Anda di halaman 1dari 41

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegawatdaruratan sistem pernapasan muncul ketika seseorang kesulitan
bernapas atau tidak bisa mengambil napas selanjutnya. Kondisi gawat darurat
ini dapat disebabkan oleh masalah kesehatan atau penyakit yang diperburuk
dengan stress fisiologis atau psikologis. Kegawatdaruratan pernapasan
disebabkan oleh obstruksi, infeksi, atau trauma pada sistem pernapasan.
Beberapa trauma yang menyebabkan kerusakan pada organ sistem pernapasan
yang dapat mengganggu pertukaran gas. Pasien kritis memiliki morbiditas dan
mortilitas yang tinggi (Gwinnutt, 2006). Mengenali ciri-ciri dengan cepat dan
penatalaksanaan dini yang sesuai pada pasien kritis dapat membantu mencegah
perburukan lebih lanjut dan memaksimalkan peluang untuk sembuh (Gwinnutt,
2006). Mengenali secara dini disfungsi pernapasan dan memberikan tindakan
yang tepat merupakan hal yang vital untuk mendukung pertukaran gas dan
mencegah kekurangan oksigen selular, metabolisme anaerob dan berbagai
derajat kerusakan jaringan dan organ (Smyth, 2005). Kegawatdaruratan sistem
pernapasan telah menduduki sebagai peringkat ketiga angka kematian sebagai
indikator keselamatan pasien (Welchallyn, 2014).
Pernapasan merupakan mencakup dua proses yakni pernapasan eksterna
yakni penyerapan oksigen dan pengeluaran karbondioksida dari tubuh secara
keseluruhan serta pernapasan interna yakni penggunaan oksigen dan
pembentukan karbondioksida oleh sel serta pertukaran gas. Oksigen berperan
penting dalam pemecahan nutrisi misalnya glukosa yang akan diedarkan ke
seluruh jaringan sel tubuh sebagai penyedia energi yang disebut dengan
respirasi sel. Selain akan menghasilkan ATP, respirasi sel akan menghasilkan
karbondioksida sebagai produk sisa metabolisme yang harus dikeluarkan dari
tubuh. Apabila karbondioksida banyak di dalam tubuh maka akan mengganggu
keseimbangan kimia tubuh dan merupakan racun untuk jantung (McDowell,
2010).
Ketidakseimbangan kadar O2 dan CO2 di dalam tubuh akan mengganggu
sistem organ tubuh fungsional. Ketika terjadi masalah ketidakedekuatan dengan
peredaran oksigen,maka akan lebih mudah dikenali misalnya bernapas pendek.
Sehingga untuk memudahkan diagnosis, diharuskan memeriksa keadekuatan
oksigen di dalam darah dengan berbagai metode antara lain mengukur saturasi
oksigen (SaO2 dan SpO2). Di sisi lain, masalah pelepasan CO2 oleh paru-paru
akan menjadi masalah yang rumit dan CO2 akan terakumulasi di dalam darah
menyebabkan keasaman darah yang secara signifikan akan menyebabkan
disfungsi organ. Oleh karena itu, diharuskan untuk monitor EtCO2 di dalam
darah terutama bagi pasien yang menggunakan alat bantuan napas (Sapkota,
2013).

1
Pemantauan klien kritis di rawat intensif merupakan hal yang sangat
penting khususnya pemantauan konsentrasi oksigen dan karbondioksida yang
harus dilakukan secara kontinu karena perubahan-perubahan yang cepat pada
nilai gas darah arteri sering terjadi pada penderita yang sakit kritis. Oleh karena
itu tenaga kesehatan harus cepat dan tepat dalam mengatasi masalah- masalah
yang timbul selama klien dirawat.

1.2 Rumusan masalah


Bagaimana monitoring fungsi pernafasan SaO2, SpO2, EtCO2, dan BGA ?

1.3 Tujuan
Mahasiswa mampu memahami, menginterpretasikan dan menjelaskan
asuhan keperawatan kegawatan sistem pernafasan melalui monitoring fungsi
pernafasan SaO2, SpO2, EtCO2, dan BGA.

1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu memahami sirkulasi O2 dalam tubuh, definisi SaO2,
SpO2, EtCO2 dan BGA, fungsi SaO2, SpO2, EtCO2, dan BGA, cara kerja SaO2,
SpO2, EtCO2 dan BGA, cara penggunaan SaO2, SpO2, EtCO2 dan BGA, serta
indikasi dan kontraindikasi SaO2, SpO2, EtCO2 dan BGA. Selanjutnya,
mahasiswa mampu mempraktikkan asuhan keperawatan kegawatan sistem
pernafasan melalui monitoring fungsi pernafasan SaO₂,SpO₂, EtCO₂, dan BGA
yang ada di klinik dengan benar.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Oksigenasi


Oksigenasi adalah proses penambahan oksigen kedalam sistem kimia atau
fisika (Mubarak dan Chayatin, 2007). Oksigen merupakan gas tidak berwarna
dan tidak berbau yang sangat dibutuhkan dalam proses metabolisme sel, sebagai
hasilnya terbentuklah karbondioksida, energi dan air.
Oksigenasi adalah pemenuhan akan kebutuhan oksigen (O 2). Kebutuhan
fisiologis oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk
kelangsungan metabolisme sel tubuh, untuk mempertahankan hidupnya, dan
untuk aktivitas berbagai organ atau sel.
Oksigenasi adalah memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh dengan cara
melancarkan saluran masuknya oksigen atau memberikan aliran gas oksigen
(O2) sehingga konsentrasi oksigen meningkat dalam tubuh.Prosedur pemenuhan
kebutuhan oksigen dapat dilakukan dengan pemberian oksigen menggunakan
kanula dan masker, fisioterapi dada dan cara penghisapan lendir (suction).
2.1.1 Fisiologi Pernapasan
Fungsi paru-paru adalah pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Pada
pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan eksterna, oksigen dipungut
melalui hidung dan mulut. Pada waktu bernapas, oksigen masuk melalui
trakea dan pipa bronkhial ke alveoli, dan dapat erat hubungan dengan darah
di dalam kapiler pulmonaris.
Hanya satu lapisan membran, yaitu membran alveoli-kapiler, memisahkan
oksigen dari darah. Oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh
hemoglobin sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini, dipompa di
dalam arteri ke semua bagian tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada
tekanan oksigen 100 mmHg dan pada tingkat ini hemoglobinnya 95 persen
jenuh oksigen.
Di dalam paru-paru, karbon dioksida adalah salah satu hasil buangan
metabolisme, menembus membran alveoler-kapiler dari kapiler darah ke
alveoli dan setelah melalui pipa bronkhial dan trakhea, dinafaskan keluar
melalui hidung dan mulut.
Empat proses yang berhubungan dengan pernafasan pulmoner atau
pernafasan eksterna:
1. Ventilasi pulmoner, atau gerak pernafasan yang menukar udara dalam
alveoli dengan udara luar.
2. Arus darah melalui paru-paru
3. Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga jumlah tepat
dari setiapnya dapat mencapai semua bagian tubuh
4. Difusi gas yang menembusi membran pemisah alveoli dan kapiler.
CO2 lebih mudah berdifusi daripada oksigen.

3
Semua proses ini diatur sedemikian sehingga darah yang meninggalkan
paru-paru menerima jumlah tepat CO2 dan O2. Pada waktu gerak badan lebih
banyak darah datang di paru-paru membawa terlalu banyak CO2 dan
terlampau sedikit O2. Jumlah CO2 itu tidak dapat dikeluarkan, maka
konsentrasinya dalam arteri bertambah. Hal ini merangsang pusat pernapasan
dalam otak untuk memperbesar kecepatan dan dalamnya pernapasan.
Penambahan ventilasi yang dengan demikian terjadi pengeluaran CO 2 dan
memungut lebih banyak O2.
2.1.2 Pertukaran Oksigen dalam Darah
Pertukaran gas antara oksigen dan karbon dioksida terjadi di alveolus dan
di sel jaringan tubuh melalui proses difusi. Oksigen akan berdifusi masuk ke
darah dalam kapiler darah yang menyelubungi alveolus. Kemudian, oksigen
akan diikat oleh hemoglobin. Hemoglobin adalah zat warna merah pada sel
darah merah.
Difusi bergantung pada perbedaan dalam kualitas yang disebut tekanan
parsial. Pada waktu tekanan udara luar suatu atmosfer (760 mmHg), besarnya
tekanan oksigen paru-paru 150 mmHg, di arteri 100 mmHg, di vena 40
mmHg, dan di jaringan 40 mmHg, sehingga oksigen dapat berdifusi ke sel-
sel jaringan tubuh. Proses difusi berlangsung sederhana, yaitu hanya dengan
gerakan molekul-molekul secara bebas melalui membran sel dari tekanan
tinggi ke tekanan rendah.
Kemudian oksigen diangkut oleh plasma darah dan hemoglobin (Hb).
Oksigen yang diangkut hemoglobin dalam bentuk oksihemoglobin dan
oksimioglobin. Makin tinggi tekanan parsial oksigen di alveolus, maka
semakin banyak oksigen yang terikat oleh hemoglobin. Sementara hanya 2-
3% oksigen yang larut ke dalam plasma darah. Karbon dioksida berdifusi ke
aliran darah karena perbedaan tekanan darah.
Hemoglobin akan mengangkut oksigen ke jaringan tubuh yang kemudian
akan berdifusi masuk ke sel-sel tubuh untuk digunakan dalam proses
respirasi. Proses difusi ini terjadi karena tekanan parsial oksigen pada kapiler
tidak sama dengan tekanan parsial oksigen di sel-sel tubuh. Di dalam sel-sel
tubuh, oksigen digunakan untuk proses respirasi di dalam mitokondria. Hasil
dari respirasi menghasilkan karbon dioksida dan dibawa ke dalam kapiler
vena melalui difusi.
2.1.3 Myoglobin
Mioglobin adalah protein yang berukuran kecil (sekitar 17.200 dalton)
yang terdapat di otot jantung dan otot rangka, berfungsi menyimpan dan
memindahkan oksigen dari hemoglobin dalam sirkulasi ke enzim-enzim
respirasi di dalam sel kontraktil. Ketika terjadi kerusakan pada otot,
mioglobin dilepas ke dalam sirkulasi darah.
Mioglobin disaring dari darah oleh ginjal dan diekskresikan melalui urin.
Jika sejumlah besar mioglobin yang dilepaskan ke dalam aliran darah, seperti

