Anda di halaman 1dari 20

LEARNING OBJECTIVE

SKENARIO 4

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF


“Napasku Tidak Seperti Biasanya”

DISUSUN OLEH

NAMA : RATNA SARI DEWI

STAMBUK : N 101 20 001

KELOMPOK : 1 (SATU)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TADULAKO

2021
Learning Objective:

1. Mahasiswa mengetahui etiologi PPOK


2. Mahasiswa mengetahui patofisiologi PPOK (hubungannya dengan
overweight)
3. Mahasiswa mengetahui epidemiologi PPOK (berdasarkan jenis kelamin,
usia, dan pekerjaan)
4. Mahasiswa mengetahui prognosis PPOK
5. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan penunjang PPOK (radiologi &
analisis gas darah)
6. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan kasus PPOK dan
kegawatdaruratan asma
7. Mahasiswa mengetahui komplikasi PPOK
8. Mahasiswa mengetahui diangnosis banding PPOK
9. Mahasiswa mengetahui tanda dan gejala PPOK (Barrel chest, dll)
10. Mahasiswa mengetahui prinsip pencegahan PPOK
11. Mahasiswa mengetahui faktor resiko PPOK
Pembahasan :

1. Mahasiswa mengetahui etiologi PPOK


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat
dicegah dan diobati, biasanya akan ditandai dengan gejala pernapasan
berkepanjangan dan hambatan aliran udara kronik akibat kelainan di alveolus
atau saluran napas umumnya disebabkan karena paparan partikel atau gas
berbahaya. Pajanan asap rokok dan partikel berbahaya lainnya yang menuju
ke saluran napas dapat menyebabkan inflamasi saluran napas, inflamasi ini
dapat memicu datangnya neutrofil ke bronkiolus dan alveolus sehingga terjadi
peningkatan enzim neutrophil elastase dan matrix metalloproteinase yang
mendegranasi elastin. (Setiati, 2014)
2. Mahasiswa mengetahui patofisiologi PPOK
PPOK adalah kondisi peradangan yang melibatkan saluran udara,
parenkim paru, dan pembuluh darah paru. Patogenesis PPOK meliputi
beberapa proses yakni, ketidakseimbangan inflamasi-anti inflamasi, protease-
antiprotease, oksidan-antioksidan, stress oksidatif, dan apotosis. Keempat
mekanisme dasar tersebut tidak berjalan sendiri tetapi saling berinteraksi
menyebabkan kerusakan saluran napas dan paru yang bersifat ireversibel,
termasuk diantaranya adalah kerusakan jaringan elastic alveoli, airway
remodeling, dan fibrosis (Agarwal, 2021; Sholihah, 2019).
Emfisema menggambarkan salah satu perubahan struktural disebabkan
oleh PPOK, di mana ada penghancuran kantung udara alveolar (permukaan
pertukaran gas paru-paru) yang mengarah ke fisiologi obstruktif. Pada
emfisema, iritan (misalnya, merokok) menyebabkan respons inflamasi.
Neutrofil dan makrofag diaktifkan dan melepaskan beberapa mediator
inflamasi. Oksidan dan kelebihan protease menyebabkan kerusakan kantung
udara. Penghancuran elastin yang dimediasi oleh protease menyebabkan
hilangnya rekoil elastis dan mengakibatkan kolaps jalan napas selama
ekshalasi (Agarwal, 2021).
Respon inflamasi dan obstruksi jalan napas menyebabkan penurunan
volume ekspirasi paksa (FEV1) dan kerusakan jaringan menyebabkan
keterbatasan aliran udara dan gangguan pertukaran gas. Hiperinflasi paru-
paru sering terlihat pada studi pencitraan dan terjadi karena terperangkapnya
udara dari kolaps jalan napas selama pernafasan. Ketidakmampuan untuk
menghembuskan napas sepenuhnya juga menyebabkan peningkatan kadar
karbon dioksida (CO2). Seiring perkembangan penyakit, gangguan pertukaran
gas sering terlihat. Penurunan ventilasi atau peningkatan ruang mati fisiologis
menyebabkan retensi CO2. Eksaserbasi akut PPOK sering terjadi dan
