Anda di halaman 1dari 20

Makalah Mata Kuliah Farmakologi Kemoterapi

ANTIJAMUR

Disusun oleh :
Triayu Maharani
260110130115

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015
DEFINISI INFEKSI JAMUR & ANTIJAMUR
Infeksi karena jamur disebut sebagai mikosis, umumnya bersifat kronis,
dapat ringan pada permukaan kulit (mikosis kutan), dapat pula menembus kulit
menimbulkan mikosis subkutan. Mikosis yang paling sulit diobati ialah mikosis

sistemik yang sering menimbulkan kematian. Insiden infeksi jamur meningkat


pada sejumlah penderita dengan penekanan system imun (misalnya, pada
penderita kanker dan transplantasi) dan pada penderita AIDS. Penderita
penderita ini seringkali menderita infeksi jamur oportunistik, seperti meningitis
kriptokokus

atau

aspergilus.

Mikosis

sistemik;

seperti

blastomikosis,

koksidioidomikosis, dan histoplasmosis hampir selalu menjadi masalah di


beberapa daerah. Penggunaan antineoplastic dan imunosupresan memberi
kesempatan infeksi jamur sistemik berkembang dengan cepat. Dinding sel jamur
mengandung kitin, polisakarida, dan ergosterol pada membrane selnya;
kandungan dinding sel jamur ini berbeda dengan bakteri. Oleh karena itu, infeksi
jamur resisten terhadap antibiotika yang digunakan untuk infeksi bakteri, dan
sebaliknya, bakteri juga resisten terhadap obat obat antijamur (Staff Pengajar
Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2004).
Secara klinik, infeksi jamur dapat digolongkan menurut lokasi infeksinya,
yaitu:
1. Mikosis sistemik (infeksi jamur sistemik) terdiri dari deep mycosis
(misalnya aspergilosis, blastomikosis, koksi dioidomikosis, kriptokokosis,
hsitoplasmosis, mukormikosis, parakosidio-idomikosis, dan kandidiasis)
dan sub cutan mycosis (misalnya, kromomikosis, misetoma, dan
sporotrikosis).
2. Dermatofit, yaitu infeksi jamur yang menyerang kulit, rambut, dan kuku,
biasanya disebabkan oleh epidermofiton dan mikrosporum.
3. Mikosis mikokutan, yaitu infeksi jamur pada mukosa dan lipatan kulit
yang lembap, biasanya disebabkan oleh candida.
(Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2004).
Obat obat antijamur, juga isebut dengan obat obat antimikotik, dipakai
untuk mengobati dua jenis infeksi jamur: infeksi jamur superfisial pada kulit atau
selaput lender dan infeksi jamur sistemik pada paru paru atau system saraf
pusat. Infeksi jamur dapat ringan, seperti pada tinea pedis (athletes foot), atau
berat, seperti pada paru paru atau meningitis. Jamur, seperti Candida spp. (ragi),
merupakan bagian dari floranormal pada mulut, kulit, usus halus, dan vagina.

Kandidiasis dapat terjadi sebagai infeksi oportunistik jika mekanisme pertahanan


tubuh terganggu. Obat obat seperti antibiotic, kontrasepsi oral, dan
imunosupresif, dapat juga mengubah mekanisme pertahanan tubuh. Infeksi jamur
oportunistik dapat ringan (infeksi ragi pada vagina) atau berat (infeksi jamur
sistemik) (Kee & Hayes, 1993).
Obat obat antijamur dikelompokkan ke dalam empat kelompok:
1.
2.
3.
4.

Polien, termasuk amfoterisisn B dan nistatin


Imidazole, termasuk ketokenazol, mikonazol, dan klotrimazol
Antijamur antimetabolite, flusitosin
Antijamur topical untuk infeksi superfisial
(Kee & Hayes, 1993).

PATOFISIOLOGI INFEKSI JAMUR


Infeksi jamur ini dapat diawali dengan masuknya spora ke dalm tubuh atau
berlekatan terhadap permukaan kulit. Infeksi sistemik umumnya diawali dengan
masuknya spora ke dalam organ tubuh seperti paru paru atau pada Candidiasin
vulvovaginal infeksi dapat terjadi karena spora masuk mealui lubang vagina. Pada
dasarnya saat mikroorganisme ini masuk ke dalam tubuh, tubuh memiliki system
pertahanan tubuh yang memungkinkan untuk melawan zat asing yang masuk ke
dalam tubuh. Tetapi system pertahanan tubuh ini kekuatannya sangat terbatas dan
bervariasi pada setiap individu. Selain itu di dalam tubuh kita sendiri memiliki
mikro flora normal. Pada kulit, mulut, usus halus dan vagina seperti contohnya
Candida sp. Tetapi saat system pertahanan tubuh terganggu maka dapat
memungkinkan terjadinya infeksi oportunistik seperti kandidiasis. Obat obat
seperti antibiotic kontrasepsi oral dan imunosupresfi dapat mengubah system
pertahanan tubuh. Penggunaan obat antineoplastic dan imunosupresan akan
memberikan kesempatan infeksi jamur sistemik berkembang dengan cepat
(Tambayong, 2000).
PENGGOLONGAN OBAT ANTIJAMUR
Menurut indikasi klinis obat obat antijamur dapat dibagi atas 2 golongan,
yaitu:

