PENDAHULUAN
Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan
berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Intoksikasi atau
keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada
kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat
menyebabkan keracunan. senyawa kimia dalam tubuh manusia yang
menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya. Ada beberapa hal
yang dapat menyebabkan keracunan antara lain dosisnya, cara pemberiannya,
kondisi tubuh dan lainnya. Racun terbagi atas beberapa klasifikasi yang masing-
masing dapat menyebabkan manifestasi klinis yang berbeda-beda (spesifik).
Oleh karena intoksisitas merupakan suatu keadaan kegawatdaruratan,
diharapkan mahasiswa mampu memahami definisi, klasifikasi, patogenesis,
manifestasi klinis, tatalaksana kegawatdaruratan, terapi spesifik, komplikasi,
hingga prognosis dari pasien intoksikasi.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan makalah ini, yaitu:
1. Mahasiswa mampu memahami definisi intoksikasi.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan jenis-jenis bahan beracun dan
mekanisme kerja masing-masing bahan.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan manifestasi klinis akibat racun
spesifik.
4. Mahasiswa mampu melakukan pengamanan kegawatdaruratan pada
kasus intoksikasi.
GALAU 1
5. Mahasiswa mampu menjelaskan tatalaksana spesifik tiap jeis bahan
racun.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi dan prognosis dari
kasus intoksisitas.
1.3 Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui definisi intoksikasi
2. Untuk mampu menjelaskan jenis-jenis bahan beracun dan mekanisme
kerja masing-masing bahan.
3. Untuk mampu menjelaskan manifestasi klinis akibat racun spesifi.
4. Untuk mampu melakukan pengamanan kegawatdaruratan pada kasus
intoksikasi.
5. Untuk mampu menjelaskan tatalaksana spesifik tiap jeis bahan racun.
6. Untuk mampu menjelaskan komplikasi dan prognosis dari kasus
intoksisitas.
GALAU 2
BAB II
PEMBAHASAN
LBM 2
GALAU
GALAU 3
2.3. PEMBAHASAN LBM
I. Klarifikasi Istilah
GALAU 4
4. Sebutkan petogenesis akibat intoksikasi inseksitida yang terjadi di
dalam tubuh!
GALAU 5
sekitarnya. Pada anak muda kadang-kadang dilakukan untuk
coba-coba tanpa disadari bahwa tindakan ini dapat
membahayakan dirinya.
Attemted suicide: dalam hal ini, pasien memang bermaksud
untuk bunuh diri, tetapi bisa berakhir dengan kematian atau
pasien sembuh kembali bila ia salah tafsir tentang dosis yang
dimakanya.
Accidental poisoning: ini jelas merupakan kecelakaan, tanpa
factor sengaja sama sekali.
Homicidal poisoning: keracunan ini akibat tindakan criminal
yaitu seseorang dengan sengaja meracuni orang lain (Setyohadi,
2019).
c. Berdasarkan waktu terjadinya keracunan di bagi menjadi yang
bersifat akut dan kronik.
Untuk akut lebih mudah dikenal daripada keracunan kronik,
biasanya terjadi mendadak setelah makan sesuatu. Ciri lain ialah
sering mengenai orang banyak, misalnya pada kercunan
makanan, dapat mengenai seluruh keluarga atau warga
sekampung. Gejala keracunan akut dapat menyerupai setiap
sindrom penyakit, karena itu harus selalu diingat kemungkinan
keracunan pada keadaan sakit mendadak dengan gejala seperti
muntah, kejang, diare, koma, dan sebagainya (Sudoyo, 2015).
Untuk diagnosis keracunan kronik sulit dibuat karena gejala
yang timbul perlahan dan lama sesudah pajanan. Gejala dapat
timbul akut sesudah pajanan berkali-kali dalam waktu yang
cukup lama dan dengan dosis yang kecil. Suatu ciri khas ialah
bahwa zat penyebab dieksresi lebih lama dari 24 jam, waktu
paruhnya panjang, sehingga terjadi akumulasi (Sudoyo, 2015).
