Anda di halaman 1dari 25

REFLEKSI KASUS

TINEA INCOGNITO DAN DERMATITIS VENENATA

Pembimbing :

dr. Herlien Koestriana, Sp.KK

Penulis :

Suci Purnama

1102015230

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO
PERIODE 11 NOVEMBER 2019 – 13 DESEMBER 2019
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit jamur kulit atau dermatomikosis adalah penyakit pada kulit, kuku, rambut dan
mukosa yang disebabkan infeksi jamur. Pada umumnya golongan penyakit ini dibagi atas
infeksi superfisial, infeksi kutan, dan infeksi subkutan. Tinea incognito merupakan kesalahan
terapi tinea dengan menggunakan steroid topikal sehingga menimbulkan kelainan kulit yang
tidak jelas setelah mendapat terapi dengan steroid topikal untuk jangka waktu tertentu.
Steroid topikal merupakan obat yang paling banyak dipergunakan dalam dermatoterapi
terutama karena manfaatnya yang paling utama sebagai antiinflamasi dan antimitosis dalam
proses peradangan pada kulit. Mekanisme steroid topikal dalam dermatoterapi bersifat paliatif
atau mempermudah penyembuhan alamiah dari proses peradangan. Jadi steroid tidak bersifat
menyembuhkan penyakit kulit (Steroid do not cure any of the skin disorder) jadi dalam terapi
juga harus dicari penyebab utamanya dan segera mungkin diatasi untuk mempercepat proses
penyembuhan dari penyakit.
Tinea incognito adalah nama yang diberikan pada infeksi jamur saat gambaran klinis
yang ada menjadi tidak jelas dikarenakan pengobatan yang tidak tepat, yang biasanya
disebabkan oleh karena pemakaian steroid topikal pada kasus infeksi yang disebabkan oleh
jamur dermatofita
Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berinteraksi dengan bahan-bahan yang
mungkin dapat menimbulkan iritan maupun alergi bagi seseorang dan belum tentu bagi
individu lain. Bahan-bahan ini dapat menimbulkan kelainan pada kulit sesuai dengan kontak
yang terjadi. Kelainan ini disebut dermatitis kontak.
Penyebab dermatitis kadang-kadang tidak diketahui, sebagian besar merupakan respon
kulit terhadap agen eksogen maupun endogen. Dermatitis kontak ini dibagi menjadi Dermatitis
Kontak Iritan dan Dermatitis Kontak Alergi. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang
Dermatitis Kontak Iritan.
Serangga (Insecta) merupakan kelas dari filum Arthropoda. Ordo yang paling sering
mengakibatkan masalah kulit adalah klas Lepidoptera (kupu-kupu), hemiptera (bed bug),
Anoplura (Pediculus sp.), Diptera (nyamuk), Coleoptera (blister beetle), Hymenoptera (lebah,
tawon, semut), Shiponaptera (flea). Kelas arthropoda lain yang bermakna secara dermatologis
adalah myriapoda (kelabang) dan arachnida (laba-laba, tick, mite, kalajengking).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINEA INCOGNITO
1. Definisi
Tinea incognito adalah nama yang diberikan pada infeksi jamur saat gambaran klinis
yang ada menjadi tidak jelas dikarenakan pengobatan yang tidak tepat, yang biasanya
disebabkan oleh karena pemakaian steroid topikal pada kasus infeksi yang disebabkan oleh
jamur dermatofita (Gorani dan Oriani, 2002).

2. Epidemiologi
Pada banyak kasus yang ditemukan, beberapa organisme diketahui dapat
menyebabkan terjadinya tinea incognito dalam hubungannya dengan penggunaan steroid
topikal. Setelah diteliti ditemukan bahwa Trichophyton rubrum dan Trichophyton
mentagrophytes sering ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik sebagai koloni yang ada
pada tinea incognito, karenanya infeksi jamur yang disebabkan oleh dua spesies tersebut
sering berkembang menjadi tinea incognito contohnya tinea korporis, tinea pedis et manus,
tinea unguium dan tinea cruris (Gorani dan Oriani, 2002).
Penelitian di Korea jenis kelamin relatif sama dan usia yang relatif seragam (berarti:
44,0 ± 22,5 tahun) ditemukan kecuali untuk pasien lebih 80 thn. TI di Italia, gender dan
usia rata-rata yang sama (42 tahun), dan di Iran, jenis kelamin yang sama dengan sedikit
lebih muda usia rata-rata (32,6 tahun).

3. Etiologi
Pada banyak kasus yang ditemukan, beberapa organisme diketahui dapat
menyebabkan terjadinya tinea incognito dalam hubungannya dengan penggunaan steroid
topical, betametason dipropionat dan clotrimazole (nama dagang Lotrisone) dan
triamsinolon acetonide dan clotrimazole (Habif, 1995).
Setelah diteliti ditemukan bahwa Trichophyton rubrum dan Trichophyton
mentagrophytes sering ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik sebagai koloni yang ada
pada tinea incognito, karenanya infeksi jamur yang disebabkan oleh dua spesies tersebut
sering berkembang menjadi tinea incognito contohnya tinea korporis, tinea pedis et manus,
tinea unguium dan tinea cruris (Gorani dan Oriani, 2002).

3
4. Patogenesis
Menurut Barnez (2003), pemakaian steroid topikal pada kulit akibat peradangan
jamur pada awalnya dapat terjadi perbaikan atau penurunan peradangan dikarenakan efek
utama dari pemberian steroid topikal pada dermatologi adalah efek anti inflamasi. Tetapi
jika pengobatan dihentikan dalam beberapa hari kemudian penyakit yang diderita akan
semakin bertambah parah dan gatal. Selain efek anti inflamasi steroid topikal juga memiliki
efek imunosupresi yang menekan peradangan akibat jamur pada awal infeksi, tetapi jika
semakin sering dan banyak steroid topikal digunakan maka infeksi jamur akan semakin
bertambah karena organisme penginfeksi tidak dibasmi, selain itu juga steroid topikal
mengakibatkan keadaan berupa pengaburan tanda klinis infeksi sehingga menjadi tidak
jelas dan tidak spesifik. Ive dan Marks (1968), mengatakan bahwa infeksi jamur yang
diberika steroid topikal golongan kuat akan membuat lesi menjadi kemerah-merahan dan
semakin memperluas infeksi secara perlahan-lahan. Sehingga menimbulkan gambaran
klinis yang tidak jelas dan aneh yaitu skuama hampir tidak ditemukan, lesi eritematous
dengan teleangiektasis yang juga bisa terdapat papula, pustule dan hiperpigmentasi.

5. Manifestasi Klinik
Gambaran klinis tinea incognito menurut Barnez (2003), berupa :
1. Tidak terdapatnya lesi berskuama yang biasanya meninggi
2. Memar (kemerahan)
3. Kadang terdapat nodulus dan pustule pada tepinya.
Tinea incognito harus dimasukkan sebagai diagnosis banding pada infeksi kulit yang
supuratif, terutama ketika penderita diketahui sebelumnya mendapat terapi dengan steroid
topikal.

Gambar 1. Tinea incognito disebabkan terapi steroid dosis tinggi

4
6. Diagnosis
Menggores kulit dan ujian mikroskopis dengan larutan kalium hidroksida. Hifa
yaitu karakteristik terlihat berjalan melalui sel epitel skuamosa. Kultur jamur tidak perlu,
tetapi mungkin dipertimbangkan jika pasien menggunakan antijamur kombinasi dan
produk steroid topikal.

