Anda di halaman 1dari 30

ANATOMI, FISIOLOGI, DAN

PEMERIKSAAN FISIK TENGGOROKAN

Disusun Oleh:
Ahmad Faridz Azhari Siregar 170100205

PEMBIMBING:
dr. H. Vive Kananda, Sp.T.H.T.-K.L

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
laporan kasus berjudul ”Anatomi, Fisiologi, dan Pemeriksaan Fisik Tenggorokan”.
Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program
Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
Dalam proses penyusunan laporan kasus ini, penulis menyampaikan penghargaan
dan terima kasih kepada dr. H. Vive Kananda, Sp.T.H.T.-K.L selaku dosen
pembimbing yang telah membimbing dan membantu penulis selama proses penyusunan
laporan kasus.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
penulisan laporan kasus di kemudian hari. Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan bagi penulisan ilmiah di masa
mendatang.

Medan, Maret 2020

Penulis
ii

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal :

Nilai :

Penguji

dr. H. Vive Kananda, Sp.T.H.T.-K.L


iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2
1.3. Manfaat Penulisan .................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
2.1 Anatomi Mulut dan Tenggorokan ............................................................ 3
2.2.1 Anatomi Mulut ................................................................................. 3
2.2.1 Anatomi Faring ............................................................................... 11
2.2.1 Anatomi Laring ............................................................................... 11
2.2 Fisiologi Tenggorokan ........................................................................... 11
2.2.1 Fisiologi Menelan ........................................................................... 11
2.3 Pemeriksaan Fisik Rongga Mulut, Faring, dan Laring .......................... 16
2.3.1 Pemeriksaan Mulut.......................................................................... 17
2.3.2 Pemeriksaan Laring ......................................................................... 17
BAB III ................................................................................................................. 25
KESIMPULAN ..................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dua cabang ilmu yaitu anatomi dan fisiologi menyediakan dasar untuk
memahami bagian dan fungsi tubuh. Anatomi (proses pemotongan) adalah ilmu
tentang struktur tubuh dan hubungan di antara mereka. Ini pertama kali dipelajari
dengan diseksi (dis-pisahkan; -bagian tindakan memotong), pemotongan hati-hati
struktur tubuh untuk mempelajari hubungan mereka Sedangkan anatomi berkaitan
dengan struktur tubuh, fisiologi (fisio-nature; -logy study of) adalah ilmu tentang
fungsi tubuh - bagaimana bagian-bagian tubuh bekerja. (Tortora 2018)

Dalam bidang Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) anatomi dan fisiologi
merupakan pintu masuk bagi siapapun agar dapat memahami bidang THT ini lebih
dalam lagi, sehingga pemahaman tentang Anatomi dan Fisiologi organ-organ yang
tercakup dalam THT perlu untuk dipahami dan dikuasai oleh siapapun yang ingin
mendalami tentang THT. Salah satu topik yang dibahas dalam THT adalah
Tenggorokan. Jika ditinjau dari sisi anatomi dan fisiologinya, tenggorokan
memiliki peran penting dalam hal sistem respirasi, sistem pencernaan manusia.
Termasuk didalamnya sistem imunitas tubuh. Setelah mengetahui kondisi serta
mekanisme cara kerja tubuh melalui Anatomi dan Fisiologi maka barulah seorang
praktisi Kesehatan dapat melakukan pemeriksaan lanjutan terkait dengan
tenggorokan (Tortora 2018)

Pemeriksaan fisik mulai dari rongga mulut, tenggorok (Faring), maupun laring
penting dan wajib diketahui oleh mahasiswa kedokteran agar dapat menentukan
kondisi seseorang pasien terkait dengan kesehatannya. Atas dasar itulah maka
makalah ini penting untuk dibuat sehingga dapat meningkatkan pemahaman kita
terhadap Anatomi, Fisiologi, serta pemeriksaan fisik Tenggorokan.

1
2

1.2. Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai anatomi, fisiologi, dan
pemeriksaan pada tenggorokan serta untuk melengkapi tugas Program Pendidikan
Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.3. Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan makalah ini adalah bagian dari proses penulis dalam
menimba ilmu pengetahuan dalam pelajaran dasar tentang tenggorokan serta
bagaimana penulis mengaplikasikan keterampilan dalam penyusunan makalah ini.
serta menambah pemahaman bagi orang yang membaca makalah ini.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mulut dan Tenggorokan


2.1.1 Mulut
A. Bibir dan relung/lekukan bibir

Dilihat dari frontal bibir atas dan bawah (labium superius dan inferius) menyatu
pada sudut mulut (angulus oris). Akses masuk kedalam rongga mulut (cavitas oris)
adalah melalui celah mulut (rima oris). Perubah perubahan pada bibir yang
ditemukan Ketika melakukan inspeksi dapat memberikan informasi diagnostic
yang penting: bibir yang membiru (sianosis) mengindikasikan penyakit-penyakit
jantung dan/atau paru, sedangkan lipatan nasolabial yang dalam dapat merupakan
suatu tanda penyakit kronis tractus gastrointestinalis. (Schunke et al., 2016)

