Disusun oleh :
Dara Masthurina
1807101030024
Dokter Pembimbing
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Perilaku Bunuh Diri pada Remaja”. Salawat beserta salam penulis
sampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umat manusia ke
masa yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
RSUD dr. Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh. Ucapan
terima kasih serta penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada dr. Subhan
Rio Pamungkas, Sp. KJ (K) yang telah bersedia meluangkan waktu
membimbing penulis dalam penulisan laporan kasus ini.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan bagi semua pihak khususnya di bidang kedokteran dan berguna
bagi para pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran
pada umumnya dan ilmu kesehatan mata khususnya. Penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak untuk laporan kasus ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
BAB V KESIMPULAN.......................................................................... 28
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Klasifikasi
Perilaku bunuh diri dibagi menjadi tiga kategori yaitu sebagai berikut10 :
1. Upaya bunuh diri (Suicide attempt) yaitu sengaja melakukan kegiatan
menuju bunuh diri, dan bila kegiatan itu sampai tuntas akan menyebabkan
kematian. Kondisi ini terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau di
abaikan. Orang yang hanya berniat melakukan upaya bunuh diri dan tidak
benar-benar ingin mati mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut tidak
diketahui tepat pada waktunya.
2. Isyarat bunuh diri (Suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan
untuk usaha mempengaruhi perilaku orang lain.
3. Ancaman bunuh diri (Suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara
langsung atau tidak langsung, verbal atau nonverbal bahwa seseorang
sedang mengupayakan bunuh diri. Orang tersebut mungkin menunjukkan
secara verbal bahwa dia tidak akan ada di sekitar kita lagi atau juga
mengungkapkan secara nonverbal berupa pemberian hadiah, wasiat, dan
3
sebagainya. Kurangnya respons positif dari orang sekitar dapat
dipersepsikan sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
b. Tahap-Tahap Perilaku Bunuh Diri
Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang diantaranya10:
1. Suicidal Ideation
Pada tahap ini merupakan proses perenungan dari keinginan bunuh diri, atau
sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/tindakan, bahkan
klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak
ditekan.
2. Suicidal Intent
Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan perencanaan yang
konkrit untuk melakukan bunuh diri.
3. Suicidal Threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yan
dalam, bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya .
4. Suicidal Gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada
diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya tetapi
sudah pada percobaan untuk melakukan bunuh diri. Tindakan yang
dilakukan pada fase ini pada umumnya tidak mematikan, misalnya
meminum beberapa pil atau menyayat pembuluh darah pada lengannya. Hal
ini terjadi karena individu memahami ambivalen antara mati dan hidup dan
tidak berencana untuk mati. Individu ini masih memiliki kemauan untuk
hidup, ingin di selamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik
mental. Tahap ini sering di namakan “Crying for help” sebab individu ini
sedang berjuang dengan stres yang tidak mampu di selesaikan.
c. Etiologi
Penjelasan tentang bunuh diri tidak memiliki teori tunggal. Teori Perilaku
menyakini bahwa pencederaan diri merupakan hal yang dipelajari dan diterima
pada saat anak-anak dan masa remaja. Teori psikologi memfokuskan pada
4
masalah tahap awal perkembangan ego, trauma interpersonal, dan kecemasan
berkepanjangan yang mungkin dapat memicu seseorang untuk mencederai diri.
Teori Interpersonal mengungkapkan bahwa mencederai diri sebagai kegagalan
dari interaksi dalam hidup, masa anak-anak mendapatkan perlakuan kasar serta
tidak mendapatkan kepuasan.10
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang dialami
oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup atau faktor lain yang
dapat menjadi pencetus, seperti melihat atau membaca melalui media mengenai
orang yang melakukan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut
menjadi sangat rentan. Kemampuan individu dalam menyikapi permasalahan yang
ada berbeda-beda tergantung koping mekanisme seseorang. Pada orang yang
melakukan tindakan bunuh diri terdapatnya respon maladaptif dalam menyikapi
masalah yang ada. Berikut rentan respon bunuh diri10 :
1. Respon Adaptif
Merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
kebudayaan yang secara umum berlaku.
2. Respon Maladaptif
Merupakan respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah
yang kurang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya setempat.
