Anda di halaman 1dari 22

TINJAUAN PUSTAKA

TERAPI OKSIGEN DAN PENATALAKSANAAN GAGAL NAPAS

Disusun Oleh:
Nabila Nurmalina
202220401011122
Kelompok E39

Pembimbing:
dr. Eka Gita Wahyudi, Sp.An

SMF ANESTESI
RSUD JOMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses metabolisme pada manusia sebagian besar melibatkan gas oksigen untuk
dapat menghasilkan energi yang akan digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari
melalui berbagai proses reaksi kimia. Dari berbagai proses reaksi kimia tersebut nantinya
akan dihasilkan pula gas karbon dioksida (CO2) sebagai produk sisa yang perlu
dikeluarkan oleh sel. Respirasi atau pernapasan dapat didefinisikan sebagai proses
pertukaran gas-gas (memeroleh oksigen atau O2 untuk digunakan oleh sel-sel tubuh dan
mengeluarkan karbon dioksida atau CO2 yang dihasilkan oleh sel-sel tubuh) antara
organisme hidup dan lingkungan sekitarnya.
Terdapat dua macam respirasi pada manusia yaitu pertama, respirasi internal dan
kedua, respirasi eksternal. Respirasi internal adalah pertukaran gas-gas (oksigen atau O2
dan karbon dioksida atau CO2) antara darah dan jaringan. Pertukaran ini meliputi
beberapa proses yaitu efisiensi kardio-sirkulasi dalam menjalankan darah kaya oksigen
(O2), distribusi kapiler, difusi (perjalanan gas ke ruang interstisial dan menembus dinding
sel) dan metabolisme sel yang melibatkan enzim. Respirasi eksternal adalah pertukaran
gas-gas (oksigen atau O2 dan karbon dioksida atau CO2) antara darah dan udara sekitar.
Pertukaran ini meliputi beberapa proses yaitu ventilasi (proses masuknya udara sekitar
dan pembagian udara tersebut ke alveoli), distribusi (distribusi dan pencampuran
molekul-molekul gas intrapulmoner), difusi (proses masuknya gas-gas menem-bus
selaput alveolo-kapiler) dan perfusi (pengambilan gas-gas oleh aliran darah kapiler paru
yang adekuat).
Pada kondisi normal, manusia mampu menghirup udara atmosfir yang me-
ngandung sebanyak 21% oksigen (O2) dengan tekanan parsial sebesar 150 mmHg
melalui sistem respirasi yang selanjutnya ketika sampai di alveoli tekanan parsial-nya
akan turun menjadi 103 mmHg akibat pengaruh tekanan uap air yang terjadi pada jalan
napas. Pada alveoli, oksigen (O2) akan segera berdifusi ke dalam aliran paru melalui
proses aktif akibat perbedaan tekanan. Di dalam darah, sebagian be-sar (97%) oksigen
(O2) akan terikat dengan hemoglobin (Hb) dan sebagian kecil (3%) akan larut dalam
plasma yang selanjutnya akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh untuk keperluan
metabolisme.
Ada beberapa keuntungan dari terapi oksigen (O2), di antaranya pada pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dengan pemberian konsentrasi oksigen
(O2) yang tepat dapat mengurangi sesak napas saat aktivitas, dapat meningkatkan
kemampuan beraktivitas dan dapat memerbaiki kualitas hidup. Keuntungan lainnya dari
pemberian oksigen (O2) di antaranya dapat memperbaiki kor pulmonal, meningkatkan
fungsi jantung, memerbaiki fungsi neuropsikiatrik dan pencapaian latihan, mengurangi
hipertensi pulmonal dan memerbaiki metabolisme otot.4 Tujuan dari pembuatan tinjauan
pustaka ini adalah memberikan pemahaman terkait pengantaran oksigen (O2), hipoksia,
indikasi, jenis pemberian dan efek terapi oksigen (O2) serta perhatian dalam pemberian
terapi oksigen (O2) sehingga terapi oksigen (O2) tetap berada dalam batas aman dan
efektif.

B. Tujuan
Tujuan pembuatan tinjauan pustaka ini adalah untuk meninjau teori terkait terapi
oksigen dan tatalaksana gagal napas.