Gambar 1. Anatomi bibir (Schunke et al., 2016)

B. Rongga Mulut (Cavitas Oris)

Dilihat dari ventral. Kedua dertan gigi dengan Procc. Alveolares rahang atas
dan bawah membagi rongga mulut menjadi:

- Vestibulum oris: serambi rongga mulut antara bibir atau pipi deretan gigi
- Cavitas oris propria: rongga mulut yang sebenarnya (didalam deretan gigi, batas
belakang: Arcus palatoglossus)

3
4

- Fauces: Tenggorokan (batas Pharynx: Arcus palatoglossus)


Tenggorokan beralih melewati penyempitan tenggorokan (Isthmus faucium)
ke pharynx. Rongga mulut dilapisi oleh epitel gepeng berlapis tidak berkeratin,
yang dijaga kelembapannya oleh kelenjar-kelenjar ludah yang berukuran kecil.
(Schunke et al., 2016)

Gambar 2. Rongga mulut (Schunke et al., 2016)

C. Bagian-bagian dan Batasan rongga mulut

Potongan Median sagittal, dilihat dari kiri, otot-otot dasar mulut Bersama lidah
(yang menumpang ditasanya) membentuk batas kaudal Cavitas oris propria.
Atapnya dibentuk di 2/3 bagian depan oleh langit-langit keras (palatum durum),
sedangkan 1/3 belakang oleh langit-langit lunak atau layar langit-langit (Palatum
mole = Velum palatinum); Uvula palatina membentuk penutupan terhadap pharynx.
Epitel gepeng berlaps berkeratin dari kulit beralih menjadi epitel gepeng berlapis
tanpa lapisan berkeratin rongga mulut. Diatas rongga mulut ditemukan rongga
hidung. Dibelakang rongga mulut terletak Pharynx; dibagian pertengahannya di
Oropharynx, saluran napas dan saluran makanan saling bersilangan. (Schunke et
al., 2016)
5

Gambar 3. Potongan sagittal Median Batasan rongga mulut (Schunke et al., 2016)

2.1.2 Faring

A. Potongan Sagital Median

Dilihat dari kiri dapat dilihat dinding pemisah rongga hidung, rongga mulut,
pharynx, trakea dan esofagus. Pada peralihan rongga hidung dan mulut ke pharynx,
terletak tonsil-tonsil cincin Pharynx limfatik, yang berperan penting dalam
pengenalan dini dan pertahanan terhadap kuman-kuman penyebab penyakit (pada
peradangan lebih berat terjadi penjalaran kedalam ruang peripharyngeal. Tonsil ini
dibagi menjadi Tonsilla pharyngea (amandel tenggorok yang tidak berpasangan
pada atap Pharynx), Tonsillae palatinae (amandel langit-langit berpasangan antara
kedua lengkung langit-langit), dan Tonsilla lingualis (amandel lidah yang
berpasangan pada pangkal lidah). Selain itu, terdapat jaringan limfatik disekitar
muara tuba (tonsilla tubaria), yang berlanjut menjadi berkas lateral limfatik (Plica
salpingopharyngea) ke arah kaudal. (Schunke et al., 2016)

Tuba auditive menghubungkan pharynx dengan telinga tengah dan menjaga


keseimbangan tekanan udara ditelinga tengah. Pembengkakan didaerah muara tuba,
yang dapatl menutup ostium tubae auditivae sehingga keseimbangan tekanan udara
ditelinga tengah tidak lagi bisa dicapai. Karena itu, gendang telinga tidak lagi bisa
bergerak bebas: pasien mengalami gangguan pendengaran ringan. Penutupan tuba
6

juga bisa disebabkan oleh pembesaran tonsilla Pharyngea yang dapat menutup
lumen tuba (polip pada anak-anak kecil) (Schunke et al., 2016)

Gambar 4. Potongan Sagital Median (Schunke et al., 2016)

B. Pembagian lantai rongga faring (Cavitas pharyngis)

Dilihat dari kiri, Cavitas pharyngis dibagi menjadi Nasopharynx/Epipharynx,


Oropharynx/Mesopharynx, dan Laryngopharynx/Hypopharynx. Jalan udara
sebelah atas dan jalan makann sebelah bawah saling bersilangan di Oropharynx.
(Schunke et al., 2016)

Basisphenoid dan basiocciput membentuk atap nasofaring. Bagian atas dinding


posterior dibentuk oleh anterior lengkungan atlas. Di dinding lateral adalah bukaan
faring dari tabung eustachius sekitar 1,25 cm di belakang ujung posterior turbinate
inferior. Di atas dan di belakang tuba pembukaan adalah reses yang dalam yang
biasanya (Maqbool, 2007)
7

Gambar 5. Pembagian rongga faring (Schunke et al., 2016)

C. Spatium peripharyngeum
Spatium peripharyngeum adalah sebuah ruang jaringan ikat yang meluas dari
bassis cranii sampai ke mediastinum

