Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

ABSES PERITONSIL

PENYUSUN:
Sumita Dewi
20360118
PEMBIMBING :
Dr. Yuli Sp. THT

KEPANITRAAN KLINIK PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT RSUD HAJI MEDAN 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala


rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan
Nabi Agung Muhammad SWA yang selalu kita nantikan syfa’atnya di akhir nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun sehat akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan Refarat degan judul “Abses Peritonsilar”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk Referat ini, supaya Referat ini
nantinya dapat menjadi Referat lebih baik lagi. Demikiqan, dan apabila terdapat banyak
kesalahan pada Referat ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Karawang, 12 Agustus 2020

Sumita Dewi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................
A. Latar Belakang.................................................................................................
B. Rumusan Masalah.............................................................................................
C. Tinjauan............................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................
A. Anatomi dan Fisiologi......................................................................................
B. Imunologi.........................................................................................................
C. Definisi.............................................................................................................
D. Epidemiologi....................................................................................................
E. Etiologi.............................................................................................................
F. Patogenesis.......................................................................................................
G. Gejala Klinis.....................................................................................................
H. Diagnosis..........................................................................................................
I. Diagnosis Banding
J. Tatalaksana
K. Komplikasi
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Abses peritonsil dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi insiden

tertinggi terjadi pada orang dewasa berusia 20 hingga 40 tahun tahun. Pada anak-

anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun system imunnya, tapi infeksi

bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Insiden

abses peritonsil tiap tahun sebesar 30 kasus per 100.000 orang di Amerika Serikat

dipertimbangkan hamper 45.000 kasus setiap tahun. Bukti menunjukkan bahwa

tonsillitis kronik atau percobaan multiple penggunaan antibiotik oral untuk

tonsillitis akut merupakan predisposisi untuk berkembangnya abses peritonsil

(Steyer, 2002).

Belum ada data epidemiologi nasional mengenai abses peritonsilar di

Indonesia. Penelitian di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang pada periode

2012-2015 melaporkan 8 (30,8%) dari 26 sampel kasus abses leher dalam berlokasi

di peritonsilar (Arliando dkk, 2017). Dari penelitian di RSUP Sanglah periode

tahun 2010-2014 didapatkan 64,29% pasien abses peritonsilar berjenis kelamin

laki-laki, dengan keluhan utama nyeri tenggorokan (71,43%), dan etiologi

terbanyak dari hasil kultur adalah Streptococcus viridans (57,13%). Kebanyakan

kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob

Bacteroides atau kuman campuran (Sari dkk, 2018).

Abses peritonsil merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan

terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara muskulus konstriktor faring
dengan tonsil pada fosa tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil atau umumnya

pada kutub atas. Abses peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang sering

kali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Abses peritonsil merupakan infeksi

pada kasus kepala leher yang sering terjadi pada orang dewasa. Timbulnya abses

peritonsil dimulai dari infeksi superfisial dan berkembang secara progresif menjadi

tonsilar selulitis. Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang

supra tonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah

mengeluarkan cairan ludah kedalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk

menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap didalamnya lalu

kemudian dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi

gangguan pada kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran

kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis

peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar

tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya abses. Gejala

klinis berupa rasa sakit di tenggorok, rasa nyeri yang terlokalisir, demam tinggi,

lemah dan mual. Keluhan lainnya berupa mulut berbau, muntah, sampai nyeri alih

ke telinga atau otalgia dan trismus. Komplikasi abses peritonsil yang mungkin

terjadi antara lain perluasan infeksi ke parafaring, mediastinitis, dehidrasi,

pneumonia, hingga infeksi ke intrakranial berupa trombosis sinus kavernosus,

meningitis, abses otak dan obstruksi jalan napas (Klug, 2009).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana anatomi dan fisiologi Tonsil?


