Anda di halaman 1dari 30

Referat

GAMING DISORDER

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan


Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
BLUD Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh

Disusun oleh :

Indra Gunawan
1807101030002

Dokter Pembimbing

dr. Juwita Saragih, Sp.KJ

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BLUD RUMAH SAKIT JIWA ACEH
BANDA ACEH
2019

0
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Gaming
Disorder”. Shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW
yang telah membawa umat manusia ke masa yang menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
BLUD Rumah Sakit Jiwa Aceh Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh.
Ucapan terima kasih serta penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada dr.
Juwita Saragih, Sp. KJ yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing
penulis dalam penulisan referat ini.
Akhir kata penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran dan berguna bagi
para pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran pada
umumnya dan ilmu kedokteran jiwa pada khususnya. Penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak untuk referat ini.

Banda Aceh, 27 Agustus 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .…..…………………………………………….. 1
DAFTAR ISI…………………………………………………………….. 2
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …..………………………………………………. 3
1.2 Tujuan …………………………………………………………… 4
1.3 Manfaat ………………………………………………………….. 4
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Internet dan Game Addiction …………………………………..... 5
2.2 Patofisiologi dan Psikopatologi………………………………….. 7
2.3 Epidemiologi…………………………………………………….. 10
2.4 Gambaran Klinis dan Diagnosis…………………………………. 11
2.5 Diagnosis Banding ………………………………………………. 15
2.6 Penatalaksanaan……………………………………………….…. 16
2.7 Faktor Risiko dan Prognosis …………………………………….. 26
2.8 Komorbiditas ……………………………………………………. 28
BAB III: PENUTUP
3.1 Kesimpulan ………………………………………………………. 29
3.2 Saran……………………………………………………………… 30
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penggunaan media komputer, terlebih dilengkapi dengan fasilitas internet

menjadi suatu gaya hidup pada masa kini. Di dalamnya terdapat berbagai aplikasi

yang dimaksudkan untuk beberapa tujuan positif misalnya hiburan dan

memudahkan aktivitas sehari-hari manusia. Namun dalam perkembangannya,

ternyata penggunaan komputer dan internet juga memiliki kemungkinan untuk

menimbulkan masalah dan gangguan di bidang kesehatan dan sosial (Clark dan

Scott, 2009; Sigman, 2014).

Internet menyediakan berbagai macam aplikasi yang dapat dimanfaatkan.

Salah satu yang paling banyak diminati adalah penggunaan game di internet.

Penggunaan game di internet atau online game perlahan-lahan mulai menjadi

sumber hiburan favorit bagi semua usia, terlebih bagi kalangan remaja. Online

game menjadi suatu hal yang biasa di seluruh dunia, menyebar luas dan mudah

dengan didukung perkembangan akses internet. Fenomena online game ini juga

terjadi di Indonesia setelah adanya akses internet yang mudah. Bahkan, online

game dapat dimainkan di beberapa perangkat seperti komputer, telepon genggam,

atau video game (Jap et.al, 2013).

Game melalui media online di internet maupun dalam media lainnya

awalnya tidak dianggap akan menyebabkan suatu masalah. Game dianggap suatu

hal yang menyenangkan dan tidak berbahaya. Game terus berkembang baik secara

jumlah, variasi permainan, maupun cakupannya hingga ke seluruh dunia.

Ketidakwaspadaan atas masalah yang mungkin timbul ternyata cukup terlambat

3
disadari dan masalah adiksi yang ditimbulkan oleh game ternyata telah mendunia

(Clark dan Scott, 2009).

Prevalensi dari gangguan ini di seluruh dunia disebut masih sangat

bervariasi. Disebutkan bahwa prevalensi paling tinggi didapatkan pada negara-

negara Asia. Gangguan ini didapatkan banyak pada remaja sekitar usia 12-20

tahun. Banyak laporan mengenai gangguan ini dari Cina dan Korea Selatan, dan

hanya sedikit dari Eropa dan Amerika Utara. Salah satu prevalensi dari studi di

Asia pada remaja usia 15-19 tahun adalah 8,4% pada laki-laki dan 4,5% pada

perempuan (APA, 2013). Prevalensi game addiction di Indonesia sendiri

diperkirakan cukup besar. Suatu studi yang dilakukan di Jatinangor, Jawa Barat,

didapatkan bahwa pada populasi pelaku game, sebesar 62% telah mengalami

adiksi (Jap et.al, 2013).

Game addiction dapat memiliki pengaruh yang besar terutama pada

populasi anak dan remaja. Gangguan yang mungkin muncul sesudahnya adalah

gangguan pada pola tidur (Stockburger dan Omar, 2013). Tidak jarang gangguan

ini dapat menyebabkan kegagalan dalam sekolah. Biasanya siswa akan

memperoleh nilai yang semakin menurun di sekolah dan kemudian benar-benar

mengalami kegagalan. Hal ini juga bisa menyebabkan kehilangan pekerjaan, atau

kegagalan dalam pernikahan. Perilaku kompulsif pada game biasanya

menyebabkan penarikan diri dari aktivitas sosial, keluarga, atau lainnya yang

normal dilakukan (APA, 2013).

Karena kejadian game addiction yang mendunia dan menimbulkan efek

yang cukup signifikan pada mereka yang mengalaminya, maka pada makalah ini

4
akan dibahas hal-hal mengenai game addiction mulai dari pemeriksaan, diagnosis,

terapi, hingga faktor risiko dan prognosis.

1.2 Tujuan
Memahami konsep mengenai game addiction serta penatalaksanaan yang

dapat dilakukan dalam praktik klinis.

1.3 Manfaat
1. Manfaat teoritis

Tinjauan ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan di bidang ilmu

psikiatri, khususnya mengenai adiksi.

