SKENARIO 4
DISUSUN OLEH
KELOMPOK : 1 (SATU)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2021
Learning Objective:
(Soewarno, 2016).
- Pemeriksaan analisis gas darah
Analisis gas darah adalah alat diagnostik yang umum digunakan untuk
mengevaluasi tekanan parsial gas dalam darah dan kandungan asam-basa.
Pemahaman dan penggunaan analisis gas darah memungkinkan penyedia
layanan untuk menginterpretasikan gangguan pernapasan, peredaran darah,
dan metabolism (Castro, 2021).
Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), sepsis berat, syok septik,
syok hipovolemik, ketoasidosis diabetik, asidosis tubulus ginjal, gagal
pernapasan akut, gagal jantung, henti jantung, asma, dan kesalahan
metabolisme bawaan (Castro, 2021).
Langkah pertama adalah melihat pH dan menilai adanya acidemia (pH
< 7,35) atau alkalemia (pH> 7,45). Jika pH dalam kisaran normal (7,35-
7,45), gunakan pH 7,40 sebagai titik potong. Dengan kata lain, pH 7,37
dikategorikan asidosis, dan pH 7,42 dikategorikan alkalemia. Selanjutnya,
evaluasi komponen respiratorik dan metabolik dari hasil ABG, masing-
masing PaCO2 dan HCO3. PaCO2 menunjukkan apakah asidosis atau
alkalemia terutama dari asidosis/alkalosis respiratorik atau metabolik.
PaCO2 > 40 dengan pH < 7,4 menunjukkan asidosis respiratorik,
sedangkan PaCO2 < 40 dan pH > 7,4 menunjukkan alkalosis respiratorik
(tetapi sering kali akibat hiperventilasi akibat kecemasan atau kompensasi
asidosis metabolik). Lanjut, menilai bukti kompensasi asidosis primer atau
alkalosis dengan mencari nilai (PaCO2 atau HCO3) yang tidak konsisten
dengan pH. Terakhir, nilai PaO2 untuk kelainan oksigenasi (Castro, 2021).
6. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan kasus PPOK dan
kegawatdaruratan asma
- Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mengurangi
gejala, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah
penurunan faal paru, serta meningkatkan kualitas hidup penderita.
Penatalaksanaan PPOK terdiri dari medikamentosa dan non-
medikamentosa. Tatalaksana medikamentosa dengan pemberian
bronkodilator, antiinflamasi, antibiotik, antioksidan, mukolitik, dan
antitusif. Sedangkan terapi non-medikamentosa yaitu berupa edukasi
tentang penyakit tersebut kepada pasien dan keluarganya, berhenti
merokok dan menghindari faktor yang dapat memperberat terjadinya
PPOK seperti debu, asap rokok, dan polusi udara lainnya, penilaian dini
eksaserbasi akut yang ditandai dengan batuk atau sesak bertambah, sputum
bertambah, sputum berubah warna dan pengelolaannya, serta menjaga
nutrisi (Samosir, 2020).
Terapi farmakologi, meliputi:
a. Bronkodilator, obat ini meningkatkan FEV1 dan atau memperbaiki
variabel spirometri lainnya dengan mempengaruhi tonus otot polos
jalan napas dan memperbaiki aliran udara ekspirasi yang mencerminkan
pelebaran jalan napas daripada perubahan elastisitas paru.
Bronkodilator yang digunakan pada PPOK adalah agonis β2 dan
antikolinergik (antagonis muskarinik).
1. Agonis β2, kerja utama obat ini adalah merelaksasi otot polos jalan
napas dengan menstimulasi reseptor adrenergik β2 yang
meningkatkan cAMP dan menghasilkan antagonisme fungsional
terhadap bronkokonstriksi. Efek samping berupa sinus takikardia
saat istirahat dan berpotensi mencetuskan gangguan irama jantung
dan tremor somatik. Agonis β2 terdiri dari short acting (SABA) dan
long acting (LABA) beta2-agonist. SABA, yaitu efeknya hilang
dalam 4 – 6 jam contohnya salbutamol dan fenoterol, salbutamol
lebih efektif sehingga menimbulkan lebih sedikit efek samping
dibanding fenoterol. LABA, yaitu durasi kerja 12 jam atau lebih
contoh formoterol, salmeterol, indacaterol, oladaterol, dan vilanterol
(inhalasi).
2. Antikolinergik/ antagonis muskarinik, yaitu bekerja dengan
memblokade efek bronkokonstriktor asetilkolin pada reseptor
muskarinik M3 yang diekspresikan pada otot polos jalan napas.
Antikolinergik terdiri dari short acting (SAMA) dan long acting
(LAMA) muscarinic antagonist.