7. Penatalaksanaan
7.1 Non Medikal Mentosa
1. Steroid topikal harus dihentikan
2. Lotion antipruritic hambar dapat diterapkan
7.2 Medikal Mentosa
Tinea biasanya diobati dengan agen antijamur topikal, tetapi jika pengobatan tidak
berhasil, obat anti jamur oral yang dapat dipertimbangkan, termasuk terbinafine, dan
itrakonazol. . Pengobatan dengan antijamur topikal memadai. Jika tinea yang luas,
pengobatan dengan anti jamur sistemik minimal tiga minggu. Jika tinea yang
penyamaran sangat inflamasi dan gatal, steroid topikal ringan dapat digunakan untuk
waktu terbatas (3-7 hari), bersama-sama dengan anti jamur
A. Pengobatan Sistemik
Azol adalah kelompok obat sintesis dengan aktivitas spektrum yang luas.
Obat yang masuk kelompok ini antara lain ketokonazol, ekonazol, kloritmazol,
tiokonazol, mikonazol, flukonazol, itrakonazol. Pada jamur yang tumbuh aktif, azol
menghambat 14 demetilase, enzim yang bertanggung jawab untuk sintesis
ergosterol, yang merupakan sterol utama membran sel jamur. Pada konsentrasi
tinggi, azol menyebabkan K+ dan komponen lain bocor keluar dari sel
a. Ketokonazol
Merupakan satu – satunya obat anti jamur golongan imidasol yang
dipakai secara sistemik. Obat ini diketemukan pertama pertama kali pada
tahun 1970, namun baru tahun ini 1985 mulai dipasarkan di Indonesia. Obat
ini sangat efektif beberapa infeksi jamur profunda, dermatofitosis.
Mekanisme kerja serupa dengan golongan imidasol pada umumnya,
yaitu menghambat sintesis ergosterol pada membran sel. Ketokonazol juga
menghambat up take precursor RNA dan DNA oleh dan mengganggu enzim
– enzim oksidase dan peroksidase dari jamur.

5
Ketokonazol bisa diberikan per oral atau topikal. Pada pemberian
oral, obat ini diserap baik pada saluran cerna (75%), dan absorpsi meningkat
pada pH asam. Dalam plasma, 84% ketokonazol berikatan dengan protein
plasma terutama albumin, 15% berikatan dengan sel darah dan 1% dalam
bentuk bebas. Ketokonazol dimetabolisme secara ekstensif oleh hati.
Sebagian besar ketokonazol diekskresi bersama cairan empedu ke lumen
usus dan hanya sebagian kecil yang keluar bersama urine.
Efek samping yang sering pada pemberian oral adalah mual dan
muntah. Bahaya utama ketokonazol adalah toksisitas hati. Obat ini harus
dihindari pada wanita hamil. Pada pemberian topikal, efek sampingnya bisa
berupa iritasi, pruritus, dan rasa terbakar.
Diindikasikan pada Paracoccidioides brasiliensis, thrush
(kandidiasis faringeal), kandidiasis mukokutan, dan dermatofit (termasuk
yang resisten terhadap griseofulvin). Ketokonazol mungkin jangan
dikombinasi dengan amfoterisin B karena ketokonazol mengganggu sintesis
ergosterol. Ketokonazol tersedia dalam bentuk tablet 200 mg, untuk dewasa
3 – 6 mg/kgBB/hari pada anak – anak lebih dari 2 tahun. gel/krim 2%, dan
scalp solution 20 mg/ml. lama pengobatan bervariasi tergantung individu
dan macam infeksi.
b. Itrakonazol
Itrakonazol merupakan yang merupakan pemilihan yang baik. Pemberian
obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lendir oleh peenyakit jamur
biasanya cukup 2 x 100 – 200 mg sehari dalam kapsul selama 3 hari.

B. Pengobatan Topikal
Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat topikal
dipengaruhi oleh mekanisme kerja,viskositas, hidrofobisitas dan asiditas
formulasi obat tersebut. Pada masa ini selain obat – obat topikal konvensional
misalnya asam salisilat 2 – 4 %, asam benzoate 6 – 12%, sulfur 4 – 6%, vioform
3%, asam undesilenat 2 – 5%, dan zat warna ( hijau berlian 1% dalam cat
castellani) dikenal banyak obat topikal baru. Obat – obat baru ini diantaranya
tolnaftat 2%, tolsiklat, derivate imidazol, siklopiroksolamin, dan naftifine
masing 1%.

6
8. Prognosis
Tinea incognito umumnya baik, sejauh penggunaan steroid topical dihentikan dan dig anti
dengan obat anti fungal atau anti jamur serta mampu menjaga kebersihan diri dengan baik.

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
DERMATITIS VENENATA

1. DEFINISI
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap
pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa
efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan
gatal.
Dermatitis Kontak Iritan adalah peradangan kulit yang disebabkan terpaparnya kulit
dengan bahan dari luar yang bersifat iritan yang menimbulkan kelainan klinis efloresensi
polimorfik berupa eritema, vesikula, edema, papul, vesikel, dan keluhan gatal, perih serta
panas. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan hanya beberapa saja.
Dermatitis Venenata adalah Dermatitis Kontak Iritan yang disebabkan oleh
terpaparnya bahan iritan dari beberapa tanaman seperti rumput, bunga, pohon mahoni,
kopi, mangga, serta sayuran seperti tomat, wortel dan bawang. Bahan aktif dari serangga
juga dapat menjadi penyebab.

