Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

SEMESTER V MODUL – 15 (PENDENGARAN, PENCIUMAN, DAN


TENGGOROK)

SKENARIO – 4

GANGGUAN MENELAN

DISUSUN OLEH : NADHILAH UMARAH SYAMDRA (71190811061)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai dengan kemampuan sederhana
yang kami miliki . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Agar ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Medan, 30 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I .............................................................................................................. 1

PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 2

1.3 Tujuan Pembelajaran.............................................................................. 3

BAB II ............................................................................................................ 4

PEMBAHASAN ............................................................................................. 4

2.1 Tonsilitis ................................................................................................ 4

2.1.1 Definisi ........................................................................................... 4

2.1.2 Klasifikasi ....................................................................................... 4

2.1.3 Etiologi ........................................................................................... 6

2.1.4 Patofisiologi .................................................................................... 6

2.1.5 Manifestasi Klinis ........................................................................... 8

2.1.6 Komplikasi...................................................................................... 8

2.2 Abses Peritonsil ..................................................................................... 9

2.2.1 Definisi ........................................................................................... 9

2.2.2 Etiologi ......................................................................................... 10

2.2.3 Patofisiologi .................................................................................. 10

2.2.4 Gejala Klinik ................................................................................. 11

2.2.5 Diagnosis ...................................................................................... 12

2.2.6 Diagnosis Banding ........................................................................ 13

2.2.7 Penatalaksanaan ............................................................................ 13

ii
2.2.8 Komplikasi.................................................................................... 14

2.2.9 Prognosis ...................................................................................... 14

2.3 Hubungan Abses Peritonsil dengan Tonsilitis....................................... 15

BAB III ......................................................................................................... 16

PENUTUP..................................................................................................... 16

3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 17

Lembar Penilaian Makalah ............................................................................ 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Abses peritonsil adalah salah satu dari abses leher dalam yang paling
sering ditemukan. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial
di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari
berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok dan sekitarnya.

Abses leher dalam merupakan salah satu penyakit infeksi yang


mengancam jiwa , dibentuk oleh lapisan fasia serfikalis yang profunda,
morbiditas dan mortalitasnya berkisar antara 1,6 - 40 %.

Sekalipun penyakit tonsilitis akut merupakan penyakit yang


benigna, tetapi komplikasinya dapat terjadi abses peritonsil yang
merupakan penyakit yang dapat mengancam jiwa, apabila tidak diobati
dengan segera dan adekuat.

Pada abses peritonsil ditemukan kumpulan pus yang berlokasi


antara kapsul fibrosa tonsil palatina (biasanya di pul atas) dan otot
konstriktor faringeal superior. Daerah ini terdiri atas jaringan ikat
longgar, infeksi dapat menjalar dengan cepat membentuk cairan yang
purulen. Inflamasi yang progresif dapat meluas secara langsung ke arah
palatum mole, dinding lateral faring, dan jarang ke arah basis lidah.

Abses peritonsil pertama kali disebut pada abad ke-14, merupakan


penyakit yang mengancam jiwa, sehingga diperlukan penanganan yang
tepat dan segera. Ruangan peritonsil dapat terinfeksi oleh bakteri
Streptococcus sp. Ruangan peritonsil dibatasi di medial oleh kapsul
tonsil, di lateral muskulus konstriktor faringeal superior, di inferior pilar
anterior tonsil, dan di pilar posterior tonsil.