2. Manfaat praktis

Dapat digunakan sebagai landasan untuk pemeriksaan, diagnosis, dan

terapi game addiction dalam praktik klinis.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Internet dan Game Addiction


Secara ringan, adiksi didefinisikan sebagai suatu penggunaan yang terus

bertambah dan menyebabkan ketergantungan dan perilaku yang bermasalah

(Sigman, 2014). Terkait dengan penggunaan internet, banyak masalah yang masih

terus didiskusikan. Game addiction merupakan salah satu bagian dari adiksi

internet dan terpisah dari masalah lain misalnya gambling disorder yang

dilakukan melalui internet (APA, 2013). Gangguan lain yang masih dikaitkan

dengan adiksi internet adalah penggunaan internet yang berisiko, penggunaan

teknologi yang patologis, penggunaan media sosial yang berlebihan, dan

penggunaan internet untuk kebutuhan seksual atau porn addiction (APA, 2013;

Sigman, 2014).

Jumlah pengguna internet yang meningkat juga berpotensi meningkatkan

jumlah masalah yang mungkin terkait dengan penggunaan internet, termasuk

game addiction. Pada 30 Juni 2014, tercatat sebanyak 3.035.749.340 pengguna

internet di seluruh dunia. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar sekitar enam

ratus juta dibandingkan pengguna internet yang terhitung dua tahun sebelumnya

yaitu 2.405.518.376. Pengguna internet terbanyak adalah dari Asia yaitu sebesar

45,7% dari total jumlah. Terbanyak berikutnya adalah Eropa sebesar 19,2% dan

Amerika Latin sebesar 10,5%. Indonesia adalah negara keempat terbanyak jumlah

pengguna internet di Asia setelah China, India, dan Jepang. Dari estimasi

sebanyak dua juta pengguna internet di Indonesia pada tahun 2000, jumlahnya

meningkat menjadi 71.190.000 pada 30 Juni 2014 (Internet Worlds Stats, 2014).

6
2.2 Patofisiologi dan Psikopatologi
Game secara otomatis tidak menyebabkan suatu adiksi. Disebutkan bahwa

ternyata kebanyakan orang yang terlibat dalam game tidak dapat menjaga dan

kehilangan perspektif dan keseimbangan yang seharusnya dapat ia kendalikan.

Misalnya dalam kehidupan pekerjaan, sekolah, keluarga, sosial, dan game yang ia

mainkan. Masalah fisik dan mental yang kemudian dapat muncul akan makin

memperparah ketidakseimbangan ini (Clark dan Scott, 2009).

Studi pencitraan neurologis atau neuroimaging dapat membedakan area

otak tertentu yang terlibat dan diperlukan dalam pemeliharaan dari adiksi. Pada

tingkat molekular, adiksi internet memiliki gambaran defisiensi pada sistem

reward dengan menunjukkan aktivitas dopamin yang rendah pada sistem reward

di mesokortikolimbik. Pada tingkat sirkuit neuron, game addiction menyebabkan

neuroadaptasi dan perubahan struktural. Neuroadaptasi dilakukan untuk

menyesuaikan dengan perubahan struktural. Biasanya, pada otak seorang internet

atau game addiction didapatkan integrasi sensorimotor dan persepsi yang lebih

baik (Kuss & Griffiths, 2012).

Perubahan struktural didapati pada serebelum, batang otak, girus singulata

kanan, bilateral parahipokampus, lobus frontal kanan, girus frontal superior kiri,

girus temporal inferior kanan dan superior kiri, serta girus temporal tengah.

Perubahan ini menyebabkan peningkatan aktivitas pada area otak yang terkait

dengan adiksi. Juga didapati jumlah area putih dan area abu-abu yang berubah di

beberapa area otak. Perubahan pada volume striatum menunjukkan perubahan

pada sistem reward. Perubahan pada nukleus accumbens dapat mempengaruhi

fungsi kognisi, kontrol motorik, dan motivasi. Perubahan pada korteks

orbitofrontal mempengaruhi pemrosesan emosi, craving, proses pengambilan

7
keputusan yang maladaptif, dan perilaku kompulsif (Kuhn et.al., 2011; Kuss &

Griffiths, 2012).

Pada tingkat perilaku, seorang yang mengalami adiksi pada game atau

internet akan mengalami masalah pada kontrol impuls, inhibisi perilaku, kontrol

fungsi eksekutif, kemampuan atensi, dan fungsi kognitif keseluruhan. Namun di

sisi lain, kemampuan membaik dalam integrasi antara informasi persepsi dan otak

melalui indera, serta koordinasi yang baik antara tangan dan mata (Kuss &

Griffiths, 2012).

Konsep patofisiologi adiksi game online adalah sama dengan adiksi oleh obat

atau zat yang berupa suatu sirkuit impulsifitas atau kompulsifitas dengan gejala dimana

otak sulit untuk mengatakan tidak. Impulsifitas berupa ketidakmampuan untuk mengatasi

inisiatif tindakan dan kompulsif sebagai ketidakmampuan dalam mengakhiri tindakan

yang berkelanjutan. Kebiasaan adalah tipe dari suatu kompulsif dan dapat dilihat sebagai

trigger respon dari stimulus mental-lingkungan sebagai keinginan saat ini. Habits dapat

dilihat dari respon kondisi (mencari internet) menjadi kondisi yang pernah sebelumnya

dirasakan sebagai reward (penguatan positif) dan kehilangan situasi ini menjadi

withdrawal atau craving. Neuroanatomi impulsif dan kompulsif terlihat pada neuronal

loop yang berbeda, dimana impulsif diproyeksikan dari striatum bagian ventral menuju

thalamus, kemudian menuju ventromedial prefrontal cortex (VMPFC) dan kembali lagi

ke striatum (Stahl, 2013)

