Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN PENYAKIT

PPOK
DI RSUD dr. ABDOER RAHEM SITUBONDO

OLEH :

Amilia Dwi Indrawati


22101055

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS dr. SOEBANDI
JEMBER
2023
LAPORAN PENDAHULUAN PENYAKIT

DIABETES MELITUS

1.1 Pengertian
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau disebut juga dengan COPD
(Cronic Obstruktif Pulmonary Disease) adalah pernafasan yang
dikarakteristikkan oleh obstruksi pada aliran udara yang penyebab utamanya
adalah inflamasi jalan nafas, perlengketan mukosa, penyempitan lumen jalan
nafas atau kerusakan jalan nafas (Ikawati, 2016). PPOK adalah suatu istilah
yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan di tandai oleh peningkatan retensi terhadap aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya.
Definisi eksaserbasi akut pada PPOK adalah kejadian akut dalam
perjalanan alami penyakit dengan karakteristik adanya perubahan basal
sesak napas, batuk, dan/atau sputum yang diluar batas normal dalam variasi
hari ke hari (GOLD, 2009). Penyakit yang termasuk dalam kelompok
penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai berikut:
a. Bronkitis kronis
Gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mucus yang
berlebihan dalam bronkus dan termanifestasikan dalam bentuk batuk
kronis dan pembentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun, paling
sedikit 2 tahun berturut – turut
b. Emfisema
Perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding
alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar
c. Asma
Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang meningkat dari
trachea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan
manifestasi berupa kesukaran bernafas yang disebabkan oleh peyempitan
yang menyeluruh dari saluran nafas
1.2 Etiologi
Merokok merupakan resiko utama terjadinya Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK). Sejumlah zat iritan yang ada didalam rokok menstimulasi
produksi mukus berlebih, batuk, merusak fungsi silia, menyebabkan
inflamasi, serta kerusakan bronkiolus dan dinding alveolus. Faktor resiko lain
termasuk polusi udara, perokok pasif, riwayat infeksi saluran nafas saat
anak-anak, dan keturunan. Paparan terhadap beberapa polusi industri tempat
kerja juga dapat meningkatkan resiko terjadinya Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) (Black, 2014).
1.3 Klasifikasi
Klasifikasi derajat PPOK menurut Global initiative for chronic Obstritif
Lung Disiase (GOLD) (2011)
a. Derajat I (PPOK Ringan): Gejala batuk kronik dan produksi
sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering tidak
menyadari bahwa menderita PPOK.
b. Derajat II (PPOK Sedang): Gejala sesak mulai dirasakan saat
aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum.
Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan
kesehatannya.
c. Derajat III (PPOK Berat): Gejala sesak lebih berat, penurunan
aktivitas, rasa lelah dan serangan eksasernasi semakin sering dan
berdampak pada kualitas hidup pasien.
d. Derajat IV (PPOK Sangat Berat): Gejala di atas ditambah tanda-
tanda gagal napas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan
oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk dan jika
eksaserbasi dapat mengancam jiwa biasanya disertai gagal napas
kronik

1.4 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala yang biasa dialami pasien PPOK yang mengalami
bersihan
jalan napas tidak efektif (Ikawati, 2016) sebagai berikut :
1. Batuk kronis selama 3 bulan dalam setahun, terjadi berselang atau
setiap hari, dan seringkali terjadi sepanjang hari.
2. Produksi sputum secarakronis
3. Lelah,lesu
4. Sesak nafas (dispnea) bersifat progresif sepanjang waktu, memburuk
jika berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi pernapasan.
5. Penurunan toleransi terhadap aktivitas fisik (cepat lelah,terengah-
engah)
Manifestasi Klinik Penyakit Paru Obstruktif Kronis adalah sebagai
berikut (Padila, 2012) :
1. Batuk yang sangat produktif, puruken, dan mudah memburuk oleh
iritan-iritan inhalan, udara dingin, atau infeksi.
2. Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastisitas paru
menyebabkan dada mengembang.
3. Dispnea atau sesak napas.
4. Takipnea
5. Hipoksia
1.5 Pemeriksaan Penunjang

