluler tidak
diketahui, tetapi tampaknya konsentrasi tinggi menyebabkan gangguan membran sel
jamur. TRB dengan cepat mencapai stratum korneum terutama melalui sekresi ke
sebum dan bertahan pada stratum korneum setelah penghentian pengobatan,
mengingat kepatuhan keratin yang tinggi. Profil farmakokinetik yang
menguntungkan, toleransi yang baik dan kekurangan obat interaksi membuatnya
menjadi obat pilihan untuk dermatofitosis semenjak obat ini dikenalkan.

Resistensi Terhadap TRB dan Alilamin Lainnya


Resistensi terhadap TRB pada dermatofit jarang dijelaskan sampai saat ini.
Berbagai kemungkinan mekanisme resistensi terbinafin digambarkan pada (Gambar.
3) dan dibahas secara singkat.

Gambar 3. Mekanisme (terbukti dan diusulkan) perlawananterhadap


terbinafin dan alilamin lainnya.
Pada awal tahun 2000-an penelitian in-vitro menunjukkan bahwa frekuensi
mutan yang terjadi secara alami dengan resistensi terhadap TRB dan perkembangan
resistensi selama paparan obat keduanya tetap sangat rendah (~ 10−9), sesuai dengan

12
mekanisme yang dilaporkan dari substitusi nukleotida tunggal dalam gen yang
mengkode protein SQLE. Sebelum tahun 2017, hanya ada 2 kasus resistensi TRB
yang terdokumentasi. Mukherjee dan kawan-kawan (2003) pertama kali menjelaskan
konsentrasi penghambat minimal yang tinggi pada 6 isolat T. rubrum dari satu pasien
onikomikosis yang gagal dimana pengobatan TRB diberikan selama 24 minggu.
Penyebabnya diketahui bahwa asam amino tunggal substitusi pada gen squalene
epoxidase (SE) (L393F) dalam laporan selanjutnya. Menariknya, isolat sekuensial
dari pasien, saat dalam pengobatan, menunjukkan tidak ada peningkatan lebih lanjut
dalam konsentrasi penghambat minimal menggunakan metode mikrodilusi yang
menunjukkan strain yang terutama resisten dan tidak ada kecenderungan potensiasi
resistensi dengan penggunaan berkelanjutan. Pengamatan ini lebih lanjut didukung
oleh laporan kasus 30 pasien onikomikosis, yang tetap positif kultur meskipun
pengobatan dengan TRB hingga 24 minggu.
Semua isolat serial yang diperoleh dari pasien ini menunjukkan konsentrasi
penghambat minimal rendah terhadap TRB dan tidak ada peningkatan konsentrasi
penghambat minimal dengan paparan lanjutan. Para penulis menyimpulkan bahwa
resistensi obat tidak berhubungan dengan kurangnya respon klinis dalam
onikomikosis dan faktor terkait penjamu dan organisme lainnya dipertimbangkan.
Selanjutnya, Osborne dan kawan-kawan (2006) menggambarkan klinis baru strain T.
rubrum resisten TRB dengan konsentrasi penghambat minimal 64 g/ml yang
mengandung substitusi asam amino tunggal (F397L) dalam protein SQLE.
Selanjutnya, bertentangan dengan laporan sebelumnya, peningkatan frekuensi
resistensi pada subkultur serial dengan konsentrasi TRB subinhibisi ditunjukkan,
dengan mutan memiliki peningkatan konsentrasi penghambat minimal 500-1000 kali
lipat menjadi TRB.
Sejak tahun 2017, munculnya resistensi TRB telah dilaporkan dari lokasi
geografis yang berbeda. Dua kasus klinis T. rubrum resisten TRB baru-baru ini
dilaporkan dari Denmark pada anak dengan iktiosis kongenital dan pada orang
dewasa dengan penyakit Darier. Konsentrasi penghambat minimal dari strain ini