Potongan horizontal, setinggi dens axis dan teluk tonsil (menurut Tondury)
Spatium peripharyngeum adalah sebuah ruang jaringan ikat yang meluas dari basis
cranii sampai ke mediastinum dan secara topografis dibagi menjadi sebuah Spatium
lateropharyngeum, dan sebuah Spatium retropharyngeum dibelakang pharynx.
Dilihat dari dorsal; jalur pembuluh darah dan saraf spatium peripharyngeum
diperlihatkan seutuhnya dari Fossa cranii posterior sampai ke bukaan thoraks
(Apertura thoracis).
8

Gambaran 6. Faring (lapisan dalam) (Schunke et al., 2016)

D. Vascularisasi Faring

Pasokan arteri ke faring melalui cabang arteri karotis eksternal: Arteri faring
yang naik, cabang arteri facialis, cabang arteri lingual dan maksila, drainase vena
dicapai oleh pleksus vena faring, yang mengalir ke vena jugularis interna.

E. Innervasi Faring

Persarafan motorik dan sensorik dari sebagian besar faring (kecuali nasofaring)
dicapai oleh pleksus faring. Pleksus faring, yang terutama menutupi konstriktor
faring tengah, dibentuk oleh:

-Cabang faring dari saraf glossopharyngeal (CN IX).


-Cabang faring saraf vagus (CN X).
-Cabang dari saraf laring eksternal.
-Serabut simpatis dari ganglion serviks superior.
9

F. Otot pada Faring

Terdapat 2 grup otot utama pada otot faring yaitu longitudinal dan circular, Otot-
otot pada faring hamper semua di innervasi oleh nervus vagus, kecuali otot
stylopharyngeus (oleh N. glossopharyngeus)

a. Sirkular

Terdapat 3 Musculus constrictor pharyngeal yaitu: superior, media, dan inferior,


otot-otot tersebut membentuk lingkaran sirkular tidak sempurna yang menepel di
anterior dari struktur yang ada di leher, otot tersebut berkontraksi secara berurutan
dari superior hingga inferior, yang mengkontraksikan lumen dan bolus hingga
sampai ke dalam esophagus

- M. Constrictor pharyngis Superior: berada paling atas dari pharyngeal constrictor.


Terletak di oropharynx

- M. Constrictor pharyngis medius: berada di laryngopharynx

- M. Constrictor pharyingis inferior: berada di laryngopharynx, memiliki 2


komponen yaitu: komponen superior (thyropharyngeus) memiliki serat oblique
yang menmpel pada tulang rawan thyroid, komponen inferior (cricopharyngeus)
memiliki serat horizontal yang menmpel pada tulang rawan cricoid

b. Longitudinal

Otot longitudinal yaitu stylopharyngeus, palatopharyngeus dan


salphyngopharyngeus. Otot-otot tersebut bekerja dengan cara memendek dan
melebarkan pharynx, dan menaikkan laring saat menelan

-M. stylopharyngeus- berasal dari processus styloid pada tulang temporal, masuk
menuju ke pharynx. Tidak seperti otot pharyngeal lainnya, otot ini diinervasi oleh
n. glossopharyngeal (CN. IX)

-M. palatopharyngeus- berasal dari palatum durum dari rongga masuk menuju ke
faring, diinervasi oleh N. vagus (CN. X)
10

-Salphingopharyngeus – bersal dari tuba eustachius, masuk ke faring, diinervasi


oleh N. vagus (CN.X), sebagai tambahan berkontribusi saat menelan, dan membuka
tuba eustachius untuk menyamakan tekanan pada telinga bagian tengah

2.1.3 Laring

A. Ruang dalam Larynx (Cavitas laringis):

- Dilihat dari dorsal. Tabung otot dan esofagus dibuka disebelah dorsal dan
dibentang lebar keluar (pinggiran sayatan). Ruang dalam Larynx keseluruhan,
kecuali pada lipatan suara, diselaputi dengan mukosa yang terletak longgar diatas
alasnya. Antara tulang rawan arytenoid dan Epiglottis pada kedua sisis terletak
Plicae aryepiglotticae. Disamping plica terdapat Recessus piriformes (selokan
selaput lendir)

B. Lipatan kantung (Plica vestibularis) dan bibir suara (Plica vocales)

Potongan frontal. Didalam gambaran ini, Plicae vestibulares (atau “pita suara
palsu”) dapat dikenali dengan baik. Plicae vestibulares mengandung
Lig.vestibulares yang merupakan ujung bawah bebas dari membrana
quadrangularis. Diantara plica vestibularis, Rima vestibuli terjaga kebebasannya.
Dibawah Plica vestibularis terdapat bibir suara (Plica vocalis, juga disebut lipatan
suara). Plica vocalis mengandung Lig.vocale dan otot suara (M. vocalis), diantara
plica vocalis terdapat celah suara (rima glottidis) yang lebih sempit daripada Rima
vestibuli