1. Antijamur untuk infeksi sistemik, termasuk : amfoterisisn B,


fluositosin, imidazole (ketokenazol, flukonazol, mionazol), dan
hidroksistilbamidin.
2. Antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan, termasuk
griseofulvin, golongan imidazole, tolnaftat, dan antijamur topical
lainnya (kandisidin, asam undesilenat, dan natamisin).
(Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2004).
1. Antijamur Untuk Infeksi Sistemik
1.1.Golongan Imidazol
Yang termasuk
klotrimazol.

dalam golongan imidazole adalah mikonazol,

Ketokenazol,

flukonazol,

itrakonazol,

triazol,

ekonazol,

isokonazol, tiokonazol, dan bifonazol. Sifat dan penggunaan golongan


imidazole ini praktis tidak berbeda (Staff Pengajar Departemen Farmakologi
FK UNSRI, 2004).

Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja obat ini belum semuanya diketahui. Obat bekerja

dengan jalan memblok biosintesis lipid yang dibutuhkan jamur, khususnya


ergosterol dalam membrane sel jamur, dan mungkin juga dengan mekanisme
tambahan lain (mengganggu sintesis asam nukleat atau penimbunann
peroksida dalam sel jamur yang menimbukan kerusakan) (Staff Pengajar
Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2004).
Ketokenazol
Ketokenazol termasuk golongan imidazole, yaitu suatu antijamur
sintetik dengan rumus bangun mirip dengan mikonazol dan kotrimazol (Staff
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2004).
Aktivitas ketokenazol hampir sama dengan mikonazol, yaitu efektif
terhadap Candida, Coccsidioides immitis, Cryptococcus neoformans, H.
capsulatum, B. dermatitidis, Aspergillus, dan Sporotrix spp. (Staff Pengajar
Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2004).

Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja ketokenazol sama dengan mikonazol. Ketokenazol

masuk ke dalam sel jamur dan menimbulkan kerusakan pada dinding sel.
mungkin juga terjadi gangguan sintesis asam nukleat atau penimbunan
peroksida dalam sel yang merusak sel jamur (Staff Pengajar Departemen
Farmakologi FK UNSRI, 2004).

Farmakokinetik
Ketokenazol merupakan antijamur pertama yang dapat diberikan per

oral. Ketokenazol diabsorpsi dengan baik melalui oral yang menghasilkan


kadar yang cukup untuk menekan pertumbuhan berbagai jamur. Dengan dosis
orl 200 mg, diperoleh kadar puncak 2 3 mcg/ ml yang bertahan selama 6
jam atau lebih. Absorpsi akan menurun pada pH cairan lambung yang tinggi,
atau bila diberikan bersama antacid atau antihistamin H 2. Setelah pemberian
oral. Obat ini dapat ditemukan dalam urin, kelenjar lemak, air ludah, kulit
yang mengalami infeksi, tendon, dan cairan synovial. Ikatan dengan protein
plasma 84%, terutama dengan albumin, 25 % diantaranya berikatan dengan
sel darah dan 1 % terdapat dalam bentk bebas. Sebagian besar obat ini
mengalami metabolisme lintas pertama. Diperkirakan ketokonazol diekskresi
ke dalam empedu, masuk ke usus dan sebagian kecil saja yang dieksresi
melalui urin, semuanya dalam bentuk metabolit tidak aktif (Staff Pengajar
Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2004).

Indikasi dan Kontraindikasi


Ketokenazol terutama efektif terhadap histoplasmosis paru, tulang,

sendi, dan jaringan lemak. Tidak dianjurkan untuk meningitis kriptokokus


karena penetrasinya kurang baik (Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK
UNSRI, 2004).
Obat
ini

efektif

parakoksidioidomikosis,

untuk
beberapa

kriptokokus
bentuk

nonmeningeal,
koksdioidomikosis,

dermatomikosis, dan kandidosis (mukokutan, vaginal, dan rongga mulut)


(Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2004).
Ketokonazol tidak bermanfaat untuk kebanyakan infeksi jamur sistemik
yang

berat.

Ketokonazol

dikontraindikasikan

pada

penderita

yang

hipersensitif, ibu hamil dan menyusui serta penyakit hepar akut (Staff
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2004).
Ketokenazol tidak bermanfaat untuk kebanyakan infeksi jamur sistemik
yang

berat.

Ketokenazol

dikontraindikasikan

pada

penderita

yang

hipersensitif, ibu hamil dan menyusui, serta penyakit hepar akut (Staff
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2004).

