Anda di halaman 1dari 23

Laboratorium / SMF Ilmu Penyakit THT REFERAT

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

ABSES PERITONSIL

Oleh:

Joerdy Putra Panannangan 1910017035


Dinni Astriani 1910017049

Pembimbing:
dr. Rahmawati, Sp.THT-KL

LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA

Oktober 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang “Abses Peritonsil”. Referat ini
disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Rahmawati, Sp. THT-
KL selaku dosen pembimbing klinik yang telah memberikan banyak bimbingan,
perbaikan dan saran penulisan sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga penyusun
mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan referat ini. Akhir kata, semoga
referat ini berguna bagi penyusun sendiri dan para pembaca.

Samarinda, 19 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................................... 1

1.2. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 3

2.1. Anatomi .............................................................................................................. 3

2.2. Definisi Abses Peritonsil .................................................................................... 7

2.3. Etiologi ............................................................................................................... 7

2.4. Patogenesis ......................................................................................................... 8

2.5. Gejala Klinis....................................................................................................... 9

2.6. Diagnosis .......................................................................................................... 10

2.6.1. Anamnesis .................................................................................................... 10

2.6.2. Pemeriksaan Fisik......................................................................................... 11

2.6.3. Pemeriksaan Penunjang ................................................................................ 12

2.7. Tatalaksana....................................................................................................... 13

2.7.1. Manajemen Umum ....................................................................................... 13

2.7.2. Manajemen Bedah ........................................................................................ 14

2.8. Prognosis .......................................................................................................... 16

2.9. Komplikasi ....................................................................................................... 16

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 18

3.1. Kesimpulan ...................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Nyeri pada daerah leher terutama tenggorok dan disertai dengan demam dan
terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan
disebabkan oleh adanya abses pada leher dalam. Abses leher dalam terbentuk di dalam
ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari
berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan
leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher
dalam yang terlibat. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil (quinsy), abses
retrofiring, abses parafaring, abses submandibula, dan angina Ludovici (ludwig’s
angina) (Fachrudin, 2017).

Abses peritonsil adalah suatu komplikasi supuratif dari infeksi akut tonsil
(tonsillitis akut), yang biasanya dapat diterapi dengan drainase dan pemberian
antibiotic. Sebagian besar kasus dilaporkan pada anak yang lebih dewasa, remaja, dan
dewasa muda (Marom et al., 2010). Abses peritonsilar dikenal juga dengan nama
quinsy, merupakan sekumpulan pus yang terlokalisir pada ruang peritonsilar di antara
kapsul tonsillar dan otot konstriktor faringis superior (Segal et al., 2009).

Abses peritonsilar sering terjadi akibat komplikasi atau kelanjutan dari


tonsillitis akut. Infeksi merupakan penyebab utama terbentuknya formasi abses.
Penyebab lain yang dapat menyebabkan terjadinya abses adalah riwayat merokok dan
penyakit periodontal kronis yang berlanjut menjadi abses peritonsil atau quinsy. Infeksi
dapat disebabkan oleh berbagai macam bakteri, di antaranya adalah streptococcus beta-
hemolytic group A, staphylococcal, pneumococcal, dan lain sebagainya (Gupta &
McDowell, 2020).

Abses peritonsilar merupakan penyakit infeksi yang cukuo sering dijumpai di


regio kepala dan leher. Insidensi terjadinya diperkirakan sekkitar 1 dari 10.000,

1
menjadikan infeksi ini merupakan infeksi yang paling sering dijumpai pada penyakit
infeksi kepala dan leher. Infeksi ini lebih sering terjadi pada populasi remaja, walaupun
penyakit ini dapat terjadi pada kelompok usia berapapun. Tidak ada predileksi jenis
kelamin dan ras untuk penyakit ini. Di Amerika Serikat, insidensi penyakit adalah 30
per 100.000 dengan rentang usia pasien berkisar dari 5 sampai 59 tahun. Abses
peritonsilar sangat jarang terjadi pada usia kurang dari lima tahun (Gupta & McDowell,
2020).

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan ini adalah sebagai bahan belajar bagi dokter muda ataupun pembaca
lainnya mengenai anatomi faring, serta definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari abses
peritonsil (quinsy).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
Pada bagian dalam mulut terdapat jaringan-jaringan limfoid yang mengelilingi
faring yang disebut sebagai cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan
beberapa kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu tonsil palatina
(tonsil faucial), tonsil faring (adenoid), tonsil lingual pada pangkal lidah, tonsil tuba
eustachius pada lateral band dinding faring (Ellis & Mahadeva, 2010).