4
setelah trauma parah, mioglobin berlebihan dapat menyebabkan kerusakan
pada ginjal dan akhirnya mengakibatkan kegagalan ginjal.
Peningkatan mioglobin serum terjadi 2-6 jam setelah terjadi kerusakan
jaringan otot jantung atau otot rangka, mencapai kadar tetinggi dalam waktu
8-12 jam, dan kembali normal dalam waktu 18-36 jam. Mioglobin urin dapat
dideteksi selama 3-7 hari setelah cedera otot.
Prosedur
Mioglobin diukur dengan immunoassay. Sampel darah vena harus diambil
segera setelah AMI akut atau setelah nyeri; pengambilan dilakukan pada saat
admission dan setiap 2-3 jam sampai 12 jam. Hindari terjadinya hemolisis.
Tidak terdapat pembatasan asupan makanan atau minuman.
Mioglobin stabil dalam darah lengkap atau dalam serum yang disimpan
dalam lemari pendingin selama beberapa jam sampai beberapa hari.
Mioglobinuria dapat dideteksi dari sampel urine acak untuk dugaan luka
trauma otot yang luas dan kerusakan ginjal.
Nilai Rujukan
Dewasa : 12-90 ng/ml, 12-90 µg/l
Wanita : 12-75 ng/ml, 12-75 µg/l
Pria : 20-90 ng/ml, 20-90 µg/l
Faktor yang Mempengaruhi Temuan Laboratorium
1. Sampel untuk uji mioglobin serum diambil satu atau dua hari setelah
MCI akut atau cedera akut
2. Mengambil sampel urin dalam waktu 3 jam setelah cedera akut.
Spesimen urin ulang harus diambil dalm waktu 24 jam setelah terjadi
cedera (otot rangka atau jantung)
3. Hemolisis spesimen darah
4. Injeksi intra musculus (IM) atau sehabis latihan berat
2.1.4 Transpor Karbondioksida
Transport karbondioksida dari sel-sel jaringan ke paru-paru terjadi karena
adanya sirkulasi darah yang konstan dan difusi karbondioksida yang terjadi
di berbagai jaringan tubuh sesuai dengan gradien konsentrasi yang
diperlihatkan dengan tekanan karbondioksida yang berbeda, seperti sebagai
berikut (Khurana, 2014):
1. pCO2 intraseluler : 46 mmHg
2. pCO2 cairan interstisial : 45 mmHg
3. pCO2 darah arteri (jaringan kapiler) : 40 mmHg
4. pCO2 darah vena : 45 mmHg
5. pCO2 udara alveolar :40 mmHg

Karbondioksida merupakan produk sisa metabolisme yang


ditransportasikan oleh darah dalam tiga bentuk yakni karbondioksida larut
dalam plasma, ion bikarbonat, dan senyawa karbamino

5
(karbaminohaemoglobin). Karbondioksida berdifusi dari pembuluh kapiler
ke membrane kapiler alveoli menuju alveoli untuk diekshalasi (Brooker et al,
2013).
Karbondiksida dapat mengubah pH karena karbondioksida dapat bereaksi
dengan air sehingga membentuk asam karbonat (H2CO3) dan sekitar 60%
karbondioksida ditransportasikan dalam bentuk bikarbonat. Asam karbonat
akan terpecah menjadi bentuk H+ dan HCO3 - (ion hydrogen dan ion
bikarbonat). Ion-ion tersebut berperan penting dalam system buffer, yang
membantu tubuh untuk mempertahankan pH yang sesuai (Rosdahlet al,
2008). H+ akan bereaksi dengan hemoglobin sementara ion bikarbonat akan
berdifusi ke plasma.
Senyawa karbomino berarti karbondioksida yang berikatan dengan
senyawa amino protein. Sebagian besar protein dalam darah adalah
haemoglobin, yang berikatan dengan karbondioksida membentuk
karbaminohaemoglobin (CO2Hb). Sekitar 30% karbondioksida yang dibawa
menuju paru-paru sebagai senyawa karbamino (Ward et al, 2015).
Jumlah karbon dioksida yang dapat ditransportasikan di dalam darah
dipengaruhi oleh persentase saturasi hemoglobin dengan oksigen.Semakin
sedikit jumlah oksihemoglobin, semakin tinggi kapasitas darah dalam
membawa CO2. Hubungan itulah yang disebut efek Haldane (Ward et al,
2015). Selain lebih mampu mengikat oksigen daripada bentuk
oksihemoglobin, deoksihemoglobin juga mengikat lebih banyak H+ sehingga
H+ pada larutan dikurangi dan terjadi promosi konversi CO 2 menjadi HCO3 -
Konsekuensinya, darah vena membawa banyak CO2 daripada darah arteri.
Pengambilan CO2 dibantu oleh jaringan sementara pelepasannya dibantu oleh
paru-paru. Karbondioksida plasma kira-kira kurang dari 10% yang dibawa ke
paru-paru (Ward et al, 2015).

2.2 Kurva Disosiasi Oksi-Hemoglobin


Oksihemoglobin adalah struktur terikatnya oksigen pada hemoglobin. Heme
pada unit hemoglobin adalah kompleks yang dibentuk dari porfirin dan satu atom
besi ferro. Kemampuan Hemoglobin untuk mengikat diri ke oksigen dipengaruhi
oleh tekanan parsial O2. Semakin besar tekanan parsial O2 dalam darah, maka
semakin cepat pula O2 mengikat Hb. Hal ini dapat dijelaskan melalui kurva
disosiasi oksigen-hemoglobin dimana kurva ini menunjukkan bahwa ketika pO 2
bertambah sampai 100 mmHg, kejenuhan Hb mencapai 100%.
Kurva disosiasi oksihemoglobin adalah ilustrasi hubungan antara kadar
saturasi hemoglobin (percent saturation of hemoglobin) dengan tekanan parsial
oksigen (PO2). Tekanan parsial oksigen merupakan faktor penting dalam
menentukan kuantitas oksigen yang berikatan dengan hemoglobin. Apabila
hemoglobin yang tereduksi (reduced hemoglobin) ditukar sepenuhnya kepada

6
oxyhemoglobin, maka hemoglobin dikatakan sebagai tersaturasi penuh (Tortora
& Derrickson, 2006).

Gambar. Kurva Disosiasi Oksigen

Kurva disosiasi oksihemoglobin terdiri dari dua bagian kurva, yaitu bagian
curam (PO2 0-60 mmHg) dan bagian mendatar (PO2 > 60 mmHg). Perbedaan
dua bagian ini adalah pada bagian kurva curam perubahan kecil pada
PO2 menghasilkan perubahan besar pada saturasi oksigen. Sebaliknya, pada
bagian kurva yang mendatar, perubahan besar pada PO2 hanya menghasilkan
perubahan kecil pada SaO2.
Kurva disosiasi oksihemoglobin juga dibagi menjadi bagian asosiasi dan
bagian disosiasi. Penggabungan oksigen dan hemoglobin terjadi di paru dimana
PO2 meningkat dari 40 mmHg pada pembuluh darah vena menjadi 100 mmHg.
Oleh karena akhir dari proses ini adalah masuknya oksigen ke dalam darah yang
terjadi pada fase kurva yang mendatar, maka bagian ini sering disebut juga
bagian asosiasi. Sebaliknya, bagian curam kurva ini sering disebut juga bagian
disosiasi, karena merupakan kurva bagian akhir pelepasan oksigen yang terjadi
ketika PO2 turun dari 100 mmHg menjadi 40 mmHg pada kapiler
sistemik. (Malley, 1990)
Pergeseran kurva ke kanan disebabkan oleh peningkatan suhu, peningkatan
2,3-DPG, peningkatan PCO2, atau penurunan pH. Untuk kondisi sebaliknya,
kurva bergeser ke kiri. Pergeseran kurva ke kanan menyebabkan penurunan
afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Sehingga hemoglobin sulit berikatan
dengan oksigen (memerlukan tekanan parsial yang tinggi bagi hemoglobin untuk
mengikat oksigen). (Nielufar, 2000)
Pergeseran kurva ke kiri dan peningkatan afinitas tampak memberikan
manfaat bagi pasien karena hemoglobin dapat mengikat oksigen lebih mudah.
Bagaimanapun, hemoglobin telah tersaturasi 97 % dengan afinitas yang
normal,sehingga tidak terdapat penambhan oksigen yang cukup bermakna
dengan adanya pergeseran kurva ke kiri. Bahkan, peningkatan afinitas Hb-O ini

7
dapat mengganggu pelepasan oksigen ke dalam jaringan dan pada umumnya
menimbulkan dampak yang merugikan. (Malley, 1990)
Disisi lain, penurunan afinitas Hb-O dan pergeseran kurva ke kanan, biasanya
meningkatkan pelepasan oksigen ke jaringan dan sering merupakan mekanisme
kompensasi yang berharga. Pergeseran kurva ke kanan menyebabkan seseorang
dengan PO2 90 mmHg mampu meningkatkan pelepasan oksigen hingga 60 %.
Namun, pergeseran ini akan memiliki dampak yang merugikan ketika seseorang
memiliki PO2 kurang dari 60 mmHg. Ketika terjadi hipoksemia, pergeseran
kurva ke kanan dapat menurunkan masuknya oksigen ke dalam darah dengan
cukup bermakna. Kerugian ini sepertinya lebih berat daripada manfaatnya.
(Malley, 1990).
DPG normal dalam darah mempertahankan kurva disosiasi oksigen-
hemoglobin sedikit bergeser ke kanan setiap saat. Tetapi, pada keadaan hipoksia
yang berlangsung lebih dari beberapa jam, jumlah DPG akan meningkat, dengan
demikian, menggeser kurva disosiasi oksigen-hemoglobin lebih ke kanan. Ini
menyebabkan oksigen dilepaskan ke jaringan pada tekanan oksigen 10 mmHg
lebih besar daripada keadaan tanpa peningkatan DPG ini. Oleh karena itu, pada
beberapa keadaan, hal ini dapat menjadi suatu mekanisme penting untuk
menyesuaikan diri terhadap hipoksia, khususnya terhadap hipoksia akibat aliran
darah jaringan yang kurang baik. Namun, adanya kelebihan DPG juga akan
menyulitkan hemoglobin untuk bergabung dengan oksigen dalam paru bila PO 2
alveolus dikurangi, dengan demikian kadang-kadang menimbulkan resiko juga
selain manfaat. Oleh karena itu pergeseran kurva disosiasi DPG memberi
manfaat pada keadaan tertentu tetapi merugikan pada keadaan lain. (Brandis,
2006)
Pergeseran kurva disosiasi oksigen-hemoglobin sebagai respon terhadap
perubahan karbon dioksida dan ion hidrogen memberi pengaruh penting dalam
meninggikan oksigenasi darah dalam paru serta meningkatkan pelepasan
oksigen dari darah dalam jaringan. Ini disebut Efek Bohr, dan dapat dijelaskan
sebagai berikut: Ketika darah melalui paru, karbon dioksida berdifusi dari darah
ke dalam alveoli.Ini menurunkan PCO2 darah dan konsentrasi ion hidrogen
sebagai akibat penurunan asam karbonat darah. Efek dari dua keadaan ini
menggeser kurva disosiasi oksigen-hemoglobin ke kiri dan ke atas. Oleh karena
itu, jumlah oksigen yang berikatan dengan hemoglobin menyebabkan PO 2
alveolus meningkat, dengan demikian transpor oksigen ke jaringan lebih besar.
Bila darah mencapai jaringan kapiler, terjadi efek yang tepat berlawanan.
Karbon dioksida yang memasuki darah dari jaringan menggeser kurva ke kanan,
memindahkan oksigen dari hemoglobin ke jaringan dengan PO 2 yang lebih
tinggi daripada seandainya tidak terjadi demikian (Brandis, 2006).
Faktor-faktor lain yang bisa menyebabkan pergeseran kurva disosiasi:
1. Effects of carbon dioxide. Carbon dioxide mempengaruhi kurva dengan
2 cara: pertama, dengan mempengaruhi intracellular pH (the Bohr effect),