2. EPIDEMIOLOGI
DKI adalah penyakit kulit akibat kerja yang paling sering ditemukan, diperkirakan
sekitar 70%-80% dari semua penyakit kulit akibat kerja. DKI dapat diderita oleh semua
orang dari berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI
diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat
kerja). Insiden dari penyakit kulit akibat kerja di beberapa negara adalah sama, yaitu 50-
70 kasus per 100.000 pekerja pertahun. Pekerjaan dengan resiko besar untuk terpapar
bahan iritan yaitu pemborong, pekerja industri mebel, pekerja rumah sakit (perawat,
cleaning services, tukang masak), penata rambut, pekerja industri kimia, pekerja logam,
penanam bunga, pekerja di gedung.

3. ETIOLOGI
Penyebab munculnya dermatitis jenis ini adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya
bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Bahan aktif dari
serangga juga dapat menjadi penyebab.

8
4. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tersebut ada yang mengklasifikasi
DKI menjadi sepuluh macam, yaitu: DKI akut, lambat akut, reaksi iritan, kumulatif,
traumateratif, eksikasi ekzematik, pustular dan akneformis, noneritematosa, dan
subyektif.

DKI Akut
Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk dermatitis kontak iritan akut. Penyebab
DKI akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asal sulfat dan asam hidroklorid atau basa
kuat, misalnya natrium dan kalium hidroksida. Biasanya terjadi karena kecelakaan, dan
reaksi segera timbul. Intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan lamanya kontak
dengan iritan, terbatas pada tempat kontak. Kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar,
kelainan yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis. Pinggir
kelainan kulit berbatas tegas, dan pada umumnya asimetris.
DKI Akut Lambat
Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru muncul 8 sampai 24
jam atau lebih setelah kontak. Bahan iritan dapat menyebabkan DKI akut lambat,
misalnya podofilin, antralin, tretinoin, etilen oksida, benzalkonium klorida, asam
hidrofluorat. Contohnya ialah dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga yang
terbang pada malam hari (dermatitis venenata); penderita baru merasa pedih esok
harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sore harinya sudah menjadi vesikel atau
bahkan nekrosis.
DKI Kumulatif
Dermatitis ini adalah jenis dermatitis yang paling sering terjadi; nama lain ialah DKI
kronis. Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (Faktor fisik,
misalnya gesekan, trauma mikro, dan kelembaban rendah, panas atau dingin; juga bahan,
misalnya deterjen, sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air). DKI kumulatif mungkin terjadi
karena kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat
menyebabkan dermatitis iritan, tetapi baru mampu bila bergabung dengan faktor lain.
Kelainan baru nyata setelah kontak berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-
tahun kemudian, sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor penting.
Dijumpai pula adanya reaksi iritan, DKI Traumatik, DKI Noneritematosa dan DKI
Subyektif.

9
5. PATOGENESIS
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui
kerja kimiawi atau fisis. Ada 4 mekanisme yang berhubungan dengan DKI.
1. Hilangnya membran lemak (Lipid Membrane)
2. Kerusakan dari sel lemak
3. Denaturasi keratin epidermal
4. Efek sitotoksik secara langsung
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat
(AA), diasilgliserida (DAG), platelet activating factor (PAF), dan inositida (IP3). AA
dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT menginduksi
vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga mempermudah
transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoaktraktan kuat
untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mas melepaskan histamin, LT dan PG
lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskular.
DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein,
misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor
(GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi
reseptor IL-2, yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel-1
(ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNFα, suatu sitokin
proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi
ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat
terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan
iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai
dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi
dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya
oleh iritan.

6. GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat iritan. Iritan kuat
memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis meskipun faktor
individu dan lingkungan sangat berpengaruh.

