ANTIJAMUR
Disusun oleh :
Triayu Maharani
260110130115
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015
DEFINISI INFEKSI JAMUR & ANTIJAMUR
Infeksi karena jamur disebut sebagai mikosis, umumnya bersifat kronis,
dapat ringan pada permukaan kulit (mikosis kutan), dapat pula menembus kulit
menimbulkan mikosis subkutan. Mikosis yang paling sulit diobati ialah mikosis
atau
aspergilus.
Mikosis
sistemik;
seperti
blastomikosis,
Ketokenazol,
flukonazol,
itrakonazol,
triazol,
ekonazol,
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja obat ini belum semuanya diketahui. Obat bekerja
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja ketokenazol sama dengan mikonazol. Ketokenazol
masuk ke dalam sel jamur dan menimbulkan kerusakan pada dinding sel.
mungkin juga terjadi gangguan sintesis asam nukleat atau penimbunan
peroksida dalam sel yang merusak sel jamur (Staff Pengajar Departemen
Farmakologi FK UNSRI, 2004).
Farmakokinetik
Ketokenazol merupakan antijamur pertama yang dapat diberikan per
efektif
parakoksidioidomikosis,
untuk
beberapa
kriptokokus
bentuk
nonmeningeal,
koksdioidomikosis,
berat.
Ketokonazol
dikontraindikasikan
pada
penderita
yang
hipersensitif, ibu hamil dan menyusui serta penyakit hepar akut (Staff
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2004).
Ketokenazol tidak bermanfaat untuk kebanyakan infeksi jamur sistemik
yang
berat.
Ketokenazol
dikontraindikasikan
pada
penderita
yang
hipersensitif, ibu hamil dan menyusui, serta penyakit hepar akut (Staff
Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2004).
Efek samping
Umumnya ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling sering
Kontraindikasi
Akan terjadi kontraindikasi bila diberikan pada penderita yang sensitif
terhadap derivat triazol. Penggunaan pada wanita hamil dan menyusui, dan
anak dibawah 16 tahun tidak dianjurkan karena belum ada kepastian data
bahwa obat ini aman untuk mereka (Staff Pengajar Departemen Farmakologi
FK UNSRI, 2004).
Efek Samping
Efek samping flukonazol yang paling umum adalah sakit kepala, mual,
dan sakit perut. Sebagian besar obat antiretroviral (ARV) menyebabkan
masalah pada sistm pencernaan. Flukonazol dapat memburukkan masalah itu
(Yayasan Spiritia, 2015).
1.2.Amfoterisin B
Amfoterisisn B menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel matang.
Aktivitas antijamur nyata pada pH 6,0-7,5 tapi berkurang pada pH yang lebih
rendah. Antibiotik ini dapat bersifat fungistatik atau fungisidal. Tergantung
pada dosis dan sensitivitas jamuryang dipengaruhi. Dengan kadar 0,3-1,0
ug/mL antibiotik ini dapat menghambat aktivitas Histoplasma capsulatum,
cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis dan beberapa spesies
Candida, Torulopsis glabrata, Rhodotorula, Blastomyces dermatitidis,
Paracoccidioides braziliensis, beberapa spesies Aspergillus, Sporotrichum
schenckii, Microsporum audiouini dan spesies Trichophyton. Secara in vitro
bila rifampisisn atau minosiklin diberikan bersamaan dnegan amfoterisin B
terjadi sinergisme terhadap jamur tertentu (Gunawan, 2007).
Mekanisme Kerja
Obat ini bekerja dengan berikatan dengan membrane sel jamur atau ragi
yang sensitive. Integrasi dengan sterol sterol membran sel membentuk pori
pori sehingga membrane sel jamur lebih permeable terhadap molekul
molekul yang kecil (Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI,
2004).
Amfoterisin B berikatan kuat dengan ergosterol yang terdapat pada
membran sel jamur. Ikatan ini kan menyebabkan membran sel bocor sehingga
terjadi kehilangan. Beberapa bahan intrasel dan mengakibatkan kerusakan
yang tetap pada sel. Resistensi terhadap amfoterisin B ini mungkin
kriptokokis,
kandidiasis,
kromomikosis,
torulopsis
dan
Efek samping
Flusitosin kurang toksik dibandingkan dengan amfoterisin B, namun
10
11
Obat ini pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping
yang mungkin timbul ialah demam, mual, muntah, flushing, dan pruritus
karena lepaasnya histamin (Gunawan, 2007).