GALAU 6
2. Sebutkan jenis-jenis dari racun!
Jawaban :
Racun merupakan suatu bahan yang memiliki kemampuan untuk
menimbulkan efek yang merugikan bagi makhluk hidup. Racun dapat
diklasifikan menurut aksinya, diantaranya :
a. Racun korosif, yaitu racun atau agen pengiritasi yang sangat aktif untuk
menghasilkan peradangan dan ulserasi jaringan. Kelompok ini terdiri
dari asam kuat dan basa kuat.
b. Racun iritan, yaitu racun yang dapat menghasilkan gejala sakit perut
dan muntah. Racun ini terbagi atas :
Racun anorganik
o Logam, seperti arsen, merkuri, timbal, tembaga, dan antimon.
o Non-Logam, seperti fosfor, klorin, bromin, dan iodin.
Racun organik
o Tumbuhan, seperti minyak jarak, jengkol, dan singkong.
o Hewan, seperti bisa ular, kalajengking, dan laba-laba.
c. Racun mekanik, seperti bubuk kaca dan debu berlian.
d. Racun saraf (neurotoksik), yaitu racun ini beraksi di sistem saraf pusat.
Gejala yang ditimbulkan biasanya sakit kepala, mengantuk, pusing,
delirium, stupor, koma, dan kejang. Terbagi atas :
Racun serebral, seperti opium, alkohol, agen sedative, agen hipnotik,
dan anastetik.
Racun spinal, seperti Strychinine.
Racun peripheral, seperti Curare.
e. Racun jantung (kardiotoksik), seperti digitalis dan rokok.
f. Racun hepar (hepatotoksik), dapat diakibatkan oleh obat-obatan
analegsik-antipiretik seperti paracetamol.
g. Racun ginjal (nefrotoksik), dapat disebabkan oleh obat-obatan NSAID
seperti ibuprofen dan naproxen ataupun obat anti-hipertensi seperti
ACE-inhibitor (lisinopril, ramipril, captopril, dan enalapril) atau
GALAU 7
Angitensin-Reseptor Blocker / ARB (candesartan, losartan, dan
olmesartan) (Hoffman, 2007).
GALAU 8
besar kholin. Ini menunjukkan adanya mekanisme dalam tubuh
untuk mempertahankan kholin dalam plasma pada kadar yang
konstan. Jenis kelamin sangat mempengaruhi aktivitas enzim
kolinesterase, jenis kelamin laki-laki lebih rendah dibandingkan
jenis kelamin perempuan karena pada perempuan lebih banyak
kandungan enzim kolinesterase, meskipun demikian tidak
dianjurkan wanita menyemprot dengan menggunakan pestisida,
karena pada saat kehamilan kadar rata-rata kolinesterase
cenderung turun (Abbas, 2015).
Tingkat pendidikan
Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan
memberikan tambahan pengetahuan bagi individu tersebut,
dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan
pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya juga lebih baik
jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah,
sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi
akan lebih baik (Hammer, 2014).
B. Faktor di luar tubuh (eksternal)
Dosis
Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar
semakin mempermudah terjadinya keracunan pada petani
pengguna pestisida. Dosis pestisida berpengaruh langsung
terhadap bahaya keracunan pestisida, hal ini ditentukan dengan
lama pajanan. Untuk dosis penyemprotan di lapangan
khususnya golongan organofosfat, dosis yang dianjurkan 0,5 –
1,5 kg/ha (Sudoyo, 2015).
Lama kerja
Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin
sering kontak dengan pestisida sehingga risiko terjadinya
keracunan pestisida semakin tinggi. Penurunan aktivitas
kolinesterase dalam plasma darah karena keracunan pestisida
GALAU 9
akan berlangsung mulai seseorang terpapar hingga 2 minggu
setelah melakukan penyemprotan (Sudoyo, 2015).