Efek samping
Umumnya ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling sering

ditemukan ialah mual, ginekomastia, rush, pruritus, hepatitis kolestatik,


blockade sintesis kortisol, dan testosterone (reversible). Efek samping ini
lebih ringan bila diberikan bersama makanan, kadang kadang dapat timbul
muntah, sakit kepala, vertigo, nyeri epigastik, fotopobia, parestesia, gusi
berdarah, erupsi kulit, dan trombositopenia. Ketokenazol dapat meningkatkan
aktivitas enzim hati untuk sementara, dan dapat pula menimbulkan
keerusakan hati. Frekuensi kejadian kerusakan hati adlah 1: 10.000 15.000.
hepatotoksisitas berat sering dijumpai pada wanita 40 tahun ke atas untuk
onikomikosis atau pada pemakaian yang lama. Nekrosis hati yang massif
telah menimbulkan kematian pada beberapa penderita (Staff Pengajar
Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2004).
Ketokonazol menghambat sintesis sterol suprarenalis dan dapat
menimbulkan ginekomastia. Ginekomastia dapat terjadi pada penserita pria,
dan mekanismenya belum diketahui. Sebaiknya tidak digunakan pada wanita
hamil karena terbukti pada tikus dapat menimbulkan cacat pada jari jari tikus
(Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2004).
Flukonazol
Flukonazol merupakan derifat triazol aktif terhadap mukosis yang
disebabkan oleh Cryptococcus neoformans, infeksi jamur intrakranial,

mikrosporum dan trikhofiton (Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK


UNSRI, 2004).
Mekanisme Kerja
Flukonazol bekerja spesifik menghambat pembentukan sterol pada
membran sel jamur. Flukonazol bekerja dengan spesifitas yang tinggi pada
enzim-enzim cytochcrome P-450 dependent (Staff Pengajar Departemen
Farmakologi FK UNSRI, 2004).
Farmakokinetik
Flikonazol diserap baik melalui saluran cerna, dan kadarnya dalam
plasma, setelah pemberian IV, diperoleh lebih dari 90% kadar plasma.
Absorpsi peroral tidak dipengaruhi oleh adanya makanan. Kadar puncak
dalam plasma. Absorpsi peroral tidak dipengaruhi oleh adanya makanan.
Kadar puncak dalam plasma diperoleh 0,5 jam sampai 1,5 jam setelah
pemberian dengan waktu paruh sekitar 30 jam. Kadar menetap dalam plasma
dengan dosis harian diperolehpada hari ke-4 sampai ke-5 yang kira-kira 80%
dari kadar plasma (Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI,
2004).
Indikasi
Flukonazol diindikasikan untuk:
1) meningitis kriptokokus
2) kandidiasis sistemik (termasuk kandisemia dan kandidiasis
diseminata), dan bentuk-bentuk lain kandidisis, termasuk infeksi
jamur di peritonium, endokardium, dan infeksi jamur di saluran
napas dan saluran cerna
3) kansdidiasis orofaringeal, dan kandidiasis esofaga
4) kandidiasis vaginal.
(Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2004).

Kontraindikasi
Akan terjadi kontraindikasi bila diberikan pada penderita yang sensitif

terhadap derivat triazol. Penggunaan pada wanita hamil dan menyusui, dan
anak dibawah 16 tahun tidak dianjurkan karena belum ada kepastian data

bahwa obat ini aman untuk mereka (Staff Pengajar Departemen Farmakologi
FK UNSRI, 2004).
Efek Samping
Efek samping flukonazol yang paling umum adalah sakit kepala, mual,
dan sakit perut. Sebagian besar obat antiretroviral (ARV) menyebabkan
masalah pada sistm pencernaan. Flukonazol dapat memburukkan masalah itu
(Yayasan Spiritia, 2015).
1.2.Amfoterisin B
Amfoterisisn B menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel matang.
Aktivitas antijamur nyata pada pH 6,0-7,5 tapi berkurang pada pH yang lebih
rendah. Antibiotik ini dapat bersifat fungistatik atau fungisidal. Tergantung
pada dosis dan sensitivitas jamuryang dipengaruhi. Dengan kadar 0,3-1,0
ug/mL antibiotik ini dapat menghambat aktivitas Histoplasma capsulatum,
cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis dan beberapa spesies
Candida, Torulopsis glabrata, Rhodotorula, Blastomyces dermatitidis,
Paracoccidioides braziliensis, beberapa spesies Aspergillus, Sporotrichum
schenckii, Microsporum audiouini dan spesies Trichophyton. Secara in vitro
bila rifampisisn atau minosiklin diberikan bersamaan dnegan amfoterisin B
terjadi sinergisme terhadap jamur tertentu (Gunawan, 2007).
Mekanisme Kerja
Obat ini bekerja dengan berikatan dengan membrane sel jamur atau ragi
yang sensitive. Integrasi dengan sterol sterol membran sel membentuk pori
pori sehingga membrane sel jamur lebih permeable terhadap molekul
molekul yang kecil (Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI,
2004).
Amfoterisin B berikatan kuat dengan ergosterol yang terdapat pada
membran sel jamur. Ikatan ini kan menyebabkan membran sel bocor sehingga
terjadi kehilangan. Beberapa bahan intrasel dan mengakibatkan kerusakan
yang tetap pada sel. Resistensi terhadap amfoterisin B ini mungkin