2. Bagaimana imunologi pada Tonsil?

3. Apa definisi dari Abses Peritonsil?

4. Bagaimana epidemiologi dari Abses Peritonsil?

5. Apa penyebab terjadinya Abses Peritonsil?

6. Bagaimana patofisiologi dari Abses Peritonsil?

7. Apa saja yang termasuk gejala klinis dari Abses Peritonsil?

8. Apa saja diagnosis dari Abses Peritonsil?

9. Apa diagnosis banding dari Abses Peritonsil?

10. Apa tatalaksana dari Abses Peritonsil?

11. Komplikasi apa saja dari Abses Peritonsil?

C. Tujuan

1. Untuk mengetauhui Bagaimana anatomi dan fisiologi Tonsil

2. Untuk mengetauhui Bagaimana imunologi pada Tonsil

3. Untuk mengetauhui Apa definisi dari Abses Peritonsil

4. Untuk mengetauhui Bagaimana epidemiologi dari Abses Peritonsil

5. Untuk mengetauhui Apa penyebab terjadinya Abses Peritonsil

6. Untuk mengetauhui Bagaimana patofisiologi dari Abses Peritonsil

7. Untuk mengetauhui Apa saja yang termasuk gejala klinis dari Abses Peritonsil

8. Untuk mengetauhui Apa saja diagnosis dari Abses Peritonsil

9. Untuk mengetauhui Apa diagnosis banding dari Abses Peritonsil

10. Untuk mengetauhui Apa tatalaksana dari Abses Peritonsil

11. Untuk mengetauhui Komplikasi apa saja dari Abses Peritonsil


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan linfoid dan ditunjang oleh

jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Tonsilla lingualis, tonsilla palatina,

tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu

masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin

Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara

dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis

pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun,

dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas (Rusmarjono dan Hermani, 2012).

Gambar 1. Anatomi tonsil


Gambar 2. Cincin Waldeyer
Tonsil palatina atau dikenal dengan tonsil fausial merupakan jaringan limfoid yang

berbentuk bulat telur. Ukurannya bervariasi secara individu. Kripta tonsil berbentuk

saluran yang tidak sama panjang dan masuk ke dalam jaringan tonsil, umumnya terdiri

dari 8-20 kripta. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel

permukaan medial tonsil. Pada fosa supratonsil, kripta meluas ke arah bawah dan luar,

karena itu fosa ini dianggap sebagai kripta terbesar. Secara klinis kripta merupakan

sumber infeksi, karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas dan kuman-kuman

(Lalwani dan Pfister, 2012).

Gambar 3. Tonsil palatina


Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :

1. Anterior : arcus palatoglossus

2. Posterior : arcus palatopharyngeus

3. Superior : palatum mole

4. Inferior : 1/3 posterior lidah

5. Medial : ruang orofaring

6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior. A. carotis interna

terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsilla


Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas

anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot

konstriktor faring superior. Pada  bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut

fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil.

Adenoid atau tonsil faring dan tonsil lingual tidak didefinisikan atau

terspesialisasi dengan baik seperti tonsil palatine. Struktur ini terdiri dari jaringan

limfoid yang tertutup oleh epitel kolumnar terspesialisasi, semu, bersilia yang

membentuk lipatan permukaan yang berlebihan untuk memaksimalkan luas permukaan

jaringan. Adenoid berada di atas permukaan dinding superior dan posterior nasofaring,

dan memiliki pertumbuhan terbesar pada tahun-tahun pertama kehidupan. Karena ruang

terbatas, hipertrofi adenoid dapat terjadi penyebab obstruksi jalan napas bagian atas

pada anak kecil (Lalwani dan Pfister, 2012).

Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu A.

maksilaris eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris dan A.

palatina asenden, A. maksilaris interna dengan cabang A. palatina desenden, serta A.

lingualis dengan cabang A. lingualis dorsal, dan A. faringeal asenden. Arteri tonsilaris

berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk

tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan cabang-cabangnya

melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga

memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri

lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior

dan plika  posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau "lesser

palatine artery" memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan
membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk

pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.

Gambar 4. Vaskularisasi tonsil

Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah

bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening

servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya

menuju ke kelenjar toraks dan  pada akhirnya ke duktus torasikus.

Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf X melalui

ganglion sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf glossofaringeus (N.

IX) (Rusmarjono dan Hermani, 2012).