C. Manfaat
1. Sebagai tambahan referensi tentang terapi oksigen dan tatalaksana gagal napas.
2. Sebagai bahan pembelajaran untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik pada
SMF Anestesi RSUD Jombang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. HIPOKSEMIA
Oksigen merupakan elemen penting bagi kehidupan dan tanpa oksigen manusia
hanya dapat bertahan hidup selama beberapa menit saja. Harus ada keseimbangan antara
kebutuhan oksigen dan pengiriman untuk mempertahankan homeostasis dalam tubuh.
Dua sistem organ utama yang bertanggung jawab untuk pengiriman oksigen dalam tubuh
dan mempertahankan homeostasis adalah sistem pernapasan dan kardiovaskular. Fungsi
abnormal dari salah satu dari keduanya akan mengarah pada perkembangan hipoksemia
dan konsekuensi yang merugikan. Ada berbagai mekanisme hipoksemia tetapi
ketidakcocokan ventilasi/perfusi adalah mekanisme dasar hipoksemia yang paling umum.
Oksigen harus dapat masuk ke jaringan, ketika dikonsumsi selama metabolisme
aerobik. Hipoksemia arteri seringkali didefinisikan sebagai PaO2 rendah (tekanan parsial
oksigen pada darah arteri). Definisi untuk hipoksemia arteri (PaO2 < 60 mm Hg) umum
digunakan, namun demikian, hal ini sepertinya tidak diperlukan. Terkadang, hipoksemia
arteri digunakan untuk menggambarkan PaO2 yang rendah dibandingkan dengan yang
diperkirakan berdasarkan pada konsentrasi oksigen yang terinspirasi (FiO2). Hipoksemia
arteri (yang mencerminkan pertukaran gas paru) dapatlah dibedakan dari kondisi
hipoksia.
Hipoksemia arteri dengan tingkat keparahan ringan dan sedang (contohnya ketika
individu berada di elevasi yang tinggi) dapatlah ditoleransi, dan hal ini tidaklah dapat
dianggap sebagai kondisi cedera substansial atau kondisi yang dapat memunculkan
outcome yang buruk. Anoksia, yaitu kekurangan oksigen total, biasanya dapat berpotensi
fatal, dan seringkali menyebabkan kondisi cedera neurologis permanen, tergantung pada
durasinya. Hipoksemia arteri menjadi paling signifikan ketika anoksia terancam, dan
perbedaan antara keduanya mungkin hanya kurang dari 1 menit.
B. TERAPI OKSIGEN
Definisi
Pemberian terapi oksigen merupakan upaya untuk meningkatkan kadar oksigen ke
dalam sistem pernapasan, meningkatkan kinerja transportasi sistem hemodinamik dan
meningkatkan daya ekstraksi oksigen pada jaringan. Pemberian oksigen ini bermanfaat
untuk memperbaiki fungsi jantung dan paru, meningkatkan fungsi neuropsikiatrik,
mengurangi hipertensi pulmonal, dan meningkatkan metabolisme otot. Terapi oksigen
juga diberikan untuk mencegah hipoksia seluler, yang disebabkan oleh hipoksemia (PaO2
rendah) yang dapat menyebabkan kerusakan permanen pada organ vital.
Dalam pemberian oksigen, oksigen tersimpan dalam tabung dengan tekanan yang
tinggi dalam bentuk gas yang tidak berwarna dan tidak berbau. Selain tabung, perlu juga
disiapkan alat lain yang digunakan untuk mengadministrasikan oksigen, antara lain
regulator, sistem pipa pada oksigen sentral, meter aliran, alat humidifikasi, alat terapi
aerosol, dan pipa/kanul/kateter.

