Anda di halaman 1dari 23

RESIKO BUNUH DIRI

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa

OLEH

RIFQA AULIA MASRUROH

KEMENTRIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN PRODI PROFESI NERS

KEPERAWATAN MALANG

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat dan karunia-Nya, makalah yang berjudul: “harga diri rendah”
ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.

Penulisan makalah ini merupakan salah satu syarat yang harus


diselesaikan dalam mengikuti mata kuliah Keperawatan jiwa. Dalam penyelesaian
makalah ini banyak terdapat keterbatasan, kekurangan dan kelemahan. Namun
berkat bantuan dan bimbingan serta kerja sama dari anggota kelompok maka
makalah ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari


sempurna, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis
harapkan dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya penulis ucapkan terima kasih yang kepada semua pihak yang
telah membantu penyelesaian makalah ini.
DAFTAR ISI

Kata pengantar

Daftar isi

Bab 1 Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan

Bab 2 Tinjauan Teori

2.1. Defenisi .................................................................................................................


2.2. Etiologi ..................................................................................................................
2.3. Manifestasi Klinis .................................................................................................
2.4. Proses Terjadinya gangguan harga diri rendah .....................................................
2.5. Terapi Somatik

Bab 3 Analisa Proses Interaksi

Bab 4 Jurnal

Bab 5 Penutup

5.1 Kesimpulan ...........................................................................................................


5.2 saran

Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Bunuh diri adalah masalah global. Dalam beberapa tahun terakhir, bunuh diri
menjadi fenomena yang sering muncul dalam pemberitaan media cetak maupun
media elektronik. Jumlah kematian yang diakibatkan oleh bunuh diri semakin
meningkat, dalam 45 tahun terakhir angka kejadian bunuh diri di dunia meningkat
hingga 60% (Befrienders Worldwide, 2009). Pada tahun 2007 di Amerika Serikat,
bunuh diri terletak pada peringkat ke-7 untuk semua umur (CDC, 2010). Lebih
dari 5.000 remaja melakukan bunuh diri setiap tahunnya di Amerika Serikat, yaitu
satu remaja setiap 90 menit (Kaplan, 2010). Data tentang insidensi di Indonesia
sendiri belum jelas sehingga masih banyak dilakukan survei mengenai angka
percobaan bunuh diri di Indonesia. Ide, isyarat dan usaha bunuh diri sering
disertai gangguan depresi. Ide bunuh diri terbesar terjadi jika gangguan depresi
sudah parah. De Catanzaro menemukan bahwa antara 67% hingga 84%
pikiran bunuh diri bisa dijelaskan dengan masalah hubungan sosial dan
hubungan dengan lawan jenis, terutama yang berkaitan dengan loneliness dan
perasaan membebani keluarga. Adapun dua motivasi yang paling sering muncul
dalam pikiran bunuh diri adalah untuk melarikan diri dari masalah dalam
kehidupan dan untuk membalas dendam pada orang lain (Maris, et al 2000).
Tapi seringkali didapatkan banyak usaha bunuh diri dengan sebab yang berbeda,
sehingga banyak sekali hal yang bisa membuat seseorang ingin melakukan bunuh
diri.Faktor budaya juga berpengaruh terhadap usaha bunuh diri. Seperti hara-kiri
di Jepang, di Denmark bunuh diri merupakan jalan untuk bertemu kembali dengan
orang yang mereka cintai, di Swedia banyak orang melakukan bunuh diri akibat
gagal dalam mencapai ambisinya, dan di India seorang istri yang ditinggal mati
oleh suami akan menenggelamkan dirinya di sungai temoat abu suaminya dibuang
(Maris, et al, 2000). Di Indonesia dengan beragam agama dan budaya, bunuh diri
adalah sesuatu hal yang berkonotasi negatif, namun masih banyak orang yang
melakukan bunuh diri seperti contohnya dengan bom bunuh diri.Depresi
seringkali disebut sebagai faktor yang mempunyai korelasi signifikan dengan
tingkah laku bunuh diri. Namun tidak semua orang yang melakukan usaha bunuh
diri mengalami depresi dan sebaliknya orang depresi tidak selalu melakukan
usaha bunuh diri. Depresi dikombinasikan dengan beberapa faktor risiko yang
lainnya akan meningkatkan risiko terjadinya usaha bunuh diri. Freud (1963)
mengkaitkan dengan rasa duka setelah kehilangan seseorang yang dicintai karna
kematian, perpisahan atau berkurangnya kasih sayang. Secara tidak sadar orang
tersebut menyimpan perasaan negatif terhadap orang yang dicintai. Pasien depresi
menjadi objek kemarahan dan kebenciannya sendiri. Selain itu, ia tidak suka
diabaikan dan merasa bersalah atas dosa-dosanya yang nyata atau yang
dibayangkan terhadap orang yang meninggalkannya. Selanjutnya, kemarahan
terhadap orang yang meninggalkannya terus-menerus dipendam, berkembang
menjadi proses menyalahkan diri sendiri, menyiksa diri sendiri, dan depresi yang
berkelanjutan.Oleh karena banyaknya percobaan bunuh diri dengan penyebab dan
faktorfaktor yang sangat bervariatif maka peneliti ingin mengetahui bagaimana
gambaran dinamika percobaan bunuh diri pada pasien depresi berat.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan identifikasi masalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana gambaran dinamika terjadinya usaha bunuh diri pada pasien
depresi berat.
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui gambaran dinamika usaha bunuh diri pada pasien depresi berat.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis
Untuk mendapatkan data yang komprehensif mengenai pasien yang mempunyai
risiko bunuh diri.
1.4.2 Manfaat Praktis
Untuk meningkatkan pengetahuan terhadap percobaan bunuh diri sehingga para
tenaga medis dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap percobaan bunuh diri
dan mencegah percobaan bunuh diri.