Tindakan penyemprotan pada arah angin
Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat
melakukan penyemprotan. Penyemprotan yang baik bila searah
dengan arah angin dengan kecepatan tidak boleh melebihi 750
m per menit. Petani pada saat menyemprot melawan arah angin
akan mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan petani
yang saat menyemprot searah dengan arah angin (Abbas, 2015).
Frekuensi penyemprotan
Semakin sering melakukan penyemprotan, maka
semakin tinggi pula resiko keracunannya. Penyemprotan
sebaiknya dilakukan sesuai dengan ketentuan. Waktu yang
dibutuhkan untuk dapat kontak dengan pestisida maksimal 5
jam perhari (Hammer, 2014).
Jumlah jenis pestisida
Jumlah jenis pestisida yang banyak yang digunakan
dalam waktu penyemprotan akan menimbulkan efek keracunan
lebih besar bila dibanding dengan penggunaan satu jenis
pestisida karena daya racun atau konsentrasi pestisida akan
semakin kuat sehingga memberikan efek samping yang semakin
besar (Sudoyo, 2015).
Toksisitas
Merupakan kesanggupan pestisida untuk membunuh
sasarannya. Pestisida yang mempunyai daya bunuh tinggi dalam
penggunaan dengan kadar yang rendah menimbulkan gangguan
lebih sedikit bila dibandingkan dengan pestisida dengan daya
bunuh rendah tetapi dengan kadar tinggi. Toksisitas pestisida
dapat diketahui dari LD 50 oral dan dermal yaitu dosis yang
diberikan dalam makanan hewan-hewan percobaan yang
GALAU 10
menyebabkan 50% dari hewan-hewan tersebut mati (Hoffman,
2007).
(Hoffman, 2007).
GALAU 11
Pada sistem saraf perifer, asetilkolin dilepaskan di ganglion
otonomik mellaui sinaps pregangliion simpatis dan parasimpatis, sinaps
postganglion parasimpatis, dan neuro-muscular junction pada otot rangka.
Pada sistem saraf pusat, reseptor asetilkolin berperan pada terjadinya
toksisitas organofosfat yang menyebabkan terjadinya gangguan pada pusat
pernapasan dan vasomotor. Ketika asetilkolin dilepaskan, peranannya
melepeaskan neurotransmitter untuk memperbanyak konduksi saraf perifer
dan pusat atau memulaikontraksi otot. Efek asetilkolin diakhiri melalui
hidrolisis dengan munculnya enzim asetilkolinesterase (AChe). Terdapat
dua bentuk dari AChe ini, yaitu true cholinesterase (asetilkolinesterase)
yang ditemukan pada eritrosit, saraf, dan neuromuscular junction serta
pseudocholinesterase atau serum cholinesterase yang ebrada terutama di
serum, plasma, dan hati (Abbas, 2015).
Insektisida organofosfat menghambat AChe melalui proses
fosforilasi pada gugus esteranion. Ikatan fosfor ini sangat kuat dan bersifat
irreversible. Aktivitas AChe tetap dihambat sampai enzim baru terbentuk
atau suatu reaktivator kolinesterase diberikan. Dengan berfungsi sebagai
anti-kolinesterase, kerjanya menginaktifkan enzim kolinesterase yang
berfungsi menghidrolisis neurotransmitter asetilkolin menjadi kolin yang
tidak aktif. Akibatnya terjadi penumpukan ACh pada sinaps-sinaps
kolinergik dan hal tersebut dihubungkan dengan stimulasi reseptor perifer
muskarinik. Pada dosis yang lebih besar juga dapat memepengaruhi reseptor
nikotinik dan reseptor sentral muskarinik (Sudoyo, 2015).
GALAU 12
halusinasi, koma, dan halusinasi, koma, dan
konvulsi) konvulsi)
Midriasis Miosis
Bronkodilatasi Lakrimasi
Takidistritmia Salivasi
Hipertensi Bronkorea
Retensi urin Bronkospasme
Hiperglikemia Bradidisritmia
Motilitas saluran cerna
Inkontenensia urin
(Sudoyo, 2015)
GALAU 13
dari gejala-gejala yang ditimbulkan pada pasien tersebut seperti muntah,
hipotensi, hipersalivasi, rhinorrhea, nyeri ulu hati
(Hoffman, 2007).