Gambar 5. Aliran limfoid kepala-leher


B. Imunologi

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B

membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada

tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang . Limfosit B

berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen

komplemen, interferon, lisozim dan sitokin  berakumulasi di jaringan tonsilar Sel

limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel ret

ikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal

pada folikel limfoid. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan

untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil

mempunyai 2 fungsi utama yaitu: 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing

dengan efektif 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit

T dengan antigen spesifik.

Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu

respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada respon imun

tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang

merupakan kompartemen tonsil  pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak

hanya berperan mentranspor antigen melalui  barier epitel tapi juga membentuk

komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa  bersamaan dalam konsentrasi

tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik. Respon

imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan

mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun respon imun

berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian didapat


bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui

HEV( high endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui limfe (Lalwani

dan Pfister, 2012).

C. Definisi

Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang terbentuk

sebagai akibat dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada kelompok kelenjar

ludah di fosa supratonsilar, yang dikenal sebagai kelenjar Weber. Sarang akumulasi

pus terletak antara kapsul tonsil palatina dan otot-otot konstriktor faring. Pilar

anterior dan posterior, torus tubarius superior, dan sinus piriformis inferior

membentuk ruang potensial peritonsil. Karena terdiri dari  jaringan ikat longgar,

infeksi parah pada daerah ini dapat mengakibatkan pembentukan materi  purulen.

Peradangan progresif dan pus dapat secara langsung mengenai palatum, dinding

faring lateral, dan, dasar lidah (Ludman dan Bradley, 2012).

Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Edema

akibat inflamasi dapat mengakibatkan kesulitan menelan. Dehidrasi sekunder sering

terjadi akibat  pasien menghindari menelan makanan dan cairan. Perluasan abses

dapat menyebabkan  peradangan ke dalam kompartemen fasia yang berdekatan

dengan kepala dan leher, sehingga  berpotensi menyebabkan obstruksi jalan napas

(Koltsidopoulos, 2017)
Gambar 6. Abses peritonsil kanan
D. Epidemiologi

Di Amerika, insiden abses peritonsilar diperkirakan mencapai 30 kasus per

100,000 orang per tahun, sehingga terdapat 45,000 kasus per tahun. Secara

internasional angka ini meningkat akibat banyaknya rekurensi dan resistensi

antibiotik. Menurut suatu penelitian, abses peritonsilar dapat terjadi pada semua

individu berusia 10-60 tahun, walaupun abses  peritonsilar umumnya ditemukan

pada pasien berumur 20-40 tahun. Anak-anak muda yang menderita abses

peritonsilar umumnya memiliki supresi sistem pertahanan tubuh (Steyer, 2002).

E. Etiologi

Abses peritonsil terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang

bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman

penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan

anaerob.

Organisme yang paling umum terkait dengan abses peritonsillar tercantum

dalam tabel 1. Streptococcus pyogenes (Streptokokus beta-hemolitik grup A) adalah

organisme aerobik paling umum yang terkait dengan abses peritonsilar. Organisme

anaerobik yang paling umum adalah Fusobacterium. Untuk kebanyakan abses

peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan

anaerobik (Steyer, 2002).


Tabel 1. Organisme penyebab abses peritonsil
F. Patofisiologi

Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah

orofaring. Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada

jaringan peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut

berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi yang

terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas tonsil) dan meluas

ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil.

Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.

Lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan peritonsil dan dapat menembus

kapsul tonsil. Hal ini kemudian akan menyebabkan penumpukan pus atau pus

meluas ke arah otot konstriktor faring superior menuju ruang parafaring dan

retrofaring terdekat. Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang

supra tonsil yang disebut kelenjar Weber . Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah

mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk

menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu

dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada

proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang

mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal,

akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar

Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga

menyebabkan terjadinya abses (Adams, 1994). Daerah superior dan lateral fosa

tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke
ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum

mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di

bagian inferior. Pada stadium permulaan (Stadium infiltrat), selain pembengkakan

tampak  permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga

daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan

uvula ke arah kontralateral. Bila  proses berlangsung terus, peradangan jaringan di

sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M. Pterigoid interna, sehingga timbul

trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru

(Rusmarjono dan bambang, 2012).