BAB II
TINJAUAN TEORI
Bunuh diri adalah tindakan untuk membunuh diri sendiri dan memilih
untuk tidak ada, sedangkan percobaan bunuh diri adalah percobaan yang
mengancam nyawa secara disengaja, ditimbulkan sendiri, yang belum sampai
mengakibatkan kematian (Varcarolis, 2013). Tindakan ini termasuk dalam
kedaruratan psikiatri(Kaplan, 2010). Faktor risiko dari bunuh diri antara lain
(Kaplan, 2010).
1. Jenis kelamin: laki laki melakukan bunuh diri empat kali lebih sering dari pada
perempuan, tetap percobaan bunuh diri empat kali lebih sering pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki.
2. Usia: angka bunuh diri meningkat seiring dengan usia. Laki-laki mempunyai
insidensi puncak bunuh diri setelah usia 45 tahun, sedangkan perempuan pada
usia setelah 55 tahun.
3. Ras: dua dari tiga kejadian bunuh diri dilakukan oleh laki-laki kulit putih.
4. Agama: angka bunuh diri pada Katolik Roma lebih rendah dibandingkan
dengan populasi Protestan dan Yahudi.
5. Status perkawinan: perkawinan yang dilengkapi anak mengurangi risiko bunuh
diri secara signifikan.
6. Pekerjaan: semakin tinggi status sosial seseorang semakin tinggi risiko bunuh
diri pada orang tersebut
7. Kesehatan fisik.
8. Kesehatan jiwa.
9. Pasien psikiatrik:
a. Gangguan depresi seperti gangguan mood banyak melakukan bunuh diri jika
sedang depresi.
b. Skizofrenia: 10% pasien skizofrenia meninggal karena bunuh diri.
c. Ketergantungan alkohol: 15% orang dengan ketergantungan alkohol meninggal
karena bunuh diri.
d. Ketergantungan zat, seperti heroin atau zat-zat lain yang dimasukkan
secaraintravena
e. Gangguan kepribadian: gangguan kepribadian menyendiri memiliki
predisposisi terhadap gangguan jiwa utama yang berakhir dengan bunuh diri.
f. Gangguan ansietas: percobaan bunuh diri yang tidak berhasil sekitar 20% pasien
dengan gangguan panik dan fobia sosial.
Sedangkan etiologi dari bunuh diri terdiri dari beberapa faktor yaitu (Kaplan,
2010) :
1. Faktor Sosiologis
2. Faktor Psikologis
Ahli bunuh diri kontemporer tidak menganjurkan bahwa struktur kepribadian atau
psikodinamik tertentu terkait dengan bunuh diri. Mereka yakin bahwa banyak
yang dapat dipelajari mengenai psikodinamik pasien bunuh diri dari khayalan
mereka mengenai apa yang akan terjadi dan apa akibatnya jika mereka bunuh diri.
Khayalan seperti ini sering mencakup keinginan untuk balas dendam, kekuatan,
kendali, penebusan kesalahan, pengorbanan, penyelamatan, penyatuan kembali
dengan kematian atau suatu kehidupan baru. Percobaan bunuh diri dapat
menghilangkan depresi yang lama
3. Faktor Biologis
4. Faktor Genetik
5. Perilaku parasuicidal.

Respon adaptif merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan kebudayaan yang secara umum berlaku, sedangkan respon maladaptif
merupakanrespon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang
kurang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya setempat. Prilaku
destruktif diri yaitu setiap aktivitas yang jika tidak di cegah dapat mengarah
kepada kematian. Rentang respon protektif diri mempunyai peningkatan diri
sebagai respon paling adaptif, sementara perilaku destruktif diri, pencederaan diri,
dan bunuh diri merupakan respon maladaptif (Wiscarz dan Sundeen, 1998).
Rentang sehat sakit juga dapat dipakai untuk menggambarkan respons adaptif
sampai respon maladaptif pada bunuh diri.
BAB III
ANALISIS PROSES INTERAKSI

Initial klien : Nn.D


Tujuan interaksi :
a) SP 1 (Percakapan untuk melindungi pasien dari isyarat bunuh diri)
b) SP 2 (Percakapan untuk meningkatkan harga diri pasien isyarat bunuh diri)

Usia : 17 Tahun Waktu interaksi : 09.00WIB


Interaksi ke : 1 (12 Desenber 2014) Ruang : Anggrek
No. RM : 1003754
Lingkungan : Di Halaman Rs dengan keadaan Nyaman, tenang, dan
santai.
Deskripsi Klien : Klien mengenakan baju dan Celana bersih, rambut rapi,
tidak memakai sandal dan klien duduk di halaman Rs.

KOMUNIKAS KOMUNIK ANALISI ANALISI RASIONAL


I VERBAL ASI NON S S
VERBAL BERPUS BERPUSA
AT PADA T PADA
KLIEN PERAWA
T
P: Assalamu’al P: P : Ingin K : Ucapan salam
aikum Mbak, Memandang membuka memberika perawat kepada
perkenalkan D dan percakapa n klien menunjukkan
saya perawat tersenyum. n dengan tanggapan penghargaan
yuni, K: klien positif atas perawat kepada
mahasiswi pandangan kehadiran klien. Penghargaan
stikes dr tidak fokus perawat. kepada orang lain
Soebandi, dan merupakan modal
dengan mbak tersenyum. awal seseorang
siapa ? dapat membuka diri
K: dengan orang lain.
Waalaikumsala
m.
Nn.D
P: Bagaimana P: P : merasa K: Klien Perawat mencoba
perasaan mbak memandang senang mendengar menggali kondisi
hari ini? Saya D dan karena D kan klien dengan
akan selalu tersenyum. memberika pertanyaan pertanyaan terbuka,
menemani K: n respon perawat memberi
mbak disini pandangan positif dengan kesempatan klien
selama 20 mata terhadap serius mengeksplorasikan
menit. waspada percakapa apa yang dirasakan
Bagaimana D? mengarah ke n klien
K: Saya baik belakang.
mbak, iya
P: Bagaimana P:Memandan P: Ingin K: Klien Untuk
kalau kita g dan mengetahu tampak mendapatkan
bercakap-cakap tersenyum i perasaan menerima persetujuan dari
tentang apa K: yang dan pasien.
yang mbak Pandangan dirasakan terbuka
rasakan selama tidak focus pasien dengan
ini? saya siap terhadap diskusi
mendengarkan perawat yang yang akan
sesuatu yang bertanya dilakukan
ingin mbak dengan
sampaikan.Bag perawat
aimana kalau
kita lakukan
disini saja?
K: Iya mbak.