disebebkan terjadinya perubahan reseptror sterol pada membran sel


(Gunawan, 2007).
Farmakokinetik
Amfoterisin B sedikit sekali diserap melalui saluran cerna. Suntikan
yang dimulai dengan dosis 1,5 mghari lalu ditingkatkan secara bertahap
sampai dosis 0,4-0,6 mg/kg/BB/hari akan memberikan kadar puncak antara
0,5-2 ug/mL pada kadar mantap. Waktu paruh obat ini kira-kira 24-48 jam
pada dosis awal yang diikuti oleh eliminasi fase kedua dengan waktu paruh
kira-kira 15 hari sehingga kadar mantapnya baru akan tercapai setelah
beberapa bulan pemakaian. Obat ini didistribusikan luas ke seluruh jaringan.
Kira kira 95% obat beredar dalam plasma, terikat pada lipoprotein. Kadar
amfoterisin B dalam cairan pleura, peritonial, sinovial dan aquosa yang
mengalami peradangan hanya kira-kira 2/3 dari kadar terendah dalam plasma.
Amfoterisin B mungkin dapat menembus kadar uri ; sebagian kecil mencapai
CSS, humor vitreus dan cairan amnion. Ekskresi obat ini melalui ginjal
berlangsung lambat sekali, hanya 3% dari jumlah yang diberikan selama 24
jam sebelumnya ditemukan dalam urin (Gunawan, 2007).
Efek Samping
Infus amfoterisin B seringkali menimbulkan kulit panas, keringatan,
sakit kepala, demam, menggigil, lesu, anoreksia, nyeri otot, flebitis, kejang
dan penurunan fungsi ginjal. 50% pasien yang mendapat dosis awal secara IV
akan mengalami demam dan menggigil. Keadaan ini hampir selalu terjadi
pada penyuntikan amfoterisin B tapi akan berkurang pada pemberian
berikutnyareaksi ini dapat ditekan dengan memberikan hidrokortison 25-50
mg dan dengan antipiretik serta antihistamin sebelumnya. Flebitis dapat
dikurangi dengan menambahkan heparin1000 unit ke dalam infus (Gunawan,
2007).
Belum ada data yang jelas terhadap efek hepatotoksik amfoterisin B.
Penurunan fungsi ginjal terjadi pada lebih dari 80% pasien yang diobati
dengan amfoterisin B. Keadaan ini akan kembali normal bila terapi

dihentkan. Tetapi pada kebanyakan pasien yang mendapat dosis penuh


mengalami penurunan filtrasi glomerulus menetap (Gunawan, 2007).
1.3.Flusitosin
Spektrum antijamur Flusitosin agak sempit. Obat ini efektif untuk
pengobatan

kriptokokis,

kandidiasis,

kromomikosis,

torulopsis

dan

aspergilosis (Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri, 2004).


Mekanisme Kerja
Flusitosin masuk ke dalam sel jamur dengan bantuan sitosin deaminase
dan dalam sitoplasma akan bergabung denga RNA setelah mengalami
deaminasi menjadi 5-fluorourasil dan fosforilasi. Sintesis protein sel jamur
terganggu akibat penghambatan langsung sintesis DNA oleh metabolit
fuorourasil. Keadaan ini tidak terjadi pada sel mamalia karena dalam tubuh
mamalia flutosin tidak diubah menjadi fluorourasil (Staff Pengajar
Departemen Farmakologi FK Unsri, 2004).
Farmakokinetik
Flusitosin diserap dengan cepat dan baik melalui saluran cerna.
Pemberian bersama makanan memperlambat penyerapan tapi tidak
mengurangi jumlah yang diserap. Penyerapan juga diperlambat pada
pemberian bersama suspensi aluminium hidroksida/magnesium hidroksida
dan dengan neomisin. Kadar puncak dalam darah setelah pemberian per oral
berkisar antara 70-80 ug/mL. Akan dicapai setelah 1-2 jam setelah pemberian
dosis sebesar 37,5 mg/kgBB. Kadar ini lebih lebih tinggi pada pasien dengan
insufisiensi ginjal, setelah diserap, flusitosin akan didistribusikan dengan baik
ke seluruh jaringandengan volume distribusi mmendekati volume total cairan
tubuh. kadar dalam cairan otak 60-90% kadar dalam plasma. Flusitosin dapat
memasuki cairan akuosa. Dalam saliva kadar flusitosin kira-kira setengah
kadarnya dalam darah. 90% flusitosin akan dikeluarkan bersama melalui
filtrasi glomerulus dalam bentuk utuh, kadar dalam urin berkisar antara 200500 ug/mL. Masa paruh eliminasi obat ini pada orang normal 3-6 jam dan
sedikit memanjang pada bayi prematur tapi akan memanjang sampai 200 jam
pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Pada orang normal klirens ginjal dari
flusitosin adalah 75% dari klirens kreatinin. Karena itu klirens kreatinin dapat

