Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

TINDAKAN DIAGNOSTIK UNTUK MENDETEKSI


PENYAKIT PARU

Penyusun:
ERIKA DUMALESTARI SIALLAGAN
170100051

KEPANITERAAN KLINIK RS PENDIDIKAN USU


DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
17

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Penyakit paru dan sistem pernapasan menjadi masalah kesehatan dan penyebab
kematian utama di dunia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menyatakan bahwa
terdapat lima penyakit paru utama dengan angka morbiditas dan mortalitas tertinggi
di seluruh dunia, antara lain penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), asma,
tuberkulosis, pneumonia, dan kanker paru (Putra, 2018). Penyakit paru tuberkulosis
memiliki prevalensi terbanyak diseluruh dunia yakni mencapai 10 juta kasus dimana
1,8 juta diantaranya mengalami kematian setiap tahunnya, dengan Indonesia
menduduki urutan kedua insiden kasus Tuberkulosis tertinggi setelah India
(Ramadhaniah dan Syarif, 2020).
Tindakan diagnostik merupakan pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk
memperkuat hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dalam menegakkan diagnosis
penyakit serta tingkat keparahannya. Terdapat banyak pemeriksaan dalam bidang
kedokteran respirasi, dimulai dari pemeriksaan dasar hingga prosedur yang invasif
seperti bronkoskopi (Soeroso, 2017).
Secara umum penyakit paru memerlukan tindakan diagnostik yang berbeda beda,
sesuai dengan klinis pasien dan kebutuhan diagnostik. Seperti pemeriksaan sputum
yang dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis tuberkulosis ataupun penyakit
infeksi lain yang aktif memproduksi sputum, uji sprirometri diindikasikan pada
penyakit paru obstruksi kronik dan asma, dan dilakukan pemeriksaan histopatologi
pada penyakit kanker paru atau penyakit keganasan lainnya, serta masih banyak lagi.
Beberapa pemeriksaan yang penting untuk dipahami dan sering dilakukan dalam
penegakan diagnosis kelainan respirasi antara lain, analisa gas darah arteri,
pemeriksaan sputum, pemeriksaan fungsi paru, foto thoraks, dan bronkoskopi
(Soeroso, 2017).
2. Tujuan Penulisan
Penulisan dan penyusunan makalah ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan
pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

3. Manfaat Penulisan

Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan pembaca
terutama yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan wawasan kepada
masyarakat umum agar lebih mengetahui dan memahami tentang tindakan diagnostik
untuk mendeteksi penyakit paru.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemeriksaan Rutin


2.1.1 Hematologi
Pemeriksaan darah atau pemeriksaan hematologi secara umum dapat dibedakan
menjadi dua yaitu pemeriksaan hematologi rutin dan hematologi lengkap.
Pemeriksaan hematologi rutin terdiri dari hemoglobin/Hb, hematokrit (HCT), hitung
jumlah sel darah merah/eritrosit, hitung jumlah sel darah putih/leukosit, hitung
jumlah trombosit dan indeks eritrosit. Pemeriksaan hematologi lengkap (complete
blood count) terdiri dari pemeriksaan darah rutin ditambah hitung jenis leukosit dan
pemeriksaan morfologi sel/sediaan apus darah tepi (SADT)/Gambaran darah tepi
(GDT)/morfologi darah tepi (MDT) yaitu ukuran, kandungan hemoglobin,
anisositosis (kelainan ukuran sel darah merah), poikilositosis (kelainan bentuk sel
darah merah), polikromasi (Kemenkes RI, 2011 dalam Wahadiah dan Tumpuk,
2018).

Beberapa pemeriksaan hematologi yang paling sering dilakukan, antara lain


1. Darah lengkap
Tabel 2.1 Hitung Darah Lengkap

3
Tabel 2.2 Hitung Jenis Leukosit

3. Pemeriksaan hematologi lainnya


Tabel 2.3 Tes Hematologi Lainnya

2.1.2 Analisis Gas Darah Arteri


Analisa gas darah arteri (AGDA) adalah prosedur pemeriksaan medis yang
bertujuan untuk mengukur jumlah oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan juga
dapat digunakan untuk menentukan tingkat keasaman atau pH darah, atau distribusi

4
gas yang diangkut oleh sistem sirkulasi. Analisis gas darah arteri wajib dilakukan
pada semua kondisi penyakit paru akut. Pemeriksaan ini kembali diulang setelah
terapi oksigen diberikan untuk menilai respon dari terapi (Manokharan, 2017).
Analisa gas darah diindikasikan untuk mengkaji sifat, rangkaian, dan beratnya
gangguan metabolik dan pernapasan. Pemeriksaan gas darah arteri dan pH sudah
secara luas digunakan sebagai pegangan dalam penatalaksanaan pasien-pasien
penyakit berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas darah juga dapat
menggambarkan hasil berbagai tindakan penunjang yang dilakukan, tetapi tidak dapat
menegakkan suatu diagnosa hanya dari penilaian analisa gas darah dan keseimbangan
asam basa saja, namun harus menghubungkan dengan riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, dan data-data laboratorium lainnya (Syarani, 2017).
Analisa gas darah memungkinkan untuk pengukuran:
1. PH
2. Oksigenasi
3. Kadar CO2
4. Kadar Bikarbonat
5. Saturasi O2
6. Kelebihan atau kekurangan basa

Prosedur Pemeriksaan Analisis Gas Darah


Pada pemeriksaan ini diperlukan sedikit sampel darah yang diambil dari
pembuluh darah arteri yang ada di pergelangan tangan (arteri radialis), lengan (arteri
brakialis), atau pangkal paha. Oleh sebab itu prosedur ini disebut juga dengan
pemeriksaan analisa gas darah arteri. Sebelumnya, lakukan sterilisasi pada tempat
suntikan dengan cairan antiseptik. Setelah menemukan arteri, memasukkan jarum ke
dalam arteri dan mengambil darah. Setelah dirasa cukup, kemudian jarum dicabut,
dan luka tusukan ditutup dengan perban. Sampel darah kemudian akan dianalisa oleh
mesin portabel atau mesin yang ada di laboratorium. Sampel darah harus dianalisis

5
dalam waktu 10 menit dari waktu pengambilan untuk memastikan hasil tes yang
akurat (Manokharan, 2017).

Langkah-langkah untuk menilai gas darah (Syarani, 2017):


1. Pertama-tama perhatikan pH (jika menurun mengalami asidemia, dengan dua
sebab asidosis metabolik atau asidosis respiratorik; jika meningkat mengalami
alkalemia dengan dua sebab alkalosis metabolik atau alkalosis respiratorik.
2. Perhatikan variable pernafasan (PaCO2) dan metabolik (HCO3) yang berhubungan
dengan pH untuk mencoba mengetahui apakah gangguan primer bersifat respiratorik,
metabolik atau campuran.
3. Langkah berikutnya mencakup menentukan apakah kompensasi telah terjadi (hal
ini dilakukan dengan melihat nilai selain gangguan primer, jika nilai bergerak yang
sama dengan nilai primer, kompensasi sedang berjalan: kompensasi penuh atau
sebagian).
4. Buat penafsiran tahap akhir (gangguan asam basa sederhana, gangguan asam basa
campuran).