GALAU 14
IV. Rangkuman Permasalahan
Intoksikasi
Patogenesis
Menentukan Diagnosis
Pasien
Managemen Penatalaksanaan
Resusitasi Cairan
Kegawatdaruratan Spesifik
GALAU 15
Setiap racun dapat menimbulkan manifestasi tersendiri atau khas.
Sehingga perlu dilakukan beberapa analisa untuk mengidentifikasi
penyebab spesifik dari racun yang terabsorbsi oleh pasien. Intoksikasi
sendiri merupakan suatu keadaan kegawatdaruratan yang mengancam jiwa,
sehingga perlu dilakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan yang tepat dan
cepat.
GALAU 16
V. Learning Issue
GALAU 17
VI. Referensi
Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar,V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi
9. Singapura : Elsevier Saunders
Guyton, A. C., Hall, J.E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12.
Jakarta : EGC
Sudoyo, AW., Setiati S., Stiyohadi B., Syam AF. 2015. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta : Internal
Publishing
GALAU 18
VII. Pembahasan Learning Issue
GALAU 19
CCl4) - Syaraf pusat dan
- Alcohol (etanol, leukemia
methanol)
- Hidrokarbonaromatik
(benzena)
3. Gas-gas - Aspiksian biasa (N2, - Sesak napas,
beracun argon, helium) kekurangan
- Aspiksia kimia (CO2, oksigen
C2H2) - Sesak napas
- Asam sianida (HCN) - Pusing
- Asam sianida (H2S) - Sesak napas,
- Karbon monoksida (CO) kejang, hilang
- Nitrogen oksida (NO2) kesadaran
- Sesak napas, otak,
jantung, syaraf,
hilang kesadaran
- Sesak napas, iritasi,
kematian
(Linden, 2012).
GALAU 20
Tabel contoh bahan korosif berdasarkan wujud
GALAU 21
dalam air atas dan bagian dalam dan brom (Br2).
sedang
(Linden, 2012).
Logam berat
Keberadaan logam berat bisa berupa logam murni, paduan atau
dalam bentuk senyawa. Dalam keadaan murni berupa padatan pada suhu
kamar, dalm bentuk serbuk, bogkahan atau dalam bentuk lain, kecuali
merkurium (raksa) dalam bentuk cairan. Begitu pula logam paduan dapat
berupa padatan atau cairan/larutan. Dalam bentuk senyawa pada umumnya
memiliki warna khas sesuai dengan formula senyawanya (Bakta, 1998).
Tabel logam berat dan pengaruhnya terhadap kesehatan
No. Logam Bentuk senyawa Pengaruh terhadap
kesehatan
1. Timbal, Pb Pb, senyawa Penghambat
pembentukan
hemoglobin, anemia,
gangguan otak.
GALAU 22
4. Arsen, As As, AS3+, AS5+ Batu ginjal, anemia,
lever, cirrhosis,
kanker, kelenjar
prostat
(Linden, 2012).
GALAU 23
barbiturat, benzodiazepin, meprobamat, clonidin, dan etanol (Budiawan,
2013).
Siodronia Kolinergik
Tanda-tanda: Bingung, depresi sistem saraf pusat, lemas, salivasi,
lakrimasi, inkontinensia urin dan fekal, kram gastrointestinal, emesis,
diaphoresis, fasciku1ai otot, udema pulmo, miosis, bradikardia atau
GALAU 24
B. Pemeriksaan fisik
Gejala umum
Cari sindrom autonomic, termasuk tekanan darah, nadi,
pupil, keringat dan aktivitas peristaltik. Pemeriksaan fisik yang
cepat juga diperlukan untuk menentukan tatalaksana lebih
lanjut. Pemeriksaan meliputi; (1) jalan napas, (2) ventilasi yang
bagus, (3) tanda vital, (4) keadaan mental, (5) ukuran dan refleks
pupil (Sidharta, 2012).
