Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

PADA Tn.A DI RS BHAYANGKARA STUKPA

TANGGAL 04 JANUARI 2022

SITI SOHIPAH

NIM : 32722001D19106

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI

2022
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive
Pulmunary Disease (COPD)adalah penyakit yang dikirikan oleh keterbatasan
aliran udara yang tidak dapat pulih sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara
biasanya bersifat progresif dan dikaitkan dengan respons inflamasi paru yang
abnormal terhadap partikel atau gas berbahaya, yang menyebabkan penyempitan
jalan napas, hipersekresi mukus, dan perubahan pada sistem pembuluh darah paru
(Brunner & Suddarth, 2013)
Penyakit Paru Obstuktif Kronis (Chronic Obstructive Pulmunary
Disease-COPD) merupakan istilah yang sering digunakan untuk sekelompok
penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan
resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan penyakit paru-paru yang
ditandai dengan penyumbatan pada aliran udara dari paru-paru. Penyakit ini
merupakan penyakit yang mengankam kehidupan dan mengganggu pernafasan
normal. (WHO dalam Maisaroh, 2018).

B. Klasifikasi PPOK
PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat, menurut Global Initiative for Chronik
Obstruktuve Cung Disease (GOCD) dalam Rahmadi tahun 2015, yaitu:
1. Derajat 0 (beresiko)
Gejala klinis : memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi
sputum, dan dispnea, terdapat paparan faktor resiko, sprirometri : normal.
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala Klinis : batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada
derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa menderita PPOK.
3. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala Klinis : sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan
gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai
memeriksakan kesehatannya.
4. Derajat III (PPOK Berat)
Gejala Klinis : sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan
eksasernasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien
5. Derajat IU (PPOK sangat berat)
Gejala Klinis : Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal
jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup
pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengankam jiwa biasanya
disertai gagal napas kronik.

C. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
menurut Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) dalam Rahmadi (2015) adalah :
1. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi.
2. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi
paru-paru bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
3. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan asma orang
dengan kondisi ini berisiko mendapat PPOK
4. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang
normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang
kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif muda,
walau pun tidak merokok
D. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Reeves (2001) dalam Rahmadi (2015) adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan kiri dari PPOK adalah malfungsi kronis
pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan
produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek
sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada
batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan
produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan
berat badan yang kukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan
mampu sekara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang
menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan
sekara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan
yang kukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak
yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan
(isolasi sosial) penurunan kemampuan penkernaan sekunder karena tidak kukupnya
oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih
membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam
melakukan pernafasan.
E. Fatofisiologi
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap
rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia
yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.
Perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan
sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Proses ventilasi
terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.
(Jakkson dalam Rahmadi, 2015).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan
kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan sekara progresif merusak
strukturstruktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan
kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada
ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (rekoil) paru sekara
pasif setelah inspirasi. Dengan demikian apabila tidak terjadi rekoil pasif, maka udara
akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps. (Greke & Borley dalam
Rahmadi, 2015).
F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
(PPOK) menurut Somantri (2009) antara lain :
a. Chest V-Ray : dapat menunjukan hiperinflation paru, flattened diafragma,
peningkatan ruang udara restrotenal, penurunan tanda vaskuler/bullae
(emfisema), peningkatan suara bronkovaskular (bronkitis), normal ditemukan
saat periode remisi (asma).
b. Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea,
menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau
restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi, dan mengevaluasi efek dari terapi,
misalnya bronkodilator.
c. Total Cung Capakity (TCC) : meningkat pada bronkitis berat dan biasanya
pada asma, namun menurun pada emfisema.
d. Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema.
e. FGU1/FUC : rasio tekanan volume ekspirasi (FGU) terhadap tekanan
kapasitas vital (FUC) menurun pada bronkitis dan asma.
f. Arterial Blood Gasses (ABGs) : menunjukan proses penyakit kronis, sering
kali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkitis kronis dan
emfisema), tetapi sering kali menurun pada asma, pH normal atau asidosis,
alkalosis repiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang
atau asma).
g. Bronkogram : dapat menunjukan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolaps
bronkial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus
(bronkitis).
h. Darah Cengkap : terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan
eosinofil (asma).
i. Kimia Darah : alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema primer.
j. Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi dan mengidentifikasi
patogen, sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan untuk menentukan
penyakit keganasan atau alergi.
k. Glektrokardiogram (GKG) : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asma
berat), atrial distritmia (bronkitis), gelombang P pada leads II, III, dan AUF
panjang, tinggi (pada bronkitis dan emfisema), dan aksis YRS vertikal
(emfisema).
l. Gxerkise GKG, Stress test : membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi
pernapasan, mengevaluasi keefektifan obat bronkodilator, dan
merenkanakan/evaluasi program.

G. Komplikasi PPOK
Menurut Irman Sumantri (2009), Komplikasi PPOK yaitu :
a. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 3 55 mmHg, dengan
nilai saturasi oksigen 3 85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan
mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan
timbul sianosis.
b. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang
munkul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizzines, dan takipnea.
c. Infeksi Respiratori
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan
rangsangan otot polos bronkial serta edem mukus. Terbatasnya aliran udara
akan menyebabkan peningkatan kerja napas dan timbulnya dispnea.
d. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonl (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dispnea berat. Komplikasi ini sering
kali berhubungan dengan bronkitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat
juga dapat mengalami masalah ini.
e. Kardiak Disritma
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratori.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma brokial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengankam kehidupan, dan sering kali
tidak berespons terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu
pernapasan dan distensi vena leher sering kali terlihat pada klien dengan asma.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer dalam Rahmadi (2015) adalah :
1. Penkegahan yaitu menkegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a) Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b) Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika
kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis
yang memproduksi beta laktamase.
c) Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin,
atau doksisilin pada pasien yang mengalami
eksasebrasi akut terbukti memperkepat penyembuhan dam membantu
memperkepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari
selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-
tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang lebih kuat.
d) Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e) Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f) Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan
adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan
nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv sekara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a) Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x
0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b) Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas
tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif dari fungsi faal paru.
c) Fisioterapi.
d) Catihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e) Mukolitik dan ekspektoran.
f) Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II
dengan PaO237,3kPa (55 mmHg).
g) Rehabilitasi, pasien kenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar
dari depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru
obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi
pekerjaan

Anda mungkin juga menyukai