5
Penyebab lainnya dikaitkan oleh ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
komunikasi (mengkomunikasikan perasaan), perasaan bersalah, depresi, dan
perasaan yang tidak stabil.10 Berikut faktor penyebab yang menunjang pada
pemahaman perilaku destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan adalah :
1. Diagnosis Psikiatrik
Sekitar 90% pasien yang melakukan percobaan bunuh diri dengan gangguan
mental.3,11 Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk
melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan
skizofrenia.3 Gangguan afektif depresif sebagai penyebab utama kejadian bunuh
diri, yaitu 20 kali lebih berisiko dibandingkan populasi umum. Pada gangguan
afektif bipolar 15 kali lebih berisiko dibandingkan populasi normal. Sedangkan
pada pasien skizofrenia risiko bunuh diri 8,5 kali dibandingkan populasi normal.11
2. Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang berhubungan erat dengan risiko bunuh diri
adalah kepribadian ambang, antisosial, narsisistik. Sepuluh persen orang dengan
kepribadian ambang meninggal akibat bunuh diri.11
3. Lingkungan
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah
pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-kejadian negatif
dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan, atau bahkan perceraian. 11 Kekuatan
dukungan sosial sangat penting dalam menciptakan intervensi yang terapeutik,
dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam
menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.10
4. Biologi
Bunuh diri berkaitan dengan adanya faktor genetik. Hal ini tumpang tindih
terhadap adanya kaitan genetik terhadap adanya risiko gangguan psikiatri.
Berdasarkan penelitian sebelumnya selama tiga dekade terakhir, terdapat
hubungan antara perilaku bunug diri, agresi, dan impulsifitas. Secara
neurobiologi, kelainan bunuh diri terdapat adangan disfungsi pada sistem
serotonin, hiperaktivitas pada HPA (Hypothalamic-pituitary and adrenaline)
6
aksis, hiperaktivitas noradrenaline, dopamin, glutamat, GABA, abnormalitas glia
dan mikroglia.12 Neurotransmiter yang paling berterkait dengan perilaku bunuh
diri adalah serotonin. Faktanya serotonin berkaitan dengan depresi dan
impulsifitas yang mana keduanya berkaitan dengan prilaku bunuh diri. Penurunan
serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri memiliki
serotonin yang rendah. Serotonin bertanggung jawab untuk kontrol regulasi afek,
agresi, tidur dan nafsu makan.12
d. Faktor Risiko
Pasien yang pernah melakukan percobaan bunuh diri (self-harm) memiliki
kemungkinan 100 kali lebih besar untuk menuntaskan tindakan bunuh diri di
tahun-tahun berikutnya dibandingkan dengan populasi umum. Berikut beberapa
faktor epidemiologi dan faktor klinis pada orang-orang yang berisiko tinggi
melakukan tindakan bunuh diri.11
7
e. Evaluasi dan Penilaian
Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecenderungan bunuh diri,
jangan tinggalkan mereka sendirian di ruangan. Singkirkan benda-benda yang
dapat membahayakan diri dari ruangan tersebut.9 Penilaian risiko bunuh diri harus
melalui komunikasi yang jelas, empati, tidak mengritik, terfokus pada emosional
dan gaya komunikasi pasien. Lakukan penilaian terhadap penyakit psikiatri yang
mendasari, seperti episode depresi berat, penggunaan zat dan alkohol, ansietas
berat, dan riwayat percobaan bunuh diri harus digali. Tanyakan juga terkait
riwayat bunuh diri pada keluarga, perasaan negatif seperti merasa tidak berdaya,
tidak ada harapan, gangguan tidur, dan tindakan impulsif.8
Penilaian pada pasien yang baru melakukan percobaan bunuh diri, nilai
apakah hal tersebut direncanakan atau dilakukan secara impulsif. Selain itu,
tentukan tingkat letalitasnya, kemungkinan pasien dipergoki ketika sedang
melakukan tindakan itu (mereka melakukan sembunyi-sembunyi atau
memperingatkan orang lain dulu), reaksi pasien ketika diselamatkan (lega atau
kecewa), atau apakah faktor-faktor yang mendorong tindakan itu sudah berubah.9
f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tergantung pada diagnosis yang ditegakkan. Pasien dengan
depresi berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi
pasien secara ketat di rumah dan bahwa terapi dapat dilakukan segera. Jika tidak,
diperlukan rawat inap. Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang
cenderung dan mempunyai kebiasaan melukai diri sendiri, serta parasuicides.9
Pasien dengan gangguan kepribadian akan berespon dengan baik bila mereka
ditangani secara empatik, dan dibantu untuk memecahkan masalahnya dengan
cara rasional dan bertanggungjawab (biasanya mereka sendiri mempunyai andil
8