10
Kelainan kulit bergantung pada stadium penyakit, pada stadium akut kelainan kulit
berupa eritema, edema, vesikel, atau bula, erosi dan eksudasi, sehingga tampak basah.
Stadium sub akut, eritema berkurang, eksudat mengering menjadi krusta, sedang pada
stadium kronis tampak lesi kronis, skuama, hiperpigmentasi, likenifikasi, papul, mungkin
juga terdapat erosi atau ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu
berurutan, bisa saja sejak awal suatu dermatitis memberi gambaran klinis berupa kelainan
kulit stadium kronis demikian pula efloresensinya tidak selalu harus polimorfik.
Mungkin hanya oligomorfik.

7. DIAGNOSA
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis.
DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada
umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya, DKI kronis
timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga
adakalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergik. Untuk ini diperlukan uji
tempel dengan bahan yang dicurigai untuk menyingkirkan diagnosa bandingnya.

8. PENATALAKSANAAN
Penanganan dermatitis kontak yang tersering adalah menghindari bahan yang
menjadi penyebab.
Pengobatan medikamentosa terdiri dari:
A. Pengobatan sistemik :
1. Kortikosteroid, hanya untuk kasus yang berat dan digunakan dalam waktu
singkat.
 Prednisone
Dewasa : 5-10 mg/dosis, sehari 2-3 kali p.o
Anak : 1 mg/KgBB/hari
 Dexamethasone
Dewasa : 0,5-1 mg/dosis, sehari 2-3 kali p.o
Anak : 0,1 mg/KgBB/hari
 Triamcinolone
Dewasa : 4-8 mg/dosis, sehari 2-3 kali p.o
Anak : 1 mg/KgBB/hari

11
2. Antihistamin
 Chlorpheniramine maleat
Dewasa : 3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali p.o
Anak : 0,09 mg/KgBB/dosis, sehari 3 kali
 Diphenhydramine HCl
Dewasa : 10-20 mg/dosis i.m. sehari 1-2 kali
Anak : 0,5 mg/KgBB/dosis, sehari 1-2 kali
 Loratadine
Dewasa : 1 tablet sehari 1 kali
B. Pengobatan topikal :
1. Bentuk akut dan eksudatif diberi kompres larutan garam faali (NaCl 0,9%)
2. Bentuk kronis dan kering diberi krim hydrocortisone 1% atau diflucortolone
valerat 0,1% atau krim betamethasone valerat 0,005-0,1%

9. PROGNOSIS
Prognosis dari DKI akut baik jika penyebab iritasi dapat dikenali dan dihilangkan.
Prognosis untuk DKI kumulatif atau kronis tidak pasti dan bahkan lebih buruk dari
Dermatitis Kontak Alergi. Latar belakang pasien atopi, kurangnya pengetahuan
mengenai penyakit, dan atau diagnosis dan penatalaksanaan adalah faktor-faktor yang
membawa ke perburukan dari prognosis.

12
BAB IV

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny.E
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jakarta
Bangsa : Indonesia
Agama : Kristen
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Tanggal Pemeriksaan : 4 Desember 2019

II. Anamnesis
Keluhan Utama
Bercak merah di daerah dada sejak 4 hari yang lalu dan di daerah lengan kiri atas sejak
1 hari yang lalu

Keluhan Tambahan
Gatal berat pada daerah dada, perih dan gatal ringan pada daerah lengan atas

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien perempuan, berusia 51 tahun, datang ke poliklinik kulit dan kelamin RS
Bhayangkara Tk. I. R. Said Sukanto (4 Desmber 2019) dengan keluhan pada daerah
dada awalnya muncul kemerahan kecil disertai warna kehitaman pada bagian tengah
tersebut tetapi tidak melenting berisi cairan ataupun nanah. Keluhan dirasakan sejak 5
hari yang lalu. Pasien mengeluh sangat gatal. Keluhan seperti ini pernah dirasakan 5
bulan yang lalu tetapi hilang timbul. Pasien mengatakan setiap hari selalu
membersihkan rumah dan selalu berkeringat banyak. Saat berkeringat banyak terasa
semakin gatal pada daerah dada. Pasien pergi ke klinik lalu diberikan obat salep
betamethasone dipropionate 0,05%. Setelah menggunakan salap awalnya membaik
tetapi semakin lama lesi semakin melebar dan terasa semakin gatal. Pasien tidak
terdapat demam, nyeri otot tulang maupun pegal.