13
masing-masing dilaporkan sebagai: 4 g/mL dan > 4 g/mL, tetapi analisis lebih lanjut
untuk mutasi dalam gen SQLE tidak dilakukan. Yamada dan kawan kawan (2017)
melaporkan mutasi gen SQLE (mengarah ke substitusi asam amino pada Leu393,
Phe397, Phe415 dan His440 posisi dalam protein SQLE) di 17 isolat termasuk 16 T.
rubrum dan satu
T. interdigitale dikumpulkan selama periode 3 tahun dari kasus tinea pedis dan
unguium. Konsentrasi penghambat minimal dilaporkan untuk 12 dari 17 isolat dan
berkisar antara 0,1 sampai > 12,8 g/ml. Delapan dari 17 pasien telah diobati dengan
TRB pada saat pengambilan sampel, sedangkan data perlakuan terhadap 9 lainnya
tidak tersedia. Rudramurthy dan kawan-kawan. (2018) dari India melaporkan
substitusi Phe397Leu dalam SQLE dari empat T. interdigitale dan dua, T. rubrum
diisolasi dari kasus klinis dermatofitosis. Konsentrasi penghambat minimal TRB
adalah 2 g/ml dalam 20 dari 127 isolat yang diuji. Sejauh ini seri resistensi TRB
terbesar yang dilaporkan di India dijelaskan 20 Isolat T. interdigitale resisten TRB,
semuanya menyimpan mutasi SQLE, diisolasi dari pasien tinea korporis dan kruris
dari 3 pusat di Delhi. Konsentrasi penghambat minimal TRB 2 g/ml diperoleh pada
32% dari total isolat yang diuji. Sebuah penelitian baru-baru ini dari pusat yang sama
melaporkan korelasi klinis data mutasi konsentrasi penghambat minimal dan SQLE
30 pasien dengan tinea korporis/kruris. Pasien memulai pengobatan dengan dosis
standar TRB 250 mg/hari, yang ditingkatkan menjadi 250 mg dua kali sehari jika
tidak ada respon klinis yang signifikan diperoleh setelah 3 minggu. Respon terhadap
dosis yang lebih tinggi diputuskan setelah pemeriksaan lebih lanjut dengan jangka
waktu 3 minggu dan bila masih kurang pasien dialihkan ke ITR. Para penulis
melaporkan perbedaan yang signifikan dalam rata-rata konsentrasi penghambat
minimal dari tiga kelompok perlakuan dan menyimpulkan bahwa rantai TRB dengan
konsentrasi penghambat minimal <1 g/ml adalah 2,5 kali lebih mungkin untuk
merespon TRB daripada satu dengan konsentrasi penghambat minimal yang lebih
tinggi. Menariknya, 5 dari 13 pasien yang terinfeksi SQLE strain yang menyimpan
mutasi merespons durasi yang lama / lebih tinggi dosis TRB.

14
Mutasi yang dilaporkan mempengaruhi situs pengikatan obat SQLE dan
sehingga dapat menyebabkan kegagalan interaksi enzim obat. Isolat yang resisten
terhadap TRB juga menunjukkan resistensi silang terhadap alilamin lainnya. Dalam
penelitian dari India, mutasi hanya ada di isolat dengan konsentrasi penghambat
minimal di atas 2 g/ml dan 4 g/ml, sedangkan pada isolat dari Swiss, dilaporkan oleh
Yamada dan kawan-kawan (2017), konsentrasi penghambat minimal isolat bermutasi
bervariasi dari 0,1 g/ml hingga > 12,8 g/ml. Mekanisme lain mungkin juga beroperasi
untuk memberikan resistensi terhadap TRB.
Temuan dari berbagai konsentrasi penghambat minimal dari strain bantalan
substitusi identik di asam amino SQLE lebih lanjut mendukung kemungkinan ini.
Pengamatan bahwa gangguan gen Tru MDR2 membuat mutan lebih banyak sensitif
terhadap TRB daripada strain kontrol, menunjukkan bahwa mekanisme alternatif
mungkin melibatkan pompa penghabisan. Sebuah terbinafin isolat resisten yang
ditumbuhkan dengan adanya 0,14 g/ml TRB diekspresikan lebih tinggi pada PDR1,
MDR1, MDR2 dan MDR4 dari yang rentan terhadap TRB strain. Pada penambahan
pemblokir penghabisan FK-506 ke media, konsentrasi penghambat minimal TRB
berkurang dari > 32 g/ml menjadi 4 g/ml, menunjukkan efek aditif dari kombinasi
dan pinjaman lebih lanjut dukungan untuk kemungkinan peran pompa efflux dalam
memediasi resistensi TRB. Mekanisme lain yang mungkin adalah ekspresi berlebih
dari gen salA, yang mengkode salisilat 1-monooksigenase. Mekanisme serupa juga
telah ditunjukkan pada Aspergillus nidulans. Para penulis berhipotesis bahwa protein
penyebab pembelahan inti naftalena TRB menyebabkan degradasi dan karenanya
terjadi resistensi.
Bukti eksperimental dengan tingkat yang sangat rendah dari spontan dan
mutasi yang diinduksi dengan paparan TRB tampaknya bertentangan dengan pola
yang diamati sekarang. Obat tidak meninggalkan banyak elemen jamur yang layak
dan substitusi nukleotida merupakan peristiwa yang jarang terjadi. Akan tetapi,
proporsi resistensi yang tinggi terhadap TRB dilaporkan dalam penelitian terbaru
(Khurana dan kawan-kawan., 2018. Singh dan kawan-kawan., 2018, Rudramurthy