dijadikan patokan untuk penyesuaian dosis. Flusitosin dapat dikeluarkan


melalui hemodialisa atau peritoneal dialysis (Staff Pengajar Departemen
Farmakologi FK Unsri, 2004).
Indikasi
Pemakaian tunggal flusitosin hanya untuk infeksi Cryptococcus
neoformans, beberapa spesies Candida dan infeksi oleh kromoblastomikosis.
Untuk infeksi lain biasanya dikombinasikan dnegan amfoterisin B misalnya
untuk meningitis oleh Cryptococcus 100-150 mg/kgBB/hari flusitosin di
kombinasikan dengan 0,3 mg/kgBB/hariamfoterisin B. Kombinasi ini
merupakan obat terpilih untuk infeksi infeksi kromoblastomikosis. Obat ini
dapat juga dikombinasikan dengan itrakonazol (Staff Pengajar Departemen
Farmakologi FK Unsri, 2004).
Kontraindikasi
Penderita anemia dan ibu hamil

Efek samping
Flusitosin kurang toksik dibandingkan dengan amfoterisin B, namun

dapat menimbulkan anemia, leukopenia dan trombositopenia terutama pada


pasien dengan kelainan hematologik yang sedang mendapat pengobatan
radiasi atau obat yang menekan fungsi sumsum tulang dan pasien dengan
riwayat pemakaian obat tersebut. Efek samping lainnya adalah mual muntah,
diare dan enterokolitisyang hebat; kira kira 5% pasien mengalami peninggian
enzim SGOT dan SGTP, hepatomegali dapat pula terjadi (Staff Pengajar
Departemen Farmakologi FK Unsri, 2004).
1.4.Terbinafin
Terbinafin merupakan suatu derivat alilamin sintetik dengan struktur
mirip naftitin (Gunawan, 2007).
Mekanisme kerja
Terbinafin bersifat keratofilik dan fungisidal. Obat ini mempengaruhi
biosintesis ergosterol dinding sel jamur melalui penghambatan enzim skualen
epoksidase pada jamur dan bukan melalui penghambatan enzim sitokrom
P450 (Gunawan, 2007).
Farmakokinetik

10

Terbinafin diserap baik melalui saluran cerna, tetapi bioavaibilitasnya


oralnya hanya 40% karena mengalami metabolisme lintas pertama di hati.
Obat ini terikat dengan protein plasma lebih dari 99% dan terakumulasi di
kulit, kuku dan jaringan lemak. Waktu paruh awalnya sekitar 12 jam dan
berkisar antara 200 sampai 400 jam bila telah mencapai kadar mantap. Obat
ini masih dapat ditemukan dalam plasma hingga 4-8 minggu setelah
pengobatan yang lama. Terbinafin tidak boleh diberikan untuk pasien
azotemia atau gagal hati karena dapat terjadi peningkatan kadar tebinafin
yang sulit diperkirakan (Gunawan, 2007).
Efek samping
Efek samping terbenafin jarang terjadi, biasanya gangguan saluran
cerna, sakit kepala atau rash. Hepatotoksisitas, netropenia berat, Sindrma
Stevens Johnson atau nekrolisis epidermal toksik dapat terjadi nekrolisis
epidermal toksik dapat terjadi, namun sangat jarang. Pada wanita hamil,
penggunaan obat ini termasuk kategori B (Gunawan, 2007).
Indikasi dan Kontraindikasi
Obat ini digunakan untuk terapi dermatofitosis teruatama onikomikosis.
Namun, pada pengobatan kandidiasis kutaneus dan tinea versikolor terbinafin
biasanya dikombinasikan dengan golongan imidazol atau triazol karena
penggunaannya sebagai monoterapi kurang efektif. Penggunaan terbinafin
pada ibu menyusui sebaiknya dihindari (Gunawan, 2007).
1.5.Kaspofungin
Kaspofungin adalah antijamur sistemik dari suatu kelas baru yang
disebut ekinokandin.
Mekanisme kerja
Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis beta (1,3)-D-glukan,
suatu komponen esensial yang membentuk dinding sel jamur (Gunawan,
2007).
Farmakokinetik
Dalam darah 97% obat terikat protein dan masa paruh eliminasinya 911 jam. Obat ini dimetabolisme secara lambat dengan cara hidrolisis dan
asetilasi. Ekskresinya melalui urin hanya sedikit sekali (Gunawan, 2007).
Efek samping