8
Gambar 2. 2 Psikopatologi Impulsif dan Kompulsif sebagai dasar Adiksi Internet
(dikutip dari Stahl, 2013)

Beberapa peneliti berpendapat bahwa penggunaan adiktif, baik internet

maupun game online, mempresentasikan kesamaan neurobiologis dengan

kelompok penggunaan zat ain, terutama mengacu pada bagian keinginan dan area

otak yang bertanggung jawab atas stimulus adiktif. Hal ini terutama disebabkan

oleh fakta bahwa area otak yang merespon terhadap stimulus serupa dengan yang

terjadi pada ketergantungan zat dan kecanduan game online (Daniel & Paul H,

2014)

9
2.3 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, dilakukan survei terhadap populasi pengguna game

sesuai usia. Pada tahun 2014 didapatkan 29% pengguna game berusia kurang dari

18 tahun, 32% berusia 18-35 tahun, dan 39% berusia lebih dari 35 tahun. Dari

tahun ke tahun, jumlah perempuan pengguna game makin bertambah. Di Amerika

Serikat, pada tahun 2006 hanya didapatkan 38% perempuan pengguna game. Pada

tahun 2014, jumlah perempuan pengguna game meningkat menjadi 48% (Statista,

2015).

Sekitar 126 juta orang di Amerika Serikat bermain game dan sejumlah 10-

15% mengalami adiksi. Jumlah remaja yang mengalami adiksi game di Korea,

Cina, dan beberapa negara Asia lainnya juga disebut mencapai jutaan, hingga hal

ini disebut sebagai suatu pandemi (Clark dan Scott, 2009).

Prevalensi dari internet gaming disorder disebut masih bervariasi karena

banyaknya jenis kuesioner yang dipakai, kriteria, dan ambang batas yang

digunakan. Namun disebut bahwa prevalensi paling tinggi didapatkan pada

negara-negara Asia. Didapatkan banyak pada usia remaja sekitar 12-20 tahun.

Banyak laporan mengenai gangguan ini dari Cina dan Korea Selatan, dan hanya

sedikit dari Eropa dan Amerika Utara. Salah satu prevalensi dari studi di Asia

pada remaja usia 15-19 tahun adalah 8,4% pada laki-laki dan 4,5% pada

perempuan (APA, 2013). Jenis kelamin laki-laki didapatkan lebih banyak

mengalami game addiction dibandingkan jenis kelamin perempuan (Vollmer

et.al., 2014).

Di sebuah studi diidentifikasi gambaran adiksi online game pada anak usia

sekolah di warung internet penyedia online game di Jatinagor, Sumedang.

10
Didapatkan sebanyak 62% mengalami game addiction dan sebanyak 38% tidak

mengalami game addiction. Hal ini menunjukkan bahwa game addiction dapat

terjadi pada populasi usia sekolah (Jap et.al, 2013).

2.4 Gambaran Klinis dan Diagnosis

Sebelum suatu permainan atau game menimbulkan suatu adiksi, biasanya

terdapat gambaran-gambaran yang sudah harus mulai diwaspadai pada seorang

pelaku game. Harus mulai memberikan perhatian khusus ketika terdapat: (1)

preokupasi dengan game; (2) berbohong atau menyembunyikan kenyataan tentang

game yang biasa dilakukan; (3) hilang minat dan ketertarikan terhadap kegiatan

yang lain; (4) penarikan diri dari kehidupan sosial; dan (5) defensif dan mudah

marah (Young, 2009).

Terdapat kriteria yang diusulkan di dalam Diagnostic and Statistical

Manual for Mental Disorder 5th Edition (DSM-5) untuk diagnosis internet gaming

disorder. Usulan kriteria ini adalah sebagai berikut ini (APA, 2013).

Penggunaan yang menetap dan berulang dari internet untuk bermain game,

seringkali dengan pemain lain, yang secara klinis signifikan mengakibatkan

masalah atau distress dalam lima hal atau lebih dari hal-hal berikut ini dalam

jangka waktu 12 bulan:

1. Preokupasi dengan game internet. (Individu berpikir tentang aktivitas

game berikutnya atau mengantisipasi game selanjutnya; bermain game di

internet menjadi aktivitas dominan dalam kehidupan sehari-hari).


Catatan: Gangguan ini terpisah dari internet gambling, yang termasuk di

dalam gangguan judi.

11
2. Gejala putus ketika permainan dihentikan. (Gejala ini secara tipikal

dijelaskan dengan mudah marah, cemas, atau sedih, tetapi tidak terdapat

gejala fisik seperti dalam putus zat farmakologis).


3. Toleransi—kebutuhan untuk menghabiskan waktu dengan games internet

makin meningkat.
4. Tidak berhasil dalam mengontrol keinginan untuk bermain.
5. Kehilangan ketertarikan pada hobi dan hal-hal yang sebelumnya

menyenangkan akibat, dan kecuali, internet games.


6. Meneruskan penggunaan internet game yang berlebihan meskipun

mengetahui masalah psikososial yang mungkin muncul.


7. Menipu atau berbohong kepada keluarga, terapis, atau yang lain mengenai

kuantitas dari game internet.


8. Menggunakan game internet untuk melarikan diri atau memperbaiki

suasana perasaan yang negatif (misalnya perasaan ketidakberdayaan,

bersalah, atau kecemasan).


9. Membahayakan atau kehilangan kesempatan dalam hubungan, pekerjaan,

atau pendidikan atau karir yang signifikan karena game internet.

