Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN PPOK PADA Tn.

DI PUSKESMAS SOKARAJA 1

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Paliatif

Dosen Pengampu : Aris Fitriyani, S.Kep., Ns., MM

Disusun Oleh :

SYIFA WULAN SYAFITRI

P1337420220109

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

PROGRAM DIPLOMA III

PRODI KEPERAWATAN PURWOKERTO

2023
1. LATAR BELAKANG
Oksigen merupakan salah satu unsur penting yang dibutuhkan oleh
tubuh bersama dengan unsur lain seperti hidrogen, karbon, dan nitrogen.
Oksigen merupakan unsur yang diperlukan oleh tubuh dalam setiap menit
ke semua proses penting tubuh seperti pernapasan, peredaran, fungsi otak,
membuang zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh, pertumbuhan sel dan
jaringan, serta pembiakan hanya berlaku apabila terdapat banyak oksigen.
Oksigen juga merupakan sumber tenaga yang dibutuhkan untuk
metabolisme tubuh.
Oksigenasi merupakan proses penambahan oksigen (O2) ke dalam
sistem tubuh baik itu bersifat kimia atau fisika. Oksigen ditambahkan
kedalam tubuh secara alami dengan cara bernapas. Pernapasan atau respirasi
merupakan proses pertukaran gas antara individu dengan lingkungan yang
dilakukan dengan cara menghirup udara untuk mendapatkan oksigen dari
lingkungan dan kemudian udara dihembuskan untuk mengeluarkan karbon
dioksida ke lingkungan.
2. DEFINISI
Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut
sebagai penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya
hambatan atau sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau
reversible sebagian dan menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner
bermakna yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan pasien. Penyakit
paru obstruksi kronik (PPOK) adalah sutau penyumbatan menetap pada
saluran pernapasan yang disebabkan oleh emfisema dan bronchitis kronik.
PPOK didefinisikan sebagai kelompok penyakit paru yang ditandai dengan
perlambatan aliran udara yang bersifat menetap.
Penyakit paru-paru obstrutif kronis (PPOK) merupakan suatu istilah
yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama yang ditandai oleh adanya respons inflamasi paru
terhadap 5 partikel atau gas yang berbahaya.Adapun pendapat lain
mengenai PPOK adalah kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea
saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru yang
ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya (Edward, 2012).
3. ETIOLOGI
Faktor-faktor yang menyebabkan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
yaitu:
1. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dan gas-gas
kimiawi
2. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya
fungsi paru-paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
3. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan asma
orang dengan kondisi ini berisiko mendapat PPOK.
4. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim
yang normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang
yang kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang
relatif muda, walaupun tidak merokok.
4. TANDA DAN GEJALA
a. Napas tersengal-sengal, terutama saat melakukan aktivitas fisik
b. Batuk tidak kunjung sembuh yang dapat disertai dahak
c. Berat badan menurun
d. Mengi (bengek)
e. Nyeri dada
f. Lemas
5. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah
perubahan pada saluran nafas, tapi dapat juga ditemukan perubahan pada
jaringan parenkim paru dan pembuluh darah paru. Sebagian besar kasus
PPOK disebabkan karena paparan zat berbahaya, paling sering disebabkan
oleh asap rokok. Komponen komponen asap rokok merangsang perubahan
pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, yang melapisi bronkus
mengalami kelumpuhan serta metaplasia. Perubahan pada sel-sel penghasil
mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas.Proses ventilasi terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan
sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya
peradangan.Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.