Rentang nilai normal (Rahman et al., 2015):


pH : 7,35 - 7,45
TCO2 : 23-27 mmol/L
PCO2 : 35 – 45 mmHg
BE : 0 ± 2 mEq/L
PO2 : 80 - 100 mmHg
Saturasi O2 : 95 % atau lebih
HCO3 : 22-26 mEq/L

Jenis Gangguan Aasam Basa (Rahman et al., 2015):


- Asidosis respiratorik : PPOK eskaserbasi
- Asidosis metabolik : Diabetik asidosis, gagal ginjal, syok hipovolemik

6
- Alkalosis respiratorik : hiperventilasi, stress, anxietas
- Alkalosis metabolik : mual, muntah berlebihan

2.2 Pemeriksaan Mikrobiologi


Pemeriksaan mikro dapat dilakukan pada sputum, aspirasi bronkial, aspirasi
pleura, apusan tenggorok, dan darah. Tujuan dari pemeriksaan ini untuk
mengidentifikasi bakteri, virus dan jamur. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan
untuk mikroskopik, kultur, dan sensitif obat (Soeroso, 2017).
2.2.1 Bakteriologi
■ Sputum
Orang dewasa normal membentuk sputum ± 100 ml/hari. Jika produksi
berlebihan, proses pembersihan mungkin tidak efektif lagi sehingga sputum akan
tertimbun. Pemeriksaan mikroskopis sputum untuk melihat bakteri paling umum
dilakukan dari semua pemeriksaan mikrobiologi yang ada dalam ilmu kedokteran
respirasi. Hal ini perlu sebelum memulai terapi dengan antibiotik. Waktu terbaik
untuk pengumpulan sputum adalah setelah bangun tidur, karena sekresi abnormal
bronkus cenderung untuk berkumpul pada waktu tidur. Sputum diletakkan pada
tempat yang steril kemudian diberi identitas dan dikirim ke laboratorium.
Pemeriksaan sputum dapat diminta berupa pewarnaan Gram, Ziehl Neelsen (BTA),
sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan paru ditandai sputum mengandung
runtuhan sel percabangan trakheobronkhial atau sel maligna, GeneXpert/ Tes cepat
molekular dan kultur anaerob. Sampel sputum sangat berguna dalam mendiagnosis
pasien yang disangka pneumonia, tuberkulosis, dan aspergillosis ataupun pada pasien
yang memiliki gambaran klinis yang tidak khas. Terutama pada penderita
tuberkulosis paru, pemeriksaan mikroskopis dahak dengan ditemukannya
Mycobacterium tuberculosis merupakan komponen kunci dalam penegakan
diagnosis, program pengobatan TB, evaluasi dan tindak lanjut pengobatan.
Pemeriksaan Beberapa antibiotik yang sering dipakai sering ditemukan resisten

7
kepada bakteri yang menginfeksi saluran pernapasan, oleh karena itu sensitivitas
antibiotik perlu dilakukan (Ramadhan et al., 2017).
■ Kultur Darah
Kultur darah sering dilakukan pada pasien dengan demam dan infeksi saluran
pernapasan. Sampel darah diambil dan dimasukkan ke dalam botol khusus, sekitar 20
ml per botol. Kultur darah berguna untuk mengidentifikasi bakterial sistemik dan
infeksi jamur. Hasil bisa positif di saat kultur sputum negatif. Tindakan ini dapat
dilakukan pada pneumonia jika dibutuhkan (Soeroso, 2017).
■ Spesimen Saluran Pernapasan Atas
Spesimen tenggorok dapat diperoleh melalui apusan Dacron. Sampel berasal dari
hidung, sinus, tonsil, faring posterior (nasofaring dan orofaring), dan daerah lain yang
ulserasi. Hindari kontak dengan lidah dan air liur yang dapat menghambat identifikasi
dari Streptokokus Grup A. Spesimen sinus diperoleh dengan menggunakan jarum dan
suntik. Spesimen ini kemudian dikultur bakteri aerob ataupun anaerob. Infeksi
saluran pernapasan atas, meliputi common cold, sinusitis, rhinitis, tonsillitis, radang
tenggorokan, laringitis. Bakteri paling sering penyebab sinus adalah Streptokokus
pneumonia, Haemophilus influenza, Stafilokokus aureus, dan anaerob. Bakteri seperti
Coxiella burnetti, Mycoplasma pneumonia dan Legionella sulit untuk dikultur oleh
karena itu perlu dilakukan serologi tes (Soeroso, 2017).
■ Spesimen Saluran Pernafasan Bawah
Sampel berasal dari bronkus, bronkiolus dan paru-paru. Teknik yang digunakan
untuk memperoleh sampel termasuk ekspektoran, induksi batuk dengan
menggunakan saline, bronkoskopi, bronchial alveolar lavage, aspirasi transtrakeal dan
aspirasi langsung melalui dinding dada. Beberapa tindakan ini dilakukan dengan
prosedur invasif. Infeksi saluran pernapasan bawah, meliputi bronkitis, bronkiolitis,
pneumonia, aspergilosis, atau tuberkulosis (TBC) (Soeroso, 2017).

2.2.2 Tes Viral


Serologi Virus

8
Serologi virus merupakan pemeriksaan virus paling penting dari pemeriksaan
virus lainnya. Diagnosa serologi diperoleh ketika virus sulit untuk diisolasi dan
berkembang di kultur sel. Spesimen harus diambil ketika fase akut karena virus
respirasi hanya muncul bertahan 3 - 7 hari. Sampel kembali diambil 10 hari
kemudian. Spesimen diperiksa secara serologi setelah sampel kedua diperoleh.
Laboratorium mengukur tipe antibody (IgM dan IgG) sebagai respon dari infeksi
virus. Serologi virus juga mengidentifikasi virus dan serotipe atau strainnya untuk
mengevaluasi jalannya infeksi. Umumnya tindakan ini diindikasikan pada penyakit
dengan etiologi virus, seperti virus influenza, sindrom pernafasan akut yang
disebabkan oleh virus covid-19 dapat dideteksi antibodi SARS-CoV-2 secara
immunoassay kualitatif (Rapid Test) dan kuantitatif (ELISA, CLIA serta GICA)
(Asryadin et al., 2020).

2.2.3 Pemeriksaan Jamur


Pemeriksaan jamur penting terutama pada pasien dengan immunokompromais,
yang dapat menyebabkan timbulnya infeksi sistemik; infeksi jamur yang invasif perlu
dilakukan kultur darah. Penyakit jamur paru (mikosis paru), Dapat disebabkan oleh 2
kelompok jamur, yaitu:
- Jamur patogen sistemik
1. Histoplasmosis, disebabkan Histoplasma capsulatum
2. Koksidioidornikosis, disebabkan oleh Coccidioides immitis
3. Parakoksidioidornikosis, disebabkan oleh Paracoccidioides brasiliensis
4. Blastomikosis, disebabkan oleh Blastomyces dermatitidis
5. Kriptokokosis, disebabkan oleh Cryptococcus neoformans
- Jamur oportunistik
Dalam keadaan normal bersifat non patogen, menjadi patogen jika pertahanan
tubuh melemah. Merupakan penyakit jamur paru yang paling sering ditemui, antara
lain:
1. Kandidiasis paru

9
2. Aspergilosis paru
Diagnosa dengan pemeriksaan mikroskopis menemukan jamur di sputum (jamur
dapat ditemukan dalam bentuk ragi, pseudohifa dan hifa) serta kultur yang positip
dengan medium agar Sabouraud. Spesimen lain selain dahak dapat juga bilasan atau
cucian bronkus dari pemeriksaan bronkoskopi (Sukamto,2004).