Indikasi
Terdapat 3 indikasi utama dalam pemberian oksigen. Pertama, oksigen diberikan
untuk mengoreksi hipoksemia karena hipoksemia berat sangat berbahaya bagi tubuh.
Kedua, oksigen diberikan kepada pasien yang dalam kasus mereka mungkin dapat terjadi
hipoksemia. Penelitian menunjukkan bahwa, jika terjadi gangguan pertukaran gas yang
berlangsung lama, maka hal itu dapat menempatkan pasien pada peningkatan risiko
hipoksemia. Ketiga, pemberian oksigen dapat meringankan sesak napas.
Terapi oksigen diberikan ketika nilai tekanan parsial oksigen <60 mmHg atau
saturasi oksigen (SpO2) <90% ketika pasien dalam keadaan istirahat. Terapi oksigen
diberikan kepada pasien dengan tanda-tanda klinis hipoksia berdasarkan pada riwayat
medis dan pemeriksaan fisik. Pasien-pasien tersebut antara lain pasien dengan infark
miokard, edem paru, cedera paru akut, sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS),
fibrosis paru, keracunan sianida atau inhalasi gas karbon monoksida (CO).
Terapi oksigen juga diberikan saat perioperatif karena anestesi umum seringkali
menyebabkan terjadinya penurunan tekanan parsial oksigen sekunder akibat peningkatan
ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi paru serta penurunan kapasitas residu fungsional
(functional residual capacity/ FRC). Selain itu, terapi oksigen juga diberikan sebagai
awal dari beberapa prosedur, seperti suction trakea atau bronkoskopi, karena prosedur
tersebut sering menyebabkan desaturasi arteri. Terapi oksigen juga diberikan pada
kondisi-kondisi yang menyebabkan peningkatan kebutuhan jaringan terhadap oksigen,
seperti pada luka bakar, trauma, infeksi berat, penyakit keganasan, kejang demam dan
lainnya. Dalam pemberian terapi oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-
benar membutuhkan oksigen, apakah dibutuhkan terapi oksigen jangka pendek (short-
term oxygen therapy) atau panjang (long-term oxygen therapy). Oksigen yang diberikan
harus diatur dalam jumlah yang tepat dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi
dan menghindari toksisitas.

Terapi Oksigen Jangka Pendek


Terapi oksigen jangka pendek (Short Term Oxygen Theraphy/ STOT) sering
diresepkan untuk memungkinkan pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
dipulangkan dengan aman dari rumah sakit setelah penyakit akut.
Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dapat menjadi hipoksemia
berat selama eksaserbasi akut penyakit yang membutuhkan rawat inap. Dalam keadaan
seperti itu, terapi oksigen selama minimal 15 sampai 18 jam per hari sampai
meningkatkan saturasi oksigen hingga setidaknya 90% dapat diresepkan untuk jangka
waktu singkat (biasanya sampai 3 bulan sebelum penilaian ulang) agar pasien dapat
dipulangkan dengan aman dari rumah sakit.

Terapi Oksigen Jangka Panjang


Pasien dengan hipoksemia, terutama pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK) merupakan kelompok yang paling banyak menggunakan terapi oksigen
jangka panjang. Terapi oksigen jangka panjang pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK) selama empat sampai delapan minggu bisa menurunkan
hematokrit, memerbaiki toleransi latihan dan menurunkan tekanan vaskuler pulmoner.
Pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan kor pulmonal, terapi
oksigen jangka panjang dapat meningkatkan angka harapan hidup sekitar enam sampai
dengan tujuh tahun. Selain itu, angka kematian bisa diturunkan dan dapat tercapai
manfaat survival yang lebih besar pada pasien dengan hipoksemia kronis apabila terapi
oksigen diberikan lebih dari dua belas jam dalam satu hari dan berkesinambungan.
Oleh karena terdapat perbaikan pada kondisi pasien dengan pemberian terapi
oksigen jangka panjang, maka saat ini direkomendasikan untuk pasien hipoksemia (PaO2
< 55 mmHg atau SaO2 < 88%), terapi oksigen diberikan secara terus menerus selama dua
puluh empat jam dalam satu hari. Pasien dengan PaO2 56 sampai dengan 59 mmHg atau
SaO2 89%, kor pulmonal dan polisitemia juga memerlukan terapi oksigen jangka
panjang. Pada keadaan ini, awal pemberian terapi oksigen harus dengan konsentrasi
rendah (FiO2 24-28%) dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil pemeriksaan
analisa gas darah dengan tujuan mengoreksi hipoksemia dan menghindari penurunan pH
di bawah 7,26. Terapi oksigen dosis tinggi yang diberikan kepada pasien dengan penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK) yang sudah mengalami gagal napas tipe II akan dapat
mengurangi efek hipoksik untuk pemicu gerakan bernapas dan meningkatkan
ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi. Hal ini akan menyebabkan retensi CO2 dan akan
menimbulkan asidosis respiratorik yang berakibat fatal.
Pasien yang menerima terapi oksigen jangka panjang harus dievaluasi ulang
dalam dua bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan dan
apakah masih dibutuhkan terapi oksigen. Sekitar 40% pasien yang mendapat terapi
oksigen akan mengalami perbaikan setelah satu bulan dan tidak perlu lagi meneruskan
terapi oksigen.

