Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

FARMAKOLOGI ANTIMIKROBA OBAT


ANTIJAMUR

Dosen Pengampuh :

Apt. Nur Ihsan Kamilah,M.Bmd

Disusun oleh kelompok 7 :


1. Suryanti (482012108093)
2. Agia Anggraini (482012108122)
3. Putri Amanda (482012108112)
4. Vinanda Claresta (482012108119)
5. Widiawati (482012108121)

STIK SITI KHADIAH PALEMBANG


PROGRAM STUDI S1 FARMASI
TAHUN AJARAN 2022/2023

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Jamur merupakan organisme uniseluler maupun multiseluler
(umumnya berbentuk benang disebut hifa, hifa bercabang-cabang membentuk
bangunan seperti anyaman disebut miselium, dinding sel mengandung kitin,
eukariotik, tidak berklorofil. Jamur hidup secara heterotrof dengan jalan
saprofit (menguraikan sampah organik), parasit (merugikan organisme lain),
dan simbiosis. Berdasarkan kingdongnya, fungi (jamur) dibedakan menjadi
lima divisi yaitu, Zigomycotina (kelas Zygomycetes), Ascomycotina,
Basidiomycotina, dan Deuteromycotina. Sedangkan Obat antijamur adalah
senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh
jamur (Anonim, 2007).
Penyakit yang disebabkan oleh jamur biasanya akan tumbuh pada
daerah-daerah lembab pada bagian tubuh kita, diantaranya seperti pada
bagian ketiak, lipatan daun telinga, jari tangan dan kaki dan juga bagian
lainnya. Penyakit kulit karena jamur bisa menular karena kontak kulit secara
langsung dengan penderitanya.Gejala dari penyakit ini adalah warna kulit
yang kemerahan, bersisik dan adanya penebalan kulit. Dan yang jelas akan
disertai dengan rasa gatal pada kulit yang sudah terifeksi jamur tersebut.
Infeksi karena jamur disebut mikosis, umumnya bersifat
kronis.Mikosis ringan menyerang permukaan kulit (mikosis kutan), tetapi
dapat juga menembud kulit sehingga menimbulkan mikosis subkutan. Secara
klinik, infeksi jamur dapat digolongkan menurut lokasi infeksinya, yaitu:
1. Mikosis sistemik.
2. Dermatofit.
3. Mikosis mukokutan (Munaf, 2004).

2
BAB II
PEMBAHASAN

Dari segi terapeutik infeksi jamur pada manusia dapat dibedakan atas
infeksi sistematik,dermatofit dan mukokutan.infeksi sistematik dapat lagi dibagi
atas:
1. infeksi internal
Seperti aspergilosis, blastomikosis, koksidiodomikosis, kriptokokosis,
histoplasmosis, mukromikosis, parakoksidiodomikosis, dan kandidiasis
2. infeksi subkutan
Misalnya Kromomikosis, misetoma dan sporotrikosis. infeksi
dermatofit disebabkan oleh trichophyton, Epidermophyton dan mikrosporum
yag menyerang kulit, rambut dan kuku.infeksi mukokutan disebabkan oleh
kandida menyerang mukosa dan daerah lipatan kulit yang lembab.kandidiasis
mukokutan dalam keadaan kronis umumnya mengenai mukosa kulit dan kuku.
Dasar farmokologis dari pengobatan infeksi jamur belum sepenuhnya
dimengerti.secara umum infeksi jamur dibedakan atas infeksi jamur
sistematik dan infeksi jamur topikal(deramotif dan mukokutan).dalam
pengobatan beberapa anti jamur(inidazol,triazol,dan antibiotik polien)dapat
digunakan untuk kedua infeksi tersebut.ada infeksi jamur topikal yang dapat
diobati secara sistematik ataupun topikal

A. Obat Anti Jamur


Obat-obat antijamur juga disebut obat-obat antimikotik, dipakai untuk
mengobati dua jenis infeksi jamur, yaitu infeksi jamur superficial pada kulit
atau selaput lender dan infeksi jamur sistemik pada paru-paru atau system
saraf pusat.Infeksi jamur dapat ringan, seperti pada tinea pedis (athlete’s
foot), atau berat, seperti pada paru-paru atau meningitis. Jamur, seperti
Candidia spp. (ragi), merupakan bagian dari flora normal pada mulut, kulit,
usus halus, dan vagina (Kee and Hayes,1993).