Tonsil palatina adalah suatu masa jaringan limfoid yang terdapat pada fosa
tonsil pada kedua sisi lateral orofaring dan memiliki batas anterior berupa otot
palatoglosus dan berbatas posterior dengan otot palatofaringeus. Tonsil berbentuk obal
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas
ke dalam jaringan tonsil (Ellis & Mahadeva, 2010).

Gambar 2.1 Cincin Waldeyer

Tonsil palatina terdapat di dalam fosa tonsil atau sinus tonsil yang dibatasi oleh
otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah muskulus palatoglosus, batas lateral atau

3
dinding lateralnya adalah muskulus konstriktor faring superior. Batas posterior adalah
muskulus palatofaringeus. Batas anterior dan posterior biasa disebut juga sebagai pilar
anterior dan pilar posterior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga
mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah
otot vertical yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak
dan ke atas bawah meluas hingga dinding lateral esophagus. Pilar anterior dan posterior
bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke
jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring (Gadre & Gadre, 2006).

Tonsil mendapat suplai darah dari cabang-bacang arteri karotis eksterna, yaitu

1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris


dan arteri palatina asenden.
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden
3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal
4. Arteri faringeal asenden

Sisi bawah tonsil diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal di bagian anteriornya
dan arteri palatina asenden di bagian posterior, dan arteri tonsilaris di antara daerah
tersebut. Sisi atas tonsil mendapat aliran darah dari arteri faringeal asenden dan arteri
palatina desenden. Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar muskulus
konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri
palatina asenden bercabang melalui muskulus konstriktor superior melalui tonsil.
Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar
muskulus konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan
mengirimkan cabangnya ke tonsil, pilar anterior, dan pilar posterior. Arteri palatina
desenden atau arteri palatina minor atau arteri palatina posterior memperdarahi tonsil
dan palatum mole dari dan membentuk anastomosis dengan arteri palatina asenden.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.
Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faring
(Gadre & Gadre, 2006).

4
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V (nervus trigeminus)
melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf ke IX (nervus
glosofaringeus). Ruang peritonsil digolongkan sebagai ruang intrafaring walaupun
secara anatomi terletak di antara fasia leher dalam. Dinding medial ruang peritonsil
dibentuk oleh kapsul tonsil, yang terbentuk dari fasia faringo-basilar dan menutupi
bagian lateral tonsil. Dinding lateral ruang peritonsil dibentuk oleh serabut horizontal
otot konstriktor superior dan serabut vertical otot palatofaringeal. Batas-batas superior,
inferior, anterior dan posterior ruang peritonsil ini juga dibentuk oleh pilar-pilar
anterior dan posterior tonsil (Gadre & Gadre, 2006).

Gambar 2.2 Kavitas Oral dan Ruang Peritonsil (Paulsen & Waschke, 2012)

5
Gambar 2.3 Pembuluh Darah dan Persarafan pada Faring (Paulsen &
Waschke, 2012)

6
Gambar 2.4 Ruang Peritonsil (Ellis & Mahadeva, 2010)

2.2. Definisi Abses Peritonsil


Abses peritonsil (quinsy) adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah
orofaring. Abses peritonsil merupakan suatu kumpulan pus yang terlokalisir pada
jaringan peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari tonsillitis akut berulang
atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi biasanya akan
menembus kapsul tonsil pada kutub atas tonsil dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat
di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil (Finkelstein et al., 1993).

2.3. Etiologi
Proses abses ini terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut atau infeksi
yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya
mikroorganisme penyebabnya sama dengan penyebab tonsillitis, dapat ditemukan
bakteri aerob dan anaerob. Kebanyakan bakteri penyebab adalah golongan
Streptococcus seperti Streptococcus viridians, Streptococcus beta hemolytic group A,
dan lain sebagainya. Selain itu campuran bakteri gram positif dan negative juga
diidentifikasi pada abses sebagai penyebab umum (Megalamani et al., 2008).

7
Infeksi tonsila dapat berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah tonsila
meluas sampai palatum mole. Kelanjutkan proses ini menyebabkan abses
peritonsilaris. Kelainan ini terjadi cepat, dengan awitan awal dari tonsillitis, atau akhir
dari perjalanan penyakit tonsillitis akut. Hal ini dapat terjadi walaupun diberikan
penisilin. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan
dewasa muda.

