ABSES PERITONSIL
PENYUSUN:
Sumita Dewi
20360118
PEMBIMBING :
Dr. Yuli Sp. THT
Sumita Dewi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................
A. Latar Belakang.................................................................................................
B. Rumusan Masalah.............................................................................................
C. Tinjauan............................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................
A. Anatomi dan Fisiologi......................................................................................
B. Imunologi.........................................................................................................
C. Definisi.............................................................................................................
D. Epidemiologi....................................................................................................
E. Etiologi.............................................................................................................
F. Patogenesis.......................................................................................................
G. Gejala Klinis.....................................................................................................
H. Diagnosis..........................................................................................................
I. Diagnosis Banding
J. Tatalaksana
K. Komplikasi
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abses peritonsil dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi insiden
tertinggi terjadi pada orang dewasa berusia 20 hingga 40 tahun tahun. Pada anak-
anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun system imunnya, tapi infeksi
bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Insiden
abses peritonsil tiap tahun sebesar 30 kasus per 100.000 orang di Amerika Serikat
(Steyer, 2002).
2012-2015 melaporkan 8 (30,8%) dari 26 sampel kasus abses leher dalam berlokasi
terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara muskulus konstriktor faring
dengan tonsil pada fosa tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil atau umumnya
pada kutub atas. Abses peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang sering
kali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Abses peritonsil merupakan infeksi
pada kasus kepala leher yang sering terjadi pada orang dewasa. Timbulnya abses
peritonsil dimulai dari infeksi superfisial dan berkembang secara progresif menjadi
tonsilar selulitis. Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang
supra tonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah
kemudian dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi
kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis
peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar
klinis berupa rasa sakit di tenggorok, rasa nyeri yang terlokalisir, demam tinggi,
lemah dan mual. Keluhan lainnya berupa mulut berbau, muntah, sampai nyeri alih
ke telinga atau otalgia dan trismus. Komplikasi abses peritonsil yang mungkin
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
7. Untuk mengetauhui Apa saja yang termasuk gejala klinis dari Abses Peritonsil
TINJAUAN PUSTAKA
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan linfoid dan ditunjang oleh
tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu
masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin
Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara
dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis
pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun,
dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas (Rusmarjono dan Hermani, 2012).
berbentuk bulat telur. Ukurannya bervariasi secara individu. Kripta tonsil berbentuk
saluran yang tidak sama panjang dan masuk ke dalam jaringan tonsil, umumnya terdiri
dari 8-20 kripta. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel
permukaan medial tonsil. Pada fosa supratonsil, kripta meluas ke arah bawah dan luar,
karena itu fosa ini dianggap sebagai kripta terbesar. Secara klinis kripta merupakan
sumber infeksi, karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas dan kuman-kuman
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Pada bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut
fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil.
Adenoid atau tonsil faring dan tonsil lingual tidak didefinisikan atau
terspesialisasi dengan baik seperti tonsil palatine. Struktur ini terdiri dari jaringan
limfoid yang tertutup oleh epitel kolumnar terspesialisasi, semu, bersilia yang
jaringan. Adenoid berada di atas permukaan dinding superior dan posterior nasofaring,
dan memiliki pertumbuhan terbesar pada tahun-tahun pertama kehidupan. Karena ruang
terbatas, hipertrofi adenoid dapat terjadi penyebab obstruksi jalan napas bagian atas
maksilaris eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris dan A.
lingualis dengan cabang A. lingualis dorsal, dan A. faringeal asenden. Arteri tonsilaris
berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk
lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior
dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau "lesser
palatine artery" memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan
membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk
Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah
bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening
servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya
Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf X melalui
ganglion sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf glossofaringeus (N.
tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang . Limfosit B
limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel ret
ikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal
pada folikel limfoid. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan
dengan efektif 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit
respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada respon imun
tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang
hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk
tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik. Respon
imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan
HEV( high endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui limfe (Lalwani
C. Definisi
sebagai akibat dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada kelompok kelenjar
ludah di fosa supratonsilar, yang dikenal sebagai kelenjar Weber. Sarang akumulasi
pus terletak antara kapsul tonsil palatina dan otot-otot konstriktor faring. Pilar
anterior dan posterior, torus tubarius superior, dan sinus piriformis inferior
membentuk ruang potensial peritonsil. Karena terdiri dari jaringan ikat longgar,
infeksi parah pada daerah ini dapat mengakibatkan pembentukan materi purulen.
Peradangan progresif dan pus dapat secara langsung mengenai palatum, dinding
terjadi akibat pasien menghindari menelan makanan dan cairan. Perluasan abses
dengan kepala dan leher, sehingga berpotensi menyebabkan obstruksi jalan napas
(Koltsidopoulos, 2017)
Gambar 6. Abses peritonsil kanan
D. Epidemiologi
100,000 orang per tahun, sehingga terdapat 45,000 kasus per tahun. Secara
antibiotik. Menurut suatu penelitian, abses peritonsilar dapat terjadi pada semua
pada pasien berumur 20-40 tahun. Anak-anak muda yang menderita abses
E. Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan
anaerob.
organisme aerobik paling umum yang terkait dengan abses peritonsilar. Organisme
Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah
berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi yang
terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas tonsil) dan meluas
ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil.
Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan peritonsil dan dapat menembus
kapsul tonsil. Hal ini kemudian akan menyebabkan penumpukan pus atau pus
meluas ke arah otot konstriktor faring superior menuju ruang parafaring dan
retrofaring terdekat. Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang
supra tonsil yang disebut kelenjar Weber . Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah
dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada
proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang
akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar
Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga
menyebabkan terjadinya abses (Adams, 1994). Daerah superior dan lateral fosa
tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke
ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum
daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan
trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru
G. Gejala Klinis
Selain gejala dan tanda tonsil akut (demam, rasa lesu, nyeri sendi, tidak nafsu
makan dan juga tonsil membengkak, hiperemis, terdapat dentritus) juga terdapat
odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi
nyeri telinga (otalgia), mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor
exore), banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadang-
Palatum mole tampak membengkak, dan menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi.
Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Tonsil bengkak, hiperemis,
mungkin banyak detritus, dan terdorong kearah tengah, depan dan bawah
tanda dan gejala yang mengarah pada abses peritonsil sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis. Jika diagnosis abses peritonsil masih diragukan, maka dapat
a. Pemeriksaan penunjang
Gold standart untuk diagnosis abses peritonsilar adalah aspirasi jarum. Untuk
mendapatkan sampel ini, tempat yang akan dilakukan aspirasi harus dibius
abses yang dicurigai. Cairan yang diperoleh harus dikirim ke laboratorium untuk
pewarnaan gram dan kultur untuk menentukan rejimen pengobatan yang tepat.
Aspirasi jarum dari abses peritonsillar harus hanya dilakukan oleh dokter yang
terlatih dengan baik. Komplikasi dalam melakukan aspirasi dapat berupa aspirasi
nanah dan darah, serta perdarahan. Jika absesnya terletak di bagian distal tonsil,
2. Pada pasien yang curiga terinfeksi EBV dapat dilakukan monospot test dan
dan spesifisitas 92,8 %. merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan
dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses.
Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum
I. Diagnosis Banding
leher bagian dalam lainnya seperti, abses retrofaring, abses parafaring, abses
kemiripan gejala utama pada abses leher bagian dalam seperti, nyeri tenggorok,
pemeriksaan fisik yang jeli. Selain itu diagnosis banding infeksi mononukleosis
juga dapat memiliki gambaran abses peritonsil (Jhonson dan Stewart, 2005).
J. Tatalaksana
Drainase, terapi antibiotik, dan terapi suportif untuk menjaga hidrasi dan
pengendalian nyeri adalah landasan pengobatan abses peritonsillar dan diikuti oleh
pasien untuk mengonsumsi diet oral. Resusitasi cairan intravena juga diperlukan
pada pasien yang tidak mendapatkan asupan oral yang adekuat atau dengan tanda
1. Medikamentosa
Pada penyakit stadium awal yaitu selulitis peritonsilar, dimana belum terbentuk
abses, maka biasa dilakukan tatalaksana yang sama tetapi tanpa tindakan
drainase. Antibiotik juga diberikan untuk mengatasi infeksi paska drainase
kultur cairan yang diperoleh dari aspirasi jarum. Hasil studi menyarankan
bahwa 500 mg klindamisin yang diberikan dua kali sehari atau sefalosporin oral
generasi kedua atau ketiga digunakan sebagai pengganti penisilin. Studi lain 1
yang diberikan dua kali sehari ke dalam rejimen. Semua spesimen harus
hingga 3 mg per kg hingga 250 mg, atau deksametason, 10 mg) akan mempercepat
rawat inap yang lebih singkat dan resolusi nyeri yang lebih cepat. Namun,
Insisi dan drainase (I&D) adalah teknik yang umumnya dilakukan untuk
tatalaksana akut dari abses peritonsil yang besar. Tindakan ini dapat
mengurangi rasa sakit yang efektif dan cepat. Teknik insisi dan drainase
membutuhkan anestesi lokal dengan menyemprotkan anestesi topikal. Insisi
3. Tonsilektomi quinsy
tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah adanya obstruksi jalan napas
atas, sepsis dengan limfadenitis servikalis, abses leher bagian dalam, riwayat
cukup sering dilakukan karena dianggap prosedur yang aman dan dapat
terdapat beberapa istilah berdasarkan lama selang waktu pasca drainase hingga
K. Komplikasi
epiema.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
mediastinitis.
2012).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
terlokalisir/ terbatas pada jaringan peritonsilar yang terbentuk sebagai hasil dari
supuratif tonsilitis. Gejala klinis meliputi odinofagia (nyeri menelan) yang hebat,
biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi),
mulut berbau, banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau, dan kadang-kadang sukar
membuka mulut (trismus), Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti
dengan tonsilektomi.
sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar
regional.
eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Beberapa macam terapi yang
selama ini dikenal adalah pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simptomatik,