3
B. Infeksi Jamur Sistemik
Infeksi jamur sistemik berdasarkan penyebabnya serta obatnya antara
lain (Rosfanti, 2009) :
1. Arpergilosis
Aspergilosis paru sering terjadi pada penderita penyakit
imunosepresi yang berat dan tidak memberi respon memuaskan terhadap
pengobatan dengan obat jamur. Obat pilihan untuk penyakit ini adalah
Amfoterisin B secara intravena dengan dosis 0,5-1,0 mg/kg BB setiap
hari.
2. Blastomikosis
Obat jamur terpilih untuk Blastomikosis adalah Ketokonazol per
oral 400 mg sehari selama 6-12 bulan.Itrakonazol dengan dosis 200-400
mg sehari juga efektif pada beberapa kasus.Amfoterisin B sebagai
cadangan untuk penderita yang tidak dapat menerima Ketokonazol.
3. Kandidiasis
Pengobatan menggunakan Amfoterisin B. Flusitosin diberikan
bersama Amfoterisin B untuk meningitis, endoftalmitis, arthritis, dan
kandidia.Disamping penyebarannya yang lebih baik ke jaringan sakit,
Flusitosin diduga bekerja aditif dengan Amfoterisin B sehingga dosis
Amfoterisin B dapat dikurangi.
4. Koksidioidomikosis
Adanya kavitis (ruang berongga) tunggal di paru atau adanya
infiltrasi fibrokavvitis yang tidak responsif terhadap kemoterapi
merupakan cirri khas penyakit kronis Koksidioidomikosis.Penyakit ini
dapat diobati dengan Amfoterisin B secara intravena, Ketokonazol, dan
Itrakonazol.
5. Kriptokokosis
Obat terpilih untuk penyakit ini adalah Amfoterisin B dengan
dosis 0,4-0,5 mg/kg BB perhari secara intravena. Penambahan Flusitosin
dapat mengurangi pemakaian Amfoterisin B (0,3 mg/kg BB). Flukonazol
bermanfaat untuk terapi supresi pada penderita AIDS.

4
6. Histoplasmosis
Penderita histoplasmosis paru kronis sebagian besar dapat diobati
dengan Ketokonazol 400 mg/hari selamaa 6-12 bulan.Itrakonazol 200-400
mg sekali sehari juga cukup efektif.Amfoterisin B secara intravena juga
dapat diberikan selama 10 minggu.
7. Mukomikosis
Amfoterisin B merupakan obat pilihan untuk mukornikosis paru
kronis.
8. Parakoksidioimikosis
Ketokonazol 400 mg/hari merupakan obat pilihan yang diberikan
selama 6-12 bulan.Pada keadaan yang berat diberikan terapi awal
Amfoterisin B.
9. Sporotrikosis
Obat terpilih untuk keadaan ini adalah pemberian oral larutan
jenuh Kalium Iodida (1 g/ml) dengan dosis 3 sampai 40 tetes sehari yang
dicapuur dengan sedikit air.Obat Sporotrikosis yang menyerang paru,
tulang.
sirkulasi berlangsung lambat.Sebagian kecil diekskresi melalui
urine atau empedu dalam waktu >1 minggu.Obat ini umumnya
didegradasikan secara lokal di jaringan depot (Munaf, 2004).
Obat ini bekerja dengan berikatan dengan membran sel jamur atau
ragi yang sensitive.Integrasi dengan sterol-sterol membran sel jamur lebih
permiabel terhadap molekul-molekul yang kecil.Amfoterisin B
mempunyai aktivitas fungisid dan fungistatik terhadap sel-sel jamur yang
sedang tumbuh dan yang tidak (Munaf, 2004).
C. Antimikosis Subkutan
Anti mikosis subkutan adalah jenis obat anti jamur yang digunakan untuk
mengobati infeksi jamur yang terjadi pada lapisan bawah kulit dan
jaringan di bawahnya. Infeksi ini dapat disebabkan oleh berbagai jenis
jamur, seperti Sporothrix schenckii, Chromoblastomycosis, dan Fonsecaea
pedrosoi. Infeksi jamur subkutan lebih sering terjadi pada orang dengan