Biakan tenggorokan diambil tetapi seringkali tidak membantu dalam


mengetahui organisme penyebab. Pasien tetap diobati dengan terapi antibiotic terlebih
dahulu. Biakan dari drainase abses yang sebenarnya dapat menunjukkan terutama
Streptococcus pyogens dan, yang agak jarang, Staphylococcus aureus. Selain itu
ditemukan juga insidensi yang tinggi dari bakteri anaerob, yang memberikan bau busuk
pada drainase. Organisme-organisme tersebut biasanya ditemukan dalam rongga mulut
termasuk anggota dari family Bacteroidaceae (Adams, 1997).

2.4. Patogenesis
Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan
peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau
bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan
menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam ruang
jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil. Perluasan infeksi dan
abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring (Finkelstein et al., 1993).
Lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan peritonsil dan dapat
menembus kapsul tonsil. Hal ini kemudian akan menyebabkan penumpukan pus atau
pus meluas ke arah otot konstriktor faring superior menuju ruang parafaring dan
retrofaring terdekat. Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra
tonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan
cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa
makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika
terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul
sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran

8
kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis
peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut
akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya abses (Galioto, 2017)
Pemeriksaan kultur yang telah dilakukan menumbuhkan populasi bakteri aerob
dan anaerob sama banyaknya dengan campuran flora yang melibatkan mikroorganisme
gram negatif dan gram positif. Beberapa penelitian dengan mengisolasi bakteri
menunjukkan Streptococcus viridians merupakan penyebab terbanyak infeksi abses
peritonsil, diikuti oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A. Bakteri anaerob dan
Streptococcus gram positif telah diidentifikasi sebagai agen etiologi umum (Fachrudin,
2017).
Apapun bakteri/kuman yang menjadi penyebabnya, proses infeksi ini
menunjukkan bahwa mekanisme pertahanan pertama dari orofaring penerima (host)
telah ditembus dan sebagai akibatnya mikroorganisme tersebut masuk menembus
jaringan orofaring. Ketika bakteri menembus jaringan, tubuh secara alami akan
menggerakkan beberapa mekanisme pertahanan. Secara umum bakteri akan mati oleh
aktifitas sel-sel fagosit. Antibodi memainkan peranan penting melawan toksin-toksin
bakteri, tetapi bagaimana peranan antibodi dalam melawan bakteri penyebab inflamasi
peritonsil akut masih belum diketahui.

2.5. Gejala Klinis


Pada abses peritonsil dapat terjadi gejala dan tanda tonsilitis akut, selain itu
dapat ditemukan nyeri menelan (odinofagia) yang hebat, nyeri telinga (otalgia) pada
sisi yang sama, terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak
ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang sukar
membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibular dengan nyeri
tekan (Fachrudin, 2017)
Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3 sampai 5 hari sebelum
pemeriksaan dan diagnosis. Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok yang terus
menerus hingga keadaan yang memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa
nyeri terlokalisir, demam tinggi, (sampai 40°C), lemah dan mual. Odinofagi dapat

9
merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan
bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi
hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut
berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi) sampai nyeri alih ke telinga (otalgi).
Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid. Penderita
mengalami kesulitan berbicara, suara menjadi seperti suara hidung, membesar seperti
mengulum kentang panas (hot potato’s voice) karena penderita berusaha mengurangi
rasa nyeri saat membuka mulut. Hot potato voice merupakan suatu penebalan pada
suara. Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua
tonsil terinfeksi pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua
akan membengkak setelah tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara
bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada
pemeriksaan fisik penderita dapat menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan
pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal / servikal adenopati. Di saat abses sudah
timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah peritonsilar yang terlibat
disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum mole yang terkena. Tonsil sendiri
pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau tertutup oleh
mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya uvula
pada sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau
di belakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan pembengkakan
supraglotis dan obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini penderita akan tampak cemas
dan sangat ketakutan. Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak
menunjukkan gejala yang sama dengan pada kutub superior. Umumnya uvula tampak
normal dan tidak bergeser, tonsil dan daerah peritonsil superior tampak berukuran
normal hanya ditandai dengan kemerahan.

2.6. Diagnosis
2.6.1. Anamnesis

Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dilakukan


berdasarkan anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik

10
penderita. Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, agama, status
perkawinan, pekerjaan, dan alamat rumah. Data ini sangat penting karena data tersebut
sering berkaitan dengan masalah klinik maupun gangguan sistem organ tertentu.
Kemudian pada anamnesis ditanyakan keluhan utama dan gejala lain untuk diagnosis
sesuai dengan gejala klinisnya seperti adanya rasa sakit/nyeri menelan (odinofagi), rasa
mengganjal di tenggorokan, demam, nyeri dipangkal hidung/dekat kantus medius,
gangguan penciuman, batuk, lendir di tenggorokan yang keluar dari belakang hidung
(post nasal drip).