1
1.2 Rumusan Masalah
Skenario-4
Gangguan Menelan

Seorang laki-laki, 20 tahun, datang ke puskesmas dengan gangguan


menelan dan seperti ada yang mengganjal di tenggorokan. Hal ini
dialami sejak 3 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan sakit saat
menelan dan disertai demam. Keadaan seperti ini dialami pasien setiap
bulan selama lebih kuranh 1 tahun belakangan ini.
Pada pemeriksaan THT (orofaring) dijumpai mukosa orofaring
hiperemis, tonsil hiperemis dan membesar T3/T3, kripta melebar,
tampak detritus keluar dari ujung kripta serta dijumpai pembesaran
kelenjar getah bening submandibula. Dokter puskesmas memutuskan
untuk merujuk ke dokter spesialis THT tetapi pasien menolak.
6 bulan kemudian pasien dibawa kembali ke puskesmas oleh
keluarganya dengan keluhan sulit membuka mulut dimana rahang hanya
terbuka sedikit lebih kurang 2 cm. Pasien juga mengeluh adanya
gangguan menelan bahkan untuk menelan air liur pun sulit. Saat pasien
berbicara seperti menelan kentang panas (hot-potato’s-voice) dan mulut
berbau. Pasien juga merasakan nyeri di bagian telinga.
Pada pemeriksaan THT (orofaring) dijumpai tonsil hiperemis dan
membesar sampai mendorong uvula ke salah satu sisi, serta dijumpai
banyak detritus. Palatum molle juga menonjol dan tampak daerah
fluktuasi. Pada pemeriksaan kultur dijumpai jumlah leukosit yang
meningkat 19.000/µL dan Hb 13 gr/dL.
1. Apa yang menyebabkan sulit menelan?
2. Apa faktor penyebab dari keluhan yang pasien alami?
3. Apa mikroorganisme yang dapat menyebabkan keluhan yang
dialami pasien?
4. Apa yang menyebabkan pasien sulit membuka mulut?
5. Apa hubungan dari sulit menelan dengan nyeri telinga?
6. Apa yang menyebabkan keadaan pasien semakin memburuk?

2
7. Apa hubungan pembesaran kelenjar getah bening bagian
submandibular dengan gangguan sulit menelan?
8. Apa saja kelainan-kelainan yang menyebabkan sulit menelan?
9. Apa diagnosa sementara pada skenario?
10. Mengapa jumlah leukosit pasien meningkat?

1.3 Tujuan Pembelajaran


1. Untuk mengetahui tonsilitis.
2. Untuk mengetahui abses peritonsil.
3. Untuk mengetahui hubungan abses peritonsil dengan tonsilitis.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tonsilitis
2.1.1 Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang
merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer
terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil
tuba Eustachius (lateral band dinding faring atau Gerlach’s
tonsil). Sedangkan menurut Reeves (2001) tonsilitis
merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil
atau amandel.

Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan


oleh kuman streptococcus β hemolyticus, streptococcus
viridans dan streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan
oleh virus. Tonsilektomi adalah pengangkatan tonsil dan
struktur adenoid, bagian jaringan limfoid yang mengelilingi
faring melalui pembedahan.

Berdasarkan pengertian di atas kesimpulan dari


penulis adalah tonsilitis merupakan suatu peradangan pada
tonsil yang disebabkan oleh bakteri ataupun virus, prosesnya
bisa akut atau kronis.

2.1.2 Klasifikasi
1. Tonsilitis Akut
a) Tonsilitis viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai
commond cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.

4
Virus Epstein Barr adalah penyebab paling sering.
Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis
akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie,
maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak
luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat
nyeri dirasakan klien.
b) Tonsilitis bacterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman
grup A Streptokokus, β hemolitikus yang dikenal
sebagai strep throat, pneumokokus, Streptokokus
viridan, Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri
pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas
disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak
detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka
akan terjadi tonsilitis lakunaris.
2. Tonsilitis Membranosa
a) Tonsilitis difteri
Tonsilitis difteri merupakan tonsilitis yang
disebabkan kuman Coryne bacterium diphteriae.
Penularannya melalui udara, benda atau makanan
yang terkontaminasi. Tonsilitis difteri sering
ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10
tahun frekuensi tertinggi pada usia 2 sampai 5 tahun.
b) Tonsilitis septik
Tonsilitis yang disebabkan karena
Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu
sapi.
c) Angina plaut vincent (stomatitis ulsero membranosa)

5
Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri
spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada
penderita dengan hygiene mulut yang kurang dan
defisiensi vitamin C.
d) Penyakit kelainan darah
Tidak jarang tanda leukemia akut, angina
agranulositosis dan infeksi mononukleosis timbul di
faring atau tonsil yang tertutup membran semu.
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan
di mukosa mulut, gusi dan di bawah kulit sehingga
kulit tampak bercak kebiruan.
e) Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan
yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan,
hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang
tidak adekuat.