2. Pemeriksaan
penunjang yang
diperlukan adalah
sebagai berikut:
3. a. Pemeriksaan
radiologis
4. Pada bronchitis
kronik secara
radiologis ada beberapa
hal yang perlu
5. diperhatikan:
6. 1) Tubular shadows
atau farm lines terlihat
bayangan garis-garis
yang
7. parallel, keluar dari
hilus menuju apeks paru.
Bayangan tersebut
adalah
8. bayangan bronkus
yang menebal.
9. 2) Corak paru yang
bertambah
10. Pada emfisema paru
terdapat 2 bentuk
kelainan foto dada yaitu:
11. 1) Gambaran
defisiensi arteri, terjadi
overinflasi, pulmonary
oligoemia
12. dan bula. Keadaan ini
lebih sering terdapat
pada emfisema
panlobular
13. dan pink puffer.
14. 2) Corakan paru
yang bertambah.
15. b. Pemeriksaan faal
paru
16. Pada bronchitis
kronik terdapat VEP1
dan KV yang
menurun, VR yang
17. bertambah dan KTP
yang normal. Pada
emfisema paru terdapat
penurunan
18. VEP1, KV, dan
KAEM (kecepatan arum
ekspirasi maksimal) atau
MEFR
19. (maximal expiratory
flow rate), kenaikan
KRF dan VR,
sedangkan KTP
20. bertambah atau
normal. Keadaan diatas
lebih jelas pada
stadium lanjut,
21. sedang pada stadium
dini perubahan hanya
pada saluran napas kecil
(small
22. airways). Pada
emfisema kapasitas
difusi menurun karena
permukaan
23. alveoli untuk difusi
berkurang.
24. Analisis gas darah.
25. Pada bronchitis
PaCO2 naik, saturasi
hemoglobin menurun,
timbul
26. sianosis, terjadi
vasokonstriksi vaskuler
paru dan penambahan
eritropoesis.
27. Hipoksia yang
kronik merangsang
pembentukan
eritropoetin sehingga
28. menimbulkan
polisitemia. Pada
kondisi umur 55-60
tahun polisitemia
29. menyebabkan jantung
kanan harus bekerja
lebih berat dan
merupakan salah
30. satu penyebab payah
jantung kanan.
31. d. Pemeriksaan
EKG Kelainan yang
paling dini adalah
rotasi clock wise
32. jantung. Bila sudah
terdapat kor pulmonal
terdapat deviasi aksis
kekanan
33. dan P pulmonal pada
hantaran II, III, dan aVF.
Voltase QRS rendah Di
V1
34. rasio R/S lebih dari
1 dan V6 rasio R/S
kurang dari 1. Sering
terdapat
35. RBBB inkomplet.
36. e. Kultur sputum,
untuk mengetahui
petogen penyebab
infeksi.
37. f. Laboratorium
darah lengkap
38. Analisis gas darah.
39. Pada bronchitis
PaCO2 naik, saturasi
hemoglobin menurun,
timbul
40. sianosis, terjadi
vasokonstriksi vaskuler
paru dan penambahan
eritropoesis.
41. Hipoksia yang
kronik merangsang
pembentukan
eritropoetin sehingga
42. menimbulkan
polisitemia. Pada
kondisi umur 55-60
tahun polisitemia
43. menyebabkan jantung
kanan harus bekerja
lebih berat dan
merupakan salah
44. satu penyebab payah
jantung kanan.
45. d. Pemeriksaan
EKG Kelainan yang
paling dini adalah
rotasi clock wise
46. jantung. Bila sudah
terdapat kor pulmonal
terdapat deviasi aksis
kekanan
47. dan P pulmonal pada
hantaran II, III, dan aVF.
Voltase QRS rendah Di
V1
48. rasio R/S lebih dari
1 dan V6 rasio R/S
kurang dari 1. Sering
terdapat
49. RBBB inkomplet.
50. e. Kultur sputum,
untuk mengetahui
petogen penyebab
infeksi.
51. f. Laboratorium
darah lengkap
52. Pemeriksaan
penunjang yang
diperlukan adalah
sebagai berikut:
53. a. Pemeriksaan
radiologis
54. Pada bronchitis
kronik secara
radiologis ada beberapa
hal yang perlu
55. diperhatikan:
56. 1) Tubular shadows
atau farm lines terlihat
bayangan garis-garis
yang
57. parallel, keluar dari
hilus menuju apeks paru.
Bayangan tersebut
adalah
58. bayangan bronkus
yang menebal.
59. 2) Corak paru yang
bertambah
60. Pada emfisema paru
terdapat 2 bentuk
kelainan foto dada yaitu:
61. 1) Gambaran
defisiensi arteri, terjadi
overinflasi, pulmonary
oligoemia
62. dan bula. Keadaan ini
lebih sering terdapat
pada emfisema
panlobular
63. dan pink puffer.
64. 2) Corakan paru
yang bertambah.
65. b. Pemeriksaan faal
paru
66. Pada bronchitis
kronik terdapat VEP1
dan KV yang
menurun, VR yang
67. bertambah dan KTP
yang normal. Pada
emfisema paru terdapat
penurunan
68. VEP1, KV, dan
KAEM (kecepatan arum
ekspirasi maksimal) atau
MEFR
69. (maximal expiratory
flow rate), kenaikan
KRF dan VR,
sedangkan KTP
70. bertambah atau
normal. Keadaan diatas
lebih jelas pada
stadium lanjut,
71. sedang pada stadium
dini perubahan hanya
pada saluran napas kecil
(small
72. airways). Pada
emfisema kapasitas
difusi menurun karena
permukaan
73. alveoli untuk difusi
berkurang.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan radiologis
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
1) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang
parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah
bayangan bronkus yang menebal.
2) Corak paru yang bertambah Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk
kelainan foto dada yaitu:
a. Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia
dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan
pink puffer.
2) Corakan paru yang bertambah.
b. Pemeriksaan faal paru Pada bronchitis kronik terdapat VEP1
dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP yang normal.
Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM
(kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory
flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau
normal. Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada
stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small airways).
Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli
untuk difusi berkurang.
c. Analisis gas darah. Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi
hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler
paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang
pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada
kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan
harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah
jantung kanan.
d. Pemeriksaan EKG Kelainan yang paling dini adalah rotasi
clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi
aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS
rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1.
Sering terdapat RBBB inkomplet.
e. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
f. Laboratorium darah lengkap
1.6 Diagnosa Banding
asthma bronkial, tuberkulosis paru, dan bronkiektasis.
1.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat tejadi pada PPOK adalah:
a. Gagal nafas
1. Gagal nafas kronis Dapat diatasi dengan menjaga keseimbangan PO2 dan
PCO2, bronkodilator adekuat, terapi oksigen yang adekuat terutama
waktu aktivitas atau waktu tidur, antioksidan, latihan pernapasan dengan
pursed lips breathing.
2. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis, ditandai oleh sesak nafas
dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam,
kesadaran menurun
b. Infeksi berulang Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan
menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi
berulang. Pada kondisi kronis ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai
dengan menurunnya kadar limfosit darah.
c. Kor pulmonal Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit >
50%, dapat disertai gagal jantung kanan.
a. Hiperglikemia atau hipoglikemia
b. Meningkatnya resiko infeksi
c. Komplikasi mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati
d. Komplikasi neurofatik
e. Komplikasi makrovaskuler seprti penyakit jantung koroner stoke.
(Subekti, 2005).
1.8 Penatalaksanaan