Kontraindikasi
Terapi oksigen dikontraindikasikan pada semua pasien dengan respon ventilasi
yang tidak baik terhadap perawatan oksigen. Dalam kasus perawatan O2 yang tidak
efektif (resp. respons ventilasi yang tidak menguntungkan), ventilasi mekanis harus
dialihkan serta dalam semua kasus dengan pasien koma pernapasan.
Teknik Pemberian
I. Sistem Aliran Rendah
a. Nasal kanul
Nasal kanul terdiri dari tube panjang yang dipasang melalui
lobang hidung pasien, lalu tube tersebut dihubungkan dengan oxygen flow
meter. Aliran pada nasul kanul antara 1 - 6 liter/ menit menghasilkan
oksigen dengan konsentrasi 24-44 % tergantung pola ventilasi pasien.
Bahaya dari nasal kanul antara lain, pengeringan mukosa hidung,
kemungkinan distensi lambung, serta epistaksis.

Gambar 1. Pemasangan nasal kanul


b. Nasal kateter
Nasal kateter mirip dengan nasal kanul karena sama-sama mudah
digunakan. Untuk pasien anak-anak digunakan kateter nomor 8-10 F,
untuk wanita digunakan kateter nomor 10-12 F dan untuk pria digunakan
kateter nomor 12-14 F. Aliran pada nasul kanul antara 1 - 6 liter/ menit
menghasilkan oksigen dengan konsentrasi 24-44 % tergantung pola
ventilasi pasien. Bahaya dari nasal kanul antara lain, pengeringan mukosa
hidung, kemungkinan distensi lambung, serta epistaksis.
Gambar 2. Nasal kateter

c. Sungkup muka sederhana


Sungkup muka sederhana terbuat dari plastik dan pemasangannya
dilakukan dengan mengikatkan tali elastis sungkup pada kepala dan wajah
pasien agar hidung dan mulut pasien tertutupi. Aliran yang diberikan
sekitar 5-8 liter/ menit menghasilkan 0 2 dengan konsentrasi 40 - 60 %.
Bahaya dari sungkup sederhana ini antara lain, aspirasi bila muntah,
penumpukan C02 pada aliran 02 rendah, Empisema subcutan kedalam
jaringan mata pada aliran 02 tinggi dan nekrose, apabila sungkup muka
dipasang terlalu ketat.

Gambar 3. Pemasangan sungkup muka sederhana


d. Rebreathing Mask
Rebreathing mask tidak memiliki katup satu arah di antara
sungkup dengan kantong penampung sehingga udara ekspirasi dapat
terhirup kembali saat fase inspirasi. Aliran yang diberikan antara 8-12
liter/menit menghasilkan oksigen dnegan konsentrasi 60 - 80%. Bahaya
yang dapat terjadi antara lain, aspirasi bila muntah, empisema subkutan
kedalam jaringan mata pada aliran oksigen tinggi dan nekrose, apabila
sungkup muka dipasang terlalu ketat.

