Anda di halaman 1dari 22

RHINITIS ATROFI

Disusun Oleh:
Ahmad Faridz Azhari Siregar 170100205

PEMBIMBING:
dr. H. Vive Kananda, Sp.T.H.T.-K.L

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah berjudul ”Rhinitis Atrofi”. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan.
Dalam proses penyusunan laporan kasus ini, penulis menyampaikan penghargaan
dan terima kasih kepada dr. H. Vive Kananda, Sp.T.H.T.-K.L selaku dosen
pembimbing yang telah membimbing dan membantu penulis selama proses penyusunan
laporan kasus.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
penulisan laporan kasus di kemudian hari. Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan bagi penulisan ilmiah di masa
mendatang.

Medan, April 2020

Penulis
ii

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal :

Nilai :

Penguji

dr. H. Vive Kananda, Sp.T.H.T.-K.L


iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... iii
BAB I .................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 2
1.3. Manfaat Penulisan .............................................................................................. 2
BAB II ................................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 3
2.1 Anatomi Hidung .................................................................................................. 3
2.2 Rhinitis Atrofi ...................................................................................................... 5
2.2.1 Definisi ........................................................................................................ 5
2.2.2 Klasifikasi dan Etiologi ................................................................................. 6
2.2.3 Patologi ....................................................................................................... 8
2.2.4 Diagnosis ..................................................................................................... 9
2.2.5 Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang ...................................................... 9
2.2.6 Diagnosis Banding ..................................................................................... 10
2.2.7 Tatalaksana ............................................................................................... 11
2.2.8 Komplikasi ................................................................................................. 13
BAB III ................................................................................................................................ 15
KESIMPULAN ..................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 16
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Rinitis atrofi primer, sering disebut ozena, hanyalah bahasa Yunani yang
mendeskripsikan istilah yang berarti "bau" (bau tidak sedap yang kuat) dan angka
insidennya menurun di dunia Barat, selama 100 tahun terakhir, yang kasus tersebut
kemungkinan besar disebabkan oleh penggunaan liberal antimikroba untuk infeksi
hidung kronis. Sedangkan etiologi pastinya primer rinitis atrofi tidak diketahui apa
yang diketahui adalah bahwa hampir semua pasien atrofi primer ini memiliki
infeksi bakteri positif kultur dengan Klebsiella ozaenae. Di sisi lain, pasien dengan
rinitis atrofi sekunder jarang menunjukkan hasil positi pada kultur bakteri untuk
Klebsiella ozaenae (Sarafoleanu and Patrascu, 2020)

Dalam satu studi bakteriologis di 61 orang Indonesia dengan rinitis atrofi,


yaitu, 71,6% spesies Klebsiella, 32,8% Pseudomonas aeruginosa dan 22,9%
Staphylococcus aureus ditemukan sebagai organisme patogen yang umum. Studi
lain dari Thailand menunjukkan bahwa pada 46 pasien Klebsiella pulih dari usapan
pertama pada 78,3% pasien, dan jika hasil usap kedua dan ketiga dimasukkan,
97,8% menghasilkan spesies Klebsiella. Jenis Klebsiella yang paling umum
ditemukan adalah Klebsiella ozaena (67,4%), Pseudomonas aeruginosa adalah
organisme tersering kedua yang ditemukan pada 34,8%, Pr. mirabilis 10,9%, dan
Staphylococcus aureus 6,5% Studi mikrobiologi lain dari Mesir pada 14 pasien
melaporkan spesies Klebsiella pada 65% pasien dan Pseudomonas aeruginosa
14,2% kasus.(Bist, Bisht and Purohit, 2012)

Dari uraian diatas terkait dengan Rhinitis atrofi maka pentingnya kita untuk
memperdalam dan memperjelas pemahaman kita mengenai rhinitis atrofi terkait
penyebab penyakit ini yang terus dilakukan studi-studi lanjutan, cara diagnosa
hingga bagaimana tatalaksananya. Oleh karena itu maka makalah ini penting untuk
dibuat.

1
2

1.2. Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai Rhinitis Atrofi serta untuk
melengkapi tugas Program Pendidikan Dokter (P3D) di Departemen Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan.

1.3. Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan makalah ini adalah bagian dari proses penulis dalam
menimba ilmu pengetahuan dalam pelajaran dasar tentang tenggorokan serta
bagaimana penulis mengaplikasikan keterampilan dalam penyusunan makalah ini.
serta menambah pemahaman bagi orang yang membaca makalah ini tentang rhinitis
atrofi mulai dari definisi hingga tatalaksana bagi rhinitis atrofi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung


A. Kerangka Hidung eksternal
Dilihat dari kiri, keranga hidung terdiri atas tulang, tulang rawan, dan jaringan
ikat. Bagian kranialnya adalah tulang sehingga sering terkena pada saat terjadi
fraktur pada wajah, sedangkan bagian kaudal-distal adalah tulang rawan sehingga
itu lebih lentur dan kurang berisiko. Potongan kaudal-proksimal dari cuping hidung
(Alae nasi) terdiri dari jaringan ikat dengan potongan tulang rawan kecil. Lempeng
tulang rawan dari Proc.lateralis adalah lempeng tulang rawan dari sekat hidung
yang berbentuk sayap yang mengembang, dan bukan merupakan tulang rawan yang
sesungguhnya.

Gambar 1. Kerangka hidung eksternal (Schunke et al., 2016)

B. Tulang Rawan Hidung


Dilihat dari bawah. Cartilago alaris major dibedakan menjadi crus mediale dan
crus laterale. Kedua lubang hidung (Nares) dikenal sebagai pintu masuk kedalam
hidung. Kedua lubang hidung dipisahkan oleh sekat hidung (Septum nasi), yang
bagian bawahnya yang berupa tulang rawan dan berukuran lebih kecil.

3
4

Gambar 2. Tulang rawan pada hidung (Schunke et al., 2016)

C. Dinding tulang rongga hidung

Rongga hidung memiliki empat dinding:

- Atap (Os nasale, Os frontale, dan Os ethmoidale)


- Lantai (Maxilla dan Os palatinum)
- Dinding lateral dengan Maxilla, Os nasale, Os lacrimale, Os ethmoidale,
Os palatinum, dan Concha nasalis inferior
- Dinding medial (Septum nasi) yang terdiri dari tulang rawan dan tulang :
Os nasale, Os ethmoidale, Vomer, Os sphenoidale, Os palatinum dan
Maxilla.

Gambar 3. Dinding tulang rongga hidung (Schunke et al., 2016)


5

Permukaan belakang rongga hidung dibatasi oleh Os. Sphenoidale di bagian


atasnya. Dari ketiga concha, hanya concha nasalis inferior yang berupa tulang
utuh, sedangkan yang lainnya merupakan bagian dari Os ethmoidale

Gambar 4. Dinding tulang rongga hidung (Schunke et al., 2016)

2.2 Rhinitis Atrofi


2.2.1 Definisi
Rinitis atrofi (rhinitis atrophy/AR) merupakan penyakit mukosa hidung kronis
dengan etiologi yang sebagian besar tidak diketahui. Kondisi ini ditandai dengan
atrofi progresif mukosa hidung, atrofi progresif tulang di bawah turbinat, pelebaran
abnormal dari rongga hidung, dan pembentukan sekret kental serta kerak kering
yang menimbulkan bau khas (ozaena). AR juga kadang-kadang disebut sebagai
coryza foetida, penyakit selesema atrofi, rinitis nekrotikans akut, atau rinitis
chronica foetida.

Prevalensi AR primer yang dilaporkan berkisar antara 0,3 hingga 1% dari


populasi di negara-negara dengan prevalensi tinggi, yaitu negara dengan iklim
tropis seperti India, Indonesia, Pakistan, Cina, Filipina, Malaysia, Arab Saudi,
Mesir, Afrika Tengah, Eropa Timur, Yunani, wilayah Mediterania, dan Amerika
Selatan. Penyakit ini lazim terutama pada orang dewasa muda dan paruh baya.
Beberapa penelitian telah melaporkan dominasi pada wanita (Banks and Gada,
2013).
6

2.2.2 Klasifikasi dan Etiologi


Berdasarkan etiologinya, AR dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu AR
primer dan AR sekunder.

AR Primer
Sesuai dengan penamaannya, AR primer merupakan AR yang tidak
diketahui secara pasti penyebabnya, tetapi terdapat beberapa kondisi yang
terbukti terkait dengan terjadinya AR, antara lain:

1. Faktor keturunan. Penyakit ini mungkin bersifat poligenetik dan


karenanya dapat diwariskan. Studi menunjukkan bahwa 27,4% kasus
menunjukkan pola pewarisan yang terdiri dari pola autosomal dominan
pada 67% dan pola autosomal resesif pada 33% kasus. Diperkirakan
riwayat keluarga yang positif dapat diperoleh pada sekitar 15-30% kasus
(Barton and Sibert, 1980)
2. Infeksi dan agen infeksius. Infeksi bakteri kronis pada hidung atau sinus
dianggap sebagai penyebab utama AR. Studi menunjukkan bahwa
58,7% pasien AR juga terbukti mengalami infeksi, terutama oleh
Klebsiella ozaenae. Organisme lain yang juga dilaporkan terlibat antara
lain Coccobacillus foetidus ozaena Coccobacillus loewenberg, Bacillus
mucosus, difteri, Bacillus pertussis, Haemophilus influenzae,
Pseudomonas aeruginosa dan Proteus (Keshanagari and Noel, 2017)
3. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Perubahan struktural
selama perkembangan daerah nasal dan faciomaxillary mungkin
memiliki peran dalam perkembangan AR. Pneumatisasi yang buruk dari
sinus maksilaris, rongga hidung yang terlalu luas, dan jenis tengkorak
telah dilaporkan terkait dengan terjadinya AR (Hagrass et al., 1992)
4. Malnutrisi. Gizi buruk dianggap sebagai faktor penting dalam
perkembangan AR. Beberapa studi menunjukkan kekurangan zat besi,
vitamin yang larut dalam lemak (terutama vitamin A), dan kekurangan
protein berhubungan dengan terjadinya AR (Kanjikar et al., 2017)
7

5. Gangguan otonom. Vasokonstriksi yang berlebihan akibat


ketidakseimbangan otonom juga diduga merupakan salah satu faktor
risiko dari AR. Teori ini didukung oleh efektivitas terapi untuk
mengatasi vasokonstriksi pada AR dengan blok ganglion stellata dan
simpatektomi serviks (Banks and Gada, 2013)
6. Ketidakseimbangan endokrin. Defisiensi estrogen diimplikasikan
sebagai faktor penyebab karena tingginya prevalensi pada perempuan,
terutama pada perempuan yang memasuki masa pubertas, perburukan
gejala selama menstruasi dan kehamilan, serta perbaikan gejala dengan
terapi estrogen (Haga, 1963)
7. Alergi. Alergi tipe I terbukti berhubungan dengan AR pada 85% pasien.
pada penderita AR, ditemukan perubahan reaktivitas seluler dan
hilangnya toleransi imun terhadap jaringan hidung. Berbagai faktor
seperti infeksi virus, malnutrisi, dan imunodefisiensi sementara dapat
memicu proses autoimun yang merusak dengan pelepasan antigen
mukosa hidung ke dalam sirkulasi (Medina et al., 2003)
AR Sekunder

Rinitis atrofi dapat terjadi sebagai akibat dari kondisi patologi lain
(sekunder). Beberapa kondisi tersebut antara lain (Keshanagari and Noel,
2017):

1. Trauma maksilofasial dan hidung ekstensif dapat menyebabkan


kerusakan parah pada mukosa hidung dan sinus yang mengakibatkan
pengerasan dan atrofi
2. Operasi hidung ekstensif seperti reseksi submukus dari septum, operasi
turbinate, dan operasi sinonasal juga dapat menyebabkan penipisan
mukosa, pengerasan, dan atrofi progresif dari jaringan di bawahnya
3. Infeksi supuratif akut dan kronis berulang pada hidung dan sinus
paranasal, termasuk sinusitis supuratif kronis, viral exanthems pada
masa kanak-kanak, dan gangguan granulomatosa kronis pada hidung
(seperti tuberkulosis, lupus vulgaris, sifilis, lepra)
8

4. Paparan radiasi pada rongga hidung dan sinus dapat menyebabkan


pengerasan dan atrofi jaringan yang berlebihan, misalnya pada
radioterapi untuk kanker nasofaring
5. Osteochondroplastic tracheobronchopathy adalah penyakit langka
dengan akumulasi nodul tulang dan tulang rawan di mukosa trakea dan
bronkial dan terkadang berhubungan dengan ozaena
6. Paparan pekerjaan terhadap debu fosforit dan apatit

2.2.3 Patologi
Klirens mukosiliar adalah mekanisme pertahanan saluran pernapasan bagian
atas dan bawah. Bagian penting dari mekanisme ini adalah jumlah lendir yang
cukup dengan kualitas rinologis yang sesuai dan silia yang berfungsi secara
memadai, bergerak dengan irama metakronus menuju nasofaring. Setiap gangguan
dalam jumlah dan pergerakan silia dan produksi lendir menyebabkan perubahan
klirens mukosiliar hidung seperti yang terjadi pada rinitis atrofi. Rinitis atrofi
ditandai dengan perubahan atrofi semua bagian hidung. Epitel pernapasan normal
berubah menjadi epitel kuboid atau skuamosa bertingkat (metaplasia). Metaplasia
parsial sampai berat dapat ditemukan dengan atau tanpa keratinisasi. Ada atrofi silia
dan kelenjar mukosa dan submukosa. Mukosa menjadi pucat dengan sekresi tebal,
kental, sedikit, mengering untuk membentuk kerak, dan koreng kuning kehijauan
atau keabu-abuan. Lamina propria dan submukosa dapat menunjukkan infiltrasi
seluler kronis, granulasi dan fibrosis. Rongga hidung menjadi sangat luas
(Keshanagari and Noel, 2017).

Dua tipe karakteristik dari keterlibatan vaskular telah dilaporkan, yaitu (Bist
et al., 2011):

1. AR Tipe I: terdapat endarteritis obliterans, periarteritis, dan fibrosis


periarterial dari arteriol terminal sebagai akibat dari penyakit kronis. Tipe
ini adalah tipe yang mendapat manfaat dari efek vasodilator terapi estrogen
2. AR Tipe II: terdapat vasodilatasi kapiler. Sel-sel endotel dari kapiler yang
melebar memiliki sitoplasma lebih banyak dari biasanya dan menunjukkan
9

reaksi fosfatase alkali positif yang menunjukkan resorpsi tulang aktif, yang
merupakan ciri penyakit ini. Variasi ini tidak sesuai dengan terapi estrogen

2.2.4 Diagnosis
Manifestasi Klinis

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain (Jain et al., 2020):

1. Hidung mengeluarkan bau busuk. Kondisi ini merupakan ciri utama dari
penyakit ini. Faktor inilah yang menyebabkan masalah sosial bagi
pasien dan sampai membuat pasien mencari pertolongan medis. Pasien
sendiri umumnya anosmik karena:
a. Proses atrofi melibatkan epitel olfaktorius dan sel saraf bipolar
b. Aliran udara tidak adekuat karena malformasi bentuk rongga
hidung, sehingga bau busuk tidak mencapai area penciuman
c. Adanya penghalang, seperti kerak besar, yang menghalangi
aliran udara ke area penciuman
2. Cacosmia dapat ditemukan pada beberapa pasien
3. Obstruksi hidung dengan variasi keluhan seperti ketidakmampuan untuk
merasakan aliran udara masuk ke hidung karena anestesi pada mukosa
hidung dan sensasi adanya penyumbat pada rongga hidung
4. Nyeri kepala dikeluhkan oleh beberapa pasien
5. Keluarnya sekret purulen dengan bau busuk akibat bakteri anaerob
6. Sensasi hidung dan tenggorokan kering (faringitis sicca)

2.2.5 Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Hasil pemeriksaan klinis yang dapat ditemukan antara lain (Jain et al.,
2020; Manenti et al., 2020):

1. Pemeriksaan hidung menunjukkan mukosa mengkilap, tipis, pucat, dan


kadang-kadang mengalami ulserasi yang ditutupi oleh kerak kuning,
coklat, atau hijau yang tebal, yang mungkin berdarah atau ditutupi
dengan purulensi
10

Gambar 5. Gambaran pemeriksaan fisik pada hidung pasien yang mengalami rhinitis
atrophy
2. Pembesaran rongga hidung disebabkan resorpsi tulang
3. Perforasi septum hidung dan deformitas pelana hidung sekunder juga
dapat terjadi
4. Temuan radiografi dengan modalitas Computed tomography (CT):
a. Atrofi mukosa turbinat inferior dan tengah serta resorpsi tulang
b. Resorpsi bula ethmoid dan proses uncinate dengan hilangnya
batas-batas kompleks ostiomeatal
c. Pembesaran rongga hidung dengan kerusakan dinding lateral
hidung
d. Penebalan mukosa di sinus paranasal
e. Hipoplasia sinus maksilaris dengan penurunan pneumatisasi
5. Pemeriksaan x-ray sederhana tidak bermanfaat untuk menegakkan
diagnosis penyakit ini
6. Hasil pemeriksaan mikrobiologi seringkali menunjukkan infeksi
Pseudomonas aeruginosa dan Streptococcus aureus

2.2.6 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari AR adalah varian rinitis lainnya, seperti (Guseva and
Derbeneva, 2020):

1. Perennial allergic rhinitis: rinitis yang terjadi akibat paparan alergen


tertentu, seperti kutu debu rumah, bulu binatang, spora jamur, dan lain-lain
11

2. Rhinitis medicamentosa: rinitis yang terjadi akibat penggunaan dekongestan


topikal
3. Occupational rhinitis: rinitis akibat paparan zat berbahaya di tempat kerja
4. Nasal polyposis
5. Rhinitis terkait perubahan hormonal, misalnya pada kehamilan, menyusui,
dan hipotiroidisme

2.2.7 Tatalaksana
Konservatif

Pengobatan secara konservatif merupakan pilihan utama untuk AR.


Pengobatan dan terapi dapat diberikan secara lokal atau sistemik. Beberapa tata
laksana konservatif yang dapat dilakukan antara lain (Sarafoleanu and Patrascu,
2020):

1. Irigasi hidung. Campuran douche hidung yang ideal terdiri dari 28,4 g
natrium bikarbonat (membantu melarutkan kerak), 28,4 g natrium
diborat (bertindak sebagai antiseptik, juga bersifat bakterisidal sebagai
asam, dan membantu menyangga bikarbonat dalam campuran), dan 56,7
g natrium klorida (membuat larutan isotonik). Satu sendok teh campuran
di atas dalam sekitar setengah liter (280 ml) air hangat digunakan untuk
membersihkan rongga hidung dengan kuat untuk membersihkan kerak.
Campuran ini dapat digunakan tiga atau empat kali sehari. Beberapa
merek komersial sistem irigasi hidung tersedia saat ini yang
menggabungkan larutan garam laut yang dapat digunakan sebagai
semprotan hidung diikuti dengan douching
2. Tetes hidung glukosa-gliserin. Dua puluh lima persen glukosa
digunakan untuk menghambat infeksi saprofit dan bakteri proteolitik
(glukosa pada fermentasi menghasilkan asam laktat dan pH asam yang
menghambat pertumbuhan bakteri) sekaligus dan mendorong
pertumbuhan flora komensal. Gliserin membantu sebagai pelumas dan
zat higroskopis (menyerap air dari atmosfer dan membasahi mukosa,
sehingga menghambat pembentukan kerak). Gliserin juga dapat
12

meningkatkan vaskularisasi. Tetes hidung ini harus diterapkan tiga atau


empat kali sehari setelah membilas hidung
3. Tetes hidung parafin cair untuk melumasi mukosa hidung dan
menghilangkan kerak, tetapi penggunaan jangka panjang tidak
dianjurkan karena berisiko menyebabkan granuloma parafin dan
pneumonia inhalasi
4. Estradiol dalam minyak arachis. Kombinasi ini tersedia untuk diberikan
ke dalam hidung sebagai tetes dan semprotan (10.000 unit / ml). Perlu
diingat bahwa estrogen hanya berguna untuk AR tipe I dan dapat
memperburuk situasi pada AR tipe II
5. Larutan kemicetene antiozaena yang mengandung 90 mg kloramfenikol,
0,64 mg estradiol diproprionat, 900 IU vitamin D2, dan propilen glikol
dalam setiap mililiter. Tersedia dalam bentuk tetes hidung yang
digunakan setelah douching
6. Tetes kloramfenikol / streptomisin. Obat-obatan ini juga tersedia untuk
digunakan setelah douching
7. Antibiotik dan antimikroba. Mengingat bahwa agen penyebabnya
adalah spesies Klebsiella, beberapa guideline merekomendasikan
penggunaan terapi aminoglikosida sistemik (Tobramycin) selama dua
minggu selain gentamisin topikal. Penggunaan ciprofloxacin dalam
dosis 500-750 mg per hari selama satu sampai tiga bulan juga telah
terbukti efektif untuk mengatasi infeksi pada AR yang disebabkan K.
ozaenae
8. Suplemen zat besi, seng, protein dan vitamin (A dan D), terutama dalam
kasus malnutrisi dan defisiensi yang parah

Pembedahan

Prinsip-prinsip operasi sebagian besar dapat dibagi menjadi empat


kelompok, yaitu (Sharma et al., 2011):
13

1. Mengurangi ukuran rongga hidung. Tindakan ini membantu


mengurangi turbulensi aliran udara di rongga yang lapang dan
karenanya mencegah pengeringan mukosa dan pengerasan
2. Mempromosikan regenerasi mukosa hidung yang normal. Hal ini dapat
dicapai dengan membiarkan rongga hidung beristirahat dengan
penutupan sementara (lengkap atau sebagian) dari lubang hidung dan
dengan demikian mengurangi turbulensi udara ke dalam rongga hidung,
sehingga mendorong regenerasi dari anatomi normal hidung
3. Meningkatkan lubrikasi mukosa hidung yang kering. Hal ini dicapai
dengan meningkatkan kemampuan sekresi rongga hidung atau dengan
memasukkan sekresi dari tempat lain
4. Meningkatkan vaskularisasi rongga hidung. Hal ini dicapai baik dengan
memblokir sistem saraf simpatis (blok ganglion stellata atau
simpatektomi serviks) yang melapisi hidung atau dengan memasukkan
cangkok (misalnya plasenta, flap mukosa rahang atas, flap bukal) yang
meningkatkan vaskularisasi

2.2.8 Komplikasi
1. Perforasi septum hidung dan deformitas pelana hidung. Kasus parah yang
tidak diobati mungkin menjadi rumit dengan kerusakan tulang hidung dan
tulang rawan. Hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan perforasi septum
dan kelainan bentuk pelana hidung (Dandinarasaiah et al., 2014)
2. Rinosinusitis sekunder. Sulit untuk menentukan apakah kondisi ini
merupakan penyebab atau komplikasi dari AR, tetapi rinosinusitis jelas
merupakan komorbiditas pada pasien AR (Sheth et al., 2016)
3. Penyebaran infeksi lokal dan sistemik, hingga sepsis. Penyebaran infeksi ke
faring, laring, paru-paru, telinga, dan penyebaran intrakranial dapat terjadi
(Sheth et al., 2016)
4. Dakriosistitis kronis (Singh et al., 2004)
5. Miasis hidung. Merupakan kondisi adanya telur dan larva lalat pada rongga
hidung. Kotoran hidung yang membusuk dan bau busuk menarik lalat dari
genus Chrysomia. Lalat ini bertelur yang kemudian menetas menjadi larva
14

yang disebut belatung. Puluhan hingga ratusan belatung dapat menempati


rongga hidung dan menggerogoti jaringan lunak mukosa hingga ke tulang.
Larva ini juga dapat membuat terowongan di jaringan lunak hidung, sinus,
nasofaring, dinding faring, jaringan orbital, peralatan lakrimal, jaringan
wajah, dasar tengkorak, dan bahkan dapat menyebabkan meningitis, serta
kematian. Kondisi ini ditemukan pada individu dengan higienitas yang
sangat buruk dan terkait dengan kondisi sosioekonomi rendah (Kuruvilla et
al., 2006)
BAB III

KESIMPULAN

Rhinitis atrofi adalah penyakit pada bagian mukosa hidung kronis dengan
etiologi yang sebagian besar tidak diketahui. Terdiri dari Rhinitis atrofi primer
maupun sekunder, Kondisi ini ditandai dengan atrofi progresif mukosa hidung,
dengan keluhan utama hidung mengeluarkan bau busuk dan terasa terjadi obstruksi
hidung dengan ketidakmampuan untuk merasakan aliran udara masuk ke hidung.

Tatalaksana pada kasus rhinitis bisa dicapai dengan 2 pendekatan yaitu


konservatif maupun pembedahan, pada konservatif dilakukan pemberian cairan
tetes pada hidung maupun suplementasi zat besi dan lain-lain pada pasien yang
mengalami gangguan malnutrisi. Dan pembedahan merupakan Tindakan invasive
dengan mengurangi ukuran hidung Komplikasi yang dapat dialami pada pasien
yang mengalami rhinitis atrofi mulai dari perforasi sampai terjadi miasis pada
hidung.

15
DAFTAR PUSTAKA

Banks, T. A., & Gada, S. M. 2013. Atrophic rhinitis. Allergy and Asthma
Proceedings, 34(2). https://doi.org/10.2500/aap.2013.34.3639

Barton, R. P. E., & Sibert, J. R. 1980. Primary atrophic rhinitis: An inherited


condition? The Journal of Laryngology & Otology, 94(9).
https://doi.org/10.1017/S0022215100089738

Bist, S. S., Bisht, M., Purohit, J. P., & Saxena, R. 2011. Study of Histopathological
Changes in Primary Atrophic Rhinitis. ISRN Otolaryngology, 2011.
https://doi.org/10.5402/2011/269479

Dandinarasaiah, M., Hegde, J., Srinish, G., Bijiraj, V. V., & Salian, P. L. 2014.
Atrophic rhinitis presenting with ethmoidal mucocele: A case report. Journal
of Clinical and Diagnostic Research, 8(6).
https://doi.org/10.7860/JCDR/2014/8065.4503

Guseva, A. L., & Derbeneva, M. L. 2020. Rhinitis: Differential diagnosis and


treatment principles. Meditsinskiy Sovet. https://doi.org/10.21518/2079-701X-
2020-16-102-108

Haga, S. 1963. Atrophic rhinitis and endocrine disturbance. Nippon Jibiinkoka


Gakkai Kaiho, 66(9). https://doi.org/10.3950/jibiinkoka.66.1156

Hagrass, M. A. E., Gamea, A. M., El-Sherief, S. G., El-Guindy, A. S., & El-Tatawi,
F. A. Y. 1992. Radiological and endoscopic study of the maxillary sinus in
primary atrophic rhinitis. The Journal of Laryngology & Otology, 106(8).
https://doi.org/10.1017/S0022215100120626

Jain, T., Sanju, H. K., Guerrieri, M., Ralli, M., & Di Mauro, R. 2020. Primary
Atrophic Rhinitis: Ozaena and Other Infective Forms. In Atrophic Rhinitis.
https://doi.org/10.1007/978-3-030-51705-2_1

Kanjikar, S., Malige, R., Udgir, R., Nagraj, V. V., Tugave, J., & Sawalgi, V. 2017.
Atrophic rhinitis with maggot infestation - A demographic study. Journal of

16
17

Clinical and Diagnostic Research, 11(11).


https://doi.org/10.7860/JCDR/2017/25783.10833

Keshanagari, P., & Noel, R. 2017. Primary and secondary atrophic rhinitis: a
microbiological and histopathological study. International Journal of
Otorhinolaryngology and Head and Neck Surgery, 3(4).
https://doi.org/10.18203/issn.2454-5929.ijohns20174337

Kuruvilla, G., Albert, R. R. A., Job, A., Ranjith, V. T., & Selvakumar, P. 2006.
Pneumocephalus: A rare complication of nasal myiasis. American Journal of
Otolaryngology - Head and Neck Medicine and Surgery, 27(2).
https://doi.org/10.1016/j.amjoto.2005.07.014

Manenti, G., Calcagni, A., Vidali, S., & Ryan, C. P. 2020. Imaging: The Role of
CT Scan, Cone-Beam and MRI in the Diagnosis of Atrophic Rhinitis. In
Atrophic Rhinitis. https://doi.org/10.1007/978-3-030-51705-2_9

Medina, L., Benazzo, M., Bertino, G., Montecucco, C. M., Danesino, C., Martinetti,
M., & Mira, E. 2003. Clinical, genetic and immunologic analysis of a family
affected by ozena. European Archives of Oto-Rhino-Laryngology, 260(7).
https://doi.org/10.1007/s00405-002-0571-x

Sarafoleanu, C., & Patrascu, E. 2020. Atrophic Rhinitis: Medical Treatment. In


Atrophic Rhinitis. https://doi.org/10.1007/978-3-030-51705-2_10

Schunke, M., Schulte, E. and Schumacher, U., 2016. Prometheus Atlas Anatomi
Manusia Kepala, Leher, dan Neuroanatomi. EGC.
Sharma, V. K., Sharma, R., Purohit, J. P., & Vishth, S. 2011. Atrophic rhinitis and
its surgical management. Clinical Rhinology, 4(3). https://doi.org/10.5005/jp-
journals-10013-1091

Sheth, R., Patel, V., Patel, V., & Gohil, C. 2016. A study of etiological factors,
management, and complications of atrophic rhinitis. International Journal of
Medical Science and Public Health, 5(3).
https://doi.org/10.5455/ijmsph.2016.13112015206
18

Singh, M., Jain, V., Singh, S. P., & Gupta, S. C. 2004. Endoscopie
dacryocystorhinostomy in cases of dacryocystitis due to atrophic rhinitis.
Journal of Laryngology and Otology, 118(6).
https://doi.org/10.1258/002221504323219536

Anda mungkin juga menyukai