Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

MELENA DENGAN SYOK ANAFILAKTIK ec.


TRANFUSI DARAH

Dibuat oleh:
dr. Agus Budi Waluyo

Pendamping:
dr. Padmi Bektilestari, SpPD
dr. Utari

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RSUD BATANG

2019-2020
BORANG PORTOFOLIO

Nama Peserta : Agus Budi Waluyo, dr.

Nama Wahana : RSUD Kabupaten Batang

Topik : Melena dengan Syok Anafilaktik ec. Tranfusi Darah


Tanggal Kasus :

Nama Pasien : Tn. AS No RM : 279596

Tanggal Presentasi: Nama Pendamping :


dr. Padmi Bektilestari, SpPD
dr. Utari
Tempat Presentasi : Ruang Komite Medik RSUD Batang

Obyektif Presentasi :

√ Keilmuan Ketrampilan Penyegaran √ Tinjauan Pustaka

√ Diagnostik √ Manajemen √ Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja √ Dewasa Lansia Bumil

Tujuan : diagnosis, manajemen, pemecahan masalah

Bahan Bahasan : √ Tinjauan Pustaka Riset √Kasus Audit

Cara Pembahasan : Diskusi √ Presentasi dan diskusi Email Pos


BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Tn. AR
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Ds : Denasri Wetan, Kec: Batang, Kab: Batang
No. CM : 279596
Tanggal Masuk : 28 Desember 2019 (02.15 WIB)
B. ANAMNESIS (Tanggal 28 Desember 2019, pk 02.15)

o Keluhan Utama : BAB Darah


o Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang melalui IGD RSUD Batang tanggal 28/12/2019 pk 02.15
dengan keluhan BAB darah. Keluhan BAB Darah dirasakan sejak 4 hari
SMRS dengan frekuensi hari ini BAB darah 8x. Menurut pasien BAB cair
bercmapur darah warna merah gelap. Riwayat sebelumnya pasien pernah
merasakan hal serupa 2x sekitar ½ tahun yang lalu sudah berobat dan
sembuh. Mual (+), Muntah (+). Bak (+) dalam batas normal. Makan (+),
Minum (+). Pasien mengaku sering mengkonsumsi obat pegel linu.
o Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat penyakit serupa : 2 kali (½ tahun yang lalu)
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
o Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama
seperti pasien
o Riwayat Kebiasaan & Sosial Ekonomi
Merokok disangkal, konsumsi alkohol disangkal, konsumsi NAPZA
disangkal
Pasien tidak bekerja, biaya kehidupan sehari – hari ditanggung oleh suami
pasien. Biaya pengobatan menggunakan BPJS Kelas III
Kesan ekonomi : menengah kebawah
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik di bangsal Melati, dilakukan tanggal 31 Januari 2020.
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
: compos mentis, GCS E4 V5 M6

: 101/65 mmHg
: 125 kali/menit
: 20 kali/menit
o
: 36,5 C
2. Kesadaran
3. Tanda vital
Tekanan darah
Nadi
Laju napas
Suhu
4. Status Generalis
a. Pemeriksaan kepala
a. Bentuk kepala : mesocephal (+)
b. Mata : Conjuctiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
exophtalmus (+/+), lid lag (+/+), lid retraction (+/+)
c. Telinga : discharge (-/-), deformitas (-), massa (+/-)
d. Hidung : discharge (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)
e. Mulut : sianosis (-)
b. Pemeriksaan Leher
Inspeksi: Deviasi trakea (-), pembesaran limfonodi (-), tampak
benjolan di leher, bergerak saat menelan, simetris (+)
Palpasi : benjolan di leher teraba besar ± 3 cm di lobus kiri dan kanan
tiroid, simetris
Auskultasi: bruit tiroid (-)
c. Pemeriksaan thorax
Bentuk normochest, simetris, artrofi m. pectoralis (-/-), spider nevi (-),
retraksi interkostalis (-), retraksi supraklavikula (-),pernapasan thorako
abdominal, sela iga melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening
aksilla (-)
Jantung

• Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak


• Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V 2 jari medial LMCS,
lebar satu spatium intercosa
• Perkusi :

Batas kanan atas


Batas kiri atas
Batas kanan bawah
Batas kiri bawah

: SIC II linea parasternalis dextra


: SIC II linea parasternalis sinistra
: SIC IV linea parasternalis dextra
: SIC V 1 jari lateral linea
midclavicularis sinistra
• Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Paru

• Inspeksi : Hemithorak dextra = sinistra, ketinggalan gerak (-)


• Palpasi :
Pergerakan kanan = kiri
Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri

• Perkusi
Kanan : Sonor, batas absolut paru hepar SIC V linea
midclavicularis dekstra
Kiri : Sonor, mulai redup pada batas paru jantung dan lobus
inferior pulmo dextra dan sinistra , batas paru lambung
SIC VI linea axillaris anterior sinistra

• Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronky (-/-), wheezing (-/-)

d. Pemeriksaan Abdomen

• Inspeksi • Auskultasi
• Perkusi
: datar, distensi (-), venektasi (-), sikatrik (-),
striae (-)
: Bising usus (+) normal
: timpani, Pekak alih (-), pekak sisi (-), undulasi
(-)
• Palpasi : Supel (+), nyeri tekan (+) epigastric, hepar tidak
teraba, lien tidak teraba

e. Ekstremitas : fine tremor (+)


Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -

Skoring dengan Indeks Wayne pada Ny. R


Parameter Kondisi pasien
Gejala
dyspnea d’effort (+1) √
Palpitasi (+2) √
Kelelahan (+2)
Suka hawa panas (-5)
Suka hawa dingin (+5) √
Keringat berlebih (+3) √
Gugup (+2)
Nafsu makan meningkat (+3) √
Nafsu makan menurun (-3)
Berat badan meningkat (-3)
Berat badan menurun (+3) √
Tanda
Teraba pembesaran tiroid (+3) √
Bruit tiroid (+2)
Eksoptalmus (+2) √
Lid retraction (+2) √
Lid lag (+2) √
Hiperkinesia (+4)
Tangan hangat (+2)
Lembab (+1)
Denyut nadi :
> 80x/menit (-)

> 90x/menit (+3)

Atrial Fibrilation (+4)

Total 26 (Toksik)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium (31/01/2020)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

CBC

Leukosit 4.13 103/ul 4.50 – 11.00


Eritrosit H 5.53 106/ul 4.10– 5.10
Hemoglobin 14.0 g/dl 12– 16
Hematokrit 39.6 % 36.0– 46.0
MCV L 71.6 fL 78.0 – 102.0
MCH 25.3 pg 25.0– 35.0

MCHC 35.4 g/dL 31.0– 35.3


Trombosit H 451 103/ul 150– 450
RDW-SD 40 fL 37– 54
RDW-CV 15.8 % 11-16

Diff Count
Neutrofil L 29.6 % 42– 74

Limfosit H 50.6 % 17– 45


Monosit H 17.2 % 2.0– 8.0

Eosinofil 2.4 % 0.0– 5.0


Basofil 0.2 % 0– 1

LimfositAbsolut 2.09 103/ul 0.9 – 5.20


LED
LED 1 jam 22.0 mm/jam < 15

LED 2 jam H 44.0 mm/2jam < 30

Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu 126 mg/dl <140
Ureum 30.0 mg/dl 10– 50
Creatinin 1.00 mg/dl 0.8 - 1.3

2. Pemeriksaan EKG (01/02/2020)

Interpretasi:
Irama Sinus, reguler Kompleks QRS:
HR: 100x/menit
• Q patologis (-)
P wave: 1,5 kk (normal)
• RVH (-); LVH (-)
Interval PR: 4 kk (0.16 s) • ST Segmen: normal
Aksis: Normal • Interval QT: 3 kk (0.12s)
T wave: normal
Kesan: Sinus takikardia
3. Urin Rutin (01/02/2020)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Makroskopis

Warna Kuning Kuning


Kejernihan Keruh Jernih
pH 5.0 4.6–8
BJ 1.025 1.000 – 1.030
Nitrit Negatif Negatif
Protein Negatif Negatif

Glukosa Negatif Negatif


Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Normal
Keton Negatif Negatif
Blood Negatif
Leukosit esterase Negatif /LPB Negatif

Mikroskopis Urine
Epitel Squamous 0–2 /LPK
Epitel Transisional Negatif /LPK
Epitel Kuboid Negatif /LPK
Leukosit 0–1 /LPK < 10
Eritrosit 0–1 /LPK <5

Silinder Hialin Negatif /LPK


Silinder Granuler Negatif /LPK
Silinder Eritrosit Negatif /LPK
Silinder Leukosit Negatif /LPK
Kristal Urat Amorf penuh

Bakteri Negatif
Lain - Lain Negatif

4. Hasil Pemeriksaan Hormon Tiroid (01/02/2020)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan

fT4 > 100.0 9.0-20.0 pmol/L

TSHs < 0.005 0.27-4.2 uIU/ml

E. DIAGNOSIS KERJA

• Diffuse toxic goitre e.c Grave Disease


• Colic abdomen ec susp. sindrom dyspepsia

F. PENATALAKSANAAN

o Infus NaCl 0.9% 20 tpm


o Inj. Ondansetron 4 mg/8jam
o Inj. Pantoprazol 40 mg/12 jam
o Inj. Paracetamol 500 mg/8 jam
o Inj. Dexamethasone 1 amp/8 jam
o Propanolol 2 x 10 mg tab
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Terminologi tirotoksikosis dan hipertiroid sering digunakan, bahkan secara bergantian
untuk mendefinisikan manifestasi fisiologis akibat kadar hormon tiroid yang
berlebihan. Tirotoksikosis merupakan suatu kondisi klinis akibat kerja hormon tiroid
secara berlebihan yang secara umum disebabkan kadar hormon jaringan tiroid yang
1,2
berlebih. Hipertiroid merupakan bagian dari tirotoksikosis yang disebabkan
peningkatan kerja kelenjar tiroid melalui reseptor TSH dan mutasi reseptor TSH,
selain itu dapat juga disebabkan karena adanya pelepasan hormon tiroid secara pasif,
1,2,5,6
inflamasi kelenjar tiroid akibat autoimun, infeksi virus atau diinduksi obat.
Penyakit grave/Grave’s disease merupakan salah satu penyakit autoimun dengan organ
spesifik pada tiroid yang diakibatkan stimulasi pertumbuhan dan fungsi kelenjar tiroid
melalui antibodi yang beredar melawan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan
5-7
mengalami fungsi yang mimikri dengan fungsi TSH.

