Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. DEFINISI
Tinea incognito adalah nama yang diberikan pada infeksi jamur saat gambaran klinis
yang ada menjadi tidak jelas dikarenakan pengobatan yang tidak tepat, yang biasanya
disebabkan oleh karena pemakaian steroid topikal pada kasus infeksi yang disebabkan oleh
jamur dermatofita (Gorani dan Oriani, 2002).
2.2. ETIOLOGI
Pada banyak kasus yang ditemukan, beberapa organisme diketahui dapat
menyebabkan terjadinya tinea incognito dalam hubungannya dengan penggunaan steroid
topikal. Setelah diteliti ditemukan bahwa Trichophytonrubrum dan Trichophyton
mentagrophytes sering ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik sebagai koloni yang ada
pada tinea incognito, karenanya infeksi jamur yang disebabkan oleh dua spesies tersebut
sering berkembang menjadi tinea incognito contohnya tinea korporis, tinea pedis et manus,
tinea unguium dan tinea cruris (Gorani dan Oriani, 2002).
2.3. STEROID TOPIKAL
Pada masa kini steroid topikal merupakan sediaan yang paling banyak dipakai dalam
dermatologi, disamping obat-obat anti jamur topikal, dan di pasaran dapat dijumpai tidak
kurang dari 70 sediaan steroid topikal denganbermacam-macam nama dagang.

2.3.1. Indikasi Steroid Topikal


Penyakit-penyakit yang dapat diobati dengan steroid topikal menurut Anigbogu dan
Maibach (2000), dapat digolongkan menjadi :
1. Penyakit-penyakit yang pada umumnya sangat responsif terhadap pengobatan steroid topikal
seperti dermatitis atopik, dermatitis seboroik, dermatitis nummular, dermatitis kontak alergi
dan iritan, psoriasis pada muka dan genital, liken simpleks, pruritus ani dan dermatitis stasis.
2. Penyakit-penyakit yang kurang responsif terhadap steroid topikal seperti lupus eritematous
diskoid, liken planum, granuloma anulare, sarkoidosis, dan psoriasis palmo plantar.
2.3.2. Mekanisme Kerja Steroid Topikal
Menurut Anigbogu dan Maibach (2000), steroid topikal mempunyai 4 efek utama atas
kulit, yaitu :
1. Anti inflamasi
Aktivitas anti inflamasi dari steroid topikal ini merupakan efek utama yang diharapkan
dalam dermatologi. Efek ini diduga karena steroid topikal bekerja dengan mencegah proses
marginasi (melekatnya lekosit dan monosit pada endotel pembuluh darah) dan menghambat
proses khemotaksis (migrasi sel-sel tersebut ke fokus peradangan) yang terjadi pada proses
peradangan.

2. Imunosupresi
Sifat imunosupresi ini sebenarnya juga melibatkan sifat anti inflamasi steroid topikal,
karena inflamasi merupakan bagian dari proses kekebalan tubuh. Steroid juga menghambat
pembelahan sel-sel limfoit, melisis sel limfosit B dan menghambat kerja limfokin pada
sasaran. Jadi dapat disimpulkan bahwa steroid bekerja menekan reaksi hipersensitifitas, baik
tipe I, II, III (humoral), maupun tipe IV (seluler).
3. Antimitosis (Antiproliferasi)
Steroid mempunyai sifat antimitosis dengan menekan pembelahan sel, menurunkan
transkripsi RNA, mengurangi sintesis DNA dan mungkin juga reparasi DNA. Akibat sifat ini
pengolesan steroid topikal pada kulit akan menyebabkan penipisan epidermis dan sel-selnya
mengecil. Disamping pada sel-sel epidermis, efek antimitosis ini juga terjadi pada sel-sel
fibroblast, sehingga pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan gangguan sintesis
kolagen dengan akibat terjadinya striae dan atrofi.
4. Vasokonstriksi

Steroid juga menyebabkan vasokontriksi, menurunkan permeabilitas membrane dan


menghambat pelepasan bahan-bahan toksik, sehingga akan mengurangi ekstravasasi serum,
pembengkakan dan rasa gatal.