2.3 Pemeriksaan Fungsi Paru


Pemeriksaan faal paru merupakan pemeriksaaan untuk mengetahui apakah fungsi
paru dalam keadaan normal atau tidak normal. Pemeriksaan faal paru dikerjakan
berdasarkan indikasi tertentu. Penurunan fungsi paru yang terjadi secara mendadak
dapat menimbulkan gagal napas dan dapat mendatangkan kematian kepada penderita.
Pengujian faal paru menggunakan alat yang disebut spirometry dan peak flow meter
(Bakhtiar dan Tantri, 2017).

2.3.1 Spirometri
Pemeriksaan spirometri adalah pemeriksaan untuk mengukur faal paru statik dan
dinamik seseorang dengan alat spirometer. Spirometer tidak dapat membuat diagnosis
spesifik namun dapat menentukan adanya gangguan obstruktif dan restriktif serta
dapat memberi perkiraan derajat kelainan.

2.3.1.1 Indikasi Spirometri


- Ada beberapa indikasi dilakukan spirometri, antara lain: (Ranu et al., 2011)
- Menilai status faal paru yaitu menentukan apakah seseorang memiliki faal paru
normal, hiperinflasi, obstruktif, restriktif, atau gabungan dari keduanya.
- Menilai manfaat pengobatan yaitu menentukan apakah suatu pengobatan
memberikan perubahan terhadap nilai faal paru.
- Evaluasi penyakit yaitu menilai laju perkembangan penyakit terdapat perbaikan
atau perubahan nilai faal paru.

10
- Menentukan prognosis yaitu meramalkan kondisi penderita selanjutnya dengan
melihat faal paru yang ada.
- Menentukan toleransi tindakan bedah.
- Menentukan apakah seseorang mempunyai risiko ringan, sedang, atau berat pada
tindakan bedah.
- Untuk menentukan apakah dapat dilakukan tindakan reseksi paru.

2.3.1.2 Prosedur Pemeriksaan Sprirometri


Sebelum dilakukan pemeriksaan spirometri diperlukan beberapa persiapan, antara
lain: persiapan alat, persiapan penderita, ruang dan fasilitas (Bakhtiar dan Tantri,
2017).
1. Persiapan alat
a. Alat harus dikalibrasi minimal 1 kali seminggu. Penyimpangan tidak boleh
melebihi 1½ % dari kalibrator.
b. Mouth piece sekali pakai atau penggunaan berulang 1 buah.
c. Sediakan wadah berisi savlon yang telah diencerkan dengan air untuk merendam
mouth piece yang digunakan berulang.
2. Persiapan penderita
Penderita harus mengerti tujuan dan cara pemeriksaan. Sebelum dilakukan
pemeriksaan, operator harus memberikan petunjuk yang tepat dan benar serta
memberikan contoh cara melakukan pemeriksaan spirometri. Selama pemeriksaan
penderita harus merasa nyaman.
Syarat sebelum melakukan pemeriksaan spirometri antara lain: harus bebas dari
rokok minimal 2 jam sebelum pemeriksaan, tidak boleh makan terlalu kenyang
sebelum pemeriksaan, tidak boleh berpakaian ketat, penggunaan bronkodilator
terakhir minimal 8 jam sebelum pemeriksaan untuk aksi singkat dan 24 jam untuk
aksi panjang.
3. Ruang dan fasilitas

11
Ruangan yang digunakan harus mempunyai sistem ventilasi yang baik. Suhu
udara tempat pemeriksaan tidak boleh < 17° C atau > 40° C. Pemeriksaan terhadap
pasien yang dicurigai menderita penyakit infeksi saluran napas dilakukan pada urutan
terakhir dan setelah itu harus dilakukan tindakan antiseptik pada alat.

2.3.1.3 Manuver Melakukan Spirometri


Hasil spirometri yaitu berupa kurva volume paru terhadap waktu akibat manuver
yang dilakukan penderita. Usaha manuver penderita diobservasi pada layar monitor
untuk meyakinkan bahwa usaha yang dilakukan penderita sudah benar dan maksimal.
Manuver yang dapat dilakukan antara lain: (Bakhtiar dan Tantri, 2017)
1. Manuver SVC
Penderita menghirup udara sebanyak mungkin dan kemudian udara dikeluarkan
sebanyak mungkin tanpa manuver paksa.
2. Manuver FVC, penderita menghirup udara sebanyak mungkin dan udara
dikeluarkan dengan dihentakkan serta melanjutkannya sampai ekspirasi
maksimal.
- Manuver FEV1 (volume ekspirasi paksa detik pertama)
Nilai FEV1 yaitu volume udara yang dikeluarkan selama 1 detik pertama pada
pemeriksaan FVC. Manuver FEV1 sama seperti manuver FVC.
- Manuver PEFR/ APE (arus puncak respirasi)
Kecepatan arus ekspirasi maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa.
Penderita menarik napas semaksimal mungkin, kemudian dihembuskan dengan
kekuatan maksimal segera setelah kedua bibir dirapatkan pada mouthpiece.
- Manuver MVV (Maximum voluntary ventilation)
Volume udara maksimal yang dapat dihirup oleh penderita. Penderita bernapas
melalui spirometri dengan sangat cepat, kuat, dan sedalam mungkin selama
minimal 10-15 detik.

12
Gambar 2.1 Spirometri pengukuran volume dan aliran (Bakhtiar dan Tantri, 2017)

2.3.1.4 Voluma Paru dan Kapasitas Paru


Volume dan kapasitas pernapasan merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem
respirasi. Dengan menggunakan alat spirometri dapat diukur beberapa parameter faal
paru statis, antara lain: (Bakhtiar dan Tantri, 2017)
- Volume tidal (TV)
Volume tidal adalah volume udara yang masuk dan keluar paru-paru pada
keadaan istirahat atau pernapasan biasa (0,5 L).
- Volume cadangan inspirasi / Inspiratory Reserve Volume (IRV)
Volume cadangan inspirasi adalah jumlah udara yang masih dapat dihirup ke
dalam paru secara maksimal setelah inspirasi biasa (3,3 L).
- Volume cadangan ekspirasi / Expiratory Reserve Volume (ERV)
Volume cadangan ekspirasi adalah jumlah udara yang masih dapat
dihembuskan keluar dari paru setelah ekspirasi biasa (1L).
- Volume residu / Residual Volume (RV)
Volume residu adalah jumlah udara yang masih tertinggal di dalam paru setelah
ekspirasi maksimal. Volume residu ini mengakibatkan paru akan mengapung bila
dimasukkan ke dalam air. Udara sisa ini berperan sebagai udara cadangan serta
mencegah terjadinya perubahan kondisi udara alveoli secara ekstrem. Apabila
telah diketahui niai FRC maka RV diperoleh dengan persamaan: RV = FRC –
ERV (1,2 L).
- Kapasitas inspirasi / Inspiratory Capacity (IC)

13
Kapasitas inspirasi adalah jumlah udara yang bisa dihirup maksimal Gabungan
TV + IRV (3,8 L).
- Kapasitas residu fungsional / Functional Residual Capacity (FRC) Kapasitas
residu fungsional adalah jumlah udara yang terdapat dalam paru pada akhir
ekspirasi biasa, yaitu gabungan ERV + RV (2,2 L).
- Kapasitas vital / Vital Capacity (VC)
Kapasitas vital adalah jumlah udara yang bisa dikeluarkan maksimal setelah
inspirasi maksimal, yaitu gabungan IRV + TV + ERV (4,8 L).
- Kapasitas paru total/Total Lung Capacity (TLC) Kapasitas paru total adalah
jumlah udara total yang ada di dalam paru pada akhir inspirasi maksimal, yakni
gabungan IRV + TV + FRC (6 L).
Faal paru dinamis terdiri dibagi menjadi 7, yaitu: foced vital capacity (FVC), forced
expiratory volume (FEVT), forced expiratory flow200-1200/FEF 200-1200, Forced
expiratory flow25%-75%/ FEF 25%-75%, Peak expiratory flow rate/PEFR,
Maksimal voluntary ventilation/MVV/MBC, Rasio FEV1/FVC.