2. Epidemiologi
Prevalensi hipertiroid di dunia memiliki range antara 0.2% hingga 1.3% pada
negara-negara yang memiliki kecukupan intake iodium. Di benua Asia, prevalensi
kejadian hipertiroid terbanyak terjadi di Tiongkok dengan prevalensi mencapai ±
1.25% dan di India dengan prevalensi mencapai ± 0.12%. Penyebab tersering
hipertiroid di negara-negara tersebut ialah Grave’s disease. Hampir 70-80% pasien
dengan hipertiroid merupakan Grave’s disease, sedangkan di negara-negara
dengan kecukupan intake iodium, sekitar 50% kasus hipertiroidnya adalah Grave’s

disease dan sisanya adalah penyakit tiroid noduler.3


3
Gambar 2.1 Sebaran Kasus Hipertiroid secara Global

Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 terdapat


sekitar 12.8% laki-laki dan sekitar 14.7% perempuan dengan kecurigaan hipertiroid
berdasarkan kadar TSH yang rendah, sedangkan berdasarkan RISKESDAS 2013,
penduduk Indonesia usia ≥ 15 tahun terdiagnosis hipertiroid dengan presentase 0.4%,
hampir 700.000 orang terdiagnosis hipertiroid. Di provinsi Jawa Tengah, prevalensi
penduduk usia ≥ 15 tahun yang terdiagnosis hipertiroid mencapai 0.5% dengan
perkiraan jumlah sekitar 120,447 orang. Berdasarkan sosial ekonomi, kelompok umur
4
dan tingkat pendidikan, prevalensi hipertiroid mencapai 0.6%.
Gambar 2.2 Prevalensi Hipertiroid di Indonesia berdasarkan Sosial
Ekonomi4

3. Etiologi dan Faktor Risiko


Mekanisme terjadinya Grave’s disease merupakan proses imun yang dimediasi
oleh sel B dan sel T, serta autoantigen yang umumnya menyerang TSH reseptor
(TSH-R). Antibodi yang terbentuk menyerang TSH-R (TRAbs) mampu
menstimulasi TSH reseptor sehingga muncul berbagai gejala dan tanda hipertiroid
dan goiter. Selain itu, Grave’s disease merupakan penyakit autoimun yang
multifaktorial. Berbagai faktor dapat memperberat atau memperingan kondisi
5-6
penyakit, antara lain:
a) Genetik
Pengaruh genetik merupakan salah satu faktor risiko yang paling sering. Berbagai
macam penyakit endokrin autoimun diturunkan melalui genetik. Laju
konkordansi Grave’s disease meningkat pada kembar monozigot dibandingkan
dengan kembar dizigotik. Odds ratio Grave’s disease meningkat terkat dengan
mutasi pada gen HLA, sekitar 2.0-4.0. Risiko kerentanan Grave’s disease
mencapai 5% dan meningkatkan risiko terjadinya Grave’s disease hingga 2-4x
pada mutasi gen HLA. Mutasi gen lain terkait terjadinya Grave’s disease, antara
lain cytotoxic T-lymphocute antigen 4 (CTLA4), lymphoid tyrosine
phosphatase (PTPN22), CD40, IL-α receptor- α, orphan Fc receptor L3
(FCRL3).

b) Infeksi
Infeksi dapat memicu terjadinya Grave’s disease melalui konsep mimikri
molekuler. Berbagai mikroba penyebab penyakit infeksius seperti H. pylori
dan Y. enterolitica dikaitkan dengan terjadinya Grave’s disease. Infeksi pada
kelenjar tiroid dapat diasosiasikan dengan penyakit autoimun, namun belum
prediktif untuk terjadinya Grave’s disease. Infeksi diduga memilili
karakteristik epigenetik terhadap kerentanan gen masih menjadi hipotesis
terjadinya Grave’s disease.

c) Stres
Kejadian tirotoksikosis seringkali meningkat dengan tingkat stress individu,
terutama stress emosional yang berat, seperti kehilangan seseorang baik
asmara maupun kecelakaan. Stres emosional mampu menyebabkan supresi
imun melalui mekanisme nonspesifik sehingga pada orang-orang yang rentan
terhadap autoimun, penyakit autoimun dapat muncul.

d) Jenis Kelamin
Wanita memiliki risiko Grave’s disease sekitar 4-5x dibandingkan dengan
pria. Diduga kecenderungan terjadinya penyakit tersebut terkait dengan
hormon seks wanita. Kadar hormon estrogen dan progesteron pada wanita
mempengaruhi sistem imun terkait dengan sel B. Selain itu 2 kromosom X
yang dimiliki wanita, meningkatkan risiko kerentanan gen menjadi 2x lipat.

e) Kehamilan
Hipertiroidisme memiliki kecenderungan menurunkan fertilitas. Pada wanita
dengan hipertiroid derajat ringan memiliki risiko untuk mengalami keguguran
dan kehamilan berisiko akibat tingginya kadar hormon tiroid. Hormon tiroid
bersifat toksik langsung terhadap janin. Pada kondisi hamil, wanita
mengalami kondisi imunosupresi sehingga kejadian Grave’s disease selama
hamil jarang karena fungsi sel B dan sel T terhambat. Namun, risiko kembali
meningkat setelah terminasi kehamilan.

f) Obat-obatan
Obat-obatan yang mengandung iodine, seperti amiodaron dan media kontras
mengandung iodin dapat mempresipitasi terjadinya Grave’s disease. Iodine
meningkatkan kerja TRAbs dan menstimulasi pembentukan hormon tiroid.

g) Radiasi
Autoantibodi tiroid lebih sering muncul pada populasi yang terpapar dengan
radiasi dan meningkatkan kejadian tiroiditis autoimun. Pengobatan dengan
iodine radioaktif dapat meningkatkan kadar TRAb, dibandingkan dengan
pemberian obat antitiroid ataupun pembedahan.