Catatan: Hanya game internet non-judi yang dimasukkan dalam gangguan ini.

Penggunaan internet untuk keperluan aktivitas bisnis atau profesi tidak

termasuk; juga gangguan lain yang berkaitan dengan internet seperti

penggunaan internet untuk rekreasi atau sosial. Serta, penggunaan situs

seksual internet juga dieksklusi.

Penjelasan keparahan saat ini:

Internet gaming disorder dapat ringan, sedang, atau berat tergantung derajat

gangguan dari aktivitas normal. Individu dengan internet gaming disorder

dengan tingkat keparahan rendah memiliki gejala yang lebih sedikit dan

12
gangguan dalam hidup yang lebih sedikit. Gangguan yang lebih parah

memiliki waktu yang lebih panjang berjam-jam di depan komputer dan lebih

parah dalam masalah kehilangan kesempatan dalam hubungan/relasi atau karir

atau sekolah.

Salah satu varian dari internet game addiction adalah adiksi pada game

yang tidak dilakukan melalui internet. Namun, jumlah ini disebut hanya sejumlah

kecil saja. Saat ini penggunaan game sangat mudah dan sebagian besar difasilitasi

oleh cakupan internet atau online game (APA, 2013).

Menurut Lemmens, jika dalam waktu enam bulan terpenuhi empat dari

tujuh kriteria dibawah ini maka orang tersebut mengalami adiksi game online:

1. Salience Bermain game menjadi aktivitas paling

penting dalam diri seseorang dan mendominasi

pikirannya (keasyikan), perasaan (mengidam), dan

perilaku (penggunaan berlebihan). Ketika aktivitas

menjadi hal yang paling penting pada kehidupan

seseorang. Keadaan dapat dibagi menjadi kepentingan

kognitif (ketika seseorang sering berpikir tentang

aktivitas tersebut) dan perilaku (misalnya ketika

seseorang mengabaikan kebutuhan dasar seperti tidur,

makanan, atau kebersihan untuk melakukan aktivitas

tersebut).

2. Tolerance Proses di mana seseorang mulai bermain

game lebih banyak dan sering, sehingga secara bertahap

membangun jumlah waktu yang dihabiskan untuk

13
permainan

3. Mood Modification Perubahan mood. Pengalaman

subyektif yang dipengaruhi oleh aktivitas yang

dilakukan.

4. Relapse Kecenderungan untuk berulang kali kembali ke

pola permainan sebelumnya bermain. Kecenderungan

untuk kembali ke perilaku adiktif bahkan setelah

periode yang relatif terkontrol.

5. Withdrawal Emosi yang tidak menyenangkan dan / atau

efek fisik yang terjadi saat itu bermain game tiba-tiba

dikurangi atau dihentikan. Penarikan terdiri sebagian

besar dari kemurungan dan iritabilitas, tetapi mungkin

juga termasuk fisiologis gejala, seperti gemetar

6. Conflict Ini mengacu pada semua konflik interpersonal

yang dihasilkan dari berlebihan bermain game. Konflik

ada antara pemain dan orang-orang di sekitarnya.

Konflik dapat mencakup argumen dan penelantaran,

tetapi juga kebohongan dan penipuan.

7. Problems Ini mengacu pada masalah yang disebabkan

oleh bermain game yang berlebihan. Terutama

menyangkut masalah perpindahan sebagai objek

kecanduan mengambil preferensi atas kegiatan, seperti

sekolah, pekerjaan, dan bersosialisasi. Masalah

mungkin juga muncul di dalam individu, seperti konflik

14
intrapsikik danperasaan subjektif kehilangan kontrol

(Lemmens, 2012)

Terdapat suatu kuesioner untuk mengukur game addiction yang bernama

The Indonesian Online Game Addiction Questionnaire. Kuesioner ini merupakan

suatu psikometri yang diterima untuk melakukan studi mengenai online game

addiction pada populasi usia sekolah. Kuesioner ini memiliki nilai yang dapat

mengestimasi adanya adiksi ringan dan kasus adiksi di populasi. Hal ini dapat

membantu profesional kesehatan jiwa untuk mendiagnosis online game addiction.

Namun, kuesioner ini masih memerlukan beberapa hal untuk dapat digunakan

sebagai instrumen klinis (Jap et.al, 2013).

2.5 Diagnosis Banding

Penggunaan internet atau media lain yang tidak dipakai untuk bermain

game, misalnya penggunaan media sosial yang berlebihan misalnya Facebook

atau melihat pornografi. Penggunaan internet untuk judi juga harus dibedakan

karena termasuk dalam gangguan judi (APA, 2013).

2.6 Penatalaksanaan

1. Psikofarmakologi

Penelitian mengenai penatalaksanaan farmakologis dan non-farmakologis

pada adiksi internet sudah diteliti dan direkomendasikan pada pasien yang sudah

15
ditegakkan diagnosisnya. Adiksi internet memiliki dimensi biologis, maka obat,

seperti obat antidepresan (amitriptilin, imipramine), antianxietas (diazepam,

clorazepate) atau antipsikotik (Chlorpromazin, trifluoperazine, haloperidol) dapat

membantu mengurangi gejala. Untuk sejauh ini penelitian mengenai pengobatan

farmakologis yang telah diketahui keefektivannya untuk mengurangi gejala adiksi

internet adalah Escitalopram dan Bupropion (Kenneth Paul Rosenberg, 2014).