6. KOMPLIKASI
a. Infeksi Saluran Nafas
Biasanya muncul pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Hal tersebut sebagai akibat terganggunya mekanisme pertahanan
normal paru dan penurunan imunitas. Oleh karena status pernafasan
sudah terganggu, infeksi biasanya akan mengakibatkan gagal nafas akut
dan harus segera mendapatkan perawatan di rumah sakit.
b. Pneumothoraks Spontan
Pneumothoraks spontan dapat terjadi akibat pecahnya belb (kantong
udara dalam alveoli) pada penderita emfisema. Pecahnya belb itu dapat
menyebabkan pneumothoraks tertutup dan membutuhkan pemasangan
selang dada (chest tube) untuk membantu paru mengembang kembali.
c. Dypsnea
Seperti asma, bronchitis obstruktif kronis, dan emfisema dapat
memburuk pada malam hari. Pasien sering mengeluh sesak nafas yang
bahkan muncul saat tidur (one set dyspnea) dan mengakibatkan pasien
sering terbangun dan susah tidur kembali di waktu dini hari. Selama
tidur terjadi penurunan tonus otot pernafasan sehingga menyebabkan
hipoventilasi dan resistensi jalan nafas meningkat, dan akhirnya pasien
menjadi hipoksemia.
7. PATHWAY
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Chest X-ray : dapat menunjukkan hiperinflasi paru-paru, diafragma
mendatar, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda
vaskuler/bullae (emfisema), peningkatan bentuk bronkovaskuler
(bronchitis), dan normal ditemukan saat periode remisi (asma).
2. Uji Faal Paru Dengan Spirometri dan Bronkodilator
(postbronchodilator) : berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat
perkembangan penyakit, dan menentukan prognosis pasien.
Pemerikasaan ini penting untuk memperlihatkan secara objektif adanya
obstruktif saluran pernafasan dalam berbagai tingkat. Spirometri
digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan
setelah inspirasi.Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian
bronkodilator dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit
PPOK berdasarkan derajat obstruksinya. Klasifikasi berdasarkan GOLD
kriteria adalah:
a) Stage I (Ringan)
Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio
FEV1/FVC < 70% dan nilai FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.
b) Stage II : Sedang Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai
FEV1 diantara 50-80% dari nilai prediksi.
c) Stage III : Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan
FEV1 diantara 30-50% dari nilai prediksi.
d) Stage IV : Sangat Berat Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1
diperkirakan kurang dari 30% ataupun kurang dari 50% dengan
kegagalan respirasi kronik.
3. Analisa Gas Darah PaO2 menurun PCO2 meingkat, sering menurun
pada asma. Nilai Ph normal, asidosis, alkalosis respiratorik ringan
sekunder.
4. Pemeriksaan Laboratorium.
Hemoglobin (Hb) dan hematocrit (Ht) polisitemia sekunder. jumlah
darah merah meningkat.
a) Eosinofil dan total IgE serum meningkat
b) Pulsse oksimetri : SaO2 oksigenasi menurun
c) Elektrolit menurun karena pemakaian obat diuretic.
5. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan gram kuman atau kultur adanya infeksi campuran. Kuman
pathogen yang bisa ditemukan adalah Streptococcus Pneumonia,
Hemophylus influenza, dan Monawella Catamhalis.
6. Pemeriksaan Radiologi Thoraks foto (AP dan Lateral)
Menunjukan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan
bendungan area paru – paru. Pada emfisem paru didapatkan diafragma.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan
dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari
berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien. Pengkajian ini dilakukan dengan tujuan menentukan
kemampuan klien untuk memelihara diri sendiri, melengkapi dasar-dasar
rencana keperawatan individu, membantu menghindarkan bentuk dan
pandangan klien, dan memberi waktu kepada klien untuk menjawab
(Sunaryo, dkk 2016).
Pengkajian pada lansia perlu dilakukan secara lengkap dan
menyeluruh dalam memberikan asuhan keperawatan pada lansia
(comprehensive geriatric assesment). Pengkajian tersebut meliputi
pengkajian biopsikososial, pengkajian kondisi fisik, pengkajian psikologis,
status fungsional (ADL), status nutrisi, dan interaksi di antara hal-hal
tersebut. Pengkajian secara komprehensif/paripurna pada lansia ini bersifat
holistik; meliputi aspek bio-psiko-sosial-spiritual; pada lingkup kuratif,
rehabilitatif, promotif, preventif; pengkajian status fungsional; pengkajian
status psiko-kognitif; pengkajian aset keluarga klien (sosial) (Sunaryo, dkk
2016).