8
dan kedua, akumulasi CO2 menyebabkan penggunaan carbamine.
Penurunan carbamin akan menggeser kurva ke kiri.
2. Carbon Monoxide. Karbon monoksida mengikat hemoglobin 240 kali
lebih kuat daripada dengan oksigen, oleh karena itu keberadaan karbon
monoksida dapat mempengaruhi ikatan hemoglobin dengan oksigen.
Selain dapat menurunkan potensi ikatan hemoglobin dengan oksigen,
karbon monoksida juga memiliki efek dengan menggeser kurva ke kiri.
Dengan meningkatnya jumlah karbon monoksida, seseorang dapat
menderita hipoksemia berat pada saat mempertahankan PO2 normal.
3. Effects of Methemoglobinemia (bentuk hemoglobin yang abnormal).
Methemoglobinemia menyebabkan pergeseran kurva ke kiri.
4. Fetal Hemoglobin. Fetal hemoglobin (HbF) berbeda secara struktur dari
normal hemoglobin (Hb). Kurva disosiasi fetal cenderung bergerak ke
kiri dibanding dewasa. Umumnya, tekanan oksigen arteri pada fetal
rendah, sehingga pengaruh pergeseran ke kiri adalah peningkatan uptake
oksigen melalui plasenta. (Brandis, 2006)

Gambar. Kurva Disosiasi Oksigen

2.3 Saturasi Oksigen


Saturasi oksigen adalah rasio antara jumlah oksigen aktual yang terikat oleh
hemoglobin terhadap kemampuan total hemoglobin darah mengikat oksigen.
Hubungan antara jumlah oksigen dengan tekanan parsial oksigen dapat dilihat
dalam kurva disosiasi oksihemoglobin. (Darmanto Djojodibroto, 2009).
Jumlah oksigen (dalam mL) yang terdapat dalam 100 mL darah dinamakan
kandungan oksigen (Oxygen content). Oksigen yang ada di dalam darah berupa
larutan di plasma dan berupa senyawa dengan Hb di eritrosit. Kemampuan
oksigen untuk larut dalam plasma darah dengan PaO2 = 100 mmHg adalah 0,003
mL oksigen per 1 mL plasma sedangkan 1 gram Hb dengan saturasi 100%
mempunyai kemampuan mengikat 1,39 mL oksigen. Jadi, oksigen yang berupa

9
larutan di plasma sebanyak 3 mL O2/Liter darah, sedangkan yang berikatan
dengan hemoglobin sebanyak 203,3 mL O2/Liter darah (Darmanto Djojodibroto,
2009).
2.3.1 Saturasi Oksigen Metode Invasif
1. Saturasi Oksigen Invasif melalui Jalur Arteri
Pemeriksaan Astrup/AGD adalah pemeriksaan analisa gas darah
melalui darah arteri. Pengukuran gas darah arteri memberikan informasi
dalam mengkaji dan memantau respirasi klien dan metabolism asam-
basa, serta homeostatis elektrolit. . Pemeriksaan gas darah arteri dan pH
sudah secara luas digunakan sebagai pegangan dalam penatalaksanaan
pasien-pasien penyakit berat yang akut dan menahun. Meskipun
biasanya pemeriksaan ini menggunakan spesimen dari darah arteri,jika
sampel darah arteri tida dapat diperoleh suatu sampel vena campuran
dapat digunakan.Analisa gas darah (AGD) atau BGA (Blood Gas
Analysis) biasanya dilakukan untuk mengkaji gangguan keseimbangan
asam-basa yang disebabkan oleh gangguan pernafasan dan/atau
gangguan metabolik.
AGD juga digunakan untuk mengkaji oksigenasi. Istilah-istilah
penting yang harus diketahui dalam pemeriksaan gas darah arteri antara
lain, pH, PCO2, HCO3-, PO2, dan SaO2 Pemeriksaan gas darah dan PH
digunakan sebagai pegangan dalam penanganan pasien-pasien penyakit
berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas darah dipakai untuk
menilai: Keseimbangan asam basa dalam tubuh, Kadar oksigenasi
dalam darah, Kadar karbondioksida dalam darah. Pemeriksaan analisa
gas darah penting untuk menilai keadaan fungsi paru-paru.
Pemeriksaan dapat dilakukan melalui pengambilan darah astrup dari
arteri radialis, brakhialis, atau femoralis.
Pemeriksaan gas darah juga dapat menggambarkan hasil berbagai
tindakan penunjang yang dilakukan, tetapi kita tidak dapat menegakkan
suatu diagnosa hanya dari penilaian analisa gas darah dan
keseimbangan asam basa saja, kita harus menghubungkan dengan
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan data-data laboratorium
lainnya.
Indikasi dilakukannya pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD)
yaitu:
1. Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik
Penyakit paru obstruktif kronis yang ditandai dengan adanya
hambatan aliran udara pada saluran napas yang bersifat progresif
non reversible ataupun reversible parsial. Terdiri dari 2 macam jenis
yaitu bronchitis kronis dan emfisema, tetapi bisa juga gabungan
antar keduanya.

10
2. Pasien dengan edema pulmo
Pulmonary edema terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan
cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam
paru sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-
persoalan dengan pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida),
berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang
buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai "air dalam paru-paru"
ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien.
Pulmonary edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang
berbeda. Ia dapat dihubungkan pada gagal jantung,
disebut cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada
sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary
edema.
3. Pasien akut respiratori distress sindrom (ARDS)
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran
alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam
ruanginterstisiel alveolar dan perubahan dalarn jaring- jaring kapiler,
terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat-
akibat kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah
dalam paru-paru. ARDS menyebabkan penurunan dalam
pembentukan surfaktan, yang mengarah pada kolaps alveolar.
Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru- paru menjadi
kaku akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas
residual fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia (Brunner &
Suddart 616).
4. Infark miokard
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot
jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen (Fenton, 2009). Klinis sangat mencemaskan
karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria 35-55
tahun, tanpa gejala pendahuluan (Santoso, 2005).
5. Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan system dimana
alveoli (mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang
bertanggung jawab untuk menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi
radang dan dengan penimbunan cairan.Pneumonia disebabkan oleh
berbagai macam sebab meliputi infeksi karena bakteri, virus, jamur
atau parasit. Pneumonia juga dapat terjadi karena bahan kimia atau
kerusakan fisik dari paru-paru, atau secara tak langsung dari
penyakit lain seperti kanker paru atau penggunaan alkohol.

11
6. Pasien syok
Syok merupakan suatu sindrom klinik yang terjadi jika sirkulasi
darah arteri tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada 3 faktor
utama, yaitu curah jantung, volume darah, dan pembuluh darah. Jika
salah satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan faktor lain tidak
dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Pada syok
juga terjadi hipoperfusi jaringan yang menyebabkan gangguan
nutrisi dan metabolism sel sehingga seringkali menyebabkan
kematian pada pasien.
7. Post pembedahan coronary arteri baypass
Coronary Artery Bypass Graft adalah terjadinya suatu respon
inflamasi sistemik pada derajat tertentu dimana hal tersebut ditandai
dengan hipotensi yang menetap, demam yang bukan disebabkan
karena infeksi, DIC, oedem jaringan yang luas, dan kegagalan
beberapa organ tubuh. Penyebab inflamasi sistemik ini dapat
disebabkan oleh suatu respon banyak hal, antara lain oleh karena
penggunaan cardiopulmonary bypass (Surahman, 2010).
8. Resusitasi cardiac arrest
Penyebab utama dari cardiac arrest adalah aritmia, yang dicetuskan
oleh beberapa faktor,diantaranya penyakit jantung koroner, stress
fisik (perdarahan yang banyak, sengatan listrik,kekurangan oksigen
akibat tersedak, tenggelam ataupun serangan asma yang berat),
kelainan bawaan, perubahan struktur jantung (akibat penyakit katup
atau otot jantung) dan obat-obatan.Penyebab lain cardiac arrest
adalah tamponade jantung dan tension pneumothorax. Sebagai
akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti.
Berhentinya peredaran darahmencegah aliran oksigen untuk semua
organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi
akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral
atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan
kesadaran dan berhenti bernapas normal.Kerusakan otak mungkin
terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan
selanjutnyaakan terjadi kematian dalam 10 menit. Jika cardiac arrest
dapat dideteksi dan ditangani dengansegera, kerusakan organ yang
serius seperti kerusakan otak, ataupun kematian mungkin bisa
dicegah.
Kontraindikasi dilakukannya analisa gas darah yakni:
1. Denyut arteri tidak terasa, pada pasien yang mengalami koma
(Irwin & Hippe, 2010).
2. Modifikasi Allen tes negatif, apabila test Allen negative tetapi tetap
dipaksa untuk dilakukan pengambilan darah arteri lewat arteri

12
radialis, maka akan terjadi thrombosis dan beresiko mengganggu
viabilitas tangan.
3. Selulitis atau adanya infeksi terbuka atau penyakit pembuluh darah
perifer pada tempat yang akan diperiksa.
4. Adanya koagulopati (gangguan pembekuan) atau pengobatan
denganantikoagulan dosis sedang dan tinggi merupakan
kontraindikasi relatif.
Prosedur pelaksanaan
Alat yang diperlukan:
1. Spuit 2 cc + 0,1 cc heparin
2. Kapas alcohol dan kassa steril
3. Tutup jarum dari karet
4. Kain pengalas
5. Tempat berisi es batu
6. Formulir permintaan
Pelaksanaan:
1. Tentukan tempat yang akan dilakukan penusukan.
2. Siapkan spuit yang telah diisi heparin 0,1 cc heparin (pengisian
dilakukan dengan menghisap 2 cc heparin, kemudian keluarkan
kembali dan sisakan sebanyak 0,1 cc dalam spuit).
3. Lakukan desinfeksi pada area yang akan ditusuk dengan
menggunakan kapas alkohol.
4. Tusukkan jarum (450 untuk arteri radialis, 900 untuk arteri
femoralis), ketika jarum mengenai arteri, tidak diperlukan aspirasi
karena darah akan keluar dengan sendirinya.
5. Setelah sampel darah cukup, cabut jarum dan lakukan penekanan
pada tempat penusukan. Penekanan dilakukan selama 5 menit
untuk arteri radialis dan 10 menit untuk arteri femoralis.
6. Segera setelah dicabut, cek kemungkinan adanya udara yang
terperangkap dalam spuit, bila ada cepat keluarkan. Putar-putar
spuit diantara kedua telapak tangan agar tercampur merata dengan
heparin.
7. Segera jarum ditutup dengan menggunakan tutup yang terbuat dari
karet, simpan sampel darah pada tempat yang diisi es batu dan
segera kirimkan ke laboratorium.
8. Formulir pengiriman harus lengkap, jangan lupa mencantumkan
suhu tubuh klien saat pengambilan sampel darah.