5
sistem imun yang lemah atau yang sering berinteraksi dengan tanah atau
tumbuhan. Obat anti mikosis subkutan memiliki beberapa mekanisme
kerja, di antaranya menghambat sintesis ergosterol (senyawa penting
dalam dinding sel jamur), menghambat sintesis asam nukleat, dan
mengganggu fungsi membran sel jamur. Contoh obat antimikosis subkutan
meliputi:Itraconazol, Terbinafine, Fluconazole, Dll
1. Itraconazole
Farmakologi obat itrakonazol meliputi:
a. mekanisme kerja: Itrakonazol adalah obat antijamur yang bekerja dengan
menghambat sintesis ergosterol, suatu komponen penting dalam membran
sel jamur, sehingga menyebabkan kematian jamur.
b. Penyerapan dan distribusi: Itraconazole diserap dengan cepat setelah
pemberian melalui mulut dan mencapai konsentrasi dalam plasma dalam
waktu 2-5 jam. Obat ini didistribusikan ke seluruh tubuh termasuk ke
jaringan, kuku, dan rambut. Itraconazole diekskresikan melalui urine dan
feses dalam bentuk metabolit yang mengandung obat yang utuh dan sudah
diubah.
c. Metabolisme: metabolisme utamanya terjadi di hati oleh bakteri dalam
usus dan enzim sitokrom P450 dan kemudian diekskresikan melalui urin
dan feses.
d. Jangka waktu efektif: Itraconazole dapat digunakan dalam jangka waktu
pendek atau panjang, tergantung pada jenis infeksi jamur yang diobati.
Infeksi kulit dan kuku memerlukan durasi pengobatan yang lebih lama.
e. Interaksi obat: Itraconazole dapat berinteraksi dengan beberapa obat
seperti obat antasida, obat hipolipidemik seperti simvastatin dan lovastatin,
dan metabolite sitokrom P450 seperti rifampisin dan fenitoin.

6
2. Terbinafine
Farmakologi obat terbinafine meliputi:
a. mekanisme kerja: Terbinafine bekerja dengan menghambat sintesis
ergosterol, suatu komponen penting dalam membran sel jamur, sehingga
menyebabkan kematian jamur.
b. Absorpsi dan distribusi: Terbinafine diserap dengan baik setelah
pemberian melalui mulut dan mencapai konsentrasi dalam plasma dalam
waktu 2-4 jam. Obat ini didistribusikan ke seluruh tubuh termasuk ke
jaringan yang terinfeksi oleh jamur,seperti kuku dan kulit. diekskresikan
melalui urin dan feses dalam bentuk metabolit yang mengandung obat
yang utuh dan sudah diubah.
c. Metabolisme: Terbinafine mengalami metabolisme di hati melalui enzim
sitokrom P450 dan kemudian diekskresikan melalui urin dan feses.
d. Jangka waktu efektif: dapat digunakan dalam jangka waktu pendek atau
panjang tergantung pada jenis infeksi jamur yang diobati. Infeksi kulit
memerlukan durasi pengobatan yang lebih singkat dibandingkan infeksi
kuku.
e. Interaksi obat: Terbinafine dapat berinteraksi dengan beberapa obat seperti
obat yang diinduksi oleh enzim sitokrom P450 seperti rifampisin dan
fenitoin, serta obat yang dihambat oleh enzim sitokrom P450 seperti
warfarin

