Anda di halaman 1dari 18

TINJAUAN PUSTAKA

MATI BATANG OTAK

Disusun oleh :
Bagus Bashofi 170070201011186
Michael Surya 170070201011135

Pembimbing
dr. Buyung Hartiyo L., Sp.An, KNA

LABORATORIUM/SMF ILMU ANESTESI


RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

1
BAB 1
PENDAHULUAN

Dalam praktek perawatan kritis, perawatan pada pasien yang


mengalami cedera otak parah adalah salah satu tantangan terberat bagi
dokter perawatan kritis. Terapi awal yang diberikan untuk pasien dengan
cedera otak parah diarahkan untuk mempertahankan dan memulihkan
fungsi saraf. Ketika perawatan utama ini tidak berhasil dan kondisi pasien
memburuk menjadi kematian batang otak, dokter perawatan kritis memiliki
tanggung jawab untuk mendiagnosis kematian batang otak dengan pasti
dan menawarkan keluarga pasien kesempatan untuk menyumbangkan
organ donor. (Goila and Pawar, 2009).
Berbagai teknik ditemukan untuk mempertahankan detak jantung
dan pernapasan walaupun pasien telah mati, sehingga muncul persepsi
baru. Kematian didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak dan bukan
fungsi jantung dan paru. Ilmuwan, pemuka agama, pekerja kesehatan,
bahkan masyarakat umum secara luas telah menyetujui bahwa seseorang
dapat dikatakan meninggal apabila terjadi kematian otak. Di Amerika
Serikat, kematian dapat ditentukan berdasarkan kriteria neurologis.
(Walshe T.M. 2001)
Dokter, tenaga medis, tenaga kesehatan lainnya dan masyarakat
pada umumnya telah menerima bahwa seseorang dapat dikatakan
meninggal ketika tidak lagi didapatkan aktivitas dari otak, atau dikenal
dengan istilah mati batang otak. Meskipun penggunaan ventilator mekanis
dan kemajuan perawatan kritis telah memungkinkan tenaga kesehatan
untuk mempertahankan fungsi vital pasien secara artifisial dalam jangka
waktu lama walaupun otak telah berhenti berfungsi, sangatlah penting untuk
menentukan kematian otak dengan cepat dan tepat. Hal ini disebabkan
karena adanya kebutuhan di kalangan masyarakat untuk mendiagnosis
secara dini kematian batang otak dan pengambilan organ untuk
transplantasi.

2
Pada kenyataannya, dokter umum tidak diharuskan mengkonsulkan
kondisi pasien untuk menentukan kematian batang otak kepada spesialis
saraf ataupun bedah saraf, dan oleh karena itu sangat penting untuk
mempelajari bagaimana cara menentukan kematian batang otak yang
benar. Ada perbedaan yang jelas antara kerusakan otak parah dan
kematian otak. Dokter harus memahami perbedaan ini, karena kematian
batang otak dapat disimpulkan bahwa segala bentuk dukungan kehidupan
itu sia-sia, dan kematian batang otak adalah prasyarat utama untuk
sumbangan organ untuk transplantasi.
Tujuan penulisan ulasan ini adalah untuk membahas secara
mendasar langkah-langkah menentukan kematian batang otak, dengan
tujuan meningkatkan pengetahuan di tenaga kesehatan tentang evaluasi
klinis kematian batang otak. Dengan dibuatnya ulasan mendasar mengenai
kematian batang otak, diharapkan dapat mengurangi kemungkinan variasi
indicator kematian batang otak dalam praktik pelayanan kesehatan di
fasilitas kesehatan terutama tingkat primer. Ulasan tinjauan pustaka ini
berfokus pada penentuan klinis kematian batang otak pada orang dewasa
dan anak-anak, termasuk faktor perancu yang potensial mengaburkan
penilaian klinis, dan memberikan tinjauan umum tentang tes konfirmasi
kematian batang otak yang valid.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Sebelumnya kematian didefinisikan oleh adanya pembusukan atau