Penilaian keadaan klinis yang paling awal adalah status
kesadaran dengan GCS (Glasgow Coma Scale). Apabila pasien
tidak sadar dan tidak ada keterangan apapaun (alloanamnesis)
maka diagnosis keracunan dapat dilakukan pereksklusionam.
Untuk keracunan secara umum dapat digunakan skor yaitu
Poisoning System Score (PSS) (Linden, 2012).
Pemeriksaan mata
Perubahan ukuran pupil, serta posisi pupil (nystagmus)
dapat terjadi tergantung jenis obat/racun. Miosis: kolinergik,
klonidin, opiates, organofosfat, phenothiazine, pilokarpin,
pontine bleed, sedatip hipnotik (COPS). Midriasis: antihistamin,
antidepressant, antikolinergik, atropine, simpatomimetik
(AAAS) (ACEP, 2014).
Pemeriksaan neuropati
Pemeriksaan abdomen: pada pemeriksaan abdomen yang harus
di periksa adalah peristaltic, ileus, distensi abdomen, muntah
(hematemesis) dan lain-lain.
Pemeriksaan kulit
Pemeriksaan bau atau aroma racun
Sejumlah racun dapat dikenali lewat baunya. Namun
demikian kadang bau racun akan tertutupi dengan bau muntah
sehingga akan menyulitkan deteksi bau racun (Sudoyo, 2015).
C. Pemeriksaan penunjang
GALAU 25
Analisis toksikologi harus dilakukan sedini mungkin. Hal ini
selain dapat membantu penegakan diagnosis, juga berguna untuk
penyidikan polisi pada kasus kejahatan.
Pemeriksaan radiologi: pemeriksaan radiologi perlu dilakukan
terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui inhalasi
atau dugaan adanya perforasi lambung (Sudoyo, 2015).
Laboratorium klinik
Pemeriksaan ini penting dilakukan terutama analisis gas
darah. Beberapa gangguan gas darah dapat membantu
penegakkan diagnosis penyebab keracunan. Pemeriksaan fungsi
hati, ginjal, dan sedimen urin harus pula dilakukan karena selain
berguna untuk mengetahui dampak keracunan juga dapat
dijadikan sebagai dasar diagnosis penyebab keracunan.
Pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dan darah perifer
lengkap juga harus dilakukan (Abbas, 2015).
Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pasa kasus keracunan
karena sering diikuti terjadinya gangguan irama jantung yang
berupa sinus takikardia, sinus bradikardia, takikardia
supraventrikular, takikardia ventrikular, torsode de pointes,
fibrilasi ventrikular, asistol, dan disosiasi elektromekanik.
Beberapa faktor predisposisi timbulnya aritmia pada keracunan
adalah keracunan obat kardiotoksik, hipoksia, nyeri dan
ansietas, hiperkarbia, ganguan elektrolit darah, hivolemia, dan
penyakit dasar jantung iskemik (Abbas, 2015).
GALAU 26
Elimination), pemberian antidot dan tindakan suportif. Penanganan khusus
tergantung jenis racun (Linden, 2015).
A. Penanganan Umum
Sebelum melakukan tindakan, terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan kesadaran pada pasien. Ada dua metode yang bisa
digunaakan yaitu GCS dan AVPU. Menggunakan sistem AVPU,
dimana pasien diperiksa apakah sadar baik (alert), berespon dengan
kata-kata (verbal), hanya berespon jika dirangsang nyeri (pain), atau
pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik verbal maupun
diberi rangsang nyeri (unresponsive) (Linden, 2015).
o Airway
Bebaskan jalan nafas dari sumbatan. Apabila perlu pasang
pipa endotrakeal. Head tilt-chin lift dan jaw trust harus kita lakukan
agar jalan nafas tetap terbuka dalam hal ini look, listen and feel dapat
juga kita lakukan. Walaupun look, listen and feel adalah
pemeriksaan pada breathing perlu diingat bahwa setiap penderita
yang dapat berbicara dengan jelas untuk sementara menjamin bahwa
jalan nafasnya tidak ada masalah (ACSC, 2015).