2.6.2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan klnis secara lengkap mulai dari tanda-tanda vital. Pemeriksaan


status lokalis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus. Palatum mole tampak
menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak
detritus, terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong kearah sisi yang
sehat (kontralateral). Dapat ditemukan banyak ludah didalam mulut.

Gambar 2.5 Abses Peritonsil pada Pemeriksaan Fisik

11
2.6.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis juga


untuk perencanaan penatalaksanaan.

1) Pemeriksaan laboratorium
Darah lengkap, elektrolit, dan kultur darah. Aspirasi jarum merupakan
“gold standar” untuk mendiagnosa abses peritonsilar dengan
mengumpulkan pus dari abses.
2) Pemeriksaan radiologi
a) Ultrasonografi
Merupakan teknik yang simpel dan noninvasif dan dapat membantu
dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses. Saat ini
ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara
spesifik dan mungkin dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan.
Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah
sebelum melakukan operasi dan drainase secara pasti Mayoritas kasus
yang diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan
gambaran sentral hypoechoic.
b) CT-Scan
75% spesifik dan 100% sensitif saat mendiagnosis abses peritonsillar.
Pada tonsil dapat terlihat daerah yang hipodens yang menandakan
adanya cairan pada tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat
pembesaran yang asimetris pada tonsil.

12
Gambar 2.6 CT-Scan Abses Peritonsil

2.7. Tatalaksana
2.7.1. Manajemen Umum

Drainase, terapi antibiotik, dan terapi suportif untuk menjaga hidrasi dan
pengendalian nyeri adalah landasan pengobatan untuk abses peritonsillar. Antibiotik
intravena yang sesuai harus segera dimulai. Spektrum antibakteri harus mencakup
gram positif, gram negatif, dan anaerob. Antibiotik empiris yang umum digunakan
adalah penisilin seperti ampisilin / amoksisilin yang dikombinasikan dengan
metronidazol atau klindamisin. (Idealnya, terapi antibiotik harus dimulai sesuai laporan
sensitivitas kultur). Seorang pasien dialihkan ke antibiotik oral begitu ia membaik dan
dapat mentolerir secara oral.
Analgesik dan antipiretik diberikan untuk meredakan nyeri dan demam. Peran
steroid masih kontroversial. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dosis tunggal
deksametason intravena (IV) mengurangi masa inap di rumah sakit dan keparahan
gejala. Tindakan konservatif ini dapat menyembuhkan peritonsilitis. Namun, untuk
abses peritonsillar, drainase harus dilakukan bersamaan dengan manajemen medis.

13
2.7.2. Manajemen Bedah

Aspirasi dengan jarum berlubang lebar berfungsi untuk tujuan diagnostik dan
terapeutik. Nanah yang disedot dapat dikirim untuk mengetahui sensitivitas kultur, dan
dalam beberapa kasus, insisi dan drainase lebih lanjut mungkin tidak diperlukan. Insisi
dan drainase intraoral dilakukan dalam posisi duduk untuk mencegah aspirasi nanah.
Mukosa mulut dan laring dianestesi dengan semprotan lidokain 10%. Tempat insisi
ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang
menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan
drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di
lipatan supratonsillar. Forsep Quinsy atau pisau berpelindung No. 11 dan kemudian
tang sinus dimasukkan untuk mematahkan lokulus. Bukaan yang dibuat dibiarkan
terbuka untuk ditiriskan, dan pasien diminta untuk berkumur dengan larutan natrium
klorida. Ini membantu drainase diri dari material yang terkumpul. Pada pasien muda
yang tidak kooperatif atau mereka yang terkena dampak di lokasi yang tidak biasa,
prosedur mungkin harus dilakukan dengan anestesi umum. Drainase atau aspirate yang
sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.

14
Gambar 2.7 Aspirasi untuk Tujuan Diagnostik dan Terapeutik
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di
ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a”
chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi
“a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut
tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang,
yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses. Tonsilektomi merupakan indikasi absolut
pada orang yang menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada
ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk
kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada
abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian
mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.