P: Bagaimana P: P: Ingin K: Klien Mengeksplorasi


perasaan Dsetel memandang mengetahu tampak permasalahan
ah bencana itu D i keadaan ingin klien bertujuan
terjadi? Apakah K: menatap D saat ini. menceritak untuk
dengan perawat dan an mengidentifikasi
bencana terlihat Masalahny masalah utama
tersebut D mera sedang a dengan klien.
sa paling berpikir. perawat
menderita di
dunia ini?
Apakah D kehil
angan
kepercayaan
diri?
K: saya merasa
segala sesuatu
akan lebih baik
jika tanpa saya.
Saya adalah
orang yang
selalu
membawa
musibah sudah
sepantasnya
saya pergi jauh
dari sini.
P: Apakah D m P: P: Perawat K: Klien Mengeksplorasi
erasa tidak memandang mencoba mencoba permasalahan
berharga dan D menggali memahami klien dan bertujuan
lebih rendah K : lebih pertanyaan untuk
dari pada orang Mengingat- dalam perawat mengidentifikasi
lain? ingat tentang masalah utama
Apakah D seri kejadian masalah klien.
ng mengalami yang telah klien
kesulitan untuk terjadi,
berkonsentrasi? penuh
K: Ia benar kekwatiran,
mbak,saya memandang
semenjak perawat, dan
kejadian sesekali
itu,saya tidak memandang
bisa ke
berkosentrasi arah kanan
dan selalu ingat dengan
dan ingat tatapan mata
kejadian tajam.
itu,saya takut
musibah itu
terulang lagi
karena saya.
P: Apakah D be P: P: Perawat K: Klien Mengetahui keada
rniat untuk memandang berusaha tampak an pasien sekarang
menyakiti diri D mendengar tegas menurut sudut
sendiri seperti K: ungkapan mengambil pandang pasien
ingin bunuh memandang klien kesimpulan
diri atau perawat dan tentang
berharap D mat tampak kejadianny
i? berpikir. a
Apakah D men
coba untuk
bunuh diri?
Apa sebabnya?
K: Ia mbak dari
pada saya
merugikan
banyak orang,
arah fikiran
saya lebih baik
saya mati saja
mbak. Lalu
saya mencoba
melakukannya
mbak karena
saya tidak kuat
menanggung
musibah itu
sendiri.waktu
saya mau
melakukan
bunuh diri itu
ada ibu saya
yang
mengetahui.
Sampai
akhirnya saya
dibawa ksini.
P: Setelah P : P: Perawat K: Klien Penjelasan dari
beberapa hari Mendengark berusaha tampak klien menunjukkan
disini, Apakah an dengan menyimak lebih proses kognitif
yang penuh kembali bersemang yang masih baik
akanD lakukan perhatian. cerita klien at
kalau keinginanK : Suara klien menceritak
bunuh diri terdengar an
muncul? pelan dan rencananya
K: Saya memandang kepada
mencoba untuk perawat perawat
mencari dengan
perawat yang serius.
ada disini untuk
membantu saya
agar tidak
melakukannya
lagi.
P: Ya, bagus P: P: Perawat K: Klien Reinforcement (+)
sekali. Dharus Memandang berusaha terlihat meningkatkan
memaggil D dengan memberi bersemang harga diri klien,
perawat yang pandangan reinforcem at teknik eksplorasi
bertugas di menghargai ent (+) dan mengungka dengan
tempat ini dan menggali pkan apa memberikan
untuk tersenyum. permasala yang pertanyaan terbuka
membantu D. K: han klien menjadi bertujuan untuk
Saya Menunduk rencananya menjelaskan
percaya D dapa pikiran dan
t melakukannya perasaan klien.
K: Ia mbak.
P: Bagaimana P : Suara P: Perawat K: Klien Evaluasi subjektif
perasaan Dsetel jelas, tetap mengevalu terlihat membantu perawat
ah kita bincang tersenyum, asi antusias mengevaluasi hasil
– bincang sikap terbuka perasaan menyimak proses penyelesaian
selama ini ? K klien pertanyaan masalah yang
K: Senang : Memandan perawat diajarkan
mbak. g perawat,
wajah
tampak lebih
rileks
P: D, untuk P : P: Perawat K: Klien menyepakati
pertemuan Mendengark membuat terlihat kontrak merupakan
selanjutnya kita an kontrak setuju bentuk
membicarakan penjelasan pertemuan dengan penghargaan
tentang cara dari klien dan kontrak kepada klien, hal
mensyukuri dengan menentuka yang ini dapat
hidup. serius n topik ditawarkan meningkatkan
Bagaimana D? K : pembicara perawat harga diri klien dan
Jam Menjawab an memotivasi klien
berapa D berse dengan suara mempertahankan
dia bercakap- yang jelas perilaku baru
cakap lagi? dan
mau berapa kemudian
lama? terdiam.
K: Ia mbak,
Terserah mbak
aja.
P: D, mau P : P: Perawat K: Klien Kemampuan klien
dimana Memperhatik merasa mencoba menentukan tempat
tempatnya? an klien, senang memahami dan waktu interaksi
K: di sini saja K : atas perawat menunjukkan
mbak. Mendengark kemampua kemampuan klien
an kata-kata n klien dalam penilaian
perawat menyepkat dan pengambilan
dengan i kontrak keputusan
serius dan dan sederhana
menjawab menetukan
dengan suara pilihan
jelas waktu dan
tempat

P: Baiklah D, P: P: Perawat K: Klien Terminasi adalah


kita akan memandang puas tampak saat untuk
ketemu lagi D dan dengan senang mengubah perasaan
jam 09.00, di berbicara interaksi karena dan memori serta
halaman ini, dengan yang perawat untuk mengevaluasi
kita akan sopan. dilakukan membantu kemajuan klien dan
terapkan cara K:mengangg dengan nya dalam tujuan yang telah
hidup ukkan kepala klien mengatasi dicapai
bersyukur masalahny
dengan baik. a
Sampai
bertemu lagi...
K: Ia mbak,
terimakasih.
BAB IV
JURNAL