2 Penatalaksanaan PPOK
adalah sebagai berikut :
3 a. Meniadakan faktor
etiologi/presipitasi,
misalnya segera
menghentikan
4 merokok, menghindari
polusi udara.
5 b. Membersihkan
sekresi bronkus dengan
pertolongan berbagai
cara.
6 c. Memberantas
infeksi dengan
antimikroba. Apabila
tidak ada infeksi
7 antimikroba tidak perlu
diberikan. Pemberian
antimikroba harus tepat
8 sesuai dengan kuman
penyebab infeksi yaitu
sesuai hasil uji
sensitivitas
9 atau pengobatan
empirik.
10 d. Mengatasi
bronkospasme dengan
obat-obat bronkodilator.
Penggunaan
11 kortikosteroid untuk
mengatasi proses
inflamasi
(bronkospasme) masih
12 controversial.
13e. Pengobatan
simtomatik.
14f. Penanganan terhadap
komplikasi-komplikasi
yang timbul.
15 g. Pengobatan
oksigen, bagi yang
memerlukan. Oksigen
harus diberikan
16 dengan aliran lambat
1 – 2 liter/menit.
17 h. Tindakan
rehabilitasi yang meliputi:
Penatalaksanaan PPOK adalah sebagai berikut :
a. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan
merokok, menghindari polusi udara.
b. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
c. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat
sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas
atau pengobatan empirik.
d. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan
kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih
controversial.
e. Pengobatan simtomatik.
f. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
g. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan
dengan aliran lambat 1 – 2 liter/menit.
h. Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret
bronkus.
2) Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan
pernapasan yang paling efektif.
3) Latihan dengan beban olahraga tertentu, dengan tujuan untuk
memulihkan kesegaran jasmani.
4) Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita
dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula.
5) Pengelolaan psikosial, terutama ditujukan untuk penyesuaian diri
penderita dengan penyakit yang dideritanya.