pemenggalan kepala, kegagalan untuk merespon rangsangan yang
menyakitkan, atau hilangnya kerja napas dan jantung yang jelas.
Meluasnya penggunaan ventilator mekanis yang mencegah henti napas
telah mengubah jalannya gangguan neurologis terminal. Fungsi vital
sekarang dapat dipertahankan secara artifisial bahkan setelah otak berhenti
berfungsi. Pada tahun 1968, sebuah komite ad hoc di Harvard Medical
School memeriksa kembali definisi kematian otak dan koma yang tidak
dapat dipulihkan, atau kematian batang otak, sebagai tidak adanya respons
dan kurangnya daya terima rangsang, tidak adanya gerakan motorik dan
pernapasan, tidak adanya refleks batang otak, dan koma yang
penyebabnya telah diidentifikasi (Goila and Pawar, 2009).
Kematian batang otak didefinisikan sebagai kehilangan semua
fungsi otak yang tidak dapat dibalikkan. Tiga temuan penting dalam
kematian batang otak adalah koma, tidak adanya refleks batang otak, dan
apnea. Evaluasi untuk kematian batang otak harus dipertimbangkan pada
pasien yang telah menderita cedera otak masif ireversibel yang dapat
diidentifikasi penyebabnya. Seorang pasien yang telah dinyatakan mati
batang otak dapat dinyatakan secara hukum dan klinis sebagai meninggal
dunia (Goila and Pawar, 2009).
Diagnosis kematian otak terutama bersifat klinis. Tidak diperlukan
tes lain jika dapat dilakukan pemeriksaan klinis lengkap, termasuk masing-
masing dari dua penilaian refleks batang otak dan tes apnea tunggal, dan
dilakukan dengan sempurna (Goila and Pawar, 2009).
Kematian batang otak dapat terjadi ketika pasokan darah dan/atau
oksigen ke otak berhenti. Ini dapat disebabkan oleh:
 Henti jantung - ketika jantung berhenti berdetak dan otak
kekurangan oksigen

4
 Serangan jantung - ketika suplai darah ke jantung tiba-tiba
tersumbat
 Stroke - ketika suplai darah ke otak tersumbat atau terganggu
 Gumpalan darah - penyumbatan dalam pembuluh darah yang
mengganggu atau menghalangi aliran darah ke seluruh tubuh Anda
Kematian batang otak juga bisa disebabkan oleh cedera kepala
yang parah, pendarahan otak, infeksi (seperti ensefalitis), dan tumor otak.
2.1 Penentuan kematian batang otak
Ada beberapa proses menentukan kematian batang otak meliputi :
a. Identifikasi riwayat/temuan pemeriksaan fisik yang memberikan etiologi
disfungsi otak yang jelas.
Penentuan kematian batang otak membutuhkan identifikasi
penyebab langsung dan ditemukannya koma yang ireversibel. Cedera
kepala berat, perdarahan intraserebral karena hipertensi, perdarahan
subarachnoid aneurysmal, gangguan otak iskemik-hipoksik dan gagal hati
berat adalah potensi penyebab hilangnya fungsi otak yang tidak dapat
dibalikkan. Evaluasi koma yang berpotensi tidak dapat dipulihkan harus
mencakup, sebagaimana mungkin sesuai dengan kasus yang dihadapi;
bukti klinis atau neuro-imaging dari kelainan SSP akut yang kompatibel
dengan diagnosis klinis kematian batang otak.
b. Menyingkirkan segala kondisi yang memungkinkan menyebabkan
gangguan batang otak
Kondisi yang dapat mengaburkan diagnosis klinis kematian batang otak
antara lain adalah:
1. Syok/hipotensi
2. Hipotermi – temp. aksila <32OC
3. Dalam pengaruh obat yang mengubah kondisi neurologis, fungsi
neuromotor, atau mengubah hasil EEG, seperti agen anestesi,
neuroparalitik, barbiturates, benzodiazepines, amytriptiline, alcohol,
dll
4. Ensefalitis batang otak/brain stem encephalitis
5. Guillain-Barre syndrome