biasanya terjadi karena pemicu (misalnya, pneumonia bakteri atau virus,
iritasi lingkungan (Agarwal, 2021).
3. Mahasiswa mengetahui epidemiologi PPOK (berdasarkan jenis kelamin,
usia, dan pekerjaan)
World Health Organization (WHO) memperkirakan akan terjadi
peningkatan prevalensi PPOK di masa depan. Hal ini berkaitan dengan
industrialisasi yang meningkatkan polusi udara dan lingkungan serta
kebiasaan merokok yang meningkat. PPOK akan menjadi penyakit penting
pada dekade yang akan datang serta banyak masalah yang dapat
ditimbulkannya (Susanto, 2021). Penyakit paru obstruktif kronik merupakan
penyebab kematian nomor empat di dunia dan diperkirakan akan menjadi
penyebab insidens kesakitan dan penyebab kematian nomor tiga pada tahun
2020. Pasien meninggal akibat PPOK mencapai tiga juta orang setara dengan
6% dari keseluruhan kematian dunia pada tahun 2012 (Sholihah, 2019).
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 PPOK
menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia.
Prevalensi PPOK di dunia pada populasi dewasa bervariasi dengan presentasi
4%-10%. Penelitian di Amerika Serikat pada populasi usia 25-75 tahun dari
tahun 1971-2000 menunjukkan prevalensi PPOK ringan 6,9% dan PPOK
sedang 6,6%. Penelitian COPD working group di 12 negara Asia Pasifik
mendapatkan rerata prevalensi PPOK 6,3% dengan masing-masing negara
bervariasi seperti 3,5 % di Hongkong, 6,7% di Vietnam dan di Indonesia
sebesar 5,6%.13 Pada sebuah penelitian tahun 2012 di Asia Pasifik
menunjukkan prevalensi PPOK 6,2% dan untuk di Indonesia sebesar 4,5%.
Penelitian di Vietnam dan Indonesia tahun 2015 menemukan prevalensi
PPOK pada bukan perokok adalah 6,9% (Susanto, 2021).
4. Mahasiswa mengetahui prognosis PPOK
Prognosis PPOK tergantung indikator prognostic PPOK. Indikator
prognostic PPOK yaitu FEV1, tingkat respon jalan napas, IMT rendah,
infeksi HIV, penurunan kapasitas olahraga, peningkatan CRP, jenis kelamin
laki-laki, dan adanya emfisema pada pemeriksaaan CT-Scan. (Setiati, 2014)
5. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan penunjang PPOK (radiologi &
analisis gas darah)
- Pemeriksaan radiologi
Spirometri (FEV1/FVC <70%), arus puncak ekspirasi <20%, foto toraks
(hiperinflasi, oligemia, dan peningkatan corak paru) dan CT-Scan (tidak rutin
dikerjakan) dilakukan apabila foto toraks tidak jelas. Pada gambaran
radiologis ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi diafragma mendatar,
corakan bronkovaskuler meningkat, jantung pendulum, dan retrosternal
melebar. Salah satunya adalah pada penyakit bronkhitis kronis.Bisa saja
seseorang menderita bronkhitis kronis beratdengan tanda fisik yang jelas
pada auskultasi dan cacat klinis yang berat, tetapi pada pemeriksaan radiologi
tampak hanya sedikit atau tidak ada sama sekali kelainan.Hal ini karena
dinding bronkhus tidak terlihat secara normal pada sinar-X dan peradangan
mukosa tidak dapat terlihat kecuali bila ada akibat sekunder.Dan akibat
penambahan ukuran paru anterior- posterior akan menyebabkan bentuk
thorax barrel chest,sedang penambahan ukuran paru vertikal menyebabkan
diafragma letak rendah dengan bentuk diafragmayang datar dan pelebaran
rongga intercostalis oleh karena udara yang terjebak dalam alveoli.Dengan
aerasi paruyang bertambah pada seluruh paru atau lobaris atau pun
segmental,akan menghasilkan bayangan lebih radiolusen, sehingga corakan
jaringan paru tampak lebih jelas selain gambaran fibrosisnyadan
vaskulerparu yang relatif jarang. (Soewarno, 2016).
PPOK NORMAL