2.3.3. Golongan Kekuatan Steroid Topikal


Berdasarkan potensinya steroid topikal menurut Anigbogu dan Maibach (2000), dan
Wozniacka (2001), dapat digolongkan menjadi 4 jenis, yaitu golongan I (potensi lemah),
golongan II (potensi sedang), golongan III (potensi kuat) dan golongan IV (potensi sangat
kuat). Potensi tersebut didasarkan atas sifat antiinflamasi dan sifat antimitosisnya (Anigbogu,
2000). Golongan I pada umumnya sifat antiinflamasi saja, golongan IV mempunyai sifat anti
inflamasi maupun antimitosis yang kuat. Golongan II dan III berada diantaranya.
1. Golongan I
Hidrokortison 1 2,5%
Metilprednisolon 0,25%
Deksametason 0,04%
2. Golongan II (2-25 kali lebih kuat dari hidrokortison)
Hidroksiprednisolon 0,5%
Flumetason pivalat 0,02%
Klobetason butirat 0,05%
Desonid 0,5%
Hidrokortison 17-butirat 0,1%
3. Golongan III (100-150 kali lebih kuat dari hidrokortison)
Triamsinolon asetonid 0,1%
Halsinonid 0,1%
Flupredniden asetat 0,1%
Flukortolon 0,5%
Flusinolon asetonid 0,025%
Fluklorolon asetonid 0,025%
Diflukortolon valerat 0,1%
Desoksimetason 0,25%
Betametason valerat 0,1%
Betametason dipropionat 0,05%
Halometason 0,05%

4. Golongan IV (600 kali lebih kuat dari hidrokortison)

Diflukortolon valerat 0,3%


Clobetasol propionat 0,05%
Betametasone dipropionate
Beberapa sediaan steroid topikal dikombinasi dengan berbagai antimikroba seperti nistatin,

neomisin. Pemakaian sediaan kombinasi ini dapat dipakai pada keadaan tertentu seperti bayi atau

anak dengan dermatitis infantil karena kemungkinan infeksi sekunder sangat sering pada dermatitis

seboroik maupun dermatitis popok yang sering disertai dengan infeksi kandida. Hanya perlu

diperhatikan bahwa pengobatan sekali tembak dapat menyebabkan keengganan mencari diagnosis

setepat-tepatnya, memacu timbulnya mikroorganisme yang resisten dan memungkinkan timbulnya

sensitisasi oleh bahan antiinfeksi tersebut (Ricciati, 1978).

2.3.4.Efek Samping Penggunaan Steroid Topikal

Ternyata makin kuat sediaan steroid topikal, makin besar pula kemungkinan efek samping yang

terjadi. Pemakaian yang terlalu lama akan meningkatkan resiko timbulnya efek samping ini. Sehingga

pemakaian steroid yang poten seyogyanya tidak lebih dari 2 3 minggu. Efek samping ini dapat

bersifat lokal atau sistemik (Anigbogu dan Maibach, 2000; Wozniacka dan Jedrzejowska, 2001).
1. Efek lokal
Kerusakan kulit berupa atrofi kulit, teleangiektasi, purpura atau striae.
Infeksi atau infestasi dapat terjadi setelah pemakaian jangka lama, terutama kalau digunakan
secara oklusi, dapat berupa infeksi kandida, bakteria atau meluasnya impetigo. Tinea
incognito juga dapat terjadi karena kesalahan terapi tinea dengan menggunakan steroid
topikal.
Efek lain misalnya timbulnya akne steroid, dermatitis perioral, gangguan pigmentasi dan
alergi.
Pada individu tertentu pemakaian jangka panjang dapat
menyebabkan rambut pada muka tumbuh subur.
2. Efek sistemik

Steroid topikal khususnya yang mempunyai potensi kuat dan dipakai untuk jangka panjang
dengan konsentrasi tinggi atau oklusi dapat pula menimbulkan efek sistemik seperti steroid
sistemik.
2.4.MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis tinea incognito menurut Barnez (2003), berupa :
1. Tidak terdapatnya lesi berskuama yang biasanya meninggi
2. Area yang terlibat memperlihatkan pewarnaan seperti memar (kemerahan)
3. Kadang terdapat nodulus dan pustule pada tepinya.
Tinea incognito harus dimasukkan sebagai diagnosis banding pada infeksI kulit yang supuratif,

terutama ketika penderita diketahui sebelumnya mendapat terapi dengan steroid topikal

Gambar 1. Tinea incognito dengan patch eritematous dan teleangiektasi


tanpa adanya skuama, septa dan hifa yang ditemukan pada pemeriksaan
mikroskopik tinea incognito menggunakan potasium hidroksid.
1.4.DIAGNOSIS
Untuk dapat melakukan terapi yang tepat pada tinea incognito harus dapat ditegakkan

diagnosis dari gejala klinis yang ada spesifik ke arah tinea incognito dan mencari penyebab pasti

infeksi jamur tersebut dengan mengambil contoh kerokan kulit untuk dilakukan pemeriksaan kultur

dan mikroskopik dengan menggunakan potassium hidroksid (Barnez, 2003; Carrie dan Oklota, 2004).