1.8 Konsep Keperawatan


Pengkajian
Secara umum pengkajian dimulai dengan mengumpulkan data tentang:
a. Biodata Pasien
b. Riwayat Kesehatan
c. Keluhan Utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien PPOK adalah sesak
nafas
yang sudah berlangsung lama sampai bertahun-tahun, dan semakin
berat
setelah beraktivitas . keluhan lainnya adalah batuk, dahak berwarna
hijau,,
sesak semakin bertambah, dan badan lemah.
d. Riwayat Kesehatan Sekarang
e. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
f. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tujuan menanyakan riwayat keluarga dan sosial pasien penyakit
paru-paru
sekurang-kurangnya ada 3 hal, yaitu:
1)Penyakit infeksi tertentu khususnya tuberkolosis ditularkan
melalui
satu orang ke orang lainnya. Manfaat menanyakan riwayat kontak
dengan orang terinfeksi akan dapat diketahui sumber penularannya.
2) Kelainan alergi, seperti asma bronchial, menunjukkan suatu
predisposisi keturunan tertentu. Selain itu serangan asma mungkin
dicetuskan oleh konflik keluarga atau orang terdekat.
3)Pasien bronchitis kronis mungkin bermukim di daerah yang
tingkat
polusi udaranya tinggi. Namun polusi udara tidak menimbulkan
bronchitis kronis, melainkan hanya memperburuk penyakit tersebut.
g. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik focus pada PPOK
1) Inspeksi
Pada klien denga PPOK, terlihat adanya peningkatan usaha dan
frekuensi
pernapasan, serta penggunaan otot bantu nafas
(sternokleidomastoid).
Pada saat inspeksi, biasanya dapat terlihat klien mempunyai batuk

dada barrel chest akibat udara yang terperangkap, penipisan

massa otot,
bernafas dengan bibir yang dirapatkan, dan pernapasan abnormal
yang
tidak efektif. Pada tahap lanjut, dispnea terjadi pada saat
beraktifitas,
bahkan pada beraktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan
mandi.
Pengkajian produk produktif dengan sputum parulen
mengindikasikan
adanya tanda pertama infeksi pernafasan.
2) Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya
menurun.
3) Perkusi
Pada perkusi, didapatkan suara normal sampai hipersonor,
sedangkan
diafragma mendatar/menurun.
4) Auskultasi
Sering didapatkan adanya suara nafas ronkhi dan wheezing sesuai
tingkat
keparahan obstruktif pada bronkhiolus. (Muttaqin. 2008)
b. Data Bio-psiko-sosial-spiritual menurut Virginia Henderson
1)Bernafas
Pola nafas cepat, sesak (+), RR > 20x/mnt, takipnea, pernafasan cepat
dan dangkal
2)Makan dan minum
Makan dan minum biasanya berkurang dari normal, misalnya: dulu
makan
1 porsi setiap kali makan, namun setelah mengalami PPOK
makan dan
minim bisa ¼ porsi
3)Eleminasi
BAB sukar dengan konsistensi agak padat / mengalami melena,
BAK sedikit dari normal
4)Gerak dan aktivitas
Susah dan jarang beraktivitas, sebab ketika bergerak akan merasa
semakin
sesak
5)Istirahat tidur
Sulit untuk tidur nyenyak karena merasa sesak dan sulit bernafas
6)Kebersihan diri
Biasanya pasien yang mengalami PPOK jarang menjaga kebersihan
dirinya, sebab enggan untuk bergerak karena akan merasa sesak
7)Pengaturan suhu tubuh
Biasanya pasien yang mengalami PPOK suhu tubuhnya normal ( 36,5-
37,5 C )
8)Rasa nyaman
Biasanya pasien yang mengalami PPOK merasakan nyeri pada daerah
dada
9)Rasa aman
Biasanya pasien yang mengalami PPOK merasakan cemas karena
memikirkan penyakit yang dialami
10)Sosialisasi dan komunikasi
Jarang untuk berkominikasi karena akan menambah rasa sesak