5
6. Encephalopathy oleh karena gagal hepar kondisi uremik, atau
koma hiperosmolar
7. Hipofosfatemia berat
c. Pemeriksaan fungsi saraf secara menyeluruh
1. Memeriksa ada tidaknya adanya gerakan spontan, perubahan
postur, kejang, menggigil, respons terhadap rangsangan verbal, dan
respons terhadap rangsangan yang tidak nyaman yang diberikan
melalui jalur saraf kranial. Perlu diingat bahwa selama pemeriksaan,
masih dapat ditemukan reflek spinal.
2. Memeriksa ada tidaknya refleks pupil terhadap cahaya langsung.
Refleks pupil mungkin dapat dipengaruhi secara selektif oleh trauma
mata, katarak, dopamin dosis tinggi, glutethamid, skopolamin,
atropin, bretilium, atau inhibitor monoamine oksidase.
3. Memeriksa ada tidaknya reflek kornea, reflek oculocephalic, reflek
batuk, dan reflek muntah. Reflek kornea mungkin dapat dipengaruhi
oleh ada nya kelemahan pada wajah.
4. Memeriksa ada tidaknya reflek oculovestibular dengan 20-50ml air
es yang di irigasi menuju kanal auditori eksternal yang bersih dari
serumen setelah memposisikan kepala pasien 30O. Gangguan atau
jejas pada labirin, penggunaan antikolinergik, antokonvulsan,
antidepresan trisiklik dan beberapa sedatif mungkin dapat merubah
hasil.
5. Memeriksa adanya kegagalan denyut jantung untuk bertambah lebih
dari 5 denyut per menit setelah pemberian 1-2mg atropin IV.
Merupakan indikasi fungsi nervus vagus dan nuclei absen.
6. Memeriksa ada tidaknya usaha napas spontan dalam kondisi
hiperkarbia, dengan melakukan tes apnoe. Biasanya tes apnoe
dilakukan setelah pemeriksaan reflek batang otak yang lain, dan
dilakukan hanya sekali.
d. Melakukan pemeriksaan tes apnoe
Sebelum melakukan tes apnoe, harus dibuat agar kondisi pada pasien
memenuhi beberapa syarat tertentu:

6
1. Suhu tubuh > 36,5
2. Euvolemia (balance cairan positif dalam 6 jam terakhir)
3. Normal PCO2 (arterial PCO2 > 40mmHg)
4. Normal PO2 (pre-oksigenasi hingga arterial PO2 > 200mmHg
Setelah semua prasyarat terpenuhi, dilakukan tes apnoe dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Pasang pulse oximeter dan lepaskan ventilator
2. Berikan pasokan 100% O2 seanyak 6L/menit ke trakea, dengan
meletakkan cannula pada level carina
3. Periksa apakah ada pergerakan napas abdominal atau napas dada
yang memproduksi volum tidal
4. Ukur PO2, PCO2, dan pH arteri setelah 8 menit dan hubungkan
kembali ventilator
5. Apabila pergerakan napas absen dan PCO2 arteri > 60mmHg atau
ada kenaikan 20mmHg dari nilai baseline PCO2, maka tes apnoe
dinyatakan positif (mendukung diagnosis mati batang otak)
6. Hubungkan segera ventilator apabila dalam proses nya ditemukan
tekanan darah yang tiba-tiba menurun < 90mmHg (atau dibawah
standar usia pada anak kurang dari 18 tahun), pulse oximeter
menunjukkan desaturasi signifikan, atau terdapat cardiac arrhythmia.
Pada analisa sampel gas darah :
1. Apabila PCO2 > 60mmHg atau terdapat kenaikan 20mmHg dari nilai
baseline PCO2, maka tes apnoe dinyatakan positif (mendukung
diagnosis mati batang otak)
2. Apabila PCO2 < 60mmHg dan tidak terdapat kenaikan 20mmHg dari
nilai baseline PCO2, maka tes apnoe dinyatakan tidak tentu dan
disarankan untuk melakukan tes ancillary/konfirmasi.
3. Ketika memungkinkan, apnoe tes 10 menit dapat dilakukan setelah
preoksigenasi dengan 1.0 FiO2 selama 10 menit dengan normalisasi
PaCO2 pasien ke 40mmHg (Goila and Pawar, 2009).