1.5. PENATALAKSANAAN
Menurut Barnez, (2003), terapi pada tinea incognito harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
1. Steroid topikal yang telah dipakai sebelumnya harus dihentikan
2. Terapi standar untuk pengobatan jamur dengan antijamur harus digunakan
3. Jika diketahui secara pasti jenis jamur yang ada maka dapat diterapi dengan obat antijamur
yang spesifik, misalnya dengan griseofulvin, ketokonazole, itrakonazole, klortrimazole,
mikonazole
2.6.1 PERANAN STEROID TOPIKAL TERHADAP TINEA INCOGNITO
Menurut Barnez (2003), pemakaian steroid topikal pada kulit akibat peradangan
jamur pada awalnya dapat terjadi perbaikan atau penurunan peradangan dikarenakan efek
utama dari pemberian steroid topikal padadermatologi adalah efek anti inflamasi. Tetapi jika
pengobatan dihentikan dalam beberapa hari kemudian penyakit yang diderita akan semakin
bertambah parah dan gatal. Selain efek anti inflamasi steroid topikal juga memiliki
efek imunosupresi yang menekan peradangan akibat jamur pada awal infeksi, tetapi jika
semakin sering dan banyak steroid topikal digunakan maka infeksi jamur akan semakin
bertambah karena organisme penginfeksi tidak dibasmi, selain itu juga steroid topikal
mengakibatkan keadaan berupa pengaburan tanda klinis infeksi sehingga menjadi tidak jelas
dan tidak spesifik.
infeksi jamur yang diberikan steroid topikal golongan kuat akan membuat lesi
menjadi kemerah-merahan dan semakin memperluas infeksi secara perlahan-lahan. Sehingga
menimbulkan gambaran klinis yang tidak jelas dan aneh yaitu skuama hampir
tidak ditemukan, lesi eritematous dengan teleangiektasis yang juga bisa terdapat papula,
pustule dan hiperpigmentasi.

KESIMPULAN
1. Steroid topikal memiliki banyak peranan terhadap kelainan kulit diantaranya peranan positif
dalam membantu terapi serta penyembuhan penyakit kulit dan peranan negatif berupa
kemungkinan munculnya efek samping yang dapat ditimbulkannya.
2. Efek anti inflamasi dan imunosupresi dari steroid topikal pada infeksi akibat jamur dapat
menekan atau mengurangi infeksi pada awalnya, tetapi jika dipergunakan terus-menerus
dapat menimbulkan pengaburan tanda klinis dan perluasan infeksi akibat organisme
penginfeksi tidak dibasmi.
3. Tinea incognito merupakan penyakit yang timbul disebabkan kesalahan terapi infeksi jamur
dengan menggunakan steroid topikal sehingga menyebabkan timbulnya suatu gambaran
klinis yang tidak lazim atau tidak khas.
4. Tinea incognito harus dimasukkan sebagai diagnosis banding pada infeksi kulit yang mempunyai

gambaran klinistidak khas dimana sebelumnya diketahui mendapat terapi dengan steroid topikal.

5. Tinea incognito didiagnosis dengan adanya gambaran klinis yang tidak khas yang biasanya berupa

lesi eritematous dapat disertai adanya papula dan pustula serta hampir tidak ditemukannya skuama

dengan tepi yang meninggi dan dapat dipastikan dengan pemeriksaan mikroskopik dengan

ditemukannya elemen jamur dengan menggunakan potasium hidroksid.


6. Penanganan tinea incognito dengan penghentian pemakaian steroid topikal dan melakukan
terapi standar menggunakan obat anti fungal atau anti jamur

DAFTAR PUSTAKA
1. Anigbogu, A.N. and Maibach, H. I., 2000, Topical Corticosteroid Therapy, in Drug Theraphy
In Dermatology, University of California at San Francisco, San Francisco,
California.http://www.rksoul.ne t
2. Barnez, L., 2003Topical Steroids, dermnetnz.org/fungal/topical-steroids.html.
3. Barnez, L., 2003Tinea Incognito, dermnetnz.org/fungal/tinea-incognito.html.
4. Budimulja, U., 2002,Mik osis, dalam Djuanda, A., Hamzah dan Aisah, S (eds), Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin, 4th ed, FK-UI, Jakarta : 90-97.
5. Carrie, A. dan Oklota, M.D., 2004, Uncovering Tinea Incognito, http/www.google.com.
6. Gorani, A. dan Oriani, A., 2002, Rossacea Like Tinea Incognito, http/www.google.com

Anda mungkin juga menyukai