Diagnosa Keperawatan
Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI) tahun
2017,
diagnosa yang mungkin mulcul pada pasien dengan diagnosa
penyakit paru
obstruktif (PPOK) adalah :
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi
jalan
nafas dan sekresi yang tertahan,
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi.
3. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot
pernapasan.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan
tubuh
primer (statis cairan tubuh).
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai
dan kebutuhan oksigen dan dyspnea
Perencanaan

N SDKI SLKI SIKI


O
1. Pola nafas tidak Setelah dilakukan Manajemen Jalan Nafas
efektif tindakan (L 1.01011)
berhubungan keperawatan selama Observasi :
dengan 1x24 jam 1. Monitor pola nafas
imaturitas “Pola Nafas” menurun (frekuensi, kedalaman,
neurologi dengan usaha napas)
Kriteria Hasil : 2. Monitor bunyi nafas
No Indikator Skala tambahan (mis.
1. Dispneu Menurun gurgling,mengi,
2. Penggunaan wheezing, ronkhi kering)
otot bantu Terapeutik :
nafas 1. Posisikan fowler
Menurun 2. Berikan oksigen
3. Frekuensi nafas Kolaborasi :
Membaik 1. Kolaborasi pemberian
4. Kedalaman brokodilator,
nafas 1. ekspektoran
meningkat
2. Defisit nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
berhubungan tindakan (L
dengan keperawatan 1.03119)
ketidakmampuan selama 1x24 jam Observasi :
mengabsorbsi “Status Nutrisi 1. Identifikasi status
nutrient Bayi” menurun nutrisi
dengan Kriteria 2. Identifikasi
Hasil : kebutuhan
No Indikator Skala kalori dan jenis
1. Berat badan nutrisi
Membaik 3. Identifikasi
2. Panjang badan perlunya
Meningkat pengunaan selang
3. pucat menurun nasogastric
4. Lapisan lemak 4. Monitor berat
Meningkat badan
5. Monitor hasil
pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik :
1. Berikan makanan
tinggi
kalori dan tinggi
protein
Kolaborasi :
1. Kolaborasi
dengan ahli
gizi untuk
menentukan
jumlah kalori dan
nutrisi
yang dibutuhkan
3. Risiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi
ditandai tindakan (L 1.14539)
dengan efek keperawatan selama Observasi :
prosedur 1x24 jam 1. Monitor tanda
invasive “Tingkat Infeksi” dan
menurun gejala infeksi local
dengan Kriteria Hasil : dan
No Indikator Skala sistemik
1. kemerahan Terapeutik :
Menurun 1. Cuci tangan
2. Kebersihan sebelum
badan dan sesudah kontak
Membaik dengan pasien dan
lingkungan pasien
2. Pertahankan
teknik
aseptic dan dan
pasien
dengan risiko tinggi
Edukasi :
1. Jelaskan tanda
dan gejala
infeksi
2. Ajarkan cara
mencuci tangan
yang benar
3. Ajarkan cara
memeriksa
kondisi luka atau
luka operasi

DAFTAR PUSTAKA

Padila . (2013). Asuhan keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika

Carpenito, Lynda Juall, (1998), Buku Saku Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta.
Doenges, E. Marylinn, dkk, (1994), Rencana Asuhan Keperawatan Dengan
Gangguan Sistem Endokrin, EGC Jakarta.
Doenges, E. Marylin, dkk, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan (edisi 3), EGC,
Jakarta.
Engram, Barbara, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, EGC,
Jakarta.
Guyton and Hall, (1997), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC. Jakarta.
Long, C. Barbara, (1996), Perawatan Medikal Bedah , Ikatan Alumni Pendidikan
Padjajaran Bandung.
Purmoharjo, Hotma, SKp, (1994), Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan
Sistem Endokrin, EGC, Jakarta.
Price, A. Sylvia dan Lorraine M. Wilson, (1995), Patofisiologi, Edisi IV, EGC.
Jakarta.
Tjokronegoro, Arjatmo, Prof. dr. Ph.D, Hendra Utama,(1999), Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi III, EGC. Jakarta.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI.(2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Anda mungkin juga menyukai