D. Antimikosis Sistemik
Anti mikosis sistemik adalah jenis obat anti jamur yang digunakan untuk
mengobati infeksi jamur yang menyebar ke seluruh tubuh atau organ
internal lainnya, seperti Aspergillus, Candida, Cryptococcus, Histoplasma,
dan Coccidioides. Infeksi jamur sistemik adalah kondisi medis yang serius
dan dapat mengancam jiwa jika tidak diobati dengan tepat. Obat anti
mikosis sistemik biasanya diberikan melalui infus atau disuntikkan ke
dalam pembuluh darah dan bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan

7
jamur atau bahkan membunuh jamur yang menyebabkan infeksi. Beberapa
contoh obat anti mikosis sistemik termasuk: Amfoterisin B, Caspofungin,
Voriconazole, Dll
1. Amfoterisin B
Farmakologi obat amfoterisin B meliputi:
a. mekanisme kerja: Amfoterisin B bekerja dengan mengikat ergosterol pada
membran sel jamur, sehingga menyebabkan kerusakan pada membran.
Akibatnya, jamur tidak dapat bertahan hidup dan akhirnya mati.
b. Farmakokinetik : Amfoterisin B diberikan melalui infus dan diserap
dengan cepat ke dalam sirkulasi sistem. Obat ini didistribusikan ke
berbagai jaringan dan organ dalam tubuh, termasuk cairan serebrospinal
dan paru-paru. Amfoterisin B tidak mudah menembus ke dalam jaringan
yang lebih padat, seperti jaringan otak dan tulang. Amfoterisin B
diekskresikan melalui ginjal.
c. Indikasi: digunakan untuk mengobati infeksi jamur yang berat dan resisten
terhadap obat antijamur lain pada manusia, seperti infeksi pada sistem
saraf pusat, infeksi saluran kandung kemih, infeksi dinding kandung
kemih.
d. Efek samping: Efek samping yang sering terjadi akibat penggunaan
amfoterisin B adalah demam dan menggigil, sakit kepala, hipotensi, gagal
ginjal, serta kerusakan ginjal. Efek samping yang lebih serius seperti
gangguan fungsi paru, perubahan pada sistem saraf pusat, dan reaksi alergi
juga dapat terjadi.
2. Caspofungin
Farmakologi obat caspofungin meliputi :
a. Mekanisme kerja : Caspofungin menghambat pembentukan dinding sel jamur
dengan menghambat enzim glucan synthase, sehingga menyebabkan kerusakan
pada dinding sel jamur dan akhirnya kematian jamur.
b. Penyerapan dan distribusi: Caspofungin disuntikkan ke dalam vena (intravena)
secara perlahan selama 1 jam untuk mencapai tingkat konsentrasi terapeutik
dalam darah. Obat ini didistribusikan ke seluruh tubuh, termasuk ke jaringan
dan cairan tubuh seperti cairan serebrospinal, dan dikeluarkan melalui ginjal.

8
c. Metabolisme: Caspofungin tidak mengalami metabolisme yang signifikan di
dalam tubuh dan dikeluarkan melalui urin dalam bentuk tidak berubah.
d. Jangka waktu efektif: Caspofungin memiliki efek jangka pendek sehingga
sering diberikan dalam jangka waktu yang singkat.
e. Interaksi obat : Caspofungin dapat berinteraksi dengan obat-obatan lain seperti
rifampisin, karbamazepin, dan fenitoin, sehingga sebaiknya dikonsultasikan
terlebih dahulu dengan dokter atau apoteker sebelum memulai pengobatan.
E. Antikosis Kutan
Antimikosis kutan adalah jenis obat anti jamur yang digunakan untuk
mengobati infeksi jamur pada kulit dan struktur terkait, seperti rambut dan
kuku. Infeksi jamur kulit dapat disebabkan oleh berbagai jenis jamur,
seperti dermatofit, candida, dan malassezia. Obat anti mikosis kutan
bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan atau membunuh jamur
yang menyebabkan infeksi pada kulit. Beberapa contoh obat anti jamur
kutan meliputi: Griseofulvin, Miconazole, Ketonazole, Dll.
1. Griseofulvin
Farmakologi obat griseofulvin meliputi:
a. mekanisme kerja: Griseofulvin bekerja dengan menghambat mitosis dan
menyebabkan defek dalam mikrotubulus sehingga mencegah pertumbuhan
dan replikasi jamur penyebab infeksi kulit.
b. Absorpsi dan distribusi: Griseofulvin diabsorpsi melalui saluran
pencernaan dan distribusi ke jaringan yang terinfeksi oleh jamur.
Kecepatan penyerapan obat tergantung pada makanan dan terutama lemak
dalam makanan. Obat ini dapat mempengaruhi sistem enzim hati dan
mengalami degradasi di hati dan ginjal.
c. Metabolisme : Griseofulvin mengalami metabolisme di hati dan kemudian
diubah menjadi metabolit yang lebih inaktif yang diekskresikan melalui
urine dan feses.
d. Jangka waktu efektif: Griseofulvin membutuhkan waktu lama untuk
bekerja dalam tubuh, biasanya 2-4 minggu untuk infeksi kulit dan rambut
dan 6-12 bulan untuk infeksi kuku.

9
e. Interaksi obat: Griseofulvin dapat berinteraksi dengan banyak obat seperti
obat antikoagulan, kontrasepsi oral, dan obat hipoglikemik.
2. Miconazole
Farmakologi obat miconazole meliputi:
a. Mekanisme kerja: Miconazole menghambat pertumbuhan dan replikasi
jamur dengan menghambat biosintesis ergosterol dan mengganggu
integritas membran sel jamur.
b. Absorpsi dan distribusi: Miconazole dapat terserap melalui kulit dan
mukosa serta tidak terabsorpsi dengan baik setelah aplikasi topikal. Obat
ini didistribusikan ke jaringan yang terkena jamur dan tetap berada dalam
jaringan hingga beberapa waktu setelah pengobatan.
c. Metabolisme: Miconazole mengalami degradasi di hati dan kemudian
diekskresikan melalui urine dalam bentuk metabolit yang tidak aktif.
d. Jangka waktu efektif: Miconazole dapat digunakan dalam jangka waktu
pendek untuk menyembuhkan infeksi jamur pada kulit, mulut, dan kuku
pada orang dewasa dan anak-anak. Selain itu, dapat digunakan dalam
jangka waktu panjang untuk mencegah infeksi jamur pada pasien yang
memiliki risiko tinggi.
e. Interaksi obat: Miconazole dapat berinteraksi dengan beberapa obat seperti
barbiturat, fenitoin, dan warfarin.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Obat-obat antijamur juga disebut obat-obat antimikotik, dipakai untuk
mengobati dua jenis infeksi jamur, yaitu infeksi jamur superficial pada kulit
atau selaput lender dan infeksi jamur sistemik pada paru-paru atau system
saraf pusat.Menurut indikasi klinik obat-obat anti jamur dibagi atas dua
golongan, yaitu golongan antijamur untuk infeksi sistemik dan golongan
antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan (topikal).
Yang termasuk dalam golongan golongan antijamur untuk infeksi
sistemik antaralain amfoterisin B, flusitosin, golongan imidazol, dan kalium
iodida.Sedangkan yang termasuk dalam golongan antijamur untuk infeksi
dermatofit dan mukokutan (topikal) adalah griseofulvin, nistatin (mikostatin),
haloprogin, kandisidin, salep whitfield, natamisin, dll.

B. Saran
Semoga makalah ini dapat menjadi bahan acuan dan referensi bagi kita
semua, khususnya mahasiswa STIK SITI KHADIJAH Semoga kedepannya
dapat dibuat lebih banyak informasi mengenai obat-obat antijamur yang
diperlukan oleh mahasiswa secara umum.

11
12

Anda mungkin juga menyukai