15
dan kawan-kawan., 2018) tidak mendukung hal ini. Penelitian terbaru tentang
sekuensing genom seluruh isolat Trichophyton menyebabkan wabah dermatofitosis di
India, telah menunjukkan bahwa isolat klon resisten TRB sedang ditransmisikan antar
pasien sehingga memperluas populasi klon. Sayangnya, resistensi TRB semakin
dilaporkan dari bagian negara lain di dunia juga. Penggunaan topikal tanpa
pengawasan dari TRB yang menghasilkan konsentrasi penghambatan sebagian di
beberapa bagian mungkin menjadi salah satu faktor yang mungkin mengarah pada
skenario perubahan, terutama di negara-negara di mana peraturan obat tidak berlaku
dan ditegakkan secara ketat. Faktor lain yang lebih mungkin adalah penggunaan TRB
untuk onikomikosis, indikasi yang telah menjadi obat pilihan dalam jangka yang
cukup lama di seluruh dunia. Kadar yang dicapai di kuku jauh lebih rendah daripada
yang ada di stratum korneum dan minimum fungicidal concentrations (MFC) dalam
model eksperimental menggunakan kuku sebagai substrat juga telah terbukti lebih
tinggi dari MFC yang ditentukan oleh metode in vitro konvensional. MFC dari TRB
pada kuku adalah 4 g/ml setelah 1 minggu terpapar obat, menurun menjadi 1 g/ml
setelah paparan 4 minggu, jauh lebih tinggi daripada MFC 0,03 g/ml ditentukan
dalam tes konsentrasi penghambat minimal standar. Konsentrasi maksimum yang
dicapai dalam kuku setelah 4 minggu TRB adalah 0,33 g/ml. Selanjutnya, tampilan
massa jamur putih padat, disebut “dermatofitoma” sering diamati pada kuku yang
terinfeksi dan diyakini menunjukkan pembentukan biofilm. Sifat fisik dan
metabolisme biofilm melindungi jamur dari kerja antimikroba dan dianggap sebagai
faktor yang berperan dalam resistensi obat. Kemampuan Trichophyton spp untuk
membentuk biofilm telah dibuktikan dalam model eksperimental. Sehingga bagian
kuku mungkin memberikan kondisi optimum konsentrasi subinhibitor yang
berpotensi terjadinya resistensi terhadap TRB.