11

Obat ini pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping
yang mungkin timbul ialah demam, mual, muntah, flushing, dan pruritus
karena lepaasnya histamin (Gunawan, 2007).
Indikasi
Kaspofungin diindikasikan untuk infeksi jamur sebagai berikut:
1. Kandidiasis invasif, termasuk kandidemia pada pasien neutropenia
atau non-neutropenia.
2. Kandidiasin esofagus
3. Kandidiasis orofarings
4. Aspergilosis invasif yang sudah refrakter terhadap antijamur
lainnya (Gunawan, 2007).
2. Antijamur Untuk Infeksi Dermatofit dan Mukokutan
2.1.Griseofulvin
Griseofulvin di isolasi dari Penicillium griseofulvum pada tahun 1993,
dan diperkenalkan penggunaan kliniknya pada tahun 1957. Griseofulvin
sangat sukar laruut dalam air dan stabil pada temperatur yang tinggi termasuk
pemanasan dengan autoklaf. Griseofulvin akan menghambat pertumbuhan
jamur dermatifit. Termasuk epidermofiton, mikrosporum, dan trikofiton
dalam kadar 0,503 g/mL. Obat ini tidak berefek terhadap bakteri, mikosis
pofunda atau jamur yang menyebabkan lesi pada permukaan tubuh manusia.
Terhadap sel muda yang sedang berkembang, griseofulvin bersifat fungisid
atau fungistatik. Diantara dermatofit-dermatofit yang sensitif dapat terjadi
resistensi. Efek penghambatan pertumbuhan jamur ini dapat dihalangi oleh
purin (Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri, 2004).

Mekanisme Kerja
Mekanisme

kerjanya

belum

sepenuhnya

diketahui,

dan

efek

fungistatiknya mungkin mungkin disbabakan oleh griseofulvin yang


mengganggu fungsi mikrotubulus atau sinresis asam nukleatdan polimerisasi
(Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri, 2004).

Farmakokinetik

12

Absorpsi griseofulvin sangat bergantung pada keadaan fisik obat ini dan
absorpsinya dibantu oleh makanan yang banyak mengandung lemak.
Senyawa dalam bentuk partikel yang lebih kecil (microsized) diabsorpsi 2 kali
lebih baik daripada partikel yang lebih besar. Griseofulvin berukuran mikro
dengan dosis 1 gram/hari akan menghasilkan kadar darah 0,5-1,5 mcg/mL.
Griseofulvin ultramikro diabsorpsi 2 kali lebih baik dari senyawa berukuran
mikro (Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri, 2004).
Metabolisme terjadi di hati. Metabolit utamanya adalah

6-

metilgriseofulvin. Waktu paruhnya kira-kira 24 jam. Jumlah yang


diekskresikan melalui urin adalah 50% dari dosis oral yang diberikan dalam
bentuk metabolit dan berlangsung selama 5 hari. Kulit yang sakit memiliki
afinitas yang lebih besar terhadap obat ini, ditimbun dalam sel pembentuk
keratin, terikat kuat dengan keratindan akan muncul bersama sel baru
berdiferensiasisehingga sel baru ini akan resisten terhadap serangan jamjur.
Keratin yang mengandung jamur akan terkelupas dan digantikan oleh sel
baruyang normal. Griseofulvin ini dapat ditemukan dalam sel tanduk 4-8 jam
setelah pemberian peroral (Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK
Unsri, 2004).

Efek samping
Secara keseluruhan efek sampingnya rendah, yaitu:

a. Reaksi alergi : Dapat berupa demam, ruam kulit, leukopenia, dan reaksi
tipe serum sickness.
b. Toksisitas langsung: Dapat terjadi sakit kepala, mual, muntah, diare,
hepatotoksisitas, fotosensitivitas, dan gangguan mental. Pada binatang
percobaan, griseofulvin bersifat teratogenik dan karsinogen
(Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri, 2004).
Kontraindikasi
Porfiria atau kegagalan hepatoseluler atau lupus eritromasus dan
kondisi yang berhubungan, hamil (Pramudianto, 2012).
2.2.Nistatin

13

Nistatin

merupakan suatu antibiotic polien yang dihasilkan oleh

Streptomyces noursei. Nistatin menghambat pertumbuhan jamur dan ragi


tetapi tidak aktif terhadap bateri, protozoa dan virus (Gunawan, 2007).
Mekanisme Kerja
Nistatin hanya akan diikat oleh jamur atau ragi yang sensitive.
Aktifitas antijamur tergantung dari adanya ikatan dengan sterol pada
membrane sel jamur atau ragi terutama sekali ergosterol. Akibat terbentuknya
ikatan antara sterol dengan antibiotic ini akan terjadi perubahan permeabiltas
membrane sel sehingga sel akan kehilangan berbagai molekul kecil
(Gunawan, 2007).