4. Patogenesis dan Patofisiologi


Grave’s disease merupakan penyakit yang bersifat multifaktorial. Faktor utama
terjadinya penyakit tersebut adalah melalui mekanisme autoimun. Salah satu teori
tentang patogenesis Grave’s disease adalah gangguan pada sel limfosit T supresor
(Ts). Gangguan pada sel Ts menyebabkan aktivasi dari sel limfosit B untuk
merangsang sintesis autoantibodi tiroid, berupa thyroid-stimulating antibody
(TSAb), thyroglobulin antibody (TgAb), dan thyroperoxidase antibody (TPO Ab).
TSAb akan bereaksi dengan reseptor TSH (TSH-R) di dalam membran sel tiroid
dan merangsang produksi hormon tiroid secara berlebih atau tirotoksikosis,
5-7
terutama produksi tiroksin (T4).
7
Gambar 2.3 Patogenesis Grave’s disease

Gambar 2.4 Patofisiologi Grave’s disease8


Pada Grave’s disease, manifestasi klinis lain yang mungkin dapat ditemukan
ialah oftalmopati dan myxedema atau acropachy. Oftalmopati akibat Grave’s
disease melibatkan sel T sitotoksik (Tc) atau natural killer (NK) dan antibodi
sitotoksik yang tersensitisasi oleh antigen yang menyerupai TSH pada fibroblas
orbital, m. orbitalis dan jaringan tiroid. Proses autoimun tersebut menyebabkan
aktivasi dan proliferasi jaringan fibroblast dan preadiposit yang menyebabkan
penumpukan lemak retroorbital dan glikosaminoglikan sehingga otot-otot
ekstraokuler mengalami edema dan menyebabkan proptosis dan diplopia.
Dermopati dan acropachy yang disebabkan oleh Grave’s disease terjadi akibat

stimulasi Tc pada daerah tibia, serta jari-jari tangan dan kaki.5-7

5. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang timbul pada Grave’s disease terbagi atas dua kelompok, yaitu
gejala tiroid dan ekstratiroid. Gejala tiroid pada Grave’s disease dapat tampak pada
tirotoksikosis lain. Kelenjar tiroid pada Grave’s disease membesar secara simetris,
5,7
namun tidak menutup kemungkinan kelenjar berukuran normal. Pada kondisi
dengan goiter atau pembesaran kelenjar, ukuran kelenjar dapat menjadi dua sampai
tiga kali ukuran normalnya dengan konsistensi bervariasi dari lunak hingga teraba
5-7
padat, permukaan yang rata dan terkadang lobuler. Beberapa kasus Grave’s disease
berat dapat teraba thrill pada pole atas atau bawah lokasi a. thyroidalis superior dan
inferior. Bruit dapat diketahui dengan auskultasi leher dengan volume
yang lebih keras pada kelenjar tiroid dibandingkan dengan area superolateral kiri

sternum.6-7

Gambar 2.4 Pembesaran Kelenjar Tiroid simetris

Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan


aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan
panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun
walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan serta
atrofi otot. Manifestasi ekstratiroid, antara lain oftalmopati dan infiltrasi kulit
lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan
pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra
melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam
mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Klasifikasi oftalmopati pada
Grave’s disease, terbagi atas 6 kelas. Kelas 2 – 6 merupakan penyakit infiltrative
7
yang melibatkan otot-otot dan jaringan orbital yang khas pada Grave’s disease.
7
Tabel 2.1 Klasifikasi Oftalmopati Grave
Kelas Keterangan
0 Tanpa ada gejala atau tanda
1 Hanya tanda, tanpa gejala (upperlid retraction, lid lag)
2 Keterlibatan jaringan lunak
3 Proptosis (pemeriksaan dengan Hertel exophtalmometer)
4 Keterlibatan otot ekstraokuler
5 Keterlibatan kornea
6 Kehilangan pandangan (keterlibatan n. opticus)

Gambar 2.5 Oftalmopati Grave6

6
Gambar 2.6 Pre-tibial Myxedema pada Grave’s disease
Dermopati Grave terjadi akibat penebalan kulit terutama daerah di distal
tibia akibat akumulasi glikosaminoglikan. Tanda yang muncul adalah penebalan
kulit dengan gambaran permukaan peau d’orange dan sulit diangkat dengan
menggunakan jari. Dermopati dapat memburuk dengan keterlibatan tulang
(akropaki/osteopati) dengan gambaran pembentukan tulang subperiosteal dan
pembengkakan terutama pada tulang-tulang metacarpal dan clubbing finger.
Temuan lain yang dapat ditemukan pada Grave’s disease adalah
onycholysis/Plummer nails yaitu pemisahan kuku dari tempat tumbuhnya (nail