(Soewarno, 2016).
- Pemeriksaan analisis gas darah
Analisis gas darah adalah alat diagnostik yang umum digunakan untuk
mengevaluasi tekanan parsial gas dalam darah dan kandungan asam-basa.
Pemahaman dan penggunaan analisis gas darah memungkinkan penyedia
layanan untuk menginterpretasikan gangguan pernapasan, peredaran darah,
dan metabolism (Castro, 2021).
Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), sepsis berat, syok septik,
syok hipovolemik, ketoasidosis diabetik, asidosis tubulus ginjal, gagal
pernapasan akut, gagal jantung, henti jantung, asma, dan kesalahan
metabolisme bawaan (Castro, 2021).
Langkah pertama adalah melihat pH dan menilai adanya acidemia (pH
< 7,35) atau alkalemia (pH> 7,45). Jika pH dalam kisaran normal (7,35-
7,45), gunakan pH 7,40 sebagai titik potong. Dengan kata lain, pH 7,37
dikategorikan asidosis, dan pH 7,42 dikategorikan alkalemia. Selanjutnya,
evaluasi komponen respiratorik dan metabolik dari hasil ABG, masing-
masing PaCO2 dan HCO3. PaCO2 menunjukkan apakah asidosis atau
alkalemia terutama dari asidosis/alkalosis respiratorik atau metabolik.
PaCO2 > 40 dengan pH < 7,4 menunjukkan asidosis respiratorik,
sedangkan PaCO2 < 40 dan pH > 7,4 menunjukkan alkalosis respiratorik
(tetapi sering kali akibat hiperventilasi akibat kecemasan atau kompensasi
asidosis metabolik). Lanjut, menilai bukti kompensasi asidosis primer atau
alkalosis dengan mencari nilai (PaCO2 atau HCO3) yang tidak konsisten
dengan pH. Terakhir, nilai PaO2 untuk kelainan oksigenasi (Castro, 2021).
6. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan kasus PPOK dan
kegawatdaruratan asma
- Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mengurangi
gejala, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah
penurunan faal paru, serta meningkatkan kualitas hidup penderita.
Penatalaksanaan PPOK terdiri dari medikamentosa dan non-
medikamentosa. Tatalaksana medikamentosa dengan pemberian
bronkodilator, antiinflamasi, antibiotik, antioksidan, mukolitik, dan
antitusif. Sedangkan terapi non-medikamentosa yaitu berupa edukasi
tentang penyakit tersebut kepada pasien dan keluarganya, berhenti
merokok dan menghindari faktor yang dapat memperberat terjadinya
PPOK seperti debu, asap rokok, dan polusi udara lainnya, penilaian dini
eksaserbasi akut yang ditandai dengan batuk atau sesak bertambah, sputum
bertambah, sputum berubah warna dan pengelolaannya, serta menjaga
nutrisi (Samosir, 2020).
Terapi farmakologi, meliputi:
a. Bronkodilator, obat ini meningkatkan FEV1 dan atau memperbaiki
variabel spirometri lainnya dengan mempengaruhi tonus otot polos
jalan napas dan memperbaiki aliran udara ekspirasi yang mencerminkan
pelebaran jalan napas daripada perubahan elastisitas paru.
Bronkodilator yang digunakan pada PPOK adalah agonis β2 dan
antikolinergik (antagonis muskarinik).
1. Agonis β2, kerja utama obat ini adalah merelaksasi otot polos jalan
napas dengan menstimulasi reseptor adrenergik β2 yang
meningkatkan cAMP dan menghasilkan antagonisme fungsional
terhadap bronkokonstriksi. Efek samping berupa sinus takikardia
saat istirahat dan berpotensi mencetuskan gangguan irama jantung
dan tremor somatik. Agonis β2 terdiri dari short acting (SABA) dan
long acting (LABA) beta2-agonist. SABA, yaitu efeknya hilang
dalam 4 – 6 jam contohnya salbutamol dan fenoterol, salbutamol
lebih efektif sehingga menimbulkan lebih sedikit efek samping
dibanding fenoterol. LABA, yaitu durasi kerja 12 jam atau lebih
contoh formoterol, salmeterol, indacaterol, oladaterol, dan vilanterol
(inhalasi).
2. Antikolinergik/ antagonis muskarinik, yaitu bekerja dengan
memblokade efek bronkokonstriktor asetilkolin pada reseptor
muskarinik M3 yang diekspresikan pada otot polos jalan napas.
Antikolinergik terdiri dari short acting (SAMA) dan long acting
(LAMA) muscarinic antagonist.
3. Derivat Xanthine, contoh derivat xanthine adalah theophylline dan
doxofylline yang diberikan per oral. Penambahan doxofylline
mempunyai pofil keamanan dan tolerabilitas yang lebih baik dan
interaksi yang lebih baik dan interaksi obat yang lebih rendah
dibanding theophylline, relatif aman pada pasien jantung atau usia
lanjut yang menderita asma bronkial atau PPOK.
b. Antiinflamasi, terdiri dari corticosteroid inhalasi (ICS), glucocorticoid
oral, dan phosphodiesterase-4 inhibitor. Contoh dari corticosteroid
inhalasi (ICS) adalah fluticasone, dan budesonide. Obat ini diberikan
untuk memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas hidup, frekuensi
eksaserbasi pada pasien dengan FEC1 diprediksi <60%. Pada
phosphodiesterase-4 inhibitor, yaitu dengan kerja utama PDE4 inhibitor
adalah mengurangi inflamasi dengan menghambat pemecahan cAMP
intraseluler.
c. Antibiotik, yaitu Azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg 3x seminggu
atau erythromycin 500 mg 2 kali sehari) selama 1 tahun pada pasien
yang rentan eksaserbasi, dapat menurunkan risiko eksaserbasi
dibanding perawatan biasa.
d. Mukolitik, pada pasien PPOK yang tidak mendapat ICS, terapi ireguler
dengan mukolitik seperti carbocysteine dan N-acetylcysteine dapat
menurunkan eksaserbasi dan sedikit memperbaiki status kesehatan.
e. Antitusif. Alpha-1 antitrypsin augmentation therapy, obat ini diberikan
secara intravena untuk meminimalisasi perkembangan dan progresivitas
penyakit paru serta menjaga fungsi dan struktur paru pada pasien
dengan defisiensi alpha-1 antitrypsin (AATD).
f. Vasodilator.