Beberapa perawatan seperti terapi kejut ECT untuk kecanduan game

diberikan kepada pasien remaja di rumah sakit militer di China, dan praktek ini

dihentikan pada tahun 2009. Secara keseluruhan, dibutuhkan penelitian lebih

lanjut. Beberapa studi kasus yang sukses mengenai pengobatan farmakoterapi,

setelah 6 minggu dan 12 minggu mendapatkan terapi bupropion, gamer

bermasalah menunjukkan peningkatan yang signifikan baik, gangguan perilaku

menurun dan penurunan skor depresi (Miller, 2013)

2. Psikoterapi
2.1 CBT

Kondisi kambuh (relapse) sering muncul pada klien yang berhubungan

dengan kecanduan game online. Mengakui dan mengantisipasi kambuh seringkali

merupakan bagian dari proses perawatan (Syahran, 2015). Mengidentifikasi

situasi-situasi yang menyebabkan kecanduan game online dan menemukan cara-

cara untuk menghadapi situasi-situasi ini, serta dapat sangat mengurangi

kemungkinan kambuh total (William, 2012) .

Sebagai salah satu terapi pada kasus yang berhubungan dengan internet

addiction termasuk salah satunya adalah game online, Young memberikan 7

teknik perawatan yang mungkin dilakukan:

16
a. Praktekkan kebalikannya (Practice the opposite)

b. Penghenti eksternal (External stoppers)

c. Tetapkan goal (Setting goals)

d. Kartu-kartu pengingat (Reminder cards)

e. Inventori personal (Personal inventory)

f. Dukungan sosial (Social support)

g. Terapi keluarga (Family therapy).

(Young, 2011)

Cognitive Behavioral Therapy memberikan langkah demi langkah untuk

menghentikan perilaku Internet kompulsif dan mengubah persepsi pasien

mengenai internet, smartphone dan komputer. CBT juga dapat menolong pasien

untuk mempelajari cara-cara yang lebih baik untuk mengatasi emosi-emosi tidak

nyaman, seperti kecemasan, stress, atau depresi (Kenneth Paul Rosenberg, 2014).

Menurut literatur, CBT telah menjadi metode yang berguna dan efektif untuk

menangani gangguan kompulsif seperti gangguan ledakan emosi, judi patologis,

trichotillomania. CBT biasanya memerlukan 3 bulan perawatan atau sekitar 12

kali pertemuan mingguan (Young, 2011).

Khazaal et al. merangkumkan komponen-komponen perilaku dan

motivasional dari perawatan kecanduan Internet menurut Young sebagai berikut:

Tabel 1.

Strategi Pemulihan Tujuan


Akuilah apa yang telah hilang Mengenali masalah
Bawalah kartu-kartu pengingat Mengenali masalah
Dengarkanlah suara-suara penyangkalan Mengenali masalah
Profil-profil dari On-lineaholica Mengenali masalah
Tinjaulah waktu online anda Pengamatan diri

17
Akuilah dorongan anda akan kecanduan Pengamatan diri
Pelarian, obat bius dari internet Pengamatan diri
Gunakan teknik manajemen waktu Manajemen waktu
Ambillah langkah nyata untuk menanggulangi Pengembangan aktivitas off-

masalah line
Hadapi kesepian anda Pengembangan aktivitas off-

line
Carilah dukungan dalam dunia nyata Pengembangan aktivitas off-
line
Pertimbangkan manfaat dari Pencegahan relapse (kambuh)

pemulihan (recovery benefits)


Tip-tip untuk perjalanan menuju pemulihan Pencegahan relapse (kambuh)

Secara keseluruhan, CBT-IA (CBT for Internet Addiction) adalah pendekatan

yang komprehensif dan unik untuk terapi kecanduan internet. Pendekatan dalam

terapi ini terdapat tiga fase,

1. Fase pertama melibatkan modifikasi perilaku terkait penggunaan internet.

2. Pada fase kedua, kognitif restrukturisasi mengidentifikasi distorsi kognitif dan

kognisi maladaptif yang mengarah ke kecanduan penggunaan internet. Secara

khusus, rasionalisasi yang membenarkan penggunaan dan meminimalkan

penggunaan internet sebagai kecanduan diidentifikasi, ditantang, dan

dimodifikasi.

3. Pada fase ketiga, melihat kecanduan internet sebagai bagian dari sindrom

diagnostik , masalah komorbiditas diidentifikasi, ditangani, dan diobati.

Kondisi kejiwaan harus ditangani serta masalah pribadi, sosial, dan keluarga

berkontribusi terhadap kecanduan internet harus ditangani. Ini terjadi melalui

peningkatan kesadaran dari faktor-faktor yang berkontribusi atau mendasari

kecanduan (William, 2012).

18
Meskipun CBT-IA menawarkan bentuk perawatan baru yang

komprehensif dan menjanjikan untuk kecanduan internet , area untuk penelitian

masa depan juga harus mengeksplorasi perbandingan sistematis dengan

pengobatan lain seperti terapi psikodinamik, gestalt, konseling kelompok, atau

konseling in vivo dalam komunitas online untuk menentukan dampak terapeutik

dan keampuhannya. Studi selanjutnya juga harus menyelidiki perbedaan

perlakuan di antara berbagai jenis penyalahgunaan internet (Young, 2011).

2.2 Rational Emotive Behaviour Therapy

Konseling memiliki banyak pendekatan salah atunya adalah pendekatan

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) yang petama kali dikembangkan

oleh Albert Ellis pada tahun 1955. Rasional Emotive Behavior Therapy (REBT)

merupakan pendekatan kognitif-behavioral. Pendekatan Rasional Emotive

Behavior Therapy (REBT) berfokus pada perilaku individu, akan tetapi Rasional

Emotive Behavior Therapy (REBT) menekankan bahwa perilaku yang bermasalah

disebabkan oleh pemikiran yang tidak rasional (Solikhah, 2016). Rasional

Emotive Behavior Therapy (REBT) adalah pendekatan yang bersifat direktif, yaitu

pendekatan yang membelajarkan kembali konseli untuk memahami input kognitif

yang menyebabkan gangguan emosional yang mempengaruhi perilaku. Jadi dapat

disimpulkan bahwa REBT merupakan terapi kognitif behavior yang dapat

mengubah pemikiran, emosi, dan prilaku individu yang salah mengenai sesuatu

gagasan yang dilandaskan dari pikiran-pikiran yang tidak rasional (Kenneth Paul

Rosenberg, 2014).