7
2.2 Kriteria Diagnosa Mati Batang Otak
Ada beberapa kriteria diagnosa untuk mati batang otak yaitu
harvard, minnesota, philadhelpia. Seperti pada tabel di bawah ini :

Tabel 1. Kriteria Harvard


unreceptivity dan tidak adanya respon
Temuan ini harus dinyatakan oleh dua tim independen, dengan dua
deklarasi dengan interval 6 jam di antara mereka
Tidak ada gerakan
Apnea
Tidak adanya refleks yang dapat diterima
Isoelektrik
Electroencephalogram

Tabel 2. Kriteria Minnesota


tekanan intrakranial yang diketahui tetapi tak tergantikan
Semua temuan harus tetap tidak berubah selama 12 jam
Tidak ada gerakan spontan
Apnea
Tidak adanya refleks batang otak

Tabel 3. Kriteria Philadhelpia


Tidak adanya responsif terhadap lingkungan internal dan eksternal
Tidak ada pernapasan spontan selama lebih dari 3 menit
Tidak ada gerakan otot dengan flacciditas menyeluruh
Tidak adanya refleks dan respons
Menurunnya tekanan arteri tanpa menggunakan obat-obatan atau
dengan tindakan lain
Elektroensefalogram isoelektrik direkam secara spontan dan selama
stimulasi sentuhan dan pendengaran
(Saran and Jagadish, 2019)

8
2.3 Penilaian reflek batang otak
Di batang otak terdapat inti saraf kranialis sehingga untuk
mengetahui reflek batang otak kita harus melakukan tes terhadap reflek
saraf kranialis, seperti berikut:
1. Pupil (fungsi saraf cranial II dan III) menilai ada tidaknya respon
terhadap cahaya terang, dengan ukuran midposition (4mm) atau
dilatasi (9mm).
2. Pergerakan okular (fungsi saraf cranial III, VI, dan VIII) menilai ada
tidaknya reflek oculocephalic, hanya diuji jika tidak ada
fraktur/instabilitas servikal/basis cranii. Menilai ada tidaknya respon
deviasi mata terhadap irigasi di telinga dengan menggunakan air
dingin, hanya diakukan apabila membrane timpani intak, dan respon
ditunggu hingga 1 menit. Berikan jarak waktu 5 menit per telinga
yang diuji.
3. Respon sensoris dan motoris facial ada tidaknya reflek korneal
(fungsi saraf cranial V dan VII) menilai ada tidaknya reflek rahang
(fungsi saraf cranial IX), dan ada tidaknya perubahan ekspresi
meringis terhadap tekanan kuku, daerah supraorbital, atau sendi
temporomandibular (fungsi saraf aferen V dan eferen VII)
4. Reflek faringeal dan trakeal (fungsi saraf cranial IX dan X) menilai
ada tidaknya respon setelah stimulasi pada faring posterior dan ada
tidaknya respon batuk pada suction tracheobronchial (Goila and
Pawar, 2009).
2.4 Tanggung Jawab Dokter Dalam Menentukan Kematian Otak
Diagnosis kematian otak terutama bersifat klinis. Tidak diperlukan
tes lain jika pemeriksaan klinis lengkap, termasuk masing-masing dari dua
penilaian refleks batang otak dan tes apnea tunggal, dilakukan dengan baik.
Apabila tidak ada temuan klinis lengkap yang konsisten dengan kematian
otak, atau tes konfirmasi yang menunjukkan kematian otak, kematian
batang otak tidak dapat ditegakkan dan disertifikasi. Pedoman ini berlaku
untuk pasien yang berusia satu tahun atau lebih (NHS, 2019).