2.1.3 Etiologi
Penyebab tonsilitis adalah infeksi kuman
Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus viridans, dan
Streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan oleh infeksi
virus.

2.1.4 Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung
atau mulut, amandel berperan sebagai filter atau penyaring
yang menyelimuti organisme berbahaya, sel-sel darah putih
ini akan menyebabkan infeksi ringan pada amandel. Hal ini
akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap
infeksi yang akan datang, akan tetapi kadang-kadang
amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Infeksi
bakteri dari virus inilah yang menyebabkan tonsilitis.

6
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel
terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan
reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak
pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut
detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan
epitel yang terlepas, suatu tonsilitis akut dengan detritus
disebut tonsilitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan
menjadi satu maka terjadi tonsilitis lakunaris. Tonsilitis
dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga
menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit
tenggorokannya sehingga nafsu makan berkurang. Radang
pada tonsil dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas,
bengkak, dan kelenjar getah bening melemah di dalam
daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot,
kedinginan, seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya
sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien
mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa
mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut
biasanya berakhir setelah 72 jam.

Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga


terbentuk membran semu (Pseudomembran), sedangkan
pada tonsilitis kronik terjadi karena proses radang berulang
maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga
pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan
parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara
kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus,
proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya
timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.
Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar
limfe submandibula.

7
2.1.5 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala tonsilitis seperti demam mendadak,
nyeri tenggorokan, ngorok, dan kesulitan menelan.
Sedangkan menurut Mansjoer (2000) adalah suhu tubuh naik
sampai 40◦C, rasa gatal atau kering di tenggorokan, lesu,
nyeri sendi, odinofagia (nyeri menelan), anoreksia, dan
otalgia (nyeri telinga). Bila laring terkena suara akan
menjadi serak. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemisis,
tonsil membengkak, hiperemisis.

2.1.6 Komplikasi
1. Abses peritonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan
palatum mole, abses ini terjadi beberapa hari setelah
infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus
group A.
2. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui
tuba auditorius (eustochi) dan dapat mengakibatkan
otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan
gendang telinga.
3. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh
menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel mastoid.
4. Laringitis
Merupakan proses peradangan dari membran
mukosa yang membentuk larynx. Peradangan ini
mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena
virus, bakteri, lingkungan, maupun karena alergi.
5. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan
pada satu atau lebih dari sinus paranasal. Sinus adalah

8
merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara dari
dinding yang terdiri dari membran mukosa.
6. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa
dari cavum nasal dan nasopharinx. Sama halnya dengan
sinusitis, rhinitis bisa berupa penyakit kronis dan akut
yang kebanyakan disebabkan oleh virus dan alergi.

2.2 Abses Peritonsil


2.2.1 Definisi
Abses peritonsil adalah salah satu dari abses leher
dalam yang paling sering ditemukan. Abses leher dalam
terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher
dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber
seperti gigi, mulut, tenggorok dan sekitarnya.

Abses leher dalam merupakan salah satu penyakit


infeksi yang mengancam jiwa , dibentuk oleh lapisan fasia
serfikalis yang profunda, morbiditas dan mortalitasnya
berkisar antara 1,6 - 40 %.

Sekalipun penyakit tonsilitis akut merupakan


penyakit yang benigna, tetapi komplikasinya dapat terjadi
abses peritonsil yang merupakan penyakit yang dapat
mengancam jiwa, apabila tidak diobati dengan segera dan
adekuat.