3. Derivat Xanthine, contoh derivat xanthine adalah theophylline dan
doxofylline yang diberikan per oral. Penambahan doxofylline
mempunyai pofil keamanan dan tolerabilitas yang lebih baik dan
interaksi yang lebih baik dan interaksi obat yang lebih rendah
dibanding theophylline, relatif aman pada pasien jantung atau usia
lanjut yang menderita asma bronkial atau PPOK.
b. Antiinflamasi, terdiri dari corticosteroid inhalasi (ICS), glucocorticoid
oral, dan phosphodiesterase-4 inhibitor. Contoh dari corticosteroid
inhalasi (ICS) adalah fluticasone, dan budesonide. Obat ini diberikan
untuk memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas hidup, frekuensi
eksaserbasi pada pasien dengan FEC1 diprediksi <60%. Pada
phosphodiesterase-4 inhibitor, yaitu dengan kerja utama PDE4 inhibitor
adalah mengurangi inflamasi dengan menghambat pemecahan cAMP
intraseluler.
c. Antibiotik, yaitu Azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg 3x seminggu
atau erythromycin 500 mg 2 kali sehari) selama 1 tahun pada pasien
yang rentan eksaserbasi, dapat menurunkan risiko eksaserbasi
dibanding perawatan biasa.
d. Mukolitik, pada pasien PPOK yang tidak mendapat ICS, terapi ireguler
dengan mukolitik seperti carbocysteine dan N-acetylcysteine dapat
menurunkan eksaserbasi dan sedikit memperbaiki status kesehatan.
e. Antitusif. Alpha-1 antitrypsin augmentation therapy, obat ini diberikan
secara intravena untuk meminimalisasi perkembangan dan progresivitas
penyakit paru serta menjaga fungsi dan struktur paru pada pasien
dengan defisiensi alpha-1 antitrypsin (AATD).
f. Vasodilator.
- Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan adalah suatu kejadian mendadak, tidak terduga serta tidak
diharapkan, tetapi memerlukan penanganan segera secara cepat, tepat, dan
terarah. Sesak napas merupakan salah satu gejala yang membuat seseorang
datang ke instalasi gawat darurat. Sesak napas akut dan mengancam jiwa
merupakan kondisi gawat darurat yang membutuhkan diagnosis dan
penanganan yang cepat dan tepat selain anamnesis dan pemeriksaan fisik
dibutuhkan juga pemeriksaan penunjang yang mampu mendiagnosis secara
cepat dan tepat. Ultrasonografi (USG) toraks dapat menjadi modalitas
pencitraan untk mendiagnosis kasus kegawatdaruratan respirasi, USG toraks
mampu mendiagnosis pneumonia dengan sensitivitas 85%-95% dan
spesifitas 75%-90%, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) atau asma
eksaserbasi dengan sensitivitas 78% dan spesifisitas 98%.1 Selain itu, pada
edema paru dengan sensitivitas 87,6% dan spesifisitas 96,2%, tromboemboli
paru dengan sensitivitas 46,2% dan spesifisitas 100%, pneumotoraks dengan
sensitivitas 71,4% dan spesifisitas 100%, serta efusi pleura maupun
empyema. Jejas inhalasi merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang
respirasi yang sering dijumpai, Jejas inhalasi didefinisikan sebagai spektrum
efek klinis yang luas akibat paparan partikel berbahaya yang bisa berupa
asap panas, debu, atau zat toksik lainnya baik benda padat, gas, cair, atau
kombinasi. Gejala klinis yang sering ditemukan dalam pemeriksaan fisik
pasien jejas inhalasi yaitu batuk dan sesak napas, ronkhi dan wheezing,
suara parau dan edema saluran napas atas hingga mengantuk sampai tidak
sadar. Kegawatdaruratan respirasi lainnya yaitu serangan asma dan batuk
darah. Serangan asma merupakan perburukan gejala asma yang memerlukan
suatu penanganan yang bersifat segera dan pengawasan secara ketat untuk
mengurangi timbulnya perburukan, terutama pasien dengan riwayat faktor
risiko tertentu. Penanganan serangan asma dimulai dengan penentuan
derajat beratnya serangan. Terapi utama pada eksaserbasi meliputi
pemberian oksigen, inhalasi β2 agonist kerja singkat, dan kortikosteroid
dengan dosis yang disesuaikan derajat berat serangan. Pemberian
kortikosteroid saat pemulangan pasien merupakan hal yang harus
diperhatikan di samping edukasi terhadap pasien. Beberapa keadaan yang
menyerupai asma akut atau serangan asma yaitu aspirasi benda asing,
obstruksi jalan napas atas, syndrome dysfungsi korda vokalis, edema paru,
dan PPOK eksaserbasi akut. Batuk darah merupakan gejala dari suatu
penyakit yang memerlukan penanganan khusus. Tujuan umum tatalaksana
batuk darah adalah mencegah aspirasi, menghentikan perdarahan, dan
penanganan penyakit utama penyebab timbulnya batuk darah
(Hidayati,2018; Purnomo,2020).