Obat farmakologi utama untuk PPOK adalah bronkodilator seperti


agonis β2 dan antikolinergik. Bronkodilator kerja panjang lebih efektif
dibanding bronkodilator kerja singkat untuk terapi pemeliharaan PPOK.
Kombinasi bronkodilator atau kombinasi bronkodilator dengan
corticosteroid inhalasi lebih efektif dalam memperbaiki fungsi paru
dibanding monoterapi. Kombinasi 3 obat (LABA, LAMA, dan ICS) dapat
memperbaiki fungsi paru dan kualitas hidup, serta menurunkan risiko
eksaserbasi dibanding kombinasi LABA/ICS atau LABA/LAMA
(Kristiningrum, 2019).
Tatalaksana empiris antibiotik PPOK pada eksaserbasi PPOK yaitu
doxycycline 100 bid (2x sehari), azithromycin 500 qd, co-amoxiclav 875
bid (2x sehari), cefpodoxime 200 bid (2x sehari), cefdinir 300 bid (2x
sehari) dengan lama terapi 5 hari. Terapi koreksi airflow meliputi short
acting bronkodilator (low risk) grup A, long acting bronkodilator
(persisten - severe), inhalasi kortikosteroid (high risk), ipratrorium
bromida (antikolinergik) dan metilxanthin (Anonim, 2020).

- Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan adalah suatu kejadian mendadak, tidak terduga serta tidak
diharapkan, tetapi memerlukan penanganan segera secara cepat, tepat, dan
terarah. Sesak napas merupakan salah satu gejala yang membuat seseorang
datang ke instalasi gawat darurat. Sesak napas akut dan mengancam jiwa
merupakan kondisi gawat darurat yang membutuhkan diagnosis dan
penanganan yang cepat dan tepat selain anamnesis dan pemeriksaan fisik
dibutuhkan juga pemeriksaan penunjang yang mampu mendiagnosis secara
cepat dan tepat. Ultrasonografi (USG) toraks dapat menjadi modalitas
pencitraan untk mendiagnosis kasus kegawatdaruratan respirasi, USG toraks
mampu mendiagnosis pneumonia dengan sensitivitas 85%-95% dan
spesifitas 75%-90%, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) atau asma
eksaserbasi dengan sensitivitas 78% dan spesifisitas 98%.1 Selain itu, pada
edema paru dengan sensitivitas 87,6% dan spesifisitas 96,2%, tromboemboli
paru dengan sensitivitas 46,2% dan spesifisitas 100%, pneumotoraks dengan
sensitivitas 71,4% dan spesifisitas 100%, serta efusi pleura maupun
empyema. Jejas inhalasi merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang
respirasi yang sering dijumpai, Jejas inhalasi didefinisikan sebagai spektrum
efek klinis yang luas akibat paparan partikel berbahaya yang bisa berupa
asap panas, debu, atau zat toksik lainnya baik benda padat, gas, cair, atau
kombinasi. Gejala klinis yang sering ditemukan dalam pemeriksaan fisik
pasien jejas inhalasi yaitu batuk dan sesak napas, ronkhi dan wheezing,
suara parau dan edema saluran napas atas hingga mengantuk sampai tidak
sadar. Kegawatdaruratan respirasi lainnya yaitu serangan asma dan batuk
darah. Serangan asma merupakan perburukan gejala asma yang memerlukan
suatu penanganan yang bersifat segera dan pengawasan secara ketat untuk
mengurangi timbulnya perburukan, terutama pasien dengan riwayat faktor
risiko tertentu. Penanganan serangan asma dimulai dengan penentuan
derajat beratnya serangan. Terapi utama pada eksaserbasi meliputi
pemberian oksigen, inhalasi β2 agonist kerja singkat, dan kortikosteroid
dengan dosis yang disesuaikan derajat berat serangan. Pemberian
kortikosteroid saat pemulangan pasien merupakan hal yang harus
diperhatikan di samping edukasi terhadap pasien. Beberapa keadaan yang
menyerupai asma akut atau serangan asma yaitu aspirasi benda asing,
obstruksi jalan napas atas, syndrome dysfungsi korda vokalis, edema paru,
dan PPOK eksaserbasi akut. Batuk darah merupakan gejala dari suatu
penyakit yang memerlukan penanganan khusus. Tujuan umum tatalaksana
batuk darah adalah mencegah aspirasi, menghentikan perdarahan, dan
penanganan penyakit utama penyebab timbulnya batuk darah
(Hidayati,2018; Purnomo,2020).
Status asmatikus atau disebut juga acute severe asthma adalah suatu
keadaan perjalanan serangan asma yang menjadi berat dan tidak dapat
ditangani dengan penatalaksaan asma yang biasa yaitu sudah tidak berespon
terhadap terapi beta agonis, misalnya inhalasi albuterol. Setelah diagnosis
status asmatikus ditegakkan harus segera diberikan penatalaksanaan dengan
status darurat dan dievaluasi keadaannya. Pada kejadian status asmatikus,
penyebab asma yang memberat dapat disebabkan karena kesalahan pasien
yaitu jika tidak segera berobat saat serangan asma nya belum berat atau
dapat juga karena kecerobohan dokter yaitu jika evaluasi serangan asma
tidak tepat serta pemberian pengobatannya tidak adekuat (Agnihotri,2019).
7. Mahasiswa mengetahui komplikasi PPOK
Komplikasi yang dialami pada pasien PPOK yaitu hipoksemia yang
diakibatkan oleh menurunnya kondisi konsentrasi oksigen dalam darah arteri
dan dapat terjadi jika terdapat penurunan oksigen di udara (hipoksia) atau
hipoventilasi yang terjadi karena daya regang paru menurun. Komplikasi
kedua yaitu asidosus respiratori yang muncul akibat peningkatan PaCO2
(hiperkapnea). Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, latergi,
dizziness, dan takipnea (Rumampuk, 2020).
8. Mahasiswa mengetahui diangnosis banding PPOK
PPOK Asma Bronkitis TB

Dispnea, batuk Sesak, mengi, Batuk berdahak Batuk selama 2


kronis dengan rasa berat pada kuning keabu- minggu atau lebih
sedikit purulent dada, batuk abuan atau menimbulkan
kekuningan, berulang dengan kehijauan, sesak sputum
sesak napas, lender bening napas, demam, kekuningan biasa
duduk biasanya dan menggigil disertai darah,
membungkuk, disebabkan oleh nyeri plauritik,
dan takipnea infeksi virus dyspnea, dan
(rhinitis). Gejala hemoptisis
disebabkan oleh
infeksi virus,
olahraga,
pajanan alergen,
lingkungan,
tertawa, dan
iritan seperti
asap dan bau
tajam.