dalam timbulnya krisis tersebut). Manipulasi lingkungan dengan
mengikutsertakan keluarga dan teman-temannya biasanya akan membantunya
mengatasi krisis.9 Penting untuk mengikutsertakan keluarga dan orang sekitar
untuk mengkondisikan lingkungan yang aman, memahami tanda/risiko bunuh diri,
serta rencana kontrol ulang dan rehabilitasi pasien. Keluarga pasien harus
edukasikan untuk dapat meminta bantuan psikiatri sesegera mungkin pada
keadaan adanya tanda-tanda bunuh diri.8
Penatalaksanaan bunuh diri pada anak dan remaja diperlukan pendekatan
secara individual terhadap anak dan seluruh keluarga. Tujuan dari
penatalaksanaan yang diberikan adalah memperbaiki mekanisme koping dan
komunikasi antara orang tua dan anak. Penatalaksaan dapat dimulai dari penyakit
mental yang didasari, yaitu dengan terapi psikoterapi dan terapi farmakologi.8
a. Terapi Psikofarmaka
Terapi farmakologi yang diberikan pada pasien disesuaikan dengan
gangguan psikiatri yang mendasari dan gejala klinis yang ada. 8 Pada kondisi akut
terapi yang diberikan fokus untuk mengurangi ansietas, insomnia, depresi, dan
gejala psikotik.8 Pasien dengan depresi, pemberian anti depresan biasanya tidak
dimulai di ruangan gawat darurat, meskipun biasanya terapi definitive pasien-
pasien yang mempunyai kecenderungan bunuh diri adalah antidepresan. Boleh
diberikan di instalasi gawat darurat asal dibuat perjanjian kontrol keesokan
harinya secara pasti.9 Pasien dengan depresi berat,tidak membaik dengan obat
maka dapat direkomendasikan dengan terapi elektrokovulsif (ECT). Pada orang
dewasa terutama lansia, penggunaan psikofarmaka harus diawasi secara ketat
terkait adanya interaksi obat, sebagaimana terpat polifarmasi pada lansia.8
b. Terapi Non-farmakologi
Pada pasien yang percobaan bunuh dirinya terkait atau dieksaserbasi oleh
stres psikososial yang berat maka psikoterapi suportif dapat memberikan pasien
memulihkan strategi kopingnya dan melihat perspektif serta berbagai pilihan
selain bunuh diri.9 Melalui terapi bicara, perlu difokuskan terkait pencapaian
semasa hidupnya, daripada membicarakan terkait hal yang mungkin atau tidak
untuk dicapai. Diskusi tentang ide bunuh diri merupakan suatu proses untuk
9
merubah cara pandang dan memberikan pemaham tentang adanya ide-ide bunuh
diri pada seseorang.8 Berikan pernyataan yang bersifat empatik. Terapis harus
menghindari pernyataan yang sifatnya memojokkan, interogratif, serta
menganggap persoalan pasien adalah suatu hal yang ringan. Pada pasien dengan
strategi koping yang maladaptif maka dapat diberikan psikoterapi yang berfokus
pada pengembangan keterampilandalam penyelesaian seperti cognitive behavior
terapi.9
10
BAB III
LAPORAN KASUS
a. Keluhan Utama
11
pertama kali dilakukan pasien pada hari Rabu (17 Juli 2019) sekitar pukul 04.00
dini hari. Pasien menusukkan pisau dapur pada perut kiri atas setelah terjadi
pertengkaran kecil antara paman dan pasien di rumah paman pasien. Pertengkaran
terjadi akibat pasien pulang subuh hari padahal sebelumnya paman pasien
meminta untuk tidak pulang ke rumah bila sudah terlalu larut. Pada malam itu,
pasien keluar bersama teman pasien ke dekat laut tawar. Keluarga merasa
daripada pasien sendirian di rumah lebih baik dia bertemu dengan temannya.
Setelah kejadian, pasien dibawa ke rumah sakit umum untuk penanganan luka
(luka tidak dalam). Pasien dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa Aceh untuk penanganan
lebih lanjut terkait kondisi kejiwaan pasien. Namun, diperjalanan ke Banda Aceh,
pasien merasa lapar dan meminta makan, di saat yang jaga lalai, tiba-tiba pasien
mengambil pisau penjual dan menusuk perut pasien.
Sebelumnnya pasien memiliki riwayat depresi 1 tahun ini, dan berobat rutin
ke dokter jiwa di Takengon. Pasien dibawa ke psikiatri pada awal 2019 oleh
keluarga dengan alasan pasien sering menyendiri, sulit diajak bicara, pasien lebih
banyak diam dan hanya menjawab seperlunya. Keluhan mulai ada beberapa bulan
setelah tamat SMA. Pasien lebih sering menyendiri di rumah yang kosong dan
menolak untuk tinggal bersama paman dan bibi pasien, sebelumnya setelah tamat
SMA awalnya pasien tinggal bersama paman dan bibi. Keluarga pasien sudah
melarang pasien untuk tinggal sendirian, karena takut pasien tidak makan teratur
dan pasien memiliki kebiasaan membakar perapian di depan rumah, keluarga
takut terjadi kebakaran. Namun pasien bersikeras menolaknya. Selama SMA
pasien tinggal di asrama, pasien bukan tipe anak yang pembangkang. Walaupun
bukan juara di kelasnya, pasien tipe anak yang mau belajar, pasien mahir di
bagian bidang agama, rajin sholat. Selama pasien sakit, pasien jarang sholat dan
beribadah, bahkan hampir tidak pernah.
Selama 1 tahun terakhir, pasien menghabiskan waktu termenung di rumah,
pasien terlihat tidak bersemangat, berbeda dari biasanya. Dulunya sering membatu
pamannya mengurus kebun kopi, namun selama beberapa bulan terakhir pasien
mulai jarang melakukannya. Keluarga tidak mengetahui ada/tidaknya gangguan
tidur dan makan pada pasien, karena pasien lebih banyak menghabiskan waktu
sendirian di rumah. Bila di ajak makan pasien mau untuk makan. Selama masa
12
rawatan di RSUDZA pasien sering terbangun saat tengah malam dan sulit untuk
tidur lagi, dan banyak tertidur saat siang hari. Pasien sering mengatakan bahwa
semua orang yang dia sayangi selalu meninggalkan dia dan pasien merasa
sendirian.
Autoanamnesis:
Pasien mengaku dibawa ke rumah sakit karena luka tusuk di perut. Pasien
mengaku menusukkan pisau yang didapatkannya di dapur warung makan saat ia
sedang makan siang. Pasien mengatakan bahwa dia ingin mati saja daripada di
bawa ke rumah sakit jiwa. Keinginan pasien untuk bunuh diri sudah dipikirkan
sejak sebelum pasien dibawa ke Banda Aceh, kira-kira sejak keluarga pasien
sering mengatakan bahwa dia sakit jiwa. Awalnya pasien tidak mengakui bahwa
pernah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya, pasien mengatakan
penusukan yang dilakukannya pada 1 hari yang sebeulum dibawa ke Banda Aceh
yang lalu didasarkan dengan alasan yang sama yaitu tidak ingin dibawa ke rumah
sakit jiwa. Pasien mengatakan tidak ada bisikan atau suara-suara yang
memerintahnya untuk bunuh diri.
Pasien mengatakan bahwa sejak 1 tahun sudah tidak sekolah, sebelumnya
pasien sempat kuliah di universitas swasta di Takengon jurusan ilmu Al-Quran.
Namun, pasien hanya sempat bersekolah selama 1 bulan kemudian pasien tidak
melanjutkan sekolahnya lagi. Pasien mengatakan bahwa ia tidak mau melanjutkan
kuliah karena merasa jurusan yang sekarang tidak sesuai dengan keinginannya,
pasien awalnya ingin kuliah di jurusan hukum islam. Awalnya pasien berencana
ingin mengulangi ujian masuk kuliah tahun depan untuk jurusan hukum islam.
Tapi kini pasien tidak berniat melanjutkan kuliah karena merasa dengan berkuliah
juga belum jelas masa depannya. Sepulang dari rumah sakit, pasien berencana
akan membantu pamannya bekerja di kebun kopi.
13
selama ini. Pasien mengatakan tidak ada yang berbeda dan perasaannya baik-baik
saja.
e. Riwayat Pengobatan
Sejak awal 2019, pasien mengkonsumsi obat-obatan dari psikiatri di
Takengon. Namun, keluarga pasien tidak meningat nama obat tersebut, dan tidak
membawa obatnya. Kini pasien diberikan obat risperidon 2 mg dua kali sehari dan
trihexylphenidyl 2mg dua kali sehari selama masa rawatan kurang lebih selama 3
minggu. Selain itu, untuk terapi penyakit fisik pasien mendapatkan Amikasin
750mg/12 jam intravena sebagai antibiotik, Tramadol 1 ampul/8jam intravena
dan paracetamol 1 gram/12 jam sebagai anti nyeri, dan terapi simtomatis lainnya
seperti omeprazole 40mg/12 jam, ranitidine 50mg/12 jam, dan metoclorpamid 1
amp/12jam secara intravena.
14
keluarga pasien tidak melihat tanda-tanda kelainan pada pasien. Pasien tidak
terlihat murung atau menangis sendirian. Keluarga pasien merasa bahwa pasien
dapat menerima keadaanya. Gejala yang dikeluhkan keluarga pada pasien mulai
telihat pada saat setelah SMA, kira-kira pada usia 17 tahun.