Gambar 4. Rebreathing mask

e. Non Rebreathing Mask


Pada non rebreathing mask terdapat satu katup arah antara
sungkup dan kantong penampung sehingga pasien hanya dapat menghirup
udara yang terdapat pada kantong penam-pung dan menghembuskannya
melalui katup terpisah yang terletak pada sisi tubuh sungkup. Aliran yang
diberikan antara 8-12 l/menit menghasilkan konsentrasi 02 90 %. Bahaya
yang dapat terjadi sama dengan rebreathing mask.
Gambar 5. Non rebreathing mask

f. Oksigen transtrakeal
Pada penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dengan
pemberian oksigen tambahan, tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) terus
meningkat saat ujung kateter ditempatkan secara progresif lebih dekat ke
karina. Laju aliran transtrakeal oxygen (TTO) yang diberikan berkisar
antara 0,25 hingga 1,5 L/menit. Dibandingkan dengan kanula hidung,
terjadi penurunan kebutuhan aliran oksigen sebesar 57%.
Keuntungan dari pemberian oksigen transtrakeal yaitu tidak ada
iritasi muka ataupun hidung dengan rata-rata oksigen. yang dapat diterima
pasien mencapai 80-96%. Kerugian dari penggunaan alat ini yaitu
biayanya yang tergolong tinggi dan resiko terjadinya infeksi lokal.
Gambar 6. Pemasangan oksigen transtrakeal
II. Sistem Aliran Tinggi
a. Sungkup Venturi
Sungkup venturi merupakan alat terapi oksigen (O2) dengan
prinsip jet mixing yang dapat memberikan fraksi oksigen (O2) (FiO2)
sesuai dengan yang dikehendaki. Alat ini sangat bermanfaat untuk dapat
mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen (O2) rendah sekitar 24-
35% dengan arus tinggi, terutama pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK). Aliran oksigen yang dialirkan sekitar 4 -14
liter / menit menghasilkan konsentrasi 02 30 - 55 %. Bahaya yang dapat
terjadi seperti aspirasi bila muntah dan nekrosis karena pemasangan
sungkup yang terialu ketat.
Gambar 7. Venturi mask
b. Ambu bag
Bag Valve Mask (BVM) atau disebut juga sebagai ambu bag.
BVM dewasa dengan suplai oksigen minimal 15 liter per menit dan
reservoir penuh dapat menyediakan hingga 1,5 liter oksigen yang dialirkan
per napas. Ventilasi harus dilakukan dengan hati-hati dan hanya sampai
pengembangan dada dilakukan untuk mengurangi risiko insuflasi
lambung, yang mungkin menyebabkan muntah dan barotrauma akibat
distensi berlebihan. Peralatan yang dibutuhkan meliputi bag valve mask,
sumber oksigen, tabung oksigen, katup PEEP, dan tambahan saluran napas
sederhana seperti saluran napas orofaringeal dan saluran napas nasofaring.
Bahaya dari pemakaian ambubag adalah penumpukan air pada
aspirasi bila muntah serta nekrosis karena pemasangan sungkup muka
yang terialu ketat. Barotrauma juga dapat terjadi akibat terlalu banyak
inflasi paru-paru dan insuflasi lambung yang dapat menyebabkan muntah
dan aspirasi.
Gambar 8. BVM

C. GAGAL NAPAS
Pengertian
Sistem pernapasan memungkinkan pertukaran gas antara lingkungan dan tubuh,
memfasilitasi proses metabolisme aerobik. Secara khusus, sistem pernapasan
menyediakan oksigen dan menghilangkan karbon dioksida dari tubuh. Ketidakmampuan
sistem pernapasan untuk melakukan salah satu atau kedua tugas ini menyebabkan gagal
napas. Kegagalan pernapasan tipe 1 terjadi ketika sistem pernapasan tidak dapat
menyediakan oksigen secara memadai ke tubuh, yang menyebabkan hipoksemia. Gagal
napas tipe 2 terjadi ketika sistem pernapasan tidak cukup mengeluarkan karbon dioksida
dari tubuh, yang menyebabkan hiperkapnia. Kegagalan pernafasan dapat diklasifikasikan
berdasarkan kronisitas (yaitu, akut, kronis, dan akut pada kronis). Pemahaman
menyeluruh tentang kegagalan pernafasan sangat penting untuk mengelola gangguan ini.
Jika salah satu jenis gagal napas tidak diidentifikasi dan ditangani sejak dini, hal itu akan
mengancam jiwa dan menyebabkan henti napas, koma, dan kematian.

