Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


1. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Chronic Pulmonary Disease /
COPD) mengarah pada sekelompok penyakit paru yang menyebabkan
hambatan pada saluran nafas sehingga membuat penderita sulit bernafas
(Abata, 2014).
Menurut Padila (2018), Penyakit Paru Obstruktif Kronik
merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok
penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan
resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya.
PPOK adalah suatu penyakit paru kronik yang ditandai dengan
adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya
reversible. Hambatan aliran udara tersebut umumnya bersifat progresif
dan berhubungan dengan respons inflamasi pulmonal terhadap partikel
atau gas berbahaya (Kardiyunah & Susanti, 2019).

2. Etiologi
Menurut Ikawati (2011), Ada beberapa faktor utama
berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi faktor paparan
lingkungan dan faktor host. Berikut faktor paparan lingkungan antara
lain:
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK,
dengan risiko 30 kali lebih besar pada perokok dibandingkan dengan
bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK.
Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok.

5
6

b. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan
keramik yang terpapar debu mempunyai risiko yang lebih besar
terkena penyakit ini.
c. Polusi udara
Pasien yang memiliki disfungsi paru akan semakin
memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa
berasal dari luar rumah maupun polusi dari dalam rumah.
d. Infeksi
Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan jumlah
sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan
penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko
terjadinya PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain
adalah :
a. Usia
Semakin bertambah usia, semakin besar menderita PPOK.
Pada pasien yang di diagnosa sebelum usia 40 tahun, kemungkinan
menderita gangguan genetik berupa defiensi al-antitripsin. Namun
kejadian ini hanya <1% pasien PPOK.
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko menderita PPOK daripada wanita,
mungkin terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada
kecenderungan peningkatan prevalensi PPOK wanita karena
meningkatnya jumlah perokok wanita.
c. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Individu dengan gangguan fungsi paru-paru mengalami
penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan waktu
daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko
terhadap berkembangnya PPOK.
7

d. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1 antitripsin (AAT)


Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan kejadian
emfisema, yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan di
dalam paru-paru secara progresif karena adanya
ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif.
Pada keadaan normal faktor protektif AAT menghambat enzim
proteolitik sehingga mencegah kerusakan. Karena itu, kekurangan
AAT menyebabkan berkurangnya faktor proteksi terhadap
kerusakan paru.

3. Manifestasi Klinis
Menurut Padila (2018), Manifestasi klinik pada PPOK antara lain :
a. Batuk yang sangat produktif, purulen, dan mudah memburuk oleh
iritan-iritan inhalan, udara dingin atau infeksi.
b. Sesak nafas atau dispnea.
c. Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastisitas paru
menyebabkan dada mengembang.
d. Takipnea.
e. Dispnea yang menetap.

4. Klasifikasi
Menurut GOLD dalam PDPI (2011), klasifikasi PPOK yaitu :
a. Derajat I : PPOK Ringan
Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak
sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa fungsi
paru mulai menurun.
b. Derajat II : PPOK Sedang
Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang
ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini
biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya.
8

c. Derajat III : PPOK Berat


Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan
serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas
hidup pasien.
d. Derajat IV : PPOK Sangat berat
Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal
jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas
hidup pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa.

5. Patofisiologi
Salah satu penyebab PPOM adalah merokok, yang akan
mengganggu kerja silia serta fungsi sel-sel makrofag dan menyebabkan
inflamasi pada jalan nafas, peningkatan produksi lendir (mukus),
destruksi septum alveolar serta fibrosis peribronkial. Perubahan
inflamatori yang dini dapat dipulihkan jika pasien berhenti merokok
sebelum penyakit paru meluas. Sumbatan mukus dan penyempitan jalan
napas menyebabkan udara napas terperangkap, seperti pada bronkhitis
kronis dan emfisema. Hiperinflasi terjadi pada alveoli paru ketika pasien
menghembuskan napas keluar. Pada inspirasi, jalan napas melebar
sehingga udara dapat mengalir melalui tempat obstruksi, sedangkan pada
ekspirasi, jalan napas menjadi sempit dan aliran udara napas akan
terhalang. Keadaan udara napas yang terperangkap umumnya terjadinya
pada asma dan bronkitis kronis (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2013).
Perubahan fisiologi saluran napas PPOK antara lain berupa
hipersekresi mukus, disfungsi silia, peningkatan resistensi saluran napas
konduksi, peningkatan compliance paru, air trapping, gangguan
pertukaran gas, hambatan aliran udara yang bersifat progresif, hipertensi
pulmoner, dan inflamasi sistemik (Brashier, Koudgle, 2012 dalam
Kardiyunah & Susanti, 2019).
9

6. Pathway

Infeksi pernapasan kronis

Hipersekresi mukus Peningkatan resestensi


Disfungsi silia Spasme bronkus saluran compliance
Peningkatan nafas kordisparu
Air traping

Hambatan pada bronkis

MK : Bersihan jalan napas tidak efektifMK : Gangguan Pertukaran Gas

Gambar 2.1 Pathway PPOK Sumber : (Kardiyunah & Susanti, 2019)


10

7. Komplikasi
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit
yang progresif dan tidak sepenuhnya reversibel seperti :
a. Gagal napas
1) Gagal napas kronik, hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg
dan PCO2 > 60 mmHg, dang pH normal.
2) Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh sesak
napas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan
purulen, demam, dan kesadaran menurun.
b. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan
menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi
infeksi berulang, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
c. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %,
dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2011) .