C. Pembagian Lantai lantai Larynx dan batasan-batasannya

Larynx dibagi dari kranial kea rah kaudal dalam tiga lantai, ketiga lantai ini
memiliki arti yang penting karena berkaitan dengan drainase limfatik (Schunke et
al., 2016)

Lantai Larynx Dimensi Luas


Ruang supraglotis (Vestibulum Dari pintu masuk Larynx (Aditus
larynges I) larynges) sampai ke Plica vestibulares
11

Ruang transglotis (Cavitas larynges Dari Plica vestibularis melalui


intermedia II) Ventriculus larynges ( sebuah kantung
mukosa) sampai ke lipatan suara (Plica
vocales)
Ruang Subglotis (Cavitas infraglottica Dari bibir/lipatan suara (Plica vocalis)
III) sampai ke pinggir bawah Cartilago
cricoidea

2.2 Fisiologi Tenggorokan


Faring adalah rongga di bagian belakang tenggorokan. Bertindak sebagai jalur
umum untuk sistem pencernaan (dengan berfungsi sebagai penghubung antara
mulut dan kerongkongan, untuk makanan) dan sistem pernapasan (dengan
menyediakan akses antara saluran hidung dan trakea, untuk udara). Pengaturan ini
membutuhkan mekanisme (akan dijelaskan segera) untuk memandu makanan dan
udara ke jalur yang tepat di luar faring. Bertempat di dalam dinding samping faring
adalah amandel, jaringan limfoid yang merupakan bagian dari tim pertahanan
tubuh. Motilitas yang terkait dengan faring dan kerongkongan saat menelan.
Sebagian besar dari kita berpikir menelan sebagai tindakan terbatas memindahkan
makanan dari mulut ke kerongkongan. Namun, menelan adalah seluruh proses
memindahkan makanan dari mulut melalui kerongkongan ke lambung. (Sherwood
L, 2015)

2.2.1 Fisiologi Menelan


Menelan adalah proses berurutan secara berurutan refleks bersifat all or none
process yaitu jika sebuah inisasi terjadi maka rangkaian urutan mekanisme lainnya
juga akan mengikuti. (Sherwood L, 2015)

Proses ini melibatkan tiga tahap: Tahap pertama (volunter) Setelah makanan
dikunyah dan dibuat menjadi bolus, bagian posterior lidah mendorong makanan ke
orofaring. Langit-langit lunak naik dan menutup nasofaring sehingga makanan
tidak masuk ke arah rongga hidung. (Sherwood L, 2015)
12

Gambar 7. Proses Awal Menelan Pada Rongga Mulut (kondisi istirahat)


(Sherwood, 2015)

Selama menelan, makanan dicegah memasuki lorong yang salah,


Tahap orofaringeal terdiri dari memindahkan bolus dari mulut melalui faring dan
masuk ke kerongkongan. Ketika lidah mendorong bolus ke dalam faring (langkah
2), kegiatan terkoordinasi berikut mencegah bolus dari memasuki saluran
pernapasan dan mengarahkannya ke kerongkongan: (Sherwood L, 2015)

- Pusat menelan untuk sementara menghambat pusat pernafasan tengah pada


batang otak (langkah 3); dengan demikian orang tersebut tidak mencoba upaya
pernafasan yang sia-sia sementara saluran udara ditutup sebentar

- Uvula terangkat dan mengarah ke belakang tenggorokan, menutup saluran


hidung dari faring (nasofaring) sehingga makanan tidak masuk ke hidung (langkah
4)
13

Gambar 8. Proses Menelan Oropharyngeal Stage (Sherwood, 2015)

- Makanan dicegah memasuki trakea terutama dengan peninggian laring dan


penutupan pita suara yang rapat (langkah 6), Bagian pertama dari trakea adalah
laring, atau kotak suara, di mana pita suara berada diregangkan. Selama menelan,
pita suara memiliki tujuan yang tidak berhubungan dengan ucapan. Kontraksi otot
laring menyelaraskan pita suara dalam posisi yang rapat satu sama lain, dengan
demikian menyegel pintu masuk glotis. Terakhir, epiglotis (epi berarti "di atas"),
lipatan jaringan tulang rawan di anterior glottis, terlipat ke belakang di atas glotis
yang tertutup sebagai perlindungan lebih lanjut dari makanan yang memasuki
saluran pernapasan (langkah 7).

- Dengan glotis tertutup, otot faring berkontraksi untuk memaksa bolus ke


kerongkongan (langkah 8).

- Selama menelan, pharyngoesophageal sphincter tetap tertutup akibat kontraksi


saraf otot yang diinduksi. Kontraksi tonik dari sfingter esofagus bagian atas ini
mencegah sejumlah besar udara memasuki esofagus dan lambung selama bernapas,
sehingga mencegah erosi yang berlebihan (bersendawa). Sebagai gantinya, udara
diarahkan hanya ke saluran pernapasan. Selama menelan, sfingter ini terbuka dan
memungkinkan bolus masuk kerongkongan (langkah 8)
14

Gambar 9. Proses Menelan Oropharyngeal Stage (2) (Sherwood, 2015)

- Setelah bolus memiliki memasuki kerongkongan, sfingter faringoesofagus


menutup, saluran pernapasan dibuka, dan bernapas dilanjutkan (langkah 9). Tahap
orofaringeal selesai, dan sekitar 1 detik telah berlalu sejak menelan dimulai.

Gambar 10. Proses Menelan Esophageal stage (Sherwood, 2015)

- Gelombang peristaltik mendorong makanan masuk kerongkongan. Tahap


esofagus dari menelan sekarang dimulai. Pusat menelan memicu gelombang
15

peristaltik primer yang menyapu dari awal hingga akhir kerongkongan, memaksa
bolus di depannya menuju lambung. Istilah peristaltic mengacu pada kontraksi
seperti cincin dari otot polos melingkar yang bergerak maju secara progresif,
mendorong bolus ke area rileks sebelum kontraksi (langkah 10). Gelombang
peristaltik membutuhkan waktu sekitar 5 hingga 9 detik untuk mencapai ujung
bawah kerongkongan. Kemajuan gelombang dikendalikan oleh pusat menelan,
dengan persarafan melalui vagus. Jika bolus tertelan besar atau lengket, seperti
seiris kacang tanah sandwich mentega, gagal dibawa ke perut oleh gelombang
peristaltik primer, bolus yang menempel di esofagus, merangsang reseptor
peregangan di dalam dindingnya. Menanggapi rangsangan, pleksus saraf intrinsik
pada titik distensi memulai gelombang peristaltik tambahan untuk membersihkan
bolus yang bersarang.

- Gelombang peristaltik sekunder ini tidak melibatkan proses menelan pusat, juga
tidak orang yang menyadari kemunculannya. Distensi dari kerongkongan juga
secara refleks meningkatkan sekresi saliva. Itu bolus yang terperangkap akhirnya
terlepas dan dipindahkan ke depan efek gabungan pelumasan oleh air liur yang
ditelan ekstra dan gelombang peristaltik sekunder yang kuat. Peristaltik esofagus
sangat efektif sehingga Anda bisa makan sepanjang waktu terbalik dan semuanya
akan segera didorong ke perut.

- Gastropharyngeal spinchter pada oesophagus mencegah refluks isi lambung.


Kecuali saat menelan, sfingter gastroesophageal, yang merupakan otot polos
berbeda dengan esofagus bagian atas sfingter, tetap tertular secara aktivitas
miogenik. Kontraksi juga meningkat selama inspirasi, mengurangi kemungkinan
refluks asam lambung ke kerongkongan selama waktu subatmosfterik tekanan
intrapleural akan mendukung pergerakan isi lambung ke belakang. Jika isi lambung
mengalir ke belakang meskipun sfingter, keasaman isinya mengiritasi
kerongkongan, menyebabkan ketidaknyamanan esofagus yang dikenal sebagai
“heartburn”.

- Saat gelombang peristaltik menyapu kerongkongan, itu gastroesophageal


sphincter mengendur sehingga bolus bisa lewat ke dalam lambung (langkah 11).
16

Setelah bolus memiliki masuk ke perut, menelan selesai dan ini lebih rendah
sfingter esofagus berkontraksi lagi.

Gambar 11. Proses Menelan Esophageal Stage Akhir (Sherwood, 2015)

Sekresi esofagus sepenuhnya bersifat protektif. Sekresi esofagus seluruhnya


adalah lender (mucus), yang melumasi bagian makanan, sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya esofagus. kerusakan oleh ujung tajam pada makanan. Juga,
lendir membantu melindungi kerongkongan akibat kerusakan asam dan enzim
dalam gastric juice jika terjadi refluks lambung. (Faktanya, lendir pelindung
disekresikan di sepanjang saluran pencernaan.) Seluruh waktu transit di faring dan
esofagus rata-rata hanya 6 hingga 10 detik, waktu yang terlalu singkat untuk
pencernaan apa pun. atau serapan di wilayah ini

2.3 Pemeriksaan Rongga Mulut Faring, dan Laring


Pemeriksaan Rongga mulut, Faring dan Laring dapat dilakukan secara
berurutan maka kita perlu menyiapkan alatnya terlebih dahulu seperti:

Persiapan alat

- Laryngeal mirror, ukuran 4 atau 5 (maupun dental mirror)


- Pencahayaan yang kuat, idealnya adalah lampu kepala (head lamp) yang
terang
- Kain kasa
- Local anastesi (spray atau vicous solution)
- Kacama mata protektif
17

- Lampu spiritus
- Spatula lidah

2.2.2 Pemeriksaan Rongga Mulut dan Faring


Gejala yang umum terjadi pada penyakit oropharyngeal:
1. Nyeri merupakan gejala umum di daerah orofaring biasanya akibat akut
infeksi seperti tonsilitis, abses tonsil, trauma dan terkadang karena
karsinoma. Nyeri dari penyakit orofaring mungkin beralih ke telinga
(disebut otalgia sekunder)
2. Kesulitan dalam menelan yang dapat terjadi akibat infeksi akut pada rongga
mulut.
3. Disfagia berarti kesulitan menelan. Ini dapat terjadi akibat berbagai lesi di
mulut rongga, faring dan esofagus. Lesi bisa menjadi inflamasi,
kelumpuhan atau neoplastic

Gambar 12. Penyebab terjadinya Disfagia (Maqbool, 2015)

4. Kesulitan dalam Respirasi Bisa menyebabkan trauma, tumor dan infeksi


obstruksi jalan nafas. Ludwig's angina, difteri dan abses peritonsillar
melibatkan laring dan mengakibatkan dispnea.
5. Kesulitan dalam Berbicara, Kelumpuhan palatal atau terkadang
adenoidektomi menyebabkan penutupan yang tidak tepat dari isthmus
18

nasopharyngeal yang mengakibatkan hipernalitas suara yang disebut


rhinolalia aperta
6. Adenoid atau nasofaring membesar tumor menghasilkan suara hidung yang
tertutup. Defek ini disebut rhinolalia clausa
7. Ulserasi pada mukosa faring Ulserasi pada faring mungkin merupakan
manifestasi dari penyakit sistemik seperti leukemia, agranulositosis atau
anemia aplastic
8. Limfadenopati Servikal, Pembesaran nodus serviks biasanya disebabkan
oleh lesi infektif atau neoplastic dari rongga mulut, faring, laring dan
bronkus

Prosedur pemeriksaan mulut dan faring:

Dengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut, dilihat keadaan bibir,
mukosa rongga mulut, lidah, dan Gerakan lidah dengan menekan bagian tengah
lidah memakai spatula lidah maka bagian-bagian rongga mulut lebih jelas terlihat.
Pmeriksaan dimulai dengan melihat keadaan dinding belakang faring serta kelenjar
limfanya, uvula arkus faring serta gerakannya, tonsil, mukosa pipi, gusi dan gigi
geligi (Soepardi et.al, 2017).

Gambar 13. Pemeriksaan rongga mulut, faring dan tonsil (Sumber: Soepardi et.al, 2017)
19

2.2.3 Pemeriksaan Laring


a. Pemeriksaan Laringoskop Indirect

Pemeriksaan ini diaplikasikan untuk memvisualisasi pita suara dan glotis —


termasuk cincin trakea atas, laring, dan hipofaring — dalam kasus disfonia atau
suara serak yang tidak dapat dijelaskan, sensasi benda asing, atau disfagia. (Ponka
and Baddar, 2013)

Prosedur ini bekerja paling baik di ruangan yang terang benderang, jadi
nyalakan semua lampu. Gunakan lampu depan atau lampu cermin untuk
mengarahkan cahaya sejajar dengan bidang penglihatan Anda. Hangatkan cermin
di atas lampu alkohol atau dengan air hangat untuk mencegah pengabutan.(Ponka
dan Baddar, 2013)

Pasien harus duduk tegak dengan punggung lurus, sedikit condong ke arah
Anda dengan dagu mengarah ke atas (“posisi mengendus”). Duduklah di samping
pasien, dan jadilah lebih tinggi dari pasien. Oleskan anestesi ke faring pasien dan
minta pasien untuk berkumur dan meludah. Uji suhu cermin sebelum memulai
prosedur untuk memastikan tidak terlalu panas. (Ponka and Baddar, 2013)

Prosedur pemeriksaan hipofaring dan laring:

Melanjutkan prosedur pemeriksaan rongga mulut dan faring, maka dilanjutkan


dengan pemeriksaan hipofaring dan laring, setelah menyiapkan alat Setelah pasien
duduk lurus agak condong ke depan dengan leher agak fleksi.

Kaca laring dihangatkan dengan api lampu spiritus agar tidak terjadi
kondensasi uap air pada kaca waktu dimasukkan ke dalam mulut kaca yang sudah
dihangatkan itu dicoba dulu pada kulit tangan kiri apakah tidak terlalu panas. Pasien
diminta membuka mulut dan menjulurkan lidahnya sejauh mungkin. Lidah
dipegang dengan tangan kiri memakai kain kasa dan ditarik keluar dengan hati-hati
sehingga pangkal lidah tidak menghalangi pandangan ke arah laring. Kemudian
kaca laring dimasukkan ke dalam mulut dengan arah kaca kebawah, bersandar pada
20

uvula dan palatum mole. Melalui kaca dapat terlihat hipofaring dan laring. Bila
laring belum terlihat jelas penarikan lidah dapat ditambah sehingga pangkal lidah
lebih ke depan dan epiglotis terangkat (Soepardi et.al, 2017).

Untuk menilai gerakan pita suara aduksi pasien diminta mengucapkan “iiiii”,
sedangkan untuk menilai Gerakan pita suara abduksi dan melihat daerah subglotik
pasien diminta untuk inspirasi dalam. Pemeriksaan laring dengan kaca laring
disebut

Gambar 14. Laringoskopi indirek (Sumber: Soepardi et.al, 2017)

b. Pemeriksaan Laringoskop direk

Pemeriksaan laring langsung dengan memakai alat laringoskop dilakukan oleh


dokter spesialis THT, Flexible fiberoptic laryngoscopy adalah alat yang paling
sering digunakan saat melakukan pemeriksaan laring untuk memvisualisasikan
abonormalitas, biopsy jaringan, menghilangkan pertumbuhan jaringan kecil seperti
polip dari bagian laring. ada banyak jenis/merek laringoskop yaitu Macintosh,
Miller, diproduksi baik sebagai kesatuan maupun terpisah (bilah dan pegangan).
Sumber cahaya dapat berada di bilah maupun pada pegangan. Untuk laringoskop
yang terpisah antara pisau dan pegangan, sumber cahaya dapat berfungsi jika
keduanya disatukan. Pegangan dilengkapi dengan pin engsel yang memudahkan
untuk disatukan pada slot engsel dan berfungsi sebagai pengunci.
21

Alat-alat untuk pemeriksaan Laring saat ini sudah sangat berkembang, terdapat
berbagai macam alat yang disediakan saat ini untuk pemeriksaan Laringoskop
langsung. Baik dengan bantuan video (video laryngoscopy), maupun tanpa video.
Menurut penelitian oleh Liu, yaitu membandingkan intubasi laringoskop langsung
tanpa video dan menggunakan laringoskop video, pada penggunaan laringoskop
menghasilkan tingkat keberhasilan intubasi yang secara signifikan lebih tinggi dan
komplikasi pasca operasi yang jauh lebih sedikit daripada laringoskopi langsung
pada pasien dengan jalan napas yang tidak sulit. (Liu et al., 2019).

2.2.4 Pemeriksaan pada Leher


Pemeriksaan leher adalah pemeriksaan tambahan dari pemeriksaan
tenggorokan. Dalam kondisi keadaan tanpa adanya dokter spesialis, pemeriksaan
dari faring dan laring terbatas, maka perlu dilakukan pendalaman dalam hal gejala-
gejala yang dialami oleh pasien, “memperkirakan” kemungkinan keparahan
penyakit seperti gejala yang berkaitan dengan pernapasan, suara serak dan menelan
dll. secara statistik lebih mengarah ke diagnosis jinak dibandingkan dengan
keganasan. Namun pemeriksaan dan investigasi yang dilakukan oleh dokter
spesialis merupakan satu-satunya metode definitif saat ini untuk memastikan
diagnosis pasti yang benar menghasilkan manajemen yang benar dan tepat.
(Ludman et al, 2012)

Pemeriksaan pada leher dapat dilakukan dengan inspeksi dan palpasi sebagai
berikut: (Ludman et al, 2012)

Pada saat melakukan inspeksi pada leher, harus sepenuhnya terbuka dari dagu
di atas hingga di bawah tingkat 'tulang selangka'. Cari apakah ada pembengkakan,
lesi kulit, perubahan warna pada kulit, bekas luka, dll. Kemudian minta pasien
untuk mengidentifikasi benjolan, bengkak, rasa penuh atau nyeri. Setiap benjolan
atau benjolan yang dikonfirmasi harus dievaluasi secara sistematis dengan mencatat
ukuran, lokasi, bentuk, kulit (bekas luka dan warna), permukaan dan tepi, denyut
(jika berdenyut, apakah denyut ditransmisikan) dan fluktuasi silang.
22

Palpasi beberapa struktur normal dapat dirasakan di leher. Pada wanita, tulang
rawan krikoid sering terlihat jelas, sedangkan pada pria, tulang rawan tiroid mudah
terlihat. Ujung mastoid mudah dirasakan di belakang telinga. Antara ujung mastoid
dan sudut mandibula, proses melintang dari vertebra C1 terkadang dapat diraba,
terutama pada wanita dengan berat badan kurang. Bola karotid atau bifurkasi juga
dapat dirasakan berdenyut kira-kira setinggi tulang hyoid, tepat di bawah otot
sternokleidomastoid (SCM), dan dapat disalahartikan sebagai massa.

Leher harus diraba dari belakang, sehingga kedua sisi dapat dibandingkan (Gambar
1.12a dan b).

Gambar 15. Palpasi pada Regio Leher Pasien (Sumber: Soepardi et.al, 2017)

Jika pasien mengalami pembengkakan yang jelas, atau bisa mengarah ke salah
satunya, mulailah dari sana. Setiap gumpalan harus dicatat sebagai: tunggal atau
ganda, diskrit atau menyebar, dan dalam daftar yang lebih spesifik: permukaan,
tepi, suhu, konsistensi, fluktuasi, kompresibilitas, reduksi, pulsasi dan fiksasi.
Melakukan auskultasi menggunakan stetoskop dapat menunjukkan adanya bruit
vaskular, tetapi ini harus dilakukan di lingkungan yang tenang. Gerakan benjolan
garis tengah pada pasien yang menjulur keluar atau dokter yang menjulurkan lidah
akan memastikan apakah lesi tersebut melekat pada trakea. (Ludman et al, 2012)
23

Metode sistematis untuk memeriksa leher sangat penting untuk menghindari


kehilangan beberapa area yang nantinya mungkin menjadi penting.

