Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL

BEDAH PADA NY S DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS


DI RUANG DAHLIA RSUD DR SOEDIRMAN KEBUMEN

Disusun Oleh :

Melfin Al Fatih
2211040194

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

PURWOKERTO 2022
A. PENGERTIAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan suatu kondisi irreversible yang

berkaitan dengan dipsnue saat beraktifitas dan penurunan masuk serta keluarnya udara

paru-paru (Smeltzer & Bare, 2010). Penyakit paru-paru obstruksi kronis (PPOK)

merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru

yang berlangsung lama (Grace &Borlay, 2011) yang ditandai oleh adanya respon

inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (Padila, 2012).

B. ETIOLOGI

a. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi.

b. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi paru-

paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.

c. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan asma orang dengan

kondisi ini berisiko mendapat PPOK.

d. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang normalnya

melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang kekurangan enzim ini dapat

terkena empisema pada usia yang relatif muda, walau pun tidak merokok

C. TANDA DAN GEJALA

PPOK memengaruhi sistem pernapasan sehingga dapat menimbulkan banyak tanda-tanda


dan gejala yang menyebabkan masalah pernapasan. Beberapa gejala dan tanda-tanda
PPOK, antara lain:
 batuk kronis (berkepanjangan)
 batuk dengan dahak berwarna bening, putih, abu kekuningan atau hijau—meskipun
jarang, lendir bisa terdapat bercak darah
 sring infeksi pernapasan, seperti flu dan pilek
 sesak napas, terutama saat beraktivitas fisik
 perasaan sesak di dada
 mengi

 kelelahan

 demam ringan dan panas-dingin


Pada awalnya, Anda mungkin tidak merasakan gejala apa pun. Atau, kalaupun gejalanya
muncul Anda hanya mengalami gejala ringan sehingga tidak menyadari bahwa Anda
memiliki PPOK. Oleh karena merupakan penyakit progresif, gejalanya baru benar-benar
mengganggu jika penyakit ini sudah cukup lama bersarang dalam tubuh Anda.
D. PATOFISIOLOGI

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang

diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal,

perifer parenkim, dan vaskularisasi paru yang dikenakan adanya suatu inflamasi yang

kronik dan perubahan structural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada

saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen

dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen

saluran nafas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat

inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit. Dalam keadaan normal radikal bebas dan

antioksidan berada dalam keadaan seimbang apabila terjadi gangguan keseimbangan

maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar

menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru.

Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan

menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan

menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel

makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya factor

kemotataktik neutrophil seperti interleukin 8 dan leukotriene B4, tumuor necrosis factor
(TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS).

E. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Putra (2013) manifetasi klinis pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik

(PPOK) adalah : Gejala dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah seperti

susah bernapas, kelemahan badan, batuk kronik, nafas berbunyi, mengi atau wheezing

dan terbentuknya sputum dalam saluran nafas dalam waktu yang lama. Salah satu gejala

yang paling umum dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sesak nafas atau

dyosnea. Pada tahap lanjutan dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), dypsnea

dapat memburuk bahkan dapat dirasakan ketika penderita sedang istirahat atau tidur.

Manifestasi klinis utama yang pasti dapat diamati dari penyakit ini adalah sesak

nafas yang berlangsung terus menerus. Menurut Chronic Obstructive Pulmonary Disease

(COPD) Internasional (2012), pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

mengalami perubahan bentuk dada. Perubahan bentuk yang terjadi yaitu diameter bentuk

dada antero-posterior dan transversal sebanding atau sering disebut barrel chest.

Kesulitan bernafas juga terjadi pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

yaitu bernafas dengan menggunakan otot bantu pernafasan dalam jangka waktu yang

lama, maka akan terjadi hipertropi otot dan pelebaran di sela-sela iga atau daerah

intercostalis. Bila telah mengalami gagal jantung kanan, tekanan vena jugularis meninggi

dan akan terjadi edema pada ekstremitas bagian bawah.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Chest X-ray : dapat menunjukkan hiperinflasi paru-paru, diafragma mendatar,

peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskuler/bullae (emfisema),

peningkatan bentuk bronkovaskuler (bronchitis), dan normal ditemukan saat periode

remisi
(asma) (Soemantri, 2008).

b. Uji Faal Paru Dengan Spirometri dan Bronkodilator (postbronchodilator) : berguna

untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan

prognosis pasien. Pemerikasaan ini penting untuk memperlihatkan secara objektif adanya

obstruktif saluran pernafasan dalam berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk

mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal atau dapat

disebut forced vital capacity (FVC). Spirometri juga berfungsi untuk mengukur volume

udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama atau disebut juga forced expiratory

volueme in 1 second (FEV1). Rasio dari kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang

sering digunakan untuk menilai fungsi paruparu. Penderita Penyakit Paru Obstruktif

Kronik (PPOK) secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC serta nilai

dari rasio pengukuran FEV1/FVC

G. PENATALAKSANAAN

Menurut Black (2014) penatalaksanaan non medis Penyakit Paru Obstruktif Kronik

(PPOK) meliputi :

a. Membersihkan sekret bronkus Kebersihan paru diperlukanan untuk mengurangi

resiko infeksi.