Abstrak
Bunuh diri merupakan salah satu bentuk kegawatdaruratan psikiatrI, dalam enam
bulan terakhir (Nopember 2013 s.d. April 2014) didapatkan 2 pasien yang
mengalami bunuh diri dari total sebanyak 246 pasien yang mengalami gangguan
jiwa di RSJD Atma Husada. Peran perawat sangat penting dalam membantu
pasien perilaku ide bunuh diri terutama menjaga keamanan klien. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan peran perawat sebagai pelaksana dalam
mencegah ide bunuh diri pada penderita gangguan jiwa di RSJD Atma Husada
Mahakam Samarinda. Rancangan penelitian ini adalah descriptive correlation
dengan pendekatan cross sectional. Sampel diambil sebanyak 152 responden
secara purposive sampling. Analisis untuk uji hipotesis dengan uji statistik chi
square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai P sebesar 0,031 kurang dari
nilai α sebesar 0,05, sedangkan OR sebesar 0,409. Hal ini menunjukkan bahwa
secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara peran perawat sebagai
pelaksana dalam mencegah ide bunuh diri pada penderita gangguan jiwa di RSJD
Atma Husada Mahakam Samarinda, peran perawat yang tidak aktif mempunyai
resiko terhadap adanya ide bunuh diri pada pasien gangguan jiwa adalah 0,409
kali lebih besar dibanding peran perawat yang aktif sebagai pelaksana dalam
rentang CI 0,192 – 0,873. Kata Kunci: peran perawat, ide bunuh diri, penderita
gangguan jiwa
Abstract
This study aimed to determine the relationship of the nurse 's role as executor in
preventing suicidal ideation in patients with mental disorders in RSJD Atma
Husada Mahakam Samarinda . The design of this study used a descriptive cross
sectional correlation. How sampling is purposive sampling with 152 respondents.
Analysis to test the hypothesis with a chi-square statistical test. The results
showed that the P value of 0.031 is less than the value of α of 0.05. This suggests
that there is or there is a statistically significant relationship / significant between
the nurse's role as executor in preventing suicidal ideation in patients with mental
disorders in RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda. Then the likelihood ratio
(odds ratio / OR) of 0.409 indicates that there is a statistically significant
relationship between the nurse 's role as executor in preventing suicidal ideation in
patients with mental disorders in RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda , the
magnitude of the possible role of the nurse is not active risk to the presence of
suicidal ideation in patients with mental disorders is 0.409 times greater than the
active role of the nurse as the executor in the range of CI 0.192 to 0.873
Keywords : nurse's role, suicidal ideation, patients with mental disorders