Gambar 16. Langkah-langkah sistematis melakukan saat pemeriksaan leher


(Sumber: Soepardi et.al, 2017)

Mulailah di area submental, teruskan ke area submandibular. Kemudian pindah


dari kutub bawah kelenjar parotis naik ke jaringan parotis lateral yang terletak di
badan mandibula hingga ke lengkung zygomatik. Maju ke posterior ujung mastoid,
di belakang telinga dan terakhir, selesaikan pemeriksaan leher atas untuk
memasukkan area oksipital dan tulang belakang leher. (Ludman et al, 2012)

Lakukan palpasi area tulang belakang cervical hingga ke tulang belakang


thoraks bagian atas, memperluas palpasi untuk merasakan seluruh segitiga posterior
yaitu jaringan antara batas anterior trapezius dan batas posterior otot SCM. Palpasi
area supraclavicular (dari sendi acromioclavicular ke sendi sternoclavicular) diikuti
dengan palpasi leher lateral yang bergerak dari bawah ke atas sepanjang batas
anterior otot SCM ke ujung mastoid, Relaksasi otot SCM memungkinkan
pemeriksa untuk melakukan penekanan atau palpasi lebih dalam. (Ludman et al,
2012)

Pemeriksaan leher berakhir di garis tengah leher, dari daerah submental, ke


hyoid, tiroid, krikoid, kelenjar tiroid, trakea dan di bagian inferior sternal notch
(Gambar 1.14). Jika palpasi kedua diperlukan, dokter harus kembali ke area atau
24

organ tersebut dan memeriksa situs tersebut secara spesifik - misalnya kelenjar
submandibular atau parotid, serta kelenjar tiroid. Identifikasi 'benjolan leher' pada
orang dewasa mungkin menunjukkan situs mukosa untuk kemungkinan keganasan
primer. Ahli onkologi bedah membagi leher menjadi enam bagian di leher, dengan
tiga bagian yang memiliki subregional Wilayah IIa adalah tempat yang paling
sering muncul dalam praktik klinis dan diagnosis banding paling sering
memerlukan biopsi jarum dan CT scan untuk membuat diagnosis yang pasti.
(Ludman et al, 2012)

Gambar 16. Pembagian regio leher (Sumber: Soepardi et.al, 2017)


BAB III

KESIMPULAN

Bahwa untuk dapat menentukan diagnosa pasien, seorang dokter memerlukan


berbagai macam bidang disiplin keilmuan yang harus dipelajari dan dikuasai
terlebih dahulu, terutama hal-hal berkaitan dengan Telinga Hidung dan
Tenggorokan (THT) pada makalah ini yaitu Anatomi, dan Fisiologi dari
Tenggorokan, dasar keilmuan inilah yang kemudian menjadi penyokong untuk
seorang dokter dapat mengetahui kondisi normal pasien baik secara struktur
maupun fungsi tubuh pasien, sehingga Ketika seorang dokter melakukan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan tersebut dapat menjadi konfirmasi ataupun
pendukung dari gejala-gejala yang dialami oleh pasien saat dilakukan anamnesa,
sehingga dapat diberikan tatalaksana dan edukasi yang tepat pada pasien tersebut.

25
DAFTAR PUSTAKA

Ludman, H.S. and Bradley, P.J. eds., 2012. ABC of ear, nose and throat (Vol. 254).
John Wiley & Sons.

Maqbool, M. and Maqbool, S., 2007. Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases.
JP Medical Ltd.

Liu, D.-X. et al. (2019) ‘Intubation of non-difficult airways using video


laryngoscope versus direct laryngoscope: a randomized, parallel-group study’,
BMC Anesthesiology, 19(1), p. 75. doi: 10.1186/s12871-019-0737-3.

Ponka, D. and Baddar, F. (2013) ‘Indirect laryngoscopy’, Canadian family


physician Medecin de famille canadien, 59(11), p. 1201. Available at:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24235194.

Soepardi, E. A. Iskandar, N., Bashiruddin, J. & Restuti, R. D. 2017. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 7th edn. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.

Sherwood, L., 2015. Human physiology: from cells to systems. Cengage learning.
Schunke, M., Schulte, E. and Schumacher, U., 2016. Prometheus Atlas Anatomi
Manusia Kepala, Leher, dan Neuroanatomi. EGC.
Tortora, G.J. and Derrickson, B.H., 2018. Principles of anatomy and physiology.
John Wiley & Sons.

26

Anda mungkin juga menyukai