Etiologi
Kegagalan pernapasan dapat terjadi jika ada kelainan pada salah satu komponen
sistem pernapasan. Komponen sistem pernapasan meliputi saluran pernapasan atas dan
bawah, sistem saraf pusat dan perifer, selain dinding dada dan otot pernapasan.
Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda gagal napas mungkin ada di seluruh tubuh. Temuan pemeriksaan
fisik berdasarkan wilayah muncul di bawah ini:

● Inspeksi umum: penggunaan otot aksesori, perubahan status mental,dyspnea, diaforesis,


demam, gangguan pernapasan (yaitu, saat istirahat atau dengan tenaga), obesitas, dan
pernapasan purse pada bibir
● Kepala: tampak sianosis sentral, konjungtiva pucat
● Leher: Distensi vena jugularis
● Thorax: Ekspansi dada asimetris, bradipnea, suara napas bronkial, pernapasan Cheyne-
Stoke, ronki, penurunan suara napas, redup pada perkusi, hiperresonansi pada perkusi,
pernapasan Kussmaul, pectus carinatum, pectus excavatum, ekspansi dada berkurang,
ronki, stridor, takipnea, fremitus vokal taktil, mengi
● Ekstremitas atas: sianosis perifer, tremor
● Ekstremitas bawah: Edema, sianosis perifer, dan pembengkakan unilateral

Pemeriksaan Penunjang

a. Analisa Gas Darah/ Blood Gas Analysis (BGA)

BGA adalah gold standart untuk mendiagnosis gagal napas. Minimal,


informasi yang diperoleh dari ABG meliputi pH, tekanan parsial oksigen arteri
(PaO2), tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO2), dan serum bikarbonat
(HCO3). Perlu dicatat bahwa HCO3 yang diperoleh dari ABG adalah nilai yang
dihitung dan karenanya mungkin tidak akurat. Analisis ABG sebaiknya dilakukan
dengan menggunakan HCO3 terukur yang diperoleh dari panel metabolisme dasar

Oksigenasi dinilai melalui interpretasi PaO2. Hipoksemia didefinisikan


sebagai PaO2 kurang dari 60 mmHg. Ventilasi dinilai melalui interpretasi PaCO2.
Hiperkapnia didefinisikan sebagai PaCO2 lebih besar dari 45 mmHg. Informasi
dari ABG juga dapat digunakan untuk membedakan gagal napas akut dan kronis
dengan mengevaluasi respons ginjal terhadap PaCO2. Pada asidosis respiratorik,
ginjal merespons dengan meningkatkan penyerapan HCO3 di tuba proksimal
yang berbelit-belit. Karena ini merupakan proses yang lambat, besarnya
penyerapan HCO3 pada asidosis respiratorik akut lebih kecil daripada besarnya
penyerapan HCO3 pada asidosis respiratorik kronis. Perbedaan ini
memungkinkan perbedaan antara kronisitas pada gagal napas akut dan kronis.

b. Radiografi

Berbagai modalitas pencitraan tersedia untuk evaluasi kegagalan


pernafasan, misalnya foto polos thorax atau CT Scan.

c. Pulse Oxymetri

Oksimetri nadi bergantung pada spektrofotometri, proses mengidentifikasi


komposisi suatu zat melalui pengukuran penyerapan panjang gelombang tertentu
dari cahaya yang ditransmisikan melalui zat yang dimaksud. Komposisi dan
konfigurasi struktural hemoglobin tergantung pada molekul oksigen. Pengukuran
oksigenasi arteri dipastikan melalui analisis darah pulsatil. Proses ini
memungkinkan konversi penyerapan cahaya menjadi fraksi hemoglobin jenuh
dengan oksigen, yang dikenal sebagai saturasi oksigen (SpO2). Modalitas ini
sangat berguna dalam mendiagnosis dan mengelola gagal napas.

d. Pemeriksaan lain

Bronkoskopi, ekokardiografi, polisomnografi nokturnal, dan tes fungsi


paru juga dapat dimasukkan dalam evaluasi gagal napas. Konsultasi paru
diperlukan jika studi diagnostik tersebut diperlukan.
Tatalaksana