Cara untuk membersihkan sekret adalah dengan mengeluarkannya, dengan cara :

1. Batuk efektif Batuk membantu memecah sekret dalah paru-paru sehingga lendir dapat

dikeluarkan atau diludahkan. Caranya pasien diposisikan duduk tegak dan menghirup

nafas dalam lalu setelah 3 kali nafas dalam, pada ekspirasi ketiga nafas dihembuskan dan

dibatukkan.

2. Fisioterapi dada Tindakan fisioterapi dada menurut Pangastuti, HS dkk (2019) meliputi
: perkusi, vibrasi, dan postural drainase. Tujuan dari intervensi ini adalah untuk

membantu pasien bernafas dengan lebih bebas dan membantu dalam pembersihan paru

dari sekret yang menempel di saluran nafas. Tindakan ini dilakukan bersamaan dengan

tindakan lain untuk lebih mempermudah keluarnya sekret, contoh : suction, batuk efektif,

pemberian nebulizer dan pemberian

b. Bronkodilator

Bronkidilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1 dan atau

mengubah variabel spirometri. Obat ini bekerja dengan mengubah tonus otot polos pada

saluran pernafasan dan meningkatkan refleks bronkodilatasi pada aliran ekspirasi

dibandingkan dengan mengubah elastisitas paru. Bronkodilator berkerja dengan

menurunkan hiperventilasi saat istirahat dan beraktivitas, serta akan memperbaiki

toleransi tubuh terhadap aktivitas. Pada kasus Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

kategori berat atau sangat berat sulit untuk memprediksi perbaikan FEV1 yang diukur

saat istirahat.

c. Mendorong olahraga Semua pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Mendapat keuntungan dengan program olahraga, yaitu meningkatkan toleransi tubuh

terhadap aktvitas, menurunnya dypsnea dan kelelahan. Olahraga tidak memperbaiki

fungsi paru, tetapi olahraga dapat memperkuat otot pernafasan.

d. Meningkatkan kesehatan secara umum Cara lain adalah dengan memperbaiki

pola hidup pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),

Yaitu dengan menghindari rokok, debu, dan bahan kimia akibat pekerjaan, serta polusi

udara. Serta didukung dengan asupan nutrisi yang adekuat.


H. PATHWAY PPOK

I. KOMPLIKASI

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut Grece & Borley (2011)
mengakibatkan komplikasi antara lain:
a. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nialai Pa02 < 55 mmHg, dengan
nilai saturasi oksigen < 85%. Pada awalnya klien akan mengalmi perubahan
mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa.

b. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang muncul
antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizzines, dan takipnea.
c. infeksi Respirator
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan
rangsangan otot polos bronkial serta edema mukosa. Terbatasnya aliran udara
akan menyebabkan peningkatan kerja napas dantimbulnya dispnea.
d. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dispnea berat. Komplikasi ini sering kali
berhubungan dengan bronkitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga
dapat mengalami masalah ini.
e. Kardiak Disritmia
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respirator
J. PENGKAJIAN

Pengkajian keperawatan harus mencakup dari manifestasi klinis dari penyakit

paru obstruktif kronis (PPOK). Pengkajian mengenai riwayat penyakit terdahulu dapat

membantu menentukan apakah pasien memiliki kelainan lain seperti penyakit jantung

yang dapat mempengaruhi terapi. Tanyakan apakah pasien merokok, kaji masalah

psikososial dan stressor yang mungkin menjadi penyebab ekserbasi penyakit paru

obstruktif kronis (PPOK). Catat derajat dypsnea, adanya ortopnea, penurunan suara nafas,

dan gejala klinis gagal jantung. Catat oksimetri awal sebagai dasar dan jumlah oksigen

yang dihirup. Catat adanya batuk 29 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta yang produktif,

nyeri saat batuk, demam, serta warna dan konsistensi sputum (Black, 2014).

a. Anamnesis Menurut Muttaqin (2018) : Dipsnea adalah keluhan utama penyakit

paru obstruktif kronis (PPOK). Pasien biasanya mempunyai riwayat merokok dan

riwayat batuk kronik, bertempat tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara

berat, adanya riwayat alergi, adanya riwayat asma pada masa kanak-kanak.