Indikasi
Nistatin terutama digunakan untuk infeksi candida di kulit, selaput

lender dan saluran cerna, paronikia, vaginitis dan kandidiasis oral dan saluran
cerna cukup diobati secara topical. Kandidiasis di mulut, esophagus dan
lambung biasanya merupakan komlikasi dari penyakit darah yang ganas
terutama pada pasien yang mendapat pengobatan imunosuresif. Sebagian
besar infeksi ini memberikan respon yang baik terhadap nistatin. Namun
demikian bila disfagia tidak menunjukan perbaikan setelah beberapa hari
pengobatan atau bila pasien dalam keadaan sakit berat sebaiknya diberikan
ketokonazol (Gunawan, 2007).

Efek Samping
Jarang ditemukan efek samping pada pemakaian nistatin. Mual,

muntah dan diare ringan mungkin didapatkan setelah pemakaian topical


belum pernah dilaporkan. Nistatin tidak mempengaruhi bakteri, protozoa dan
virus maka pemberian nistatin dengan dosis tinggi tidak akan menimbulkan
superinfeksi (Gunawan, 2007).
2.3.Asam Benzoat Dan Asam Salisilat
Kombinasi asam benzoate dan sam salisilat dalam perbandingan 2:1
(biasanya 6% dan 3%) ini dikenal sebagai salep whitfield. Asam benzoate
memberikan efek fungistatik sedangkan asam salisilat memberikan efek
keratolitik. Karena asama benzoate hanya bersifa fungistatik maka

14

penyembuhan bar tercapai setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi


terkelupas seluruhnya, sehingga pemakaian obat ini membutuhkan waktu
beberapa minggu sampai bulanan. Salep ini banyak digunakan untuk
pengobatan tineapedis dan kadang-kadang juga untuk tinekapitis. Dapat
terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga ada keluahan kurang
menyenangkan dari para pemakai nya karena salep ini berlemak (Gunawan,
2007).

Mekanisme Kerja
Senyawa benzoat dapat menghambat pertumbuhan kapang dan

khamir, bakteri penghasil toksin (racun), bakteri spora dan bakteri bukan
pembusuk. Dalam bahan pangan garam benzoat terurai menjadi bentuk
efektif sebagai antimikroba yaitu bentuk asam benzoat yang tak terdisosiasi
(Branen dan Davidson, 1983). Mekanisme kerja benzoat dan garamnya
sebagai antimikroba adalah berdasarkan molekul asam yang tidak terdisosiasi
akan mengganggu permeabilitas dari membran sel mikroba. Isi sel mikroba
mempunyai pH yang selalu netral. Bila sel mikroba menjadi asam atau basa
maka akan terjadi gangguan pada organ organ sel sehingga metabolisme
terhambat dan akhirnya sel mati (Pujihastuti, 2007).
Asam salisilat bekerja sebagai pelarut organik dan menghilangkan
ikatan kovalen intraseluler yang berikatan dengan cornivied envelopeI di
sekitar keratinosid (Imayama et al. 2000). Mekanisme kerja zat ini adalah
pemecahan struktur desmosom yang menyebabkan disintegrasi ikatan anatar
sel korneosid. Terminologi dermolitik lebih menggambarkan mekanisme
kerja asam salisilat topikal (Del, 2005 dan Leveque, 2002).
Efek desmolitik asam salisilat meningkat seiring dengan peningkatan
konsentrasi (Del, 2005). Asam salisilat topikal dalam konsentrasi yang lebih
besar (20-60%), menimbulkan destruksi pada jaringan sehingga kerap
digunakan pada terapi veruka dan kalus (Del, 2005 dan Burkhart, 2008).

Kontraindikasi
Pasien dengan riwayat sensitivitas atau alergi kontak terhadapa asam

salisilat topikal sebaiknya tidak diberikan preparat ini (Fung, 2008).

15

Efek samping
Secara umum penggunaan terapi topikal lebih aman dan memiliki efek

samping minimal bila dibandingkan dengan rute pemberian sistemik, namun


terapi topikal memiliki potenis toksisitas sistemik, efek teratogenik, dan
interaksi obat akibat interaksi sistemik yang harus diwaspadai (Bergstrom,
2008).
2.4.Asam Undesilenat
Asam undesilena merupakan cairan kuning dengan bau khas yang
tajam. dosis biasa dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik. Tetapi
dalam dosis tinggi dan pemakaian dapat memberikan efek fungisidal. Obat ini
aktif terhadap epidermophyton, trichophyton, dan mikrosporum. Tersedia
dalam bentuk salep campuran mengandung 5% undesilinat dan 20% seng
undesilenat. Bentuk bedak dan aerosol mengandung 2% undesilenat dan 20%
seng undesilenat. Dalam hal ini seng berperan untuk menekan luasnya
peradangan. (Gunawan, 2007).
Pemakaian pada mukosa menyebabkan iritasi jika kadarnya lebih dari
1%. Iritasi dan sensitivitas jarang terjadi pada pemakaian topical. Pada tinea
kapitis efeketifitas tidak nyata sehingga tidak digunakan lagi. Obat ini dapat
menghambat pertumbuhan jamur pada tinea pedis. Tetapi efektivitasnya tidak
sebaik mikonazol, haloprogin atau tonaftat (Gunawan, 2007).
2.5.Haloprogin
Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik, berbentuk Kristal
putih kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut dalam alcohol. Obat ini
bersifat fungisidal terhadap epidermophyton, trikophyton, mikrosopum dan
malassezia furfur. Haloprogin sdikit sekali diserap melalui kulit, dalam tubuh
akan terurai menjadi triklorofenol. Selama pemakaian obat ini dapat timbul
iritasi local, rasa terbakar, fesikel, meluasnya maserasi dan sensitisasi.
Sensitisasi mungkin merupakan pertanda cepatnya respon pengobatan sebab
toksin yang dilepaskan kadang-kadang memperburuk lesi. Haloprogin
tersedia dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar 1%. Terhadap tinea