G. Gejala Klinis

Selain gejala dan tanda tonsil akut (demam, rasa lesu, nyeri sendi, tidak nafsu

makan dan juga tonsil membengkak, hiperemis, terdapat dentritus) juga terdapat

odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi

nyeri telinga (otalgia), mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor

exore), banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadang-

kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar

submandibula dengan nyeri tekan.

Pada pemeriksaan kadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus.

Palatum mole tampak membengkak, dan menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi.

Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Tonsil bengkak, hiperemis,

mungkin banyak detritus, dan terdorong kearah tengah, depan dan bawah

(Rusmarjono dan bambang, 2012).


H. Diagnosis

Penegakkan diagnosis abses peritonsil adalah dengan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Adanya riwayat pasien mengalami tonsilitis disertai dengan

tanda dan gejala yang mengarah pada abses peritonsil sudah cukup untuk

menegakkan diagnosis. Jika diagnosis abses peritonsil masih diragukan, maka dapat

dilakukan pemeriksaan penunjang untuk membantu mendapatkan informasi lain.

a. Pemeriksaan penunjang

Gold standart untuk diagnosis abses peritonsilar adalah aspirasi jarum. Untuk

mendapatkan sampel ini, tempat yang akan dilakukan aspirasi harus dibius

dengan 0,5 % benzalkonium (Cetacaine semprotan) diikuti dengan obat kumur 2

% lidokain (Xylocaine) dengan epinefrin. Menggunakan jarum yang berukuran

18 menempel pada spuit 10 mL dapat digunakan untuk mengambil bahan dari

abses yang dicurigai. Cairan yang diperoleh harus dikirim ke laboratorium untuk

pewarnaan gram dan kultur untuk menentukan rejimen pengobatan yang tepat.

Aspirasi jarum dari abses peritonsillar harus hanya dilakukan oleh dokter yang

terlatih dengan baik. Komplikasi dalam melakukan aspirasi dapat berupa aspirasi

nanah dan darah, serta perdarahan. Jika absesnya terletak di bagian distal tonsil,

tusukan arteri karotis dapat terjadi (Steyer, 2002).


Gambar. 7 aspirasi jarum

Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan adalah:

1. Hitung darah lengkap (complete blood count ), pengukuran kadar elektrolit

(electrolyte level measurement ), dan kultur darah (blood cultures).

2. Pada pasien yang curiga terinfeksi EBV dapat dilakukan monospot test dan

serologi EBV (IgG dan IgM)

3. Xray: Foto lateral dapat dilakukan untuk menyingkirkan abses retrofaring.

4. CT scan kontras: biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex

tonsil yang terinfeksi, dengan peripheral rim enhancement . Pencitraan ini

juga dapat digunakan untuk merencanakan tindakan operasi dan melihat

luas penyebaran infeksi.

Gambar 8. CT Abses peritonsilar kanan

5.  Peripheral Rim Enhancement Ultrasound , contohnya: intraoral

ultrasonography. Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 % dan

spesifitas 78,5 %. Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas 80%

dan spesifisitas 92,8 %. merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan
dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses.

Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum

melakukan operasi dan drainase secara pasti (Galioto, 2017).

I. Diagnosis Banding

Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-penyakit abses

leher  bagian dalam lainnya seperti, abses retrofaring, abses parafaring, abses

submandibula, dan angina ludovici ( Ludwig’s angina). Hal ini disebabkan

kemiripan gejala utama pada abses leher  bagian dalam seperti, nyeri tenggorok,

demam, serta terbatasnya gerakan membuka mulut. Untuk membedakan abses

peritonsil dengan penyakit leher dalam lainnya, diperlukan anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang jeli. Selain itu diagnosis banding infeksi mononukleosis

juga dapat memiliki gambaran abses peritonsil (Jhonson dan Stewart, 2005).