Indikasi
Kaspofungin diindikasikan untuk infeksi jamur sebagai berikut:
1. Kandidiasis invasif, termasuk kandidemia pada pasien neutropenia
atau non-neutropenia.
2. Kandidiasin esofagus
3. Kandidiasis orofarings
4. Aspergilosis invasif yang sudah refrakter terhadap antijamur
lainnya (Gunawan, 2007).
2. Antijamur Untuk Infeksi Dermatofit dan Mukokutan
2.1.Griseofulvin
Griseofulvin di isolasi dari Penicillium griseofulvum pada tahun 1993,
dan diperkenalkan penggunaan kliniknya pada tahun 1957. Griseofulvin
sangat sukar laruut dalam air dan stabil pada temperatur yang tinggi termasuk
pemanasan dengan autoklaf. Griseofulvin akan menghambat pertumbuhan
jamur dermatifit. Termasuk epidermofiton, mikrosporum, dan trikofiton
dalam kadar 0,503 g/mL. Obat ini tidak berefek terhadap bakteri, mikosis
pofunda atau jamur yang menyebabkan lesi pada permukaan tubuh manusia.
Terhadap sel muda yang sedang berkembang, griseofulvin bersifat fungisid
atau fungistatik. Diantara dermatofit-dermatofit yang sensitif dapat terjadi
resistensi. Efek penghambatan pertumbuhan jamur ini dapat dihalangi oleh
purin (Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri, 2004).
Mekanisme Kerja
Mekanisme
kerjanya
belum
sepenuhnya
diketahui,
dan
efek
Farmakokinetik
12
Absorpsi griseofulvin sangat bergantung pada keadaan fisik obat ini dan
absorpsinya dibantu oleh makanan yang banyak mengandung lemak.
Senyawa dalam bentuk partikel yang lebih kecil (microsized) diabsorpsi 2 kali
lebih baik daripada partikel yang lebih besar. Griseofulvin berukuran mikro
dengan dosis 1 gram/hari akan menghasilkan kadar darah 0,5-1,5 mcg/mL.
Griseofulvin ultramikro diabsorpsi 2 kali lebih baik dari senyawa berukuran
mikro (Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri, 2004).
Metabolisme terjadi di hati. Metabolit utamanya adalah
6-
Efek samping
Secara keseluruhan efek sampingnya rendah, yaitu:
a. Reaksi alergi : Dapat berupa demam, ruam kulit, leukopenia, dan reaksi
tipe serum sickness.
b. Toksisitas langsung: Dapat terjadi sakit kepala, mual, muntah, diare,
hepatotoksisitas, fotosensitivitas, dan gangguan mental. Pada binatang
percobaan, griseofulvin bersifat teratogenik dan karsinogen
(Staff Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri, 2004).
Kontraindikasi
Porfiria atau kegagalan hepatoseluler atau lupus eritromasus dan
kondisi yang berhubungan, hamil (Pramudianto, 2012).
2.2.Nistatin
13
Nistatin
Indikasi
Nistatin terutama digunakan untuk infeksi candida di kulit, selaput
lender dan saluran cerna, paronikia, vaginitis dan kandidiasis oral dan saluran
cerna cukup diobati secara topical. Kandidiasis di mulut, esophagus dan
lambung biasanya merupakan komlikasi dari penyakit darah yang ganas
terutama pada pasien yang mendapat pengobatan imunosuresif. Sebagian
besar infeksi ini memberikan respon yang baik terhadap nistatin. Namun
demikian bila disfagia tidak menunjukan perbaikan setelah beberapa hari
pengobatan atau bila pasien dalam keadaan sakit berat sebaiknya diberikan
ketokonazol (Gunawan, 2007).