REBT memberikan pertimbangan-pertimbangan rasional agar individu tidak

lagi berpikir secara tidak rasional (irasional). Menurut Ellis ada tiga hal yang

19
terkait dengan perilaku, yaitu activating event (A), belief (B), emotional and

behavioral consequence (C). Ketiga teori ABC tersebut ditambah (D)

disputing dan (E) effective untuk memasukkan perubahan dan hasil yang

diharapkan dari perubahan.

Adapun penjelasannya sebagai berikut: (A)activating event adalah kejadian

yang mengakibatkan individu. (B) belief adalah keyakinan baik rasional maupun

irasional. (C) emotional and behavioral consequence adalah konsekuensi

emosional dan prilaku. (D) disputing adalah melakukan disput pikiran irasional

dan (E) effective adalah mengembangkan filosofi hidup yang efektif (Solikhah,

2016).

Dapat disimpulkan juga bahwa konsep dasar REBT adalah A-B-C-D-E

yaitu (A) antecedent event yang merupakan pengalaman pemicu yang memicu

suatu keadaan emosional individu, kemudian belief yang merupakan kepercayaan

yang diyakini individu, hal ini dapat berupa keyakinan positif atau keyakinan

negatif, emotional consequence yang merupakan konsekuensi yang harus diterima

individu atas keyakinan-keyakinan yang dimiliki, disputing yang merupakan

perlawanan akan keyakinan yang dimiliki dan effect yang merupakan efek dari

keyakinan rasional (Wood, 2017)

Pendekatan Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) dapat

dikategorikan menjadi rational, emotive, dan behavior. Rational berarti pikiran

rasional/logis individu, dimana konselor membantu individu yang mengalami

kecanduan game online untuk berpikir lebih rasional, karena salah satu individu

mengalami kecanduan game online adalah pikiran yang tidak rasional.

Sedangkan dari segi aspek, rational memiliki pengaruh terhadap aspek salience

20
dari kecanduan. Hal ini disebabkan karena individu harus terpuaskan dengan

bermain game online yang dirasakan individu berasal dari pikiran irasional.

Emotive merupakan emosi yang dirasakan individu, dimana konselor membantu

individu untuk mengelola emosi yang dirasakan sehingga kecanduan game

online yang sedang dialami dapat menurun. Ketika sudah mengalami kecanduan,

individu akan mengalami gangguan emosi yang tidak menentu dan sangat

berpengaruh terhadap peningkatan bermain game online. Behavior dalam

pendekatan REBT berarti prilaku, konselor berusaha merubah perilaku negatif

individu, perilaku negatif disebabkan dari kecanduan yang dialami individu yang

membuat anak ingin selalu bermain game online dan merasa susah untuk

meninggalkan aktivitas tersebut. (Wood, 2017)

21
Gambar 2. 2. Dinamika Efektivitas pendekatan Rational Emotive Behavior
Therapy untuk mengurangi kecanduan game online (dikutip dari Solikhah, 2016)

2.3 Hipnoterapi
Hipnoterapi merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang

mempelajari pemanfaatan sugesti untuk mengatasi masalah psikologis yang

meliputi pikiran, perasaan dan perilaku. Hipnoterapi merupakan suatu aplikasi

modern dalam teknik kuno yang mengaplikasikan trance-hypnosis. Penerapan

hipnoterapi akan membimbing klien untuk memasuki kondisi trance (relaksasi

pikiran) agar dapat dengan mudah menerima sugesti yang diberikan oleh

hipnoterapis. Dalam kondisi trance, pikiran bawah sadar klien akan diberikan

sugesti positif guna melakukan penyembuhan gangguan psikologis atau dapat

pula digunakan untuk mengubah pikiran, perilaku, dan perasaan agar menjadi

lebih baik (Rubin, 2013). Periode trance merupakan periode dimana hipnoterapis

mengubah keterbatasan pemahaman klien agar menjadi reseptif terhadap sugesti

positif yang diberikan oleh hipnoterapis untuk tujuan terapi. Berdasarkan

penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa hipnoterapi merupakan suatu

teknik terapi pikiran yang menggunakan metode hypnosis. Hipnoterapi

merupakan suatu metode untuk membantu seseorang dalam memanfaatkan

asosiasi mental, kenangan, dan potensi hidup untuk tujuan terapi yang

diinginkan. Sugesti hypnosis mengasah kemampuan dan potensi yang terpendam

dalam diri seseorang akibat kurangnya pelatihan dan pemahaman . Hipnoterapi

sebagai penyembuhan gangguan jiwa dengan membawa individu ke suatu

keadaan trance agar individu tersebut mengeluarkan isi hati, dalam keadaan

sadar individu tersebut tidak bersedia untuk bercerita (Wulandari, 2016).

22
Hipnoterapi adalah cara untuk mengobati dan menyembuhkan perilaku

adiktif tanpa menggunakan pengobatan invasif dan National Council for

Hypnotherapy (NCH) mengatakan hipnoterapi, menggunakan teknik hipnotik,

dapat membantu menghilangkan kebiasaan yang membuat adiktif tanpa

menimbulkan efek samping (Hypnoterapy, 2015). Beberapa kasus telah

ditemukan peningkatan yang signifikan pada klien dan pasien yang menggunakan

hipnoterapi untuk mengobati kecanduan game online. Melalui penggunaan

desensitisasi sistematis dan penciptaan asosiasi bawah sadar , hipnosis dan

hipnoterapi terbukti menjadi alat yang kuat untuk pengobatan adiksi game online

(Rubin, 2013).