13
Terdapat lesi baru pada daerah lengan atas kiri sejak 1 hari yang lalu yaitu bercak merah
disertai warna kehitaman pada bagian tengah dan terdapat benjolan kecil berisi padat.
Lesi muncul ketika sore hari setelah pasien bertanam di halaman rumahnya. Pasien tiba-
tiba merasa sangat perih dan gatal ringan. Pada lesi baru di lengan kiri atas pasien tidak
memberikan obat sebelumnya.

Riwayat Pengobatan
Pasien berobat ke klinik lalu diberikan obat salep betamethasone dipropionate 0,05%.
Setelah menggunakan salap awalnya membaik tetapi semakin lama lesi semakin
melebar dan terasa semakin gatal.

Riwayat Penyakit Terdahulu


Pasien pernah pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya tetapi hilang timbul.
Riwayat atopi, asma dan rhinitis alergi disangkal.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa

Riwayat Atopi dalam Keluarga


Tidak ada

Riwayat Sosial
Pasien memiliki kebiasaan membersihkan rumah dan senang bertanam di halaman
rumahnya.

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
GCS : 15 (Composmentis)
Tekanan Darah : Tidak dilakukan
Nadi : Tidak dilakukan
Respirasi : Tidak dilakukan
Temperatur Aksila : Tidak dilakukan

14
STATUS GENERAL
Kepala : Normocephal
Mata : Sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis
THT : Tidak dilakukan
Toraks : Tidak dilakukan
Pulmo : Tidak dilakukan
Abdomen : Tidak dilakukan
Ekstremitas : Tidak dilakukan

Status Dermatologi dan Venerologi


1. Lokasi : Regio dada kiri
2. Effloresensi :

Regio dada kiri berupa plak eritematosa disertai erosi dan ekskoriasi dengan diameter
2 cm, batas tegas, susunan polisiklik, soliter, pada sebagian tepi lesi terdapat papul
eritem, bulat, multiple, milar, erosi pada lesi lain

3. Mukosa : Tidak dilakukan


4. Rambut : Tidak dilakukan
5. Kuku : Tidak dilakukan
6. Kelenjar Keringat : Tidak dilakukan
7. Saraf : Tidak dilakukan

15
Status Dermatologi dan Venerologi
1. Lokasi : Regio lengan atas kiri
2. Effloresensi :

Regio lengan atas kiri berupa plak eritematosa, disertai erosi dengan diameter
1,5cm, difus, soliter.
3. Mukosa : Tidak dilakukan
4. Rambut : Tidak dilakukan
5. Kuku : Tidak dilakukan
6. Kelenjar Keringat : Tidak dilakukan
7. Saraf : Tidak dilakukan

IV. Diagnosis Banding


1. Tinea Incognito
2. Dermatitis venenata
3. Herpes Zoster
4. Insect bite

V. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

16
VI. Anjuran Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan KOH 10-20%
2. Patch Test
3. Tzank Test

VII. Resume
Pasien perempuan, usia 51 tahun, datang dengan keluhan sangat gatal di dada.
Keluhan pernah dirasakan tetapi hilang timbul. Saat berkeringat banyak terasa semakin
gatal. Pasien pergi ke klinik lalu diberikan obat salep betamethasone dipropionate
0,05%. Setelah menggunakan salap awalnya membaik tetapi semakin lama lesi semakin
melebar dan terasa semakin gatal. Pasien tidak terdapat demam, nyeri otot tulang
maupun pegal. Terdapat lesi baru pada daerah lengan atas kiri sejak 1 hari yang lalu
ketika pasien setelah bertanam di halaman rumahnya. Pasien tiba-tiba merasa sangat
perih. Pada lesi baru di lengan kiri atas pasien tidak memberikan obat sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan dari keadaan umum tampak sakit ringan dan
status generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan dermatologi didapatkan regio
dada kiri berupa plak eritematosa disertai erosi dan ekskoriasi dengan diameter 2 cm,
batas tegas, susunan polisiklik, soliter. Regio lengan atas kiri berupa vesikel, plak
eritematosa, disertai erosi dengan diameter 1,5 cm, difus, soliter.
Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan, anjuran untuk pemeriksaan penunjang
adalah KOH 10-20% dan tzank test.