2.3.1.5 Kelainan Paru Obstruktif dan Kelainan Paru Restriktif.


Interpretasi spirometri selalu menggunakan rasio FEV1/FVC untuk menentukan
adanya kelainan obstruksi. Sedangkan tingkat derajat obstruksi dengan menggunakan
persen prediksi FEV1. FVC dan VC digunakan untuk memonitoring penyakit
restriktif dan kelemahan neuromuskular. Jika rasio FEV1/ FVC diatas nilai batas
bawah yang masih normal maka spirometri adalah normal. Kelainan hasil
pemeriksaan yang ditunjukkan oleh spirometri paling sering adalah adanya obstruksi
saluran napas yang digambarkan oleh berkurangnya kecepatan aliran, penurunan
rasio FEV1/FVC dan FEV1. Hasil spirometri normal adalah FEV1 > 80% dari
prediksi, FVC > 80% dari prediksi dan rasio FEV1/FVC >70% (Uyainah et al., 2014).
Gangguan ventilasi terdiri atas: gangguan restriksi dan gangguan obstruksi. Pada
gangguan obstruksi, menunjukkan adanya penurunan kecepatan aliran ekspirasi dan
kapasitas vital normal, akibat penyempitan saluran nafas. Sebagai contoh pada

14
penyakit asma, PPOK, bronkhitis kronik, dan emfisema merupakan penyakit-
penyakit obstruktif (Soeroso, 2017).

Tabel 2.4 Derajat beratnya obstruksi [ CITATION GOL20 \l 1033 ]


FEV1/FVC FEV1 % Prediksi Nilai
>0.7 > 80 % Prediksi Normal
<0.7 ≥ 80 % Prediksi GOLD 1 (Ringan)
<0.7 50 % - 79% GOLD 2 (Sedang)
<0.7 30 % - 49 % GOLD 3 (Berat)
<0.7 < 30 % GOLD 4 (Sangat berat)

Gambar 2.2 Spirometri obstruktif (Uyainah et al., 2014)

Restriksi adalah gangguan pada pengembangan paru oleh sebab apapun. Pada
gangguan restriksi, paru menjadi kaku sehingga daya tarik kedalam lebih besar maka
dinding dada mengecil. Volume paru menjadi mengecil dan sela iga menyempit.
Bentuk kelainan restriktif dapat dijumpai pada: (Ranu et al., 2011)

15
- Penyakit paru interstitial: Pneumonitis interstitial, fibrosis, pneumoconiosis,
granulomatosis, edema
- Space-Occupying Lesions: Tumor, kista
- Penyakit pleura: Pneumotoraks, hematoraks, efusi pleura, empiema, fibrotoraks
- Penyakit pada dinding dada: Trauma, kyphoscoliosis, spondylitis, penyakit
Neuromuscular
- Keadaan-keadaan di luar toraks: Kegemukan, peritonitis, asites, dan kehamilan

Tabel 2.5 Pembagian kelainan restriktif (Uyainah et al ., 2014)


Derajat Restriksi % pred FVC
Ringan 70 – 79 %
Sedang 60 – 69 %
Sedang - Berat 50 – 59 %
Berat 35 – 49 %
Sangat Berat < 35 %

Gambar 2.3 Spirometri restriktif (Uyainah et al.,


Tabel 2.6 Penilaian pemeriksaan spirometri (Uyainah et al., 2014)
Nilai Normal Obstruksi Restriksi Kombinasi
Obstruksi &
Restriksi

16
KVP ≥80% N <N <80% Prediksi
(Prediksi) (N)
VEP1 ≥80% <N N/<N <80% Prediksi
(Prediksi) (N)
VEP1/KVP N (>70%) <70% >70% <70%
(VEP%)
KVP/KVP ≥80% <N
Prediksi (KVP
%)
KTP 80-120% <80% Prediksi

2.3.2 Peak Flow


Pemeriksaan yang sederhana dan murah menggunakan peak flow meter untuk
mengukur rate ekspirasi maksimum pada 10 ms ekspirasi. Peak flow meter dapat
digunakan pasien di rumah untuk memonitoring fungsi paru mereka. Sebelum
memeriksa PEFR (Peak expiratory flow rate), praktisi harus meminta pasien untuk:
- Inspirasi dalam untuk mencapai kapasitas paru maksimum
- Kedua bibir dirapatkan pada bagian mulut dari peak flow meter
- Tiup dengan kencang ke dalam peak flow meter yang dipegang secara horizontal
Tiga pemeriksaan yang terbaik dicatat dan dimasukkan ke dalam grafik. Paling
tidak dua pencatatan per hari dibutuhkan untuk mendapat hasil ynag akurat. Normal
PEFR adalah 400-650 L/menit pada orang dewasa yang sehat.
PEFR menurun dalam beberapa kondisi, seperti: Asma, Penyakit paru obstruktif
kronis, Tumor saluran nafas atas.
Penyebab lain dari menurunnya PEFR termasuk kelemahan otot pernafasan,
peniupan yang kurang kuat dan teknik yang salah. PEFR merupakan pengukuran
yang kurang baik untuk keterbatasan aliran udara karena hanya mengukur ekspirasi

17
inisial: PEFR baik digunakan untuk memonitor perjalanan penyakit dan respon
pengobatan (Soeroso, 2017).

2.3.3 Uji Kapasitas Difus Karbon Monoksida (DLCO)


Pengukuran diffusing capacity of the lung for carbon monoxide (DLCO) atau
kapasitas difusi paru terhadap karbon monoksida dengan metode napas tunggal
merupakan uji yang dilakukan untuk mengukur kemampuan paru untuk mentransfer
gas dari saluran nafas ke pembuluh darah. Gas yang dimaksud adalah O2 dan CO2
yang akan ditransfer dari alveoli ke pembuluh darah. Penurunan nilai DLCO
disebabkan berkurangnya luas permukaan pertukaran gas membran alveolar-kapiler,
volume darah, ketebalan membran, dan hemodinamik seperti curah jantung dan kadar
haemoglobin (Hb) (Ria dan Suradi, 2016).
Transfer difusi dari CO terdiri dari dua proses berurutan, yaitu difusi molekular
melintasi alveolar dan membran kapiler (konduktansi membran) dan ikatan kimiawi
dengan molekul Hb (konduktansi reaktif). Di Eropa, tes ini sering disebut "transfer
factor" (TLCO). Keduanya, DLCO maupun TLCO, sama saja, terminologi yang lama
adalah DLCO. Kapasitas difusi paru ditentukan oleh tiga faktor, yaitu area membran
alveoli kapiler (A) yang terdiri dari dinding alveoli dan dinding kapiler, ketebalan
membran (T), dan perbedaan tekanan antara alveoli dan arteri (P). Makin luas area
maka laju transfer akan lebih banyak dan nilai DL (kapasitas difusi) akan lebih tinggi.
Makin tebal membran maka makin sulit terjadi difusi gas, sehingga nilai DL makin
rendah (Rosyid dan Marhana, 2018).