Perawat
perlu mengkaji riwayat atau faktor pencetus ekserbasi yang meliputi allergen,

stress emosional, peningkatan aktivitas fisik yang berlebihan, terpapar dengan

polusi udara, serta infeksi saluran pernafasan. Perawat juga perlu mengkaji obat-

obat yang biasa diminum pasien, memeriksa kembali setiap jenis obat apakah

masih relevan untuk digunakan kembali. Pengkajian pada tahap lanjut penyakit,

didapatkan kadar oksigen dalam darah rendah (hipoksemia) dan kadar karbon

dioksida dalam darah yang tinggi (hiperkapnea). Pasien rentan terhadap reaksi

inflamasi dan infeksi akibat penumpukan sekret. Setelah infeksi terjadi, gejala

yang timbul adalah adanya suara tambahan yaitu wheezing atau mengi yang

terdengar saat pasien ekspirasi. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan

adalah hal yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin mengalami distensi

selama ekspirasi. Pada bagian jari sering didapatkan adanya jari tabuh.

b. Pemeriksaan Fisik Fokus Menurut Muttaqin (2014) :

1) Inspeksi Pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), terlihat

adanya peningkatan dari usaha nafas dan frekuensi pernafasan. Pada saat inspeksi,

biasanya terlihat bentuk dada pasien seperti tong atau biasa disebut barrel chest

akibat udara yang terperangkap di ruang paru-paru dan tidak bisa dikeluarkan,

penipisan masa otot, bernafas dengan bibir yang dirapatkan, dan pernafasan

abnormal yang tidak efektif. Pada tahap lanjut, dypsnea terjadi pada saat

beraktifitas sehari-hari seperti berjalan dan mandi. Pengkajian batuk produktif

dikaji dengan melihat sputum purulent disertai dengan demam yang

mengindikasikan adanya gejala terjadinya infeksi pernafasan.

2) Palpasi Pada palpasi, ekspansi dada pasien meningkat dan pada pemeriksaan
traktil fremitus biasanya mengalami penurunan.

3) Perkusi Saat dilakukan perkusi dada sering didapatkan suara dada normal

hingga terdengar suara hipersonor, sedangkan diafragma mendatar/menurun.

4) Auskultasi Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan wheezing sesuai

dengan tingkat keparahan obstruktif pada bronkhiolus.

K. DIAGNOSA

Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI) tahun 2017, diagnosa yang

mungkin mulcul pada pasien dengan diagnosa penyakit paru obstruktif (PPOK) adalah :

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan nafas dan

sekresi yang tertahan,

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.

c. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan.

d. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan tubuh primer (statis

cairan tubuh).

e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan

kebutuhan oksigen dan dyspnea.

L. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Intervensi keperawatan
Intervensi dan rasional pada penyakit ini didasarkan pada konsep Nursing
Interventien Classification (NIC) dan Nursing Outcome Classification (NOC)
menurut Nanda (2015)

Dx keperawatan SLKI SIKI

Berihan jalan Setelah dilakukan Tindakan Manajemen Jalan Nafas


nafas
keperawatan selama 2x24 jam O:
diharapkan bersihan jalan nafas - Monitor pola nafas
dapat teratasi dengan kriteria hasil: - Monitor bunyi nafas tambahan

Indicator A Ak - Posisikan semi fowler


- Lakukan fisiotertpi dada
ronchi 2 5 jika perlu
- Lakukan relaksasi pernafasan
Dyspnea 2 5 - Berikan oksigen

Frekuensi nafas 2 5 - Anjurkan asupan cairan 2000


ml/hari jika tidak kontraindikasi
- Latih batuk efektif
C:
Kolaborasi pemberian bronkodilator
Defisit nutrisi Setelah dilakukan Tindakan Manajemen Nutrisi
keperawatan selama 3x24 jam
Observasi
diharapkan deficit nutrisi
dapat teratasi dengan kriteria - Identifikasi status nutrisi
hasil:
- Monitor asupan makanan
Indicator A Ak
Terapeutik
Porsi yang 2 5
- Sajikan makanan secara
dihabiskan
menarik dan suhu yang sesuai
Frekuensi makan 2 5
- Berikan makanan tinggi kalori
Membrane 2 5
Edukasi
mukosa
- Anjurkan posisi duduk, jika mampu

- Anjurkan makan sedikit tapi

sering Kolaborasi

Kolaborasi dengan ahli gizi


menentukan jumlah kalori dan
jenis
nutrien yang dibutuhkan
Intoleran Setelah dilakukan Tindakan Manajemen Energi :
aktivitas
keperawatan selama 2x24 jam Observasi
diharapkan intoleran aktivitas
- Monitor TTV
dapat teratasi dengan kriteria hasil:
- Monitor kelelahan fisik
Indicator A Ak
- Monitor pola dan jam
Keluhan lelah 2 5
tidur Terapeutik
Dyspnea saat 2 5 - Sediakan lingkungan
aktivitas nyaman dan rendah stimulus
(cahaya, suara dan
Kemudahan 2 5 kunjungan)
dalam melakukan - Lakukan latihan rentang
aktivitas gerak pasif atau aktif

Edukasi

- Anjurkan tirah baring

- Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap

Kolaborasi

Kolaborasi dengan ahli gizi tentang


cara meningkatkan asupan
makanan
M. DAFTAR PUSTAKA

- Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume

2. Jakarta, EGC.

- Carpenito Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta:

EGC

- Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.

- Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification

(NIC) second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.

- NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi

- Price, Sylvia. 2003. Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC.

- Smeltzer C Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah,


Brunner and Suddarth’s, Ed 8 Vol 1. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai