Disusun Oleh:
Ahmad Faridz Azhari Siregar 170100205
PEMBIMBING:
dr. H. Vive Kananda, Sp.T.H.T.-K.L
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah berjudul ”Rhinitis Atrofi”. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan.
Dalam proses penyusunan laporan kasus ini, penulis menyampaikan penghargaan
dan terima kasih kepada dr. H. Vive Kananda, Sp.T.H.T.-K.L selaku dosen
pembimbing yang telah membimbing dan membantu penulis selama proses penyusunan
laporan kasus.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
penulisan laporan kasus di kemudian hari. Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan bagi penulisan ilmiah di masa
mendatang.
Penulis
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Nilai :
Penguji
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... iii
BAB I .................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penulisan ................................................................................................. 2
1.3. Manfaat Penulisan .............................................................................................. 2
BAB II ................................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 3
2.1 Anatomi Hidung .................................................................................................. 3
2.2 Rhinitis Atrofi ...................................................................................................... 5
2.2.1 Definisi ........................................................................................................ 5
2.2.2 Klasifikasi dan Etiologi ................................................................................. 6
2.2.3 Patologi ....................................................................................................... 8
2.2.4 Diagnosis ..................................................................................................... 9
2.2.5 Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang ...................................................... 9
2.2.6 Diagnosis Banding ..................................................................................... 10
2.2.7 Tatalaksana ............................................................................................... 11
2.2.8 Komplikasi ................................................................................................. 13
BAB III ................................................................................................................................ 15
KESIMPULAN ..................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 16
BAB I
PENDAHULUAN
Dari uraian diatas terkait dengan Rhinitis atrofi maka pentingnya kita untuk
memperdalam dan memperjelas pemahaman kita mengenai rhinitis atrofi terkait
penyebab penyakit ini yang terus dilakukan studi-studi lanjutan, cara diagnosa
hingga bagaimana tatalaksananya. Oleh karena itu maka makalah ini penting untuk
dibuat.
1
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
AR Primer
Sesuai dengan penamaannya, AR primer merupakan AR yang tidak
diketahui secara pasti penyebabnya, tetapi terdapat beberapa kondisi yang
terbukti terkait dengan terjadinya AR, antara lain:
Rinitis atrofi dapat terjadi sebagai akibat dari kondisi patologi lain
(sekunder). Beberapa kondisi tersebut antara lain (Keshanagari and Noel,
2017):
2.2.3 Patologi
Klirens mukosiliar adalah mekanisme pertahanan saluran pernapasan bagian
atas dan bawah. Bagian penting dari mekanisme ini adalah jumlah lendir yang
cukup dengan kualitas rinologis yang sesuai dan silia yang berfungsi secara
memadai, bergerak dengan irama metakronus menuju nasofaring. Setiap gangguan
dalam jumlah dan pergerakan silia dan produksi lendir menyebabkan perubahan
klirens mukosiliar hidung seperti yang terjadi pada rinitis atrofi. Rinitis atrofi
ditandai dengan perubahan atrofi semua bagian hidung. Epitel pernapasan normal
berubah menjadi epitel kuboid atau skuamosa bertingkat (metaplasia). Metaplasia
parsial sampai berat dapat ditemukan dengan atau tanpa keratinisasi. Ada atrofi silia
dan kelenjar mukosa dan submukosa. Mukosa menjadi pucat dengan sekresi tebal,
kental, sedikit, mengering untuk membentuk kerak, dan koreng kuning kehijauan
atau keabu-abuan. Lamina propria dan submukosa dapat menunjukkan infiltrasi
seluler kronis, granulasi dan fibrosis. Rongga hidung menjadi sangat luas
(Keshanagari and Noel, 2017).
Dua tipe karakteristik dari keterlibatan vaskular telah dilaporkan, yaitu (Bist
et al., 2011):
reaksi fosfatase alkali positif yang menunjukkan resorpsi tulang aktif, yang
merupakan ciri penyakit ini. Variasi ini tidak sesuai dengan terapi estrogen
2.2.4 Diagnosis
Manifestasi Klinis
1. Hidung mengeluarkan bau busuk. Kondisi ini merupakan ciri utama dari
penyakit ini. Faktor inilah yang menyebabkan masalah sosial bagi
pasien dan sampai membuat pasien mencari pertolongan medis. Pasien
sendiri umumnya anosmik karena:
a. Proses atrofi melibatkan epitel olfaktorius dan sel saraf bipolar
b. Aliran udara tidak adekuat karena malformasi bentuk rongga
hidung, sehingga bau busuk tidak mencapai area penciuman
c. Adanya penghalang, seperti kerak besar, yang menghalangi
aliran udara ke area penciuman
2. Cacosmia dapat ditemukan pada beberapa pasien
3. Obstruksi hidung dengan variasi keluhan seperti ketidakmampuan untuk
merasakan aliran udara masuk ke hidung karena anestesi pada mukosa
hidung dan sensasi adanya penyumbat pada rongga hidung
4. Nyeri kepala dikeluhkan oleh beberapa pasien
5. Keluarnya sekret purulen dengan bau busuk akibat bakteri anaerob
6. Sensasi hidung dan tenggorokan kering (faringitis sicca)
Gambar 5. Gambaran pemeriksaan fisik pada hidung pasien yang mengalami rhinitis
atrophy
2. Pembesaran rongga hidung disebabkan resorpsi tulang
3. Perforasi septum hidung dan deformitas pelana hidung sekunder juga
dapat terjadi
4. Temuan radiografi dengan modalitas Computed tomography (CT):
a. Atrofi mukosa turbinat inferior dan tengah serta resorpsi tulang
b. Resorpsi bula ethmoid dan proses uncinate dengan hilangnya
batas-batas kompleks ostiomeatal
c. Pembesaran rongga hidung dengan kerusakan dinding lateral
hidung
d. Penebalan mukosa di sinus paranasal
e. Hipoplasia sinus maksilaris dengan penurunan pneumatisasi
5. Pemeriksaan x-ray sederhana tidak bermanfaat untuk menegakkan
diagnosis penyakit ini
6. Hasil pemeriksaan mikrobiologi seringkali menunjukkan infeksi
Pseudomonas aeruginosa dan Streptococcus aureus
2.2.7 Tatalaksana
Konservatif
1. Irigasi hidung. Campuran douche hidung yang ideal terdiri dari 28,4 g
natrium bikarbonat (membantu melarutkan kerak), 28,4 g natrium
diborat (bertindak sebagai antiseptik, juga bersifat bakterisidal sebagai
asam, dan membantu menyangga bikarbonat dalam campuran), dan 56,7
g natrium klorida (membuat larutan isotonik). Satu sendok teh campuran
di atas dalam sekitar setengah liter (280 ml) air hangat digunakan untuk
membersihkan rongga hidung dengan kuat untuk membersihkan kerak.
Campuran ini dapat digunakan tiga atau empat kali sehari. Beberapa
merek komersial sistem irigasi hidung tersedia saat ini yang
menggabungkan larutan garam laut yang dapat digunakan sebagai
semprotan hidung diikuti dengan douching
2. Tetes hidung glukosa-gliserin. Dua puluh lima persen glukosa
digunakan untuk menghambat infeksi saprofit dan bakteri proteolitik
(glukosa pada fermentasi menghasilkan asam laktat dan pH asam yang
menghambat pertumbuhan bakteri) sekaligus dan mendorong
pertumbuhan flora komensal. Gliserin membantu sebagai pelumas dan
zat higroskopis (menyerap air dari atmosfer dan membasahi mukosa,
sehingga menghambat pembentukan kerak). Gliserin juga dapat
12
Pembedahan
2.2.8 Komplikasi
1. Perforasi septum hidung dan deformitas pelana hidung. Kasus parah yang
tidak diobati mungkin menjadi rumit dengan kerusakan tulang hidung dan
tulang rawan. Hal ini pada akhirnya dapat menyebabkan perforasi septum
dan kelainan bentuk pelana hidung (Dandinarasaiah et al., 2014)
2. Rinosinusitis sekunder. Sulit untuk menentukan apakah kondisi ini
merupakan penyebab atau komplikasi dari AR, tetapi rinosinusitis jelas
merupakan komorbiditas pada pasien AR (Sheth et al., 2016)
3. Penyebaran infeksi lokal dan sistemik, hingga sepsis. Penyebaran infeksi ke
faring, laring, paru-paru, telinga, dan penyebaran intrakranial dapat terjadi
(Sheth et al., 2016)
4. Dakriosistitis kronis (Singh et al., 2004)
5. Miasis hidung. Merupakan kondisi adanya telur dan larva lalat pada rongga
hidung. Kotoran hidung yang membusuk dan bau busuk menarik lalat dari
genus Chrysomia. Lalat ini bertelur yang kemudian menetas menjadi larva
14
KESIMPULAN
Rhinitis atrofi adalah penyakit pada bagian mukosa hidung kronis dengan
etiologi yang sebagian besar tidak diketahui. Terdiri dari Rhinitis atrofi primer
maupun sekunder, Kondisi ini ditandai dengan atrofi progresif mukosa hidung,
dengan keluhan utama hidung mengeluarkan bau busuk dan terasa terjadi obstruksi
hidung dengan ketidakmampuan untuk merasakan aliran udara masuk ke hidung.
15
DAFTAR PUSTAKA
Banks, T. A., & Gada, S. M. 2013. Atrophic rhinitis. Allergy and Asthma
Proceedings, 34(2). https://doi.org/10.2500/aap.2013.34.3639
Bist, S. S., Bisht, M., Purohit, J. P., & Saxena, R. 2011. Study of Histopathological
Changes in Primary Atrophic Rhinitis. ISRN Otolaryngology, 2011.
https://doi.org/10.5402/2011/269479
Dandinarasaiah, M., Hegde, J., Srinish, G., Bijiraj, V. V., & Salian, P. L. 2014.
Atrophic rhinitis presenting with ethmoidal mucocele: A case report. Journal
of Clinical and Diagnostic Research, 8(6).
https://doi.org/10.7860/JCDR/2014/8065.4503
Hagrass, M. A. E., Gamea, A. M., El-Sherief, S. G., El-Guindy, A. S., & El-Tatawi,
F. A. Y. 1992. Radiological and endoscopic study of the maxillary sinus in
primary atrophic rhinitis. The Journal of Laryngology & Otology, 106(8).
https://doi.org/10.1017/S0022215100120626
Jain, T., Sanju, H. K., Guerrieri, M., Ralli, M., & Di Mauro, R. 2020. Primary
Atrophic Rhinitis: Ozaena and Other Infective Forms. In Atrophic Rhinitis.
https://doi.org/10.1007/978-3-030-51705-2_1
Kanjikar, S., Malige, R., Udgir, R., Nagraj, V. V., Tugave, J., & Sawalgi, V. 2017.
Atrophic rhinitis with maggot infestation - A demographic study. Journal of
16
17
Keshanagari, P., & Noel, R. 2017. Primary and secondary atrophic rhinitis: a
microbiological and histopathological study. International Journal of
Otorhinolaryngology and Head and Neck Surgery, 3(4).
https://doi.org/10.18203/issn.2454-5929.ijohns20174337
Kuruvilla, G., Albert, R. R. A., Job, A., Ranjith, V. T., & Selvakumar, P. 2006.
Pneumocephalus: A rare complication of nasal myiasis. American Journal of
Otolaryngology - Head and Neck Medicine and Surgery, 27(2).
https://doi.org/10.1016/j.amjoto.2005.07.014
Manenti, G., Calcagni, A., Vidali, S., & Ryan, C. P. 2020. Imaging: The Role of
CT Scan, Cone-Beam and MRI in the Diagnosis of Atrophic Rhinitis. In
Atrophic Rhinitis. https://doi.org/10.1007/978-3-030-51705-2_9
Medina, L., Benazzo, M., Bertino, G., Montecucco, C. M., Danesino, C., Martinetti,
M., & Mira, E. 2003. Clinical, genetic and immunologic analysis of a family
affected by ozena. European Archives of Oto-Rhino-Laryngology, 260(7).
https://doi.org/10.1007/s00405-002-0571-x
Schunke, M., Schulte, E. and Schumacher, U., 2016. Prometheus Atlas Anatomi
Manusia Kepala, Leher, dan Neuroanatomi. EGC.
Sharma, V. K., Sharma, R., Purohit, J. P., & Vishth, S. 2011. Atrophic rhinitis and
its surgical management. Clinical Rhinology, 4(3). https://doi.org/10.5005/jp-
journals-10013-1091
Sheth, R., Patel, V., Patel, V., & Gohil, C. 2016. A study of etiological factors,
management, and complications of atrophic rhinitis. International Journal of
Medical Science and Public Health, 5(3).
https://doi.org/10.5455/ijmsph.2016.13112015206
18
Singh, M., Jain, V., Singh, S. P., & Gupta, S. C. 2004. Endoscopie
dacryocystorhinostomy in cases of dacryocystitis due to atrophic rhinitis.
Journal of Laryngology and Otology, 118(6).
https://doi.org/10.1258/002221504323219536