Pengkajian status kognitif/afektif merupakan pemeriksaan status
mental sehingga dapat memberikan gambaran perilaku dan kemampuan
mental dan fungsi intelektual. Pengkajian ini bisa digunakan pada pasien
dengan kehilangan pasangan, dilakukan dengan menggunakan Instrumen
UCLA Loneliness Scale Version 3 didapatkan skor 35-49 menunjukkan
risiko kesepian ringan. Pengkajian status fungsional pada lansia meliputi
pengukuran kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari, penentuan kemandirian, mengidentifikasi kemampuan dan
keterbatasan klien, serta menciptakan pemilihan intervensi yang tepat.
Pengkajian status fungsional ini melakukan pemeriksaan dengan instrumen
tertentu untuk membuat penilaian secara objektif. Instrumen yang biasa
digunakan dalam pengkajian status fungsional adalah indeks katz, barthel
indeks dan sullivan indeks katz. Alat ini digunakan untuk menentukan hasil
tindakan dan prognosis pada lansia dan penyakit kronis (Wijaya & Putri,
2013).
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung actual mapun potensial. Diagnosis
keperawatan merupakan langkah kedua dalam proses keperawatan yaitu
mengklasifikasi masalah kesehatan dalam lingkup keperawatan. Diagnosa
keperawatan merupakan keputusan klinis tentang respons seseorang,
keluarga, atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang actual atau potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan
untuk mengidentifikasi resons klien individu, keluarga, dan komunitas
terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan. Tujuan pencatatan
diagnosa keperawatan yaitu sebagai alat komunikasi tentang masalah pasien
yang sedang dialami pasien saat ini dan meruakan tanggung jawab sesorang
perawat terhada masalah yang diidentifikasi berdasarkan data serta
mengidentifikasi pengembangan rencana intervensi keperawatan (Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
3. PERENCANAAN TINDAKAN
Intervensi atau perencanaan keperawatan adalah proses penyusunan
berbagai perencanaan keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah,
menurunkan, atau mengurangi masalah-masalah pasien. Intervensi
keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran
(outcome) yang diharapkan. Tindakan keperawatan adalah perilaku atau
aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh perawat untuk
mengimplementasikan intervensi keperawatan. (PPNI, 2018).
4. IMPLEMENTASI
Luaran (outcome) keperawatan merupakan aspek-aspek yang dapat
diobeservasi dan diukur meliputi kondisi, perilaku, atau dari persepsi
pasien, keluarga, atau komunitas sebagai respon terhadap intervensi
keperawatan. Luaran keperawatan merupakan perubahan kondisi yang
spesifik dan terukur yang perawat harapkan sebagai respon terhadap asuhan
keperawatan. Luaran keperawatan dapat membantu perawat memfokuskan
atau mengarahkan asuhan keperawatan karena merupakan respon fisiologis,
psikologis, sosial, perkembangan atau spiritual yang menunjukkan
perbaikan masalah kesehatan pasien. (PPNI, 2019)
5. EVALUASI
Tahapan keempat pada proses dokumentasi keperawatan adalah
implementasi yaitu pelaksanaan intervensi asuhan keperawatan yang telah
ditetapkan. Dalam intervensi keperawatan tindakan yang dilakukan
mengamati pasien, memberi mereka bantuan terapeutik, edukasi, dan
kolaborasi (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Agar kondisi pasien cepat
membaik diharapkan bekerja sama dengan keluarga untuk memastikan
tujuan intervensi tercapai.
DAFTAR PUSTAKA

Harianto, Harianto. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dewasa Penderita Ppok


Dengan Masalah Keperawatan Gangguan Pola Tidur Di Ruang Asoka Rs
Harjono Ponorogo. Diss. Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 2021.

Khairani, Fathia, Fathur Nur Kholis, and Dwi Ngestiningsih. Hubungan Antara
Skor Copd Assessment Test (Cat) Dengan Rasio Fev1/Fvc Pada Pasien
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok) Klinis: Studi kasus pada pasien di
RSUP dr. Kariadi Semarang. Diss. Diponegoro University.

Lindayani, Luh Putu, and Theodore Dharma Tedjamartono. "Penyakit Paru


Obstruktif Kronis (Ppok)."

Paramitha, Pratna. Respon Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (Ppok) Dengan
Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi Terhadap Penerapan
Fisioterapi Dada Di Rumah Sakit Khusus Paru “Respira”. Diss. Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta, 2020.

PPNI (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia

Anda mungkin juga menyukai