PENDAHULUAN
PENDAHULUAN Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan
semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (WHO, 2001). Hal ini
berarti seseorang dikatakan sehat apabila seluruh aspek dalam dirinya dalam
keadaan tidak terganggu baik tubuh, psikis, maupun sosial. Apabila fisiknya sehat,
maka mental (jiwa) dan sosialpun sehat, demikian pula sebaliknya, jika mentalnya
terganggu atau sakit, maka fisik dan sosialnyapun akan sakit. Kriteria sehat jiwa
artinya memiliki perilaku positif, tumbuh dan aktualisasi diri, memiliki integritas
diri, memiliki otonomi, memiliki persepsi sesuai realita yang ada serta mampu
beradaptasi dengan lingkunganya sehingga mampu melaksanakan peran social
dengan baik (Stuart & Laraia, 2005 ). Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi mental
sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang
utuh dari kualitas hidup seseorang, engan memperhatikan semua segi kehidupan
manusia dengan cirri menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya, mampu
menghadapi stress kehidupan dengan wajar, mampu bekerja dengan produktif dan
memenuhi kebutuhan hidupnya, dapat berperan serta dalam lingkungan hidup,
menerima dengan baik apa yang ada pada dirinya dan merasa nyaman bersama
dengan orang lain (Keliat, dkk, 2005 ). Pencegahan gangguan jiwa adalah
mencegah terjadinya gangguan jiwa. Pada dasarnya semua orang berpotensi
menderita gangguan jiwa. Yang menjadi hal penting disini adalah mencegah
terjadinya kekambuhan gangguan jiwa. Pencegahan kekambuhan adalah
mencegah terjadinya peristiwa timbulnya kembali gejala-gejala yang sebelumnya
sudah memperoleh kemajuan (Stuart dan Laraia, 2001). Pada gangguanjiwa kronis
diperkirakan mengalami kekambuhan 50% pada tahun pertama, dan 79% pada
tahun ke dua (Yosep, 2006). Kekambuhan biasa terjadi karena adanya kejadian-
kejadian buruk sebelum mereka kambuh (Harja, 2007). Masalah gangguan jiwa
hampir terjadi diseluruh Negara dunia. World Health Organization ( WHO )
memandang serius masalah ini dengan menjadikan isu yang penting dan menjadi
salah satu pokok program kerja WHO (Sosrosumihardjo, 2010). Gangguan jiwa
terdiri dari berbagai masalah dengan gejala yang berbeda, mereka umumnya
ditandai oleh beberapa kombinasi dari pikiran yang tidak normal, emosi, perilaku
dan hubungan dengan orang lain. Contoh gangguan jiwa seperti skizofrenia,
depresi, retardasi mental dan gangguan akibat penyalahgunaan narkoba sebagai
isu yang perlu mendapatkan perhatian dari dunia ( WHO, 2012 ). Salah satu
Negara tertinggi di dunia yang memiliki angka kejadian gangguan jiwa yang
relative tinggi adalah Indonesia. Di Indonesia, berdasarkan data Riskesdas (2007),
menunjukan prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan
dan defresi sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa. Berarti dengan jumlah
populasi orang dewasa Indonesia lebih kurang 150.000.000 ada 1.740.000 orang
saat ini mengalami gangguan mental emosional (Aminullah, 2009). Selain itu
kejadian bunuh diri di Indonesia saat ini dari data WHO (2001) adalah 1,6-1,8 per
100.000 penduduk.tingginya masalah terse-but menunjukan bahwa masalah
kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang besar
dibandingkan dengan masalah kesehatan lainnya yang ada di masyarakat
(Aminullah, 2009) Berdasarkan data yang diperoleh penelitian melalui survey
awal penelitian 27 Mei 2013 di RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda
berdasarkan data enam bulan terakhir November 2012- April 2013. Jumlah pasien
gangguan jiwa pada November 2012-April 2013 tercatat sebayak 246 pasien, dari
jumlah tersebut pasien yang mengalami bunuh diri berjumlah 2 orang Bunuh diri
adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri ini dapat berupa keputusan terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi Menurut Keliat (1991). Bunuh diri adalah
tindakan untuk membunuh diri sendiri (Videbeck, 2008). Bunuh diri merupakan
salah satu bentuk kegawatdaruratan psikiatri. Meskipun suicide adalah perilaku
yang membutuhkan pengkajian yang kompeherensif pada depresi,
penyalahgunaan NAP ZA, skizofresnia, gangguan kepribadian (paranoid,
borderline, antisocial), suicide tidak bisa disamakan dengan penyakit mental.
Beberapa hambatan dalam melakukan manajemen klien dengan bunuh diri adalah
pasien yang dirawat dalam waktu yang cukup singkat sehingga membuat klien
kurang mampu mengungkapkan perasaannya tentang bunuh diri. Kurang detailnya
tentang resiko bunuh diri pada saat masuk dan banyak perawat kurangmelakukan
skrening akan resiko bunuh diri. Disamping itu 2 dari 3 oarang yang melakukan
suicide diketahui oleh perawat dalam beberapa bulan sebelumnya. Hal ini
mengidentifikasi bahwa tenaga kesehatan kurang memberikan intervensi yang
adekuat. Peran perawat dalam membantu pasien perilaku ide bunuh diri dengan
memberikan asuhan keperawatan bunuh diri. Tanggung jawab perawat adalah
menjaga keamanan klien. Dengan demikian, perawat harus mengidentifikasi dan
mengkaji setiap isyarat tentang maksud bunuh diri dan harus secara langsung
menanyakan klien yang memiliki riwayat resiko bunuh diri apakah mereka
memiliki pikiran atau rencana membahayakan diri mereka sendiri. Pemberian
asuhan keperawatan merupakan proses teraupetik yang melibatkaan hubungan
kerjasama antara perawat dengan pasien, keluarga dan masyarakat untuk
mencapai tingkat kesehatan yang optimal ( Keliat, 2001 ). Peran perawat sebagai
pelaksana dalam mencegah ide bunuh diri pada gangguan jiwa adalah
memberikan perhatian dan rasa kasih sayang dan penghargaan sosial kepada
pasien, mengawasi kepatuhan pasien dalam minum obat, Alasan penderita
gangguan jiwa harus minum obat secara teratur (Untuk memacu atau
mengahambat fungsi mental yang terganggu, memperbaiki kondisi pasien), bantu
pasien untuk selalu berinteraksi dengan lingkungan, beri kegiatan yang posi-tif
untuk mengisi waktu pasien, jangan biarkan pasien menyendiri, libatkan dalam
kegiatan sehari-hari, memberikan pujian jika pasien melakukan hal yang positif,
jangan mengkritik pasien jika pasien melakukan kesalahan, menjauhkan pasien
dari pengalaman atau keadaan yang menyebabkan penderita merasa tidak berdaya
dan tidak berarti (Shives,1998 ). METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah
deskriptif korelasi dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Deskritif
korelasional bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan dan apabila ada,