beds) akibat cepatnya pertumbuhan kuku.6,7,9

6. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Grave’s disease dapat ditegakkan secara klinis dan dikonfirmasi dengan
beberapa pemeriksaan penunjang. Pasien-pasien dengan klinis hipertiroid perlu
dilakukan pemeriksaan untuk membedakan antara tirotoksikosis dengan
hipertiroid atau tanpa hipertiroid. Berdasarkan guideline dari NICE, pemeriksaan
TSH receptor antibodies (TRAbs) dilakukan untuk konfirmasi Grave’s disease
dan pemeriksaan scan technetium kelenjar tiroid bila TRAbs negatif, serta
ultrasonografi tiroid pada pasien dengan nodul tiroid yang terpalpasi.5,6,9
Berdasarkan pedoman PERKENI 2017 tentang penatalaksanaan penyakit
hipertiroid, beberapa modalitas pemeriksaan penyakit hipertiroid yang dapat
dilakukan antara lain:9

a) Uji fungsi Tiroid


Uji fungsi tiroid paling sederhana yang dapat dilakukan untuk individu
yang diduga hipertiroid, antara lain dengan menggunakan indeks Wayne.
Indeks Wayne digunakan untuk skoring gejala dan tanda yang dialami oleh
pasien, dan bila gejala klinis dan uji fungsi tiroid berbasis laboratorium
belum tersedia.
9,10
Tabel 2.1 Indeks Wayne
Gejala Tanda

Dyspnea d’effort (+1) Teraba pembesaran tiroid (+3)


Palpitasi (+2) Bruit tiroid (+2)
Kelelahan (+2) Eksoptalmus (+2)
Suka hawa panas (-5) Lid retraction (+2)
Suka hawa dingin (+5) Lid lag (+2)
Keringat berlebih (+3) Hiperkinesia (+4)
Gugup (+2) Tangan hangat (+2)
Nafsu makan meningkat (+3) Lembab (+1)
Nafsu makan menurun (-3) Denyut nadi :
Berat badan meningkat (-3) > 80x/menit (-)
Berat badan menurun (+3) > 90x/menit (+3)
Atrial Fibrilation (+4)

Intepretasi Skor
> 19 = toksik
11-19 = equifoval
<11 = eutiroid/non-toksik

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk membantu


menegakkan diagnosis, berupa evaluasi biokimia. Kadar TSH serum
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk menentukan kondisi
hipertiroid/hipotiroid. Hipertiroid didefinisikan sebagai kadar TSH yang
tersupresi (<0.01 mU/L) disertai peningkatan kadar hormon tiroid serum,
terutama kadar fT4. Kadar fT4 (free T4) digunakan untuk konfirmasi
diagnosis disfungsi tiroid. Kadar T3 dikerjakan bila diketahui fT4 normal,
namun TSH meningkat untuk menegakan toksikosis T3.9,10
Pemeriksaan TRAb digunakan untuk prediksi kesembuhan pasca
pengobatan antitiroid. Penurunan kadar TRAb yang signifikan menunjukkan
remisi sempurna atau sembuh total.
b)Imaging/Pencitraan
Pencitraan untuk kondisi-kondisi hipertiroid dapat dilakukan thyroid
uptake test atau uji tangkap tiroid dengan radioaktif iodium/radioactive
iodium uptake (I-131) atau Tc-99m pertechnetate. RAIU dilakukan dengan
pemberian I-131 oral dalam 24 jam, sedangkan untuk Tc-99m dilakukan 20
menit setelah intravena. Pada Grave’s disease, dapat ditemukan gambaran

distribusi penangkapan radioaktivitas difus.9

Gambar 2.7 Pemeriksaan Uji Tangkap Tiroid dengan Tc-99m


pertechnetate6

USG/ultrasonografi tiroid dilakukan untuk mendeteksi nodul atau lesi


dengan ukuran kecil ± 2mm dan dapat membedakan nodul padat dengan
kista tiroid. Ultrasonografi berguna dalam penegakkan diagnosis Grave’s
disease dengan gambaran pembesaran kelenjar tiroid dengan pola echo
yang homogen. USG doppler memberikan gambaran peningkatan corakan
6,7,9
vaskuler yang berkorelasi dengan kondisi hipertiroid.

Gambar 2.8 USG dan USG Doppler pada Grave’s disease6


c) Biopsi
Biopsi pada Grave’s disease tidak rutin dilakukan dalam prosedur
diagnostik hipertiroid. Biopsi dilakukan bila dicurigai adanya nodul dalam

tiroid untuk membedakan nodul jinak atau ganas.9

13
Gambar 2.9 Algoritma Diagnosis Hipertiroid

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertiroid dilakukan untuk menekan sekresi hormon baik
melalui zat kimia yang menghambat sintesis dan pelepasan hormon atau
dengan mengurangi kuantitas jaringan tiroid. Terdapat tiga metode dalam
penatalaksanaan untuk hipertiroid, khususnya untuk penatalaksanaan Grave’s
disease, antara lain dengan pemberian antitiroid (ATD), pemberian iodin
5-7,9-10
radioaktif, dan pembedahan.
a) Obat Anti-Tiroid (ATD)
Anti-tiroid untuk Grave’s disease adalah obat golongan thionamid, yang
terdiri atas methimazole, carbimazole, dan propiltiourasil (PTU).
Mekanisme utama golongan tiroid adalah untuk menghambar organifikasi
5-7,9-10