J. Tatalaksana

Drainase, terapi antibiotik, dan terapi suportif untuk menjaga hidrasi dan

pengendalian nyeri adalah landasan pengobatan abses peritonsillar dan diikuti oleh

tonsilektomi beberapa minggu kemudian.  Analgesik adalah terapi  penting pada

manajemen abses peritonsil untuk menurunkan rasa sakit sehingga membantu

pasien untuk mengonsumsi diet oral. Resusitasi cairan intravena juga diperlukan

pada  pasien yang tidak mendapatkan asupan oral yang adekuat atau dengan tanda

dan gejala dehidrasi.

1. Medikamentosa

Pada penyakit stadium awal yaitu selulitis peritonsilar, dimana belum terbentuk

abses, maka biasa dilakukan tatalaksana yang sama tetapi tanpa tindakan
drainase. Antibiotik juga diberikan untuk mengatasi infeksi paska drainase

abses. Antibiotik sistemik yang mencakup group A  β -hemolytic  streptococci 

seperti penisilin, klindamisin, atau golongan sefalosporin dengan atau tanpa

metronidazol. Pilihan antibiotik sangat tergantung pada pewarnaan gram dan

kultur cairan yang diperoleh dari aspirasi jarum. Hasil studi menyarankan

bahwa 500 mg klindamisin yang diberikan dua kali sehari atau sefalosporin oral

generasi kedua atau ketiga digunakan sebagai pengganti penisilin. Studi lain 1

merekomendasikan penggunaan penisilin sebagai obat lini pertama, dan, jika

tidak ada tanggapan dalam 24 jam pertama, tambahkan 500 mg metronidazol

yang diberikan dua kali sehari ke dalam rejimen. Semua spesimen harus

diperiksa dengan biakan untuk mengetahui sensitivitas antibiotik untuk

memastikan cakupan antibiotik yang sesuai. Tabel 2 daftar regimen

antrimikroba yang disarankan.


Tabel 2. Daftar regimen ntimikroba yang disarankan
Dua penelitian kecil menyelidiki apakah penambahan dosis kortikosteroid

tunggal yang diberikan secara intramuskular atau intravena (metilprednisolon, 2

hingga 3 mg per kg hingga 250 mg, atau deksametason, 10 mg) akan mempercepat

pemulihan. Pasien yang menerima kortikosteroid dilaporkan penurunan nyeri dan

peningkatan asupan cairan oral dalam 12 sampai 24 jam dibandingkan dengan

pasien yang tidak menerima kortikosteroid. Perbedaan ini sepertinya menghilang

setelah 48 jam. Penggunaan kortikosteroid empiris untuk pengobatan abses

peritonsillar tampaknya mempercepat pemulihan seperti yang ditunjukkan oleh

rawat inap yang lebih singkat dan resolusi nyeri yang lebih cepat. Namun,

penelitian tambahan diperlukan sebelum penggunaan rutin kortikosteroid

dimasukkan dalam protokol pengobatan.

2. Insisi dan drainase

Insisi dan drainase (I&D) adalah teknik yang umumnya dilakukan untuk

tatalaksana akut dari abses peritonsil yang besar. Tindakan ini dapat

mengurangi rasa sakit yang efektif dan cepat. Teknik insisi dan drainase
membutuhkan anestesi lokal dengan menyemprotkan anestesi topikal. Insisi

drainase intraoral dilakukan degan melakukan insisi mukosa diatas abses,

biasanya di lipatan supratonsilar (kutub atas). Forsep sinus dimasukkan melalui

insisi untuk merentangkan insisi. Pengisapan tonsil sebaiknya segera disediakan

untuk mengumpulkan pus yang dikeluarkan (Galiato, 2017).

Gambar 8. Insisi dan drainase

3. Tonsilektomi quinsy

Tonsilektomi  quinsy atau  hot tonsilectomy,  bisa disebut juga dengan

tonsilektomi segera adalah tindakan pengangkatan jaringan tonsil dengan

pembersihan abses yang sesegera mungkin dilakukan.  Indikasi untuk

tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah adanya obstruksi jalan napas

atas, sepsis dengan limfadenitis servikalis, abses leher bagian dalam, riwayat

abses peritonsil yang berulang. Beberapa penelitian mengatakan tindakan ini

cukup sering dilakukan karena dianggap prosedur yang aman dan dapat

melakukan drainase sempurna dari abses. Tonsilektomi juga dapat dilakukan

setelah beberapa waktu pasca drainase yang disebut tonsilektomi interval.