Menurut keluarga pasien memang tipe anak yang pendiam. Pasien hanya
memiliki beberapa teman dekat, namun jarang main ke rumah. Namun kini pasien
lebih jarang terlihat bersama dengan teman-temannya, karena sekarang ini pasien
lebih banyak diam. Selama SMA pasien tinggal di asrama, pasien bukan tipe anak
yang pembangkang. Walaupun bukan juara di kelasnya, pasien tipe anak yang
mau belajar, pasien mahir di bagian bidang agama, rajin sholat. Selama pasien
sakit, pasien jarang sholat dan beribadah, bahkan hampir tidak pernah.
g. Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien ialah sekolah menengah atas. Setelah SMA
pasien pernah melanjutkan kuliah di universitas swasta di Takengon jurusan ilmu
Al-Quran. Namun pasien berhenti karena tidak menyukai jurusannya pasien ingin
bersekolah di jurusan hukum syariah. Awalnya pasien ingin mengulang kuliah
tahun depan di jurusan yang diminati, tetapi kini pasien tidak mau melanjutkan
sekolahnya karena merasa dengan bersekolah belum dapat menjamin masa depan.
Pasien ingin bekerja di kebun kopi saja.
a. Status Internus
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
15
Frekuensi Nadi : 86 x/ menit
Frekuensi Napas : 20 x/ menit
Temperatur : 36,80C
NRS : 4-5
b. Antropometri
BB : 48 kg
TB : 167 cm
BMI : 17,2 (underweight)
c. Status Generalisata
1. Kepala : Normocephali (+)
2. Leher : Distensi vena jugular (-), pembesaran KGB (-)
3. Paru : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
4. Jantung : BJ I >BJII , bising (-), iktus cordis di ICS V Linea
midclavicular sinistra.
5. Abdomen : nyeri tekan (+), bekas jahitan ukuran 15 cm di kuadran
kanan atas yang ditutupi perban, Asites (-).
6. Ekstremitas
Superior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
Inferior : Sianosis (-/-), ikterik (-/-) tremor (-/-)
7. Genetalia : Tidak diperiksa
d. Status Neurologi
1. GCS : E4V5M6
2. Tanda rangsangan meningeal : Tidak diperiksa
3. Peningatan TIK : Tidak ditemukan
4. Mata : Pupil isokor (+/+), Ø3mm/3mm, RCL
(+/+),
RCTL (+/+)
5. Motorik : Dalam batas normal
6. Sensibilitas : Dalam batas normal
7. Fungsi luhur : Dalam batas normal
8. Gangguan khusus : Tidak ditemukan
16
17
3.4 Status Mental
a. Deskripsi Umum
1. Penampilan : Pasien seorang laki-laki dengan wajah
sesuai usianya, berpenampilan tidak
rapi, rambut acak-acakan.
2. Kebersihan : Tidak bersih
3. Kesadaran : Jernih
4. Perilaku & Psikomotor : Hipoaktif
5. Sikap terhadap Pemeriksa : Tidak kooperatif
c. Pembicaraan
Tidak Spontan
d. Pikiran
1. Bentuk pikir : Realistik
2. Arus pikir
Koheren : (+)
Inkoheren : (-)
Neologisme : (-)
Sirkumstansial : (-)
Tangensial : (-)
Asosiasi longgar : (-)
Flight of idea : (-)
Blocking : (-)
3. Isi Pikir
Waham
1. Waham Bizzare : (-)
2. Waham Somatik : (-)
18
3. Waham Erotomania : (-)
4. Waham Paranoid
Waham Persekutorik : (-)
Waham Kebesaran : (-)
Waham Referensi : (-)
Waham Dikendalikan : (-)
Thought
1. Thought of Echo : (-)
2. Thought Withdrawal : (-)
3. Thought Insertion : (-)
4. Thought Broadcasting : (-)
Obsesi : (-)
Preokupasi : (-)
e. Persepsi
1. Halusinasi
Auditorik : (-)
Visual : (-)
Olfaktorius : (-)
Taktil : (-)