5-7,9-10

iodine dan coupling iodotyrosine serta menghambat sintesis hormon. PTU memiliki efek lain untuk menghambat konversi T4 dan T3 pada jaringan perifer, sedangkan methimazole memiliki kemampuan yang 10x lebih poten dari PTU. Pemberian ATD untuk Grave’s disease dapat diberikan dalam jangka panjang selama satu hingga dua tahun. Indikasi
pemberian ATD, antara lain: untuk pasien dengan kecenderungan remisi yang tinggi (jenis kelamin perempuan, derajat penyakit ringan, goiter dengan ukuran kecil dan titer TRAb rendah atau negatif); usia tua atau dengan komorbid, pasien geriatri, atau yang tidak dapat melakukan terapi radiasi, riwayat operasi atau terapi radiasi di leher, dan oftalmopati
Grave aktif derajat sedang-berat.
Pemberian ATD dapat dilakukan secara titrasi dan block-supplement. Metode titrasi dilakukan dengan pemberian methimazole 20-30 mg/hari atau PTU 300-600 mg/hari sampai tercapai keadaan eutiroid kemudian perlahan diturunkan hingga 2.5 mg untuk methimazole dan 100 mg
untuk PTU. Metode block-supplement dilakukan saat keadaan eutiroid. Pemberian levotiroksin 100-150 mcg/hari bertujuan untuk mencegah terjadinya hipotiroid pasca pemberian ATD. Remisi tercapai apabila kadar TSHs, fT4 dan total T3 normal setelah satu tahun ATD dihentikan.

ATD lain yang dapat diberikan, antara lain:


• Cholestyramine digunakan untuk penurunan kadar hormon tiroid
secara cepat)
• Iodine anorganik, seperti larutan Lugol atau saturated solution of
potassium iodide (SSKI) menurunkan transport iodide ke dalam
jaringan tiroid, serta menghambat organifikasi iodine serta
menghambat pelepasan T4 dan T3. Iodine juga mampu
menurunkan vaskularisasi tiroid pada Grave’s disease. Dosis
pemberian larutan Lugol 3-5 tetes 3x/hari, dan SSKI 1-3 tetes
3x/hari.
• Litium karbonat berfungsi untuk menghambat sekresi hormon tiroid,
namun tidak mengganggu akumulasi radioiodine. Dosis 300-450
mg/8 jam untuk kontrol tirotoksikosis sementara, serta dapat
digunakan pada pasien yang alergi terhadap thionamide atau iodine.
• Dexamethasone, dosis 2 mg/6 jam bertujuan menghambat
konversi T4 menjadi T3 serta bersifat imunosupresan.
• Beta blocker merupakan obat-obat yang berespon terhadap kadar
katekolamin pada reseptor, terutama propranolol, dan mengatasi
gejala-gejala tirotoksikosis yang berkaitan dengan kardiovaskuler.
Beta blocker dapat menghambat konversi T4 menjadi T3 melalui
pensinyalan katekolamin, dengan dosis 10-60 mg/6-8 jam.
b) Iodine Radioaktif
Radioisotop iodine diperkenalkan pertama kali untuk penanganan Grave’s
131
disease sekitar tahun 1940. Iodine radioaktif menggunakan I yang
131
merupakan pilihan untuk hiperfungsi tiroid. I diminum peroral,
kemudian akan terserap dan secara cepat terkonsentrasi, teroksidasi dan
teroganifikasi oleh sel folikuler tiroid. Efek biologisnya, antara lain
nekrosis sel-sel folikuler serta oklusi vaskuler yang dapat berkembang
secara penuh dalam waktu minggu sampai bulanan setelah single dose.
Dosis iodine radioaktif ditentukan dengan menggunakan rumus: W (berat)
kelenjar (g) x 150-200 uCi/g x 1/24 jam uptake dalam %. Berat kelenjar
ditentukan dengan USG atau sidik tiroid. Semakin tinggi dosis, maka
5-7,9-10
semakin cepat kondsi eutiroid tercapai.
c) Pembedahan
Pembedahan direkomendasikan bila iodine radioaktif merupakan
kontraindikasi, terutama pada kondisi-kondisi sebagai berikut;
terkonfirmasi adanya kanker tiroid atau kecurigaan nodul tiroid, usia
muda, berencana untuk hamil dengan durasi <6 bulan setelah memulai
pengobatan, alergi terhadap obat anti-tiroid, struma/goiter besar (berat
mencapai >80g) sehingga menyebabkan kompresi, dan pasien yang tidak
mau mendapatkan terapi radioaktif. Tujuan pembedahan pada pasien
Grave’s disease adalah untuk mengendalikan penyakit secara komplet dan
12
permanen dengan morbiditas seminimal mungkin.
Pada masa persiapan operasi, pasien harus benar-benar dalam keadaan
eutiroid. Pemberian larutan Lugol atau larutan saturated potassium iodide
diberikan selama 7-10 hari praoperasi dengan dosis 3 tetes 2 kali perhari
12
yang bertujuan mengurangi vaskularisasi dan mencegah krisis tiroid.
Berdasarkan pedoman dari American Thyroid Association tentang
terapi bedah pada Grave’s disease direkomendasikan metode near-total
atau total thyroidectomy dengan ahli bedah yang berpengalaman. Risiko
rekurensi dengan metode total thyroidectomy mencapai hampir 0% dan
untuk metode subtotal thyroidectomy risiko rekurensinya mencapai 8%.
Komplikasi tersering pasca total atau near-total thyroidectomy adalah
hipokalsemia akibat hipoparatiroidisme, cedera n. laryngeus recurrent
atau n. laryngeus superior, perdarahan pasca operasi, dan komplikasi