Pada abses peritonsil ditemukan kumpulan pus yang


berlokasi antara kapsul fibrosa tonsil palatina (biasanya di
pul atas) dan otot konstriktor faringeal superior. Daerah ini
terdiri atas jaringan ikat longgar, infeksi dapat menjalar
dengan cepat membentuk cairan yang purulen. Inflamasi
yang progresif dapat meluas secara langsung ke arah

9
palatum mole, dinding lateral faring, dan jarang ke arah basis
lidah.

Abses peritonsil pertama kali disebut pada abad ke-


14, merupakan penyakit yang mengancam jiwa, sehingga
diperlukan penanganan yang tepat dan segera.

Ruangan peritonsil dapat terinfeksi oleh bakteri


Streptococcus sp. Ruangan peritonsil dibatasi di medial oleh
kapsul tonsil, di lateral muskulus konstriktor faringeal
superior, di inferior pilar anterior tonsil, dan di pilar posterior
tonsil.

2.2.2 Etiologi
Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang
bersifat aerob maupun yang anaerob. Organisme aerob yang
paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah
Streptococcus pyogene (Group A beta-hemolitic
streptococcus) sedangkan organisme anaerob yang berperan
adalah fusobacterium. Untuk kebanyakan abses peritonsil
diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerob
dan anaerob. Kuman aerob: Grup A beta-hemolitik
streptococci (GABHS) Group B, C, G streptococcus,
Hemophilus influenza (type b and nontypeable)
Staphylococcus aureus, Haemophilus parainfluenzae,
Neisseria species. Mycobacteria sp
Kuman Anaerob: Fusobacterium Peptostreptococcuse,
Streptococcus sp. Bacteroides. Virus : Eipsten-Barr
Adenovirus Influenza A dan B, Herpes simplex,
Parainfluenza.

2.2.3 Patofisiologi
Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai akibat
komplikasi tonsillitis akut, walaupun dapat terjadi tanpa

10
infeksi tonsil sebelumnya. Infeksi memasuki kapsul tonsil
sehingga terjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi
pembentukan nanah. Daerah superior dan lateral fosa
tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu
infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole
membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di
bagian inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan
(stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga
permukaan yang hiperemis. Bila proses tersebut berlanjut,
terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak dan
berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil
akan mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula
bengkak terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus
berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga
timbul trismus. Kelenjar Weber adalah kelenjar mucus yang
terletak di atas kapsul tonsil, kelenjar ini mengeluarkan air
liur ke permukaan kripta tonsil. Kelenjar ini bisa tertinggal
pada saat tonsilektomi, sehingga dapat menjadi sumber
infeksi setelah tonsilektomi. Dilaporkan bahwa penyakit gigi
dapat memegang peranan dalam etiologi abses peritonisl.
Fried dan Forest menemukan 27% adanya riwayat infeksi
gigi. Abses peritonsil mengalami peningkatan pada penyakit
periodontal dibandingkan tonsilitis rekuren.

2.2.4 Gejala Klinik


Nyeri tenggorok yang sangat (Odinofagi) dapat
merupakan gejala menonjol, dan pasien mungkin
mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah.
Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi
hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar. Keluhan
lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah

11
(regurgitasi), sampai nyeri alih ke telinga (otalgi). Trismus
akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot
pterigoid. Pemeriksaan fisik kadang-kadang sukar
dilakukan, karena adanya trismus. Gejala yang klasik adalah
trismus, suara bergumam, disebut hot potato voice, dan
uvula terdorong ke arah yang sehat. Demam hanya
ditemukan sebanyak 25% kasus yang dilakukan oleh
Sowerby, dan kawan kawan. Palatum mole tampak
membengkak dan menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi.
Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil
bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong
ke arah tengah, depan, dan bawah. Palpasi (jika mungkin)
dapat membedakan abses dari selulitis.