Penggunaan media dan internet harus disesuaikan dengan mengoptimalkan

efek positif dan mengecilkan efek negatif sedapat mungkin (Stockburger dan

Omar, 2013). Beberapa hal yang dapat dilakukan di antaranya:

1. Pembatasan screen time atau waktu yang dihabiskan di depan layar,

terutama untuk melakukan aktivitas game. Hal ini terutama perlu diberikan

pada usia anak dan remaja. Screen time yang makin panjang berkaitan

dengan kemungkinan masalah yang juga akan makin meningkat (Young,

2009; Sigman, 2014).


2. Salah satu hal penting adalah orang tua harus memahami bahwa game

addiction adalah suatu hal yang penting untuk segera diatasi. Orang tua

harus menyepakati, mendukung, dan membantu dalam proses terapi yang

akan dilaksanakan. Sangat disarankan agar terdapat pengawasan dan

pengarahan yang tepat dari orang tua terutama pada usia anak dan remaja

untuk mengontrol penggunaan game (Young, 2009).

23
3. Mengistirahatkan mata dan otot perlu untuk dilakukan di sela-sela bermain

game. Tiap dua puluh menit sebaiknya beristirahat dan mata diminta untuk

fokus ke benda yang jauh untuk beberapa detik. Lebih baik apabila ini

dilakukan juga dengan mengubah posisi menjadi berdiri dan berkeliling

sejenak untuk satu atau dua menit. Selain untuk mengistirahatkan mata

dan otot, ini juga dapat mengingatkan kembali bahwa ada dunia nyata di

luar game (Young, 2009).


4. Untuk anak-anak, dapat dilakukan pendekatan perlahan-lahan dengan

mengubah game umum (sekedar hiburan biasa) yang biasa dimainkan

menjadi game lain yang lebih bersifat edukatif (Young, 2009).


5. Perlu mengalihkan aktivitas ke hal-hal yang lebih bermanfaat dan

berpotensi memperoleh penghargaan sebagaimana dalam game, misalnya

olah raga, bermain musik, atau permainan seperti catur (Young, 2009).
6. Memperbaiki dan meningkatkan kemampuan anak dalam hal akademis

misalnya dengan bimbingan belajar. Sebagian anak lari pada game karena

tidak mampu mendapatkan hasil yang baik di sekolah. Meskipun sebagian

mengalami sebaliknya, yaitu terpengaruh game dan menyebabkan

penurunan prestasi di sekolah (Young, 2009).


7. Terapi keluarga atau family therapy dapat diberikan. Penting untuk

mengedukasi seluruh anggota keluarga bahwa mereka memiliki peranan

untuk menolong anggota keluarga yang mengalami game addiction. Brief

Strategic Family Therapy (BSFT) dapat diberikan pada anak dan remaja

usia 6 sampai 17 tahun. Bertujuan menyelesaikan fokus masalah seperti

masalah adiksi dan perilaku. BSFT juga mengubah perilaku anggota

keluarga yang berpotensi atau berperan menimbulkan adiksi dan yang

dapat memperbaiki perilaku adiksi (Young, 2009).

24
8. Jika perlu dapat dilakukan penanganan dalam tim dan dibuat sistem

rujukan yang komprehensif. Misalnya antara dokter di layanan primer,

konselor, dan spesialis di bidang adiksi untuk memberikan pelayanan yang

holistik (Sigman, 2014).

2.7 Faktor Risiko dan Prognosis


1. Lingkungan
Ketersediaan komputer dengan koneksi internet memudahkan akses pada
game yang berhubungan erat dengan internet gaming disorder (APA,
2013).
2. Genetik dan fisiologis
Remaja laki-laki nampak berisiko besar mengalami gangguan ini. Saat ini
diduga bahwa lingkungan Asia yang berhubungan dengan latar belakang
genetik yang dimiliki merupakan salah satu faktor risiko. Namun hal ini
belum cukup bisa dijelaskan (APA, 2013).
3. Jenis Kelamin
Meskipun laki-laki lebih banyak mengalami game addiction, perempuan
dengan adiksi game lebih banyak mengalami depresi, gejala somatik, dan
gejala psikologis lainnya (Wei et.al., 2012).
4. Komorbiditas dengan gangguan lain
Adanya komorbiditas dengan gangguan lain misalnya dengan depresi,
gangguan cemas, gangguan fobik, atau gangguan yang lain dapat menjadi
prediksi prognosis yang lebih buruk (Sigman, 2014).
5. Usia
Disebutkan bahwa makin muda usia anak yang terpapar dengan game,
makin rentan mengalami ketergantungan terhadap game (Sigman, 2014).
6. Waktu bermain game
Ditemukan pengaruh yang kuat dari waktu bermain game pada sebuah
studi tentang game addiction yang membedakan antara bermain pada pagi
dan malam hari. Salah satunya karena pada malam hari terdapat waktu
yang lebih panjang untuk bermain game. Pelaku game pada malam hari ini
juga lebih berpotensi untuk mengalami masalah emosi, gangguan tidur,
dan masalah sekolah (Vollmer et.al., 2014).