akibat anestesi umum.1,12

8. Komplikasi
Grave’s disease yang tak tertangani dapat menimbulkan komplikasi yang serius,
berupa krisis tiroid. Krisis tiroid merupakan eksaserbasi akut dari seluruh gejala
tirotoksikosis dengan kondisi yang mengancam nyawa. Krisis tiroid dapat
dipresipitasi oleh adanya trauma, infeksi, atau pembedahan pada pasien dengan
hipertiroid. Gejala klinis yang dapat ditemui adalah peningkatan gejala
hipertiroid, demam tinggi hingga hiperpireksia, mual, muntah serta diare secara
berlebih, gangguan hemodinamik, hingga gangguan kesadaran. Pemantauan krisis
tiroid dapat dilakukan dengan skoring Burch-Wartofsky Point Scale.

Tabel 2.2 Burch-Wartofsky Point Scale.


Parameter Skoring
o o
Temperatur F ( C) <99 0
99–99.9 (37.2-37.7) +5
100–100.9 (37.8-38.2) +10
101–101.9 (38.3-38.8) +15
102–102.9 (38.9-39.2) +20
103–103.9 (39.3-39.9) +25
≥104.0 (≥ 40.0) +30

Gangguan Sistem Saraf Pusat Tidak ada 0


Ringan (agitasi) +10
Sedang (kejang, koma) +20
Berat (kejang, koma) +30

Disfungsi GI-hepar Tidak ada 0


Sedang (diare, mual/muntah, nyeri
perut) +10
Berat (Ikterus) +20
Denyut Nadi (x/menit) <90 0
90-109 +5
110-119 +10
120-129 +15
130-139 +20
≥140 +25
Gagal Jantung Kongestif Tidak ada 0
Ringan (edema tungkai) +5
Sedang (ronkhi basah basal) +10
Berat (Edema pulmo) +15
Fibrilasi atrial Tidak ada 0
Ada +10
Kejadian Pencetus Tidak ada 0
Ada +10

Skor ≥ 45 krisis tiroid (segera penanganan multisektor di ICU)

Skor 25-44 impending krisis tiroid (pengawasan di ICU)

Skor < 25 bukan krisis tiroid, investigasi penyebab tirotoksikosis

Pemeriksaan penunjang untuk krisis tiroid, antara lain peningkatan fT4 dan T3
serta TSH yang tidak terdeteksi, disertai adanya anemia, leukositotsis,
hiperglikemia, hiperkalsemia dan peningkatan fungsi hepar.

9. Prognosis
Prognosis Grave’s disease umumnya baik. Remisi sempurna dapat dicapai apabila
kadar hormon tiroid dalam batas normal dengan pengobatan, serta pengangkatan
kelenjar dengan iodine radioaktif atau dengan pembedahan. Risiko relaps pada
Grave’s disease cenderung tinggi pada penggunaan obat-obat oral ATD,
dikarenakan pengendalian faktor risiko yang masih kurang.
BAB 3

PEMBAHASAN

Seorang wanita usia 36 tahun datang ke IGD RSUD Kab. Batang dengan keluhan
dada terasa berdebar-debar sejak 1 minggu SMRS. Keluhan berdebar-debar dirasakan
memberat sehingga saat ini mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Keluhan dada
berdebar-debar disertai dengan tangan yang seringkali gemetaran, merasa gerah
dalam kondisi udara dingin, nafsu makan meningkat namun berat badan semakin
menurun. Keluhan disertai dengan nyeri perut di ulu hati terasa panas/perih tanpa
penjalaran, membaik dengan makan, dan memburuk dalam keadaan perut kosong.
Pemeriksaan didapatkan eksopthalmus dengan lid lag dan lid retraction,
pembesaran kelenjar tiroid secara simetris, baik secara inspeksi maupun palpasi, fine
tremor. Pemeriksaan penunjang didapatkan hasil EKG sinus takikardi, laboratorium
menunjukkan hipertiroid, Indeks Wayne menunjukkan angka 26 (toksik). Diagnosis
diffuse toxic goitre ec Grave’s disease dapat ditegakkan.
Tatalaksana pada pasien ini diberikan terapi berupa PTU (propyltiourasil)
sebagai obat anti-tiroid. Propanolol yang merupakan golongan beta bloker untuk
mengatasi manifestasi kardiovaskuler Grave’s disease dengan bekerja melalui
reseptor katekolamin. Golongan PPI (lansoprazol maupun pantoprazol) dan
ondansetron diberikan untuk mengatasi keluhan nyeri perut dan mual/muntah.
Paracetamol sebagai obat antiinflamasi dan keluhan febris. Dexamethasone, obat
golongan glukokortikoid untuk menghambat konversi T4 menjadi T3.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ross D, Burch H, Cooper D, Greenlee M, Laurberg P, Maia A et al. 2016