berapa eratnya hubungan serta berarti atau tidaknya hubungan itu. Penelitian ini
menggunakan pendekatan cross sectional yaitu penelitian yang menekankan
penguuran data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat.
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah jumlah seluruh pasien ganguan
jiwa di RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda pada enam bulan terakhir dari
bulan November 2012 sampai bulan April 2013 sebanyak 246 jiwa, sedangkan
sampel diambil sebanyak 152 responden yang diambil secara purposive random
sampling. Variabel independen dalam penelitian ini adalah peran perawat sebagai
pelaksana. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Ide bunuh diri pada
penderita gangguan jiwa. Data yang dikumpulkan merupakan data primer dengan
menggunakan Instrumen pengumpulan berupa kuisioner tertruktur yang
dikembangkan berdasarkan kisi-kisi. Pada penelitian ini uji validitas dan
reliabilitas menggunakan kuisioner penelitian dan dilakukan pada bulan Oktober
2013. Uji validitas peran perawat sebagai pelaksana dan ide bunuh diri pada
penderita gangguan jiwa di RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda di Ruang
Elang dengan 30 responden. HASIL PENELITIAN Karakteristik Responden
Karakteristik Fre kuensi Persen tasi (%) Umur (th) 16 – 36 78 51,3 37 – 57 64
42,1 58 – 78 10 6,6 Jenis Kelamin Laki-laki 102 67,1 Perempuan 50 32,9
Pendidikan Tidak tamat SD 68 44,7 SD 26 17,1 SMP 18 11,8 SMA 30 19,7 PT 10
6,7 Perawat an 1 – 2 kali 53 34,9 3 – 5 kali 59 38,8 > 5 kali 40 26,3 Berdasarkan
di atas terlihat bahwa responden terbanyak adalah mempunyai umur 16 – 36
tahun, yaitu sebanyak 78 orang (51,3%), sedangkan jenis kelamin sebagian besar
adalah laki-laki, yaitu sebanyak 102 orang (67,1%). Tingkat pendidikan terbanyak
adalah tidak tamat SD, yaitu sebanyak 68 orang (44,7%) dan frekuensi perawatan
terbanyak adalah 3 – 5 kali, yaitu sebanyak 59 orang (38,8%)Hubungan Peran
Perawat Sebagai Pelaksana dengan Ide Bunuh Diri Pada Penderita Gangguan Jiwa
Tabel 2. Hubungan Peran Perawat Sebagai Pelaksana dengan Ide Bunuh Diri Pada
Penderita Gangguan Jiwa Peran Perawat Sebagai Pelaksana Ide Bunuh Diri Pada
penderita Gangguan Jiwa Jumlah OR P-value Tidak ada Ada. Berdasarkan Tabel
4.8, terlihat bahwa nilai P sebesar 0,031 lebih dari nilai sebesar 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa secara sta-tistik ada hubungan yang bermakna antara peran
perawat sebagai pelaksana dengan ide bunuh diri pada penderita gangguan jiwa di
RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda atau dapat disimpulkan bahwa ada hu-
bungan peran perawat sebagai pe-laksana dalam mencegah ide bunuh diri pada
penderita gangguan jiwa di RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda. Kemudian
nilai rasio kecenderungan (odds ratio / OR) sebesar 0,409 menunjukkan bahwa
secara statistik terdapat hubungan yang signifikan antara peran perawat sebagai
pelaksana dalam mencegah kekambuhan penderita gangguan ji-wa dengan ide
bunuh diri di RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda, maka besarnya
kemungkinan peran perawat yang tidak aktif resiko terhadap adanya ide bunuh
diri pada pasien gangguan jiwa adalah 0,409 kali lebih besar dibanding peran pe-
rawat yang aktif sebagai pelaksana dalam rentang CI 0,192 – 0,873.
PEMBAHASAN Karakteristik responden Umur Dari hasil penelitian ini
didapatkan, sebagian besar responden umur 16 – 36 tahun, yaitu sebanyak 78
orang (51,3%). Sedangkan responden yang berumur 37 – 57 tahun dan 58 – 78
tahun, masing-masing sebanyak 64 orang (42,1%) dan 10 orang (6,6%). Penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitrianatsany (2013) yang
berjudul Motif Sosial Tindakan Bunuh Diri yang mendapatkan hasil bahwa umur
25 – 29 tahun, yaitu sebanyak 31 orang (45%). Sedangkan responden yang
berumur 20 – 24 tahun dan 30 – 34 tahun, masing-masing sebanyak 29 orang
(42%) dan 9 orang (13%). Hasil penelitian Kaplan (2002) mengatakn bahwa usia
puncak terjadinya gangguan jiwa adalah usia 25 tahun sampai dengan usia 35
tahun.Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap
kehidupan ini penuh dengan stressor, sedangkan sebelum usia 10 tahun dan
setelah 50 tahun jarang terjadi. Hal ini juga dibahas pada hasil penelitian
Kahar(2009) yang telah dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Dadi Makassar dimana
umur sebagai faktor protektif bermakna, maka semakin tua umur kemungkinan
untuk mengalami kekambuhan semakin rendah. Menurut asumsi peneliti usia
pasien gangguan jiwa di RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda sebagian besar
usia 16-36 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang bersiko tinggi karena
tahap kehidupan ini penuh dengan stressor. Hal ini menunjukkan bahwa puncak
terjadinya gangguan jiwa adalah usia 25-36 tahun ( Kaplan, 2002). Meskipun
secara umum risiko bunuh diri meningkat sesuai pertambahan usia, sedangkan
pada usia remaja perlu dipertimbangkan adanya factor psikosis dengan atau tanpa
depresi Jenis kelamin Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin
terlihat bahwa responden terbanyak adalah berjenis kelamin laki-laki, yaitu
sebanyak 102 orang (67,1%). Sedangkan responden yang berjenis kelamin
perempuan sebanyak 50 orang (32,9%). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh
Syamsul (2008) karakteristik responden menurut jenis kelamin laki-laki sebanyak
19 orang (55,9%). Sedangkan responden yang berjenis kelamin perempuan
sebanyak 15 orang (44,1%). Menyatakan mayoritas klien yang di rawat di RSJ
adalah laki-laki. Laki-laki cenderung mengalami perubahan peran dan penurunan
interaksi serta kehilangan pekerjaan hal ini yang sering menyebabkan laki-laki
lebih rentang terhadap masalah kesehatan mental (Sejono, 2000). Riskesdas
(2007) untuk gangguan jiwa ringan banyak diderita kaum perempuan, yaitu dua
kali lebih banyak dibanding laki-laki sedangkan gangguan jiwa berat pada
perempuan lebih ringan disbanding laki-laki. Gangguan jiwa sangat dipengaruhi
oleh kondisi sosial ekonomi. Menurut asumsi peneliti yang dirawat di RSJD Atma
Husada Mahakam Samarinda frekuensi berdasarkan jenis kelamin responden
terbanyak laki-laki. Laki-laki lebih rentang terhadap masalah kesehatan mental
sehingga banyak lakilaki yang mengalami gangguan jiwa, selain itu pria seringkali
lebih sukses melakukan aksi bunuh diri dan lebih menggunakan cara yang lebih
pasti matinya, misalnya menggunakan pistol dll, meskipun keinginan untuk bunuh