9. Mahasiswa mengetahui tanda dan gejala PPOK (Barrel chest, dll)


Bentuk thorax barrel chest, Barrel chest adalah kelainan bentuk dada
berupa peningkatan diameter anteroposterior. dinding dada sehingga dada
tampak bulat seperti tabung. Pada barrel chest diafragma tertekan ke. bawah,
tulang sternum terdorong ke depan, dan tulang iga terlihat mendatar sehingga
dada selalu. tampak seperti pada kondisi inspirasi. Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati,
biasanya akan ditandai dengan gejala pernapasan berkepanjangan dan
hambatan aliran udara kronik akibat kelainan di alveolus atau saluran napas
umumnya disebabkan karena paparan partikel atau gas berbahaya. Pajanan
asap rokok dan partikel berbahaya lainnya yang menuju ke saluran napas
dapat menyebabkan inflamasi saluran napas, inflamasi ini dapat memicu
datangnya neutrofil ke bronkiolus dan alveolus sehingga terjadi peningkatan
enzim neutrophil elastase dan matrix metalloproteinase yang mendegranasi
elastin. Dari Anamnesis didapatkan tanda gejala Dispnea, batuk kronis
dengan sedikit purulen, sesak napas, duduk membungkuk, dan takipnea.
Pemeriksaan fisik didapatkan Pursed-lips breathing, barrel chest, penggunaan
otot bantu pernapasan, dan pelebaran iga (inspeksi). Fremitus melemah dan
sela iga melebar (palpasi). Hipersonor, batas jantung mengecil, dan hati
terdorong ke bawah (perkusi). Suara napas vesicular normal atau melmah,
ronki, dan wheezing (auskultasi). (Liwang,2020)
10. Mahasiswa mengetahui prinsip pencegahan PPOK

Pencegahan penyakit paru obstruktif kronik yaitu dapat dilakukan dengan


cara Terapi PPOK yang terdiri dari terapi farmakologis dan non
farmakologis. Terapi non farmakologis PPOK misalnya terapi berhenti
merokok, aktivitas fisik, rehabilitasi, dan vaksinasi. Terapi farmakologis
misalnya terapi dengan menggunakan obat.
Adapun pencegahan penyakit paru obstruktif kronik di tempat kerja yaitu
Menurunkan pajanan total individu terhadap asap rokok, debu dan zat kimia
lingkungan kerja, polusi udara dalam ruangan dan luar ruangan merupakan
tindakan penting dalam mencegah onset dan progresivitas PPOK, Pencegahan
merupakan upaya yang utama untuk mencegah insidensi dan morbiditas
terkait PPOK pada pekerja. Upaya pencegahan meliputi :
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan melalui upaya kontrol pajanan
seperti eliminasi, kontrol enginering, kontrol administrasi dan penggunaan
alat pelindung diri. pada PPOK menunjukkan bahwa berhenti merokok
menghasilkan perbaikan rerata penurunan faal paru pasien PPOK kembali
ke penurunan faal paru mendekati normal. Strategi untuk membantu pasien
berhenti merokok adalah 5A yaitu ask (tanyakan), advise (nasihati), asses
(nilai), assist (bantu) dan arrange (atur).
2. Pencegahan sekunder
Surveilans medis merupakan salah satu bentuk upaya pencegahan
sekunder yang dapat dilakukan. Surveilans medis dapat dilakukan dengan
menggunakan kuesioner sederhana sebelum masuk kerja dan dapat diulang
setiap tahun.
3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah kelainan permanen
akibat PPOK. Beberapa langkah antara lain pengenalan dan pengobatan
dini PPOK diikuti dengan segera memindahkan pekerja ke tempat lain
serta menurunkan pajanan secepat mungkin dapat menghindarkan dari
kelainan permanen karena PPOK (Susanto,2021).
11. Mahasiswa mengetahui faktor resiko PPOK
Berikut merupakan factor risiko pada penyakit paru obstruktif kronis
1) Pajanan asap rokok
Diperkirakan asap rokok merupakan faktor risiko pada 85-95%
kasus PPOK pada laki-laki dewasa (Susanto, 2021). Menurut Barnes pada
tahun 2004 menyatakan bahwa asap rokok merupakan faktor risiko kuat
terjadinya PPOK. Asap rokok merupakan penyebab gejala respirasi dan
gangguan fungsi paru dengan prevalensi yang tinggi. Semakin banyak
jumlah rokok yang dihisap dan semakin lama kebiasaan merokok atau IB
semakin tinggi maka akan semakin tinggi risiko untuk terkena PPOK
(Sholihah, 2019). Sebelumnya jenis kelamin PPOK lebih sering terjadi
pada laki-laki, tetapi karena peningkatan penggunaan tembakau di
kalangan perempuan di negara maju dan risiko yang lebih tinggi dari
paparan polusi udara di dalam ruangan (misalnya bahan bakar yang
digunakan untuk memasak dan pemanas) pada negara-negara miskin,
penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-laki dan perempuan hampir
sama (Ismail, 2017).
2) Polusi udara dalam ruangan/ luar ruangan serta pekerjaan
Pajanan di lingkungan kerja merupakan salah satu faktor risiko
penting terjadinya PPOK pada bukan perokok. Penelitian pada bukan
perokok di Vietnam dan Indonesia menemukan faktor risiko PPOK pada
bukan perokok adalah pajanan polusi udara, pajanan debu dan asap di
tempat kerja, infeksi berulang pada waktu anak-anak, riwayat tuberkulosis,
asma kronik dan sosial ekonomi rendah. Penelitian-penelitian di populasi
secara konsisten menunjukkan PPOK berhubungan dengan pajanan bahan
di tempat kerja (Susanto, 2021).
Jika dilihat dari bahan penyebabnya, terdapat banyak debu atau uap
yang berpotensi menyebabkan PPOK jika terpajan dalam dosis besar dan
jangka lama. Beberapa penelitian menunjukkan bahan-bahan berikut
berpotensi menyebabkan terjadinya PPOK pada pekerja yaitu debu dan
uap kadmium, debu karbon hitam, debu gandum dan tepung, debu mineral,
debu keramik, debu organik, endotoksin, debu silika, debu asbes, debu
batubara, debu karet, debu katun, debu kayu, debu peleburan besi, uap
pengelasan, isosianat, debu-debu di pertanian (dari unggas, hewan dan
produk-produk pertanian) dan bahan kimia lainnya (Susanto, 2021).
3) Genetika
Sampai saat ini bukti yang ada menunjukkan abnormalitas genetik
yang berkaitan dengan peningkatan risiko PPOK adalah defisiensi α-1
antitripsin, dalam hal ini berhubungan dengan perkembangan emfisema
(Susanto, 2021).
4) Masalah pada paru yang terjadi saat masa gestasi atau saat kanak-kanak
(berat badan rendah serta infeksi pernapasan) juga berpotensial
meningkatkan risiko terjadinya PPOK (Tanto, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, L., Sahrudin., Ibrahim, K. 2017. Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di Wilayah Kerja Puskesmas Lepo-Lepo
Kota Kendari Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat,
Vol. 2(6): 1-10. Viewed on 10 November 2021. From:
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JIMKESMAS/article/view/3031