Efek Samping
Jarang ditemukan efek samping pada pemakaian nistatin. Mual,
14
Mekanisme Kerja
Senyawa benzoat dapat menghambat pertumbuhan kapang dan
khamir, bakteri penghasil toksin (racun), bakteri spora dan bakteri bukan
pembusuk. Dalam bahan pangan garam benzoat terurai menjadi bentuk
efektif sebagai antimikroba yaitu bentuk asam benzoat yang tak terdisosiasi
(Branen dan Davidson, 1983). Mekanisme kerja benzoat dan garamnya
sebagai antimikroba adalah berdasarkan molekul asam yang tidak terdisosiasi
akan mengganggu permeabilitas dari membran sel mikroba. Isi sel mikroba
mempunyai pH yang selalu netral. Bila sel mikroba menjadi asam atau basa
maka akan terjadi gangguan pada organ organ sel sehingga metabolisme
terhambat dan akhirnya sel mati (Pujihastuti, 2007).
Asam salisilat bekerja sebagai pelarut organik dan menghilangkan
ikatan kovalen intraseluler yang berikatan dengan cornivied envelopeI di
sekitar keratinosid (Imayama et al. 2000). Mekanisme kerja zat ini adalah
pemecahan struktur desmosom yang menyebabkan disintegrasi ikatan anatar
sel korneosid. Terminologi dermolitik lebih menggambarkan mekanisme
kerja asam salisilat topikal (Del, 2005 dan Leveque, 2002).
Efek desmolitik asam salisilat meningkat seiring dengan peningkatan
konsentrasi (Del, 2005). Asam salisilat topikal dalam konsentrasi yang lebih
besar (20-60%), menimbulkan destruksi pada jaringan sehingga kerap
digunakan pada terapi veruka dan kalus (Del, 2005 dan Burkhart, 2008).
Kontraindikasi
Pasien dengan riwayat sensitivitas atau alergi kontak terhadapa asam
15
Efek samping
Secara umum penggunaan terapi topikal lebih aman dan memiliki efek
16
17
DAFTAR PUSTAKA
Bergstrom, K. G., Strober, B. E. 2008. Principle of Topical Therapy In Wolff, K.,
Goldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. A., Paller, A. S.,Leffell, D. J.,
Editors. Fitzparticks Dermatologic In General Medicine, Seventh Edition.
Mc Grow Hill Medical. New York.
Branen, A. L., dan P. M., Davidson. 1983. Anitimicrobials in Food. Marcell
Dekker Inc. New York.
Burkhart, CN, Katz, KA. 2008. Other Topical Medications. In Wolff, K.,
Goldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. A., Paller, A. S.,Leffell, D. J.,
Editors. Fitzparticks Dermatologic In General Medicine, Seventh Edition.
Mc Grow Hill Medical. New York.
Del, Rosso J. 2005. Pharmacotherapy Update: Current Therapies and Research for
Common Dermatologic Condition. The Many Roles of Topical Salicylic
Acid. Skin and Aging.: 13: 38 42.
Fung, W., Orak, D., RE, T. A., Haughey, D.B. 2008. Relative Bioavaibility of
Salicyc Acid Following Dermal Application of 30% Salicylic Acid Skin
Preparation. J Pharmaceutical Sains. 97 (3): 1325 8.
Gunawan, Sulistia Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Teraputik FKUI.
Imayama, S., Weda, S., Isoda, M. 2000. Histologic Changes In The Skin of
Hairless Mice Following Peeling With Salicylic Acid. Arch. Dermatol;
136: 1360 5.
Kee & Hayes. 1993. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
18
Leveque, JL., Saint Leger D. 2002. Salicylic Acid and Derivatif in: Leyden JJ,
Rawlings AV. Editors. Skin Mousturization. Marcell Dekker: New York.
Pramudianto, A., Evria. 2012. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Vol. Edisis
12 2012/2013. Indonesia: Buana Ilmu Populer.
Pujihastuti, D. R. 2007. Pengaruh Konsentrasi Natrium Benzoat terhadap Umur
Simpan Minuman Beraroma Apel. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Staff Pengajar Departemen Framakologi FK Unsri. 2004. Kumpulan Kuliah
Farmakologi, Ed.2. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC.
Yayasan Spiritia. 2015. Flukonazol. Available online at www.http:/spiritia.or.id/
[diakses tanggal 20 November 2015].
19