2. Ilusi : (-)
f. Intelektual
1. Intelektual : Baik, sesuai tingkat pendidikan.
2. Daya konsentrasi : Terganggu
3. Orientasi
Waktu : Baik
Tempat : Baik
Orang : Baik
4 Daya ingat
Seketika : Baik
Jangka Pendek : Baik
19
Jangka Panjang : Baik
g. Daya nilai
Normo sosial : Baik
Uji Daya Nilai : Baik
h. Pengendalian Impuls : Terganggu
i. Judgement : Baik
j. Ide kreatif : Tidak kreatif
k. Tilikan : T1
l. Taraf Kepercayaan : Tidak dapat dipercaya
m. Pikiran Abstrak : Tidak terganggu
Eosinofil 1 0–6%
Basofil 1 0–2%
Netrofil Segmen 80 50 – 70 %
Limfosit 15 20 – 40 %
Monosit 3 2–8%
3.6 Resume
Pasien MFA, 19 tahun, dibawa ke IGD RSJ karena melakukan percobaan
bunuh diri. Pasien sudah dua kali menusukkan pisau ke perut pasien. Selama 1
tahun berlakangan pasien lebih sering menyendiri, temenung, berbicara hanya
20
seperlunya. Di awal tahun 2019, pasien didiagnosa mengalami depresi oleh
psikiatri di Takengon dan rutin minum obat. Pasien tetap makan dan minum obat
bila disuruh, tidak ada gangguan tidur malam. Pasien sudah berhenti sekolah sejak
1 tahun terakhir. Awalnya kegiatan pasien berupa berkebun namun kini sudah
jarang dilakukan. Kini pasien tidak pernah beribadah lagi.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah
120/80 mmHg, frekuensi nadi 86x /menit, frekuensi napas 20x /menit, temperatur
36,80C. Terdapat bekas luka jahitan ± 15 cm di perut pada kuadran kiri atas,
terdapat nyeri tekan. Hasil pemeriksaan umum didapatkan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status mental, tampak laki laki berpenampilan tidak rapi,
perawakan sesuai usia, aktivitas psikomotor: hipoaktif, sikap terhadap pemeriksa:
tidak kooperatif, mood: hipotimik dan disforik, afek: terbatas, keserasian afek:
appropriate, pembicaraan: tidak spontan, bentuk pikir realistik, arus pikir :
koheren, isi pikir : waham (-), halusinasi auditorik (-). Pasien mengalami tilikan
T1 karena merasa dirinya tidak sakit dengan taraf kepercayaan tidak dapat
dipercaya. Daya ingat, intelektual, memori dan abstrak baik, namun pengendalian
impuls dan konsentrasi terganggu.
21
Problem aktif pasien adalah percobaan bunuh diri 2 kali. Pasien diduga
mengalami depresi berat tanpa ada gejala psikotik dan disertai adanya gangguan
impuls.
3.10 Tatalaksana
a. Psikoterapi
Risperidon 2mg 2x1
Trihexylphenidyl 2 mg 2x1
c. Terapi Religi
Menjelaskan kepada pasien untuk mendekatkan diri kepada Tuhan YME,
senantiasa berbuat baik dan beribadah, serta berzikir untuk menenangkan hati.
Menyarankan pasien untuk bermusyahadah, yakni melakukan yang terbaik di
setiap aktivitasnya, melaksanakan amalan-amalan wajib dan sunnah.
22
3.11 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam
23
7 S/ pasien tenang, masih sering diam dan - Risperidon 2 x 5mg
Agustus termenung, dan mulai mudah diajak tab
2019 komunikasi. Pasien mengaku sudah - Trihexylphenidyl 2 x
dapat tidur dengan baik. 2 mg tab
O/Penampilan : laki-laki sesuai dengan
usia, berpenampilan tidak rapi
Kesadaran : jernih
Sikap : tidak kooperatif
Psikomotor : hipoaktif
Mood : hipotimik
Afek : terbatas
Keserasian : Appropiate
Pembicaraan : tidak spontan
Proses pikir : koheren
Isi pikir : waham (-), halusinasi (-)
Tilikan : T1
A/
1. Depresi berat tanpa gejala psikotik
2. Peritonitis ec perforasi gaster ec stab
wound
24
BAB IV
PEMBAHASAN
25
Tidak didapatkan gangguan isi pikir dan proses pikir, pasien mengaku tidak ada
bisikan atau perintah yang menyuruhnya untuk bunuh diri. Penilaian daya ingat,
orientasi, dan abstrak pasien baik. Namun terdapat gangguan impuls dan
konsentrasi. Pasien akan terus melakukan tindakan menyakiti dirinya sendiri bila
orang-orang disekitarnya menganggapnya gila.
Pemeriksaan fisik pasien di dapatkan bekas luka jahitan ± 15 cm di perut
pada kuadran kiri atas, terdapat nyeri tekan. Sedangkan pada pemeriksaan bagian
tubuh lainnya dalam keadaan normal. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit,
seperti kejang, nyeri kepala, atau riwayat kecelakaan. Pemeriksaan penunjang
yang dilakukan berupa laboratorium darah lengkap, dengan hasil dalam batas
normal. Pasien sebelumnya pernah dilakukan tes Napza, namun hasilnya negatif.
Pasien mengaku tidak memakai zat psikoaktif. Maka diagnosa penyakit mental
organik sudah disingkirkan.
Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan pada pasien didapatkan bahwa
pasien mengalami depresi. Berdasarkan PPDGJ-III untuk dapat menegakkakan
diagnosis episode depresi (F32), harus didapatkan gejala utama berupa afek
depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi dan
menurunnya aktivitas. Disertai juga gejala tambahan seperti konsentrasi dan
perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang
rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan
persimistik, gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri,
gangguan tidur, dan nafsu makan berkurang. Gejala tersebut sekurang-kurangnya
telah berlangsung selama 2 minggu atau dapat kurang 2 minggu bila gejala yang
ada luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.13 Pada pasien didapatkan 3 gejala
utama dan 5 gejala tambahan yang telah berlagsung ± 1 tahun belakangan, dan
memberat dalam 6 bulan terakhir, sejak awal 2019. Maka berdasarkan PPDGJ III
dapat ditegakkan diagnosis aksis I sebagai episode depresif berat tanpa gejala
psikotik (F32.1). Diagnosis ini dapat ditegakkan berdasarkan terdapatnya 3 gelaja
utama dan disertai sekurang-kurangnya 4/5 gejala tambahan, yang disertai oleh
disabilitas dalam fungsi sosial.
Diagnosis aksis II pada pasien ini ah tidak ada diagnosis. Karena dari
alloanamnesis pasien, didapatkan bahwa pasien memiliki karakter yang pendiam
26
dan tidak terlalu aktif bergaul, bukan seorang yang pembangkang, tidak ada
riwayat melakukan kejahatan sosial. Pasien lahir dengan usia prematur dan tidak
suka makan. Semasa balita dan kanak-kanak pasien, pertumbuhan dan
perkembangannya terlihat normal seperti teman seusianya. Hal ini menyingkirkan
diagnosis retardasi mental dan gangguan kepribadian lainnya. Diagnosis klinis
pada pasien (aksis III) didapatkan diagnosis klinis oleh dokter bedah digestif,
yaitu peritonitis ec perforasi gaster ec stab wound.
Aksis IV stressor berupa masalah primary support group (keluarga). Kedua
orang tua pasien sudah meninggal, Ibu pasien meninggal di usia pasien 10 tahun
dan ayah pasien meninggal di usia pasien ke-15 tahun. Ayah pasien pernah
menikah dua kali setelah menikah dengan ibu pasien. Pasien hanya memiliki 1
adik dari istri kedua ayah pasien. Setelah ayah pasien meninggal, pasien tinggal
bersama adik ayahnya. Keluarga pasien berasal dari keluarga menengah ke
bawah, dan selama ini kebutuhan sehari-hari pasien ditanggung oleh adik
ayahnya. Pasien sering mengatakan bahwa dia hanya hidup sendirian, orang-orang
yang dia sayangi selalu meninggalkan dirinya.
Penilaian terhadap kemampuan pasien untuk berfungsi dalam
kehidupannya menggunakan skala Global Assessment of Functioning (GAF).
Aksis V pasien saat ini adalah GAF saat ini 60-51, yaitu terdapatnya gejala sedang
(moderate) atau disabilitas sedang. Hal ini ditandai dengan pasien mampu
melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri. Namun terdapatnya gangguan
fungsi sosial dan komunikasi pada pasien.
Selama masa rawatan, pasien mendapatkan terapi penanganan
kegawatdaruratan medis akibat luka tusuk yang dideritanya. Pasien mendapatkan
resusitasi cairan, terapi farmakologis, dan tindakan operatif (laparotomy
eksploratif, debridement cavum abdomen, dan repair perforasi gaster). Terapi
farmakologis yang diberikan pada pasien adalah Amikasin 750mg/12 jam
intravena sebagai antibiotik, Tramadol 1 ampul/8jam intravena dan paracetamol 1
gram/12 jam sebagai anti nyeri, dan terapi simtomatis lainnya seperti omeprazole
40mg/12 jam, ranitidine 50mg/12 jam, dan metoclorpamid 1 amp/12jam secara
intravena. Terapi psikofarmaka yang diberikan adalah Risperidon 2 mg tablet 2x1
dan Trihexyphenidyl 2 mg tablet 2x1. Pemberian terapi ini ditujukan karena
27
selama awal masa rawatan pasien melawan dan gelisah. Pemberian terapi
risperidon diharapkan dapat mengatasi perilaku agitasi pada pasien, akibat adanya
mekanisme blokade dopamine pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak,
khususnya di sistem limbic dan sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor
antagonist), sehingga efektif untuk gejala positif. Selain itu penggunaan
risperidon juga efektif terhadap gejala negatif, karena disamping berafinitas
terhadap “Dopamine D2 Receptors” juga terhadap “Serotonin 5HT2 Receptors”
(Serotonin-dopamine antagonist), sehingga efektif juga untuk gejala negatif.14
Risperidon sebagai golongan obat antipsikotik atipikal memiliki efek sindrom
ekstrapiramidal yang rendah, sehingga tidak memberatkan gejala negatif yang
sudah ada pasien ini dan dapat meningkatkan kepatuhan, tidak menganggu
kognisi, rendahnya risiko disforia, dan efek samping motoriknya ringan. Namun,
pemberian obat trihexyphenidyl sebagai pencegah adanya gejala sindrom
ekstrapiramidal tetap diberikan atas pertimbangan pemberian golongan obat
antipsikotik atipikal masih berisiko timbul gejala ekstrapiramidal pada pasien.