Sholihah, M., Suradi., Aphridasari, J. 2019. Pengaruh Pemberian Quercetin


Terhadap Kadar Interleukin 8 (IL8) Dan Nilai COPD Assessment Test
(CAT) Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil. Jurnal
Respirologi Indonesia. Vol. 39(2): 103-112. Viewed on 10 November 2021.
From: https://jurnalrespirologi.org/index.php/jri/article/download/51/32

Susanto, A.D. 2021. Permasalahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


pada Pekerja. Jurnal Respirologi Indonesia. Vol. 41(1): 64-73. Viewed on
10 November 2021. From:
https://jurnalrespirologi.org/index.php/jri/article/download/148/186

Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
IV. Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius

Agarwal, A. K., Raja, A., Brown, B.D. 2021. Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. Viewed on November
8, 2021. From: https://www.ncbi.

Sholihah, M., Suradi, A. J. 2019. Pengaruh Pemberian Quercetin Terhadap


Kadar Interleukin 8 (IL-8) Dan Nilai COPD Assessment Test (CAT) Pasien
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil. J Respir Indo. Vol 39(2),
103-12. Viewed on 8 November 2021. From: https://jurnalrespirologi
Liwang, F., Yuswar, P. W., Wijaya, E., Sanjaya, N. P. 2020. Kapita Selekta
Kedokteran.Ed.V.Jilid I. Depok : Media Aesculapius

Sumber : Soewarno. S. A., Annisa. Y. 2016. Kesesuaian


PemeriksaanSpirometriDan Foto Thorax Posteroanterior Pada Pasien
Penyakit ParuObstruksiKronis Berdasarkan Analisis KesepakatanKappa
CohenDiRsud Prof. Dr. Margono Soekarjo. Vol 13 (1). Jurnal Saintek.
From : http://jurnalnasional.ump.ac.id