o Look
Lihat apakah kesadaran penderita berubah, bila penderita
menjadi gelisah kemungkinan besar karena hipoksia. Sianosis akibat
hipoksia dapat dilihat pada kuku dan sekitar mulut. Perhatikan juga
adanya penggunaan otot pernapasan tambahan (ACSC, 2015).
o Listen
Pernapasan yang berbunyi adalah pernapasan yang
terobstruksi
1. Snoring (mengorok) : Pangkal lidah jatuh ke belakang.
Penanganan : Head tilt-chin lift, Jaw Trust, OPA/ NPA
2. Gargling : Adanya darah atau cairan pada tenggorokan
GALAU 27
Penanganan : Miringkan (logroll), suction, finger sweep.
3. Stridor : Disebabkan obstruksi parsial (edema) atau spasme dari
faring atau laring.
Penanganan : Airway definitif, intubasi, needle
cricothiroidotomi (Linden, 2015).
o Feel
Rasakan pergerakan udara ekspirasi. Dengan look listen feel
kita dapat mengetahui beberapa hal diantaranya ada sumbatan jalan
nafas parsial / total karena memang kedua hal inilah yang kita cari
dan temukan pada pemeriksaan jalan nafas. Obstruksi jalan nafas
pada penderita tidak sadar dapat disebabkan oleh benda asing,
cairan, lidah jatuh ke belakang dan sebagainya (Sudoyo, 2015).
o Breathing
Jaga agar pasien dapat bernapas dengan baik. Apabila perlu
berikan bantuan pernapasan. 1 Ventilasi yang baik meliputi fungsi
yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen
ini harus dievaluasi secara cepat. Ventilasi dikatakan baik apabila: 10
Peranjakan dada simetris
Penderita tidak sesak
Tidak disertai suara, gurgling, snoring, crowing
Tidak sianosis (Sudoyo, 2015).
o Circulation
Tekanan darah dan nadi dipertahankan dalam batas normal.
Berikan infus cairan dengan normal salin, dextrosa atau ringer laktat.
Pembemberian informasi mengenai keadaan hemodinamik ini yakni
tingkat kesadaran, warna kulit, nadi dan tekanan darah (Sudoyo,
2015).
Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat
berkurang, yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran
(walaupun demikian kehilangan darah dalam jumlah banyak
GALAU 28
belum tentu mengakibatkan gangguan kesadaran) (Hoffman,
2007).
Warna kulit
Wama kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia.
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada
wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam keadaan
hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan dan kulit
ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia. Bila
memang disebabka hipovolemia, maka ini menandakan
kehilangan darah minimal 30% volume darah (Miller, 2015).
Nadi
Nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri
carotis harus diperiksa bilateral, untuk kekuatan nadi,
kecepatan dan irama. Pada syok nadi akan kecil dan cepat.
Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan
tanda normovolemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan
tanda hipovolemia, namun harus diingat sebab lain yang
dapat menyebabkannya. Nadi yang tidak teratur biasanya
merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya
pulsasi dan nadi sentral (arteri besar) merupakan pertanda
diperlukannya resusitasi (Miller, 2015).
Tekanan Darah
Jangan terlalu percaya kepada tekanan darah dalam
menentukan syok karena tekanan darah sebelumnya tidak
diketahui dan diperlukan kehilangan volume darah lebih dari
30% untuk dapat terjadi penurunan tekanan darah (Sudoyo,
2015).
o Dekontaminasi
Dekontaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan
untuk menurunkan pemaparan terhadap racun, mengurangi absorpsi
GALAU 29
dan mencegah kerusakan. Petugas, sebelum memberikan
pertolongan harus menggunakan pelindung diri berupa sarung
tangan, masker, dan apron. Tindakan dekontaminasi tergantung
pada lokasi tubuh yang terkena racun (Sudoyo, 2015).