diri sebenarnya lebih besar pada wanita. Pendidikan Terakhir Distribusi frekuensi
responden berdasarkan pendidikan terakhir terlihat bahwa responden terbanyak
adalah tidak tamat SD, yaitu sebanyak 68 orang (44,7%). Sedangkan responden
yang berpendidikan SD, SMP, SMA dan PT berturut-turut sebanyak 26 orang
(17,1%), 18 orang (11,8%), 30 orang (19,7%) dan 10 orang (6,7%). Pendidikan
formal mempengaruhi pengetahuan seseorang, dimana diharapkan orang yang
berpendidikan tinggi akan semakin luas juga pengetahuannya. Namun bukan
berarti orang yang berpendidikan rendah berpengetahuan rendah pula, karena
peningkatan pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui pendidikan formal saja,
akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal (Wawan, 2010).
Sejalan dengan teori yang dikemukan oleh Prodji(2001) bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi sehingga
makin banyak pula pengetahuan yang dimilikki. Selain itu tingginya tingkat
pendidikan seseorang serta banyaknya pengalaman yang diperoleh akan
berpengaruh pada pengetahuan yang dimiliki. Menurut asumsi semakin tinggi
tingkat pendidikan semakin luas pengetahuan, namun bukan berarti semakin
rendah berpengetahuan rendah pula. Pendidikan tidak hanya diperoleh dari
bangku sekolah saja, melainkan dari luar juga bisa, jadi pendidkan sangat penting.
Pendidikan yang perlu ditekankan adalah pengetahuan spiritual yang baik,
sehingga setiap manusia dapat memaknai hidung yang telah diberikan merupakan
suatu anugrah luar biasa dari tuhan yang maha esa, dan kekuatan spiritual
bertindak sebagai kerangka kerja intelektuallitas yang sesungguhnya Frekuensi
Perawatan Distribusi responden berdasarkan frekuensi perawatan terlihat bahwa
responden terbanyak adalah melakukan perawatan 3 – 5 kali, yaitu sebanyak 59
orang (38,8%). Sedangkan responden yang melakukan perawatan 1 – 2 kali dan >
5 kali, masing-masing sebanyak 53 orang (34,9%) dan 40 orang (26,3%). Hai ini
sejalan dengan penelitia oleh Wahyuni (2001) mengatakn bahwa berdasarkan
perawatan terlihat bahwa responden terbanyak adalah melakukan perawatan 1-2
kali yaitu sebanyak 7 orang (20,6%). Sedangkan responden yang melakukan
perawatan 3-5 kali dan > 5 kali, masing-masing sebanyak 20 orang (58,8%) dan 7
orang (20,6%). Pasien gangguan jiwa memerlukan perawatan di rumah sakit dan
perawat sebagai salah satu anggota tim kesehatan yang merawat pasien gangguan
jiwa. Sistem klasifikasi pasien didesain untuk menentukan jumlah atau intensitas
dari pelayanan keperawatan yang diperlukan oleh tiap pasien berdasarkan
klasifikasi pasien jiwa yang terbagi menjadi empat kategori. Salah satu kategori
yang ada adalah kategori krisis. Fenomena ini yang mendasari perlunya diketahui
faktor yang berhubungan dengan lamanya tahap penanganan fase krisis pada
pasien gangguan jiwa (Sawab,2008). Untuk menentukan apakah penurunan
perawatan dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut berhubungan dengan keparahan
atas penyakit dan hasil dari perawatan( Indradi, 2007). Fokus rumah sakit dalam
pemberian pelayanan perawatan yang berkualitas bertujuan untuk memulangkan
pasien lebih awal dengan aman ke rumahnya. Hari rawat yang pendek akan
memberi keuntungan antara lain terutama bagi pasien sendiri ( Imbalo, 2007).
Menurut asumsi frekuensi perawatan terbesar melakukan perawatan 3-5x. Hal ini
yang mendasari perlunya diketahui faktor yang berhubungan dengan lamanya
tahap penangganan fase krisis pada pasien gangguan jiwa ( Sawab, 2008). Dilihat
dari perspektif logis, bahwa bunuh diri merupakan pilihan terakhir, ,lebuih jauh
lagi rasa tidak berdaya sering timbul bersamaan dengan putus asa dari perasaan
sakit yang perkepanjangan. Peran perawat yang tidak aktif berisiko terhadap
adanya ide bunuh diri pada pasien gangguan jiwa dibanding peran perawat yang
aktif. Berdasarkan hasil penelitikan dikatakan bahwa sebanyak 38 orang peran
perawat yang aktif, terdapat 14 orang ( 36,8%) ide bunuh diri tidak ada dan 24
orang ( 63,2%) ada ide bunuh diri. Hal ini dikatakan bahwa peran perawat yang
tidak aktif berisiko terhadap adanya ide bunuh diri pada pasien gangguan jiwa
dibanding peran perawat yang aktif. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ilham (2001) bahwa sebanyak 41 orang peran perawat yang tidak
aktif, terdapat 10 orang (24,4%) ide bunuh diri tidak ada dan 31 orang (75,6%)
ada ide bunuh diri. Teori ini diperkuat oleh Yosep (2009) perawat ataupun tenaga
kesehatan lainnya hendaknya memberikan saran, motivasi bahkan cara yang dapat
meminimalkan dan bahkan mencegah terjadinya bunuh diri pada klien sehingga
klien dapat menyalurkan kemarahannya pada tempat dan situasi yang benar dan
positif sehingga tidak membahyakan pasien sendiri. Perawat juga bisa
memberikan aktivitas ataupun kegiatan yang dapat mengurangi dari tingkat resiko
bunuh diri klien sehingga hal- hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Oleh sebab
itulah peran perawat dari setiap aspek orang terdekat klien sangat berpengaruh
pada timbulnya resiko bunuh diri yang dilakukan oleh klien. Menurut asumsi
perawat sebagai pelaksana Peran perawat sebagai pelaksana dalam mencegah ide
bunuh diri pada gangguan jiwa adalah memberikan perhatian dan rasa kasih
sayang dan penghargaan sosial kepada pasien, mengawasi kepatuhan pasien
dalam minum obat, bantu pasien untuk selalu berinteraksi dengan lingkungan, beri
kegiatan yang positif untuk mengisi waktu pasien, jangan biarkan pasien
menyendiri, libatkan dalam kegiatan sehari-hari, memberikan pujian jika pasien
melakukan hal yang positif, jangan mengkritik pasien jika pasien melakukan
kesalahan, menjauhkan pasien dari pengalaman atau keadaan yang menyebabkan
penderita merasa tidak berdaya dan tidak berarti (Shives,1998 ). Hubungan peran
perawat sebagai pelaksana dalam mencegah ide bunuh diri pada penderita
gangguan jiwa. Berdasarkan hasil penelitian ini, ada hubugan peran perawat
sebagai pelaksana dalam mencegah ide bunuh diri pada penderita gangguan jiwa.
Dimana nilai P sebesar 0,031 lebih dari nilai sebesar 0,05. Hal ini menunjukkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara peran perawat sebagai pelaksana
dengan ide bunuh diri pada penderita gangguan jiwa di RSJD Atma Husada
Mahakam Samarinda. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Setiyani (2004) untuk mengetahui antara peran perawat sebagai pelaksana dalam
mencegah perilaku bunuh diri di RSJ Dr. Soerojo Magelang menunjukkan bahawa