16

pedis efektifitasnya mendekati tonaftat. Disamping itu, obat ini juga


digunakan untuk tinea versikolor (Gunawan, 2007).
Haloprogin berkhasiat fungisid terhadap berbagai jenis Epidermofiton,
Pityrosporum, Trichophyton dan Candida. Kadang-kadang terjadi sensitasi
dengan timbulnya gatal-gatal, perasaan terbakar, dan iritasi kulit. Zat ini
digunakan sebagai krem atau larutan 1% terhadap panu dan kutu air (Tinea
pedis) dengan persentase penyembuhan lebih kurang 80%, sama dengan
tolnafat (Tjan dan Rahardja, 2007).
2.6.Siklopiroks Olamin
Obat ini merupakan obat antijamur topical berspektrum luas.
Penggunaan kliniknya ialah untuk dermatofitosis, kandidiasis dan tinea
versikolor. Siklopiroks olamin rsedia dalam bentuk krim 1% yang dioleskan
pada lesi 2 kali sehari. Reaksi ititatif dapat terjadi walapun jarang (Gunawan,
2007).
2.7.Terbunafin
Terbunafin merupakan suatu derivate alilamin sintetik dengan struktur
mirip naftitin. Obat ini digunakan untuk terapi dermatositosis, terutama
onikonikosis, dan juga digunakan secara topical untuk dertmatofitosis.
Terbinafin topical tersedia dalam bentuk krim 1% dan gel 1%. Terbinafin
topikla digunakan untuk pengobatan tinea kruris dan korporis yang diberikan
1-2 kali sehari selama 1-2 minggu (Gunawan, 2007).

17

DAFTAR PUSTAKA
Bergstrom, K. G., Strober, B. E. 2008. Principle of Topical Therapy In Wolff, K.,
Goldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. A., Paller, A. S.,Leffell, D. J.,
Editors. Fitzparticks Dermatologic In General Medicine, Seventh Edition.
Mc Grow Hill Medical. New York.
Branen, A. L., dan P. M., Davidson. 1983. Anitimicrobials in Food. Marcell
Dekker Inc. New York.
Burkhart, CN, Katz, KA. 2008. Other Topical Medications. In Wolff, K.,
Goldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. A., Paller, A. S.,Leffell, D. J.,
Editors. Fitzparticks Dermatologic In General Medicine, Seventh Edition.
Mc Grow Hill Medical. New York.
Del, Rosso J. 2005. Pharmacotherapy Update: Current Therapies and Research for
Common Dermatologic Condition. The Many Roles of Topical Salicylic
Acid. Skin and Aging.: 13: 38 42.
Fung, W., Orak, D., RE, T. A., Haughey, D.B. 2008. Relative Bioavaibility of
Salicyc Acid Following Dermal Application of 30% Salicylic Acid Skin
Preparation. J Pharmaceutical Sains. 97 (3): 1325 8.
Gunawan, Sulistia Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Teraputik FKUI.
Imayama, S., Weda, S., Isoda, M. 2000. Histologic Changes In The Skin of
Hairless Mice Following Peeling With Salicylic Acid. Arch. Dermatol;
136: 1360 5.
Kee & Hayes. 1993. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

18

Leveque, JL., Saint Leger D. 2002. Salicylic Acid and Derivatif in: Leyden JJ,
Rawlings AV. Editors. Skin Mousturization. Marcell Dekker: New York.
Pramudianto, A., Evria. 2012. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Vol. Edisis
12 2012/2013. Indonesia: Buana Ilmu Populer.
Pujihastuti, D. R. 2007. Pengaruh Konsentrasi Natrium Benzoat terhadap Umur
Simpan Minuman Beraroma Apel. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Staff Pengajar Departemen Framakologi FK Unsri. 2004. Kumpulan Kuliah
Farmakologi, Ed.2. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC.
Yayasan Spiritia. 2015. Flukonazol. Available online at www.http:/spiritia.or.id/
[diakses tanggal 20 November 2015].

19

Anda mungkin juga menyukai