Pengobatan gagal napas harus diarahkan pada penyebab yang mendasari sambil
memberikan dukungan dengan oksigenasi dan ventilasi, jika perlu. Perawatan termasuk
tindakan suportif dan pengobatan penyebab yang mendasarinya. Namun, langkah awal
dalam mengelola pasien dengan gagal napas akut harus dimulai dengan menilai saluran
napas, pernapasan, dan sirkulasi (ABC). Tindakan suportif bergantung pada paten jalan
napas untuk mempertahankan oksigenasi, ventilasi, dan koreksi kelainan gas darah yang
memadai.

a. Koreksi Hipoksemia

Tujuannya adalah untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang


adekuat, umumnya dicapai dengan tekanan oksigen arteri (PaO2) sebesar 60 mm
Hg atau saturasi oksigen arteri (SaO2), sekitar 90%. Suplementasi oksigen yang
tidak terkontrol dapat menyebabkan keracunan oksigen dan narkosis CO2 (karbon
dioksida). Jadi konsentrasi oksigen inspirasi harus disesuaikan pada tingkat
terendah (90-94%), yang cukup untuk oksigenasi jaringan.

Oksigen dapat diberikan melalui beberapa rute tergantung pada situasi


klinis di mana kita dapat menggunakan kanula hidung, masker wajah sederhana,
masker nonrebreathing, atau kanula hidung aliran tinggi. Oksigenasi membran
ekstrakorporeal mungkin diperlukan dalam kasus refraktori.

b. Koreksi Hiperkapnia dan Asidosis Pernafasan

Ini dapat dicapai dengan mengobati penyebab yang mendasari atau


memberikan dukungan ventilasi.

c. Dukungan Ventilasi

Pasien dengan gagal napas akut berat biasanya diintubasi. Tujuan


dukungan ventilasi pada gagal napas adalah untuk menangani hipoksemia, koreksi
asidosis respiratorik akut, serta mengistirahatkan otot ventilasi. Berikut indikasi
umum untuk ventilasi mekanik:

● Apnea dengan henti napas


● Takipnea dengan laju pernapasan >30 napas per menit
● Tingkat kesadaran terganggu atau koma
● Kelelahan otot pernapasan
● Ketidakstabilan hemodinamik
● Kegagalan pemberian oksigen tambahan untuk meningkatkan PaO2
menjadi 55-60 mmHg
● Hiperkapnea dengan pH arteri kurang dari 7,25

Komplikasi

Kegagalan pernapasan dikaitkan dengan komplikasi paru dan ekstrapulmoner, terutama


pada keadaan akut. Komplikasi paru meliputi fistula bronkopleural, pneumonia nosokomial,
pneumotoraks, emboli paru, dan fibrosis paru, sedangkan komplikasi ekstrapulmoner meliputi
gangguan asam-basa, penurunan curah jantung, perdarahan gastrointestinal, gagal hati, ileus,
infeksi, peningkatan tekanan intrakranial, malnutrisi, pneumoperitoneum, ginjal kegagalan, dan
trombositopenia. Kondisi yang disebutkan sebelumnya harus segera diberikan tatalaksana dan
bersiap untuk pemberian terapi profilaksis atau pengobatan yang tepat untuk komplikasi tersebut.

Prognosis

Kegagalan pernafasan adalah sindrom yang disebabkan oleh banyak keadaan patologis,
oleh karena itu prognosis dari proses penyakit ini sulit dipastikan. Namun, pada tahun 2017 di
Amerika Serikat, angka kematian akibat kegagalan pernapasan di rumah sakit adalah 12%.
Definisi kasus yang digunakan dalam penelitian ini mencakup semua kode diagnosis, termasuk
gagal napas. Tingkat kematian di rumah sakit untuk pasien yang membutuhkan intubasi dengan
ventilasi mekanis untuk eksaserbasi asma, eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronik, dan
pneumonia masing-masing ditemukan 9,8%, 38,3%, dan 48,4%. Terakhir, angka kematian di
rumah sakit untuk sindrom gangguan pernapasan akut ditemukan sebesar 44,3%.
BAB III

