Anda di halaman 1dari 4

Analisa Gas Darah dan Terapi Oksigen

Fifi Firdiana, 2006598036, PKMB D

Pemeriksaan analisa gas darah atau (Blood Gas Analysis/ BGA) merupakan
suatu pemeriksaan untuk mengetahui tekanan gas karbon dioksida (PaCO2),
oksigenasi, kadar bikarbonat, saturasi oksigen, dan kelebihan atau kekurangan basa
(Severinghaus John, 2010). Analisis gas darah memungkinkan penyedia layanan
untuk menginterpretasikan gangguan pernapasan, peredaran darah, dan
metabolisme. PaO2 memberikan informasi tentang status oksigenasi, dan PaCO2
memberikan informasi tentang status ventilasi (gagal pernapasan kronis atau
akut). PaCO2 dipengaruhi oleh hiperventilasi (pernapasan cepat atau dalam),
hipoventilasi (pernapasan lambat atau dangkal), dan status asam basa. Meskipun
oksigenasi dan ventilasi dapat dinilai secara non-invasif melalui oksimetri nadi dan
pemantauan karbon dioksida end-tidal,

Analisis gas darah dapat dilakukan pada darah yang diperoleh dari pembuluh
darah mana saja (arteri, vena, atau kapiler). Namun, untuk pemeriksaan gas darah
lebih sering digunakan sampel arteri lebih banyak diterima dan digunakan dalam
dunia medis, sebab berhubungan langsung dengan kondisi pasien dan juga darah
arteri memberikan refleksi pertukaran gas yang lebih akurat dalam sistem paru
daripada darah vena.

Pemeriksaan analisa gas darah tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis


suatu penyakit, harus disertai dengan pemeriksaan klinis dan penunjang lainnya
(Severinghaus John, 2010). Analisa gas darah dapat digunakan untuk mengevaluasi
keadaan klinis pasien dan kemajuan terapi. Banyak penyakit dievaluasi
menggunakan gas darah arteri, termasuk sindrom gangguan pernapasan akut
(ARDS), sepsis berat, syok septik, syok hipovolemik, ketoasidosis diabetikum,
asidosis tubulus ginjal, gagal pernapasan akut, gagal jantung, henti jantung, asma,
dan kesalahan metabolisme bawaan.

Pada keadaan normal hasil yang didapat dari analisa gas darah sebagai berikut
1) pH (7,35-7,45); 2) PaO2 (75-100 mmHg); 3) PaCO2 (35-45 mmHg) 4) HCO3
(22-26 meq/L); 5) Basis kelebihan/defisit (-4 sampai +2); 6) SaO2 (95-100%).
Namun, kisaran nilai normal dapat bervariasi di antara laboratorium dan pada
kelompok usia yang berbeda dari neonatus hingga geriatri.

Terapi oksigen (O2) adalah suatu intervensi medis berupa upaya pengobatan
dengan pemberian oksigen untuk mencegah atau memperbaiki hipoksia jaringan
dan mempertahankan oksigenasi jaringan agar tetap adekuat dengan cara
meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan daya
angkut oksigen (O2) ke dalam sirkulasi dan meningkatkan pelepasan atau ekstraksi
oksigen ke jaringan. Terapi oksigen diberikan pada pasien dewasa jika nilai
tekanan parsial oksigen (O2) kurang dari 60 mmHg atau nilai saturasi oksigen
kurang dari 90% saat pasien beristirahat dan bernapas dengan udara ruangan.
Terapi oksigen diberikan pada pasien neonatus jika nilai tekanan parsial oksigen
kurang dari 50 mmHg atau nilai saturasi oksigen kurang dari 88%.

Terapi oksigen diindikasikan untuk pasien yang mengalami hipoksemia


karena penurunan kemampuan difusi oksigen melalui membran pernapasan,
hiperventilasi, atau kehilangan jaringan paru yang substansial karena tumor atau
pembedahan, infark miokard, edema paru, cidera paru akut, sindrom gangguan
pernapasan akut, fibrosis paru, keracunan sianida atau inhalasi gas karbon
monoksida. Selain itu, terapi oksigen juga diberikan pada pasien dengan kondisi
yang menyebabkan peningkatan kebutuhan jaringan terhadap oksigen, seperti pada
trauma, luka bakar, infeksi berat, penyakit keganasan, kejang demam dan lainnya.