9
2.4.1 Pemberitahuan Terhadap Kerabat Terdekat
Fasilitas kesehatan harus memberi tahu orang yang paling dekat
dengan pasien ketika proses untuk menentukan kematian otak sedang
berlangsung. Persetujuan pemeriksaan tidak perlu diperoleh tetapi
permintaan keberatan berdasarkan agama atau adat harus dicatat dan
disampaikan ke staf rumah sakit yang tepat. Jika anggota keluarga
keberatan dengan tes konfirmasi invasif, dokter sebaiknya mengonsulkan
kepada penasihat rumah sakit dan komite etik (NHS, 2019).
2.4.2 Interval Periode Observasi
Setelah pemeriksaan klinis pertama, pasien harus diamati untuk
jangka waktu tertentu bila terdapat manifestasi klinis yang tidak konsisten
dengan diagnosis kematian otak. Kebanyakan ahli sepakat bahwa periode
observasi per 6 jam sudah cukup dan masuk akal pada orang dewasa dan
anak-anak di atas usia 1 tahun. Interval yang lebih lama hanya disarankan
pada anak yang lebih kecil (NHS, 2019).
2.4.3 Repetisi Penilaian Klinis Reflek Batang Otak
Pemeriksaan sebagaimana dijelaskan di atas harus diulangi secara
menyeluruh dan didokumentasikan. Ketika terdapat keadaan klinis tidak
memungkinkan pemeriksaan lengkap dan menyeluruh pada semua tahap
dalam pemeriksaan klinis, hal tersebut harus tetap didokumentasikan
(NHS, 2019).
2.4.4 Indikasi Confirmary Test
Ketika pemeriksaan klinis lengkap, termasuk penilaian refleks
batang otak dan tes apnea didapatkan hasil yang konklusf/meyakinkan,
tidak diperlukan pengujian tambahan untuk menentukan kematian batang
otak. Pada beberapa pasien, kondisi cedera tengkorak atau cedera servikal,
ketidakstabilan kardiovaskular, atau faktor-faktor lain mungkin menghalangi
pemeriksaan secara menyeluruh. Dalam keadaan seperti itu, tes konfirmasi
yang memverifikasi kematian batang otak diperlukan. Tes-tes ini juga dapat
digunakan untuk memvalidkan penilaian staf medis dan meyakinkan
anggota keluarga. Tes konfirmasi yang dapat dilakukan antara lain adalah:

10
a. Angiography (konvensional, computerized tomographic, magnetic
resonance, radionuclide)
Kematian otak dikonfirmasi apabila tidak ditemukan isi intraserebral
pada level carotid bifurcation atau Circle of Willis.
b. Electroencephalography (EEG)
Kematian otak dikonfirmasi melalui dokumentasi rekaman otak yang
absen selama 30 menit yang memenuhi prasyarat yang telah
ditetapkan oleh AES.
c. Nuclear brain scanning
Kematian otak dikonfirmasi melalui ketiadaan uptake isotope di
parenkim otak dan/atau vasculature otak, tergantung pada jenis
isotope dan teknik yang digunakan.
d. Somatosensory evoked potentials
Kematian otak dikonfirmasi melalui tidak adanya N20-P22 response
secara bilateral ketika di stimulasi dengan teknik nerve median.
e. Transcranial doppler ultrasonography
Kematian otak dikonfirmasi bila hanya ada puncak sistolik kecil tanpa
adanya aliran diastolik, atau aliran yang tidak teratur, yang
mengindikasikan resistensi vascular yang sangat tinggi, yang
berkaitan dengan peningkatan tekanan intrakranial yang sangat
hebat.
2.5 Sertifikasi Kematian Otak
Kematian batang otak dapat di sertifikasi oleh satu orang dokter saja
yang memeriksa dan memastikan kematian otak. Namun jika seorang
pasien dalam proses menjadi donor organ, berdasarkan hukum donor
organ New York, terdapat syarat bahwa kematian otak harus dipastikan
oleh seorang dokter yang memeriksa kematian otak dan satu orang saksi
dokter lain. Kedua dokter yang menjadi saksi kematian otak pasien tidak
boleh merupakan dokter yang akan melakukan transplantasi organ untuk
menghindari adanya konflik kepentingan eksternal, termasuk kepentingan
resipien organ (Goila and Pawar, 2009).

11
Dalam proses dokumentasi, semua fase dari penentuan kematian
otak haruslah dicatat dengan jelas pada rekam medis. Termasuk yang
harus dituliskan dalam rekam medis adalah:
i. Etiologi dan ditemukannya koma ireversibel
ii. Tidak adanya respon motorik terhadap nyeri
iii. Tidak adanya reflek batang otak dalam 2 pemeriksaan terpisah
dalam jarak 6 jam.
iv. Tidak adanya respirasi spontan dengan pCO2 > 60mmHg
v. Hasil pada uji konfirmasi tambahan jika digunakan (Goila and Pawar,
2009).
2.6 Kematian Batang Otak Pada Anak-anak Kurang Dari 1 Tahun
Sebagai kebijakan umum, otak bayi dan anak kecil mengalami
peningkatan resistensi terhadap kerusakan dan dapat memulihkan fungsi
substansial bahkan setelah menunjukkan keadaan tidak respons pada
pemeriksaan neurologis untuk periode yang lebih lama dibandingkan
dengan orang dewasa. Ketika menerapkan kriteria neurologis untuk
menentukan kematian pada anak di bawah satu tahun, diperlukan periode
pengamatan yang lebih lama ketimbang pada dewasa. Selama periode
observasi tersebut, pasien tidak boleh mengalami hipotermi atau hipotensi
sesuai dengan usia. Periode observasi tergantung pada usia pasien:
1. Belum terdapat kriteria yang pasti untuk menentukan kematian otak
pada anak kurang dari 7 hari
2. Untuk anak usia 7 hari hingga 2 bulan, kematian otak dipastikan
dengan pemeriksaan sebanyak dua kali yang diikuti EEG, dengan
jarak waktu 48 jam.
3. Untuk anak usia 2 bulan hingga 1 tahun, kematian otak dipastikan
dengan pemeriksaan sebanyak dua kali yang diikuti EEG, dengan
jarak waktu 24 jam. Pemeriksaan ulangan tidak dibutuhkan jika dapat
dipastikan dengan gambaran angiografik.