Dekontaminasi pulmonal
Yaitu berupa tindakan menjauhkan korbandari
pemaparan inhalasi zat racun. Monitor kemungkinan gawat
napas dan berikan oksigen lembab 100% dan jika perlu
diberi ventilator (Sudoyo, 2015).
Dekontaminasi mata
Berupa tindakan untuk membersihkan mata dari
racun yaitu posisi kepala pasien ditengadahkan dan miringke
sisi mata yang terkena atau terburuk kondisinya. Buka
kelopak matanya perlahan dan irigasi dengan larutan
aquades atau NaCl 0,9% perlahan sampai racunnya
diperkirakan sudahhilang (hindari bekas larutan pencucian
mengenai wajah atau mata lainnya) selanjutnya tutup mata
dengan kassa steril dan segera konsulkan pada dokter mata.
Dekontaminasi kulit (rambut dan kuku) (Abbas, 2015).
Dekontaminasi paling awal adalah melepaskan
pakaian, arloji, sepatu, dan aksesoris lainnya dan masukkan
dalam wadah plastic yang kedap air dan tutup rapat. Cuci
(scrubbing) bagian kulit yang terkena dengan air mengalir
dan disabun minimal 10 menit. Selanjutnya keringkan
dengan handuk kering dan lembut (Abbas, 2015).
Dekontaminasi gastrointestinal
Penelanan merupakan rute pemaparan yang tersering
sehingga tindakan pemberian bahan pengikat (karbon aktif),
pengenceran atau mengeluarkan isi lambung dengan cara
induksi muntah atau aspirasi dan cuci lambung dapat
mengurangi jumlah paparan bahan toksik. Namun tindakan
GALAU 30
ini bersifat kontraindikasi pada kasus keracunan bahan
korosif, bahan berminyak, dan pada gangguan mental
(Linden,2015).
o Eliminasi
Tindakan ini merupakan tindakan untuk mempercepat
pengeluaran racun yang sedang beredar dalam darah atau dalam
saluran gastrointestinal setelah lebih dari 4 jam. Apabila masih
dalam saluran pencernaan dapat digunakan pemberian arang aktif
yang diberikan berulang dengan dosis 30-50 gram (0,5-1
gram/kgBB) setiap 4 jam per oral/enteral (Sudoyo, 2015).
GALAU 31
Penatalaksanaan pra-rumah sakit pada pasien dengan syok
hipovolemik sering dimulai pada tempat kejadian atau di rumah. Tim yang
menangani pasien sebelum ke rumah sakit sebaiknya bekerja mencegah
cedera lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit sesegera mungkin, dan
memulai penanganan yang sesuai. Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri
dari immobilisasi (pada pasien trauma), menjamin jalan napas yang adekuat,
menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi (Hammer, 2014).
Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif
dapat mengurangi aliran balik vena, mengurangi cardiac output, dan
memperburuk status/keadaan syok. Walaupun oksigenasi dan ventilasi
penting, kelebihan ventilasi tekanan positif dapat merusak pada pasien
dengan syok hipovolemik. Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai
tanpa keterlambatan transportasi. Beberapa prosedur, seperti memulai
pemberian infus atau fiksasi ekstremitas, dapat dilakukan ketika pasien
sudah dibebaskan. Namun, tindakan yang memperlambat pemindahan
pasien sebaiknya ditunda. Keuntungan pemberian cairan intravena segera
pada tempat kejadian tidak jelas. Namun, infus intravena dan resusitasi
cairan harus dimulai dan dilanjutkan dalam perjalanan ke tempat pelayanan
kesehatan (Lira, 2014).
GALAU 32
Metanol/Etilen Ethanol 4-metilpirazol 2,5 ml/kgBB ethanol 40%
glikol (vodka, gin) dalam air / jus
jeruk, oral 30 menit.