Terapi oksigen tidak boleh diberikan atau tidak direkomendasikan kepada


pasien dengan keterbatasan jalan napas yang berat dengan keluhan utama dispenea
tetapi dengan tekanan oksigen lebih atau sama dengan 60 mmHg dan tidak
mempunyai hipoksia kronis, dan pasien yang tetap merokok karena kemungkinan
prognosis yang buruk dan dapat meningkatkan risiko kebakaran.

Ketika akan memberikan terapi oksigen, kondisi pasien harus dikaji terlebih
dahulu untuk mengetahui kebutuhan pasien terhadap terapi oksigen. Apakah pasien
butuh terapi oksigen jangka panjang atau terapi oksigen jangka pendek. Oksigen
yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat dan harus dievaluasi agar
mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas. Terapi oksigen jangka pendek
diberikan pada pesien dengan keadaan hipoksemia akut, di antaranya pneumonia,
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dengan eksaserbasi akut, asma bronkial,
gangguan kardiovaskuler dan emboli paru. Ketika pasien datang dengan keadaan
tersebut, pasien harus segera diberikan oksigen untuk mencegah terjadinya
kecacatan tetap ataupun kematian. Oksigen diberikan dengan fraksi oksigen (FiO2)
berkisar antara 60-100% dalam jangka waktu yang pendek sampai kondisi klinik
pasien membaik dan terapi yang spesifik diberikan.

Sedangkan, terapi oksigen jangka panjang diberikan pada pasien dengan


penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan cor pulmonal untuk meningkatkan
angka harapan hidup sekitar enam sampai dengan tujuh tahun. Terapi oksigen
jangka panjang diberikan setiap hari selama 24 jam. Pada awal pemberian terapi
oksigen jangan panjang harus dengan konsentrasi rendah (FiO2 24-28%) dan dapat
ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil pemeriksaan analisa gas darah dengan
tujuan mengoreksi hipoksemia dan menghindari penurunan pH di bawah 7,26.
Pasien yang menerima terapi oksigen jangka panjang harus dievaluasi ulang dalam
dua bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan dan
apakah masih dibutuhkan terapi oksigen.

Selain memiliki manfaat, terapi oksigen juga dapat menimbulkan efek


samping. Efek samping terapi oksigen dapat mempengaruhi sistem pernapasan,
susunan saraf pusat dan mata, terutama bayi prematur. Pada sistem pernapasan, efek
samping pemberian terapi oksigen di antaranya dapat menyebabkan terjadinya
depresi napas, keracunan oksigen (O2) dan nyeri substernal. Pada pemberian terapi
oksigen dengan konsentrasi yang tinggi mempengaruhi sistem saraf pusat dengan
menimbulkan keluhan parestesia dan nyeri pada sendi. Efek samping pemberian
terapi oksigen terhadap mata, terutama pada bayi baru prematur, dapat
menimbulkan keadaan hiperoksia yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
pada retina akibat proliferasi pembuluh darah yang disertai dengan perdarahan dan
fibrosis atau sering kali disebut sebagai retrolental fibroplasia.
Referensi

Frandsen, A., & Berman, A. (2021). Kozier & Erb’s Fundamentals Of


Nursing, Global Edition. St. Louis: Pearson Education.

Gattinoni, L., Pesenti, A., & Matthay, M. (2017). Understanding blood gas
analysis. Intensive Care Medicine, 44(1), 91–93. https://doi.org/10.1007/s00134-
017-4824-y

Lynn, P. B. (2011). Taylor’s Clinical Nursing Skills. A Nursing Process


Approach. Philadelphia Lippincott Williams & Wilkins.

Severinghaus, John W., Astrup, P., & Murray, John F. (2010). Blood Gas
Analysis and Critical Care Medicine. American Journal of Respiratory and Critical
Care Medicine, 157(4), S114–S122. https://doi.org/10.1164/ajrccm.157.4.nhlb1-9

Castro, D., & Keenaghan, M. (2019, February). Arterial Blood Gas. Retrieved
from Nih.gov website: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536919/

Anda mungkin juga menyukai