12
2.7 Pengamatan Klinis Yang Tidak Sesuai Dengan Diagnosis
Kematian Otak
Manifestasi berikut kadang-kadang terlihat dan tidak boleh
disalahartikan sebagai bukti fungsi batang otak masih aktif:
1. gerakan tungkai spontan selain fleksi patologis atau respons
ekstensi
2. respiratory like movements (elevasi dan aduksi bahu, gerakan
punggung melengkung, ekspansi interkostal tanpa volume tidal yang
signifikan)
3. berkeringat, flushing, takikardia
4. tekanan darah normal tanpa dukungan farmakologis atau
peningkatan tekanan darah mendadak
5. diabetes insipidus absence
6. reflek deep tendon, reflek abdominal superfisial, respon triple fleksi
7. reflek Babinski (Goila and Pawar, 2009).
2.8 Kematian Batang Otak Menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia
Penentuan kematian ditulis di BAB 2 dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia (PERMENKES). Bagian ke satu yaitu
kematian batang otak secara umum di tulis dalam pasal 4 yaitu : (1)
Penentuan kematian seseorang dapat dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan atau di luar fasilitas pelayanan kesehatan. Dan (2) Penentuan
kematian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus menjunjung tinggi nilai
dan norma agama, moral, etika, dan hukum. Pasal 5 yaitu (1) Penentuan
kematian di fasilitas pelayanan kesehatan harus dilakukan oleh tenaga
medis, (2) Tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diutamakan
dokter, dan (3) Dalam hal tidak ada tenaga medis sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 penentuan kematian dapat dilakukan oleh perawat atau bidan.
Pasal 6 yaitu Penentuan kematian di luar fasilitas pelayanan kesehatan
dapat dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan lainnya yang
memiliki kewenangan. Pasal 7 yaitu Penentuan kematian seseorang dapat

13
dilakukan dengan menggunakan kriteria diagnosis kematian
klinis/konvensional atau kriteria diagnosis kematian mati batang otak.
Penentuan kematian klinis atau konvensional dijelaskan dalam
bagian kedua menurut pasal 8 yang berbunyi (1) Kriteria diagnosa kematian
klinis/konvensional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 didasarkan pada
telah berhentinya fungsi sistem jantung sirkulasi dan sistem pernafasan
terbukti secara permanen. (2) Proses penentuan kematian
klinis/konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan sesuai
standar profesi, standar pelayanan, dan standar operasional prosedur
Pada bagian ketiga dimana dijelaskan penentu kematian batang otak
yang terdira dari pasal 9, 10 dan 11. Isi pasal-pasal berikut dibawah :
Pasal 9 :
1. Penentuan seseorang mati batang otak hanya dapat dilakukan oleh
tim dokter yang terdiri atas 3 (tiga) orang dokter yang kompeten.
2. Anggota tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melibatkan
dokter spesialis anestesi dan dokter spesialis syaraf.
3. Dalam hal penentuan mati batang otak dilakukan pada calon donor
organ, maka tim dokter bagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan
merupakan dokter yang terlibat dalam tindakan transplantasi.
4. Masing-masing anggota tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
melakukan pemeriksaan secara mandiri dan terpisah.
5. Diagnosis mati batang otak harus dibuat di ruang rawat intensif
(Intensive Care Unit).
Pasal 10 :
1. Pemeriksaan seseorang mati batang otak dilakukan pada pasien
dengan keadaan sebagai berikut:
a. koma unresponsive/GCS 3 atau Four Score 0;
b. tidak adanya sikap tubuh yang abnormal (seperti dekortikasi,
atau deserebrasi); dan
c. tidak adanya gerakan yang tidak terkoordinasi atau sentakan
epileptik.