2.2.5 Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat penyakit,
gejala klinis, dan pemeriksaan fisik. Informasi dari pasien
sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Aspirasi
dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi
merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk
memastikan abses peritonsil. Yang merupakan “gold
standar” untuk mendiagnosis abses peritonsil adalah dengan
mengumpulkan pus dari abses dengan menggunakan jarum
aspirasi. Untuk mengetahui jenis kuman pada abses
peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok.
Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk
diagnosis, juga untuk perencanaan penatalaksanaan.

Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan


pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap,
pemeriksaan radiologi polos posisi antero-posterior hanya
menunjukkan “distorsi” dari jaringan tetapi tidak berguna
untuk menentukan pasti lokasi abses, pemeriksaan CT scan

12
pada tonsil dapat terlihat daerah yang hipodens, yang
menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena, di
samping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris
pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana
operasi. Ultrasonografi merupakan teknik yang sederhana
dan noninvasif dapat membantu dalam membedakan antara
selulitis dan awal abses.

2.2.6 Diagnosis Banding


Abses retrofaring, abses parafaring, abses
submandibular, angina ludovici. Pada semua penyakit abses
leher dalam, nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya
gerakan membuka mulut merupakan keluhan yang paling
umum. Untuk membedakan abses peritonsil dengan penyakit
leher dalam lainnya, diperlukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang cermat.

2.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus segera dilakukan dan adekuat,
untuk mencegah obstruksi pernafasan dan mencegah
meluasnya abses ke ruang parafaring dan mediastinum dan
basis kranii.

Setelah dibuat diagnosa abses peritonsil, segera


dilakukan aspirasi kemudian insisi abses dan drainase.
Masih ada kontroversi antara insisi drainase dengan aspirasi
jarum saja, atau dilanjutkan dengan insisi dan drainase, Gold
standard adalah insisi dan drainase abses. Pus yang diambil
dilakukan pemeriksaan kultur dan resistensi test.

Penanganan meliputi, menghilangkan nyeri, dan


antibiotik yang efektif mengatasi Staphylococcus aureus dan
bakteri anaerob. Pada stadium infiltrasi, diberikan
antibiotika dosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga perlu

13
kumur-kumur dengan cairan hangat Pemilihan antibiotik
yang tepat tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada
aspirasi jarum. Penisilin merupakan “drug of chioce” pada
abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika yang
dikombinasikan dengan metronidazole. Metronidazole
merupakan antimikroba yang sangat baik untuk infeksi
anaerob.

2.2.8 Komplikasi
Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa
dehidrasi karena masukan makanan yang kurang. Abses
pecah spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan, aspirasi
paru atau pyemia, penjalaran infeksi abses ke daerah
parafaring sehingga terjadi abses parafaring, penjalaran ke
daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus
kavemosus,meningitis danabsesotak.

Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik


akan menghasilkan gejala sisa neurologis yang fatal.
Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat penyebaran
abses adalah endokarditis, nefritis, dan peritonitis juga
pernah ditemukan. Pembengkakan yang timbul di daerah
supraglotis dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas yang
memerlukan tindakan trakeostomi. Keterlibatan ruang-ruang
faringomaksilaris dalam komplikasi abses peritonsil
mungkin memerlukan drainase dari luar melalui segitiga
submandibular.

2.2.9 Prognosis
Pemberian antibiotik yang adekuat dan drainase
abses merupakan penanganan yang kebanyakan hasilnya
baik, dalam beberapa hari terjadi penyembuhan. Dalam
jumlah kecil, diperlukan tonsilektomi beberapa lama
kemudian. Bila pasien tetap mengeluh sakit tenggorok

14
setelah insisi abses, maka tonsilektomi menjadi indikasi.
Kekambuhan abses peritonsil pada usia lebih muda dari 30
tahun lebih tinggi terjadi, demikian juga bila sebelumnya
menderita tonsilitas sebelumnya sampai 5 episode.