2.8 Komorbiditas

25
Game addiction dapat berkomorbid dengan beberapa gangguan. Gangguan

dapat muncul setelah mengalami game addiction maupun sudah ada sebelum

seseorang mengalami game addiction (Sigman, 2014). Gangguan-gangguan

tersebut diantaranya:

1. Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas atau attention deficit

hyperactivity disorder (ADHD). Pada usia anak yang mengalami game

addiction perlu dilakukan penyaringan atau screening ADHD (Sigman,

2014).
2. Gangguan depresi. Gejala depresi meningkat keparahannya seiring dengan

lama waktu game yang bertambah dan lebih banyak dialami oleh jenis

kelamin perempuan (Wei et.al., 2012). Gangguan depresi sering

didapatkan bersamaan dan menjadi faktor prediksi yang signifikan untuk

game addiction, bersama dengan rasa kesepian/loneliness (Ayas dan

Horzum, 2013).
3. Gangguan tidur. Pelaku game yang memilih untuk bermain di malam hari

seringkali mengalami masalah di siang hari, misalnya mengantuk atau

tidur di siang hari. Hal ini dapat mengganggu aktivitas yang seharusnya

dilakukan misalnya aktivitas di sekolah atau di tempat kerja. Masalah tidur

lain misalnya insomnia, mimpi buruk, dan teeth grinding (Stockburger dan

Omar, 2013).
4. Gangguan kecemasan dan gangguan fobik. Game addiction juga cukup

sering berkomorbid dengan gangguan kecemasan dan gangguan fobik

misalnya fobia sosial (Sigman, 2014).


5. Gangguan obsesif-kompulsif. Game addiction dapat juga berkomorbid

dengan gangguan obsesif-kompulsif (APA, 2013).

26
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Game addiction merupakan bagian dari gangguan yang terkait dengan

pemakaian internet dan terpisah dari gangguan lain misalnya gambling

disorder dan porn addiction.


2. Dalam menimbulkan suatu adiksi, game mengubah keseimbangan dalam

neurotransmiter otak yang berperan dalam sistem reward, yang lama

kelamaan akan mengubah struktur sistem saraf secara anatomis dan

berefek pada perubahan dalam pengaturan emosi, kognisi, dan psikomotor.


3. Prevalensi di seluruh dunia masih bervariasi, namun didapatkan paling

tinggi di daerah Asia pada remaja laki-laki.


4. Terdapat diagnosis gangguan akibat game dalam DSM-5 yang diusulkan

dengan nama diagnosis internet gaming disorder.


5. Terapi yang dapat dilakukan diantaranya adalah pembatasan screen time,

dukungan dari orang tua/keluarga, istirahat mata dan otot, mengubah ke

game yang edukatif, mengalihkan ke aktivitas yang lebih bermanfaat,

bimbingan akademis, family therapy, dan jika perlu dibuat sistem rujukan

yang komprehensif.
6. Faktor risiko dan prognosis dari game addiction dipengaruhi oleh

beberapa hal misalnya lingkungan, genetik dan fisiologis, jenis kelamin,

ko-morbiditas dengan gangguan lain, usia, dan pilihan waktu bermain

game.
7. Game addiction dapat berkomorbid dengan gangguan psikiatri seperti

ADHD, depresi, gangguan tidur, dan gangguan cemas, fobik, serta obsesif-

kompulsif.

3.2 Saran

27
Diperlukan telaah dan studi lebih lanjut untuk lebih mendalami dan

memahami mengenai game addiction mulai dari pemeriksaan, diagnosis, hingga

penatalaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

APA (American Psychiatric Association). 2013. Diagnostic and statistical manual


of mental disorders: fifth edition. Arlington: American Psychiatric
Association. p. 795-798.

28
Ayas, Tuncay dan Horzum, MB. 2013. Relation between depression, loneliness,
self-esteem, and internet addiction. Education. 133(3):283-290.
Clark, Neils dan Scott, PS. 2009. Game addiction: the experience and the effects.
North Carolina: Mc Farland & Company Inc.
Internet World Stats. 2014. Internet users in the world distribution by world
regions 2014 Q2. http://www.internetworldstats.com/stats.htm.
Jap T, Tiatri S, Jaya ES, Suteja MS. 2013. The development of Indonesian online
game addiction questtionnaire. PLOS ONE. Vol 8(4): e61098.
Kuhn S, Romanowski A, Schilling C, Lorenz R, Morsen C, Seiferth N, et.al. 2011.
The neural basis of video gaming. Translational Psychiatry. 1:e53.
Kuss, Daria J dan Griffiths, Mark D. 2012. Internet and gaming addiction: a
systematic literature review of neuroimaging studies. Brain Sciences. 2;
347-374.
Sanditaria W, Fitri SYR, Mardhiyah A. 2012. Adiksi bermain game online pada
anak usia sekolah di warung internet penyedia game online Jatinagor
Sumedang. http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/745.
Sigman, Aric. 2014. Virtually addicted: why general practice must now confront
screen dependency. British Journal of General Practice. Dec. p. 610-611.
Statista. 2015. Statistics and market data on video games and gaming. The Statistic
Portal: http://www.statista.com/markets/417/topic/478/video-games-gaming/.
Stockburger, SJ dan Omar HA. 2013. Internet addiction, media use, and
difficulties associated with sleeping in adolescents. Int J Child Adolesc
Health. Vol 6(4):459-463.
Volmer C, Randler C, dan Horzum MB. 2014. Computer game addiction in
adolescents and its relationship to chronotype and personality. SAGE
Open. Jan-Mar: 1-9.
Wei HT, Chen MH, Huang PC, dan Bai YM. 2012. The association between online
gaming, social phobia, and depression: an internet survey. BMC Psychiatry.
12:92.
Young, Kimberly. 2009. Understanding online gaming addiction and treatment
issues for adolescents. The American Journal of Family Therapy. 37:355-
372.

29

Anda mungkin juga menyukai