(Corbridge, 2011). Namun pada prosedur tersebut sering terjadi fibrosis

sehingga menyulitkan tonsilektomi (Adams dkk, 1994).


4. Tonsilektomi Interval

Tonsilektomi interval adalah tonsilektomi yang dilakukan beberapa waktu pasca

drainase. Prosedur ini diindikasikan pada pasien yang memiliki indikasi

tonsilektomi tetapi tidak dilakukan tonsilektomi quinsy. Menurut literatur,

terdapat beberapa istilah berdasarkan lama selang waktu pasca drainase hingga

dilakukan tonsilektomi. Tonsilektomi yang dilakukan 3-4 hari sesudah drainase

abses disebut “tonsilectomy a’ tiede”; sedangkan tonsilektomi yang dilakukan

4-6 minggu sesudah drainase abses disebut “tonsilectomy a’ froid ”. Pada

umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu

sesudah drainase abses. (Rusmarjono dan Bambang, 2012).

Gambar 10. Tonsilektomi

K. Komplikasi

1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau

epiema.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses

parfaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi

mediastinitis.

3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan trombus

sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak (Rusmarjono dan Bambang,

2012).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Abses peritonsil merupakan kumpulan atau timbunan nanah (pus) yang

terlokalisir/ terbatas pada jaringan peritonsilar yang terbentuk sebagai hasil dari

supuratif tonsilitis. Gejala klinis meliputi odinofagia (nyeri menelan) yang hebat,

biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi),

mulut berbau, banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau, dan kadang-kadang sukar

membuka mulut (trismus), Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti

dengan tonsilektomi.

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring

sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar

regional.

Pada  pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum mole,

eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Beberapa macam terapi yang

selama ini dikenal adalah pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simptomatik,

pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral, insisi, dan tonsilektomi.


DAFTAR PUSTAKA

Steyer, T. E. (2002). Peritonsillar abscess: diagnosis and treatment. American family


physician, 65(1), 93.
Arliando MA, Adelien, Utama DS. 2017. Prevalensi abses leher dalam di RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang periode 1 Januari 2012-31 Desember 2015.
Majalah Kedokteran Sriwijaya.;3:124-133.
Sari NLS, Putra IDGAE, Budayanti NS. 2018. Karakteristik penderita abses peritonsil
di RSUP Sanglah Denpasar periode tahun 2010-2014. Medicina ;49(2):161-165.
Klug, T. E. (2009). Peritonsillar abscess: clinical aspects of microbiology, risk factors,
and the association with parapharyngeal abscess. Clin Infect Dis, 49, 1467-72.
Rusmarjono dan bambang H. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. FK-UI. Jakarta. p;190-203
Lalwani, A. K., & Pfister, M. H. (2012). Recent Advances in Otolaryngology-Head and
Neck Surgery. JP Medical Ltd.
Ludman, H. S., & Bradley, P. J. (Eds.). (2012). ABC of ear, nose and throat (Vol. 254).
John Wiley & Sons.
Koltsidopoulos, P., Skoulakis, C., & Kountakis, S. (2017). ENT: Core Knowledge.
Springer.
Adams, G. L., Boies, L. R., & Higler, P. A. (1994). Penyakit-penyakit nasofaring dan
orofaring. Dalam: Adams GL, Boies buku ajar penyakit THT, Jakarta, Penerbit
buku kedokteran EGC edisi, 6, 337-40.
Nave, H., Gebert, A., & Pabst, R. (2001). Morphology and immunology of the human
palatine tonsil. Anatomy and embryology, 204(5), 367-373.
Galioto, N. J. (2017). Peritonsillar abscess. American family physician, 95(8), 501-506.
Johnson, R. F., & Stewart, M. G. (2005). The contemporary approach to diagnosis and
management of peritonsillar abscess. Current opinion in otolaryngology & head
and neck surgery, 13(3), 157-160.
Corbridge, R. (2011). Essential Ent. CRC Press.

Anda mungkin juga menyukai