13
Interpretasi Hasil
Gas darah arteri (ABG) tes dapat menentukan konsentrasi laktat,
hemoglobin, elektrolit, oksihemoglobin, karboksihemoglobin, dan
methemoglobin. Nilai normalnya meliputi berikut ini: (Mauricio
Danckers, 2014).
1. Tekanan parsial oksigen (PO2) : 75-100 mm Hg
2. Tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) : 35-45 mm Hg
3. pH darah arteri : 7,38-7,42
4. Saturasi oksigen (SaO2) : 94% -100%
5. Bikarbonat (HCO3) : 22-26 mEq / L
Pengujian ABG merupakan standar kriteria untuk menentukan
kecukupan/keadekuatan bantuan ventilasi dan hubungan antara pH,
pO2, pCO2, dan HCO3 di dalam tubuh manusia. Hasil ini membantu
untuk menentukan apakah pasien dalam alkalosis/asidosis
metabolik/respiratorik dengan atau tanpa kesenjangan anion (anion
gap) (Mauricio Danckers, 2014).
Tingkat pH menunjukkan apakah pasien dalam kondisi acidemic
(pH <7,35) atau alkalemic (pH> 7,45). Tekanan parsial oksigen (pO 2)
menunjukkan tingkat oksigenasi dalam tubuh. Tekanan parsial karbon
dioksida (pCO2) menunjukkan tingkat produksi atau eliminasi CO2
melalui siklus pernapasan. Sebuah pCO2 tinggi atau menurun (yaitu,
asidosis pernafasan atau alkalosis pernapasan, secara berturut-turut)
merupakan indikasi kelayakan ventilasi (Mauricio Danckers, 2014).

14
Ion bikarbonat (HCO3-) menunjukkan tingkat gangguan metabolik
pada pasien. Sebagai contoh, tingkat HCO3 rendah menunjukkan
asidosis metabolic, sedangkan tingkat HCO3 tinggi menunjukkan
alkalosis metabolik. Base Excess dapat ditentukan kemudian untuk
lebih menggambarkan gangguan pernafasan atau metabolik yang
mendasari melalui persamaan/perhitungan berikut: (Mauricio
Danckers, 2014).
Analisa sistematik langkah demi langkah penting untuk interpretasi
akurat nilai GDA. (Asmadi, 2008)
1. Langkah satu: tentukan apakah pH normal. Bila pH menyimpang
dari 7.4, perhatikan seberapa besar pH menyimpang dan kemana
arahnya.
2. Langkah dua: periksa PaCO2. Bila menyimpang dari 40 mmHg,
seberapa banyak PaCO2 menyimpang dan kemana arahnya.
Apakah perubahan PaCO2 cocok dengan arah perubahan pH. pH
dan PaCO2 harus bergerak pada arah yang berlawanan. Misal, saat
PaCO2 meningkat, pH harus menurun (asidosis), dan saat PaCO 2
menurun, pH harus meningkat (alkalosis).
3. Langkah tiga: tentukan nilai HCO3 (mungkin menunjukkan
kandungan CO2 total, CO2 serum, atau HCO3 serum). Bila HCO3
menyimpang dari 24 mEq/L, perhatikan derajat dan arah
penyimpangan. Apakah perubahan HCO3 bersamaan dengan
perubahan pH. HCO3 dan pH harus bergerak pada arah yang sama.
Analisis gas darah arteri dilakukan untuk mengevaluasi status
oksigen dan karbondioksida di dalam darah arteri dan mengukur
pHnya. Komponen analisis gas darah arteri adalah pH, PaCO 2, PaO2,
SaO2, HCO3, dan Base Excess (BE). Jika hasil analisis gas darah adalah
7,4/40/98/24, artinya pH darah = 7,4; PaCO2 = 40 mmHg; PaO2 = 98
mmHg, dan konsentrasi HCO3 = 24 mEq/liter. (Darmanto Djojodibroto,
2009)
Nilai PaO2 normal berkisar antara 80-120 mmHg. Jika nilai PaO2
kurang dari 60 mmHg, keadaan ini digolongkan sebagai hipoksemia
moderat, sedangkan jika kurang dari 50 mmHg digolongkan sebagai
hipoksemia berat (Severe), dan jika kurang dari 40 mmHg digolongkan
sebagai hipoksemia ekstrem. PaCO2 normal berkisar antara 35-40
mmHg. Keasaman darah atau pH serum darah dijaga oleh mekanisme
tubuh agar tetap dalam kisaran 7,35-7,44. Turunnya pH darah yang
disebut asidemia dapat disebabkan oleh faktor metabolik seperti
ketoasidosis diabetik, gagal ginjal, dan asidosis laktat. Asidosis
metabolik dinyatakan dengan turunnya pH dan turunnya kadar HCO3
serum. (Darmanto Djojodibroto, 2009).

15
Darah arteri Darah kapiler paru
pH 7,36-7,44 7,36
PCO2 38 mmHg 48 mmHg
PO2 95 mmHg (tergantung 40 mmHg
umur)
Saturasi Hb (%) 96-100% 75%

Tabel. Nilai normal gas darah arteri dan darah kapiler paru (Darmanto
Djojodibroto, 2009)

Sumber : Mima M. Horne (2000)


Sampel darah yang akan dianalisis dengan menggunakan tes ini
merupakan darah arteri yang biasa digunakan yaitu arteri radialis karena
mudah diambil. (Irman Sommantri, 2007)
1. Hipoksia
a. Ringan PaO2 50 – 80 mmHg
b. Sedang PaO2 30 – 50 mmHg
c. Berat PaO2 20 – 30 mmHg
2. Hiperkapnia
a. Ringan PaCO2 45 – 60 mmHg
b. Sedang PaCO2 60 – 70 mmHg
c. Berat PaCO2 70 – 80 mmHg
2. Saturasi Oksigen Invasif melalui Jalur Vena
Pemantaun saturasi oksigen vena campuran merupakan peralatan
tambahan untuk pemantauan hemodinamik. Cara ini digunakan sebagai
alternatif dari pemantauan saturasi oksigen arteri dan dilakukan secara
invasif. Pemantauan ini dapat memberikan informasi mengenai status
asam basa dan ventilasi (misalnya tekanan parsial karbondioksida di
vena (PvCO2). Sampel darah didapatkan dari kateter yang dipasang di
arteri pulmonalis. Status oksigen yang diperoleh darisana, amat
bermanfaat untuk mengevaluasi status respirasi, metabolik dan
sirkulasi. (Irizarry dkk, 2009; Higgins, 2011; Lundstrom, 2011).

16
Terdapat dua macam sampel darah vena, yaitu sampel darah vena
perifer dan sentral. Sampel vena perifer umumnya tidak
direkomendasikan untuk analisis gas darah, karena hampir tidak
memberikan informasi mengenai kedaan umum pasien. Sedangkan
sampel yang diambil melalui kateter vena sentral dapat digunakan
untuk mengevaluasi status oksigenasi mixed vein. Hasil yang tidak valid
dapat disebabkan jika sampel diambil hanya pada vena superior atau
inferior saja, atau terjadi shunt dari kiri ke kanan (Higgins, 2011;
Lundstrøm, 2011).
Tujuan
Mengevaluasi perubahan kadar gas oksigen dan karbon dioksida
dalam darah, fungsi pernafasan (termasuk hipoksia) serta
keseimbangan asam basa.
Indikasi
1. Pasien dengan kebutuhan evaluasi perubahan kadar gas oksigen
dan karbon dioksida dalam darah, fungsi pernafasan (termasuk
hipoksia) serta keseimbangan asam basa.
2. Penilaian terhadap asma, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis)
dan penyakit paru lainnnya; embolisme (termasuk fat embolism)
dan penyakit arteri koroner.
Kontraindikasi
Pemeriksaan ini tidak dilakukan pada pasien yang sedang
menjalani terapi anti koagulan, dan pasien dengan riwayat gangguan
pembekuan darah.
Prosedur
1. Pre tindakan
1. Identifikasi resep dokter dan validasi pasien.
2. Menjelaskan tujuan tindakan untuk mengkaji keseimbangan dan
level oksigen darah. Tindakan mungkin akan terasa sakit.
3. Identifikasi riwayat pasien tentang keluhan yang ada, termasuk
alergi terutama alergi latex dan anestetik.
4. Identifikasi riwayat per sistem pasien meliputi cardiovascular,
genitourinary, sistem pernapasan, adanya kelainan perdarahan,
dan hasil laboratorium sebelumnya dan tindakan medis yang
pernah dilakukan sebelumnya.
5. Identifikasi konsumsi obat pasien sekarang seperti
antikoagulan, aspirin dan salisilat lainnya, herbal, suplemen
nutrisi.
6. Identifikasi TTV pasien.
7. Anjurkan pasien beristirahat 30 menit sebelum tindakan
dilakukan.

17
2. Intra tindakan
1. Jika pasien memiliki riwayat alergi terhadap latex, hindari
penggunaan alat dan bahan dari latex.
2. Alat dan bahan: sarung tangan steril, tourniket, alkohol swab,
spuit heparin 5 mL, heparin tube (dewasa), heparin
microcontainer (untuk pediatri), bengkok.
3. Instruksikan pasien untuk bekerjasama dan mengikuti perintah.
4. Anjurkan pasien untuk bernafas normal dan tidak melakukan
gerakan yang tidak dibutuhkan.
5. Beri label pasien pada tabung heparin.
6. Cuci tangan
7. Tentukan lokasi insersi (venipuncture site)
8. Kenakan sarung tangan steril
9. Ikat tourniket 3-4 inchi di atas venipuncture site. (jangan
tinggalkan tourniket di lengan pasien lebih dari 1 menit karena
menimbulkan hemokonsentrasi dan hemolisis)
10. Swab vena dengan alkohol swab.
11. Arm vein: letakkan ibu jari tangan nondominan 1-2 inchi di
bawah venipuncture site dan jari lain di bawah lengan pasien.
Lalu injeksikan spuit dengan tangan dominan.
12. Hand vein: instruksikan pasien untuk mengepalkan telapak
tangan, ibu jari tangan nondominan menarik lembut kulit di atas
venipuncture site dan jari lainnya di bawah kepalan tangan. Lalu
injeksikan spuit dengan tangan dominan.