PENUTUP

Oksigen merupakan elemen penting bagi kehidupan dan tanpa oksigen manusia hanya
dapat bertahan hidup selama beberapa menit saja. Harus ada keseimbangan antara kebutuhan
oksigen dan pengiriman untuk mempertahankan homeostasis dalam tubuh. Dua sistem organ
utama yang bertanggung jawab untuk pengiriman oksigen dalam tubuh dan mempertahankan
homeostasis adalah sistem pernapasan dan kardiovaskular. Fungsi abnormal dari salah satu dari
keduanya akan mengarah pada perkembangan hipoksemia.

Terapi oksigen merupakan suatu intervensi medis berupa upaya pengobatan dengan
pemberian oksigen untuk mencegah atau memerbaiki hipoksia jaringan dan mempertahankan
oksigenasi jaringan agar tetap adekuat dengan cara meningkatkan masukan oksigen ke dalam
sistem respirasi, meningkatkan daya angkut oksigen ke dalam sirkulasi dan meningkatkan
pelepasan atau ekstraksi oksigen ke jaringan.

Dalam pemberian terapi oksigen harus dipertimbangkan terapi oksigen mana yang
dibutuhkan pasien, terapi oksigen jangka pendek (short-term oxygen therapy) atau panjang
(long-term oxygen therapy). Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat dan
harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.

Cara pemberian terapi oksigen dibagi menjadi dua jenis, yaitu (1) sistem arus rendah dan
(2) sistem arus tinggi. Alat-alat yang umum digunakan dalam sistem arus rendah adalah: nasal
kanul, nasal kateter, sungkup muka tanpa atau dengan kantong penampung dan oksigen (O2)
transtrakeal sedangkan alat yang digunakan dalam sistem arus tinggi adalah sungkup venturi.
Terapi oksigen juga dapat menimbulkan efek samping, terutama terhadap sistem pernapasan, su-
sunan saraf pusat dan mata.
REFERENSI

Bucher JT, Vashisht R, Ladd M, et al. Bag Mask Ventilation. [Updated 2023 Jan
29]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441924/
Christopher KL. Transtracheal oxygen catheters. Clin Chest Med. 2003
Sep;24(3):489-510. doi: 10.1016/s0272-5231(03)00051-0. PMID: 14535222.
Dewi, Dewa Ayu Mas Shintya. 2017. “Diagnosis dan Penatalaksanaan Gagal
Napas Akut”. Denpasar: FK Universitas Udayana.
Maya, I Putu Gede Nova Indra. 2017. “Terapi Oksigen”. Denpasar: RSUP
Sanglah Denpasar.
O’Driscoll BR, Howard LS, Earis J, et al. British Thoracic Society Guideline for
oxygen use in adults in healthcare and emergency settings . BMJ Open Resp Res 2017;4:
e000170. doi:10.1136/ bmjresp-2016-000170
Patarinski D. Pokazaniia i protivopokazaniia za kislorodno lechenie na
dikhatelnata nedostatuchnost [Indications and contraindications for oxygen therapy of
respiratory insufficiency]. Vutr Boles. 1976;15(4):44-50. Bulgarian. PMID: 1007238.
Sarkar M, Niranjan N, Banyal PK. Mechanisms of hypoxemia. Lung India. 2017
Jan-Feb;34(1):47-60. doi: 10.4103/0970-2113.197116. Erratum in: Lung India. 2017
Mar-Apr;34(2):220. PMID: 28144061; PMCID: PMC5234199.
Shebl E, Mirabile VS, Sankari A, et al. Respiratory Failure. [Updated 2023 Feb
15]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526127/
Subagiartha, I Made. 2016. “Terapi Oksigen”. Denpasar: RSUP Sanglah
Denpasar.
Soumagne T, Maltais F, Corbeil F, et al. Short-Term Oxygen Therapy Outcomes
in COPD. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2022;17:1685-1693. Published 2022 Jul 28.
doi:10.2147/COPD.S366795
Weekley MS, Bland LE. Oxygen Administration. [Updated 2022 Apr 28]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551617/

Anda mungkin juga menyukai