Status asmatikus atau disebut juga acute severe asthma adalah suatu
keadaan perjalanan serangan asma yang menjadi berat dan tidak dapat
ditangani dengan penatalaksaan asma yang biasa yaitu sudah tidak berespon
terhadap terapi beta agonis, misalnya inhalasi albuterol. Setelah diagnosis
status asmatikus ditegakkan harus segera diberikan penatalaksanaan dengan
status darurat dan dievaluasi keadaannya. Pada kejadian status asmatikus,
penyebab asma yang memberat dapat disebabkan karena kesalahan pasien
yaitu jika tidak segera berobat saat serangan asma nya belum berat atau
dapat juga karena kecerobohan dokter yaitu jika evaluasi serangan asma
tidak tepat serta pemberian pengobatannya tidak adekuat (Agnihotri,2019).
7. Mahasiswa mengetahui komplikasi PPOK
Komplikasi yang dialami pada pasien PPOK yaitu hipoksemia yang
diakibatkan oleh menurunnya kondisi konsentrasi oksigen dalam darah arteri
dan dapat terjadi jika terdapat penurunan oksigen di udara (hipoksia) atau
hipoventilasi yang terjadi karena daya regang paru menurun. Komplikasi
kedua yaitu asidosus respiratori yang muncul akibat peningkatan PaCO2
(hiperkapnea). Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, latergi,
dizziness, dan takipnea (Rumampuk, 2020).
8. Mahasiswa mengetahui diangnosis banding PPOK
PPOK Asma Bronkitis TB
Ismail, L., Sahrudin., Ibrahim, K. 2017. Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di Wilayah Kerja Puskesmas Lepo-Lepo
Kota Kendari Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat,
Vol. 2(6): 1-10. Viewed on 10 November 2021. From:
http://ojs.uho.ac.id/index.php/JIMKESMAS/article/view/3031
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
IV. Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius
Agarwal, A. K., Raja, A., Brown, B.D. 2021. Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. Viewed on November
8, 2021. From: https://www.ncbi.
Anonim. 2020. Modul Belajar Obat Ukai. Batch IV. Pharmacist Learning Par-
tner
Kristiningrum, E. 2019. Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PP-
OK). Cermin Dunia Kedokteran. Vol 46 (4) : 264 – 270. Viewed on 3
November 2020. From: https://103.13.36.125
Samosir, R, K., Angriaini, D, I. 2020. Penatalaksanaan Holistik Pada Pasien
Laki – laki Dewasa Dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Melalui
Pendekatan Kedokteran Keluarga. Jurnal Majority. Vol 9 (1) : 2. Vie-
wed on 2 November 2020. From: https://juke.kedokteran.unila.ac.id
Soewarno. S. A., Annisa. Y. 2016. Kesesuaian PemeriksaanSpirometriDan
Foto Thorax Posteroanterior Pada Pasien Penyakit
ParuObstruksiKronis Berdasarkan Analisis KesepakatanKappa
CohenDiRsud Prof. Dr. Margono Soekarjo. Vol 13 (1). Jurnal Saintek.
From : http://jurnalnasional.ump.ac.id
Kartini, Y., Djajalaksana, S., Chozin, I.N., et al. 2020. Perbedaan Ekspresi
miRNA-126 dan Interleukin (IL)-13 Pada Pasien Asma Terkontrol Penuh
dan Tidak Terkontrol Penuh. Jurnal Respirologi Indonesia. Vol. 40(1): 19-
27. Viewed on 11 November 2021. From:
https://jurnalrespirologi.org/index.php/jri/article/download/99/102
Maulana, A., Prihartono, N.A., Yovsyah., et al. 2020. Efek Obesitas dengan
Risiko Kejadian Penyakit Asma pada Perempuan Usia Produktif di
Indonesia. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia. Vol. 4(1): 1-5
Kartini, Y., Djajalaksana, S., Chozin, I.N., et al. 2020. Perbedaan Ekspresi
miRNA-126 dan Interleukin (IL)-13 Pada Pasien Asma Terkontrol Penuh dan
Tidak Terkontrol Penuh. Jurnal Respirologi Indonesia. Vol. 40(1): 19-27. Viewed
on 11 November 2021. From:
https://jurnalrespirologi.org/index.php/jri/article/download/99/102
Maulana, A., Prihartono, N.A., Yovsyah., et al. 2020. Efek Obesitas dengan
Risiko Kejadian Penyakit Asma pada Perempuan Usia Produktif di
Indonesia. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia. Vol. 4(1): 1-5