13. Masukkan darah dalam spuit segera ke tabung heparin.


14. Berikan alcohol swab di atas venipuncture site dan minta pasien
untuk menekan sampai darah tidak keluar.
15. Lepaskan tourniket.
16. Buang alkohol swab dan spuit yang sudah digunakan ke dalam
bengkok.
17. Lepaskan sarung tangan.
18. Ucapkan terima kasih atas kerjasama pasien dan rapikan pasien.
19. Buang sampah medis sesuai tempatnya.
20. Cuci tangan

18
Faktor yang Mempengaruhi
Perubahan yang Factors
menyebabkan
penurunan Svo2
Penurunan curah Hypovolemia or cardiac tamponade
jantung Shock
Myocardial infarction
Arrhythmias
Meningkatkan tekanan ekspirasi positif
Penurunan Pulmonary edema
saturasi oksigen Adult respiratory distress syndrome
Penurunan dalam inspirasi oksigen
Penurunan level Anemia
hemoglobin Hemorrhage
Dysfunctional hemoglobin
Peningkatan Pain
konsumsi oksigen Anxiety or fear
Agitation or restlessness
Hyperthermia or burns
Tachycardia
Shivering Activity (positioning, suctioning)
Penurunan Use of analgesics and anesthetics
konsumsi oksigen Neuromuscular blockade or use of paralytics
Use of β-antagonists
Hypothermia
Hypothyroidism
Sepsis (dysoxia, shunting) Cyanide poisoning
Sleep or rest Use of analgesics and anesthetics
Neuromuscular blockade or use of paralytics
Use of β-antagonists Hypothermia
Hypothyroidism Sepsis (dysoxia, shunting)
Cyanide poisoning Sleep or rest
Peningkatan Kenaikan fraksi oksigen terinspirasi atau
saturasi oksigen hipoksia
Intracardiac shunt atau fistula arteriovenosa
Regurgitasi katup mitral berat
Migrasi distal kateter arteri paru
Kenaikan curah Preload yang optimal
jantung Penggunaan agen inotropik
Penggunaan alat bantu mekanis

19
Interpretasi Hasil

Gambar Interpretasi Hasil (Laboratory Service


Manual: VBG, 2005)
1. SvO2 normal adalah 60% sampai 80%
2. Keadaan disebut kritis apabila VpCO2: <15 or >70 mm Hg dan
VpH: <7.2 or >7.6
3. Nilai kurang dari 60% kemungkinan karena menurunnya curah
jantung atau menurunnya kompensasi pada sistem di suatu tempat
4. Nilai 40% sampai 50% lebih dari beberapa menit akan terjadi
asidosis laktat
5. Nilai kurang dari 30% yang menetap menandai akan terjadinya
gangguan keseimbangan supali dan kebutuhan. Tidak cukupnya
oksigen untuk mempertahankan fungsi sel akan menimbulkan
koma dan/atau henti jantung.

Keterbatasan Monitoring SaO2 Metode Invasif


1. Metode BGA merupakan tindakan gold standard yang invansif
(melukai), membutuhkan waktu dan membutuhkan specimen
untuk evaluasi.
2. BGA menyediakan data intermitten, bukan data berkelanjutan yang
keterbatasan datanya digunakan hanya sementara waktu.
3. Hasil bacaan BGA dipengaruhi oleh jumlah heparin, membutuhkan
waktu untuk menganalisis dan memicu hiperventilasi akibat
kesakitan ketika pengambilan sample perkutan pada bayi.

20
2.3.2 Saturasi Oksigen Metode Non Invasif (SpO2)
Oksimetri nadi adalah metode pemantauan non invasif secara
kontinyu terhadap saturasi oksigen hemoglobin (SaO2). Meski
oksemetri oksigen tidak bisa menggantikan gas-gas darah arteri,
oksimetri oksigen merupakan salah satu cara efektif untuk memantau
pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil dan mendadak.
Oksimetri nadi digunakan dalam banyak lingkungan, termasuk unit
perawatan kritis, unit keperawatan umum, dan pada area diagnostik dan
pengobatan ketika diperlukan pemantauan saturasi oksigen selama
prosedur (Brunner& Suddart, 2002).
Sebuah sensor ditempatkan pada bagian tipis dari tubuh pasien,
biasanya jari atau daun telinga , atau dalam kasus sebuah bayi , di kaki.
Pulse oximetry mengukur hanya oksigenasi, bukan ventilasi dan
bukan merupakan ukuran lengkap kecukupan pernapasan. Ini bukan
pengganti gas darah diperiksa di laboratorium, karena tidak
memberikan indikasi defisit dasar, tingkat karbon dioksida, darah pH,
atau bikarbonat HCO3- konsentrasi.
Cara penggunaan oximeter adalah dengan cara salah satu jari tangan
pasien dipasang ‘penjepit’ khusus yang terdapat sensor infra-red yg
sangat sensitif untuk mengetahui kadar oksigen dalam darah sekaligus
pengukur detak jantung pasien yang dapat dilihat pada layar monitor
(LED) alat.
Alat yang digunakan adalah oksimetri nadi yang terdiri dari dua
diode pengemisi cahaya (satu cahaya merah dan satu cahaya
inframerah) pada satu sisi probe, kedua diode ini mentransmisikan
cahaya merah dan inframerah melewati pembuluh darah, biasanya pada
ujung jari atau daun telinga, menuju fotodetektor pada sisi lain dari
probe (Welch,2005).

Pulse Oksimetri yang dipasang pada anak

21
pulse oksimetri yang dipasang pada bayi

Pulse oksimetri yang dipasang pada dewasa

Keterbatasan Pulse Oximetry (Pinsky et al, 2012)


1. Fisiologis: Kurva disosiasi oksihemoglobin. Oksimetri nadi
mengukur SaO2 secara fisiologis berkaitan dengan tekanan oksigen
arteri (PaO2) berdasarkan kurva disosiasi oksihemoglobin. Karena
bentuknya yang sigmoid, oksimetri nadi kurang sensitive terhadap
hipoksemia pada pasien dengan PaO2 yang tinggi.
2. Keterbatasan proses sinyal
a. Ambient light
Oksimetri nadi juga sensitive terhadap cahaya lingkungan,
salah pembacaan SpO2 dikaitkan dengan lampu pembedahan
(fluorescent dan xenon). Membungkus probe dengan media
transparan akan meminimalisir dampak tersebut.
b. Low perfusion
Oksimetri nadi bergantung pada keadekuatan perfusi arteri
pada kulit sehingga penurunan kardiak output, vasokontriksi,
hipotermia dapat mempersulit sensor untuk membedakan
sinyal yang tepat.

22
c. Motion artifact
Kejadian motion artifacts seperti pasien yang gemetar
merupakan sumber eror pembacaan oksimetri nadi.
3. Hambatan substansi
a. Dishemoglobins
Oksimetri nadi bekerja hanya menggunakan dua jenis sinar
yang hanya bisa membedakan oksihemoglobin dan
deoksihemoglobin. Jadi peningkatan karboksihemoglobin dan
methemoglobin dapat menyebabkan ketidakakuratan
pembacaan oksimetri.
b. Intravenous dyes
Intravenous dyes seperti methylene blue, indocyanine green,
dan indigo carmine dapat menyebabkan salah pembacaan
SpO2.
c. Pigmentasi kulit dan pigmen lain
Ketidakakuratan pembacaan oksimetri tergantung pada
pigmen pasien. Studi secara acak, menemukan bahwa pada
pasien kritis, adanya bias lebih dari 4% lebih sering terjadi
pada pasien berkulit hitam (27%) daripada pasien berkulit
putih (11%). Cat kuku (berwarna biru, hijau, hitam)
menyebabakan ketdakakuratan pembacaan oksimetri. Namun
bisa diatasi dengan meletakkan probe oksimetri pada sisi
samping. Cat kuku akralik tidak menghambat pembacaan.
4. Keterbatasan pengetahuan teknis
Banyak pengguna yang memiliki keterbatasan pengetahuan
mengenai oksimetri nadi. Sebuah studi melaporkan 30% tenaga
medis dan 93% perawat berpikir bahwa oksimetri nadi mengukur
PaO2. Kurang dari 50% perawat dan tenaga medis yang dapat
mengidentifikasi bahwa motion artifact, aritmia, dan cat warna
kuku dapat mempengaruhi hasil bacaan oksimetri nadi.

2.4 End Tidal CO2


End tidal carbondioxide adalah presentasi konsentrasi atau tekanan parsial
karbondioksida pada akhir ekshalasi (Ortega, et al.2012). ETCO2 adalah jumlah
konsentrasi karbondioksida saat menghembuskan napas. Karbondioksida dapat
diukur secara kualitatif dengan menggunakan colometric CO2 detectors atau
secara kuantitatif menggunakan capnometers.
Capnography
Capnography merupakan alat perawatan standar yang berfungsi untuk
memantau keadekuatan ventilasi pada pasien yang menerima anestesi umum.
Capnography juga digunakan untuk memantau ventilasi pasien saat dilakukan

23
prosedur sementara pasien dalam keadaan moderate or deep sedation.
Capnography merupakan metode non invasive dan pemantauan berlanjut
konsetrasi karbondioksida dan juga dapat menyediakan informasi penting seperti
kondisi metabolic dan pernapasan pasien (Ortega et al. 2012).

Gambar. Monitor Status Kondisi Pasien ICU Melalui Capnography


Capnometry untuk mengukur dan menampilkan konsentrasi karbondioksida
secara numerik. Capnography berfungsi sama namun menampilkan grafik
konsentrasi karbondioksida yang terekshalasi dan terinhalasi pada waktu yang
berbeda. Colometric capnography merupakan metode kualitatif untuk
menentukan konsentrasi karbondioksida dengan menggunakan filter pH
sensitive yang akan mengubah warna dari ungu ke kuning ketika karbondioksida
terdeteksi (Ortega et al, 2012). Perangkat colometric memiliki sensitivitas
terhadap kertas pH yang menyediakan skala warna berdasarkan konsentrasi CO2.
Keakuratan nilai dipengaruhi oleh kelembaban, secret, atau terkontaminasi oleh
isi lambung atau obat yang bersifat asam, namun alat ini aman jika digunakan
pada bayi dan anak-anak yang berat badannya lebih dari 1 kg. Colometric
detectors bersifat semikuantitatif dan tidak bisa mendeteksi hypno atau
hiperkarbia, pasien dengan intubasi bronkus atau intubasi oropharyngeal yang
bernapas spontan. Hasil false-negative bisa terjadi pada pasien yang mengalami
cardiac arrest, obstruksi jalan napas berat, edemapulmonal, dan bayi dengan
hipnokarbia berat (Baren, 2007).