American Thyroid Association Guidelines for Diagnosis and Management of
Hyperthyroidism and Other Causes of Thyrotoxicosis. Thyroid [Internet]. 2016
[cited 1 February 2020];26(10):1343-1421. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27521067
2. Kahaly G, Bartalena L, Hegedüs L, Leenhardt L, Poppe K, Pearce S. 2018
European Thyroid Association Guideline for the Management of Graves’
Hyperthyroidism. European Thyroid Journal [Internet]. 2018 [cited 1 February
2020];7(4):167-186. Available from:
https://www.karger.com/article/fulltext/490384
3. Taylor P, Albrecht D, Scholz A, Gutierrez-Buey G, Lazarus J, Dayan C et al.
Global epidemiology of hyperthyroidism and hypothyroidism. Nature Reviews
Endocrinology [Internet]. 2018 [cited 1 February 2020];14(5):301-316. Available
from: https://www.nature.com/articles/nrendo.2018.18
4. Situasi dan analisis penyakit tiroid. Jakarta: Pusdatin Kemkes RI; 2015.
5. Melmed S, Larsen P, Kronenberg H, Larsen P, Polonsky K, Polonsky K. Williams
textbook of endocrinology. 13th ed. Philadelphia, PA: Elsevier; 2016.
6. Jameson J, De Groot L. Endocrinology. 7th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2016.
7. Gardner D, Shoback D, Greenspan F. Greenspan's basic & clinical endocrinology.
11th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2011.
8. Hinter A. Graves’ Disease: Pathogenesis and Clinical Findings | Calgary Guide
[Internet]. Calgaryguide.ucalgary.ca. 2018 [cited 6 February 2020]. Available
from: https://calgaryguide.ucalgary.ca/graves-disease-pathogenesis-and-clinical-
findings/
st
9. Pedoman pengelolaan penyakit hipertiroid. 1 ed. Jakarta: PERKENI; 2017.
10. Task Force on Thyroid Diseases TIS of E. Indonesian Clinical Practice Guidelines
for Hyperthyroidism. J ASEAN Fed Endocr Soc [Internet]. 2014May21 [cited
2020Feb.6];27(1):34. Available from: https://asean-
endocrinejournal.org/index.php/JAFES/article/view/10
11. Overview | Thyroid disease: assessment and management | Guidance | NICE
[Internet]. Nice.org.uk. 2020 [cited 1 February 2020]. Available from:
https://www.nice.org.uk/guidance/ng145.
12. Schwartz S, Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, Dunn D, Hunter J et al.
Schwartz's principles of surgery. 10th ed. New York: McGraw-Hill; 2015.
13. Jameson J, Kasper D, Longo D, Fauci A, Hauser S, Loscalzo J. Harrison's
principles of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw-Hill; 2017.
FOLLOW UP

Tanggal S O P

01/02/2020 Berdebar- KU :baik Terapi Lanjut


debar Kes : compos mentis
(di Melati)
Tekanan darah : 104/80

Nadi : 84 kali/menit
Laju pernapasan : 24 kali
o
Suhu : 36,6 C
PF Tiroid:
Palpasi teraba massa difus ± 3
cm, NT (-)
Auskultasi: Bruit (-)
Inspeksi: Exophtalmus (+/+),
fine tremor (+/+)
Thorax : dbn
Cor : dbn
Pulmo : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn

GDS 21: 214 mg/dl


GDS 06: 178 mg/dl
02 Feb Berdebar- KU :baik Terapi Lanjut

2020 debar Kes : compos mentis

(di Melati) Tekanan darah : 104/80


Nadi : 84 kali/menit
Laju pernapasan : 24 kali
o
Suhu : 36,6 C
PF Tiroid:
Palpasi teraba massa difus ± 3
cm, NT (-)
Auskultasi: Bruit (-)
Inspeksi: Exophtalmus (+/+),
fine tremor (+/+)
Thorax : dbn
Cor : dbn
Pulmo : dbn

Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn
GDS 21: 211 mg/dl
GDS 06: 183 mg/dl

03 Feb Berdebar- KU :baik Tambahan terapi

2020 debar Kes : compos mentis o Inj.


Dexamethasone 1
(di Melati) Tekanan darah : 104/80
amp/24 jam
Nadi : 84 kali/menit
o Propanolol 2 x 20
Laju pernapasan : 24 kali
mg
o
Suhu : 36,6 C o PTU 3 x 100 mg
PF Tiroid: o Lacak TSH/fT4

Palpasi teraba massa difus ± 3


cm, NT (-)
Auskultasi: Bruit (-)
Inspeksi: Exophtalmus (+/+),
fine tremor (+/+)
Thorax : dbn
Cor : dbn
Pulmo : dbn

Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn
GDS 21: 149 mg/dl
GDS 06: 178 mg/dl

04 Feb Berdebar- KU :baik • BLPL


2020 debar Kes : compos mentis Obat Pulang:
berkurang Tekanan darah : 104/80 • Propanolol 2x
(di dahlia)
20 mg tab
Nadi : 84 kali/menit
• Cetirizin 1x1
Laju pernapasan : 24 kali
tab
o
Suhu : 36,6 C • Lansoprazol
PF Tiroid: 2x1 tab
Palpasi teraba massa difus ± 3 • PTU 3x100 mg
cm, NT (-)
tab
Auskultasi: Bruit (-)
• Dexamethasone
Inspeksi: Exophtalmus (+/+), 10 mg 1-1-1
fine tremor (+/+)
Thorax : dbn
Cor : dbn

Pulmo : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn

Anda mungkin juga menyukai