Anonim. 2020. Modul Belajar Obat Ukai. Batch IV. Pharmacist Learning Par-
tner
Kristiningrum, E. 2019. Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PP-
OK). Cermin Dunia Kedokteran. Vol 46 (4) : 264 – 270. Viewed on 3
November 2020. From: https://103.13.36.125
Samosir, R, K., Angriaini, D, I. 2020. Penatalaksanaan Holistik Pada Pasien
Laki – laki Dewasa Dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Melalui
Pendekatan Kedokteran Keluarga. Jurnal Majority. Vol 9 (1) : 2. Vie-
wed on 2 November 2020. From: https://juke.kedokteran.unila.ac.id
Soewarno. S. A., Annisa. Y. 2016. Kesesuaian PemeriksaanSpirometriDan
Foto Thorax Posteroanterior Pada Pasien Penyakit
ParuObstruksiKronis Berdasarkan Analisis KesepakatanKappa
CohenDiRsud Prof. Dr. Margono Soekarjo. Vol 13 (1). Jurnal Saintek.
From : http://jurnalnasional.ump.ac.id

Kartini, Y., Djajalaksana, S., Chozin, I.N., et al. 2020. Perbedaan Ekspresi
miRNA-126 dan Interleukin (IL)-13 Pada Pasien Asma Terkontrol Penuh
dan Tidak Terkontrol Penuh. Jurnal Respirologi Indonesia. Vol. 40(1): 19-
27. Viewed on 11 November 2021. From:
https://jurnalrespirologi.org/index.php/jri/article/download/99/102

Maulana, A., Prihartono, N.A., Yovsyah., et al. 2020. Efek Obesitas dengan
Risiko Kejadian Penyakit Asma pada Perempuan Usia Produktif di
Indonesia. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia. Vol. 4(1): 1-5

Sholihah, M., Suradi., Aphridasari, J. 2019. Pengaruh Pemberian Quercetin


Terhadap Kadar Interleukin 8 (IL8) Dan Nilai COPD Assessment Test
(CAT) Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil. Jurnal
Respirologi Indonesia. Vol. 39(2): 103-112. Viewed on 10 November 2021.
From: https://jurnalrespirologi.org/index.php/jri/article/download/51/32

Susanto, A.D. 2021. Permasalahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik


(PPOK) pada Pekerja. Jurnal Respirologi Indonesia. Vol. 41(1): 64-73.
Viewed on 10 November 2021. From:
https://jurnalrespirologi.org/index.php/jri/article/download/148/186

Setiati, et al. 2014. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.

Kartini, Y., Djajalaksana, S., Chozin, I.N., et al. 2020. Perbedaan Ekspresi
miRNA-126 dan Interleukin (IL)-13 Pada Pasien Asma Terkontrol Penuh dan
Tidak Terkontrol Penuh. Jurnal Respirologi Indonesia. Vol. 40(1): 19-27. Viewed
on 11 November 2021. From:
https://jurnalrespirologi.org/index.php/jri/article/download/99/102

Maulana, A., Prihartono, N.A., Yovsyah., et al. 2020. Efek Obesitas dengan
Risiko Kejadian Penyakit Asma pada Perempuan Usia Produktif di
Indonesia. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia. Vol. 4(1): 1-5

Sholihah, M., Suradi., Aphridasari, J. 2019. Pengaruh Pemberian Quercetin


Terhadap Kadar Interleukin 8 (IL8) Dan Nilai COPD Assessment Test
(CAT) Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil. Jurnal
Respirologi Indonesia. Vol. 39(2): 103-112. Viewed on 10 November 2021.
From: https://jurnalrespirologi.org/index.php/jri/article/download/51/32

Susanto, A.D. 2021. Permasalahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


pada Pekerja. Jurnal Respirologi Indonesia. Vol. 41(1): 64-73. Viewed on
10 November 2021. From:
https://jurnalrespirologi.org/index.php/jri/article/download/148/186

Rumampuk, E., Thalib, A.H. 2020. Efektifitas Terapi Nebulizer Terhadap


Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK). Jurnal Mitrasehat. Vol 10 (2). Viewed on 10 November
2021. From : googlescholar.com

Anda mungkin juga menyukai