15
Gambar 2.8 Algoritma Manajemen Abses

2.8. Prognosis
Pemberian antibiotik yang adekuat dan drainase abses merupakan penanganan
yang kebanyakan hasilnya baik, dalam beberapa hari terjadi penyembuhan. Dalam
jumlah kecil, diperlukan tonsilektomi beberapa lama kemudian. Bila pasien tetap
mengeluh sakit tenggorok setelah insisi abses, maka tonsilektomi menjadi indikasi.
Kekambuhan abses peritonsil pada usia lebih muda dari 30 tahun lebih tinggi terjadi,
demikian juga bila sebelumnya menderita tonsilitas sebelumnya sampai 5 episode.

2.9. Komplikasi
Komplikasi dari abses peritonsil yang dapat terjadi adalah:

1) Abses parapharyngeal
2) Abses retropharyngeal
3) Edema laring menyebabkan gangguan jalan napas
4) Pneumonia atau abses paru yang jarang terjadi setelah aspirasi abses pecah
5) Sepsis

16
6) Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat menyebabkan thrombus
sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.

17
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Abses peritonsil merupakan suatu kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan
peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari tonsillitis akut berulang atau
bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi biasanya akan
menembus kapsul tonsil pada kutub atas tonsil dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat
di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil (finklestein). Pada abses peritonsil
dapat ditemukan nyeri menelan (odinofagia) yang hebat, nyeri telinga (otalgia) pada
sisi yang sama, terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak
ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadang-kadang sukar
membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibular dengan nyeri
tekan. Drainase, terapi antibiotik, dan terapi suportif untuk menjaga hidrasi dan
pengendalian nyeri adalah landasan pengobatan untuk abses peritonsillar. Pemberian
antibiotik yang adekuat dan drainase abses merupakan penanganan yang kebanyakan
hasilnya baik, dalam beberapa hari terjadi penyembuhan. Dalam jumlah kecil,
diperlukan tonsilektomi beberapa lama kemudian. Jika abses peritonsil tidak ditangani
dengan tepat maka akan timbul beberapa kompikasi yang mungkin terjadi seperti abses
parapharyngeal, abses retropharyngeal, edema laring menyebabkan gangguan jalan
napas, pneumonia atau abses paru yang jarang terjadi setelah aspirasi abses pecah,
sepsis, bahkan bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat menyebabkan
thrombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak.

18
DAFTAR PUSTAKA

Adams, G. L. (1997). Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. In Boies: Buku


Ajar Penyakit THT (6th ed., p. 333). EGC.

Ellis, H., & Mahadeva, V. (2010). Clinical Anatomy: Applied Anatomy for Students
and Junior Doctors (12th ed.). Wiley-Blackwell.

Fachrudin, D. (2017). Abses Leher Dalam. In Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher (pp. 202–203). Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Finkelstein, Y., Bar-Ziv, J., Nachmani, A., Berger, G., & Ophir, D. (1993). Peritonsillar
Abscess as a Cause of Transient Velopharyngeal Insufficiency. The Cleft Palate-
Craniofacial Journal, 30(4), 421–428.

Gadre, A. K., & Gadre, K. C. (2006). Infection of the Deep Spaces of The Neck. In B.
J. Bailey, J. T. Johnson, & S. D. Newlands (Eds.), Head & Neck Surgery -
Otolaryngology (4th ed.). Lippincott Williams & Wilkins.

Galioto, N. J. (2017). Peritonsillar Abscess. American Family Physician, 95(8), 501–


506. https://doi.org/10.1097/00152193-197911000-00008

Gupta, G., & McDowell, R. H. (2020). Peritonsillar Abscess. StatPearls Publishing.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519520/

Marom, T., Cinamon, U., Itskoviz, D., & Roth, Y. (2010). Changing Trends of
Peritonsillar Abscess. American Journal of Otolaryngology - Head and Neck
Medicine and Surgery, 31(3), 162–167.
https://doi.org/10.1016/j.amjoto.2008.12.003

Megalamani, S. B., Suria, G., Manickam, U., Balasubramanian, D., &


Jothimahalingam, S. (2008). Changing Trends in Bacteriology of Peritonsillar
Abscess. The Journal of Laryngology & Otology, 122(9), 928–930.

19
https://doi.org/DOI: 10.1017/S0022215107001144

Paulsen, F., & Waschke, J. (Eds.). (2012). Kepala: Mulut dan Rongga Mulut. In
Sobotta: Atlas Anatomi Manusia: Kepala, Leher, dan Neuroanatomi (23rd ed.).
EGC.

Segal, N., El-Saied, S., & Puterman, M. (2009). Peritonsillar abscess in children in the
southern district of Israel. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology, 73, 1148–1150.
https://doi.org/10.1016/j.ijporl.2009.04.021

20

Anda mungkin juga menyukai