terdapat hubungan antara peran perawat dengan bunuh diri responden (P=0,894)
sehingga disimpulkan peran perawat untuk mencegah perilaku bunuh diri,tidak
hanya cukup dengan pendekatan kepada pasien saja tetapi melalui peran perawat
sebagai pelaksana yang aktif sangat dibiuhkan pasien ganguan jiwa. Hasil
penelitian ini juga seiring dengan Siagian (2009) yang menyatakan bahwa peran
perawat memiliki peran yang penting sebagai pelaksana untuk melakukan
pengawasan terhadap pasien gangguan jiwa untuk selalu berperan aktif sebagai
pelaksana. Menurut Kozier (1995) peran perawat sebagai pelaksana juga dapat
diartikan pelaksana pemberian pelayanan kesehatan keperawatan pada individu,
keluarga, ataupun masyarakat berupa asuhan keperawatan yang kompeherensif
meliputi asuhan pencegahan pada tingkat satu, dua atau tiga baik langsung
maupun tidak langsung, selain itu peran perawat sebagai pelaksana adalah
pelayanan keperawatan, pengelola keperawatan dan institusi pendidikan, sebagai
pendidik dalam keperawatan, peneliti dan pengembangan keperawatan atau peran
perawat adalah cara untuk menyatakan aktifitas perawat dalam peraktek, dimana
telah menyelesaikan pendidikan formalnya diakui dan diberi kewenangan oleh
pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab keperawatan secara
professional, sesuai dengan kode etik profesinya. Menurut asumsi peneliti
hubungan peran perawat dengan bunuh diri sangat diperlukan untuk mencegah ide
bunuh diri, perawat memiliki tugas yang memerlukan sensitivitas dan ketahanan
yang kuat terutama dalam anamnesa dan wawancara penyebab terjadinya bunuh
diri , bila terjadi keadaan kegawat daruratan bunuh diri peran perawat bukan
hanya sebagai tempat pencurahan penyebab bunuh diri namun anamnesa perawat
yang tepat dapat menjadikan media pendekatan yang tidak semata-mata hanya
tergantung pada kemampuan intuisi perawat saja, dalam menentukan penyebab
kematian, pendekatan yang konsisten dari perawat akan mendapat kan hasil dan
berkesempatan untuk lebih mengenal respon-respon pasien terhadap perawatan
yang telah diberikan, sehingga dari responrespon tersebut dapat memberikan
kerangka kerja lain dalam hal pencegahan bunuh diri (misalnya menentukan
diagnosa keperawatan memperkirakan keparahan kondisi pasien, mengembangkan
hubungan terapeutik, melibatkan pasien di dalam psikoterapi yang tepat dengan
berkolaborasi dengan psikiatri, tim medic), beberapa factor yang cenderung
menjadi perhatian bagi perawat dalam kasus pencegahan bunuh diri adalah
riwayat adanya kekerasan, adanya proses psikotik yang mempengaruhi kekerasan
atau hilangnya control impuls akut , bukti dari hasil anamnesa yang tepat tentang
makna dari rencana dan tujuan pasien yang melakukan bunuh diri ( Shawn 1996).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Analisis untuk uji hipotesis dengan uji statistik chi square menunjukkan
bahwa nilai P sebesar 0,031 kurang dari nilai α sebesar 0,05, sedangkan OR
sebesar 0,409. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik ada hubungan yang
bermakna antara peran perawat sebagai pelaksana dengan ide bunuh diri pada
penderita gangguan jiwa di RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda atau dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan peran perawat sebagai pelaksana dalam
mencegah ide bunuh diri pada penderita gangguan jiwa diRSJD Atma Husada
Mahakam Samarinda. Kemudian nilai rasio kecenderungan (odds ratio/OR)
sebesar 0,409 menunjukkan bahwa besarnya kemungkinan peran perawat yang
tidak aktif resiko terhadap adanya ide bunuh diri pada pasien gangguan jiwa
adalah 0,409 kali lebih besar dibanding peran perawat yang aktif sebagai
pelaksana. Saran 1. Bagi Rumah Sakit Jiwa Atma Husada Mahakam Samarinda,
hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Rumah Sakit Jiwa
Atma Husada Mahakam Samarinda dalam mengambil kebijakan untuk lebih
optimal peran aktif peran perawat sebagai pelaksana dalam mencegah ide bunuh
diri pada penderita gangguan jiwa seperti melakukan kegiatan penyuluhan atau
pendekatan terhadap pasien 2. Bagi keluarga pasien diharapkan tetap
mempertahankan dalam memberikan motifasi, dukungan maupun perhatian yang
lebih agar penderita tidak mengalami kekambuhan 3. Diharapkan peran perawat
sebagai pelaksana dalam mencegah ide bunuh diri pada penderita gangguan jiwa
dengan mempererat komunikasi, informasi serta edukatif untuk membantu proses
penyembuhan pasien gangguan jiwa sehingga mengurangi terjadinya ide bunuh
diri serta dalam melaksanakan asuhan keperawatan jiwa agar selalu melibatkan
keluarga untuk memberi dukungan yang berguna dalam mempercepat proses
penyembuhan klien, selain itu perawat juga selalu menjauhkan barangbarang yang
dapat membahayakan pasien untuk melakukan bunuh diri, perawat dapat
melakukan pendekatan kepada klien serta mengajak klien beraktivitas selain itu
perawat juga melakukan observasi secara ketat. 4. Diharapkan ilmu dan
pengalaman yang diperoleh selama penelitian dapat disosialisasikan pada
penelitian selanjutnya 5. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk
melakukan penelitian selanjutnya. Diharapkan pada penelitian akan datang agar
lebih memperbanyak faktor yang berhubungan dengan ide bunuh diri pada
penderita gangguan jiwa, lebih advan dan menjawab keterbatasan peneliti.
BAB V
A. KESIMPULAN
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan
keputusan terkahir dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi
(Keliat 1991 : 4). Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena klien
berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang
maladaptif

B. SARAN
Dengan adanya pembuatan makalah ini diharapkan rekan-rekan dapat
mengerti dan dapat memahami mengenai resiko bunuh diri beserta dengan
asuhan keperawatannya. Dengan tujuan agar dapat bermanfaat untuk
menjalankan tugas sebagai perawat kejiwaan kedepannya
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta:
EGC.

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan keperawatan. Edisi 3. Jakarta : EGC

Keliat. B.A. 1991. Tingkah laku Bunuh Diri. Jakarta : Arcan

Keliat. B.A. 2006. Modul MPKP Jiwa UI . Jakarta : EGC

Keliat. B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC

Ingram, I.M., dkk. 1993. Catatan Kuliah PSIKIATRI edisi 6. Jakarta : EGC

Stuart, Sudden, 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta : EGC

Stuart, GW. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai