Anda di halaman 1dari 80

ANTI JAMUR

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jamur merupakan salah satu penyebab infeksi pada penyakit terutama di negara – negara tropis.
Penyakit kulit akibat jamur merupakan penyakit kulit yang sering muncul di tengah masyarakat
Indonesia. Iklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi di Indonesia sangat mendukung
pertumbuhan jamur. Banyaknya infeksi jamur juga didukung oleh masih banyaknya masyarakat
Indonesia yang berada digaris kemiskinan sehingga masalah kebersihan lingkungan, sanitasi, dan
pola hidup sehat kurang menjadi perhatian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Jamur dapat menyebabkan infeksi antara lain Candida albicans dan Trichopyton rubrum. Oleh
karena itu untuk membantu tubuh mencegah mengatasi infeksi jamur serius dapat menggunakan
obat Amfoterisin B. Yang mana Amfoterisin bekerja dengan menyerang sel yang sedang tumbuh
dan sel matang. Aktifitas anti jamur nyata pada pH 6,0 – 7,5. Aktifitas anti jamur akan berkurang
pada Ph yang lebih rendah. Amfoterisin bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung dengan dosis
yang diberikan dan sensitivitas jamur yang dipengaruhi. Namun dibalik kegunaan dari obat tersebut
tentu ada efek sampingnya.

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Obat Jamur


Jamur adalah organisme mikroskopis tanaman yang terdiri dari sel, seperti cendawan, dan
ragi. Beberapa jenis jamur dapat berkembang pada permukaan tubuh yang bisa
menyebabkan infeksi kulit, kuku, mulut atau vagina. Jamur yang paling umum menyebabkan
infeksi kulit adalah tinea. For example, tinea pedis (‘athletes foot) . Infeksi umum yang ada
pada mulut dan vagina disebut seriawan. Hal ini disebabkan oleh Candida. Candida
merupakan ragi yang merupakan salah satu jenis jamur. Sejumlah Candida umumnya
tinggal di kulit.
Obat Jamur = Anti fungi = Anti Mikotik yaitu obat yamg digunakan untuk membunuh
atau menghilangkan jamur.
Obat antijamur terdiri dari beberapa kelompok yaitu : kelompok polyene (amfoterisin B,
nistatin, natamisin), kelompok azol (ketokonazol, ekonazol, klotrimazol, mikonazol,
flukonazol, itrakonazol), allilamin (terbinafin), griseofulvin, dan flusitosin.
Obat ini digunakan untuk pengobatan infeksi jamur seperti:
a. Koksidiodomikosis
b. Parakoksidioidomikosis
c. Aspergilosis
d. Kromoblastomikosis
e. Kandidiosis
f. Maduromikosis (misetoma)
g. Mukormikosis (fikomikosis)
Amfoterisin B merupakan obat terpilih untuk blastomikosis selain hidrosis tilbamidin yang cukup
efektif untuk sebagian besar pasien dengan lesi kulit yang tidak progresif.
Obat ini efektif untuk mengatasi infeksi jamur Absidia spp, Aspergillus spp, Basidiobolus spp,
Blastomyces dermatitidis, Candida spp, Coccidoide immitis, Conidiobolus spp, Cryptococcus
neoformans, Histoplasma capsulatum, Mucor spp, Paracoccidioides brasiliensis, Rhizopus spp,
Rhodotorula spp, dan Sporothrix schenckii.
Organisme lain yang telah dilaporkan sensitif terhadap amfoterisin B termasuk alga Prototheca spp.
dan Leishmania protozoa dan Naegleria spp. Hal ini tidak aktif terhadap bakteri (termasuk rickettsia)
dan virus.
Beberapa strain yang resisten terhadap Candida telah diisolasi dan diberikan pengobatan jangka
panjang dengan amfoterisin B. Amfoterisin B hanya tersedia dengan resep dokter.
E. Indikasi
• Untuk pengobatan infeksi jamur seperti koksidioidomikosis, parakoksidoidomikosis, aspergilosis,
kromoblastomikosis dan kandidosis.
• Amfoterisin B merupakan obat terpilih untuk blastomikosis.
• Amfoterisin B secara topikal efektif terhadap keratitis mikotik.
• Mungkin efektif thdp maduromikosis (misetoma) & mukomikosis (fikomikosis)
• Secara topikal efektif thdp keratitis mikotik
• Penderita dg terapi amfoterisin B hrs dirawat di RS, utkpengamatan ketat ES
F. Kontra Indikasi
a. Pasien yang memiliki riwayat hipersensitif / alergi
b. Gangguan fungsi ginjal
c. Ibu hamil dan menyusui
d. Pada pasien yang mengonsumsi obat antineoplastik
Infus amfoterisin B seringkali meninbulkan beberapa efek samping seperti kulit panas, keringatan,
sakit kepala, demam, menggigil, hipotensi, lesu, anoreksia, nyeri otot, flebitis, kejang dan penurunan
fungsi ginjal. 50% pasien yang mendapat dosis awal secara iv akan mengalami demam dan
menggigil. Keadaan ini hampir selalu terjadi pada penyuntikan amfoterisin B tapi akan berkurang
pada pemberian berikutnya. Reaksi ini dapat ditekan dengan memberikan hidrokortison 25-50 mg
dan dengan antipiretik serta antihistamin sebelumnya. Flebitis dapat dikurangi dengan
menambahkan heparin 1000 unit kedalam infuse.

G. Farmakodinamik
Amfoterisin B bekerja dengan berikatan kuat dengan ergosterol (sterol dominan pada fungi) yang
terdapat pada membran sel jamur. Ikatan ini akan menyebabkan membran sel bocor dan
membentuk pori-pori yang menyebabkan bahan-bahan esensial dari sel-sel jamur merembas keluar
sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan intrasel dan mengakibatkan kerusakan yang tetap
pada sel. Efek lain pada membran sel jamur yaitu dapat menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel
jamur.
H. Farmakokinetik
Amfoterisin sedikit sekali diserap melalui saluran cerna. Suntikan yang dimulai dengan dosis 1,5
mg/hari lalu ditingkatkan secara bertahap sampai dosis 0,4-0,6 mg/kgBB/hari akan memberikan
kadar puncak antara 0,5-2 µg/mL pada kadar mantap. Waktu paruh obat ini kira-kira 24-48 jam pada
dosis awal yang diikuti oleh eliminasifase kedua dengan waktu paruh kira-kira 15 hari sehingga
kadar mantapnya baru akan tercapai setelah beberapa bulan pemakaian. Obat ini didistribusikan
luas ke seluruh jaringan. Kira-kira 95% obat beredar dalam plasma, terikat pada lipoprotein. Kadar
amfoterisin B dalam cairan pleura, peritoneal, sinovial dan akuosa yang mengalami peradangan
hanya kira-kira2/3 dari kadar terendah dalam plasma. Amfoterisin b juga dapat menembus sawar
uri, sebagian kecil mencapai CSS, humor vitreus dan cairan amnion. Ekskresi melalui ginjal sangat
lambat, hanya 3% dari jumlah yang diberikan selam 24 jam sebelumnya ditemukan dalam urine.
I. Dosis

Infeksi jamur sistemik (melalui injeksi intravena).

* Dosis awal 1 mg selama 20-30 menit dilanjutkan dengan 250 mikrogram/kg perhari, dinaikan
perlahan sampai 1 mg/kg perhari, pada infeksi berat dapat dinaikan sampai 1.5 mg/kg perhari.

Catatan: terapi diberikan dalam waktu yang cukup lama. Jika terapi sempat terhenti lebih dari 7 hari
maka dosis lanjutan diberikan mulai dari 250 mikrogram/kg perhari kemudian dinaikan secara
bertahap.

J. Sediaan
1. Sediaan – Serbuk lofilik mgn 50 mg, dilartkan dg aquadest 10 ml lalu ditmbh ke lar
dextroa 5% = kadar 0,1 mg/ml
2. Lar elektrolit, asam/ mgdg pengawet tdk boleh digunakan sbg pelarut mengendapkan
amfoterisin B
3. Untuk injeksi selalu dibuat baru
J. Interaksi Obat
1. Amikasin, siklosporin, Gentamisin, paromomycin, pentamidine, Streptomycin,
Vancomycin : meningkatkan risiko kerusakan ginjal.
2. Dexamethasone, Furosemide, hidroklorotiazide, Hydrocortisone, Prednisolone :
Meningkatkan risiko hipokalemia.
3. Digoxin : amphoterisin B meningkatkan risiko keracunan digoxin.
4. Fluconazole : melawan kerja amphoterisin B.
K. Aktivitas Obat

Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dansel matang. Aktivitas anti jamur nyata pada
pH 6,0-7,5: berkurang pada pH yang lebihrendah. Antibiotik ini bersifat fungistatik atau fungisidal
tergantung pada dosis dansensitivitas jamur yang dipengaruhi. Dengan kadar 0,3-1,0 µg/mL
antibiotik ini dapat menghambat aktivitas Histoplasma capsulaium, Cryptococcus
neoformans,Coccidioides immitis, dan beberapa spesies Candida, Tondopsis glabrata,Rhodotorula,
Blastomyces dermatitidis, Paracoccidioides braziliensis, Beberapa spesies Aspergillus,
Sporotrichum schenckii, Microsporum audiouini dan spesiesTrichophyton. Secara in vitrobila
rifampisin atau minosiklin diberikan bersamaamfoterisin B terjadi sinergisme terhadap beberapa
jamur tertentu.

L. Mekanisme kerja

Amfoterisin B berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur sehingga
membran sel bocor dan kehilangan beberapa bahan intrasel dan menyebabkan kerusakan yang
tetap pada sel.
Salah satu penyebab efek toksik yang ditimbulkan disebabkan oleh pengikatan kolesterol pada
membran sel hewan dan manusia.
Resistensi terhadap amfoterisin B mungkin disebabkan oleh terjadinya perubahan reseptor sterol
pada membran sel.
M. Efek Samping
Demam, sakit kepala, mual, turun berat badan, muntah, lemas, diare, nyeri otot dan sendi,
kembung, nyeri ulu hati, gangguan ginjal (termasuk hipokalemia, hipomagnesemia, kerusakan
ginjal), kelainan darah, gangguan irama jantung, gangguan saraf tepi, gangguan fungsi hati, nyeri
dan memar pada tempat suntikan.
• Infus : kulit panas, keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, lesu, anoreksia, nyeri otot, flebitis,
kejang dan penurunan faal ginjal.
• 50% penderita yang mendapat dosis awal secara IV akan mengalami demam dan menggigil.
• Flebitis (-) à menambahkan heparin 1000 unit ke dalam infus.
• Asidosis tubuler ringan dan hipokalemia sering dijumpai à pemberian kalium.
• Efek toksik terhadap ginjal dapat ditekan bila amfoterisin B diberikan bersama flusitosin.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jamur adalah organisme mikroskopis tanaman yang terdiri dari sel, seperti cendawan, dan ragi.
Beberapa jenis jamur dapat berkembang pada permukaan tubuh yang bisa menyebabkan infeksi.
Obat Jamur = Anti fungi = Anti Mikotik yaitu obat yamg digunakan untuk membunuh atau
menghilangkan jamur.
Amfoterisin adalah salah satu obat anti jamur yang termasuk kedalam golongan polyene. Obat ini
biasa digunakan untuk membantu tubuh mengatasi infeksi jamur serius.
Obat ini digunakan untuk pengobatan infeksi jamur seperti:
a. Koksidiodomikosis
b. Parakoksidioidomikosis
c. Aspergilosis
d. Kromoblastomikosis
e. Kandidiosis
f. Maduromikosis (misetoma)
g. Mukormikosis (fikomikosis)
B. Saran
Agar setiap mahasiswa kebidanan memahami pengertian, macam – macam, kegunaan, interaksi
obat dan efek samping dari suatu jenis obat terutama pada obat jamur ini, serta dapat dimanfaat kan
dalam kehidupan sehari-hari
DAFTAR PUSTAKA

Anonimus .2010. http://kumpulan-farmasi.blogspot.com/2010/11/anti-jamur.html


Anonimus.2009. http://www.scribd.com/doc/57215070/36154284-Uraian-Obat-Anti-Jamur
Gunawan, Sulistia Gan. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. FK-UI. Jakarta

https://zatalinaanwar.wordpress.com/2014/07/06/makalah-farmakologi/

ANTI JAMUR
Jamur adalah organisme mikroskopis tanaman yang terdiri dari sel, seperti cendawan, dan ragi.
Beberapa jenis jamur dapat berkembang pada permukaan tubuh yang bisa menyebabkan infeksi kulit,
kuku, mulut atau vagina. Jamur yang paling umum menyebabkan infeksi kulit adalah tinea. For example,
tinea pedis ('athletes foot) . Infeksi umum yang ada pada mulut dan vagina disebut seriawan. Hal ini
disebabkan oleh Candida. Candida merupakan ragi yang merupakan salah satu jenis jamur. Sejumlah
Candida umumnya tinggal di kulit.

Ada beberapa jenis obat-obatan antijamur


a. Antijamur cream
Digunakan untuk mengobati infeksi jamur pada kulit dan vagina. Antara lain :
ketoconazole, fenticonazole, miconazole, sulconazole, dan tioconazole.
b. Antijamur peroral
Amphotericin dan nystatin dalam bentuk cairan dan lozenges. Obat-obatan ini tidak terserap melalui
usus ke dalam tubuh. Obat tersebut digunakan untuk mengobati infeksi Candida (guam) pada mulut dan
tenggorokan.
itraconazole, fluconazole, ketoconazole, dan griseofulvin dalam bentuk tablet yang diserap ke dalam
tubuh. Digunakan untuk mengobati berbagai infeksi jamur. Penggunaannya tergantung pada jenis
infeksi yang ada. example:
Terbinafine umumnya digunakan untuk mengobati infeksi kuku yang biasanya disebabkan oleh jenis
jamur tinea.
Fluconazole umumnya digunakan untuk mengobati jamur Vaginal. Juga dapat digunakan untuk
mengobati berbagai macam infeksi jamur pada tubuh
c. Antijamur injeksi
Amphotericin, flucytosine, itraconazole, voriconazole dan caspofungin adalah obat-obatan anti jamur
yang sering digunakan dalam injeksi.
Infeksi jamur dapat dibagi menjadi dua yaitu :
1. Infeksi jamur sistemik
- Amfoterisin B
- Flusitosin
- Ketokonazol
- Itakonazol
- Fluconazol
- Kalium Iodida
2. Infeksi jamur topikal (dermatofit dan mukokutan)

AMFOTERISIN B
Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi streptomyces nodosus.
Mekanisme kerja
Amfoterisin B berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur sehingga
membran sel bocor dan kehilangan beberapa bahan intrasel dan menyebabkan kerusakan yang tetap
pada sel.
Salah satu penyebab efek toksik yang ditimbulkan disebabkan oleh pengikatan kolesterol pada membran
sel hewan dan manusia.
Resistensi terhadap amfoterisin B mungkin disebabkan oleh terjadinya perubahan reseptor sterol pada
membran sel.

Farmakokinetik
Absorbsi : sedikit sekali diserap melalui saluran cerna.
Waktu paruh kira-kira 24-48 jam pada dosis awal yang diikuti oleh eliminasi fase kedua dengan waktu
paruh kira-kira 15 hari, sehingga kadar mantapnya akan tercapai setelah beberapa bulan setelah
pemberian.
Ekskresi : obat ini melalui ginjal berlangsung lambat sekali, hanya 3 % dari jumlah yang
diberikan.
Efek samping
 Infus : kulit panas, keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, lesu, anoreksia, nyeri otot, flebitis,
kejang dan penurunan faal ginjal.
 50% penderita yang mendapat dosis awal secara IV akan mengalami demam dan menggigil.
 Flebitis (-) à menambahkan heparin 1000 unit ke dalam infus.
 Asidosis tubuler ringan dan hipokalemia sering dijumpai à pemberian kalium.
 Efek toksik terhadap ginjal dapat ditekan bila amfoterisin B diberikan bersama flusitosin.
Indikasi
 Untuk pengobatan infeksi jamur seperti koksidioidomikosis, aspergilosis, kromoblastomikosis dan
kandidosis.
 Amfoterisin B merupakan obat terpilih untuk blastomikosis.
 Amfoterisin B secara topikal efektif terhadap keratitis mikotik.

Sediaan

 Amfoterisin B injeksi tersedia dalam vial yang mengandung 50 mg bubuk

Dosis
 Pada umumnya dimulai dengan dosis yang kecil (kurang dari 0,25 mg/kgBB) yang dilarutkan dalam
dekstrose 5 % dan ditingkatkan bertahap sampai 0,4-0,6 mg/kgBB sebagai dosis pemeliharaan.
 Secara umum dosis 0,3-0,5 mg/kgBB cukup efektif untuk berbagai infeksi jamur, pemberian dilakukan
selama 6 minggu dan bila perlu dapat dilanjutkan sampai 3-4 bulan

Flusitosin
Flucytosine (5-fluorocytosine) adalah primidin sintetis yang telah mengalami fluorinasi

Mekanisme kerja
Flusitosin masuk ke dalam sel jamur dengan bantuan sitosin deaminase dan dalam sitoplasma
akan bergabung dengan RNA setelah mengalami deaminasi menjadi 5-Fluorourasil. Sintesis protein sel
jamur terganggu akibat penghambatan langsung sintesis DNA oleh metabolit fluorourasil

Farmakokinetik

 Absorbsi : diserap dengan cepat dan baik melalui saluran cerna.Pemberian bersama
makanan memperlambat penyerapan tapi jumlah yang diserap tidak berkurang.
Penyerapan juga diperlambat pada pemberian bersama suspensi alumunium
hidroksida/magnesium hidroksida dan dengan neomisin.
 Distribusi :didistribusikan dengan baik ke seluruh jaringan dengan volume distribusi mendekati
total cairan tubuh.
 Ekskresi : 90% flusitosin akan dikeluarkan bersama melalui filtrasi glomerulu dalam bentuk utuh, kadar
dalam urin berkisar antara 200-500µg/ml.
 Kadar puncak dalam darah setelah pemberian per-oral dicapai 1-2 jam. Kadar ini lebih tinggi pada
penderita infusiensi ginjal.
 Masa paruh obat ini dalam serum pada orang normal antara 2,4-4.8 jam dan sedikit memanjang pada
bayi prematur tetapi dapat sangat memanjang pada penderita insufisiensi ginjal.

Efek samping

 Dapat menimbulkan anemia, leukopenia, dan trombositopenia, terutama pada penderita dengan
kelainan hematologik, yang sedang mendapat pengobatan radiasi atau obat yang menekan fungsi
tulang, dan penderita dengan riwayat pemakaian obat tersebut.
 Mual,muntah, diare dan enterokolitis yang hebat.
 Kira-kira 5% penderita mengalami peninggian enzim SGPT dan SGOT, hepatomegali.
 Terjadi sakit kepala, kebingungan, pusing, mengantuk dan halusinasi.
Indikasi

 infeksi sistemik, karena selain kurang toksik obat ini dapat diberikan per oral.
 Penggunaannya sebagai obat tunggal hanya diindikasikan pada kromoblastomikosis

Sediaan dan dosis

 Flusitosin tersedia dalam bentuk kapsul 250 dan 500 mg


 Dosis yang biasanya digunakan ialah 50-150 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam 4 dosis.

Ketokonazol.
Mekanisme kerja

 Seperti azole jenis yang lain, ketoconazole berinterferensi dengan biosintesis ergosterol, sehingga
menyebabkan perubahan sejumlah fungsi sel yang berhubungan dengan membran.
Farmakokinetik

 Absorbsi : diserap baik melalui saluran cerna dan menghasilkan kadar plasma yang cukup untuk
menekan aktivitas berbagai jenis jamur. Penyerapan melalui saluran cerna akan berkurang pada
penderita dengan pH lambung yang tinggi,pada pemberian bersama antasid.
 Distribusi : ketokonazol setelah diserap belum banyak diketahui.
 Ekskresi : Diduga ketokonazol diekskresikan bersama cairan empedu ke lumen usus dan hanya
sebagian kecil saja yang dikeluarkan bersama urin, semuanya dalam bentuk metabolit yang tidak aktif.
Efek samping

 Efek toksik lebih ringan daripada Amfoterisin B.


 Mual dan muntah merupakan ESO paling sering dijumpai
 ESO jarang : sakit kepala, vertigo, nyeri epigastrik, fotofobia, parestesia, gusi berdarah, erupsi kulit, dan
trombositopenia.
Indikasi

 Ketokonazol terutama efektif untuk histoplasmosis paru, tulang, sendi dan jaringan lemak.

Kehamilan dan laktasi


Obat ini sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil karena pada tikus, dosis 80 mg/kgBB/hari
menimbulkan cacat pada jari hewan coba tersebut.

Itrakonazol
Mekanisme kerja

 Seperti halnya azole yang lain, itraconazole berinterferensi dengan enzim yang dipengaruhi oleh
cytochrome P-450, 14(-demethylase. Interferensi ini menyebabkan akumulasi 14-methylsterol dan
menguraikan ergosterol di dalam sel-sel jamur dan kemudian mengganti sejumlah fungsi sel yang
berhubungan dengan membran
Farmakokinetik
 Itrakonazol akan diserap lebih sempurna melalui saluran cerna, bila diberikan bersama dengan
makanan. Dosis 100 mg/hari selama 15 hari akan menghasilkan kadar puncak sebesar 0,5 µg/ml.
 Waktu paruh eliminasi obat ini 36 jam (setelah 15 hari pemakaian).
Sediaan dan dosis

 Itrakonazol tersedia dalam kapsul 100 mg.


 Untuk dermatofitosis diberikan dosis 1 x 100mg/hari selama 2-8 minggu
 Kandidiasis vaginal diobati dengan dosis 1 x 200 mg/hari selama 3 hari.
 Pitiriasis versikolor memerlukan dosis 1 x 200 mg/hari selama 5 hari.
 Infeksi berat mungkin memerlukan dosis hingga 400 mg sehari.
Efek samping
 Kemerahan,
 pruritus,
 lesu,
 pusing,
 edema,
 parestesia
 10-15% penderita mengeluh mual atau muntah tapi pengobatan tidak perlu dihentikan
Indikasi

 Itrakonazol memberikan hasil memuaskan untuk indikasi yang sama dengan ketokonazol antara lain
terhadap blastomikosis, histoplasmosis, koksidiodimikosis, parakoksidioidomikosis, kandidiasis mulut
dan tenggorokan serta tinea versikolor.

Flukonazol
Farmakokinetik
 Obat ini diserap sempurna melalui saluran cerna tanpa dipengaruhi adanya makanan ataupun keasaman
lambung.
 Kadar puncak 4-8 µg dicapai setelah beberapa kali pemberian 100 mg.
 Waktu paruh eliminasi 25 jam sedangkan ekskresi melalui ginjal melebihi 90% bersihan ginjal.
Sediaan dan dosis
 Flukonazol tersedia untuk pemakaian per oral dalam kapsul yang mengandung 50 dan 150mg.
 Dosis yang disarankan 100-400 mg per hari.
 Kandisiasis vaginal dapat diobati dengan dosis tunggal 150 mg.
Efek samping
 Gangguan saluran cerna merupakan ESO paling banyak
 Reaksi alergi pada kulit, eosinofilia, sindrom stevensJohnson.
Indikasi

 Flukonazol dapat mencegah relaps meningitis oleh kriptokokus pada penderita AIDS setelah pengobatan
dengan Amfoterisin B. Obat ini juga efektif untuk pengobatan kandidiasis mulut dan tenggorokan pada
penderita AIDS.

Kalium Iodida

 Kalium Iodida adalah obat terpilih untuk Cutaneous lymphatic sporotrichosis

Efek samping
 mual
 rinitis
 salivasi
 lakrimasi
 rasa terbakar pada mulut dan tenggorok
 iritasi pada mata
 sialodenitis dan akne pustularis pada bagian atas bahu
DOSIS
 Kalium iodida diberikan dengan dosis 3 kali sehari 1 ml larutan penuh (1g/ml).
 Dosis ditingkatkan 1 ml sehari sampai maksimal 12-15 ml.
 Penyembuhan terjadi dalam 6-8 minggu, namun terapi masih dilanjutkan sampai sedikitnya 4 minggu
setelah lesi menghilang atau tidak aktif lagi

Anti jamur untuk infeksi topikal


 Griseofulvin
 Imidazol dan Triazol
 Tolnaftat
 Nistatin

Griseofulvin

 Griseofulvin adalah antibiotik anti jamur yang dihasilkan oleh sejumlah spesies Penicillium dan pertama
kali diperkenalkan adalah berbentuk obat oral yang diperuntukkan bagi pengobatan penyakit
dermatophytosis

Mekanisme Kerja
 Griseofulvin à kelompok obat fungistatis yang mengikat protein-potein mikrotubular dan berperan
untuk menghambat mitosis sel jamur.
 Selain itu, griseofulvin juga inhibitor (penghambat) bagi sintensis asam nukleat.
Farmakokinetik
 Griseofulvin kurang baik penyerapannya pada saluran cerna bagian atas karena obat ini tidak larut
dalam air.Penyerapan lebih mudah bila griseofulvin diberikan bersama makanan berlemak
 Dosis oral 0.5 hanya akan menghasilkan kadar puncak dalam plasma kira-kira 1 µg/ml setelah 4 jam.
 Obat ini mengalami metabolisme di hati dan metabolit utamanya adalah 6-metilgriseofulvin.
 Waktu paruh obat ini kira-kira 24 jam, 50% dari dosis oral yang diberikan dikeluarkan bersama urin
dalam bentuk metabolit selama 5 hari.
Efek samping
 Leukopenia dan granulositopenia à menghilang bila terapi dilanjutkan.
 Sakit kepala àkeluhan utama pada kira-kira 15% penderita yang biasanya hilang sendiri sekalipun
pemakaian obat dilanjutkan.
 artralgia, neuritis perifer, demam, pandangan mengabur, insomnia, berkurangnya kecakapan, pusing
dan sinkop, pada saluran cerna dapat terjadi rasa kering mulut, mual, muntah, diare dan flatulensi.
 Pada kulit dapat terjadi urtikaria, reaksi fotosensitivitas, eritema multiform, vesikula dan erupsi
menyerupai morbili.
Indikasi

 Efektif untuk infeksi jamur di kulit, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh jamur Microsporum,
Tricophyton, dan Epidermophyton.
Sediaan dan dosis
 Griseofulvin tersedia dalam bentuk tablet berisi 125 dan 500 mg dan suspesi mengandung 125 mg/ml.
 Pada anak griseofulvin diberikan 10 mg/kgBB/hari
 Untuk dewasa 500-1000 mg/hari dalam dosis tunggal.
 Hasil memuaskan akan tercapai bila dosis yang diberikan dibagi empat dan diberikan setiap 6 jam

Kontaindikasi

 Griseofulvin bersifat kontraindikasi pada pasien penderita penyakit liver karena obat ini menyebabkan
kerusakan fungsi hati

IMIDAZOL DAN TRIAZOL

 Anti jamur golongan imidazol mempunyai spektrum yang luas. Yang termasuk kelompok ini ialah
mikonazol, klotrimazol, ekonazol, isokonazol, tiokonazol, dan bifonazol.

MIKONAZOL

 Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif stabil, mempunyai spektrum ani jamur yang
lebar baik terhadap jamur sistemik maupun jamur dermatofit.
Mekanisme Kerja

 Mikonazol menghambat sintesis ergosterol yang menyebabkan permeabilitas membran sel jamur
meningkat
Farmakokinetik
 Daya absorbsi Miconazole melalui pengobatan oral kurang baik..
 Miconazole sangat terikat oleh protein di dalam serum. Konsentrasi di dalam CSF tidak begitu banyak,
tetapi mampu melakukan penetrasi yang baik ke dalam peritoneal dan cairan persendian.
 Kurang dari 1% dosis parenteral diekskresi di dalam urin dengan komposisi yang tidak berubah, namun
40% dari total dosis oral dieliminasi melalui kotoran dengan komposisi yang tidak berubah pula.
 Miconazole dimetabolisme oleh liver dan metabolitnya diekskresi di dalam usus dan urin. Tidak satupun
dari metabolit yang dihasilkan bersifat aktif
Indikasi

 Diindikasikan untuk dermatofitosis, tinea versikolor, dan kandidiasis mukokutan.


Efek samping

 Berupa iritasi dan rasa terbakar dan maserasi memerlukan penghentian terapi.
Sediaan dan dosis

 Obat ini tersedia dalam bentuk krem 2% dan bedak tabur yang digunakan 2 kali sehari selama 2-4
minggu.
Indikasi
 Krem 2 % untuk penggunaan intravaginal diberikan sekali sehari pada malam hari untuk mendapatkan
retensi selama 7 hari.
 Gel 2% tersedia pula untuk kandidiasis oral
http://kumpulan-farmasi.blogspot.co.id/2010/11/anti-jamur.html

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Ketika Minum Obat Antibiotik

Menurut Dirjen Bina Kefarmsian dan Alat Kesehatan, Sri Indrawaty, penggunaan antibiotik secara
bijak harus tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, dan tepat dosis serta mengetahui lama
pemberian obat. Untuk itulah berikut beberapa hal yang perlu mendapat perhatian ketika akan
menjalani pengobatan menggunakan antibiotika antara lain adalah sebagai berikut :

 Menggunakan pengobatan antibiotik atas resep dokter dan juga atas petunjuk dokter atau
medis.
 Dosis yang tertera dan juga aturan pakainya harus diikuti dengan taat sesuai dengan petunjuk
dokter ataupun penjelasan apoteker di apotek tempat kita membeli obat antibiotik itu.
 Pemberian antibiotika dan jenis macam obat antibiotika sendiri harus diminum terus sampai
habis meskipun gejala atau sakit yang diobati sudah sembuh.
 Bentuk-bentuk sedian antibiotik seperti sediaan antibiotik yang berbentuk sirup ( biasanya
untuk anak ) ada yang harus disimpan dalam suhu dingin ( di almari es, jangan di dalam
frezernya ).
 Jangan pernah gunakan antibiotika yang telah mengelami kadaluarsa atau yang sudah lama
disimpan di rumah.
 Bila memang ada sesuatu yang kurang jelas mengenai pemberian antibiotik ini, jangan segan
untuk bertanya kepada dokter atau bisa juga bertanya kepada apoteker yang bertugas di
apotik tempat kita membeli antibiotik tersebut.

ASUHAN KEPERAWATAN INFEKSI MIKOTIK

A. TINEA VERSICOLOR

Definisi

Tinea versikolor/Pityriasis versikolor adalah infeksi ringan yang sering terjadi disebabkan oleh
Malasezia furfur. Penyakit jamur kulit ini adalah penyakit yang kronik dan asimtomatik ditandai oleh
bercak putih sampai coklat yang bersisik. Kelainan ini umumnya menyerang badan dan kadang- kadang
terlihat di ketiak, sela paha,tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala.

Gambaran Klinis

Timbul bercak putih atau kecoklatan yang kadang-kadang gatal bila,berkeringat. Bisa pula tanpa
keluhan gatal sama sekali, tetapi penderita mengeluh karena malu oleh adanya bercak tersebut. Pada
orang kulit berwarna, lesi yang terjadi tampak sebagai bercak hipopigmentasi, tetapi pada orang yang
berkulit pucat maka lesi bisa berwarna kecoklatan ataupun kemerahan. Di atas lesi terdapat sisik halus.

Folikulitis

Merupakan bentuk klinis yang lebih berat, Malasezia furfur dapat tumbuh dalam jumlah banyak
pada folikel rambut dan kelenjar sebasea. Pada pemeriksaan histologis organisme tersebut terlihat
dilobang folikel bagian infudibulum saluran sebasea dan sering disekitar dermis. Folikel berdilatasi akibat
sumbatan dan terdiri dari debris keratin Secara klinis lesi terlihat eritem, papula folikular atau pustula
dengan ukuran 2-4 mm, distribusinya dipunggung, dada kadang-kadang dibahu, dengan leher dan rusuk.
Bentuknya yang lebih berat disebut Acneifonn folliculitis

Dacriosis obstructif

Malasezia furfur dapat membentuk koloni pada kelenjar lakrimalis, menyebabkan


pembengkakan dan obstruksi. Pada beberapa kasus terbentuk dakriolit, terjadi inflamasi dan
mengganggu produksi air mata.

Pengobatan

Tinea versikolor dapat diobati dengan berbagai obat yang manjur pakaian, kain sprei, handuk
harus dicuci dengan air panas. Kebanyakan pengobatan akan menghilangkan bukti infeksi aktif (skuama)
dalam waktu beberapa hari, tetapi untuk menjamin pengobatan yang tuntas pengobatan ketat ini harus
dilanjutkan beberapa minggu. Perubahan pigmen lebih lambat hilangnya. Daerah hipopigmentasi belum
akan tampak normal sampai daerah itu menjadi coklat kembali. Sesudah terkena sinar matahari lebih
lama daerah-daerah yang hipopigmentasi akan coklat kembali. Meskipun terapi nampak sudah cukup,
bila kambuh atau kena infeksi lagi merupakan hal biasa, tetapi selalu ada respon terhadap pengobatan
kembali. Tinea versikolor tidak memberi respon yang baikterhadap pengobatan dengan griseofulvin.
Obat-obat anti jamur yang dapat menolong misalnya salep whitfield, salep salisil sulfur (salep 2/4), salisil
spiritus, tiosulfatnatrikus (25%). Obat-obat baru seperti selenium sulfida 2% dalam shampo,
derivatimidasol seperti ketokonasol, isokonasol, toksilat dalam bentuk krim atau larutan dengan
konsentrasi 1-2% sangat berkhasiat baik.

B. OTOMIKOSIS

Otomikosis adalah infeksi jamur pada liang telinga bagian luar. Jamur dapat masuk ke dalam liang
telinga melalui alat-alat yang dipakai untuk mengorek-ngorek telinga yang terkontaminasi atau melalui
udara atau air. Penderita akan mengeluh merasa gatal atau sakit di dalam liang telinga. Pada liang
telinga akan tampak berwarna merah, ditutupi oleh skuama, dan kelainan ini ke bagian luar akan dapat
meluas sampai muara liang telinga dan daun telinga sebelah dalam. Tempat yang terinfeksi menjadi
merah dan ditutupi skuama halus. Bila meluas sampai ke dalam, sampai ke membrana timpani, maka
daerah ini menjadi merah, berskuama, mengeluarkan cairan srousanguinos. Penderita akan mengalami
gangguan pendengaran. Bila ada infeksi sekunder dapat terjadi otitis ekstema. Penyebab biasanya jamur
kontaminasi yaituAspergillus, sp Mukor dan Penisilium.

Diagnosa

Diagnosa didasarkan pada :

1. Gejala klinik

Yang khas, terasa gatal atau sakit diliang telinga dan daun telinga menjadi merah, skuamous dan dapat
meluas ke dalam liang telinga sampai 2/3 bagian luar.

2 .Pemeriksaan Laboratorium

Preparat langsung: Skuama dari kerokan kulit Jiang telinga diperiksa dengan KOH 10% akan tampak
hifa-hifa lebar, berseptum dan kadang-kadang dapat ditemukan spora-spora kecil dengan diameter 2-3
u. Pembiakan: Skuama dibiak pada media Sabauroud dekst ditemukan dekstrosa agar dan dikeram
pada temperatur kamar. Koloni akan tumbuh dalam satu minggu berupa koloni filamen berwarna putih.
Dengan mikroskop tampak hifa-hifa lebar dan pada ujung-ujung hifa dapat ditemukan sterigma dan
spora berjejer melekat pada permukaannya.

Pengobatan

Pengobatan ditujukan menjaga agar liang telinga tetap kering jangan lembab dan jangan mengorek-
ngorek telinga dengan barang-barang yang kotor seperti korek api, garukan telinga atau kapas. Kotoran-
kotoran telinga harus selalu dibersihkan. Larutan timol 2% dalam spiritus dilutus (alkohol 70%) atau
meneteskan larutan burowi 5% satu atau dua tetes dan selanjutnya dibersihkan dengan desinfektan
biasanya memberi hasil pengobatan yang memuaskan. Neosporin dan larutan gentien violet 1-2% juga
dapat menolong.

C. TINEA NIGRA

Tinea nigra ialah infeksi jamur superfisialis yang biasanya menyerang kulit telapak kaki dan
tangan dengan memberikan warna hitam sampai coklat pada kulit yang terserang. Makula yang terjadi
tidak menonjol pada permukaan kulit, tidak terasa sakit dan tidak ada tanda-tanda radang. Kadang-
kadang makula ini dapat meluas sampai ke punggung, kaki dan punggung tangan, bahkan dapat
menyebar sampai dileher, dada dan muka.Gambaran efloresensi ini dapat berupa polosiklis, arsiner
dengan warna hitam atau coklat hampir sama seperti setetes nitras argenti yang diteteskan pada kulit.
Penyebabnya adalah Kladosporium wemeki dan jamur ini banyak menyerang anak anak dengan higiene
kurang baik dan orang-orang yang banyak berkeringat.
Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

1.Gejala klinis ng khas

2. Pemeriksaan laboratorium

Preparat langsung : kerokan kulit dengan KOH 10% akan menunjukkan adanyahifa dan spora
yang tersebar di dalam gel-gel epitel, besar hifa berkisar 3-5 u dan spora berkisar 1-2u. Pembiakan :
Pembiakan skuama pada media Sabauroud glukosa agar (SGA), dikeram pada temperatur kamar. Dalam
1-2 minggu akan tumbuh koloni menyerupai ragi, berwarna hijau dan pada bagian tepinya tumbuh
daerah yang filamentous berwarna coklat. Pada pemerikasaan mikroskopis tampak hifa halus
bercabang, mengkilat dan spora-spora yang lonjong.

Pengobatan

Pengobatan dengan obat-obat anti jamur banyak menolong. Salep whitfield I dan II atau salep
sulfursalisil juga dapat menolong. Obat-obat anti jamur, preparat preparat imidazol seperti isokotonasol,
bifonasol, klotrirnasol juga berkhasiat baik.

D. TINEA KAPITIS

Biasanya penyakit ini banyak menyerang anak-anak dan sering ditularkan melalui binatang- binatang
peliharaan seperti kucing, anjing dan sebagainya. berdasarkan bentuk yangkhas Tinea Kapitis dibagi
dalam 4 bentuk :

1. Gray pacth ring worm

Penyakit ini dimulai dengan papel merah kecil yang melebar ke sekitarnya dan membentuk
bercak yang berwarna pucat dan bersisik. Warna rambut jadi abu-abu dan tidak mengkilat lagi, serta
mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga menimbulkan alopesia setempat. Dengan
pemeriksaan sinar wood tampak flourisensi kekuning-kuningan pada rambut yang sakit melalui batas
"Grey pacth" tersebut. Jenis ini biasanya disebabkan spesies mikrosporon dan trikofiton.

2. Black dot ring worm

Terutama disebabkan oleh Trikofiton Tonsurans, T. violaseum, mentagrofites. infeksi jamur


terjadi di dalam rambut (endotrik) atau luar rambut (ektotrik) yang menyebabkan rambut putus tepat
pada permukaan kulit kepala. Ujung rambut tampak sebagai titik-titik hitam diatas permukaan ulit, yang
berwarna kelabu sehingga tarnpak sebagai gambaran ” back dot". Biasanya bentuk ini terdapat pada
orang dewasa dan lebih sering pada wanita. Rambut sekitar lesi juga jadi tidak bercahaya lagi
disebabkan kemungkinan sudah terkena infeksi penyebab utama adalah Trikofiton tonsusurans dan
T.violaseum.

3. Kerion

Bentuk ini adalah yang serius, karena disertai dengan radang yang hebat yang bersifat lokal,
sehingga pada kulit kepala tampak bisul-bisul kecil yang berkelompok dan kadang-kadang ditutupi sisik-
sisik tebal. Rambut di daerah ini putus-putus dan mudah dicabut. Bila kerion ini pecah akan
meninggalkan suatu daerah yang botak permanen oleh karena terjadi sikatrik. Bentuk ini terutama
disebabkan oleh Mikosporon kanis, M.gipseum , T.tonsurans dan T. Violaseum.

4.Tinea favosa

Kelainan di kepala dimulai dengan bintik-bintik kecil di bawah kulit yang berwarna merah
kekuningan dan berkembang menjadi krusta yang berbentuk cawan (skutula), serta memberi bau busuk
seperti bau tikus "moussy odor". Rambut di atas skutula putus-putus dan mudah lepas dan tidak
mengkilat lagi. Bila menyembuh akan meninggalkan jaringan parut dan alopesia yang permanen.
Penyebab utamanya adalah Trikofiton schoenleini, T. violasum dan T. gipsum. Oleh karena Tinea kapitis
ini sering menyerupai penyakit-penyakit kulit yang menyerang daerah kepala, maka penyakit ini harus
dibedakan dengan penyakit penyakit bukan oleh jamur seperti: Psoriasis vulgaris dan Dermatitis
seboroika.

E. TINEA KORPORIS

Penyakit ini banyak diderita oleh orang-orang yang kurang mengerti kebersihan dan banyak bekerja
ditempat panas, yang banyak berkeringat serta kelembaban kulit yang lebih tinggi. Predileksi biasanya
terdapat dimuka, anggota gerak atas, dada, punggung dan anggota gerak bawah. Bentuk yang klasik
dimulai dengan lesi-lesi yang bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif. Dengan perkembangan ke arah
luar maka bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya dapat memberi gambaran yang polisiklis, arsiner,
atau sinsiner. Pada bagian tepi tampak aktif dengan tanda-tanda eritema, adanya papel-papel dan
vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang. Bila tinea korporis ini menahun tanda-
tanda aktif jadi menghilang selanjutnya hanya meningggalkan daerah-daerah yang hiperpigmentasi saja.
Kelainan-kelainan ini dapat teIjadi bersama-sama dengan Tinea kruris. Penyebab utamanya adalah :
T.violaseum, T.rubrum, T.metagrofites. Mikrosporon gipseum, M.kanis, M.audolini.

F. TINEA KRURIS

Penyakit ini memberikan keluhan perasaan gatal yang menahun, bertambah hebat bila disertai
dengan keluarnya keringat. Kelainan yang timbul dapat bersifat akut atau menahun. Kelainan yang akut
memberikan gambaran yang berupa makula yang eritematous dengan erosi dan kadang-kadang terjadi
ekskoriasis. Pinggir kelainan kulit tampak tegas dan aktif. Apabila kelainan menjadi menahun maka
efloresensi yang nampak hanya macula yang hiperpigmentasi disertai skuamasi dan likenifikasi.
Gambaran yang khas adalah lokalisasi kelainan, yakni daerah lipat paha sebelah dalam, daerah perineum
dan sekitar anus. Kadang-kadang dapat meluas sampai ke gluteus, perot bagian bawah dan bahkan
dapat sampai ke aksila. Penyebab utama adalah Epidermofiton flokkosum, Trikofiton rubrum dan
T.mentografites.

G. TINEA MANUS DAN TINEA PEDIS

Tinea pedis disebut juga Athlete's foot = "Ring worm of the foot". Penyakit ini sering menyerang
orang-orang dewasa yang banyak bekerja di tempat basah seperti tukang cuci, pekerja-pekerja di sawah
atau orang-orang yang setiap hari harus memakai sepatu yang tertutup seperti anggota tentara. Keluhan
subjektif bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai rasa gatal yang hebat dan nyeri bila ada infeksi
sekunder.

Ada 3 bentuk Tinea pedis

1. Bentuk intertriginosa

keluhan yang tampak berupa maserasi, skuamasi serta erosi, di celah-celah jari terutama jari IV
dan jari V. Hal ini terjadi disebabkan kelembaban di celah-ceIah jari tersebut membuat jamur-jamur
hidup lebih subur. Bila menahun dapat terjadi fisura yang nyeri bila kena sentuh. Bila terjadi infeksi
dapat menimbulkan selulitis atau erisipelas disertai gejala-gejala umum.

2. Bentuk hyperkeratosis

Disini lebih jelas tampak ialah terjadi penebalan kulit disertai sisik terutama ditelapak kaki, tepi
kaki dan punggung kaki. Bila hiperkeratosisnya hebat dapat terjadi fisura-fisura yang dalam pada bagian
lateral telapak kaki.

3. Bentuk vesikuler subakut

Kelainan-kelainan yang timbul di mulai pada daerah sekitar antar jari, kemudian meluas ke
punggung kaki atau telapak kaki. Tampak ada vesikel dan bula yang terletak agak dalam di bawah kulit,
diserta perasaan gatal yang hebat. Bila vesikelvesikel ini memecah akan meninggalkan skuama
melingkar yang disebut Collorette. Bila terjadi infeksi akan memperhebat dan memperberat keadaan
sehingga dapat terjadi erisipelas. Semua bentuk yang terdapat pada Tinea pedis, dapat terjadi pada
Tinea manus, yaitu dermatofitosis yang menyerang tangan. Penyebab utamanya ialah : T .rubrum, T
.mentagrofites, dan Epidermofiton flokosum.

H. TINEA UNGUIUM

Penyakit ini dapat dibedakan dalam 3 bentuk tergantung jamur penyebab dan permulaan dari
dekstruksi kuku. Subinguinal proksimal bila dimulai dari pangkal kuku, Subinguinal distal bila di mulai
dari tepi ujung dan Leukonikia trikofita bila di mulai dari bawah kuku. Permukaan kuku tampak suram
tidak mengkilat lagi, rapuh dan disertai oleh subungual hiperkeratosis. Dibawah kuku tampak adanya
detritus yang banyak mengandung elemen jamur. Onikomikosis ini merupakan penyakit jamur yang
kronik sekali, penderita minta pertolongan dokter setelah menderita penyakit ini setelah beberapa lama,
karena penyakit ini tidak memberikan keluhan subjektif, tidak gatal, dan tidak sakit. Kadang-kadang
penderita baru datang berobat setelah seluruh kukunya sudah terkena penyakit. Penyebab utama
adalah : T.rubrum, T.metagrofites

I. TINEA BARBAE

Penderita Tinea barbae ini biasanya mengeluh rasa gatal di daerah jenggot, jambang dan kumis,
disertai rambut-rambut di daerah itu menjadi putus. Ada 2 bentuk yaitu superfisialis dan kerion

Superfisialis

Kelainan-kelainan berupa gejala eritem, papel dan skuama yang mula-mula kecil selanjutnya
meluas ke arab luar dan memberi gambaran polisiklik, dengan bagian tepi yang aktif. Biasanya gambaran
seperti ini menyerupai tinea korporis.

Kerion

Bentuk ini membentuk lesi-lesi yang eritematous dengan ditutupi krusta atau abses kecil dengan
permukaan membasah oleh karena erosi.

J. TINEA IMBRIKATA

Penyakit ini adalah bentuk yang khas dari Tinea korporis yang disebabkan oleh Trikofiton
konsentrikum. Gambaran klinik berupa makula yang eritematous dengan skuama yang melingkar.
Apabila diraba terasa jelas skuamanya menghadap ke dalam. Pada umumnya pada bagian tengah dari
lesi tidak menunjukkan daerah yang lebih tenang, tetapi seluruh makula ditutupi oleh skuama yang
melingkar.

Pengobatan

A. Pengobatan Pencegahan :

1. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan maserasi. Jika faktor-faktor lingkungan
ini tidak diobati, kemungkinan penyembuhan akan lambat. Daerah intertrigo atau daerah antara jari-jari
sesudah mandi harus dikeringkan betul dan diberi bedak pengering atau bedak anti jamur.

2. Alas kaki harus pas betul dan tidak terlalu ketat.


3. Pasien dengan hiperhidrosis dianjurkan agar memakai kaos dari bahan katun yang menyerap keringat,
jangan memakai bahan yang terbuat dari wool atau bahan sintetis.

4. Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dengan air panas.

B. Terapi lokal :

Infeksi pada badan dan lipat paha dan lesi-lesi superfisialis, di daerah jenggot, telapak tangan
dan kaki, biasanya dapat diobati dengan pengobatan topikal saja.

1. Lesi-lesi yang meradang akut yang acta vesikula dan acta eksudat harus dirawat dengan kompres
basah secara terbuka, dengan berselang-selang atau terus menerus. Vesikel harus dikempeskan tetapi
kulitnya harus tetap utuh.

2. Toksilat, haloprogin, tolnaftate dan derivat imidazol seperti mikonasol, ekonasol, bifonasol,
kotrimasol dalam bentuk larutan atau krem dengan konsentrasi 1-2% dioleskan 2 x sehari akan
menghasilkan penyembuhan dalam waktu 1-3 minggu.

3. Lesi hiperkeratosis yang tebal, seperti pada telapak tangan atau kaki memerlukan terapi lokal dengan
obat-obatan yang mengandung bahan keratolitik seperti asam salisilat 3-6%. Obat ini akan
menyebabkan kulit menjadi lunak dan mengelupas. Obat-obat keratolotik dapat mengadakan sensitasi
kulit sehingga perlu hati-hati kalau menggunakannya.

4. Pengobatan infeksi jamur pada kuku, jarang atau sukar untuk mencapai kesembuhan total. Kuku yang
menebal dapat ditipiskan secara mekanis misalnya dengan kertas amplas, untuk mengurangi keluhan-
keluhan kosmetika. Pemakaian haloprogin lokal atau larutan derivat asol bisa menolong. Pencabutan
kuku jari kaki dengan operasi, bersamaan dengan terapi griseofulvin sistemik, merupakan satu-satunya
pengobatan yang bisa diandalkan terhadap onikomikosis jari kaki.

C. Terapi sistemik

Pengobatan sistemik pada umumnya mempergunakan griseofulvin. Griseofulvin adalah suatu


antibiotika fungisidal yang dibuat dari biakan spesies penisillium. Obat ini sangat manjur terhadap segala
jamur dermatofitosis. Griseofulvin diserap lebih cepat oleh saluran pencernaan apabila diberi bersama-
sama dengan makanan yang banyak mengandung lemak, tetapi absorpsi total setelah 24 jam tetap dan
tidak dipengaruhi apakah griseofulvin diminum bersamaan waktu makan atau diantara waktu makan.
Dosis rata-rata orang dewasa 500 mg per hari. Pemberian pengobatan dilakukan 4 x sehari , 2 x sehari
atau sekali sehari. Untuk anak-anak dianjurkan 5 mg per kg berat badan dan lamanya pemberian adalah
10 hari. Salep ketokonasol dapat diberikan 2 x sehari dalam waktu 14 hari.
ASUHAN KEPERAWATAN
INFEKSI MIKOTIK

Asuhan keperawatan (askep) pada klien gangguan integumen, seperti kusta, skabies, tinea
(jamur) umumnya belum ada rencana asuhan keperawatan khusus dan belum banyak ditemukan pada
buku ajar. Beberapa askep integumen yang sudah baku dan dapat kita temukan pada beberapa literatur
antara lain adalah askep luka baker dan askep psoriasis. Sehingga askep kulit abnormal dapat digunakan
sebagai acuan dalam menyusun rencana keperawatan pada klien yang mengalami gangguan integumen,
tentunya disesuaikan dengan data yang ditemukan pada pengkajian.

A. PENGKAJIAN

Riwayat kesehatan dan observasi langsungsg memberikan infomasi mengenai persepsi klien terhadap
dermatosis, bagaimana kelainan kulit dimulai?, apa pemicu?, apa yang meredakan atau mengurangi
gejala?, termasuk masalah fisik/emosional yang dialami klien?. Pengkajian fisik harus dilakukan secara
lengkap.

B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN

1. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi


barier kulit.

2. Nyeri dan rasa gatal berhubungan dengan lesi kulit.

3.Gangguan pola tidur berhubungan dengan pruritus.

4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus.

5. Kurang pengetahuan tentang program terapi berhubungan dengan inadekuat informasi.

Masalah Kolaboratif/Komplikasi

Masalah kolaboratif/komplikasi yang dapat terjadi pada klien dermatosis adalah infeksi.

C. TUJUAN INTERVENSI/IMPLEMENTASI
Tujuan askep dermatosis adalah terpeliharanya integritas kulit, meredakan gangguan rasa nyaman:
nyeri, tercapainya tidur yang nyenyak, berkembangnya sikap penerimaan terhadap diri, diperolehnya
pengetahuan tentang perawatan kulit dan tidak adanya komplikasi.

Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit.

1. Lindungi kulit yang sehat dari kemungkinan maserasi (hidrasi stratum korneum yg

berlebihan) ketika memasang balutan basah.

Rasional: Maserasi pada kulit yang sehat dapat menyebabkan pecahnya kulit dan

perluasan kelainan primer.

2. Hilangkan kelembaban dari kulit dengan penutupan dan menghindari friksi.

Rasional: Friksi dan maserasi memainkan peranan yang penting dalam proses

terjadinya sebagian penyakit kulit.

3. Jaga agar terhindar dari cidera termal akibat penggunaan kompres hangat dengan

suhu terllalu tinggi & akibat cedera panas yg tidak terasa (bantalan pemanas,

radiator).

Rasional: Penderita dermatosis dapat mengalami penurunan sensitivitas terhadap

panas.

4. Nasihati klien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.

Rasional: Banyak masalah kosmetik pada hakekatnya semua kelainan malignitas

kulit dapat dikaitkan dengan kerusakan kulit kronik.

Kriteria keberhasilan implementasi.

1. Mempertahakan integritas kulit.

2. Tidak ada maserasi.

3. Tidak ada tanda-tanda cidera termal.

4. Tidak ada infeksi.

5. Memberikan obat topikal yang diprogramkan.

6. Menggunakan obat yang diresepkan sesuai jadual.


Nyeri dan rasa gatal berhubungan dengan lesi kulit.

1. Temukan penyebab nyeri/gatal

Rasional: Membantu mengidentifikasi tindakan yang tepat untuk memberikan

kenyamanan.

2. Catat hasil observasi secara rinci.

Rasional: Deskripsi yang akurat tentang erupsi kulit diperlukan untuk diagnosis

dan pengobatan.

3. Antisipasi reaksi alergi (dapatkan riwayat obat).

Rasional: Ruam menyeluruh terutama dengan awaitan yang mendadak dapat

menunjukkan reaksi alergi obat.

4. Pertahankan kelembaban (+/- 60%), gunakan alat pelembab.

Rasional: Kelembaban yang rendah, kulit akan kehilangan air.

5. Pertahankan lingkungan dingin.

Rasional: Kesejukan mengurangi gatal.

6. Gunakan sabun ringan (dove)/sabun yang dibuat untuk kulit yang sensitif

Rasional: Upaya ini mencakup tidak adanya detergen, zat pewarna.

7. Lepaskan kelebihan pakaian/peralatan di tempat tidur

Rasional: Meningkatkan lingkungan yang sejuk.

8. Cuci linen tempat tidur dan pakaian dengan sabun.

Rasional: Sabun yang “keras” dapat menimbulkan iritasi.

9. Hentikan pemajanan berulang terhadap detergen, pembersih dan pelarut.

Rasional: Setiap subtansi yang menghilangkan air, lipid, protein dari epidermis

akan mengubah fungsi barier kulit

10. Kompres hangat/dingin.

Rasional: Pengisatan air yang bertahap dari kasa akan menyejukkan kulit dan

meredakan pruritus.
11. Mengatasi kekeringan (serosis).

Rasional: Kulit yang kering meimbulkan dermatitis: redish, gatal.lepuh, eksudat.

12. Mengoleskan lotion dan krim kulit segera setelah mandi.

Rasional: Hidrasi yang cukup pada stratum korneum mencegah gangguan lapisan

barier kulit.

13. Menjaga agar kuku selalu terpangkas (pendek).

Rasional: Mengurangi kerusakan kulit akibat garukan

14. Menggunakan terapi topikal.

Rasional: Membantu meredakan gejala.

15. Membantu klien menerima terapi yang lama.

Rasional: Koping biasanya meningkatkan kenyamanan.

16. Nasihati klien untuk menghindari pemakaian salep /lotion yang dibeli tanpa resep

Dokter.

R: Masalah klien dapat disebabkan oleh iritasi/sensitif karena pengobatan sendiri

Kriteria keberhasilan implementasi.

1. Mencapai peredaan gangguan rasa nyaman: nyeri/gatal.

2. Mengutarakan dengan kata-kata bahwa gatal telah reda.

3. Memperllihatkan tidak adanya gejala ekskoriasi kulit karena garukan.

4. Mematuhi terapi yang diprogramkan.

5. Pertahankan keadekuatan hidrasi dan lubrikasi kulit.

6. Menunjukkan kulit utuh dan penampilan kulit yang sehat .

Gangguan pola tidur berhubungan dengan pruritus.

1. Nasihati klien untuk menjaga kamar tidur agar tetap memiliki ventilasi dan

kelembaban yang baik.

Rasional: Udara yang kering membuat kulit terasa gatal, lingkungan yang nyaman
meningkatkan relaksasi.

2. Menjaga agar kulit selalu lembab.

Rasional: Tindakan ini mencegah kehilangan air, kulit yang kering dan gatal

biasanya tidak dapat disembuhkan tetapi bisa dikendalikan.

3. Mandi hanya diperlukan, gunakan sabun lembut, oleskan krim setelah mandi.

Rasional: memelihara kelembaban kulit

4. Menjaga jadual tidur yg teratur.

5. Menghindari minuman yang mengandung kafein menjelang tidur.

Rasional: kafein memiliki efek puncak 2-4 jam setelah dikonsumsi.

6. Melaksanakan gerak badan secara teratur.

Rasional: memberikan efek menguntungkan bila dilaksanakan di sore hari.

7. Mengerjakan hal ritual menjelang tidur.

Rasional: Memudahkan peralihan dari keadaan terjaga ke keadaan tertidur.

Kriteria Keberhasilan Implementasi

1. Mencapai tidur yang nyenyak.

2. Melaporkan gatal mereda.

3. Mempertahankan kondisi lingkungan yang tepat.

4. Menghindari konsumsi kafein.

5. Mengenali tindakan untuk meningkatkan tidur.

6. Mengenali pola istirahat/tidur yang memuaskan.

Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus.

1. Kaji adanya gangguan citra diri (menghindari kontak mata,ucapan merendahkan

diri sendiri.

Rasional: Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit/keadaan yang

tampak nyata bagi klien, kesan orang terhadap dirinya berpengaruh terhadap
konsep diri.

2. Identifikasi stadium psikososial terhadap perkembangan.

Rasional: Terdapat hubungan antara stadium perkembangan, citra diri dan reaksi

serta pemahaman klien terhadap kondisi kulitnya.

3. Berikan kesempatan pengungkapan perasaan.

Rasional: klien membutuhkan pengalaman didengarkan dan dipahami.

4. Nilai rasa keprihatinan dan ketakutan klien, bantu klien yang cemas

mengembangkan kemampuan untuk menilai diri dan mengenali masalahnya.

Rasional: Memberikan kesempatan pada petugas untuk menetralkan kecemasan

yang tidak perlu terjadi dan memulihkan realitas situasi, ketakutan merusak

adaptasi klien .

5. Dukung upaya klien untuk memperbaiki citra diri , spt merias, merapikan.

Rasional: membantu meningkatkan penerimaan diri dan sosialisasi.

6. Mendorong sosialisasi dengan orang lain.

Rasional: membantu meningkatkan penerimaan diri dan sosialisasi.

Kriteria Keberhasilan Implementasi

1. Mengembangkan peningkatan kemauan untuk menerima keadaan diri.

2. Mengikuti dan turut berpartisipasi dalam tindakan perawatan diri.

3. Melaporkan perasaan dalam pengendalian situasi.

4. Menguatkan kembali dukungan positif dari diri sendiri.

5. Mengutarakan perhatian terhadap diri sendiri yang lebih sehat.

6. Tampak tidak meprihatinkan kondisi.

7. Menggunakan teknik penyembunyian kekurangan dan menekankan teknik untuk

meningkatkan penampilan

Kurang pengetahuan tentang program terapi

1. Kaji apakah klien memahami dan salah mengerti tentang penyakitnya.


Rasional: memberikan data dasar untuk mengembangkan rencana penyuluhan

2. Jaga agar klien mendapatkan informasi yang benar, memperbaiki kesalahan

konsepsi/informasi.

Rasional: Klien harus memiliki perasaan bahwa sesuatu dapat mereka perbuat,

kebanyakan klien merasakan manfaat.

3. Peragakan penerapan terapi seperti, kompres basah, obat topikal.

Rasional: memungkinkan klien memperoleh cara yang tepat untuk melakukan

terapi.

4. Nasihati klien agar kulit teap lembab dan fleksibel dengan tindakan hidrasi dan

pengolesan krim serta losion kulit.

Rasional: stratum korneum memerlukan air agar tetap fleksibel. Pengolesan

krim/lotion akan melembabkan kulit dan mencegah kulit tidak kering, kasar, retak

dan bersisik.

5. Dorong klien untuk mendapatkan nutrisi yang sehat.

Rasional: penampakan kulit mencerminkan kesehatan umum seseorang,

perubahan pada kulit menandakan status nutrisi yang abnormal.

Kriteria Keberhasilan Implementasi

1. Memiliki pemahaman terhadap perawatan kulit.

2. Mengikuti terapi dan dapat menjelaskan alasan terapi.

3 Melaksanakan mandi, pembersihan dan balutan basah sesuai program.

4. Menggunakan obat topikal dengan tepat.

5. Memahami pentingnya nutrisi untuk kesehatan kulit.

Mencegah Infeksi

1. Miliki indeks kecurigaan yang tinggi terhadap suatu infeksi pada klien yang sistem

kekebalannya terganggu.

Rasional: setiap keadaan yg mengganggu imun akan memperbesar risiko infeksi


kulit.

2. Berikan petunjuk yang jelas dan rinci kepada klien mengenai program terapi.

Rasional: Pendidikan klien yang efektif bergantung pada keterampilan

interpesonal profesional kesehatan dan pada pemberian instruksi yang jelas.

3. Laksanakan kompres basah sesuai program untuk mengurangi intensitas inflamasi.

Rasional: vasokonstriksi pembuluh darah kulit dapat mengurangi eritema dan

membantu debridemen vesikel dan krusta serta mengendalikan inflamasi.

4. Sediakan terapi rendaman sesuai program.

Rasional: melepas eksudat dan krusta.

5. Berikan antibiotik sesuai order.

Rasional: membunuh dan mencegah pertumbuhan mikroorganisme.

6. Gunakan obat topikal yang mengandung kortikosteroid sesuai order.

Rasional: memiliki kerja antiinflamasi, sehingga mampu menimbulkan

vasokonstriksi pd pembuluh darah kecil dalam dermis lapisan atas.

7. Nasihati klien untuk menghentikan pemakaian setiap obat kulit yang

memperburuk masalah.

Rasional: dermatitis kontan atau reaksi alergi dapat terjadi akibat setiap unsur yang ada dalam obat
tersebut.

Kriteria Keberhasilan Implementasi

1. Tetap bebas dari infeksi.

2. Mengungkapkan tindakan perawatan kulit yang meningkatkan kebersihan dan

mencegah kerusakan kulit.

3. Mengidentifkasi tanda dan gejala infeksi.

4. Mengidentifikasi efek kerugian obat

5. Berpartisipasi dalam tindakan perawatan kulti: ganti balutan, mandi.

http://asuhankeperawatanonline.blogspot.co.id/2012/02/asuhan-keperawatan-infeksi-mikotik.html
ANTI VIRUS

Obat AntiVirus

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Virus ( Sansk, visham = racun ) adalah mikroorganisme hidup yang terkecil ( besarnya 20-300 mikron ),
kecuali prion, yaitu virus penyebab penyakit sapi gila BSE dan p. Creutzfeldt-Jakob yang k.l. 100 kali lebih
kecil. Virus hanya dapat dilihat dengan mikroskop-elektron ( dengan pembesaran maksimal 200.000 kali
) dan tidak dengan mikroskop biasa ( dengan pembesaran maksimal 4.000 kali ).

Virus adalah jasad biologis, bukan hewan, bukan tanaman, tanpa struktur sel dan tidak berdaya untuk
hidupdan memperbanyak diri secara mandiri. Virus merupakan parasit yang hanya dapat hidup di dalam
sel-sel yang dimasukinya. Di situ virus memperbanyak diri dengan jalan mengambil-alih seluruh
metabolismenya. Akhirnya, sel-sel tersebut mati.

Virus hanya dapat ditanggulangi oleh antibodies selama masih berada di dalam darah. Bila virus sudah
masuk ke dalam sel, segera system-interferon dengan khasiat antiviralnya turun tangan, lazimnya dalam
beberapa jam setelah dimulainya infeksi. Interferon adalah protein yang dibentuk oleh sel-sel terinfeksi
virus dengan maksud melindungi sel-sel lain terhadap penyebaran infeksi .

Virus tidak bisa membiak lagi dalam sel-sel yang telah berkontak dengan interferon. Selama bertahun –
tahun terdapat anggapan bahwa sangatlah sulit untuk mendapatkan kemoterapi antivirus dengan
selektivitas yang tinggi. Siklus replikasi virus yang dianggap sangat mirip dengan metabolisme normal
manusia menyebabkan setiap usaha untuk menekan reproduksi virus juga dapat membahayakan sel
yang terinfeksi.

Bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan pengertian yang lebih dalam mengenai
tahap-tahap spesifik dalam replikasi virus sebagai target kemoterapi antivirus, semakin jelas bahwa
kemoterapi pada infeksi virus dapat dicapai dan reproduksi virus dapat ditekan dengan efek yang
minimal pada sel hospes.

Siklus replikasi virus secara garis besar dapat dibagi menjadi 10 langkah: adsorpi virus ke sel (pengikatan
, attachment), penetrasi virus ke sel, uncoating (dekapsidasi), transkripsi tahap awal, translasi tahap
awal, replikasi genom virus, trankripsi tahap akhir, assembly virus dan penglepasan virus. HIV juga
mengalami tahapan-tahapan diatas dengan beberapa modifikasi yaitu pada transkripsi awal (tahap4)
yang diganti dengan reverse transcription; translasi awal (tahap5) diganti dengan integrasi; dan tahap
akhir (assembly dan penglepasan) terjadi bersamaan sebagai proses “ budding “ dan diikuti dengan
maturasi virus. Semua tahap ini dapat menjadi target intervensi kemoterapi.
Selain dari pada tahapan yang spesifik pada replikasi virus, ada sejumlah enzim hospes dan proses-
proses yang melibatkan sel hospes yang berperan dalam sintesis protein virus. Semua proses ini juga
dapat dipertimbangkan sebagai target kemoterapi antivirus.

B. Tujuan

• Dapat mengetahui pengertian dan mekanisme kerja antivirus.


• Dapat mengetahui penggolongan obat – obat antivirus.

C. Manfaat

Makalah ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa yang sedang dalam proses pembelajaran kerja obat-obat
antivirus.

BAB II
PEMBAHASAN

Empat golongan antivirus yang akan dibahas dalam dua bagian besar pembahasan yaitu mengenai
antinonretrovirus dan antiretrovirus. Klasifikasi penggolongan obatantvirus adalah :
1. Antinonretovirus
- Antivirus untuk herpers
- Antivirus untuk influenza
- Antivirus untuk HBV dan HCV
2. Antiretrovirus
- Nukleuside reverse transcriptase inhhibiror (NRTI)
- Nukleuside reverse transcriptase inhhibiror (NtRTI)
- NNRTI (non neokleoside reverse transcriptase inhibitor)
- Protease inhibitor (PI)
- Viral entry inhibitor.
GOLONGAN OBAT ANTI NONRETROVIRUS

1. ANTIVIRUS UNTUK HERPES

Virus hervers dihubungkan dengan spectrum luas penyakit-penyakit, yaitu bisul dingin, essence valitis,
dan infeksi genital, yang terakhir merupakan bahaya untuk bayi baru lahir selama persalinan. Obat-obat
yang efektif terhadap virus ini bekerja selama fase akut infeksi virus dan tidak memberikan efek pada
fase laten. Kecuali foskarnet, obat-obat tersebut adalah analokpurin atau pirimidin yang menghambat
sintesis virus DNA.

A. Asiklovir

Asiklovir merupakan obat antivirus yang paling banyak digunakan karena efektif terhadap virus hervers.

1. Mekanisme kerja : Asiklovir, suatu analog guanosin yang tidak mempunyai gugs glukosa, mengalami
monofosforilasi dalam sel oleh enzim yang di kode hervers virus, timidin kinase. Karena itu, sel-sel yang
di infeksi virus sangat rentan. Analok monofofat diubah ke bentuk di-dan trifosfat oleh sel pejamu.
Trifosfat asiklovir berpacu dengan deoksiguanosin trifosfat (dGTP) sebagai suatu subsrat untuk DNA
polymerase dan masuk ke dalam DNA virus yang menyebabkan terminasi rantai DNA yang premature.
Ikatan yan irrevelsibel dari template primer yang mengandung aseklopir ke DNA polymerase
melumpuhkan enzim. Zat ini kurang efektif terhadap enzim penjamu.

2. Resistensi: Timidin kinase yang sudah berubah atau berkurang dan polymerase DNA telah ditemukan
dalam beberapa strain virus yang resisten. Resistensi terhadap asiklovir disebabkan oleh mutasi pada
gen timidin kinase virus atau pada gen DNA polymerase.

mekanisme kerja analog purin dan pirimidin : asiklovir dimetabolisme oleh enzim kinase virus menjadi
senyawa intermediet. Senyawa intermediet asiklovir(dan obat obat seperti idosuridin,
sitarabin,vidaradin, dan zidovudin) dimetabolisme lebih lanjut oleh enzim kinase sel hospes menjadi
analog nukleotida, yang bekerja menghambat replikasi virus.

3. Indikasi : infeksi HSV-1 dan HSV-2 baik local maupun sistemik (termasuk keratitis herpetic, herpetic
ensefalitis, herpes genitalia, herpes neonatal, dan herpes labialis.) dan infeksi VZV(varisela dan herpes
zoster). Karena kepekaan asiklovir terhadap VZV kurang dibandingkan dengan HSV, dosis yang
diperlukan untuk terapi kasus varisela dan zoster lebih tinggi daripada terapi infeksi HSV.

4. Dosis : untuk herpes genital : 5Xsehari 200mg tablet, sedangkan untuk herpes zoster ialah 4x400mg
sehari.penggunaan topical untuk keratitis herpetic adalah dalam bentuk krim ophthalmic 3% dank rim
5% untuk herpes labialis. Untuk herpes ensefalitis, HSV berat lain nya dan infeksi VZV digunakan asiklovir
intravena 30mg/kgBB perhari.

5. Farmakokinetik : pemberian obat bisa secara intravena, oral atau topical. Efektivitas pemberian
topical diragukan.obat tersebar keseluruh tubuh,termaksuk cairan serebrospinal.asiklovir sebagian
dimetabolisme menjadi produk yang tidak aktif.Ekskresi kedalam urine terjadi melalui filtrasi glomerular
dan sekresi tubular.

6. Efek samping : Efek samping tergantung pada cara pemberian. Misalnya, iritasi local dapat terjadi dari
pemberian topical; sakit kepala; diare; mual ;dan muntah merupakan hasil pemberian oral , gangguan
fungsi ginjal dapat timbul pada dosis tinggi atau pasien dehidrasi yang menerima obat secara intravena.

B. Gansiklovir

Gansiklovir berbeda dari asiklovir dengan adanya penambahan gugus hidroksimetil padaposisi 3’ rantai
samping asikliknya.metabolisme dan mekanisme kerjanya sama dengan asiklovir. Yang sedikit berbeda
adalah pada gansiklovir terdapat karbon 3’ dengan gugus hidroksil, sehingga masih memunginkan
adanya perpanjangan primer dengan template jadi gansiklovir bukanlah DNA chain terminator yang
absolute seperti asklovir.

1. Mekanisme kerja : Gansiklovir diubah menjadi ansiklovir monofosfat oleh enzim fospotranverase yang
dihasilkan oleh sel yang terinveksi sitomegalovirus.gansiklovirmonofospat merupakan sitrat
fospotranverase yang lebih baik dibandingkan dengan asiklovir. Aktu paruh eliminasi gangsiklovir
ktrifospat sedikitnya 12 jam, sedangkan asiklovir hanya 1-2 jam.perbedaan inilah yang menjelaskan
mengapa gansiklovi lebih superior dibandingkan dengan asiklovir untuk terapi penyakit yang disebabkan
oleh sitomegalovirus.

2. Resistensi : Sitomegalovirus dapat menjadi resisten terhadap gansiklovir oleh salah satu dari dua
mekanisme.penurunan fosporilasi gansiklovir karena mutasi pada fospotranverase virus yang dikode
oleh gen UL97 atau karena mutasi pada DNA polymerase virus.varian virus yang sangat resisten pada
gansiklovir disebabkan karena mutasi pada keduanya( Gen UL97 dan DNA polymerase ) dan dapat
terjadi resistensi silang terhadap sidofovir atau foskarnet.

3. Indikasi : Infeksi CMV, terutama CMV retinitis pada pasien immunocompromised ( misalnya : AIDS ),
baik untuk terapi atau pencegahan.

4. Sediaan dan Dosis : Untuk induksi diberikan IV 10 mg/kg per hari ( 2 X 5 mg/kg, setiap 12 jam) selama
14-21 hari,dilanjutkan dengan pemberian maintenance peroral 3000mg per hari ( 3 X sehari 4 kapsul @
250 mg ). Inplantsi intraocular ( intravitreal ) 4,5 mg gnsiklovir sebagai terapi local CMV retinitis.

5. Efek samping : mielosupresi dapat terjadi pada terapi dengan gansiklovir. Neotropenia terjadi pada
15-40 % pasien dan trombositopenia terjadi pada 5-20 %. Zidovudin dan obat sitotoksik lain dapat
meningkatkan resiko mielotoksisitas gansiklovir. Obat-obat nefrotoksik dapat mengganggu ekskresi
gansiklovir. Probenesit dan asiklovi dapat mengurangi klirens renal gansiklovir. Rekombinan koloni
stimulating factor ( G-CSF, filgastrim, lenogastrim) dapat menolong dalam penanganan neutropenia yang
disebabkan oleh gansiklovir.

C. Famsiklovir

Suatu analog asiklik dari 2’ deoksiguanosin, merupakan prodruk yang dimetabolisme menjadi siklovir
aktif. Spectrum antivirus sama dengan gansiklovir tetapi wakyu ini disetujui hanya untuk pengobatan
herpes zoster akut. Obat efektif peroral.

Efek samping termasuk sakit kepala dan mual.penelitian pada hewan percobaan menujukan
peningkatan terjadinya adenokarsinoma mamae dan toksisitas testicular.

D. Foskarnet

Tidak seperti kebanyakan obat antivirus lainnya, foskarnet bukan analog purin atau pirimidin, obat ini
adalah fosfonoformat, suatu derivate pirofosfat. Meskipun aktivitas antivirus in vitro cukup luas,
disetujui hanya sebagai pengobatan retinitis sitomegalic pada pasien penderita HIV dengan tanggap
imun yang lemah terytama jika infeksi tersebut resisiten terhadap gansiklovir. Foskarnet bekerja dengan
menghamabat polimerese DNA & RNA secara reversible, yang mengakhiri elongasi rantai.

Mutasi struktur polymerase menyebabkan resistensi virus. Foskarnet sukar diabsorpsi peroral harus
disuntikan intravena, dan perlu diberikan berulang untuk menghindari relaps jika kadarnya turun.
Tersebat merata di seluruh tubuh. Lebih dari 10% masuk matriks tulang yang secara lambat dilepaskan.
Obat asli dikeluarkan oleh glamerolus dan sekresi tubular masuk urine.

Efek samping termasuk nefrotoksisitas,anemia,mual dan demam. Karena kelasi dengan kation divalent,
hipokalsemia,hipomagnesemia juga terjadi selain itu hipokalemia,hipofospatemia,kejang, dan aretmia
juga pernah dilaporkan.

E. Trifluridin

Trifluridin telah menggantikan obat terdahulu, idoksuridin, pada pengobatan topical keratokonjungtivitis
yang disebabkan virus herpes simpleks. Seperti idoksuridin, analog pirimidin ini masuk dalam DNA virus
dan menghentikan fungsinya.

2. ANTIVIRUS UNTUK INFLUENZA

Pengobatan untuk infekksi antivirus pada saluran pernapasan termasuk influenza tipe A & B, virus
sinsitial pernapasan (RSV).

A. Amantadin dan Rimantadin

Amantadin & rimantadin memiliki mekanisme kerja yang sama. Efikasi keduanya terbatas hanya pada
influenza A saja.

1. Mekanisme kerja : Amanatadin dan rimantadin merupakan antivirus yang bekerja pada protein M2
virus, suatu kanal ion transmembran yang diaktivasi oleh pH. Kanal M2 merupakan pintu masuk ion ke
virion selama proses uncoating. Hal ini menyebabkan destabilisasi ikatan protein serta proses transport
DNA virus ke nucleus. Selain itu, fluks kanal ion M2 mengatur pH kompartemen intraseluler, terutama
aparatus Golgi.

2. Resistensi : Influenza A yang resisten terhadap amantadin dan rimantidin belum merupakan masalah
klinik, meskipun beberapa isolate virus telah menunjukkan tingginya angka terjadinya resistensi
tersebut. Resistensi ini disebabkan perubahan satu asam amino dari matriks protein M2, resistensi silang
terjadi antara kedua obat.

3. Indikasi : Pencegahan dan terapi awal infeksi virus influenza A ( Amantadin juga diindikasi untuk terapi
penyakit Parkinson ).

4. Farmakokinetik : Kedua obat mudah diabsorbsi oral. Amantadin tersebar ke seluruh tubuh dab mudah
menembus ke SSP. Rimantadin tidak dapat melintasi sawar darah-otak sejumlah yang sama. Amantadin
tidak dimetabolisme secara luas. Dikeluarkan melalui urine dan dapat menumpuk sampai batas toksik
pada pasien gagal ginjal. Rimantadin dimetabolisme seluruhnya oleh hati. Metabolit dan obat asli
dikeluarkan oleh ginjal.

5. Dosis : Amantadin dan rimantadin tersedia dalam bentuk tablet dan sirup untuk penggunaan oral.
Amantadin diberikan dalam dosis 200 mg per hari ( 2 x 100 mg kapsul ). Rimantadin diberikan dalam
dosis 300 mg per hari ( 2 x sehari 150 mg tablet ). Dosis amantadin harus diturunkan pada pasien dengan
insufisiensi renal, namun rimantadin hanya perlu diturunkan pada pasien dengan klirens kreatinin ≤ 10
ml/menit.

6. Efek samping : Efek samping SSP seperti kegelisahan, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, hilang nafsu
makan. Rimantadin menyebabkan reaksi SSP lebih sedikit karena tidak banyak melintasi sawar otak
darah. Efek neurotoksik amantadin meningkat jika diberikan bersamaan dengan antihistamin dan obat
antikolinergik/psikotropik, terutama pada usia lamjut.
B. Inhibitor Neuraminidase ( Oseltamivir, Zanamivir )

Merupakan obat amtivirus dengan mekanisme kerja yang sam terhadap virus influenza A dan B.
Keduanya merupakan inhibitor neuraminidase; yaitu analog asam N-asetilneuraminat ( reseptor
permukaan sel virus influenza ), dan disain struktur keduanya didasarkan pada struktur neuraminidase
virion.

1. Mekanisme kerja : Asam N-asetilneuraminat merupakan komponen mukoprotein pada sekresi


respirasi, virus berikatan pada mucus, namun yang menyebabkan penetrasi virus ke permukaan sel
adalah aktivitas enzim neuraminidase. Hambatan terhadap neuraminidase mencegah terjadinya infeksi.
Neuraminidase juga untuk penglepasan virus yang optimaldari sel yang terinfeksi, yang meningkatkan
penyebaran virus dan intensitas infeksi. Hambatan neuraminidase menurunkan kemungkinan
berkembangnya influenza dan menurunkan tingkat keparahan, jika penyakitnya berkembang.

2. Resistensi : Disebabkan adanya hambatan ikatan pada obat dan pada hambatan aktivitas enzim
neuraminidase. Dapat juga disebabkan oleh penurunan afinitas ikatan reseptor hemagglutinin sehingga
aktivitas neuraminidase tidak memiliki efek pada penglepasan virus pada sel yang terinfeksi.

3. Indikasi : Terapi dan pencegahan infeksi virus influenza A dan B.

4. Dosis : Zanamivir diberikan per inhalasi dengan dosis 20 mg per hari ( 2 x 5 mg, setiap 12 jam )selama
5 hari. Oseltamivir diberikan per oral dengan dosis 150 mg per hari ( 2 x 75 mg kapsul, setiap 12 jam )
selama 15 hari. Terapi dengan zanamivir /oseltamivir dapat diberikan seawal mungkin, dalam waktu 48
jam, setelah onset gejala.

5. Efek samping : Terapi zanamivir : gejala saluran nafas dan gejala saluran cerna., dapat menimbulkan
batuk, bronkospasme dan penurunan fungsi paru reversibel pada beberapa pasien. Terapi oseltamivir :
mual, muntah, nyeri abdomen , sakit kepala.

C. Ribavirin

Ribavirin merupakan analog sintetik guanosin, efektif terhadap virus RNA dan DNA.

1. Mekanisme kerja : Ribavirin merupakan analog guanosin yang cincin purinnya tidak lengkap. Setelah
mengalami fosforilasi intrasel , ribavirin trifosfat mengganggu tahap awal transkripsi virus, seperti proses
capping dan elongasi mRNA serta menghambat sintesis ribonukleoprotein.

2. Resistensi : Hingga saat ini belum ada catatan mengenai resistensi terhadap ribavirin, namun pada
percobaan diLaboratorium menggunakan sel, terdapat sel-sel yang tidak dapat mengubah ribavirin
menjadi bentuk aktifnya.

3. Spektrum aktivitas : Virus DNA dan RNA, khusunya orthomyxovirus ( influenza A dan B ), para
myxovirus ( cacar air, respiratory syncytialvirus (RSV) dan arenavirus ( Lassa, Junin,dll ).

4. Indikasi : Terapi infeksi RSV pada bayi dengan resiko tinggi. Ribavirin digunakan dalam kombinasi
dengan interferon-α/ pegylated interferon – α untuk terapi infeksi hepatitis C.

5. Farmakokinetik : Ribavirin rfektif diberikan per oral dan intravena. Terakhir digunakan sebagai aerosol
untuk kondisi infeksivirus pernapasan tertemtu, seperti pengobatan infeksi RSV. Penelitian distribusi
obat pada primate menunjukkan retensi dalam semua jaringan otak. Obat dan metabolitnya dikeluarkan
dalam urine.

6. Dosis : Per oral dalam dosis 800-1200 mg per hari untuk terapi infeksi HCV/ dalam bentuk aerosol (
larutan 20 mg/ml ).

7. Efek samping : Pada penggunaan oral / suntikan ribavirin termasuk anemia tergantung dosis pada
penderita demam Lassa. Peningkatan bilirubin juga telah dilaporkan Aerosol dapat lebih aman meskipun
fungsi pernapasan pada bayi dapat memburuk cepat setelah permulaan pengobatan aerosoldan karena
itu monitoring sangat perlu. Karena terdapat efek teratogenikpada hewan percobaan, ribavirin
dikontraindikasikan pada kehamilan.

3. ANTIVIRUS UNTUK HBV DAN HCV

A. Lamivudin

1. Mekanisme kerja : Merupakan L-enantiomer analog deoksisitidin. Lamivudin dimetabolisme di


hepatositmenjadi bentuk triposfat yang aktif. Lamivudin bekerja dengan cara menghentikan sintesis
DNA, secara kompetitif menghambat polymerase virus. Lamivudin tidak hanya aktif terhadao HBV wild-
type saja, namun juga terhadap varian precorel core promoter dan dapat mengatasi hiperresponsivitas
sel T sitotoksik pada pasien yang terinfeksi kronik.

3. Resistensi : disebabkan oleh mutasi pada DNA polymerase virus.

4. Indikasi : Infeksi HBV ( wild-type dan precore variants).

5. Farmakokinetik : Bioavailabilitas oral lamivudin adalah 80% C max tercapai dalam 0,5-1,5 jam setelah
pemberian dosis. Lamivudin didistribusikan secara luas dengan Vd setara dengan volume cairan tubuh.
Waktu paruh plasmanya sekitar 9 jam dan sekitar 70% dosis diekskresikan dalam bentuk utuh di urine.
Sekitar 5% lamivudin dimetabolisme menjadi bentuk tidak aktif. Dibutuhkan penurunan dosis untuk
insufisiensi ginjal sedang ( CLcr <50 ml /menit ). Trimetoprim menurunkan klirens renal lamivudin.

6. Dosis : Per oral 100 mg per hari ( dewasa ), untuk anak-anak 1mg/kg yang bila perlu ditingkatkan
hingga 100mg/hari. Lama terapi yang dianjurkanadalah 1 tahun pada pasien HBeAg (-) dan lebih dari 1
tahun pada pasien yang HBe(+).
7. Efek Samping : mual, muntah, sakit kepala, peningkatan kadar ALT dan AST dapat terjadi pada 30-40%
pasien.

B. Adefovir

1.Mekanisme kerja dan resistensi : adefovir merupakan analog nukleotida asiklik. Adefovir telah
memiliki satu gugus fosfat dan hanya membutuhkan satu langkah fosforilasi saja sebelum obat menjadi
aktif. Adefovir merupakan penghambat replikasi HBV sangat kuat yang bekerja tidak hanya sebagai DNA
chain terminator, namun juga meningkatkan aktivitas sel NK dan menginduksi produksi interferon
endogen.

2.Spektrum aktivitas : HBV, HIV, dan retrovirus lain. Adefovir juga aktif terhadap virus herpes.

3.Indikasi : Adefovir terbukti efektif dalam terapi infeksi HBV yang resisten terhadap lamivudin.

4.Farmakokinetik : Adefovir sulit diabsorbsi, namun bentuk dipivoxil prodrugnya diabsorbsi secara cepat
dan metabolisme oleh esterase di mukosa usus menjadi adefovir dengan bioavailibilitas sebesar 50%.
Ikatan protein plasma dapat diabaikan, Vd setara dengan cairan tubuh total. Waktu paruh eliminasi
setelah pemberian oral adefovir dipivoxil sekitar 5-7 jam. Adefovir dieliminasi dalam keadaan tidak
berubah oleh ginjal melalui sekresi tubulus aktif.

5.Dosis : Per oral dosis tinggal 10 mg per hari.

6.Efek samping : Adefovir 10mg/hari dapat ditoleransi dengan baik. Setelah terapi selama 48 minggu
terjadi peningkatan kreatinin serum ≥ 0,5 mg/dL di atas baseline pada 13% pasien yang umumnya
memiliki factor resiko disfungsi renal sejak awal terapi.

C. Entekavir

1.Mekanisme kerja dan resistensi : Entekavir merupakan analog deoksiguanosin yang memiliki aktivitas
anti-hepadnavirus yang kuat. Entekavir mengalami fosforilasi menjadi bentuk trifosfat yang aktif, yang
berperan sebagai kompetitorsubstrat natural (deoksiguanosin trifosfat) serta menghambat HBV
polymerase.

2.Spektrum aktivitas : Entekavir aktif terhadap CMV, HSV1 dan 2 serta HBV.

3.Indikasi : Infeksi HBV.

4.Farmakokinetik :Entekavir diabsorbi baik per oral. Cmax tercapai antara 0,5-1,5 jam setelah
pemberian, tergantung dosis. Entekavir dimetabolisme dalam jumlah kecil dan bukan merupakan
substrat system sitokrom P450. T½nya pada pasien dengan fungi ginjal normal adalah 77-149 jam.
Entekavir dieliminasi terutama lewat filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus. Tidak perlu dilakukan
penyesuaian dosis pada pasien dengan penyakit hati sedang hingga berat.

5.Dosis : Per oral 0,5 mg/hari dalam keadaan perut kosong, pada pasien yang gagal terapi dengan
lamivudin, pemberian entekavir ditingkatkan hingga 1 mg/hari.

6.Efek samping : Sakit kepala, infeksi saluran nafas atas, batuk, nasofaringitis, fatigue, pusing, nyeri
abdomen atas dan mual.

D. Interferon
Merupakan glikoprotein yang terjadi alamiah jika ada perangsangan dan menggangugu kemampuan
virus menginfeksi sel. Meskipun interferon menghambat pertumbuhan berbagai virus in vitro, aktivitas
in vivo pada virus mengecewakan. Pada waktu ini, interferon disintesis dengan teknologi DNA
rekombinan. Setidaknya terdapat 3 jenis interferon; alfa, beta, gama. Satu dari 15 jenis α-interferon, α-
2b telah disetujui untuk pengobatan hepatitis B dan C. Dan terhadap kanker seperti leukemia sel
berambutdan sarcoma Kaposi.

Mekanisme kerja antivirus belum diketahui seluruhnya tetapi menyangkut induksi enzim sel pejamu
yang menghambat translasi RNA virus dan akhirnya menyebabkan degadrasi mRNA dan tRNA virus.
Interferon diberikan i.v dan masuk ke cairan sum-sum tulang

Efek samping : demam, alergi, depresi sum-sum tulang, gangguan kardiovaskular seperti gagal jantung
kongestif dan reaksi hipersensitif akut, gagal hati infiltrasi paru jarang.

GOLONGAN OBAT ANTIRETROVIRUS

1. NUCLEOSIDE REVERSE TRANSCRIPTASE INHIBITOR ( NRTI )

Reverse transkripstase (RT ) mengubah RNA virus menjadi DNA proviral sebelum bergabung dengan
kromosom hospes. Karena antivirus golongan ini bekerja pada tahap awal replikasi HIV, obat obat
golongan ini menghambat terjadinya infeksi akut sel yang rentan, tapi hanya sedikit berefek pada sel
yang telah terinfeksi HIV. Untuk dapat bekerja, semua obat golongan NRTI harus mengalami fosforilasi
oleh enzim sel hospes di sitoplasma. Yang termasuk komplikasi oleh obat obat ini adalah asidosilaktat
dan hepatomegali berat dengan steatosis.

A. Zidovudin

1. Mekanisme kerja : target zidovudin adalah enzim reverse transcriptase (RT) HIV. Zidovudin bekerja
dengan cara menghambat enzim reverse transcriptase virus, setelah gugus asidotimidin (AZT) pada
zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus AZT 5’- mono fosfat akan bergabung pada ujung 3’ rantai DNA
virus dan menghambat reaksi reverse transcriptase.

2. Resistensi : Resistensi terhadap zidovudin disebabkan oleh mutasi pada enzim reverse transcriptase.
Terdapat laporan resisitensi silang dengan analog nukleosida lainnya.

3. Spektrum aktivitas : HIV(1&2)

4. Indikasi : infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya(seperti lamivudin dan abakafir)

5. Farmakokinetik : obat mudah diabsorpsi setelah pemasukan oral dan jika diminum bersama makanan,
kadar puncak lebih lambat, tetapi jumlah total obat yang diabsorpsi tidak terpengaruh. Penetrasi
melewati sawar otak darah sangat baik dan obat mempunyai waktu paruh 1jam. Sebagian besar AZT
mengalami glukuronidasi dalam hati dan kemudian dikeluarkan dalam urine.

6. Dosis : Zidovudin tersedia dalam bentuk kapsul 100 mg, tablet 300 mg dan sirup 5 mg /5ml disi
peroral 600 mg / hari

7. Efek samping : anemia, neotropenia, sakit kepala, mual.

B. Didanosin

1. Mekanisme kerja : Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA
virus.

2. Resistensi : Resistensi terhadap didanosin disebabkan oleh mutasi pada reverse transcriptase.

3. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2)

4. Indikasi : Infeksi HIV, terutama infeksi HIV tingkat lanjut, dalam kombinasi anti HIV lainnya.

5. Farmakokinetik : Karena sifat asamnya, didanosin diberikan sebagai tablet kunyah, buffer atau dalam
larutan buffer. Absorpsi cukup baik jika diminum dalam keadaan puasa; makanan menyebabkan
absorpsi kurang. Obat masuk system saraf pusat tetapi kurang dari AZT. Sekitar 55% obat diekskresi
dalam urin.

6. Dosis : tablet & kapsul salut enteric peroral 400 mg / hari dalam dosis tunngal atau terbagi.

7. Efek samping : diare, pancreatitis, neuripati perifer.

C. Zalsitabin

1. Mekanisme kerja : Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA
virus.

2. Resistensi : Resistensi terhadap zalsitabin disebakan oleh mutasi pada reverse transcriptase.
Dilaporkan ada resisitensi silang dengan lamivudin.

3. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2)

4. Indikasi : Infeksi HIV, terutama pada pasien HIV dewasa tingkat lanjut yang tidak responsive terhadap
zidovudin dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (bukan zidanudin).

5. Farmakokinetik : Zalsitabin mudah diabsorpsi oral, tetapi makanan atau MALOX TC akan menghambat
absorpsi didistribusi obat ke seluruh tubuh tetapi penetrasi ke ssp lebih rendah dari yang diperoleh dari
AZT. Sebagai obat dimetabolisme menjadi DITEOKSIURIDIN yang inaktif. Urin adalah jalan ekskresi
utama meskipun eliminasi pekal bersama metabolitnya.

6. Dosis : Diberikan peroral 2,25 mg / hari(1 tablet 0,75 mg tiap 8 jam)

7.Efek samping : Neuropati perifer, stomatitis, ruam dan pancreatitis.

D. Stavudin

1. Mekanisme kerja : Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukkan rantai
DNA virus.

2. Resistensi : Disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 75 dan kodon 50.

3. Spektrum aktivitas : HIV tipe 1 dan 2

4.Indikasi : Infeksi HIV terutama HIV tingkat lanjut, dikombinasikan dengan antiHIV lainnya.

5. Farmakokinetik : Stavudin adalah analog timidin dengan ikatan rangkap antara karbon 2’ dan 3’ dari
gula.Stavudin harus diubah oleh kinase intraselular menjadi triposfat yang menghambat transcriptase
reverse dan menghentikan rantai DNA.

6. Dosis : Per oral 80 mg/hari (1 kapsul 40 mg, setiap 12 jam).

7. Efek samping : Neuropati periver, sakit kepala, mual, ruam.

E. Lamivudin

1. Mekanisme kerja : Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan pembentukan
rantai DNA virus.
2. Resistensi : Disebabkan pada RT kodon 184. Terdapat laporan adanya resistensi silang dengan
didanosin dan zalsitabin.

3. Spektrum aktivitas : HIV ( tipe 1 dan 2 ) dan HBV.

4. Indikasi : Infeksi HIV dan HBV, untuk infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (seperti
zidovudin,abakavir).

5. Farmakokinetik : Ketersediaan hayati lamivudin per oral cukup baik dan bergantung pada ekskresi
ginjal.

6. Dosis : Per oral 300 mg/ hari ( 1 tablet 150 mg, 2x sehari atau 1 tablet 300 mg 1x sehari ). Untuk terapi
HIV lamivudin, dapat dikombinasikan dengan zidovudin atau abakavir.

7.Efek samping : Sakit kepala dan mual.

F. Emtrisitabin

1. Mekanisme kerja : Merupakan derivate 5-fluorinatedlamivudin. Obat ini diubah kebentuk triposfat
oleh ensim selular. Mekanisme kerja selanjutnya sama dengan lamivudin.

2. Resistensi : Resistensi silang antara lamivudin dan emtrisitabin.

3. Indikasi : Infeksi HIV dan HBV.

4. Dosis : Per oral 1x sehari 200 mg kapsul.

5.Efek samping : Nyeri abdomen, diare, sakit kepala, mual dan ruam .

G. Abakavir

1. Mekanisme kerja : bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus

2. Resistensi : Disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 184,65,74 dan 115.

3. Spektrum aktivitas : HIV ( tipe 1 dan 2 ).

4. Indikasi : Infeksi HIV.

6. Dosis : Per oral 600mg / hari ( 2 tablet 300 mg ).


7. Efek samping : Mual ,muntah, diare,reaksi hipersensitif ( demam,malaise,ruam), ganguan gastro
intestinal.

2.NUCLEOTIDE REVERSE TRANSCRIPTASE INHIBITOR ( NtRTI )

Tenofovir disoproksil fumarat merupakan nukleutida reverse transcriptase inhibitor pertama yang ada
untuk terapi infeksi HIV-1. Obat ini digunakan dalam kombinasi dengan obat anti retrovirus lainnya.
Tidak seperti NRTI yang harus melalui tiga tahap fosforilase intraselular untuk menjadi bentuk aktif,
NtRTi hanya membutuhkan dua tahap fosforilase saja. Diharapkan berkurangnya satu tahap fosforilase
obat dapat bekerja lebih cepat dan konversinya menjadi bentuk aktif lebih sempurna.

Tenofovir Disoproksil

1. Mekanisme kerja : Bekerja pada HIV RT ( dan HBV RT ) dengan cara menghentikan pembentukan
rantai DNA virus.

2. Resistensi : Disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 65.

3. Spektrum aktivitas : HIV ( tipe 1 dan 2 ), serta berbagai retrovirus lainnya dan HBV.

4.Indikasi : Infeksi HIV dalam kombinasi dengan evafirens, tidak boleh dikombinasi dengan lamifudin dan
abakafir.

5. Dosis : Per oral sehari 300 mg tablet.

6.Efek samping : Mual, muntah, Flatulens, dan diare.

3. NON- NUCLEOSIDE REVERSE TRANSCRIPTASE INHIBITOR (NNRTI)

Merupakan kelas obat yang menghambat aktivitas enzim revers transcriptase dengan cara berikatan
ditempat yang dekat dengan tempat aktif enzim dan menginduksi perubahan konformasi pada situs akif
ini. Semuasenyawa NNRTI dimetabolisme oleh sitokrom P450 sehingga cendrung untuk berinteraksi
dengan obat lain.

A. Nevirapin
1. Mekanisme kerja : Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non subtract HIV-1 RT.

2. Resistensi : Disebabkan oleh mutasi pada RT.

3. Spektrum aktivitas : HIV ( tipe 1 ).

4. Indikasi : Infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan anti-HIV,lainnya terutama NRTI.

5. Dosis : Per oral 200mg /hari selama 14 hari pertama ( satu tablet 200mg per hari ), kemudian 400mg /
hari ( 2 x 200 mg tablet ).

6. Efek samping : Ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolens dan peningkatan enzim hati.

B. Delavirdin

1. Mekanisme kerja : Sama dengan devirapin.

2. Resistensi : Disebabkan oleh mutasi pada RT. Tidak ada resistensi silang dengan nefirapin dan
efavirens.

3. Spektrum aktivitas : HIV tipe 1.

4. Indikasi : Infeksi HIV-1, dikombinasi dengan anti HIV lainnya terutama NRTI.

5. Dosis : Per oral 1200mg / hari ( 2 tablet 200mg 3 x sehari ) dan tersedia dalam bentuk tablet 100mg.

6. Efek samping : Ruam, penningkatan tes fungsi hati, menyebabkan neutropenia.

C.Efavirenz

1. Mekanisme kerja : Sama dengan neviravin

2. Resistensi : Disebabkan oleh mutasi pada RT kodon 100,179,181.

3. Spektrum aktivitas : HIV 1

4. Indikasi : Infeksi HIV- 1, dalam kombinasi dengan antiHIV lainnya terutama NRTI dan NtRTI.

5. Dosis : Peroral 600mg/hari (1Xsehari tablet 600mg), sebaiknya sebelum tidur untuk mengurangi efek
samping SSP nya.
6.Efek samping : Sakit kepala, pusing, mimpi buruk, sulit berkonsentrasi dan ruam .

4.PROTEASE INHIBITOR ( PI )

Semua PI bekerja dengan cara berikatan secara reversible dengan situs aktif HIV – protease.HIV-
protease sangat penting untuk infektivitas virus dan penglepasan poliprotein virus. Hal ini menyebabkan
terhambatnya penglepasan polipeptida prekusor virus oleh enzim protease sehingga dapat
menghambat maturasi virus, maka sel akan menghasilkan partikel virus yang imatur dan tidak virulen.

A. Sakuinavir

1. Mekanisme kerja : Sakuinavir bekerja pada tahap transisi merupakan HIV protease peptidomimetic
inhibitor.

2. Resistensi :Terhadap sakuinavir disebabkan oleh mutasi pada enzim protease terjadi resistensi silang
dengan PI lainnya.

3. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2)

4. Indikasi : Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lain ( NRTI dan beberapa PI seperti ritonavir).

5. Dosis : Per oral 3600mg / hari (6 kapsul 200mg soft kapsul 3 X sehari ) atau 1800mg / hari (3 hard gel
capsule 3 X sehari), diberikan bersama dengan makanan atau sampai dengan 2 jam setelah makan
lengkap.

6.Efek samping :Diare, mual, nyeri abdomen.

B. Ritonavir

1. Mekanisme kerja : Sama dengan sakuinavir.

2. Resistensi : Terhadap ritonavir disebabkan oleh mutasi awal pada protease kodon 82.

3. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2 )

4. Indikasi :Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (NRTI dan PI seperti sakuinavir ).

5. Dosis : Per oral 1200mg / hari (6 kapsul 100mg, 2 X sehari bersama dengan makanan )

6.Efek samping : Mual, muntah , diare.


C. Indinavir

1. Mekanisme kerja :Sama dengan sakuinavir.

2. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2 )

3. Indikasi : Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainya seperti NRTI.

4. Dosis : Peroral 2400mg / hari (2 kapsul 400mg setiap 8jam, dimakan dalam keadaan perut kosong,
ditambah dengan hidrasi(sedikitnya 1.5L air / hari). Obat ini tersedia dalam kapsul 100,200, 333,dan
400mg.

5. Efek samping : Mual, hiperbilirubinemia, batu ginjal.

D. Nelfinavir

1. Mekanisme kerja : Sama dengan sakuinavir.

2. Resistensi : Terhadap nelfinavir disebabkan terutama oleh mutasi.

3. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2 )

4. Indikasi : Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainya seperti NRTI.

5. Dosis : Per oral 2250 mg / hari (3 tablet 250mg 3 X sehari) atau 2500mg / hari (5 tablet 250mg 2 X
sehari )bersama dengan makanan.

6. Efek samping : Diare, mual, muntah.

E. Amprenavir

1. Mekanisme kerja : Sama dengan sakuinavir.

2. Resistensi : Terhadap amprenavir terutama disebabkan oleh mutasi pada protease kodon 50.

3. Spektrum aktivitas : HIV (1 & 2 )

4. Indikasi : Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.

5.Dosis : Per oral 2400mg/ hari (8kapsul 150 mg 2 X sehari, diberikan bersama atau tanpa makanan, tapi
tidak boleh bersama dengan makanan.
6. Efek samping : Mual, diare, ruam, parestesia per oral / oral.

F. Lopinavir

1. Mekanisme kerja : Sama dengan sakuanavir.

2. Resistensi : Mutasi yang menyebabkan resistensi terhdap lopinavir belum diketahui hingga saat ini.

3. Spektrum aktivitas : HIV (tipe 1dan 2)

4. Indikasi : Infeksi HIV dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti NRTI.

5. Dosis : Per oral 1000mg / hari(3kapsul 166.6mg 2 X sehari, setiap kapsul mengandung 133.3mg
lopinavir + 33.3mg ritonavir), diberikan bersamaan dengan makanan.

6. Efek samping : Mual, muntah, peningkatan kadar koleterol dan trigliserida,peningkatan y-GT.

G. Atazanavir

1. Mekanisme Kerja : Sama dengan sakuinavir.

2. Spectrum Aktivitas : HIV tipe 1 dan 2.

3. Indikasi : Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan HIV lainnya seperti NRTI.

4. Dosis : Per oral 400 mg per hari (sekali sehari 2 kapsul 200 mg), diberikan bersama dengan makanan.

5. Efek samping : Hiperbilirubinemia, mual, perubahan EKG atau jarang.

5.VIRAL ENTRY INHIBITOR

Enfuvirtid merupakan obat pertama yang masuk ke dalam golongan VIRAL ENTRY INHIBITOR. Obat ini
bekarja dengan cara menghambat fusi virus ke sel. Selain enfuvitid ; bisiklam saat ini sedang berada
dalam study klinis. Obat ini bekerrja dengan cara menghambat masukan HIV ke sel melalui reseptor
CXCR4.

Enfurtid

1.Mekanisme kerja : Menghambat masuknya HIV-1 ke dalam sel dengan cara menghanbat fusi virus ke
membrane sel.

2. Resistensi : Perubahan genotif pada gp41 asam amino 36-45 menyebabkan resistensi terhadap
enfuvirtid, tidak ada resistensi silang dengan anti HIV golongan lain.

3.Indikasi :Terapi infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan antiHIV-lainnya.

4.Dosis : Enfurtid 90 mg (1ml) 2 kali ssehari diinjeksikan subkutan dengan lengan atas bagian paha
enterior atau abdomen.

5.Efek samping : Adanya reaksi local seperti nyeri, eritema, proritus, iritasi dan nodul atau kista.

PENGGUNAAN OBAT ANTIVIRUS

Tujuan utama terapi antivirus pada pasien imonnukompeten adalah menurunkan tingkat keparahan
pennyakit dan komplikasinya, serta menurunkan kecepatan transmisi virus, sedangkan paa pasien
dengan infeksi virus kronik, tujuan terapinya adalah mencegah kerusakan oleh virus orga visceral,
terutama hati, paru, saluran cerna dan SSP.
Antivirus dapat di gunakn untuk prapilaksis, supresi (untuk menjaga agar replikasi virus berada di bawah
kecapatan yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada pasien terinfeksi yang asimtomatik).

Beberapa Hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan obat terapi antivirus :
1. Lamanya terapi
2. Peemberian terapi tunggal atau kombinasi
3. Interaksi obat
4. Kemungkinan terjadinya resistensi

HIV-AIDS

Terapi HIV-AIDS dilakukan dengan cara mengkombinasikan beberapa obat untuk mengurangi viral loat
atau (jumlah virus dalam darah). Agar menjadi sangat rendah atau dibawah tingkat yang terdeteksi
untuk jangka waktu yang lama.

Secara teoritis terapi kombinasi untuk HIV lebih baik dari pada mono terapi karena :
- Menghidari atau menunda resistensi obat atau meluasnya cakupan terhadap virus dan memperlama
efek
- Peningkatan efikasi karena adanya efek adiktif atau sinergis.
- Peningkatan target reserpoir jaringan atau sellular(contoh : limposit, makrofak) virus.
- Gangguan pada lebih dari satu fase hidup virus
- Penurunan toxisitas karena dosis yang digunakan lebih rendah.

Walaupun obat retro-virus sudah mennjadi kunci penatalaksanaan HIV-AIDS , ada beberapa
keterbataasan, yaitu :
1. Anti-retrovirus tidak mampu sepenuhnya memberantas virus.
2. Jenis HIV yang resisten sering muncul, terutama jika keputusan pasien pada terapi tidak hamper
sempurna.
3. Penularan HIV melalui perilaku yang beresiko dapat terus terjadi walaupun viral load tidak terdeteksi.
4. Efeksamping jangka pendek akibat pengobatan sering terjadi mual ringan termasuk anemia,
neutropenia, mual, sakit kepala sampai yang berat missal hepatitis akut.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Virus ( Sansk, visham = racun ) adalah mikroorganisme hidup yang terkecil ( besarnya 20-300 mikron ),
kecuali prion, yaitu virus penyebab penyakit sapi gila BSE dan p. Creutzfeldt-Jakob yang k.l. 100 kali lebih
kecil.

Empat golongan antivirus yang akan dibahas dalam dua bagian besar pembahasan yaitu mengenai
antinonretrovirus dan antiretrovirus. Klasifikasi penggolongan obatantvirus adalah :
A. Antinonretovirus
- Antivirus untuk herpers
- Antivirus untuk influenza
- Antivirus untuk HBV dan HCV
B. Antiretrovirus
- Nukleuside reverse transcriptase inhhibiror (NRTI)
- Nukleuside reverse transcriptase inhhibiror (NtRTI)
- NNRTI (non neokleoside reverse transcriptase inhibitor)
- Protease inhibitor (PI)
- Viral entry inhibitor.

Tujuan Terapi Virus adalah menurunkan tingkat keparahan pennyakit dan komplikasinya, serta
menurunkan kecepatan transmisi virus, sedangkan paa pasien dengan infeksi virus kronik, tujuan
terapinya adalah mencegah kerusakan oleh virus orga visceral, terutama hati, paru, saluran cerna dan
SSP.

Secara teoritis terapi kombinasi untuk HIV lebih baik dari pada mono terapi karena :
- Menghidari atau menunda resistensi obat atau meluasnya cakupan terhadap virus dan memperlama
efek
- Peningkatan efikasi karena adanya efek adiktif atau sinergis.
- Peningkatan target reserpoir jaringan atau sellular(contoh : limposit, makrofak) virus.
- Gangguan pada lebih dari satu fase hidup virus
- Penurunan toxisitas karena dosis yang digunakan lebih rendah.
Walaupun obat retro-virus sudah mennjadi kunci penatalaksanaan HIV-AIDS , ada beberapa
keterbataasan, yaitu :
- Anti-retrovirus tidak mampu sepenuhnya memberantas virus.
- Jenis HIV yang resisten sering muncul, terutama jika keputusan pasien pada terapi tidak hamper
sempurna.
- Penularan HIV melalui perilaku yang beresiko dapat terus terjadi walaupun viral load tidak terdeteksi.
- Efeksamping jangka pendek akibat pengobatan sering terjadi mual ringan termasuk anemia,
neutropenia, mual, sakit kepala sampai yang berat missal hepatitis akut.

http://ebie-bie-bie.blogspot.co.id/2009/03/anti-virus.html

ASUHAN KEPERAWATAN ENCEPHALITIS


1. Pengkajian
a. Identitas : Ensefalitis dapat terjadi pada semua kelompok umur.
b. Keluhan Utama, berupa panas badan meningkat, kejang, dan kesadaran menurun.
c. Riwayat Penyakit Sekarang : Mula-mula anak rewel, gelisah, muntah-muntah, panas
badan meningkat kurang lebih 1-4 hari, sakit kepala.
d. Riwayat Penyakit Dahulu : Klien sebelumnya menderita batuk, pilek kurang lebih 1-4
hari, pernah menderita penyakit Herpes, penyakit infeksi pada hidung, telinga dan tenggorokan.
e. Riwayat Penyakit Keluarga : Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan
oleh virus contoh : Herpes dan lain-lain. Bakteri contoh : Staphylococcus Aureus,Streptococcus,
E, Coli, dan lain-lain.
f. Imunisasi : Kapan terakhir diberi imunisasi DTP, karena ensefalitis dapat terjadi pada
post imunisasi pertusis.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata maupun
potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan (Boedihartono, 1994). Diagnosa keperawatan
yang mungkin muncul pada masalah ensefalitis adalah :
a. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d sakit kepala mual.
b. Hipertemi b/d reaksi inflamasi.
c. Gangguan sensorik motorik (penglihatan, pendengaran, gaya bicara) b/d kerusakan susunan
saraf pusat.
d. Resiko terjadi kontraktur b/d spastik berulang.

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan untuk
menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan (Boedihartono, 1994). Intervensi
keperawatan pasien dengan masalah ensefalitis adalah :
a. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d sakit kepala mual.
Tujuan : Nyeri teratasi.
Kriteria hasil :
1) Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
2) Menunjukkan postur rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri :
Berikan tindakan nyaman. Tindakan non analgetik dapat
menghilangkan ketidaknyamanan
dan memeperbesar efek terapi
analgetik.
Berikan lingkungan yang Menurunkan reaksi terhadap
tenang, ruangan agak gelap stimulasi dari luar atau sensitivitas
sesuai indikasi. terhadap cahaya dan
meningkatkan istirahat/relaksasi.
Kaji intensitas nyeri. Untuk menentukan tindakan yang
akan dilakukan kemudian.
Tingkatkan tirah baring, Menurunkan gerakan yang dapat
bantu kebutuhan perawatan meningkatkan nyeri.
diri pasien.
Berikan latihan rentang gerak Dapat membantu merelaksasikan
aktif/pasif secara tepat dan ketegangan otot yang
masase otot daerah meningkatkan reduksi nyeri atau
leher/bahu. rasa tidak nyaman tersebut.
Kolaborasi :
Berikanan algesik sesuai Obat ini dapat digunakan untuk
indikasi. meningkatkan kenyamanan
/istirahat umum.
b. Hipertermi b/d reaksi inflamasi.
Tujuan : Suhu tubuh normal.
Kriteria hasil : Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan.

INTERVENSI RASIONAL
Mandiri :
Pantau suhu pasien, Suhu 38,9-41,1 C menunjukkan
perhatikan menggigil/ proses penyakit infeksius akut.
diaforesis.
Pantau suhu lingkungan, Suhu ruangan/jumlah selimut
batasi / tambahkan harus diubah untuk
linen tempat tidur sesuai mempertahankan suhu mendekati
indikasi. normal.
Berikan kompres mandi Dapat membantu mengurangi
hangat, hindari penggunaan demam.
alkohol.
Kolaborasi :
Berikan antipiretik sesuai Digunakan untuk mengurangi
indikasi. demam dengan aksi sentralnya
pada hipotalamus.

c. Gangguan sensorik motorik (penglihatan, pendengaran, gaya bicara) b/d kerusakan susunan
saraf pusat.
Tujuan : Memulai/mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perseptual.
Kriteria hasil : Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residual.
Mendemonstrasikan perilaku untuk mengkompensasi terhadap hasil.
INTERVENSI RASIONAL
Kesadaran akan tipe/daerah yang
Mandiri :
terkena membantu. dalam
Lihat kembali proses patologis
mengkaji/ mengantisipasi defisit
kondisi individual.
spesifik dan keperawatan
Munculnya gangguan
penglihatan dapat berdampak
Evaluasi adanya gangguan
negatif terhadap kemampuan
penglihatan
pasien untuk menerima
lingkungan.
Menurunkan/ membatasi jumlah
Ciptakan lingkungan yang
stimuli yang mungkin dapat
sederhana, pindahkan perabot
menimbulkan kebingungan bagi
yang membahayakan.
pasien.

d. Resiko terjadi kontraktur b/d spastik berulang.


Tujuan : Tidak terjadi kontraktur.
Ktiteria hasil : Tidak terjadi kekakuan sendi.
Dapat menggerakkan anggota tubuh.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri: Berikan
Dengan diberi penjelasan diharapkan
penjelasan pada keluarga klien tentang
keluarga mengerti dan mau membantu
penyebab terjadinya spastik dan terjadi
program perawatan.
kekacauan sendi.
Lakukan latihan pasif mulai ujung ruas Melatih melemaskan otot-otot,
jari secara bertahap. mencegah kontraktor.

Dengan melakukan perubahan posisi


Lakukan perubahan posisi setiap 2 jam. diharapkan perfusi ke Jaringan lancar,
meningkatkan daya pertahanan tubuh.

Kolaborasi untuk pemberian


Diberi dilantin / valium , kejang /
pengobatan spastik dilantin / valium
spastik hilang.
sesuai Indikasi.

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995). Implementasi keperawatan pasien dengan
masalah ensefalitis meliputi :
a. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d sakit kepala mual.
NO IMPLEMENTASI
1 Memberikan tindakan nyaman.
Memberikan lingkungan yang tenang, ruangan agak gelap
2
sesuai indikasi.
3 Mengkaji intensitas nyeri.
Meningkatkan tirah baring, bantu kebutuhan perawatan diri
4
pasien.
Memberikan latihan rentang gerak aktif/pasif secara tepat
5
dan masase otot daerah leher/bahu.
6 Berkolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi.

b. Hipertermi b/d reaksi inflamasi


NO IMPLEMENTASI
1 Memantau suhu pasien, perhatikan menggigil/ diaforesis.
Memantau suhu lingkungan, batasi / tambahkan
2
linen tempat tidur sesuai indikasi.
Memberikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan
3
alkohol.
4 Berkolaborasi untuk pemberian antipiretik sesuai indikasi.

c. Gangguan sensorik motorik (penglihatan, pendengaran, gaya bicara) b/d kerusakan susunan
saraf pusat.
NO IMPLEMENTASI
1 Melihat kembali proses patologis kondisi individual.
2 Mengevaluasi adanya gangguan penglihatan
Menciptakan lingkungan yang sederhana, pindahkan
3
perabot yang membahayakan.
d. Resiko terjadi kontraktur b/d spastik berulang.
NO IMPLEMENTASI
Memberikan penjelasan pada keluarga klien tentang
1
penyebab terjadinya spastik dan terjadi kekacauan sendi.
Melakukan latihan pasif mulai ujung ruas jari secara
2
bertahap.

3 melakukan perubahan posisi setiap 2 jam.

Berkolaborasi untuk pemberian pengobatan spastik dilantin


4
/ valium sesuai Indikasi.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan pasien
dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan, dengan
melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. (Lynda Juall Capenito, 1999:28)
Evaluasi pada pasien dengan masalah ensefalitis adalah :
a. Pemenuhan nutrisi pasien adekuat.
b. Melaporkan nyeri hilang/ terkontrol.
c. Tidak mengalami kejang atau cedera lainnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa,
jamur, ricketsia atau virus (Arif Mansur : 2000). Ensefalitis disebabkan oleh bakteri, virus,
parasit, fungus dan riketsia. Ensefalitis diklasifikasikan menjadi :
a. Ensefalitis supurativa.
b. Ensefalitis siphylis.
c. Ensefalitis virus.
d. Ensefalitis karena parasit : malaria serebral, toxoplasmosis, amebiasis dan sistiserkosis.
e. Ensefalitis karena fungus.
f. Riketsiosis serebri.
Penatalaksaan pada masalah ini dilakukan sesuai dengan penyebab terjadinya ensefalitis
tersebut, antara lain seperti : pemberian antibiotik, antifungi, antiparasit, antivirus dan
pengobatan simptomatis berupa pemberian analgetik antipiretik serta antikonvulsi.

B. Saran
Sehat merupakan sebuah keadaan yang sangat berharga, sebab dengan kondisi fisik yang
sehat seseorang mampu menjalankan aktifitas sehari-harinya tanpa mengalami hambatan. Maka
menjaga kesehatan seluruh organ yang berada didalam tubuh menjadi sangat penting mengingat
betapa berpengaruhnya sistem organ tersebut terhadap kelangsungan hidup serta aktifitas
seseorang.

http://shinichiranmouri.blogspot.co.id/2013/10/askep-encephalitis_8.html
Obat ameobasis

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Amoebiasis

Amoebiasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh amoeba, yaitu Entamoeba histolytica, namun juga
amoebiasis merujuk kepada infeksi dengan amoeba lainnya. Amoebiasis dapat dilakukan oleh amoeba yang parasit
maupun amoeba yang hidup secara bebas.

Entamoeba histolytica adalah suatu parasit yang sering ditemukan dalam usus besar manusia, primata tingkat
tinggi tertentu, dan beberapa binatang jinak rumahan dan komensal. Sebagian besar kasus asimptomatik kecuali
pada manusia atau di antara binatang yang hidup dalam keadaan tertekan atau dalam keadaan yang tidak alamiah
(misalnya primata di kebun binatang).

B. Klasifikasi Amoebiasis

1. Amoebiasis intestinal

Klasifikasi amoebiasis menurut WHO (1968) dibagi dalam asimtomatik dan simptomatik, sedang yang
termasuk amoebiasis simptomatik yaitu amoebiasis intestinal yaitu disentri, non-disentri colitis, amoebic
appendicitaske orang lain oleh pengandung kista Entamoeba histolytica yang mempunyai gejala klinik
(simptomatik) maupun yang tidak (asimptomatik).

Amoebiasis intestinal atau disebut juga sebagai amoebiasis primer terjadi pertama di daerah caecum, appendix,
kolon ascenden dan berkembang ke kolon lainnya. Bila sejumlah parasit ini menyerang mukosa akan menimbulkan
ulkus (borok), yang mempercepat kerusakan mukosa. Lapisan muskularis usus biasanya lebih tahan. Biasanya lesi
aka nterhenti di daerah membran basal dari muskularis mukosa dan kemudian terjadi erosi lateral dan berkembang
menjadi nekrosis. Jaringan tersebut akan cepat sembuh bila parasit tersebut dihancurkan (mati). Pada lesi awal
biasanya tidak terjadi komplikasi dengan bakteri. Pada lesi yang lama (kronis) akan diikuti infeksi sekunder oleh
bakteri dan dapat merusak muskularis mukosa, infiltrasi ke sub-mukosa dan bahkan berpenetrasi ke lapisan
muskularis dan serosa.

Amoebiasis intestinal bergantung pada resistensi hospesnya sendiri, virulrnsi dari strain amoeba, kondisi dari
lumen usus atau dinding usus, yaitu keadaan flora usus, infek/tidaknya dinding usus, kondisi makanan, apabila
makanan banyak mengandung karbohidrat, maka amoeba tersebut lebih patogen.

Ameboma adalah sebuah fokus nodular dari radang proliferatif atau menyerupai tumor yang berisi jaringan
granulasi yang berasal dari kolon kadang berkembang pada amoebiasis yang kronis, biasanya pada dinding dari
kolon dengan lokasi tersering terdapat dalam sekum, tapi bisa pada semua tempat di kolon dan rektum. Pada
pemeriksaan barium enema, ameboma dapat berupa lesi polipoid, dapat dikelirukan dengan karsinoma kolon.
Adanya ulkus pada mukosa usus dapat diketahui dengan sigmoidoskopi pada 25% kasus. Ulkus tersebar, terpisah
satu sama lain oleh mukosa usus yang normal, ukurannya bervariasi dari 2-3 mm sampai 2-3 cm.
Amoebiasis intestinal terdiri atas 2, yaitu:

a. Amoebiasis Kolon Akut

Gejala klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan diare yang dapat berupa tinja cair, tinja berlendir
atau tinja berdarah. Frekuensi diare dapat mencapai 10 x perhari. Demam dapat ditemukan pada sepertiga penderita.
Pasien terkadang tidak nafsu makan sehingga berat badannya dapat menurun. Pada stadium akut ditinja dapat
ditemukan darah, dengan sedikit leukosit serta stadium trofozoit E.histolytica.

Diare yang disebabkan E.histolytica secara klinis susah dibedakan dengan diare yang disebabkan bakteri
(Shigella, Salmonella, Escherichia coli, Campylobacter) yang sering ditemukan di daerah tropik. Selain itu juga
harsu dibedakan dengan non infectious diare seperti ischemic colitis, inflammatory bowel disease,
diverculitis, karena pada amoebiasis intestinalis penderita biasanya tidak demam.

b. Amoebiasis Kolon Menahun

Amoebiasis kolon menahun mempunyai gejala yang tidak begitu jelas. Biasanya terdapat gejala usus yang
ringan, antara lain rasa tidak enak diperut, diare yang diselingi obstipasi (sembelit). Gejala tersebut dapat diikuti
oleh reaktivasi gejala akut secara periodik. Dasar penyakit ialah radang usus besar dengan ulkus menggaung, disebut
juga kolitis ulserosa amebik.

Pada pemeriksaan tinja segar, stadium trofozoit E.histolytica sulit ditemukan, karena sebagian besar parasit
sudah masuk ke jaringan usus. Karena itu dilakukan uji serologi untuk menemukan zat anti amoeba atau
antigen E.histolytica. Sensitivitas uji serologi zat mencapai 75%, sedangkan deteksi antigen mencapai 90% untuk
mendiagnosis amoebiasis menahun. Pemeriksaan biopsi kolon hasilnya sangat bervariasi, dapat ditemukan
penebalan mukosa yang non-spesifik tanpa atau dengan ulkus, ulserasi fokal dengan atau tanpa E.histolytica, ulkus
klasik yang berebntuk seperti botol (flaskshaped appeareance), nekrosis dan perforasi dinding usus.
Predileksi terutama di daerah apendiks atau sekum, jarang sekali ditemukan di sigmoid. Komplikasi
amoebiasis intestinal dapat berupa acute necrotizing colitis, toxic megacolon, ameboma, amoebiasis kutis dan ulkus
perianal yang dapat membentuk fistula. Penderita dengan acute necrotizing colitis sangat jarang ditemukan tetapi
angka kematin mencapai 50%. Penderita terlihat sakit berat, demam, diare dengan lendir dan darah, nyeri perut
dengan tanda iritasi peritoneum. Bila terjadi perforasi usus atau pemberian anti amoeba tidak memperlihatkan hasil,
lakukan tindakan bedah.

Toxic megacolon juga sangat jarang ditemukan, biasanya berhubungan dengan penggunaan kortikosteroid.
Penderita memerlukan tindakan bedah, karena biasanya pemberian anti amoeba saja tidak memperlihatkan
perbaikan. Ameboma berasal dari pembentukan jaringan granulasi kolon yang berbentuk seperti cincin (annnuler),
dapat tunggal atau multipel. Biasanya ditemukan di sekum atau kolon asenden. Gambaran histologi menunjukkan
jaringan kolagen dan fibroblas dengan tanda peradangan menahun disertai granulasi. Ameboma ini menyerupai
karsinoma kolon. Amoebiasis kolon bila tidak diobatiakan menjalar keluar dari usus dan menyebabkan amoebiasis
ekstra-intestinal. Hal ini dapat terjadi secara hematogen (melalui aliran darah), atau perkontinuitatum (secara
langsung). Cara hematogen terjadi bila amoeba telah masuk submukosa kemudian ke kapiler darah, dibawah oleh
aliran darah melalui vena porta ke hati dan menimbulkan abses hati.
2. Amoebiasis Ekstra-intestinal

Abses hati merupakan manifestasi ekstra-intestinal yang paling sering ditemukan. Sebagian besar penderita
memperlihatkan gejala dalam waktu yang relatif singkat (2-4 minggu). Penderita memperlihatkan gejala demam,
batuk dan nyeri perut kuadran kanan atas. Bila permukaan diafragma hati terinfeksi, maka pada penderita dapat
ternjadi nyeri pleura kanan atau nyeri yang menjalar sampai bahu kanan. Pada 10%-35% penderita dapat ditemukan
gangguan gastrointestinal berupa mual, muntah, kejang otot perut, perut kembung, diare, dan konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali. Pada fase sub-akut dapat ditemukan penurunan berat badan,
demam dan nyeri abdomen yang difus. Abses hati lebih banyak ditemukan pada orang dewasa dibandingkan anak –
anak. Kebanyakan abses terbentuk di lobus kanan hati, biasanya soliter. Abses berisi nanah yang berwarnah coklat.

Pada pemeriksaan tinja, E.histolytica hanya ditemukan pada sebagian kecil penderita abses hati. Dapat
ditemukan leukositosis dan peningkatan serum alkali fostafase pada pemeriksaan darah. Komplikasi abses hati dapat
berupa penjalaran secara langsung ke pleura dan/atau perikardium, abses otak dan amoebiasis urogenitalis. Cara
perkontinuinatum terjadi bila abses hati tidak diobati sehingga abses pecah. Amoeba yang keluar dapat menembus
diafragma, masuk ke rongga pleura dan paru, menimbulkan abses paru. Abses hati dapat juga pecah ke dalam
rongga perut dan menyebabkan peritonitis atau pecah ke dalam dinding perut, menembus dinding perut samapi ke
kulit dan menimbulkan amoebiasis kulit dinding perut. Amoebiasis rektum bila tidak diobati dapat menyebar ke
kulit di sekitar anus menyebabkan amoebiasis perianal, dapat juga menyebar ke perineum, menyebabkan amoebiasis
perineal atau ke vagina menyebabkan amoebiasis vagina. Di kulit dan vagina amoeba ini menimbulkan ulkus.

C. Invasi Jaringan oleh Entamoeba histolytica

Ditemukan tiga stadium pada Entamoeba histolytica, yaitu amoeba aktif, kista tidak aktif, dan prekista
intermedia. Trofozoit ameboid adalah satu-satunya bentuk yang ada dalam jaringan. Bentuk tersebut juga ditemukan
dalam feses cair selama disentri amoeba. Ukurannya 15 – 30 µm. Sitoplasma granuler dan dapat mengandung sel-sel
darah merah (patognomonik) tetapi biasanya tidak mengandung kuman. Pewarnaan besi-hematoksilin atau trikhrom
Gomori menunjukkan selaput inti yang dibatasi oleh granula khromatin reguler, halus, membentuk jala-jala yang
nyata sekitar perifer, kariosom sentral, kecil, berwarna gelap. Pergerakan trofozoit dalam bahan segar relatif cepat
dan biasanya tidak searah. Pseudopodia seperti jari-jari dan lebar, reaksinya tidak ada pada suhu rendah atau pada
amoeba prekista.

Entamoeba histolytica memiliki siklus hidup dengan dua tahap, yaitu tahap trofozoit dan kista. Pada tahap
trofozoit, amoeba tidak bisa bertahan hidup mandiri, sedangkan pada tahap kista amoeba bersifat sangat menular dan
kuat, hidup di Lingkungan yang ekstrim. Entamoeba histolytica ditularkan melalui rute fecal–oral. Periode inkubasi
terjadi mulai dari hitungan hari sampai tahun (durasi rata-rata 2–4 minggu). Mayoritas mereka terinfeksi 90% adalah
pembawa simtomatik, danEntamoeba histolytica berada dalam saluran usus dalam simbiosis dengan host. Infeksi
dimulai dari tertelannya kista dalam makanan dan minumanyang terkontaminasi tinja. Kista yang tertelan
mengeluarkan trofozoit dalam usus besar dan memasuki submukosa. Bentuk kista biasanya sferis, berukuran10-18
µm. Kista yang matang berisi 2 inti yang akan membelah menjadi 4 intiyang kecil. Selama proses pematangan
vakuola glikogen akan dikeluarkan dan benda kromatoid menjadi makin kabur dan akhirnya menghilang. Kista
sangat tahan terhadap bahan kimia tertentu. Kista bisa tetap hidup dan infektif dalamkondisi lembab sedangkan
dalam feses yang mengering dapat bertahan sampai12 hari dan dalam air selama 30 hari.
Kista tahan terhadap kadar klorin biasanya digunakan untuk pemurnian air. Kista resisten terhadap keadaan
lingkungan seperti suhu rendah dan kadar klorin yang biasa digunakan pada pemurniaan air, parasit dapat
dibunuhdengan pemanasan 55°C. Bila air minum atau makanan terkontaminasi oleh kista Entamoeba histolytica,
kista akan masuk melalui saluran pencernaan menuju ileum dan terjadi excystasi, dinding kista robek dan keluar
amoeba multinucleus metacystic yang langsung membelah diri menjadi 8 uninucleat trofozoit muda yang disebut
amoebulae. Amoebulae bergerak ke usus besar, makan dan tumbuh dan membelah diri asexual.

Multiplikasi (perbanyakan diri) dari spesies ini terjadi dua kali dalam masa hidupnya yaitu membelah diri
dengan binary fission dalam usus pada fase trofozoit dan pembelahan nukleus yang diikuti dengan cytokinesis dalam
kista pada fase metacystic. Pada fase trofozoit Entamoeba histolytica mempunyai diameter rata-rata 20 µm,
sitoplasmanya terdiri atas zona luar yang jernih dan endoplasma dalam yang granuler padat, mengandung inti
yang berbentuk sferis yang mempunyai kariosom sentral yang kecil dan bahankromatin granuler yang halus.
Endoplasma juga berisi vakuola, dimanaeritrosit dapat ditemukan pada kasus amoebiasis invasif menyusup
masuk kedalam mukosa usus besar diantara sel epitel sambil mensekresi enzim proteolytik.

Didalam dinding usus trofozoit terbawa aliran darah menuju hati, paru, otak dan organ lain. Hati adalah organ
yang paling sering diserang selain usus. Di dalam hati trofozoit memakan sel parenkim hati sehingga menyebabkan
kerusakan hati. Trofozoit dalam intestinal akan berubah bentuk menjadi precystic. Bentuknya akan mengecil dan
berbentuk spheric dengan ukuran 3,5-20 µm. Bentuk kista yang matang mengandung chromatoidu ntuk menyimpan
unsur nutrisi glikogen yang digunakan sebagai sumber energi. Kista ini adalah bentuk inaktif yang akan keluar
melalui feses. Para trofozoit metacystic dari progeni mereka mencapai sektum dan mereka yangdatang dalam kontak
dengan mukosa oral menembus atau menyerang epitel oleh pencernaan litik.

Liang trofozoit lebih dalam dengan kecenderungan untuk menyebar lateral atau meneruskan kematian sel
sampai mereka mencapai sub-mukosa borok membentuk-bentuk flash. Ada beberapa titik penetrasi dari situs utama
invasi, lesi sekunder mungkin dihasilkan pada tingkat yang lebih rendah dariusus besar. Progeni dari koloni awal
yang diperas keluar ke bagian bawahusus dan dengan demikian, memiliki kesempatan untuk menyerang
danmenghasilkan bisul (borok) tambahan. Akhirnya, seluruh usus besar terlibat.

Trofozoit yang mencapai muskularis sering mukosa mengikis limfatik atau dinding venula mesenterika di
lantai borok, dan dibawa ke vena portalintrahepatik. Jika trombi terjadi di cabang-cabang kecil dari vena portal,
yang trofozoit dalam nekrosis menyebabkan trombi litik di dinding kapal danmencerna jalur ke lobules. Peningkatan
koloni dalam ukuran dan berkembang menjadi abses. Suatu abses hati khas mengembangkan dan terdiri dari:
Central zona nekrosis, zona Median hanya stoma, Sebuah zona luar dari jaringan normal yang baru saja diserang
oleh amoeba.

Enkistasi, yaitu proses secara alami perubahan tropozoit menjadi bentuk kista tidak terjadi di dalam jaringan.
Tropozoit yang ada di dalam lumen kolon akan berkondensasi menjadi benda berbentuk sferis, yakni prekista yang
kemudian dindingnya relatif tipis dan halus dilepaskan sehingga terjadilah kista muda. Pada stadium ini terdapat dua
macam inklusi pada kista muda dan kista matang, yaitu inklusi glikogen dengan tepi yang samar-samar dan bahan
yang refraktil, disebut kromatoid, yaitu benda yang dapat berbentuk batang panjangatau dapat juga pendek, biasanya
dengan ujung bundar.
Ekskistasi, yaitu proses ini tidak dapat terjadi secara in-vitro, kecuali bila dalam suasana yang hampir
mendekati keadaan dalam saluran cerna. Begitu kista masuk dalam mulut, akan terus masuk ke dalam lambung lalu
usus kecil. Dalam lingkungan asam, kista tidak akan berubah tetapi bila lingkungan menjadi netral atau basa,
amoeba akan menjadi aktif. Juga karena pengaruh cairan lambung maka dinding kista menjadi lemah dan amoeba
dengan banyak intinya menjadi pusat metakista tropozoit.

Dalam lingkungan yang tidak cocok untuk ekskistasi yaitu keluar didalam usus kecil, kista akan dibawa ke
usus besar dan kemudian dikeluarkan bersama tinja tanpa mengalami ekskistasi. Metakista tropozoit tidak akan
berkembang biak dan menempel pada mukosa usus atau tersangkut di dalam kelenjar yang terdapat di dalam kripta
usus. Bila amoeba muda mulai tumbuh, mereka akan menjadi tropozoit yang normal dan lengkaplah
siklus perkembangannya.
D. Diagnosis

Ditemukan Entamoeba histolytica dalam tinja disentrik, biopsi dinding abses. Pemeriksaan serologis dapat
menunjang diagnosis. Diagnosis terutama dilihat dari gejala klinis dan reaksi tes imunologi. Pemeriksaan dengan
sinar x dapat mendiagnosis adanya abses dalam hati. Pemeriksaan sampel feses cukup baik dilakukan untuk
mendiagnosis infeksi dalam usus. Pemeriksaan beberapa kali terhadap feses pasien untuk menemukan trofozoit
cukup baik dilakukan. Diagnosis secara imunologik cukup baik hasilnya. Penggunaan teknik fluoerscens antibodi
cukup baik tetapi tidak dapat membedakan antara E.histolytica dengan E.hartmanni.

Diagnosis yang akurat merupakan hal yang sangat penting, karena 90% penderita
asimtomatik E.histolytica dapat menjadi sumber infeksi bagi sekitarnya.

1. Pemeriksaan Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik tidak dapat membedakan E.histolytica denganE.dispar. Selain itu pemeriksaan
berdasarkan satu kali pemeriksaan tinja sangat tidak sensitif. Sehingga pemeriksaan mikroskopik sebaiknya
dilakukan paling sedikit 3 kali dalam waktu 1 minggu baik untuk kasus akut maupun kronik. Adanya sel darah
merah dalam sitoplasma E.histolytica stadium trofozoit merupakan indikasi terjadinya invasif amoebiasis yang
hanya disebabkan oleh E.histolytica.

Selain itu, motilitas stadium trofozoit akan menghilang dalam waktu 20 – 30 menit. Karena itu bila tidak
segera diperiksa, sebaiknya tinja disimpan dalam pengawet polyvinil alcohol (pva) atau pada suhu 4 °C. Dalam hal
yang terakhir, stadium trofozoit dapat terlihat aktif sampai 4 jam. Selain itu pada sediaan basah dapat ditemukan sel
darah merah. Hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan mikroskopik adalah keterlambatan waktu
pemeriksaan, jumlah tinja yang tidak mencukupi, wadah tinja yang terkontaminasi urin dan air, penggunaan
antibiotik (tetrasiklin, sulfonamid), laksatif, antasid, preoarat antidiare (kaolin, bismuth), frekuensi pemeriksaan dan
tinja diberi pengawet.

2. Pemeriksaan Serologi untuk Mendeteksi Antibodi

Sebagian besar orang yang tinggal di bagian endemis E.histolytica akan terpapar parasit berulang kali.
Kelompok tersebut sebagian besar akan asimtomatik dan pemeriksaan antibodi sulit membedakan
antara current atauprevious injections.
Pemeriksaan antibodi akan sangat membantu menegakkan diagnosis pada kelompok yang tidak tinggal di
daerah endemis. Sebanyak 75-80% penderita dengan gejala yang disebabkan E.histolytica memperlihatkan hasil
yang positif pada uji serologi antibodi terhadap E.histolytica. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai macam uji
serologi seperti IHA, lateks aglutinasi,counterimmunoelectrophoresis, gel diffusion test, uji komplemen, dan ELISA.
Biasanya merupakan uji standar adalah IHA, sedangkan ELISA merupakan alternatif karena lebih cepat, sederhana
dan juga lebih sensitif. Antibodi IgG terhadap antigen lektin dapat dideteksi dalam waktu 1 minggu setelah timbul
gejala klinis baik pada penderita kolitis maupun abses hati amoeba. Bila hasilnya meragukan, uji serologi tersebut
dapat diulang. Walaupun demikian, hasil pemeriksaan tidak dapat membedakan current infection dari previous
infection. IgM anti-lektin terutama dapat dideteksi pada minggu pertama sampai minggu ketiga pada seorang
penderita kolitis amoeba.

Titer antibodi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dan respons terhadap pengobatan, sehingga
walaupun pengobatan yang diberikan berhasil, titer antibodi tetap tidak berubah. Antibodi yang terbentuk karena
infeksi E.histolyticadapat bertahan sampai 6 bulan, bahkan pernah dilaporkan sampai 4 tahun.

3. Deteksi Antigen

Antigen amoeba yaitu Gal/Gal-Nac lectin dapat diideteksi dalam tinja, serum, cairan abses, dan air liur
penderita. Hal ini dapat dilakukan terutama menggunakan teknik ELISA, sedangkan dengan teknik CIEP ternyata
sensitivitasnya lebih rendah. Deteksi antigen pada tinja merupakan teknik yang praktis, sensitif dan spesifik dalam
mendiagnosis amoebiasis intestinalis. Walaupun demikian, tinja yang tidak segar atau yang diberi pengawet akan
menyebabkan denaturasi antigen, sehingga hasil yang false negatif. Oleh karena itu, syarat melakukan ELISA pada
tinja seseorang yang diduga menderita amoebiasis intestinal adalah tinja segar atau disimpan dalam lemari
pendingin. E.histolytica tes II dapat dibedakan infeksi yang disebabkan oleh E.histolytica atau E.dispar.

Pada penderita abses hati amoeba, deteksi antigen dapat dilakukan pada pus abses atau serumnya.

4. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Metode PCR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sebanding dengan deteksi antigen pada tinja
penderita amoebiasis intestinal. Kekurangannya adalah waktu yang diperlukan lebih lama, tekniknya lebih sulit dan
juga mahal. Untuk penelitian polimorfisme E.histolytica, teknik PCR merupakan metode unggulan. Walaupun
demikian, hasilnya sangat dipengaruhi oleh berbagai kontaminasi pada tinja. Selain itu kemungkinan terjadi false
negatif karena berbagai inhibitor pada tinja. Hal ini dapat dilakukan pada pus penderita dengan abses hati amoeba.
Ekstraksi DNA dapat dilakukan pada tinja yang sudah diberi pengawet formalin. Dengan cara ini dapat dibedakan
infeksi E.histolytica dengan E.dispar.

Sampai saat ini diagnosis amoebiasis yang invasif biasanya ditetapkan dengan kombinasi pemeriksaan
mikroskopik tinja dan uji serologi. Bila ada indikasi, dapat dilakukan kolonoskopik dan biopsi pada lesi intestinal
atau pada cairan abses. Parasit biasanya ditemukan pada dasar dinding abses. Berbagai penelitian memperlihatkan
rendahnya sensitivitas pemeriksaan mikroskopik dalam mendiagnosis amoebiasis intestinal atau abses hati amoeba.
Metode deteksi anti gen atau PCR pada tinja merupakan pilihan yang lebih tepat untuk menegakkan diagnosis.
Walaupun demikian, syarat untuk melakukan uji ini perlu diperhatikan. Selain itu pemeriksaan mikroskopik tetap
dilakukan untuk menyingkirkan infeksi campuran dengan mikroorganisme lain baik parasit maupun non-parasit.

E. Pengobatan

Pengobatan yang diberikan pada penderita amoebiasis yang invasif yang berbeda dengan non-invasif. Pada
penderita amoebiasis non-invasif dapat diberikan paromisin. Pada penderita amoebiasis invasif terutama diberikan
paromomisin. Pada penderita amoebiasis invasif terutama diberikan golongan nitroimidazol yaitu metronidazol.
Obat lain yang dapat diberikan adalah tinidazol, seknidazol, dan ornidazol.

Lebih kurang 90% penderita dengan amoebiasis koli ringan sedang, penyakitnya sembuh dengan pemberian
metronidazol. Pada penderita dengan fulminant colitis, dapat ditambahkan pemberian nitroimidazol, biasanya
sebanyak 40%-60% penderita masih mengandung parasit, karena itu sebaiknya diikuti dengan pemberian
paromomisin atau diloksanid furoat untuk mengeliminasi infeksi dalam lumen usus . pemberian metronidazol
sebaiknya tidak bersamaan dengan paromomisin, sebab yang terakhir dapat menyebabkan diare sebagai efek
sanping obat,. Pada penderita abses hati amoeba dapat dilakukan drainase abses selain pemberian obat anti amoeba.
Hal ini dapat dilakukan pada penderita abses hati yang setelah pengobatan 5-7 hari tidak memperlihatkan perbaikan
klinis. Pada penderita dengan risiko tinggi rupture abses misalnya dengan lesi berdiameter 5 cm atau di lobus kiri
pemberian antibiotik pada penderita abses hati dapat dilakukan bila tidak terjadi penyembuhan setelah pengobatan
dengan anti amoeba.

Obat amebisid dapat dikelompokkan menjadi 2 katagori yaitu :

1. Obat Yang Bekerja Pada Lumen Usus

Obat yang bekerja pada lumen usus merupakan obat yang tidak diabsorpsi dengan baik dalam usus, sehingga
dapat membunuh stadium trofozoit dan kista yang berada dalam lumen usus.

a. Paromomisin (Humatin)

Paromomisin (humatin) merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang tidak diabsorpsi dalam lumen
usus. Obat tersebut hanya membunuh stadium yang berada dalam lumen usus. Digunakan untuk mengeliminasi kista
setelah pengobatan dengan metronidazol atau tinidazol. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan
kelainan ginjal. Dosisnya adalah 25-35 mg/kgbb/hari, terbagi dalam 8 jam selama 7 hari. Tidak dianjurkan
penggunaan dalam jangka panjang karena toksik.

b. Diloksanid Furoat (Furamid, Entamizol)

Diloksanid Furoat (Furamid, Entamizol) merupakan obat pilihan untukE.histolytica yang berada dalam lumen.
Efek samping yang sering ditemukan adalah kembung. Mual, muntah dan diare kadang-kadang dilaporkan.
Dosisnya 3 kali 500 mg perhari selama 10 hari.

c. Iodoquinol (Iodoksin)
Iodoquinol (Iodoksin) termasuk golongan hdroksikuinolin. Tidak boleh diberikan pada penderita dengan
gangguan fungsi ginal. Dosisnya 3 kali 650 mg perhari selama 20 hari merupakan amebisid luminal yang bekerja
dilumen. Dapat digunakan untuk stadium kista setelah pemberian nitroimidazol.

2. Obat Yang Bekerja Pada Jaringan

a. Emetin Hidroklorida

Obat ini berkhasiat terhadap stadium trofozoit E.histolytica. pemberian emetin ini efektif bila diberikan secara
parenteral, karena pada pemberian oral absorpsinya tidak sempurna. Dapat diberiakan melalui suntikan
intramuscular atau subkutis setiap hari selama 10 hari. Pemberian secara intervena toksisitasnya relative tinggi,
terutama terhadap otot jantung. Dosis maksimum untuk orang dewasa adalah 65 mg sehari, sedangkan untuk anak di
bawah 8 tahun 10 mg sehari. Lama pengobatan 4 sampai 6 hari. Pada orang tua dan orang yang sakit berat, dosis
harus dikurangi. Pemberian emetin tidak dianjurakn pada ibu hamil, penderita dengan gangguan jantung dan ginjal.

Dehidroemetin relative kurang toksik dibandingkan dengan emetin dan dapat diberikan secara oral. Dosisnya
maksimum adalah 0,1 gram sehari, diberikan selama 4 sampai 6 hari. Emetin dan dehidroemetin efektif untuk
pengobatan abses hati (amoebiasis hati).

b. Metronidazol (Golongan Nitromidazol)

Metronidazol merupakan obat pilihan untuk amoebiasis koli atau abses hati amoeba, karena efektif terhadap
stadium trofozoit dalam dinding usus dan jaringan. Obat ini tidak dapat membunuh stadium kista. Efek sampingnya
antara lain mual, muntah dan pusing. Pada infeksi E.histolytica di lumen usus, hanya 50% parasit mati dengan obat
metronidazol atau tinidazol dengan diloksanid furoat ditambah paromomisin atau tetrasiklin. Smapai saat ini belum
dilaporkan resistensi E.histolytica terhadap metronidazol. Tinidazol atau ornidazol dengan dosis yang berbeda.
Dosis metronidazol untuk orang dewasa adalah 3x750 mg/hari 7-10 hari. Pada ibu hamil hindari pemakaiannya pada
trimester 1.

c. Klorokuin

Klorokuin merupakan amebisid jaringan yang efektif terhadap amoebiasis hati. Efek samping dan toksisitasnya
ringan, antara lain mual, muntah, diare, sakit kepala. Dosisnya untuk orang dewasa adalah 1 gram sehari selama 2
hari, kemudian 500 grama selama 2 sampai 3 minggu.

F. Epidemiologi

Amoebiasis terdapat diseluruh dunia. Prevalensi tertinggi, terutama di daerah tropic dan subtropik, khususnya
dinegara yang keadaan sanitasi lingkungan dan keadaan sosio ekonominya buruk. Di beberapa Negara tropis,
prevalensi anti-bodi terhadap E.histolytica mencapai 50%. Di Indonesia, amoebiasis kolon banyak ditemukan dalam
keadaan endemic.prevalensi E.histolytica di berbagai daerah di Indonesia sekitar 10%-18%. Di RRC, mesir, india
dan belanda brkisar 10,1%-11,5% di eropa utara 5-20% di eropa selatan 20%-51% dan ameriaka serikat 4%-21%.di
negara industry amoebiasis terutama pada kelompok homoseksusal, imigran, turis yang berpergian ke daerah
endemis, orang yang tinggal di asrama dan penderita positif HIV.

Penelitian epidemiologi memperlihatkan bahwa rendahnya status social ekonimi dan kurangnya sanitasi
merupakan factor yang mempengaruhi terjadinya infeksi. Pada kelompok ini, infeksi terjadi pada umur yang lebih
muda. di Meksiko prevalensi ditemukan 11% pada kelompok umur 5-9 tahun sedangkan di Bangladesh 30% pada
kelompok 2-5 tahun.

Frekuensi infeksi E.histolytica diukur dengan jumlah pengandung kista. Perbandingan berbagai macam
amoebiasis di Indonesia adalah sebagai berikut: amoebiasis paru, kulit dan vagina jarang dan amoebiasis otak lebih
jarang lagi dijumpai.

Amoebiasis ditularkan oleh pengandung kista. Pengandung kista biasanya sehat tetapi ia memegan peranan
penting untuk penyebaran penyakit, karena tinjanya merupakan sumber infeksi. Jadi amoebiasis tidak ditularkan
oleh penderita amoebiasis akut.

Stadium kista matang adalah bentuk infektif. Seorang pengandung kista yang menyajikan makanan (food
handler) misalnya koki hotel atau pelayanan restoran, bla hygiene perorangan kurang baik, dapat merupakan
simber infeksi. Bila ia tidak mencuci tangan ndung setelah buang air besar , maka tangannya akan terkontaminasi
dengan tinjanya sendiri yang mengandung kista, dapat memindahkan kista tersebut ke makanan atau iar minum.

Air

Makanan

Pengandung
Kista Orang Lain
Sayuran

Lalat

Kista dapat hidup lama dalam air (10-14 hari). Dalam lingkungan yang dingin dan lembab kista dapat hidup
selama kurang lebih dari 12 hari. Kista juga tahan terhadap klor yang terdapat dalam air ledeng dan kista akan mati
pada suhu 50 C atau dalam keadaan kering.

G. Pencegahan

Pencegahan amoebiasis terutama di tujukan pada kebersihan perorangan (personal higiene) dan
kebersihan lingkungan (environmental sanitation).

Kebersihan perorangan antara lain mencuci tangan dengan bersih sesudah buang air besar dan sebelum makan.

Kebersihan lingkungan meliputi: masak air minum sampai mendidih sebelum diminum, mencuci sayuran
sampai bersih atau memasaknya sebelum di makan, buang air besar di jamban, tidak menggunakan tinja manusia
untuk pupuk, menutup dengan baik makanan yang di hidangkan untuk menghidari kontaminasi oleh lalat dan lipas,
membuang sampah di tempat sampah yang tertutup untuk menghindari lalat.

H. Contoh Kasus

Laki-laki 35 tahun, Islam, mengeluh panas badan sejak 7 hari, naik turun, menetap sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Penderita juga mengeluh nyeri perut kanan atas dan mual tapi tidak muntah. Makan dan minum
berkurang. Buang air besar dan buang air kecil dalam batas normal.

Dari pemeriksaan fisik kesadaran compos mentis, keadaan umum baik, tekanan darah 110/90 mmHg, nadi
86x/menit, respirasi 20x/menit, suhu axilla 38°C. Pada pemeriksaan mata tidak didapatkan anemi dan ikterus.
Telinga, hidung, tenggorokan dalam batas normal, pada leher tidak didapatkan pembesaran leher. Pada pemeriksaan
thoraks didapatkan jantung dan paru dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen tidak didapatkan distensi,
bising usus normal. Hati tidak teraba, tepi tajam, permukaan rata, konsistensi kenyal, didapatkan nyeri tekan. Limpa
tidak teraba, perkusi traube space timpani. Ekstremitas hangat, tidak didapatkan kelainan.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hitung leukosit 19,6 x 103/mm, hitung eritrosit 4,02 x 106/mm3,
hemoglobin 12,2 mg/dL, hematokrit 35,9%, MCV 89,3 fL, MCH 30,3 pg, MCHC 34,0 g/dL, trombosit 459 x
103/mm3.

Hasil pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdomen menunjukkan gambaran abses hati dengan diameter 4,2 cm
x 5,8 cm. Penderita didiagnosis dengan abses hati, diberikan terapi metronidazol 4 x 500 mg. Karena keluhan tidak
berkurang, dilakukan punksi abses dan didapatkan cairan abses berwarna coklat kemerahan sebanyak 25 cc.
Penderita didiagnosis akhir dengan abses hati amoeba.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Amoebiasis merupakan infeksi yang disebabkan oleh amoeba, yaitu Entamoeba histolytica. Entamoeba
histolytica adalah suatu parasit yang sering ditemukan dalam usus besar manusia, primata tingkat tinggi tertentu, dan
beberapa binatang jinak rumahan dan komensal.

Proses invasi jaringan oleh Entamoeba histolytica dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Enkistasi, yaitu secara alami perubahan tropozoit menjadi bentuk kista tidak terjadi di dalam jaringan. Pada stadium
ini terdapat dua macam inklusi pada kista muda dan kista matang, yaitu inklusi glikogen dengan tepi yang samar-
samar dan bahan yang refraktil, disebut kromatoid.
2. Ekskistasi, yaitu proses ini tidak dapat terjadi secara in-vitro, kecuali bila dalam suasana yang hampir mendekati
keadaan dalam saluran cerna. Kista yang masuk dalam mulut, akan terus masuk ke dalam lambung lalu usus kecil.
Dalam lingkungan asam, kista tidak akan berubah tetapi bila lingkungan menjadi netral atau basa, amuba akan
menjadi aktif.

Sampai saat ini diagnosis amoebiasis yang invasif biasanya ditetapkan dengan kombinasi pemeriksaan
mikroskopik tinja dan uji serologi. Bila ada indikasi, dapat dilakukan kolonoskopik dan biopsi pada lesi intestinal
atau pada cairan abses. Parasit biasanya ditemukan pada dasar dinding abses.

Pengobatan yang diberikan pada penderita amoebiasis yang invasif yang berbeda dengan non-invasif. Pada
penderita amoebiasis non-invasif dapat diberikan paromisin. Pada penderita amebiasi invasif terutama diberikan
paromomisin. Pada penderita amoebiasis invasif terutama diberikan golongan nitroimidazol yaitu metronidazol.
Obat lain yang dapat diberikan adalah tinidazol, seknidazol, dan ornidazol.

Amoebiasis terdapat diseluruh dunia. Prevalensi tertinggi, terutama di daerah tropic dan subtropik, khususnya
dinegara yang keadaan sanitasi lingkungan dan keadaan sosio ekonominya buruk. Di beberapa Negara tropis,
prevalensi anti-bodi terhadap E.histolytica mencapai 50%.
Pencegahan amoebiasis terutama di tujukan pada kebersihan perorangan (personal higiene) dan
kebersihan lingkungan (environmental sanitation).

B. Saran

Dengan adanya makalah ini kami berharap kepada mahasiwa agar dapat lebih memahami tentang amoebiasis.
Serta melihat kemungkinan besar yang terjadinya amoebiasis di daerah-daerah tropis, termasuk Indonesia, maka
penting untuk meningkatkan usaha pengendalian amoebiasis. Salah satunya yaitu dengan cara menjaga kebersihan
diri, kebersihan lingkungan, salinitas, makanan dan tempat tinggal.
Amebiazid
A. Deskripsi
Amebiasis adalah penyakit infeksi usus besar yang disebakan oleh Entamoeba histolytica, dengan
atau tanpa gejala penyakit (yang paling sering adalah infeksi tanpa gejala penyakit). Penderita ini
disebut carrier.

Pengobatan
Amoeba dapat ditemukan di dalam lumen usus, di dalam dinding usus maupun di luar usus.
Hampir semua obat amebisid tidak dapat bekerja efektif di semua tempat tersebut, terutama bila
dipakai tunggal. Sering digunakan kombinasi obat untuk meningkatkan hasil pengobatan

B. Tetraskilin

FARMAKOLOGI (CARA KERJA OBAT)


Doksisiklin adalah antibiotik golongan tetrasiklin. Doksisiklin bekerja secara bakteriostatik dengan
mencegah sintesa protein mikroorganisme. Doksisiklin mempunyai spektrum kerja yang luas
terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.

INDIKASI
Indikasi Doksisiklin adalah :

 Infeksi saluran pernafasan


 Infeksi saluran pencernaan
 Infeksi pada saluran kemih dan kelamin
 Infeksi jaringan lunak dan kulit
 Infeksi telinga, hidung, dan tenggorokan

KONTRAINDIKASI
Doksisiklin jangan diberikan kepada penderita yang hipersensitif atau alergi terhadap antibiotik
doksisiklin atau tetrasiklin

A. Gaya hidup dan perawatan di rumah berikut dapat membantu Anda mengatasi Amebiasis:
 Konsumsi obat-obatan sesuai dosis dan bekerja sama dengan dokter dalam proses

perawatan

 Minum banyak air untuk mencegah dehidrasi atau diare

 Rajin cuci tangan Anda dengan sabun dan air hangat untuk mencegah infeksi parasit

 Pastikan semua makanan dimasak sebelum dimakan


 Pastikan hubungan seksual yang sehat (gunakan kondom)
A. Farmakokinetik
 · Absorpsi
Sekitar 30-80% tetrasiklin diserap dalam salura cerna. Doksisiklin dan minosiklin iserap lebih dari
90%. Absorpsi sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus. Adanya makanan dalam
lambung menghambat penyerapan, kecuali minosiklin dan doksisiklin. Absorpsi dihambat dalam
derajat tertentu oleh pH tinggi dan pembentukan kelat yaitu kompleks tetrasiklin dengan suatu zat lain
yang sukar diserap seperti aluminium hidroksid, garam kalsium dan magnesium yang biasanya
terdapat dalam antasida, dan juga ferum. Tetrasiklin diberikan sebelum makan atau 2 jam sesudah
makan.
 · Distribusi
Dalam plasma semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi.
Dalam cairan cerebrospinal (CSS) kadar golongan tetrasiklin hanya 10-20% kadar dalam serum.
Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi ke cairan tubuh lain dan
jaringan tubuh cukup baik. Obat golongan ini ditimbun di hati, limpa dan sumssum tulang serta di
sentin dan email gigi yang belum bererupsi. Golongan tetrasiklin menembus sawar uri dan terdapat
dalam ASI dalam kadar yang relatif tinggi. Dibandingkan dengan tetrasiklin lainnya, doksisiklin dan
minosiklin daya penetrasinya ke jaringan lebih baik.
 · Ekskresi
Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin dengan filtrasi glomerolus dan melalui empedu.
Pemberiaan per oral kira-kira 20-55% golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin. Golongan
tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke dalam empedu mencapai kadar 10 kali kadar dalam serum.
Sebagian besar obat yang diekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik;
maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi
obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami kumulasi dalam
darah. Obat yang tidak diserap diekskresi melalui tinja.

FARMAKOKINETIK
Absorbsi
Kira-kira 30-80% tetrasklin diserap lewat saluran cerna. Doksisiklin dan minosiklin diserap lebih
dari 90%. Absorpsi ini sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus bagian atas. Berbagai
faktor dapat menghambat penyerapan tetrasiklin seperti adanya makanan dalam lambung (kecuali
doksisiklin dan monosiklin), pH tinggi, pembentukan kelat (kompleks tetrasiklin dengan zat lain yang
sukar diserap seperti kation Ca2+, Mg2+, Fe2+, Al3+, yang terdapat dalam susu dan antasid). Oleh
sebab itu sebaiknya tetrasiklin diberikan sebelum atau 2 jam setelah makan (1).
Tetrasiklin fosfat kompleks tidak terbukti lebih baik absorbsinya dari sediaan tetrasiklin biasa (1).

Distribusi
Dalam plasma serum jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi.
Pemberian oral 250 mg tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin tiap 6 jam menghasilkan kadar
sekitar 2,0-2,5 μg/ml (1).
Masa paruh doksisiklin tidak berubah pada insufisiensi ginjal sehingga obat ini boleh diberikan
pada gagal ginjal. Dalam cairan serebrospinal (CSS) kadar golongan tetrasiklin hanya 10-20% kadar
dalam serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi ke cairan
tubuh lain dalam jaringan tubuh cukup baik. Obat golongan ini ditimbun dalam sistem
retikuloendotelial di hati, limpa dan sumsum tulang, serta di dentin dan email gigi yang belum
bererupsi. Golongan tetrasiklin menembus sawar uri, dan terdapat dalam air susu ibu dalam kadar
yang relatif tinggi. Dibandingkan dengan tetrasiklin lainnya, daya penetrasi doksisiklin dan minosiklin
ke jaringan lebih baik (1).

Metabolisme
Obat golongan ini tidak dimetabolisme secara berarti di hati. Doksisiklin dan minosiklin mengalami
metabolisme di hati yang cukup berarti sehingga aman diberikan pada pasien gagal ginjal (1).
. Ekskresi
Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin berdasarkan filtrasi glomerulus. Pada pemberian per
oral kira-kira 20-55% golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin. Golongan tetrasiklin yang diekskresi
oleh hati ke dalam empedu mencapai kadar 10 kali kadar serum. Sebagian besar obat yang
diekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik; maka obat ini masih terdapat
dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi obstruksi pada saluran empedu
atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami kumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap
diekskresi melalui tinja (1).
Antibiotik golongan tetrasiklin yang diberi per oral dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan sifat
farmakokinetiknya, yaitu :
a. Tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin. Absorpsi kelompok tetrasiklin ini tidak lengkap
dengan masa paruh 6-12 jam.
b. Demetilklortetrasiklin. Absorpsinya lebih baik dari masa paruhnya kira-kira 16 jam sehingga
cukup diberikan 150mg per oral tiap 6 jam.
c. Doksisiklin dan minosiklin. Absorpsinya baik sekali dan masa paruhnya 17-20 jam. Tetrasiklin
golongan ini cukup diberikan 1 atau 2 kali 100 mg sehari (1).

FARMAKODINAMIK
Golongan tetrasiklin menghambat sintesisprotein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi
dua proses dalam masuknya anti biotik ke dalam ribosom bakteri gram negative, pertama secara
difusi pasif melalui kanal hidrofilik, kedua melalui sistem transport aktif. Setelah masuk anti biotik
berikatan secara revarsible dengan ribosom 30S dan mencegah ikatan tRNA – amino asil pada
kompleks mRNA – ribosom. Hal tersebut mencegah perpanjangan rantai peptida yang sedang
tumbuh dan berakibat terhentinya sintesis protein (1)

A. Amebiasis Hati
Penyebabnya adalah Entamoeba hystolitica yang menyerang saluran cerna dan sebagai komplikasi
mengenai alat di luar saluran cerna seperti hati, paru-paru, otak, dan kulit. Amebiasis hati lebih banyak
menyerang laki-laki.
1. Pengkajian Keperawatan
Data dasar pengkajian pasien dengan Abses Hepar, meliputi.
a. Aktivitas/istirahat, menunjukkan adanya kelemahan, kelelahan, terlalu lemah, latergi, penurunan
massa otot/tonus.
b. Sirkulasi, menunjukkan adanya gagal jantung kronis, kanker, distritmia, bunyi jantung ekstra,
distensi vena abdomen.
c. Eliminasi, Diare, Keringat pada malam hari menunjukkan adanya flatus, distensi abdomen,
penurunan/tidak ada bising usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap pekat.
d. Makanan/cairan, menunjukkan adanya anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tidak dapat
mencerna, mual/muntah, penurunan berat badan dan peningkatan cairan, edema, kulit kering,
turgor buruk, ikterik.
e. Neurosensori, menunjukkan adanya perubahan mental, halusinasi, koma, bicara tidak jelas.
f. Nyeri/kenyamanan, menunjukkan adanya nyeri abdomen kuadran kanan atas, pruritas, sepsi
perilaku berhati-hati/distraksi, focus pada diri sendiri.
g. Pernapasan, menunjukkan adanya dispnea, takipnea, pernapasan
h. dangkal, bunyi napas tambahan, ekspansi paru terbatas, asites, hipoksia
I. Keamanan, menunjukkan adanya pruritas, demam, ikterik, angioma spider, eritema.

B. Rencana keperawatan dan rasional


Intervensi Rasional
1. Awasi keluhan anoreksia,
1. Berguna dalam
mual/muntah.
mendefinisikan derajat,
2. Awasi pemasukan luasnya masalah dan
diet/jumlah kalori. Berikan
makanan sediki dalam pilihan intervensi yang
frekwensi sering. tepat.
2. Makan banyak sulit untuk

3. Lakukan perawatan mulut mengatur bila klien


sebelum makan anoreksia. Anoreksia juga
4. Timbang berat badan.
5. Berikan obat vit. B paling buruk pada siang
kompleks, vit. c tambahan hari, membuat masukan
diet lain sesuai indikasi.
makanan sulit pada sore
Intervensi Rasional

hari.
3. Menghilangkan rasa tidak
enak dan meningkatkan
nafsu makan
4. Penurunan BB
menunjukkan tidak
adekuatnya nutrisi klien.
5. Memperbaiki kekurangan
dan membantu dan proses
penyembuhan.

DX.III. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan edema Tujuan : pemulihan kepada
volume cairan yang normal

Rencana keperawatan dan rasional


Intervensi Rasional
1. Batasi asupan Natrium 1. Meminimalkan
dan cairan jika pembentukan asites dan
Diinstruksikan edema.
2. Berikan diuretic, suplemen 2. Meningkatkan ekskresi
cairan lewat ginjal dan
kalium dan protein.
mempertahankan
3. Catat asupan dan keseimbangan cairan serta
haluaran cairan. elektrolit yg normal.
4. Ukur dan catat lingkar 3. Menilai efektivitas terapi
abdomen setiap hari. dan kecukupan asupan
cairan.
4. Memantau perubahan
pembentukan asites dan
pembentukan cairan

DX.IV. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu dalam
jaringan .
Tujuan : Klien menunjukkan jaringan kulit yang utuh.
Kriteria hasil :
a. Melaporkan penurunan proritus atau menggaruk.
b. Ikut serta dalam aktifitas untuk mempertahankan integritas kulit
Rencana keperawatan dan rasional
Intervensi Rasional
1. Lakukan perawatan kulit 1. Mencegah kulit kering
dengan sering,hindari berlebihan. Memberikan
sabun alkali. penghilang gatal
2. Pertahankan kuku klien 2. Untuk menurunkan resiko
terpotong pendek. kerusakan kulit bila
Instruksikan Klien menggaruk.
menggunakan ujung jari 3. Pakaian basah dan
untuk menekan pada kulit berkeringat adalah sumber
bila sangat perlu ketidak nyamanan
menggaruk
3. Pertahankan liner dan
pakaian kering.

DX.V. Kurang pengetahuan berhubungan kurangnya informasi tentang proses penyakit.


Tujuan : Klien dan keluarga mengetahui tentang proses
penyakitnya.
Kriteria hasil :
a. Mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit.
b. Melakukan perubahan perilaku dan berpartisipasi pada pengobatan
Rencana keperawatan dan rasional
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat pemahaman 1. Mengidentifikasi area
proses penyakit, harapan kekurangan / salah
/prognosis, kemungkinan informasi dan memberikan
pilihan pengobatan. informasiambahan sesuai
2. Berikan informasi khusus keperluan.
tentang penyakitnya. 2. Kebutuhan atau
3. Jelaskan pentingnya rekomendasi akan
istirahat dan latihan. bervariasi karena tipe
hepatitis dan situasi
individu.
3. Aktifitas perlu dibatasi
sampai hepar kembali
normal.

DX.VI. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.


Tujuan : Klien menujukkan suhu tubuh dalam batas normal
Kriteria hasil :
a. Klien tidak mengeluh panas
b. Badan tidak teraba hangat
c. Suhu tubuh 36 ± 37 0C
Rencana keperawatan dan rasional
Intervensi Rasional
1. Kaji Adanya keluahan 1. Peningkatan suhu tubuh
tanda - tanda peningkatan menujukkan berbagai
suhu tubuh gejala seperti uka merah,
2. Monitor tanda - tanda vital badan teraba hangat
terutama suhu tubuh 2. Demam disebabkan efek -
efek dari endotoksin pada
hipotalamus dan efinefrin
yang melepaskan pirogen

3. Akxila merupakan jaringan


3. Berikan kompres hangat tipis dan terdapat pembulu
pada aksila / dahi darah sehingga akan
mempercepat pross
konduksi dan dahi berada
didekat hipotalamus
sehingga cepat
memberikan respon dalam
mengatur suhu tubuh.

DX.VII. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan hepar.


Tujuan : klien mengungkapkan nyeri berkurang / teratasi
Rencana keperawatan dan rasional
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat nyeri 1. Mengetahui persepsi dan
2. Monitor tanda - tanda vital reaksi klien terhadap nyeri
3. Berikan kenyamanan serta sebagai dasar
tindakan misalnya keefektifan untuk
perubahan posisi relaksasi intervensi selanjutnya
4. Ajarkan tehnik penangan 2. Perubahan frekuwensi
rasa nyeri control stress jantung atau TD
dan cara relaksasi menujukkan bahwa
5. Kolaborasi dengan tim pasien mengalami nyeri,
medis dalam pemberian khususnya bila alasan lain
analgetik untuk perubahan tanda
Intervensi Rasional
vital talah terlihat
3. Tindakan non analgetik
diberikan dengan
sentuhan lembut dapat
menghilangkan ketidak
nyamanan
4. Untuk mengalihkan
perhatian. Meningkatkan
control rasa serta
meningkatkan kemampuan
mengatasi rasa nyeri dan
stress dalam periode yang
lama
5. Analgetik berfungsi untuk
mengurangi rasa sakiti
individu.

DX.VIII. Pola napas tidak efektif berhubunagn dengan asites dan restriksi pengembangan toraks
akibat asites, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks.
Tujuan : Perbaikan status pernapasan Intervensi
Rencana keperawatan dan rasional
Intervensi Rasional
1. Tinggikan bagian kepala 1. Mengurangi tekanan
tempat tidur. abdominal pada diafragma
2. Hemat tenaga pasien dan memungkinkan
3. Bantu pasien menjalani pengembangan toraks dan
dalam Paresentesis dan ekspansi paru yg
torakosintesis maksimal.
2. Mengurangi kebutuhan
metabolic dan oksigen
pasie
4. Paresentesis dan
torakosintesis merupakan
tindakan yang menakutkan
bagi pasien. Bantu pasien
untuk bekerjasama dalam
menjalani prosedur ini.
Obat anti protozoa
A. Pengertian Protozoa
Protozoa berasal dari bahasa Yunani, yaitu protos artinya pertama dan zoon artinya hewan.
Sehingga Protozoa adalah hewan pertama. Protozoa adalah mikroorganisme menyerupai
hewan yang merupakan salah satu filum dari Kingdom Protista. Protozoa merupakan
kelompok lain protista eukariotik. Kadang-kadang antara algae dan protozoa kurang jelas
perbedaannya. Kebanyakan Protozoa hanya dapat dilihat menggunakan mikroskop.
Protozoa dibedakan dari prokariot karena ukurannya yang lebih besar, dan selnya
eukariotik. Protozoa dibedakan dari algae karena tidak berklorofil, dibedakan dari jamur
karena dapat bergerak aktif dan tidak berdinding sel, serta dibedakan dari jamur lendir
karena tidak dapat membentuk badan buah.
Antiprotozoa

Trypanosoma

Penyakit surra disebabkan oleh parasit sejenis protozoa, yaitu Trypanosoma certain.Binatang bersel
tunggal ini hidup di dalam sel darah merah sapi dan memakan gula darah (glukosa) yang terdapat di
darah.Gangguan yang ditimbulkan protozoa itu bukan hanya hilangnya gula darah pada sapi melainkan
juga adanya racun tripanotoksin. Racun ini diproduksi oleh protozoa tersebut dan akan menimbulkan
gangguan dengan gejala-gejala tersebut di atas. Parasit penyebab surra dapat berjangkit dari sapi satu
ke sapi lain lewat perantaraan gigitan lalat temak Tabanus, caplak, kutu, dan nyamuk Anopheles.
Mauxgah Ancaman Penyakit.

Penggunaan insektisida untuk membasmi lalat (sebagai vektor).Obat trypanocidal yang sudah digunakan
untuk mengobati penyakit Surra di berbagai negara adalah: suramin, diminazene, isomedium,
quinapyramine dan cymelarsan. Diminazen telah berhasil baik untuk pengobatan Surra pada sapi dan
kerbau di India, Vietnam, Thailand dan Indonesia. Isomedium dipakai di Malaysia dan Vietnam.
Beberapa penelitian melaporkan adanya resistensi obat terhadap beberapa strain Tripanosoma di
Vietnam. Sampai saat ini ternyata hanya Suramin yang efektif untuk pengendalian Surra, karena tidak
menimbulkan resistensi dan mempunyai efek residual selama tiga bulan sehingga dapat digunakan
sebagai pencegahan dan pengendalian (Martindah, 2012).

ASUHAN KEPERAWATAN DISENTRI


PENGERTIAN
Disentri adalah peradangan usus besar yang ditandai dengan sakit perut dan buang air
besar. Buang air besar ini berulang-ulang yang menyebabkan penderita kehilangan banyak
cairan dan darah.

PENGKAJIAN
1. Identitas
Perlu diperhatikan adalah usia. Episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan.
Insiden paling tinggi adalah golongan umur 6-11 bulan. Kebanyakan kuman usus merangsang
kekebalan terhadap infeksi, hal ini membantu menjelaskan penurunan insidence penyakit pada
anak yang lebih besar. Pada umur 2 tahun atau lebih imunitas aktif mulai terbentuk.
Kebanyakan kasus karena infeksi usus asimptomatik dan kuman enteric menyebar terutama
klien tidak menyadari adanya infeksi. Status ekonomi juga berpengaruh terutama dilihat dari
pola makan dan perawatannya .
2. Keluhan Utama
BAB lebih dari 3 x
3. Riwayat Penyakit Sekarang
BAB warna kuning kehijauan, bercamour lendir dan darah atau lendir saja. Konsistensi
encer, frekuensi lebih dari 3 kali, waktu pengeluaran : 3-5 hari (diare akut), lebih dari 7 hari (
diare berkepanjangan), lebih dari 14 hari (diare kronis).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah mengalami diare sebelumnya, pemakian antibiotik atau kortikosteroid jangka
panjang (perubahan candida albicans dari saprofit menjadi parasit), alergi makanan, ISPA, ISK,
OMA campak.

1. Riwayat Nutrisi ASI


Pada anak usia toddler makanan yang diberikan seperti pada orang dewasa, porsi yang
diberikan 3 kali setiap hari dengan tambahan buah dan susu. kekurangan gizi pada anak usia
toddler sangat rentan,. Cara pengelolahan makanan yang baik, menjaga kebersihan dan
sanitasi makanan, kebiasan cuci tangan.
2. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ada salah satu keluarga yang mengalami diare.
3. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Penyimpanan makanan pada suhu kamar, kurang menjaga kebersihan, lingkungan
tempat tinggal.
8. Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
a. Pertumbuhan
o Kenaikan BB karena umur 1 –3 tahun berkisar antara 1,5-2,5 kg (rata-rata 2 kg), PB 6-10 cm
(rata-rata 8 cm) pertahun.
o Kenaikan linkar kepala : 12cm ditahun pertama dan 2 cm ditahun kedua dan seterusnya.
o Tumbuh gigi 8 buah : tambahan gigi susu; geraham pertama dan gigi taring, seluruhnya
berjumlah 14 – 16 buah
o Erupsi gigi : geraham perama menusul gigi taring.
b. Perkembangan
o Tahap perkembangan Psikoseksual menurut Sigmund Freud
B.DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan diare atau output
berlebihan dan intake yang kurang
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan
skunder terhadap diare.
3. Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi skunder terhadap diare
4. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan frekwensi diare.
5. Resiko tinggi gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan BB menurun terus menerus.
6. Kecemasan anak berhubungan dengan tindakan invasive
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan
cairan skunder terhadap diare
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam keseimbangan dan
elektrolit dipertahankan secara maksimal
Kriteria hasil :
o Tanda vital dalam batas normal (N: 120-60 x/mnt, S; 36-37,50 c, RR : < 40 x/mnt )
o Turgor elastik , membran mukosa bibir basah, mata tidak cowong, UUB tidak cekung.
o Konsistensi BAB lembek, frekwensi 1 kali perhari
Intervensi :
1) Pantau tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit
R/ Penurunan sisrkulasi volume cairan menyebabkan kekeringan mukosa dan pemekataj urin.
Deteksi dini memungkinkan terapi pergantian cairan segera untuk memperbaiki defisit
2) Pantau intake dan output
R/ Dehidrasi dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus membuat keluaran tak aadekuat untuk
membersihkan sisa metabolisme.
3) Timbang berat badan setiap hari
R/ Mendeteksi kehilangan cairan , penurunan 1 kg BB sama dengan kehilangan cairan 1 lt
4) Anjurkan keluarga untuk memberi minum banyak pada kien, 2-3 lt/hr
R/ Mengganti cairan dan elektrolit yang hilang secara oral
5) Kolaborasi :
- Pemeriksaan laboratorium serum elektrolit (Na, K,Ca, BUN)
R/ koreksi keseimbang cairan dan elektrolit, BUN untuk mengetahui faal ginjal (kompensasi).
- Cairan parenteral ( IV line ) sesuai dengan umur
R/ Mengganti cairan dan elektrolit secara adekuat dan cepat.
- Obat-obatan : (antisekresin, antispasmolitik, antibiotik)
R/ anti sekresi untuk menurunkan sekresi cairan dan elektrolit agar simbang, antispasmolitik
untuk proses absorbsi normal, antibiotik sebagai anti bakteri berspektrum luas untuk
menghambat endotoksin.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak
adekuatnya intake dan out put
Tujuan : setelah dilakukan tindakan perawatan selama dirumah di RS kebutuhan nutrisi
terpenuhi
Kriteria : – Nafsu makan meningkat
- BB meningkat atau normal sesuai umur
Intervensi :
1) Diskusikan dan jelaskan tentang pembatasan diet (makanan berserat tinggi, berlemak dan air
terlalu panas atau dingin)
R/ Serat tinggi, lemak,air terlalu panas / dingin dapat merangsang mengiritasi lambung dan
sluran usus.
2) Ciptakan lingkungan yang bersih, jauh dari bau yang tak sedap atau sampah, sajikan
makanan dalam keadaan hangat
R/ situasi yang nyaman, rileks akan merangsang nafsu makan.
3) Berikan jam istirahat (tidur) serta kurangi kegiatan yang berlebihan
R/ Mengurangi pemakaian energi yang berlebihan
4) Monitor intake dan out put dalam 24 jam
R/ Mengetahui jumlah output dapat merencenakan jumlah makanan.
5) Kolaborasi dengan tim kesehtaan lain :
a. terapi gizi : Diet TKTP rendah serat, susu
b. obat-obatan atau vitamin ( A)
R/ Mengandung zat yang diperlukan , untuk proses pertumbuhan
3. Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi dampak
sekunder dari diare
Tujuan : Stelah dilakukan tindakan perawatan selama 3x 24 jam tidak terjadi peningkatan suhu
tubuh
Kriteria hasil : suhu tubuh dalam batas normal ( 36-37,5 C)
Tidak terdapat tanda infeksi (rubur, dolor, kalor, tumor, fungtio leasa)
Intervensi :
1) Monitor suhu tubuh setiap 2 jam
R/ Deteksi dini terjadinya perubahan abnormal fungsi tubuh ( adanya infeksi)
2) Berikan kompres hangat
R/ merangsang pusat pengatur panas untuk menurunkan produksi panas tubuh
3) Kolaborasi pemberian antipirektik
R/ Merangsang pusat pengatur panas di otak
4. Resiko gangguan integritas kulit perianal berhubungan dengan peningkatan frekwensi
BAB (diare)
Tujuan : setelah dilakukan tindaka keperawtan selama di rumah sakit integritas kulit tidak
terganggu
Kriteria hasil : – Tidak terjadi iritasi : kemerahan, lecet, kebersihan terjaga
- Keluarga mampu mendemontrasikan perawatan perianal dengan baik dan benar
Intervensi :
1) Diskusikan dan jelaskan pentingnya menjaga tempat tidur
R/ Kebersihan mencegah perkembang biakan kuman
2) Demontrasikan serta libatkan keluarga dalam merawat perianal (bila basah dan mengganti
pakaian bawah serta alasnya)
R/ Mencegah terjadinya iritassi kulit yang tak diharapkan oleh karena kelebaban dan keasaman
feces
3) Atur posisi tidur atau duduk dengan selang waktu 2-3 jam
R/ Melancarkan vaskulerisasi, mengurangi penekanan yang lama sehingga tak terjadi iskemi
dan irirtasi .
5. Kecemasan anak berhubungan dengan tindakan invasive
Tujuan : setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam, klien mampu beradaptasi
Kriteria hasil : Mau menerima tindakan perawatan, klien tampak tenang dan tidak rewel
Intervensi :
1) Libatkan keluarga dalam melakukan tindakan perawatan
R/ Pendekatan awal pada anak melalui ibu atau keluarga
2) Hindari persepsi yang salah pada perawat dan RS
R/ mengurangi rasa takut anak terhadap perawat dan lingkungan RS
3) Berikan pujian jika klien mau diberikan tindakan perawatan dan pengobatan
R/ menambah rasa percaya diri anak akan keberanian dan kemampuannya
4) Lakukan kontak sesering mungkin dan lakukan komunikasi baik verbal maupun non verbal
(sentuhan, belaian dll)
R/ Kasih saying serta pengenalan diri perawat akan menunbuhkan rasa aman pada klien.
5) Berikan mainan sebagai rangsang sensori anak.
D.IMPLEMENTASI
1.Memantau tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit
agar Penurunan sisrkulasi volume cairan menyebabkan kekeringan mukosa dan pemekataj
urin. Deteksi dini memungkinkan terapi pergantian cairan segera untuk memperbaiki deficit
2.Memantau intake dan output
agar Dehidrasi dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus membuat keluaran tak aadekuat
untuk membersihkan sisa metabolisme.
3. Menimbang berat badan setiap hari
untuk Mendeteksi kehilangan cairan , penurunan 1 kg BB sama dengan kehilangan cairan 1 lt
4. Menganjurkan keluarga untuk memberi minum banyak pada kien, 2-3 lt/hr
untuk Mengganti cairan dan elektrolit yang hilang secara oral
5. Berkolaborasi :
dalam Pemeriksaan laboratorium serum elektrolit (Na, K,Ca, BUN)
untuk koreksi keseimbang cairan dan elektrolit, BUN untuk mengetahui faal ginjal (kompensasi).
E.EVALUASI
 Masalah dikatakan teratasi apabila Tanda vital dalam batas normal (N: 120-60 x/mnt, S; 36-
37,50 c, RR : < 40 x/mnt )
 Turgor elastik , membran mukosa bibir basah, mata tidak cowong, UUB tidak cekung.
 Konsistensi BAB lembek, frekwensi 1 kali perhari

Anda mungkin juga menyukai