(Sudoyo, 2015)
GALAU 33
Atropin
Merupakan penatalaksanaan prioritas kedua untuk mengontrol
aktivitas muskarinik yang berlebihan. Atropin sulfat berkompetisi
dengan antagonis ACh pada reseptor muskarinik untuk menimbulkan
sekresi yang berlebihan, miosis, brenkospasme, muntah, diare,
diaphoresis, dan inkontenensia urin. Pada pedoman ACLS dan PALS,
keracunan serius ini kadang membutuhkan 1000 mg atropine dalam 24
jam dan total dosis yang dibutuhkan sampai 11.000 mg. Pemberian
atropin diharapkan dapat mengurangi sekresi lender pulmoner,
perubahan pupil, dan denyut jantung (Sudoyo, 2015).
Pralidoksim
Bekerja untuk memperbaiki AChe karena atropine tidak dapat
melawan efek nikotinik. Pemberian pradiloksim dilakukan ketika efek
toksik nikotinik muncul atau dosis atropine sesuai standar pedoman
ACLS atau PALS sudah berlebihan. Ikatan organofosfat dengan AChe
akan permanen seiring lamanya terpapar maka mulai pemberian terapi
2-PAM harus sesegera mungkin ketika ada indikasi (Hammer, 2014).
Dosis awal 2-PAM pada orang dewasa yaitu 2g intravena tiap
10-15 menit. Jika pemberian dosis awal berespon, maka 2-PAM
dilanjutkan tiap 6 jam sampai pasien bebas gejala dalam 24 jam
(Sudoyo, 2015).
Benzodiazepin
Pada penelitian dengan menggunakan hewan uji coba,
ditemukan bahwa diazepam dapat memperbaiki kesintasan dari korban
keracunan peptisida organofosfat berat. Efek yang timbullebih berupa
terminasi sederhana dari kejang. Dosis standar yang digunakan sama
pada pasien intubasi dan kejang (Sudoyo, 2015).
GALAU 34
7. Bagaimana komplikasi yang dapat terjadi pada pasien intoksikasi?
Jawaban :
Komplikasi dari intoksikasi di antaranya:
1) Gangguan pada SSP (Depresi pernapasan, hipotensi → kematian)
2) Gagal ginjal akut
3) Perforasi lambung
4) Aritmia, dll
5) Edema paru (Budiawan, 2013).
GALAU 35
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari hasil diskusi LBM 2 ini dapat disimpulkan bahwa, intoksikasi
dapat diartikan sebagai masuknya suatu zat kedalam tubuh yang dapat
menyebabkan ketidaknormalan mekanisme dalam tubuh bahkan sampai
dapat menyebabkan kematian. Keracunan dapat timbul akibat bunuh dini
(tentamen suicide), pembunuhan (homicide), maupun kecelakaan tidak
sengaja (accidental). Secara garis besar racun dapat diklasifikasikan
menjadi racun yang bersifat korosif, iritan, ataupun racun yang spesifik
dapat menimbulkan kelainan fungsional pada organ-organ tubuh tertentu.
Setiap racun dapat menimbulkan manifestasi tersendiri atau khas.
Sehingga perlu dilakukan beberapa analisa untuk mengidentifikasi
penyebab spesifik dari racun yang terabsorbsi oleh pasien. Intoksikasi
sendiri merupakan suatu keadaan kegawatdaruratan yang mengancam jiwa,
sehingga perlu dilakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan diantaranya
dengan melakukan survei primer untuk mengidentifikasi jalur nafas,
pernafasan sekaligus ventilasi, sirkulasi, dekontaminasi, sekaligus eliminasi
pada pasien. Penatalaksanaan seperti pemberian resusitasi cairan penting
diberikan terutama pada kasus-kasus syok hipovolemik. Pada pasien dengan
intoksikasi perlu diberikan antidotum yang berguna untuk menetralisir
racun (reaksi antigen-antibodi, khelasi, atau membentuk ikatan kimia),
mengantagonis efek fisiologis racun (mengaktivasi kerja sistem saraf yang
berlawanan, memfasilitasi aksi kompetisi metabolik/ reseptor substrat
tersebut).
GALAU 36