2.3 Hubungan Abses Peritonsil dengan Tonsilitis


Abses peritonsil adalah infeksi bakteri yang menyebabkan
munculnya nanah di sekitar tonsil atau amandel. Merupakan
kumpulan nanah yang terdapat pada daerah peritonsil yang
merupakan jaringan ikat longgar, diantara fossa tonsilaris dan
muskulus konstriktor faring superior. Kondisi ini umumnya terjadi
akibat komplikasi dari tonsilitis atau radang amandel yang tidak
diobati dengan baik. Sebagian besar abses peritonsil disebabkan
oleh bakteri yang sama dengan bakteri penyebab radang
tenggorokan. Streptokokus adalah bakteri yang paling sering
menyebabkan infeksi pada jaringan lunak di sekitar amandel dan
dapat menyebar dari kelenjar amandel yang terinfeksi ke berbagai
jaringan atau organ tubuh lain. Jarang abses peritonsilar terjadi tanpa
radang amandel.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Abses peritonsil merupakan infeksi akut yang berlokasi di
spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara kapsul
tonsil dengan m. kontriktor superior, biasanya unilateral dan
didahului oleh infeksi tonsillitis akut 5-7 hari sebelumnya. Abses
peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering
terjadi pada umur 20-40 tahun.

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses


peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-
hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus
influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan
Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler
diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan
anaerobik.

Gejala klinis berupa rasa sakit tenggorok yang terus menerus


hingga keadaan yang memburuk secara progresif walaupun telah
diobati. Rasa nyeri terlokalisir, demam tinggi, (sampai 40°C), lemah
dan mual. Odinofagi dapat merupakan gejala menonjol dan pasien
mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan
ludah. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi
hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar, hot potato voice
merupakan suatu perubahan suara. Penderita mengalami kesulitan
berbicara, suara menjadi seperti suara hidung, membesar seperti
mengulum kentang panas (hot potato’s voice) karena penderita
berusaha mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Segal N,Sabri SE. Peritonsil abscess in children in The Southern Distict


of Israel. Int Journal of Ped Otol 2009:73 : 11 : 48- 50.
2. Powell EL, Powell J, Samuel JR and Wilson JA. A review of the
pathogenesis of adult peritonsillar abscess : time for a re-evaluation.
Journal of Antimicrobiobia l Chemoherappy (2013) 10:1093.
3. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep spaces of the neck. In: Bayle

BJ, Johnson JT. editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology.4th ed.
Philadelphia : Lippincot Company 2006 : 666-81.
4. Ellis H,editor. Clinical anatomy. 11 ed. Australia : 006 : 279-80
Marom T et al. Peritonsil abscess. American J of Otolaryngology- Head
and Neck Medicine and surgery 31 (2010) 162-7.
5. Bharudin MI: Managemen of peritonsil infection: Hospital university
Sains Malaysia Experience, The internet Journal Of
Otorhinolaryngology 2008, volume 10 Number 1.
6. Sowerby LJ, Hussain Z. Journal of otolaryngology- Head and Neck
Surgery 2013 , 10-5.
7. Galioto NJ. Peritonsillar abscess. AM Fam Physiciann.2008 Jan 15:77
(2):199- 202.
8. Herzon F,Harris P: Peritonsillar abscess : incidence,current
management practices, and a proposal for treatment guidelines.
Laryngoscope. 1995,105. 1-7.

17
Lembar Penilaian Makalah

NO BAGIAN YANG SKOR NILAI


DINILAI

1. Ada Makalah 60

2. Kesesuaian dengan 0-10

LO

3. Tata cara penulisan 0-10

4. Pembahasan materi 0-10

5. Cover dan 0-10

penjilidan

Total :

NB :

LO = Learning Objective

Medan, 30 Oktober 2021

Dinilai oleh:

Tutor

(dr. Muhammad Ikhwan, Sp.OG)

18

Anda mungkin juga menyukai