Trihexyphenidyl merupakan golongan obat antikolinergik/antimuskarinik, yaitu
dengan mekanisme kerjanya dapat mengurangi efek kolinergik sentral yang
berlebihan akibat adanya defisiensi dopamin. Obat ini kurang efektif
dibandingkan obat dopaminergik dan dapat menyebabkan kerusakan kognitif.
Obat ini juga memiliki efek menekan dan menghambat reseptor muskarinik
sehingga menghambat sistem saraf parasimpatik dan juga memblok reseptor
muskarinik pada sambungan saraf otot sehingga terjadi relaksasi. Pemberian
secara oral dapat memberikan efek yang cukup baik. Pemberhentian obat ini harus
secara tappering off, dosis awal dapat diberikan 1-4 mg/2-3x/hari, rentang dosis
10-20mg/hari, tergantung respon pasien.11
Terapi lanjutan yang dapat diberikan pada pasien ini adalah terapi anti
depresan. Pemberian anti depresan diberikan melalui tahapan-tahapan, yaitu dosis
initial, titrasi, stabilisasi, maintenance dan dosis tapering. Dimana dosis dan lama
pemberiannya berbeda-beda. Pada kasus ini, bila emosi pasien relatif stabil dan
masih dapat dikendalikan, maka pasien dapat dilakukan rawat jalan dan diberi anti
depresan flouxetine tablet 1 x 20 mg. Flouxetine merupakan obat antidepresan
selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), sehingga dapat meningkatkan
28
serotonin dalam otak. Hipotesis sindrom depresi disebabkan oleh defesiensi relatif
salah satu atau beberapa aminergic neurotransmitter seperti serotonin,
noradrenalin, dan dopamine.11
29
BAB V
KESIMPULAN
Bunuh diri adalah suatu ide, isyarat, dan usaha untuk menyakiti diri sendiri
dan mengakhiri hidup. Kasus bunuh diri banyak terjadi pada kelompok usia
remaja dan sebagai penyebab kematian kedua tersering di dunia. Bunuh diri
umumnya di dasarkan oleh adanya gangguan mental, seperti ganggua afek
depresi, penyalahgunaan zat/alkohol, skizofrenia, gangguan kepribadian,
gangguan impuls, dan lainnya.
Gejala yang didapatkan pada pelaku bunuh diri sangat bervariasi, tergantung
oleh penyakit mental yang mendasari. Pada remaja kasus bunuh diri paling sering
ditemukan akibat penyakit depresi berat. Pasien cenderung menunjukkan gejala
depresi seperti afek depresif, kehilangan minat, mudah lelah, sulit tidur, tidak
nafsu berharga, masa depan yang suram, dan ide-ide bunuh diri,
Perilaku destruktif terhadap diri sendiri pada remaja, jika tidak dicegah
dapat mengarah pada kematian. Dengan mengenali dan memahami gejala yang
ada, serta penatalaksanaan yang adekuat mampu mengendalikan risiko kematian
akibat bunuh diri. Penatalaksanaan bunuh diri pada anak dan remaja diperlukan
pendekatan secara individual terhadap anak dan seluruh keluarga. Tujuan dari
penatalaksanaan yang diberikan adalah memperbaiki mekanisme koping dan
komunikasi antara orang tua dan anak. Penatalaksaan dapat dimulai dari penyakit
mental yang didasari, yaitu dengan terapi psikoterapi dan terapi farmakologi.
30
DAFTAR PUSTAKA
7. Shain BN, Klein JD, Barratt MS, Blythe MJ, Braverman PK, Diaz A, et al.
Suicide and suicide attempts in adolescents. Pediatrics. 2007;120(3):669–
76.
10. Stuart G., Sundeen A. Buku Saku Keperawatan Jiwa. 6th ed. St. Lois:
Mosby Year Book; 2007.
11. Marwick K, Birrell S. Psychiatry. 4th ed. United Kingdom: Elsevier; 2013.
45–48 hal.
13. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa PPDGJ III dan DSM V.
Jakarta: PT Nuh Jaya; 2016.
31