14
2. Syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan pemeriksaan mati
batang otak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. terdapat prakondisi berupa koma dan apnea yang disebabkan
oleh kerusakan otak struktural ireversibel akibat gangguan
yang berpotensi menyebabkan mati batang otak; dan
b. tidak ada penyebab koma dan henti nafas yang reversibel
antara lain karena obat-obatan, intoksikasi, gangguan
metabolik dan hipotermia.
Pasal 11 :
Prosedur pemeriksaan mati batang otak dilakukan sebagai berikut:
a. memastikan arefleksia batang otak yang meliputi:
1. tidak adanya respons terhadap cahaya;
2. tidak adanya refleks kornea;
3. tidak adanya refleks vestibulo-okular;
4. tidak adanya respons motorik dalam distribusi saraf kranial terhadap
rangsang adekuat pada area somatik; dan
5. tidak ada refleks muntah (gag reflex) atau refleks batuk terhadap
rangsang oleh kateter isap yang dimasukkan ke dalam trakea.
b. memastikan keadaan henti nafas yang menetap dengan cara:
1. pre – oksigenisasi dengan O2 100% selama 10 menit;
2. memastikan pCO2 awal testing dalam batas 40-60 mmHg dengan
memakai kapnograf dan atau analisis gas darah (AGD);
3. melepaskan pasien dari ventilator, insuflasi trakea dengan O2 100%,
6 L/menit melalui kateter intra trakeal melewati karina;
4. observasi selama 10 menit, bila pasien tetap tidak bernapas, tes
dinyatakan positif atau berarti henti napas telah menetap.
c. bila tes arefleksia batang otak dan tes henti napas sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b dinyatakan positif, tes harus diulang
sekali lagi dengan interval waktu 25 menit sampai 24 jam.
d. bila tes ulangan sebagaimana dimaksud pada huruf c tetap positif, pasien
dinyatakan mati batang otak, walaupun jantung masih berdenyut.

15
e. bila pada tes henti napas timbul aritmia jantung yang mengancam nyawa
maka ventilator harus dipasang kembali sehingga tidak dapat dibuat
diagnosis mati batang otak (PERMENKES, 2014).

16
BAB 3
KESIMPULAN

Kematian batang otak dapat terjadi ketika pasokan darah dan/atau


oksigen ke otak berhenti. Ini dapat disebabkan oleh henti jantung, serangan
jantung, dan stroke. Untuk menentukan mati batang otak perlu pemeriksaan
fisik yang memberikan etiologi disfungsi otak yang jelas, menyingkirkan
segala kondisi yang memungkinkan menyebabkan gangguan batang otak,
memeriksa reflex saraf kranialis, dan diperlukan tes apneu. Ada beberapa
kriteria diagnosis mati batang otak salah satunya menurut Harvard dimana
ada 7 poin yaitu unreceptivity dan tidak adanya respon, Temuan ini harus
dinyatakan oleh dua tim independen dengan dua deklarasi dengan interval
6 jam di antara mereka, Tidak ada gerakan, apnea, Tidak adanya refleks
yang dapat diterima, Isoelektrik, dan Electroencephalogram. Seorang
dokter bisa menentukan mati batang otak dan sudah diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

17
Daftar Pustaka

Goila K.A., and Pawar M.,. 2009. The diagnosis of brain death. Indian
society of critical care medicine.DOI: 10.4103/0972-5229.53108
NHS, 2019, “brain death”. https://www.nhs.uk/conditions/brain-death/. (20
Oktober 2019).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Kematian, Organ
donor, penentu dan pemanfaatan. No. 1023,2014.
Saran J., and Jagadish R.P., 2019. Brain Stem Death – an overview.
Medico-legal Journal.
Wijdicks E., Valeras P., Gronseth G., Greer D., Gandey A. 2010.
Evidence-based guideline update: Determining brain death in adults.
American acedemy of neurology. Hal : 1911-1918.

18

Anda mungkin juga menyukai