Griseofulvin
GRI merupakan antijamur sistemik pertama yang diperkenalkan untuk
dermatofita. Kadarnya meningkat dengan cepat pada stratum korneum, tetapi juga

16
turun dengan cepat pada penghentian pengobatan tanpa adanya kemampuan khusus
yang dapat menahan GRI di stratum korneum. Selanjutnya, GRI mungkin dapat
hilang dari stratum korneum oleh efek keringat. GRI membutuhkan durasi
berminggu-minggu atau bulanan untuk mengobati dermatofitosis, kemungkinan hasil
dari mekanisme aksinya adalah penghambatan agregasi mikrotubulus yang
membutuhkan waktu lama untuk membuat dermatofita tidak dapat hidup karena
karakteristik pertumbuhannya yang lambat. Penggunaan GRI sebagian besar telah
digantikan oleh TRB dan ITR di seluruh dunia, kecuali pada tinea kapitis. Data di
berbagai negara mendokumentasikan isolasi tahan GRI dermatofita. Dalam sebuah
penelitian terbaru dari India, GRI menunjukkan aktivitas rendah (modal konsentrasi
penghambat minimal: 4 g/mL) dan isolasi 98% menunjukkan konsentrasi
penghambat minimal 2 g/mL. Dalam penelitian lain dari India, GRI adalah obat
paling tidak aktif secara in vitro dengan modal konsentrasi penghambat minimal 32
g/ml. Spesies dominan di kedua penelitian ini adalah T. interdigitale. Beberapa
peneliti telah melaporkan aktivitas yang lebih rendah pada in vitro GRI untuk T.
mentagrophytes daripada untuk T. rubrum. Efikasi rendah dari GRI untuk tinea
korporis/kruris ditemukan pada awal 1980-an itu sendiri. Artis dan kawan kawan.
tahun 1981 membandingkan hasil klinis pada 43 pasien yang diresepkan GRI (250
mg dua kali sehari), dengan beberapa obat selama bertahun-tahun. Tiga belas dari 16
pasien dengan tinea korporis gagal dalam pengobatan dosis ini. Dibandingkan dengan
nilai konsentrasi penghambat minimal masing-masing, penulis menyimpulkan bahwa
konsentrasi penghambat minimal 3,0 g/mL atau lebih besar menunjukkan resistensi
relative terhadap GRI.
Tidak ada mekanisme aksi khusus yang dijelaskan untuk GRI. Namun,
ditunjukkan bahwa pada tantangan penggunaan GRI, empat Trichophyton spp,
dengan gen MDR2 yang terganggu, terakumulasi tingkat tinggi transkrip MDR4.
Ekspresi yang meningkat dari Tru MDR1 pada paparan GRI juga telah dijelaskan.
Jadi seperti efflux pada azol dapat menjadi faktor resistensi ke GRI.

17
Potensiasi Resistensi dan Resistensi Silang dalam Antijamur
Mutan resisten TRB menunjukkan resistensi silang terhadap penghambat
SQLE lainnya, seperti yang diharapkan dari mekanisme resistensi yang melibatkan
mutasi gen SQLE. Hal ini penting untuk dicatat bahwa AMF juga memiliki efek
penghambatan selama seminggu pada epoksidase squalene selain efek pada C-14
reduktase dan C8 iso-merase. Dalam pekerjaan perintisan yang dilakukan oleh
Ghelardi dkk. (2014) menunjukkan peningkatan konsentrasi penghambat minimal
ITR, amorolfine (AMF) dan TRB pada subkultur serial dengan konsentrasi obat
subinhibisi. Resistensi berkembang dengan frekuensi 100 kali lipat atau lebih tinggi
dari frekuensi resistensi obat spontan terhadap obat ini. Namun, tidak ada mutasi
resisten siklopiroks (CPX) yang diisolasi pada titik mana pun. Mutasi resisten TRB
menunjukkan peningkatan 500 atau 1000 kali lipat dalam nilai konsentrasi
penghambat minimal TRB, mutan resisten ITR peningkatan 4 atau 8 kali lipat dalam
nilai konsentrasi penghambat minimal ITR, dan mutan resisten AMF menunjukkan
16 hingga 64 kali lipat peningkatan pada nilai konsentrasi penghambat minimal
AMF. Mutasi resisten ITR juga menunjukkan peningkatan nilai konsentrasi
penghambat minimal dari AMF (8 atau 32 kali lipat) dan TRB (4 atau 8 kali lipat).
Selanjutnya, mutan resisten AMF menunjukkan peningkatan resistensi terhadap TRB
(dari 4 menjadi 16 kali lipat). Namun, tidak ada variasi dalam konsentrasi
penghambat minimal ITR dan AMF yang diamati untuk mutan resisten TRB.
Kemungkinan penyebab dari resistensi silang tersebut dapat berupa mekanisme di
luar dari modifikasi target gen. Efflux transporter juga mungkin mungkin memainkan
peran di sini. Namun, pembalikan resistensi TRB dan ITR setelah melewati media
non selektif menunjukkan hal ini. Dalam penelitian lain, media yang ditumbuhkan
dengan FLU menunjukkan peningkatan konsentrasi penghambat minimal pada FLU
(56,7%) dan ITR (63,3%), sedangkan galur yang diperbanyak dengan ITR, telah
meningkatkan konsentrasi penghambat minimal baik pada ITR (80%) dan FLU
(66,7%). Dengan demikian, resistensi silang mungkin terjadi antara obat yang
memiliki target yang sama namun selanjutnya efflux transporter memiliki

18
kemampuan untuk menghasilkan resistensi multi-obat independen terhadap
mekanisme aksi dari obat.

Pertanyaan yang Belum Terjawab dan Saran ke Depannya


Sangat disayangkan bahwa meskipun dermatofitosis adalah infeksi jamur
paling umum di seluruh dunia, penelitian tentang hal tersebut masih sangat jauh
tertinggal dibanding jamur sistemik. Ketika peningkatan resistensi dideskripsikan
untuk antijamur di dermatofita, pengembangan obat baru tertinggal jauh di belakang.
Antijamur untuk dermatofit memiliki satu persyaratan khusus untuk dapat menembus
ke dalam stratum korneum. Farmakokinetik kulit dari sebagian besar antijamur yang
lebih baru (azol generasi ketiga, ekinokandin) belum dijelaskan secara memadai akan
potensi kegunaan klinisnya. Kurangnya penelitian tentang korelasi klinis konsentrasi
penghambat minimal juga sangat signifikan. Data konsentrasi penghambat minimal
dermatofita saja tidak memberikan banyak manfaat untuk para praktisi kesehatan
mengenai manajemen pasien secara efektif sebagai pencegahan epidemiologi dan titik
lemah klinis pun belum dijelaskan untuk dermatofita. Dengan tidak adanya hal
tersebut, perbandingan data yang tersedia pada Farmako kinetik kulit antijamur
dengan pola konsentrasi penghambat minimal lokal dapat digunakan oleh praktisi
untuk memandu pengobatan. Meskipun kombinasi antijamur (kelas antijamur yang
berbeda secara topikal dan sistemik atau dua antijamur berbeda secara sistemik
digunakan bersama-sama) sering diresepkan untuk dermatofitosis, namun praktek
tersebut tidak memiliki bukti dukungan yang memadai. Penelitian memberikan
pendekatan in vitro yang ideal untuk menentukan kegunaan kombinasi tersebut
(memberikan hasil seperti sinergi, aditif, perbedaan atau antagonisme) namun jarang
diterapkan untuk dermatofitosis terutama pada infeksi kulit tanpa rambut. Beberapa
penelitian pada dermatofita tersebut semuanya telah dilakukan dalam sitausi
onikomikosis dengan tujuan untuk sampai pada kombinasi antijamur sistemik dan
topikal yang berguna. Penelitian klinis yang menguji kombinasi antijamur juga
jarang. Yang patut diperhatikan ialah, tidak ada penelitian secara sinergis yang

19
dilakukan pada populasi pasien yang gagal menerima antijamur oral, sebaliknya data
diekstrapolasi sebagian besar dari penelitian pada sampel laboratorium yang ditanam
dalam kondisi terkontrol. Selanjutnya, penggunaan antijamur topikal mungkin tidak
ekonomis pada penyakit yang luas. Modifikasi pada regimen pengobatan yang telah
tersedia sudah diaplikasikan untuk menangkal penanganan dermatofitosis terutama di
India yang saat ini menghadapi peningkatan penganan kasus-kasus penularan.
Namun, banyak dari praktek ini belum memiliki bukti ilmiah pendukung dan oleh
karena itu penggunaan secara teliti dalam situasi yang tepat sangat disarankan.
Kombinasi antijamur sistemik konvensional dan obat lain telah dicoba dalam
situasi eksperimental dan klinis. Ada bukti in vitro aktivitas antijamur FK506
(Takrolimus) terhadap spektrum jamur yang luas. Seperti yang disebutkan
sebelumnya, penambahan FK-506 mengakibatkan penurunan isolasi konsentrasi
penghambat minimal dari TRB resisten M. canis yang kemungkinan disebabkan oleh
penyumbatan efflux. Efek sinergistik dari FK-506 dan siklosporin (penghambat
kalsineurin lainnya) dengan azol telah didapatkan pada penelitian terhadap Candida
spp. Namun, penelitian/laporan klinis yang mendukung penggunaannya pada
dermatofitosis masih kurang. Selanjutnya, efek inhibisi imunosupresan dari
kalsineurin dan interaksi farmakokinetik siklosporin (terutama dengan azol)
menghalangi utilitas klinis molekul-molekul tersebut saat ini. Takrolimus topikal juga
telah dilaporkan menyebabkan presentasi dermatofitosis yang tidak biasa dan dalam.
Analog FK-506 yang lebih baru dengan aktivitas imunosupresif yang lebih rendah
sedang diselidiki untuk potensi penggunaan pada infeksi jamur. Kombinasi antijamur
dengan isotretinoin sistemik juga telah dicoba untuk meningkatkan proliferasi
keratinosit dengan tujuan untuk meningkatkan pelepasan jamur. Akan tetapi,
kombinasi tersebut lemah dalam logika ilmiah dimana yang pertama, sekresi sebum
yang menurun dapat mengurangi jumlah obat (terutama TRB, ITR) mencapai stratum
korneum dan kemudian terdapat laporan tentang interaksi farmakokinetik yang
signifikan terhadap isotretinoin dengan ITR. Penelitian in vitro telah menunjukkan

20
efek antijamur statin dan interaksi sinergis dengan TRB dan azol akan tetapi
penggunaan klinis masih tetap belum tercapai.
Dermatofitosis memiliki kelemahan yaitu dapat menerima pengobatan sendiri
yang mengarah pada penggunaan antijamur tanpa pengawasan dan seringkali
menyesatkan sehingga dapat menyebabkan resistensi. Selanjutnya, penyalahgunaan
steroid topikal untuk infeksi jamur kulit adalah masalah umum di beberapa negara.
Masalah ini telah banyak dibahas di India terutama ketika di mana kombinasi steroid
topikal super kuat dan antijamur tersedia secara bebas dan digunakan oleh pasien
selama berbulan-bulan sebelum datang ke dokter kulit. Steroid memiliki cara kerja
terhadap membran protektif dan dengan demikian dapat mengurangi efektifitas
antijamur ketika bereaksi pada tingkat membran sel jamur yang mencakup hampir
semua antijamur secara klinis yang digunakan untuk dermatofitosis. Selanjutnya,
steroid mengaktifkan metabolisme jamur dalam konsentrasi rendah yang dicapai pada
kulit.
Meningkatnya resistensi terhadap TRB, obat pilihan untuk dermatofitosis,
memerlukan tindakan pencegahan dan perbaikan sebelum situasi menjadi lebih buruk
dan menyebar secara global. Penggunaan antijamur perlu dilakukan untuk memeriksa
pola penggunaan antijamur pada mikosis kulit. Lebih lanjut, penting ditekankan
untuk membatasi penggunaan kombinasi antijamur dengan steroid. Langkah lain
yang berguna, meskipun ekstrim, mungkin untuk membatasi penggunaan TRB pada
onikomikosis, tempat kemungkinan berkembangnya resistensi terhadap obat tersebut.

Telah dibacakan pada Senin, 11 Oktober 2021


Moderator,

Dr. Holy Ametati, Sp.KK, FINSDV

21
22
23

Anda mungkin juga menyukai