Gambar. Detektor colometric karbondioksida (Ortega, 2012)

24
Pa CO2 diartikan sebagai tekanan parsial karbondioksida pada darah arteri.
End tidal carbondioxide (EtCO2) merupakan presentase konsentrasi, atau
tekanan parsial karbondioksida pada akhir ekshalasi. Hiperkapnea dan
hiperkarbia berarti nilai PaCO2 lebih besar daripada normal. Hipokapnea dan
hipokarbia berarti tekanan PaCO2 lebih rendah daripada normal.
Prinsip Cara Kerja
Capnography didasarkan pada konsentrasi karbondioksida yang terekshalasi
melalui siklus pernapasan. Cahaya infrared pada capnography akan melalui gas
kemudian disampaikan pada detektor infrared. Ketika konsentrasi
karbondioksida meningkat, intensitas cahaya yang mengenai detektor akan
meningkat. Karbondioksida secara kuat akan menyerap cahaya infrared dengan
panjang gelombang 4.3 um sehingga dengan panjang gelombang tersebut akan
meminimalisir hambatan dari gas lain yang mungkin saja ada (seperti uap air,
oksigen, dan nitrat oksida) dan agen anestetis lain.
Terdapat dua jenis capnographs yakni mainstream capnographs
menggunakan sensor yang ditempatkan langsung di jalan napas ventilator dan
sidestream capnographs menarik keluar gas dari jalan napas ventilator untuk
dipisahkan ke sensor gas. Respon alat sidestream untuk menghitung konsentrasi
karbondioksida akan membutuhkan waktu beberapa detik, karena gas harus
disalurkan terlebih dahulu ke sampling line sebelum dapat dianalisis. Namun,
sidestream capnograph akan lebih nyaman digunakan oleh pasien yang tidak
terintubasi jika pasien sudah menggunakan masker atau nasal kanul untuk
memonitor pernapasan. Nasal kanul dan masker yang terintegrasi dengan
karbondioksida sampling line juga sudah tersedia secara kormesial. Untuk
menghindari terjadinya hambatan aliran gas ke sampling line dan meminimalisir
kemungkinan trauma pada kulit, pastikan orifice tidak diletakkan berlawanan
dengan kulit pasien (Ortega et al. 2012).

Gambar. Mainstream line capnography (Zoll.com, 2015)

25
Gambar. Sidestream karbondioksida sampling line ysng terhubung dengan
jalan pernapasan dan Masker yang diintegrasikan dengan sidestream
karbondioksida sampling (Ortega et al.2012)

Capnography digunakan pada ruang operasi untuk membantu pemasangan


selang endotrakeal dan memonitor ventilasi. Capnography mulai banyak
digunakan untuk mengkaji keadekuatan ventilasi dan memonitor pasien dengan
hiperkapnea atau hipokapnea pada ruang perawatan seperti ICU, PCU
(postanesthesia care unit), UGD, dan ambulans, laboratoium kateterisasi
jantung. Level karbondioksida terkadang dipantau saat resusitasi
kardiopulmonal untuk membantu menentukan pemasangan segera selang
endotrakeal dan mengkaji keefektifan resusitasi. Meskipun pulse oximetry
digunakan untuk mengkaji oksigenasi, capnography menyediakan informasi
lebih pada status ventilasi pasien. Namun, capnography tidak memantau
oksigenasi, hipoksemia mungkin saja terjadi pada pasien namun capnography
menggambarkan normal (Ortegaet al.2012).
Indikasi penggunaan Capnography
1. Evaluasi ekshalasi CO2 khususnya EtCO2, yang tekanan parsial maksimum
CO2 terekshalasi terjadi sebelum awal inspirasi.
2. Pemantauan tingkat keparahan penyakit paru-paru dan evaluasi respon
terapi yang diberikan, khususnya terapi yang memicu peningkatan rasio
dead space-volume tidal, kesesuaian rasio ventilasi-perfusi, dan terapi yang
meningkatkan aliran darah jantung.
3. Menentukan bahwa penempatan trakeal intubasu daripada esophageal
intubasi.
4. Pemantauan penggunaan alat ventilator, termasuk jalan napas buatan

26
5. Evaluasi efisiensi pemakaian ventilator mekanik dengan menentukan rasio
antara partial pressure of arterial CO2 (PaCO2) dan PEtCO2 parsial.
6. Mengukur volume eliminasi CO2 agar dapat memantau rasio metabolic dan
ventilasi alveolar
7. Pemantauan keadekuatan aliran darah pulmonal dan jantung
8. Pemantauan CO2 yang terhirup apabila terdapat pemberian CO2 sebagai
terapi.
Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi penggunaan capnography, selama digunakan untuk
memperoleh data untuk mengevaluasi pasien dalam keadaan kritis. Namun
umumnya capnography digunakan untuk memantau semua pasien (Ortega, et al.
2012).
Nursing Consideration (Williams & Wilkins, 2009):
1. Menjelaskan prosedur kepada pasien dan keluarganya
2. Mengkaji status respirasi pasien, tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dan
level ETCO2. Amati kualitas gelombang ETCO2 dan amati apabila terdapat
peningkatan level (mungkin mengindikasikan hipoventilasi, obstruksi jalan
napas parsial, atau respiratory depressant akibat obat-obatan), atau
penurunan level (akibat obtruksi jalan napas total, selang ET yang tergeser).
Komplikasi
Penggunaan capnography secara umum aman, meskipun begitu masih sedikit
menimbulkan resiko yang merugikan. Pada mainstream analyzer, penggunaan
sampling window yang terlalu besar akan menimbulkan jumlah dead space yang
terlalu banyak pada tampilan ventilator. Mainstream generasi lama, dimana
sensornya menggunakan panas untuk menghambat terjadinya kondensasi dan
mencegah kesalahan pembacaan hasil, panas tersebut akan meningkatkan resiko
kulit pasien terbakar. Untuk mengurangi resiko ekstubasi accidental, maka
kewaspadaan perlu diperhatikan untuk meminimalisir jumlah jalan napas buatan
yang ditempatkan (Ortega,et al.2012).
Menurut William dan Wilkins (2009), komplikasi yang dapat timbul antara
lain:
1. Pengukuran yang tidak akurat dikarenakan teknik sampling yang buruk,
calibration drift, terkontaminasi oleh lembab atau secret, atau peralatan
yang malfungsi sehingga dapat menyebabkan kesalahan diagnosis dan
perawatan yang tidak tepat.
2. Efek resusitasi manual atau ingesti alcohol atau makanan dengan karbonat
dapat mengubah pembacaan detektor.
3. Perubahan warna yang terdeteksi setelah kurang dari enam kali ventilasi
dapat menyebabkan salah diagnosis.
Signifikasi Klinis Pemantauan Tingkat EtCO2
EtCO2 yang ideal, monitor menyediakan baik numeric dan grafis gelombang
display. Tampilan pada monitor merupakan konsentrasi tertinggi karbon

27
dioksida mencapai pada akhir pernapasan dan dianggap mewakili gas alveolar,
yang di bawah pencocokan ventilasi-perfusi yang normal di paru-paru sejajar
tingkat arteri karbon dioksida. Dengan demikian, akhir tidal tekanan karbon
dioksida (PEtCO2) dianggap perkiraan non-invasif status ventilasi alveolar
pasien dengan korelasi erat dengan tekanan karbon dioksida arteri (PaCO2)
dalam kondisi normal.
Sayangnya kecuali pasien memiliki status stabil jantung, suhu tubuh stabil,
tidak adanya penyakit paru-paru, dan capnogram normal, PEtCO2 akan tidak
akurat mencerminkan PaCO2. Oleh karena itu, penggunaan kapnografi pada
pasien dengan gagal napas yang berat harus ditafsirkan dengan hati-hati
peningkatan ventilasi untuk perfusi (V/Q) mismatch yang konsisten dengan
peningkatan PaCO2 perbedaan PEtCO2 atau gradient, serta memburuknya
retensi karbon dioksida arteri dan meningkatkan produksi karbon dioksida
perifer, dapat menyebabkna nilai PEtCO2 salah. Arteri yang normal untuk
mengakhiri-tidal CO2 gradien adalah sekitar 1 sampai 5 mmHg tetapi mungkin
setinggi 20 mmHg atau lebih tinggi bila V merata / pola Q terjadi seperti ketika
ventilasi lebih besar dari perfusi. Karena V/Q pencocokan pada pasien sakit
kritis sering tidak normal, nilai PEtCO2 harus dievaluasi dengan hati-hati

Gambar. normal gelombang karbon dioksida yang khas A ke B, pernapasan


gas karbon dioksida bebas dari ruang mati. B ke C, kombinasi ruang mati dan
gas alveolar. C ke D, pernapasan gas sebagian besar alveolar (alveolar dataran
tinggi). D, end-tidal titik yaitu pernapasan karbon dioksida pada titik maksimum.
D ke E, inspirasi dimulai dan konsentrasi karbon dioksida dengan cepat jatuh
baseline atau nol.
Interpretasi hasil (pembentukan gelombang)
Normal Capnogram

Gambar 1: Normal Capnogram

28
Karakteristik gelombang :
A-B Baseline / Dasar
B-C Ekspirasi garis naik
C-D Ekspirasi plato
D Konsentrasi End-tidal
D-E Inspirasi

Increasing EtCO2 Level

Gambar 2: Increasing EtCO2 Level


Terjadinya peningkatan EtCo 2 dari gelombang sebelumnya. Hal ini
diakibatkan oleh:
1. Penurunan napas (Hypoventilasi)
2. Penurunan tidal volume (Hiperventilasi)
3. Peningkatan metabolism
4. Peningkatan drastic pada temperatur tubuh (Malignant Hypertermia)

Decreasing EtCO2 level

Gambar 3: Decreasing EtCO2 level


Terjadinya penurunan EtCO2 dari gelombang sebelumnya. Hal ini
diakibatkan oleh:
1. Peningkatan napas (Hiperventilasi)
2. Peningkatan tidal volume (Hipoventilasi)
3. Penurunan metabolism
4. Penurunan temperature tubuh

Rebreathing

Gambar 4: Rebreathing

29
Elevasi pada dasar gelombang mengindikasikan rebreathing. Hal ini
diakibatkan oleh:
1. Kegagalan pada katup pernapasan
2. Aliran inspirasi yang tidak adekuat
3. Malfungsi pada system arbsorbsi CO2
4. Rangkaian rebreathing parsial
5. Kurangnya waktu ekspirasi

Obstruction in breathing circuit or airway

Gambar 5: Obstruction in breathing circuit or airway


Perubahan kemiringan dari kaki gelombang capnogram yang seharusnya naik
akibat dari obstruksi arus ekspirasi gas (plato ekspirasi menghilang). Hal ini
diakibatkan oleh:
1. Obstruksi dari tungkai ekspirasi pada rangkaian napas
2. Adanya benda asing pada pernapasan bagaian atas
3. Jalur napas buatan yang tertekuk atau tersumbat
4. Bronkospasme

Muscle Relaxant (Curare Cleft)

Gambar 6: Muscle Relaxant (Curare Cleft)


Sumbing dapat muncul pada bagian plato dari capnogram.hal ini terjadi
akibat dari reaksi relaxant otot yang mulai mereda dan venous return spontan.
Karakteristik dari bentuk ini adalah:
1. Kedalaman dari sumbing sesuain dengan derajat dari aktivitas obat
2. Posisinya cenderung sama pada tiap pasien, tapi tidak selalu muncul pada
tiap napas.

Keterbatasan Monitoring Capnography (Hess et al, 2012)


Pengukuran EtCO2 tidak bisa mengindikasikan adanya peningkatan alveolar
dead space ketika kardiak output menurun yang diikuti dengan menurunnya
perfusi alveolar atau maldistribusi serta oklusi aliran darah pulmonal segmental
(Papadakos & Lachmann, 2007)

30
1. Pada sick neonates, capnography sulit memperoleh gas alveolar yang tidak
bercampur dengan gas dari jalan napas.
2. Bacaan capnography hanya menggambarkan perubahan status ventilasi
pasien daripada peningkatan atau penurunan pertukaran gas (Chang, 2014).
3. Komposisi percampuran gas pernapasan mungkin mempengaruhi
capnogram, bergantung pada teknologi yang digunakan: spectrum infra red
CO2 memiliki beberapa persamaan dengan spectrum oksigen dan nitrat
oksida.
4. Frekuensi napas mempengaruhi capnograph. Frekuensi napas yang
meningkat mungkin melebihi kemampuan respon capnograph.
5. Adanya gas freon pada gas pernapasan dapat meningkatkan kesalahan
bacaan CO2.
6. Monitor atau sistem sampling yang terkontaminasi oleh sekresi atau uap,
penggunaan selang sampling yang terlalu panjang atau obstruksi pada
chamber sampling dapat menyebabkan hasil yang salah.
7. Penggunaan filter antara jalan napas pasien dan sampling line capnograph
menyebabkan bacaan PEtCO2 yang rendah.
8. Penurunan kardiak output menyebabkan hasil yang false-negatif ketika
menempatkan ETT pada trakea.
9. Penurunan volume tidal pada neonates dan pediatric
10. Pengukuran CO2 (terekshalasi) yang tidak akurat disebabkan karena
kebocoran gas dari pasien atau sistem ventilator.

2.5 BGA
Pengukuran Blood Gas Analysis (BGA) adalah untuk memperoleh
pengkajian dari keadekuatan dari oksigenasi dan ventilasi, untuk mengevaluasi
status asam-basa dengan memastikan komponen respirasi dan non-respirasi, dan
memonitor keefektifitasan dari terapi (contoh, suplemen oksigen). BGA
digunakan juga untuk memantau pasien kritis, untuk menetapkan nilai awal
periode perioperatif dan pasca operasi, untuk menyesuaikan kadar aliran oksigen
rata-rata, dan dalam hubungannya dengan pengujian fungsi pulmonal. Arteri
radial biasanya merupakan tempat pilihan, tapi arteri brakialis dan femoralis juga
bisa digunakan. Sampel dapat diambil dari batang arterial langsung atau dari
garis arteri yang tinggal.

Nilai Normal untuk Gas Darah Arteri dan Studi Elektrolit Biasa
Dewasa Pediatrik
pH 7.35 – 7.45 7.32 – 7.42
PaCO2 35 – 45 mmHg (4.6 – 5.9 kPa) 30 – 40 mmHg (4.0 – 5.3
kPa)
PaO2 >80 mmHg (>10.6 kPa) 80 – 100 mmHg (10.6 –
13.3 kPa)

31
SaO2 >94 % (>0.94)
Konten CO2 45 – 51 vol% (19.3 – 22.4 mmol/L)
Konten O2 15–22 vol % (6.6–9.7 mmol/L)
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan sample Blood Gas Analysis
(BGA) antara lain :
1. Tindakan fungsi arteri harus dilakukan oleh perawat yang sudah terlatih
2. Gunakan spuit khusus untuk pengambilan BGA (spuit sudah mengandung
heparin). Apabila tidak ada spuit yang digunakan untuk mengambil darah
sebelumnya diberi heparin untuk mencegah darah membeku.
3. Kaji ambang nyeri klien, apabila klien tidak mampu menoleransi nyeri,
berikan anestesi lokal
4. Bila menggunakan arteri radialis, lakukan test allent untuk mengetahui
kepatenan arteri
Contoh allen’s test:

Cara allen’s test:


Minta klien untuk mengepalkan tangan dengan kuat, berikan tekanan
langsung pada arteri radialis dan ulnaris, minta klien untuk membuka
tangannya, lepaskan tekanan pada arteri, observasi warna jari-jari, ibu jari
dan tangan. Jari-jari dan tangan harus memerah dalam 15 detik, warna
merah menunjukkan test allen’s positif. Apabila tekanan dilepas, tangan
tetap pucat, menunjukkan test allen’s negatif. Jika pemeriksaan negatif,
hindarkan tangan tersebut dan periksa tangan yang lain.
5. Untuk memastikan apakah yang keluar darah vena atau darah arteri, lihat
darah yang keluar, apabila keluar sendiri tanpa kita tarik berarti darah arteri
6. Apabila darah sudah berhasil diambil, goyangkan spuit sehingga darah
tercampur rata dan tidak membeku
7. Lakukan penekanan yang lama pada bekas area insersi (aliran arteri lebih
deras daripada vena).
8. Keluarkan udara dari spuit jika sudah berhasil mengambil darah dan tutup
ujung jarum dengan karet atau gabus.
9. Ukur tanda vital (terutama suhu) sebelum darah diambil
10. Segera kirim ke laboratorium

32
A. Prosedur untuk pengambilan Blood Gas Analysis (BGA) sebagai berikut:
a. Alat
1. Spuit gelas atau plastik 5 atau 10 ml
2. Botol heparin 10 ml, 1000 unit / ml (dosis multi)
3. Jarum nomor 22 atau 25 (bevel pendek)
4. Penutup udara dari karet
5. Kapas alcohol
6. Wadah berisi es ( baskom atau kantong plastik )
7. Beri lebel untuk menulis status klinis pasien yang meliputi :
a) Nama, tanggal, dan waktu
b) Apakah menerima O2 dan bila ya berapa banyak dan dengan rute apa
c) Suhu
b. Teknik
1. Arteri radialis umumnya dipakai meskipun brakhialis juga dapat
digunakan
2. Bila menggunakan pendekatan arteri radialis lakukan tes Allen’s.
3. 1 ml Heparin diaspirasi kedalam spuit, sehingga dasar spuit basah dengan
heparin, dan kelebihan heparin dibuang melalui jarum, dilakukan perlahan
sehingga pangkal jarum penuh dengan heparin dan tak ada gelembung
udara.
4. Arteri brakialis atau radialis dilokalisasi dengan palpasi dengan jari tengah
dan jari telunjuk, dan titik maksimum denyut ditemukan. Bersihkan tempat
tersebut dengan kapas alkohol.
5. Jarum dimasukkan dengan perlahan kedalam area yang mempunyai
palpasi penuh. Ini akan paling mudah dengan memasukkan jarum dan spuit
kurang lebih 45-90 derajat terhadap kulit.
6. Sering kali jarum masuk menembus pembuluh arteri dan hanya dengan
jarum ditarik perlahan darah akan masuk ke spuit.
7. Indikasi satu-satunya bahwa darah tersebut darah arteri adalah adanya
pemompaan darah kedalam spuit dengan kekuatannya sendiri.
Bila kita harus mangaspirasi darah dengan menarik plunger spuit. Ini
kadang-kadang diperlukan pada spuit plastik yang terlalu keras. Sehingga
tak mungkin darah tersebut positif dari arteri. Hasil gas darah tidak
memungkinkan kita untuk menentukan apakah darah dari arteri atau dari
vena.
8. Setelah dara 5 ml diambil, jarum dilepaskan dan petugas yang lain
menekan area yang dipungsis selama sedikitnya 5 menit (10 menit untuk
pasien yang mendapat antikoagulan)
9. Gelembung udara harus dibuang keluar spuit. Lepaskan jarum dan
tempatkan penutup udara pada spuit. Putar spuit diantara telapak tangan
untuk mencampurkan heparin.

33
10. Spuit diberi lebel dan segera tempatkan dalam es atau air es, kemudian
bawa ke laboratorium.
11. Catatan:
a) Bila saturasi O2 juga diukur, ini memberikan pencocokan-silang untuk
keakuratan PO2 (gunakan PO2 dan pH untuk menghitung saturasi O2
pada aturan mikroskopik gas darah dan melihat apakah saturasi O 2
yang dihitung ini sesuai dengan saturasi O2 yang diukur ditambah
karboksihemoglobin (saturasi O2 yang terhitung = saturasi O2 yang
diukur + karboksihemoglobin)
b) Bila kandungan CO2 juga diukur, ini memberikan pencocokan-silang
untuk keakuratan PCO2 ( gunakan PCO2 dan pH untuk menghitung
kandungan CO2 pada aturan mikroskopik gas darah dan melihat
apakah kandungan CO2 yang dihitung sesuai dengan kandungan CO2
yang diukur)
c) Cara lain untuk meyakinkan keakuratan yaitu dengan melakuakn tes
duplikat ada dua penganalisa gas darah yang berbeda. Bila ada
perbedaan dalam dua penentuan, tes harus dilakuakan untuk ketiga
kalinya.
d) Teknisi melakukan analisa dan harus melaporkan adanya kecurigaan
bahwa hasil tidak benar. Contoh:
1. Bila spuit datang dengan ada gelembung udara
2. Bila saturasi O2 yang dihitung dan dan saturasi O2 yang di ukur
tidak sesuai
3. Bila kandungan CO2 yang dihitung dan kandungan CO2 yang
diukur tidak sesuai.
B. Langkah-langkah untuk menilai gas darah sebagai berikut:
1. Pertama-tama perhatikan pH (jika menurun klien mengalami asidemia,
dengan dua sebab asidosis metabolik atau asidosis respiratorik; jika
meningkat klien mengalami alkalemia dengan dua sebab alkalosis
metabolik atau alkalosis respiratorik; ingatlah bahwa kompensasi ginjal
dan pernafasan jarang memulihkan pH kembali normal, sehingga jika
ditemukan pH yang normal meskipun ada perubahan dalam PaCO2 dan
HCO3 mungkin ada gangguan campuran)
2. Perhatikan variabel pernafasan (PaCO2) dan metabolik (HCO3) yang
berhubungan dengan pH untuk mencoba mengetahui apakah gangguan
primer bersifat respiratorik, metabolik atau campuran (PaCO2 normal,
meningkat atau menurun; HCO3 normal, meningkat atau menurun; pada
gangguan asam basa sederhana, PaCO2 dan HCO3 selalu berubah dalam
arah yang sama; penyimpangan dari HCO3 dan PaCO2 dalam arah yang
berlawanan menunjukkan adanya gangguan asam basa campuran).
3. Langkah berikutnya mencakup menentukan apakah kompensasi telah
terjadi (hal ini dilakukan dengan melihat nilai selain gangguan primer, jika

34
nilai bergerak yang sama dengan nilai primer, kompensasi sedang
berjalan).
4. Buat penafsiran tahap akhir (gangguan asam basa sederhana, gangguan
asam basa campuran).
Istilah Asam-Basa
Pengukuran pH : Hanya satu-satunya cara untuk memberitahukan
bila tubuh terlalu asam atau terlalu alkali
Asidemia : Kondisi asam darah pH < 7.35
Alkelemia : Kondisi alkalin darah pH > 7,45
Asidosis : Proses penyebab asidemia
Alkalosis : Proses penyebab alkalemia

Bila angka lebih rendah dari 7,35, terjadi asidemia dan bila lebih
tinggi dari 7,45 terjadi alkelemia. Asidemia berarti kondisi dimana darah
terlalu asam. Asidosis berarti proses pada pasien yang menyebabkan
asidemia. Kata sifat dari proses ini adalah asidotik. Alkalosis berarti proses
pada pasien yang menyebabkan alkalamia, dan kata sifat proses ini adalah
alkalotik.
Perhatian yang besar terhadap hal ini telah diberian untuk
mendefenisikan istilah karena akan ada lebih dari satu proses yang terjadi
pada pasien pada waktu yang bersamaan. Sebagai contoh bila asidosis dan
alkalosis terjadi bersamaan, pH menunjukkan proses mana yang lebih kuat
diantara keduanya. pH dibawah 7,35 bila asidosis lebih kuat, di atas 7,45
bila alkalosis lebih kuat, dan diantara 7,35 dan 7,45 bila asidosis dan
alkalosis hampir sama kuatnya. Nilai pH darah menunjukkan rata-rata
asidosis dan alkalosis yang terjadi.
C. Tanda, gejala, dan penanganan pada gangguan asam basa
Gangguan
Penyebab Tanda dan Gejala Penanganan
Asam-Basa
Asidosis Pada kondisi asidosis Tanda-tanda narkosis Pengobatan ditujukan
Respiratorik respiratorik terjadi CO2 : untuk memperbaiki
peningkatan CO2 1. Sakit kepala ventilasi; Hasil yang
tepat berbeda dengan
dalam tubuh. Hal ini 2. Letargi
penyebab ventilasi yang
terjadi pada kasus 3. Mengantuk tidak memadai (Gennari,
hipoventilasi 4. Koma 2005). Agen
sehingga terjadi 5. Peningkatan farmakologis digunakan
peningkatan CO2 frekuensi jantung seperti yang
dalam tubuh akibat 6. Hipertensi ditunjukkan. Untuk
pemeriksaan kesehatan,

35
dari terhambatnya 7. Berkeringat bronkodilator membantu
proses pengeluaran 8. Penurunan mengurangi kejang
CO2. responsivitas bronkial, antibiotik
digunakan untuk infeksi
(pH˂7.35, PaCO2˃45 9. Tremor/asteriksis
pernafasan, dan
mmHg) 10. Papiledema trombolitik atau anti
11. Dipsnea (bisa ada koagulan digunakan
atau tidak) untuk emboli paru.
Langkah-langkah
kebersihan paru dimulai,
bila diperlukan, untuk
membersihkan saluran
pernapasan lendir dan
drainase purulen. Hidrasi
yang memadai (2 sampai
3 L/hari) diindikasikan
untuk menjaga
kelembaban selaput
lendir dan dengan
demikian memudahkan
pengangkatan sekresi.
Oksigen tambahan
dibutuhkan bila
dibutuhkan.
Ventilasi mekanis, yang
digunakan dengan tepat,
mungkin bisa
membuktikan ventilasi
pulmoner. Ventilasi
mekanis yang tidak tepat
(misalnya, ruang mati
yang meningkat,
pengaturan tingkat atau
volume yang tidak
mencukupi, fraksi
oksigen terinspirasi
[FiO2] yang tinggi
dengan produksi CO2
yang berlebihan) dapat
menyebabkan ekskresi
CO2 yang cepat sehingga
ginjal tidak mampu
menghilangkan sedikit
kandungan bikarbonat
cukup cepat mencegah
alkalosis dan
kejang. Untuk alasan ini,

36
PaCO2 yang meningkat
harus diperbaiki secara
perlahan. Menempatkan
pasien dalam posisi semi-
fowler memfasilitasi
perluasan dinding dada.
Alkalosis Pada kondisi alkalosis Gejala tidak jelas : Pengobatan tergantung
Respiratori respiratorik terjadi 1. Pusing pada penyebab alkalosis
penurunan CO2 2. Kebas pernafasan. Jika
penyebabnya adalah
dalam tubuh. Hal ini 3. Kesemutan
kecemasan, pasien
terjadi pada kasus (parastesia) diminta untuk bernapas
hiperventilasi 4. Ekstremitas lebih lambat agar CO2
sehingga terjadi 5. Kram otot menumpuk atau bernafas
penurunan CO2 6. Tetani ke dalam sistem tertutup
dalam tubuh akibat 7. Kejang (seperti kantong kertas).
dari proses 8. Peningkatan Obat penenang mungkin
diperlukan untuk
pengeluaran CO2 refleks tendon
menghilangkan
yang berlebihan. dalam aritmia hiperventilasi pada
(pH˃7.45, PaCO2˂35 9. Hiperventilasi pasien yang sangat
mmHg) cemas. Pengobatan
penyebab lain alkalosis
respi ratory diarahkan
untuk memperbaiki
masalah mendasar
Pasien secara simultan
dapat mengalami dua
atau lebih kelainan asam
basa inde. PH normal
dengan adanya
perubahan konsentrasi
PaCO2 dan plasma
HCO3 segera
menunjukkan adanya
gangguan
campuran. Contoh
gangguan campuran
adalah terjadinya
metabolisme simultan
asidosis dan asidosis
pernapasan selama
penangkapan diare dan
mobil. Satu-satunya
kelainan campuran yang
tidak dapat terjadi adalah
asidosis dan alkalosis

37
pernafasan campuran,
karena tidak mungkin
mengalami hipoventilasi
alveolar dan
hiperventilasi pada saat
bersamaan.
Asidosis Pada kondisi asidosis 1. Hipotensi Pengobatan ditujukan
Metabolik metabolik terjadi 2. Sakit kepala untuk memperbaiki
reaksi antara CO2 + 3. Peningkatan laju ketidakseimbangan
metabolik (Ruholl,
HCO3⁻ menjadi pernapasan dan
2006). Jika masalah
H2CO3 (asam kedalaman akibat asupan klorida
bikarbonat). Terjadi 4. Letargi yang berlebihan,
penumpukan asam 5. Mual dan muntah pengobatan ditujukan
bikarbonat (H2CO3) 6. Syok untuk menghilangkan
terjadi penurunan ion sumber klorida. Bila
karbonat (HCO3⁻) perlu, bikarbonat
diberikan. Meskipun
sehingga perlu
hiperkalemia terjadi
diberikan tambahan dengan asidosis,
ion tersebut dari luar. hipokalemia dapat terjadi
dengan pembalikan
asidosis dan pergerakan
kalium berikutnya
kembali ke dalam sel.
Oleh karena itu, kadar
potassium serum
dipantau secara ketat, dan
hipokalemia dikoreksi
karena asidosis dibalik.
Pada asidosis metabolik
yang kronis, kadar
kalsium serum rendah
diobati sebelum asidosis
metabolik kronis diobati,
untuk menghindari tetan
akibat kenaikan pH dan
penurunan pada kalsium
terionisasi. Modalitas
perawatan juga bisa
termasuk hemodialisis
atau dialisis peritoneal.
Alkalosis Pada alkalosis Non-spesifik : Pengobatan kedua
Metabolik metabolic terjadi 1. Refleks hiperaktif alkalosis metabolik akut
peningkatan ion 2. Tetani dan kronis ini ditujukan
untuk memperbaiki
karbonat, hal ini 3. Hipertensi
gangguan asam basa

38
terjadi karena tidak 4. Kram otot (Gennari, 2005; Ruholl,
ada pembentukan 5. Kelemahan 2006). Karena volume
asam karbonat di deplesi dari kehilangan
GI, cairan pasien I & O
dalam tubuh. Defek
harus dipantau dengan
mekanisme yang hati-hati.
dilakukan oleh tubuh
yaitu ginjal berusaha Klorida yang cukup
harus diberikan untuk
mengeluarkan ion
ginjal ke natrium sorb
karbonat. dengan klorida
(membiarkan ekskresi
kelebihan
bikarbonat). Pengobatan
juga mencakup
pemulihan volume cairan
normal dengan
pemberian cairan natrium
klorida (menyebabkan
penurunan volume terus-
menerus mengabadikan
alkalosis). Pada pasien
hipoglikemia, potassium
diberikan sebagai
pengganti KCl untuk
mengganti kerugian K
dan Cl. Antagonis
reseptor H2, seperti
simetidin (Tagamet),
mengurangi produksi
HCl lambung, sehingga
menurunkan
metabolisme al kalosis
yang terkait dengan isap
lambung. Penghambat
anhidrase karbonat
berguna dalam
mengobati alkalosis
metabolik pada pasien
yang tidak dapat
mentolerir ekspansi
volume yang cepat
(misalnya, pasien dengan
gagal jantung).

39
BAB 3
PENUTUP

3.1 Simpulan
Pasien yang mengalami kegawatdaruratan sistem pernapasan, membutuhkan
kewaspadaan dalam memonitor status pernapasan pasien melalui pembacaan hasil
SaO2, SpO2, EtCO2, dan BGA, agar segera mendapatkan intervensi yang sesuai dan
tepat. Intervensi yang segera, tepat dan benar diharapkan tidak merugikan dan
memperburuk keadaan pasien. Kegawatdaruratan sistem pernapasan pasien
diperlukan ketanggapan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan sehingga
keadaan pasien bisa ditangani.

3.2 Saran
Sebagai seorang perawat sebaiknya kita mengetahui asuhan keperawatan pada
klien dengan kondisi kegawatan sistem pernapasan dengan selalu memonitoring
fungsi pernapasan melalui nilai dari SaO2, SpO2, EtCO2, dan BGA dengan jelas
agar dapat menunjang keahlian perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
kepada klien secara tepat, sehingga pelayanan yang diberikan sesuai dan dapat
menghindari kematian dan kecacatan pasien serta memperbaiki kondisi klien.

40
DAFTAR PUSTAKA

Andriyani, Rika, dkk. 2015. Buku Ajar Biologi Reproduksi dan Perkembangan.
Yogyakarta: Deepublish
Brunner, L. S. (2010). Brunner & Suddarth's textbook of medical-surgical
nursing (Vol. 1). Lippincott Williams & Wilkins.
Carefusion. (2010). Caphnography Handbook: Respiratosy Critical Care.
Germany: Carefusion
Fischbach, F. T., & Dunning, M. B. (2014). A manual of laboratory and diagnostic
tests. Lippincott Williams & Wilkins
Gennari, F. J. (2005). Acid-base disorders and their treatment. Boca Raton, FL:
Taylor & Francis Group LLC
Heitz, U. & Horne, M. (2005). Pocket guide to fluid, electrolyte, and acid-base
balance (5th ed.). St. Louis: Elsevier Mosby
Kee, J. 2007. Pedoman Pemeriksaan Diagnostik. Jakarta: EGC.
Linda, Y. (2010). Capnography Handbook Respiratory Critical Care. Hoechberg
Germany: carefusion.com.
Porth, C. M. & Matfin, G. (2009). Pathophysiology: Concepts of altered health
states (8th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Ruholl, L. (2006). Arterial blood gases: Analysis and nursing responses. MedSurg
Nursing, 15(5), 343–350
Soemantri, I. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: salemba medika

41

Anda mungkin juga menyukai