VIII. Diagnosis Kerja


Tinea Incognito (region dada kiri)
Dermatitis venenata (lengan atas kiri)

IX. Penatalaksanaan
Farmakoterapi
 Ketokonazole 2% cream (dioleskan 2 kali sehari pagi dan sore pada lesi di dada kiri
seteah mandi selama 2 minggu)
 Hidrokortison asetat 1% cream (dioleskan 2 kali sehari)
 Loratadine tab 1x100mg/hari/po (bila gatal)

17
Non Farmakoterapi
 Hentikan penggunan kortikosteroid
 Menjaga higiene individu dan lingkungan.
 Mematuhi anjuran pengobatan
 Hindari menggaruk di daerah lesi

X. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanactionam : bonam

18
BAB V

ANALISIS KASUS DAN TEORI

Kasus Teori

Pasien datang dengan Tinea incognito adalah nama


keluhan muncul yang diberikan pada infeksi
kemerahan kecil pada jamur saat gambaran klinis
daerah dada disertai warna yang ada menjadi tidak jelas
kehitaman pada bagian dikarenakan pengobatan yang
tengah dan terasa gatal tidak tepat, yang biasanya
berat serta semakin disebabkan oleh karena
melebar dan gatal setelah pemakaian steroid topikal pada
diberikan salep kasus infeksi yang disebabkan
Definisi betamethasone oleh jamur dermatofita.
dipropionate 0,05%.

Keluhan lain bercak merah Dermatitis Venenata adalah


1 hari yang lalu di lengan Dermatitis Kontak Iritan yang
kiri atas terasa sangat perih disebabkan oleh terpaparnya
dan gatal ringan setelah bahan iritan dari beberapa
pasien bertanam di tanaman dan juga bahan aktif
halaman rumhanya dari serangga juga dapat
menjadi penyebab.

19
Pasien memiliki kebiasaan Banyaknya kasus, terjadi tinea
membersihkan rumah incognito dalam hubungannya
hingga berkeringat banyak dengan penggunaan steroid
dan pasien memberikan topical, betametason
betamethasone dipropionat dan clotrimazole
dipropionate 0,05% pada (nama dagang Lotrisone) dan
lesi sehingga semakin triamsinolon acetonide dan
Etiologi dan Faktor Risiko lama lesi semakin melebar clotrimazole (Habif, 1995).

dan terasa semakin gatal.


Dermatitis Venenata
Pasien juga senang merupakan dermatitis kontak
bertanam di halaman iritan tipe akut lambat (gejala
rumahnya setiap hari. sama dengan DKI akut namun
lesi baru muncul 8-24 jam atau
lebih setelah kontak)
Pasien datang dengan lesi Tinea incognito didiagnosis
di regio parietal berupa dengan adanya gambaran klinis
bercak dengan permukaan yang tidak khas yang biasanya
halus tanpa rambut, berupa lesi eritematous dapat
berbentuk bulat/lonjong, disertai adanya papula atau
ukuran 4x5 cm. pustula serta hampir tidak

Manifestasi Klinis ditemukannya skuama dengan


tepi yang meninggi dan
terdapat Memar (kemerahan),
dapat dipastikan dengan
pemeriksaan mikroskopik
dengan ditemukannya elemen
jamur dengan menggunakan
potasium hidroksid.

20
Anamnesis : bercak kecil Anamnesis :
kemerahan yang sangat
Tinea incognito penggunaan
gatal di dada, memberat
steroid topical, betametason
saat berkeringat.
dipropionat dan clotrimazole
Diberikan betamethasone
(nama dagang Lotrisone) dan
dipropionate 0,05%, lesi
triamsinolon acetonide dan
semakin melebar dan
clotrimazole
terasa semakin gatal.

Dermatitis venenata pada kulit


yang terpapar oleh bahan aktif
paederin akan menjadi eritem,
disertai rasa perih, panas dan
terbakar.

Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan fisik :
Tinea incognito gambaran
Regio dada kiri berupa
Diagnosis klinis yang tidak khas
plak eritematosa disertai
yang biasanya berupa lesi
erosi dan ekskoriasi
eritematous dapat disertai
dengan diameter 2 cm,
adanya papula atau pustula
batas tegas, susunan
serta hampir tidak
polisiklik, soliter, pada
ditemukannya skuama dengan
sebagian tepi lesi terdapat
tepi yang meninggi dan
papul eritem, bulat,
terdapat Memar (kemerahan).
multiple, milar, erosi pada
lesi lain.
Dermatitis venenata gambaran
kulit yang terpapar akan
Regio lengan atas kiri
menjadi eritem, disertai rasa
berupa plak eritematosa,
perih, panas dan terbakar. Bila
disertai erosi dengan
lesi ini digaruk, maka lesi ini
diameter 1,5 cm, difus,
akan menyebar dan membentuk
soliter.
gambaran lesi berupa
peninggian atau patch menjadi

21
vesikel, bula, lalu terjadi erosi
dengan dasar eritem.

Pemeriksaan Pemeriksaan Penunjang :


penunjang: tidak - Pemeriksaan KOH 10-20%
dilakukan - Patch Test
- Tzank Test

22
- Ketokonazole 2% cream Tinea Inkognitu
dioleskan 2 kali sehari di Sistemik:
lesi dada  Ketokonazole tab 1x1
tab (ac)
- Hidrokortison asetat 1%
Topikal:
cream dioleskan 2 kali
 Ketokonazole cream
sehari di lesi lengan kiri
(dioleskan pagi pada
atas
kulit yang mengalami
Loratadine tab penebalan dan
1x100mg/hari/po (bila kemerahan)
gatal)  Mekonazole cream
(dioleskan malam pada
kulit yang mengalami
penebalan dan
kemerahan)
Dermatitis Venenata
Tatalaksana Sistemik
 Kortikosteroid
- Prednisone
5-10 mg/dosis,
sehari 2-3 kali p.o
- Dexamethasone
0,5-1 mg/dosis,
sehari 2-3 kali p.o
- Triamcinolone
4-8 mg/dosis, sehari
2-3 kali p.o
 Antihistamin
Topikal
 Hydrocortisone 1%
cream
 Diflucortolone valerat
0,1% cream

23
 Betamethasone valerat
0,005-0,1% cream

 Ad vitam : bonam Prognosis tinea incognito


 Ad functionam : umumnya baik, sejauh
bonam penggunaan steroid topikal
 Ad sanactionam : dihentikan dan diganti dengan
bonam obat antijamur serta pasien
mampu menjaga kebersihan diri
dengan baik dan mengelap atau
Prognosis
mengganti baju apabila
berkeringat banyak.

Bila bahan iritan yang menjadi


penyebab dermatitis tersebut
tidak dapat disingkirkan dengan
sempurna, maka prognosisnya
kurang baik

24
DAFTAR ISI

Abdullah B.,Dermatologi Pengetahuan Dasar dan Kasus di Rumah Sakit,Indonesia: Pusat


Penerbitan Universitas Airlangga; 2009. p.94-96.
Agostini G, Knöpfel B, Difonzo EM. Universelle dermatophytose (tinea incognito) durch
Trichophyton rubrum. Hautartz 1995;46:190-3.
Anigbogu, A.N. and Maibach, H. I., 2000, Topical Corticosteroid Therapy, in Drug Theraphy
In Dermatology, University of California at San Francisco, San Francisco,
California.http://www.rksoul.net
Amado A, Sood A, Taylor JS. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine [internet]. 8th
ed. New York: McGraw-Hill; 2012. Chapter 48, Irritant Contact Dermatitis.
Del Boz J, Crespo V, Rivas-Ruiz F, de Troya M. Tinea incognito in children: 4 cases. Mycoses.
2011;54:254–258.
Elgart M. Tinea incognito: an update on Majocchi granuloma. Dermatologic Clinics.
1996;14:51-5.
Feder HM. Tinea incognito misdiagnosed as erythema migrans. N Engl J Med 2000;343:69.
Gurcharan Singh, Syed Yousuf Ali. Paederus Dermatitis. Indian J Dermatol Venerol Leprol
January-February 2007.Vol 73
Nolting C, Vennewald I, Seebacher C. Tinea follicularis presenting as trichophytic Majocchi
granuloma [in German]. Mycoses. 1997;40(suppl 1):73-75.
Pohan SS., Hutomo MM., Sukanto H., Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Indonesia: Pusat Penerbitan Universitas Airlangga. Hal.5-8.
Sularsito SA, Soebaryo RW. Dermatitis kontak. In: Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W,
editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015.
p.158-61.

25

Anda mungkin juga menyukai