2.3.3.1 Kepentingan klinis pengukuran DLCO


DLCO adalah salah satu tes untuk menilai fungsi paru. Tes ini merupakan
pemeriksaan untuk menilai mikrosirkulasi paru. Tes ini dapat membantu menentukan

18
penyebab sesak napas dan mengkonfirmasi penyakit paru obstruktif, seperti asma,
bronkiektasis, atau emfisema. DLCO dapat digunakan untuk membedakan ketiga
kondisi tersebut. Sebagai contoh, pada asma nilai PaO2 sering rendah, tapi DLCO
biasanya normal, sebaliknya pada emfisema atau fibrosis sering PaO2 dalam batas
normal, tapi dengan DLCO yang rendah. Tes ini juga dilakukan sebelum operasi paru
untuk memastikan penderita tersebut tidak akan bermasalah selama operasi karena
kapasitas parunya yang berkurang selama atau sesudah operasi. Pada kondisi “loss of
volume” tanpa adanya obstruksi, DLCO akan menunjukkan hasil restriksi ekstra paru.
Pada kondisi ini, nilai DLCO akan dipertahankan, berbeda dengan kasus kelainan
intrapulmonar alveoli dan penyakit vaskuler (Rosyid dan Marhana, 2018).

2.3.3.2 Pengukuran kapasitas difusi


Pengukuran kapasitas difusi bisa dilakukan dengan beberapa teknik yang sering
dipakai, di antaranya dengan single-breath DLCO dan rebreathing DLCO. Teknik
yang paling sering untuk mengukur kapasitas difusi (DLCO) adalah metode nafas
tunggal (single-breath DLCO). Berbagai metode secara komersial telah tersedia
untuk mengukur DLCOsb. Selain dua teknik tersebut, masih ada teknik lain, yaitu
teknik steady-state DLCO, teknik three-equation single breath DLCO, kapasitas
diffusing dengan NO, dan teknik intra-breath DLCO. Dalam hal ini hanya dua
metode yang akan sering dibicarakan, yaitu single breath dan rebreathing (Tarigan,
2018).
Spirometer Collins (Collins Medis, Boston, Mass, USA) berguna untuk pengujian
faal paru ventilasi, difusi, dan pengukuran volume paru lengkap. Untuk pengujian
faal paru ventilasi dan kapasitas difusi, penderita diposisikan duduk selama 5 menit
sebelum tes dimulai. Mouth-piece dimasukkan ke dalam mulut, penderita memakai
klip hidung. Diminta bernafas melalui mouth-piece dan tidak boleh bocor. Penderita
diinstruksikan bernafas sesuai perintah petugas. Setelah tiga kurva spirometri yang
diperoleh dapat diterima dan sesuai standar ATS, maka dapat diperoleh pengukuran

19
kapasitas difusi. Semua volume paru-paru dikoreksi dengan suhu tubuh dan tekanan
jenuh (BTPS) (Rosyid dan Marhana, 2018).

Gambar 2.4 Spirometer Collin untuk pemeriksaan faal paru ventilasi maupun difusi (Rosyid dan
Marhana, 2018).

2.3.3.3 Interpretasi Kapasitas Difus


Nilai normal DLCO yaitu 20-30 ml/menit mmHg, artinya sekitar 20-30 ml CO
akan ditransfer per menit per mmHg untuk mendorong CO masuk dari alveloli ke
pembuluh darah. Satuan untuk DLCO adalah ml/menit/mmHg, sedangkan TLCO
adalah mmol/menit kPa. Rasio DLCO/TLCO adalah 3:1, atau TLCO = DLCO: 3.
Nilai normal DLCO tergantung pada usia (berkurang dengan bertambahnya usia),
kelamin (sedikit lebih rendah pada wanita), dan tinggi badan (makin tinggi maka paru
makin lebar dan DLCO lebih besar) (Rosyid dan Marhana, 2018).

20
Tabel 2.7 Derajat Keparahan DLCO

Peningkatan DLCO
Peningkatan DLCO didapati pada beberapa kondisi berikut, yaitu: (Rosyid dan
Marhana, 2018)
1. Posisi Supine, DLCO jarang diukur pada posisi supine, namun pada posisi ini
DLCO akan meningkat disebabkan peningkatan perfusi dan volume darah di lobus
atas.
2. Kondisi Latihan, Menahan nafas selama 10 detik pada saat latihan adalah sulit,
karena saat latihan terjadi peningkatan volume aliran darah paru.
3. Asma, Penderita asma saat tidak serangan tidak menimbulkan gejala akan memiliki
nilai DLCO yang lebih tinggi karena distribusi aliran pembuluh darah lebih merata.
4. Obesitas, terutama yang berat. DLCO-nya akan meningkat karena terjadinya
peningkatan volume pembuluh darah paru.
5. Polisitemia, Terjadi peningkatan eritrosit dalam kapiler, hal ini dapat meningkatkan
area membran alveoli-kapiler untuk dapat mentransfer gas CO.
6. Perdarahan Intra Alveolar seperti pada syndrom Good Pasteur, Hb di dalam alveoli
akan berikatan dengan CO yang menyebabkan ambilan CO lebih tinggi, sehingga
DLCO juga meningkat. Pengukuran DLCO secara berturut dapat dipakai sebagai
follow-up peningkatan atau berkurangnya intra-alveolar hemorrhage.
7. Shunt Jantung Kanan-Kiri, kondisi ini dapat meningkatkan volume kapiler paru

21
Penurunan DLCO
Penurunan DLCO didapati pada keadaan di mana terjadi penurunan area permukaan
difusi, yaitu pada keadaan: (Rosyid dan Marhana, 2018)
1. Emfisema. Pada emfisema, meskipun volume paru bertambah, tapi dinding alveoli
dan kapiler rusak, sehingga total area permukaan difusi juga turun. DLCO yang turun
pada penderita dengan adanya obstruksi saluran nafas yang signifikan menunjukkan
kecurigaan yang kuat terhadap terjadinya emfisema.
2. Reseksi Paru. Jika hanya sedikit saja bagian paru yang direseksi (misalkan
lobektomi), maka kapiler untuk terjadinya difusi hanya sedikit berkurang, hal tersebut
tidak merubah nilai DLCO. Berbeda halnya dengan pneumonektomi, hilangnya
permukaan kapiler lebih luar, sehingga DLCO akan turun bermakna.
3. Obstruksi Bronkus. Obstruksi karena tumor pada bronkus dapat menurunkan area
dan volume paru. DLCO akan turun namun DLCO/VA masih bisa dalam batas
normal.
4. Emboli Paru Multiple. Terjadinya emboli akan menyumbat aliran darah perfusi ke
alveoli, sehinga dapat menurunkan area difusi. Hipertensi pulmonal primer juga dapat
menyebabkan penurunan area kapiler.
5. Anemia. Anemia menyebabkan penurunan Hb pada kapiler paru, sehingga terjadi
penurunan volume kapiler paru.

2.3.3.4 Indikasi Pemeriksaan DLCO


Pemeriksaan DLCO selain sebagai diagnostik juga berguna sebagai follow-up.
Kondisi berikut ini diindikasikan untuk pemeriksaan DLCO: (Tarigan, 2018)
1. Penyakit parenkim paru (fibrosis paru idiopatik/interstitial pneumonitis,
bronchiolitis obliterans with organizing pneumonia/BOOP, cryptogenic organizing
pneumonia/COP, penyakit paru kerja asbestosis, reaksi obat amiodaron, sarcoidosis,
dan kuantifikasi kecacatan terkait ILD/interstitial lung disease)

22
2. Emfisema dan kistik fibrosis, membedakan pola obstruksi pada penderita bronkitis,
emfisema, asma, dan kuantifikasi gangguan dan kecacatan
3. Penyakit jantung (hipertensi pulmonar primer, tromboemboli akut/rekuren, edema
paru) 4. Penyakit sistemik (rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosus/SLE)
5. Efek agen kemoterapi atau obat-obatan lain (amiodarine, bleomicin) yang
menginduksi disfungsi paru
6. Perdarahan paru
7. Indikasi awal terhadap infeksi paru tertentu (pneumocytis pneumonia)

2.3.3.5 Kontra indikasi DLCO


Pemeriksaan DLCO ini dikontra indikasikan secara mutlak dan relatif pada
beberapa penderita: (Tarigan, 2018)
Kontraindikasi mutlak pada penderita yang didapati keracunan CO dan tingkat
oksihemoglobin desaturasi yang membahayakan tanpa suplemen O2.
Kontraindikasi relatif pada penderita sebagai berikut:
1. Kebingungan mental, inkordinasi otot yang menyebabkan penderita tidak adekuat
saat melakukan manuver tes
2. Konsumsi banyak makanan dan olahraga berat sebelum tes
3. Merokok dalam 24 jam sebelum tes dilakukan (rokok memiliki efek langsung
terhadap DLCO terkait dengan efek COHb)
4. Pengurangan volume paru yang berakibat hasil tes yang tidak valid
5. Alat tes yang tidak dikalibrasi atau tidak adanya operator yang bermutu.

2.3.3.6 Komplikasi tes DLCO


Komplikasi Pemeriksaan DLCO sebagai berikut: (Rosyid dan Marhana, 2018)
1. Tes DLCOsb memerlukan tahan nafas, dilakukan valsava maneuver (membuat
tekanan lebih tinggi dari tekanan intratorak) atau Muller maneuver (membuat tekanan
lebih rendah dari tekanan intratorak). Manuver ini akan menyebabkan perubahan
venous return ke jantung dan perubahan volume darah di kapiler paru.

23
2. Gangguan suplemen O2 menimbulkan desaturasi oksihemoglobin.
3. Penularan infeksi dapat mungkin terjadi bila mouth-piece kurang bersih.
2.4 Pemeriksaan Radiologi
2.4.1 Ultrasound
Ultrasonografi (USG) sudah digunakan sebagai alat untuk membantu
menegakkan diagnosis sejak tahun 1940an, namun demikian penggunaan USG di
bidang ilmu penyakit paru masih minimal. USG tidak mampu menembus ke dalam
jaringan yang terisi udara, namun demikian USG sangat baik dalam menggambarkan
dinding toraks, pleura dan jaringan paru yang berbatasan dengan pleura (Winaya dan
Koesoemoprodjo, 2015).
Ultrasound menggunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi untuk
menggambarkan bagian dalam tubuh. Pada pengobatan sistem pernafasan
pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui adanya efusi pleura, pneumotoraks,
konsolidasi, atelektasis, edema paru dan empyema, dan lain-lain. Ultrasound dapat
mendeteksi adanya efusi yang tidak dapat terlihat pada pemeriksaan foto rontgen,
atau menentukan lokasi dari efusi sebelum dikeluarkan (Soeroso, 2017).
Pemeriksaan USG toraks dapat dilakukan dengan memposisikan probe di
abdomen, sela iga dan supraclavicular. Pemeriksaan dinding toraks lateral dan
anterior dapat dilakukan dengan memposisikan penderita lateral dekubitus atau
terlentang.
Untuk pemeriksaan USG toraks dapat dilakukan dengan hampir semua mesin USG
yang ada. Probe yang digunakan pada pemeriksaan USG toraks ada 2 macam, yaitu:
(1) probe curvilinier yang dapat menghasilkan ultrasounds 3,7 MHz (antara: 2-5
MHz) dan (2) probe linier yang dapat menghasilkan ultrasound 8 MHz (antara: 5-10
MHz). Ultrasounds dengan frekuensi yang lebih tinggi akan menghasilkan resolusi
gambar yang lebih baik.
Pada dinding thoraks dan pleura normal, Pleura visceralis dan parietalis tidak
dapat dibedakan menggunakan probe curvilinier, di mana gambar yang terbentuk
akan berupa garis lurus saja, yang merupakan gambar pleura dan permukaan jaringan

24
paru. Probe linier (resolusi tinggi), pleura visceralis dan parietalis akan tampak
sebagai dua garis yang berbeda, di mana pleura visceralis akan tampak sebagai garis
yang lebih tebal daripada pleura parietalis (Winaya dan Koesoemoprodjo, 2015).

25
Gambar 2.5 Foto thoraks pada USG (Winaya dan Koesoemoprodjo, 2015)
Ket: S, Skin (kulit); CW, Chest Wall (dinding toraks); P, Pleura; Pp, Pleura Parietalis; Pv,
Pleura Visceralis; L, Lung (paru); R, Reverberation artifact. (b) Gambar longitudinal
melewati sela iga. Iga normal terlihat sebagai garis hyperechoic yang bersekat (anak panah)
dengan acoustic shadow di bawah iga. (c) Contoh sebuah comettail artefact yang terlihat pada
orang normal.

1. Efusi Pleura
Menegakkan Diagnosis Efusi Pleura Dengan USG, Efusi pleura akan tampak
sebagai daerah dengan bayangan anechoic (gelap/hitam) dan homogen di antara
pleura parietalis dan pleura visceralis, dan bentuk bayangan ini akan berubah sesuai
dengan gerak pernapasan. Pada USG Doppler terdapat color Doppler maka fluid
color sign merupakan bukti USG yang sensitif dan spesifik untuk efusi pleura
minimal.

26
Gambar 2.6 USG Doppler pada efusi pleura (Winaya dan Koesoemoprodjo, 2015)
2. Tumor Paru
Tumor paru perifer akan dapat terdeteksi dengan USG apabila terdapat kontak
dengan pleura. Invasi tumor paru ke pleura visceralis dan dinding toraks sangat
penting dalam menentukan staging tumor paru (Winaya dan Koesoemoprodjo, 2015).

Gambar 2.7 Foto Gambaran


Ket: (1) dua buah contoh gambaran USG dari tumor pleura, di mana (a) terdapat efusi pleura
yang besar dan (b) tanpa efusi pleura. PE, efusi pleura; T’ tumor pleura; Pp, Pleura parietal;
L, paru.2 (2) (a) Gambar USG yang menunjukkan tumor paru dengan posterior echo
enhancement. Tanda panah menunjukkan adanya gambaran pleura viceralis dan pleura
parietalis yang utuh. (b) Pada gambaran USG ini menunjukkan adanya tumor paru yang
meluas ke pleura, terlihat bahwa pleura viceralis sudah tidak utuh, dan pada real-time USG
didapatkan adanya pergerakan dari tumor yang terganggu pada saat respirasi. L, paru; T,
tumor; Pv, pleura visceralis; Pp, pleura parietalis.

3. Abses Paru dan Pneumonia

Konsolidasi pada pneumonia dapat dideteksi dengan hampir semua alat USG.
Pada proses awal konsolidasi maka akan terlihat gambaran echogenic yang difus
seperti gambaran USG pada hati. Air bronchogram akan terlihat sebagai gambaran
echogenic berupa garis yang bercabang-cabang. Abses paru yang meluas ke pleura
yang pada USG dapat terlihat sebagai lesi hypoechoic dengan batas yang tegas

27
maupun yang iregular. Di daerah sentral dari abses akan tampak gambaran yang
anechoic, namun juga dapat terlihat adanya septa-septa. Abses dengan air fluid level
yang terlihat pada rontgen toraks, dapat terlihat gambaran sebagai curtain sign pada
USG (Winaya dan Koesoemoprodjo, 2015).

Gambar 2.8 Foto Gambaran pada Penderita Pnemonia dan Abses Paru (Winaya dan
Koesoemoprodjo, 2015)
Ket: Gambar USG berupa konsolidasi paru pada penderita dengan pneumonia bakterial.
Tanda panah putih menunjukkan air bronchogram dan Abses paru perifer. Hypoechoic di
sentral dan dinding yang ireguler. A; Abses

2.4.2 Foto Toraks


Foto polos radiograpi sangat penting untuk mengevaluasi penyakit paru.
Pemotretan toraks dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu posteroanterior (PA),
anteroposterior (AP) dan dari samping (lateral). Pengambilan foto PA sering
dilakukan, sinar x berasal dari belakang pasien menuju ke film, dimana sedang
dipegang oleh pasien di depannya. Skapula dapat terputar keluar, dan akurasi dari
ukuran jantung memungkinkan.

Foto PA dilakukan pada posisi berdiri karena: (Soeroso, 2017)

- Udara mengalir keatas, mempermudah dalam mendeteksi adanya pneumotoraks


- Cairan mengalir kebawah, mempermudah untuk menegakan diagnosa efusi pleura
- Pembuluh darah di mediastinum dan paru terpapar jelas

28
Kelainan Radiografi Penyakit Paru
1. Tuberkulosis
Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberikan gambaran bermacam-
macam bentuk (multiform). Gambaran radiologis yang dicurigai sebagai lesi TB
aktif: adanya bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah: kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi
oleh bayangan opak berawan atau nodular; bayangan bercak milier; efusi pleura
unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang). Gambaran radiologis yang dicurigai lesi
TB inaktif berupa: fibrosis, kalsifikasi, schwarte atau penebalan pleura (Sinaga,
2017).

Gambar 2.9
Foto toraks tuberkulosis (Crit dan Emerg, 2016)
Kiri: foto polos dada posteroanterior pada pasien usia muda yang menunjukkan konsolidasi
lobus atas kanan dan lobus bawah kanan dan efusi pleura kecil di sisi kanan. Kanan: pria
paruh baya menunjukkan batuk dan demam yang berlangsung selama beberapa minggu. Foto
polos dada posteroanterior menunjukkan area paratrakeal yang jelas di kanan, limfadenopati,
opasitas kavitas di lobus atas kanan, dan konsolidasi fokal di zona paru tengah di bagian
kanan. Pasien tersebut akhirnya didiagnosis mengidap tuberkulosis primer progresif (Crit dan
Emerg, 2016).

29
2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Umumnya gambaran sebagai berikut; Volume paru hiperlusen berukuran besar,
hemidiafragma mendatar, pelebaran sudut kostrofrenikus, iga horizontal, mediastium
sempit, corakan vaskuler perifer lebih suram (Crit dan Emerg, 2016).

Gambar
2.10 Foto toraks PPOK (Crit dan Emerg, 2016)
Kiri: foto polos dada dari pasien emfisema menunjukkan paru hiperinflasi dengan penurunan
gambaran corakan vaskuler. Hilus paru terlihat jelas yang menandakan adanya hipertensi
pulmonal dalam derajat tertentu. Kanan: A) foto polos lateral dada menunjukkan vaskulatur
paru normal, rongga retrosternal dalam batas-batas normal (<2.5 cm). dan sudut yang normal
antara diafragma dan dinding toraks posterior; B) tampilan lateral dada menunjukkan
peningkatan transaparansi paru, pembesaran rongga retrosternal (>2.5 cm), dan sudut antara
dinding toraks dengan diafragma >900. Mendatarnya diafragma ini dapat menjadi lebih jelas
dengan proyeksi ini dibandingkan proyeksi lainnya

3. Pneumonia
Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan air
bronchogram, penyebaran bronkogenik dan interstisial serta gambaran kavitas. Foto
toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya

30
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia
lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa
sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia, sedangkan
Klebsiella pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas
kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus (Amir, 2017).

Gambar 2. 11 Foto toraks Pneumonia


(Crit dan Emerg, 2016)
Ket: Foto polos dada menunjukkan opasitas lobus bawah kiri dengan efusi
pleura

4. Nodul Soliter Paru


Merupakan opasitas tunggal dan diskret pada paru yang dikelilingi oleh jaringan
paru normal dan tidak dihubungkan dengan atelektasis.

31
Gambar 2. 12 Foto toraks Tumor Mediastinum (Crit dan Emerg, 2016)
Kiri: Foto polos dada posteroanterior menunjukkan lesi massa yang muncul dari
mediastinum atas di kiri. Fitur-fitur yang tercatat menandakan bahwa lesi ini berada di
mediastinum dibandingkan parenkim (batas yang tumpul, dan berlanjutnya opasitas). Kanan:
Tampilan jarak dekat memperjelas fitur yang menandakan bahwa ini adalah
tumormediastinum.

Massa pada medistinum anterior Karakteristik dari tumor mediastinum adalah


(Soeroso, 2017):
- Struktur dari hilus masih terlihat
- Tumor bergabung dengan batas jantung
- Tumor melewati leher dan tidak terlihat diatas klavikula
- Tumor yang kecil sangat sulit dilihat dengan foto torak PA.

Massa Tengah Mediastinal

- Tumor bergabung dengan batas hilus dan jantung.


- Kebanyakan diakibatkan oleh pembesaran kelenjar limpa

Massa Posterior Mediastinal Pada tumor mediastinal posterior, batas jantung dan
hilus terlihat tapi aorta tidak jelas. Gambaran vetebral mungkin dapat berubah.

Tabel 2.8 Massa Pada Mediastinal

32
2.5 Pemeriksaan Invasif
2.5.1 Bronkoskopi
Bronkoskopi merupakan pemeriksaan untuk memvisualisasi trakea dan bronkus
besar dan juga dapat digunakan untuk mengambil sampel jaringan melalui brushings,
lavage ataupun biopsi. Dua jenis bronkoskopi antara lain:
- Flexible fibreoptic bronchoscope.
- Rigid bronchoscope (di bawah anestesi general).
Dalam praktek sehari-hari flexible bronchoscope paling umum dilakukan. Pasien
biasanya diberi sedasi untuk menurunkan kegelisahan dan menekan mekanisme
batuk. Lidocaine topikal biasa digunakan sebagai anestesi faring dan pita suara.
Indikasi utama dilakukan bronkoskopi: Diagnosis kanker paru (pada foto toraks
abnormal atau batuk darah), Staging kanker paru, Diagnosis penyakit paru yang difus,
Diagnosis infeksi (terutama pada host yang immunokompromais) (Soeroso, 2017).

Indikasi
A. Diagnostik : Penyakit/keadaan paru yang belum jelas penyebab/situasi/lokasinya,
Penilaian pohon percabangan bronkus (tracheobronchial tree), Bronkografi selektif,
Pengambilan bahan/spesimen di bronkus, Pemeriksaan kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolarlavage/BAL)
B. Terapi : Pengeluaran benda asing, Evakuasi bekuan darah pada hemoptisis massif,
Evakuasi akumulasi sekret bronkus (mucous plug), Pemasangan pipa endotrakea,
Terapi kanker dengan laser (Nd–YAG, KTP), Pemasangan trakeobronkial stent.

Kontra Indikasi:
A. Relatif
1. Gangguan fungsi paru/jantung berat
2. Keadaan umum yang menurun baik karena demam atau penyebab lain
3. Hipoksemia berat

33
4. Pasien tidak kooperatif
B. Mutlak - Tidak ada, sangat tergantung ketrampilan operator dan teknik yang
digunakan

2.5.2 Bronchoalveolar Lavage (BAL)


Bronchoalveolar lavage adalah tindakan melalui bronkoskop menguras
permukaan mukosa jalan napas kecil dan ronnga alveoli sehingga cairannya dapat
menggambarkan keadaan daerah tertentu.
Larutan saline yang steril dimasukkan melalui flexible bronchoscope kemudian
diaspirasi. Teknik ini dilakukan untuk mdlihat adanya tanda-tanda bukti neoplasma
ataupun infeksi oportunistik pada pasien imunokompromais (Soeroso, 2017).

Indikasi
A. Diagnosis: Penyakit immunocompromised (AIDS), Penyakit paru obstruktif
(asma), Penyakit keganasan paru (bronkoalveolar karsinoma), Penyakit interstisial
paru (asbestosis, sarkoidosis, silikosis, histiosistosis, pneumonitis hipersensitiviti,
fibrosis paru idiopatik)
B. Terapi: Pengeluaran materi yang ada di alveoli, Silikosis akut, Inhalasi partial
radioaktif, Mikrolitiasis alveoli.

2.5.3 Biopsi Transbronkial

Biopsi transbronkial mengambil sampel dari luar saluran nafas seperti jaringan
alveoli. Tekniknya dengan menggunakan biopsy forsep yang dilekatkan pada flexible
bronchoscope (Soeroso, 2017).

2.5.4 Percutaneous Fine Needle Aspiration

Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) atau biopsi aspirasi jarum halus
merupakan sebuah prosedur diagnostik yang digunakan pada pasien dengan massa,

34
seperti pada nodul tiroid dan massa payudara. Prosedur ini mengambil sampel
jaringan tubuh menggunakan jarum halus berukuran 22-27 G, yang digunakan untuk
mengaspirasi jaringan atau cairan tubuh. Kemudian, sampel yang diambil akan
dikirim ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan sitologi. Prosedur ini banyak
digunakan karena aman, cepat, memiliki tingkat akurasi yang tinggi, dan komplikasi
yang minimal. FNAB dapat membedakan lesi kistik dan inflamatorik dari sebuah
neoplasma. FNAB juga dapat menilai apakah sebuah neoplasma tergolong jinak atau
maligna (Soeroso, 2017).

35
BAB III

KESIMPULAN

Secara umum penyakit paru memerlukan tindakan diagnostik yang berbeda beda,
sesuai dengan klinis pasien dan kebutuhan diagnostik. Tindakan diagnostik
merupakan pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk memperkuat hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik dalam menegakkan diagnosis penyakit serta tingkat
keparahannya.

Terdapat banyak pemeriksaan dalam bidang kedokteran respirasi, antara lain,


analisa gas darah arteri, pemeriksaan sputum, pemeriksaan fungsi paru, foto thoraks,
dan bronkoskopi. Setiap pemeriksaan dilakukan sesuai dengan indikasi penyakit
pasien.

36
DAFTAR PUSTAKA

Asryadin, Shoalihat, F., dan Irfan, M., 2020. “Polymerase Chain Reaction (PCR),
Immunoassay dan Respon Imunitas Penderita SARS nCoV-2, (studi
literatur)”. BioEksakta: Jurnal Ilmiah Biologi Unsoe. Volume 2 (4): 523-530

Amir, Z., 2017. Buku Ajar Respirasi “Pneumonia”. Departemen Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Medan

Bakhtiar, A., dan Tantri, R. I. E., 2017. “Faal Paru Dinamis”. Jurnal Respirasi (JR).
Volume 3 (3): 57-64

Crit dan Emerg, 2016. “Aplikasi Radiografi dalam Bidang Respirologi”.


IndonesiaJournalChest. Volume 4 (1)

GOLD. 2020. Global Srategy for the diagnosis, management and prevention of
chronic obstructive pulmonary disease. Barcelona: Universitate de Barcelona.

Manokharan, P., 2017. “Analisis Gas Darah dan Aplikasinya di Klinik”. Skripsi.
Universitas Udayana/ RSUP Sanglah. Bali

Putra, A. C., 2018. “Penyakit Paru Penyebab Kematian Terbanyak” Perhimpunan


Dokter Paru Indonesia (PDPI). Sumatera Utara

Rahman, F. A., Wisudarti, C. F. R., dan Pratomo, B. Y., 2015. “Aplikasi Klinis
Analisis Gas Darah Pendekatan Stewart pada Periode Perioperatif”. Jurnal
Komplikasi Anestesi. Volume 3 (1)

Ramadhaniah, F., dan Syarif, S., 2020. “Studi Tinjauan Pustaka: Risiko Kejadian
Kanker Paru pada Penderita Tuberkulosis Paru”. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Indonesia. Volume 4 (1): 29-36

Ramadhan, R., Fitria, E., dan Rosdiana. 2017. “Detection of Mycobacterium


Tuberculosis With Microscopic and PCR Techniques on Tuberculosis Patients

37
in Puskesmas Darul Imarah”. SEL jurnal Penelitian Kesehatan. Volume 4 (2):
73-80

Ranu H., Wilde M., dan Madden B. 2011. “Pulmonary Function Tests”. The Ulster
Medical Journal. volume 80(2)

Ria, D. O., dan Suradi, 2016. “Uji Kapasitas Difusi Karbon Monoksida (DLCO)
pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik”. SMF Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta/
RSUD dr. Moewardi Surakarta

Rosyid, A. N., dan Marhana, I. A., 2018. “Faal Paru Difusi”. Jurnal Respirasi.
Volume 4 (2): 61-70

Sukamto, 2004. “Pemeriksaan Jamur Bilasan Bronkus pada Penderita Bekas


Tuberkulosis Paru”. USU Digital Library. Medan

Sinaga, B. Y. M., 2017. Buku Ajar Respirasi “Tuberkulosis Paru”. Departemen


Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. Medan

Soeroso, N. N., 2017. Buku Ajar Respirasi “Tindakan Diagnostik Kelainan Paru”.
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Medan

Syarani, F., 2017. Buku Ajar Respirasi “Analisis Gas Darah dan Implementasi
Klinis”. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan

Tarigan, A. P., 2018. Buku Ajar Faal Paru “Uji Faal Paru Untuk Difusi (DLCO)”.
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Medan

38
Uyainah A. ZN., Amin Z., dan Thufeilsyah F. 2014. Spirometri. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI/RSCM.

Wahdaniah, dan Tumpuk, S., 2018. “Perbedaan Penggunaan Antikoagulan K2EDTA


dan K3EDTA Terhadap Hasil Indeks Pemeriksaan Eritrosit”. Jurnal
Laboratorium Khatulistiwa. Volume 2 (2): 114-118

Winaya, E., dan Koesoemoprodjo, W. 2015. “Peranan Ultrasonografi Toraks dalam


Menegakkan Diagnosis Beberapa Kelainan pada Paru”. Jurnal Respirasi.
Volume 1 (1): 29-39

39

Anda mungkin juga menyukai