8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Padila (2018), pemeriksaan penunjang pada PPOK yaitu :
a. Pemeriksaan analisa gas darah : hipoksia dengan hiperkapnia
b. Rontgen dada : pembesaran jantung dengan diafragma normal atau
mendatar
c. Pemeriksaan fungsi paru : penurunan kapasitas vital (VC) dan
volume ekspirasi kuat (FEV), peningkatan volume residual (RV),
kapasitas paru total (TLC) normal atau sedikit meningkat.
d. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit : dapat sedikit meningkat.
11

9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOM secara khas menurut Kowalak, Welsh, &
Mayer (2013) adalah :
a. Pemberian obat bronkodilator untuk menurunkan bronkospasme dan
meningkatkan kerja mukosilier dalam membersihkan sekret dari
jalan napas.
b. Batuk yang efektif untuk mengeluarkan sekret.
c. Drainase postural untuk membantu mengalirkan sekret.
d. Fisioterapi dada untuk mengalirkan sekret.
e. Pemberian antibiotik untuk terapi infeksi saluran napas.
f. Penghentian kebiasaan merokok.
g. Terapi oksigen dengan konsentrasi rendah jika diperlukan
(pemberian oksigen dengan kecepatan aliran yang tinggi pada PPOM
dapat menimbulkan narcosis).
h. Peningkatan asupan cairan untuk mengencerkan mukus.

B. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas


1. Definisi
Ketidakefektifan bersihan jalan napas adalah suatu keadaan ketika
individu mengalami suatu ancaman nyata atau potensial pada status
pernapasan karena ketidakmampuannya untuk batuk secara efektif
(Tsamsuri, 2008). Ketidakefektifan bersihan jalan napas adalah
ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk
mempertahankan bersihan jalan napas (Herdman & Kamitsuru, 2018).

2. Etiologi
Menurut Doenges, Moorhouse, dan Murr (2015), etiologi pada
ketidakefektifan bersihan jalan napas, antara lain :
a. Lingkungan : Merokok, perokok pasif, inhalasi asap.
12

b. Obstruksi jalan napas : retensi sekret, sekresi pada bronkus, eksudat


pada alveoli, mukus yang berlebihan, spasme jalan napas, benda
asing di jalan napas, adanya jalan napas buatan.
c. Fisiologis : PPOK, asma, alergi pada jalan napas, hyperplasia
dinding bronkial, disfungsi neuromuscular, infeksi.

3. Batasan Karakteristik
Batasan karakteristik pada ketidakefektifan bersihan jalan
menurut Herdman & Kamitsuru (2018), adalah :
a. Dispnea
b. Batuk yang tidak efektif
c. Perubahan pola napas
d. Perubahan frekuensi napas yang meningkat
e. Suara napas tambahan
f. Sputum dalam jumlah yang berlebihan
g. Penurunan bunyi napas

4. Tanda Gejala
Tanda dan gejala pada ketidakefektifan bersihan jalan napas
menurut Herdman & Kamitsuru (2018) yaitu :
a. Mukus yang berlebihan
b. Terpajan asap
c. Benda asing dalam jalan napas
d. Sekresi yang tertahan
e. Perokok pasif
f. Perokok

5. Kondisi terkait
Kondisi yang terkait pada ketidakefektifan bersihan jalan napas,
menurut Herdman & Kamitsuru (2018) yaitu :
a. Spasme jalan napas
13

b. Jalan napas alergik


c. Asma
d. Penyakit paru obstruktif kronik
e. Eksudat dalam alveoli
f. Hyperplasia pada dinding bronkus
g. Infeksi
h. Disfungsi neuromuscular
i. Adanya jalan napas buatan

C. Pengelolaan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas


Pengelolaan ketidakefektifan bersihan jalan napas pada terdiri dari
farmakologi dan non farmakologi antara lain :
1. Farmakologi
Pengelolaan ketidakefektifan bersihan jalan napas farmakologi
menurut Ikawati (2011) dan PDPI (2011) antara lain :
a. Bronkodilator
Obat ini digunakan sesuai kebutuhan untuk melonggarkan
jalan nafas ketika terjadi serangan, atau secara regular untuk
mencegah atau mengurangi gejala. Jika obat yang diberikan dalam
bentuk inhalasi, teknik ini sangat penting untuk menjamin efektivitas
pemberian obat. Beberapa bronkodilator yang digunakan untuk
terapi PPOK adalah golongan antikolinergik, β-agonis, metilsantin,
dan kombinasinya.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral
atau injeksi intravena, untuk menekan inflamasi yang terjadi, dipilih
golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai
terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif
dan minimal 250 mg.
14

c. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

2. Non farmakologi
Pengelolaan ketidakefektifan bersihan jalan napas non
farmakologi meliputi:
a. Batuk efektif
Batuk efektif merupakan satu upaya untuk mengeluarkan
dahak dan menjaga paru-paru agar tetap bersih, disamping dengan
memberikan tindakan nebulizer dan postural drainage. Batuk efektif
dapat di berikan pada pasien dengan cara diberikan posisi yang
sesuai agar pengeluaran dahak dapat lancar. Batuk efektif ini
merupakan bagian tindakan keperawatan untuk pasien dengan
gangguan pernapasan akut dan kronis (Kisner & Colby, 1999 dalam
Nugroho & Kristiani 2011).
b. Fisioterapi dada
Fisioterapi dada adalah serangkaian tindakan keperawatan
yang bertujuan membersihkan dan mempertahankan kepatenan jalan
napas. Terapi ini terdiri dari dua tindakan, antara lain :
1) Perkusi adalah tindakan menepuk-nepuk kulit dengan tenaga
penuh menggunakan kedua tangan yang dibentuk menyerupai
mangkuk secara bergantian. Tujuannya untuk melepaskan
sumbatan sekret pada dinding bronkus.
2) Vibrasi adalah serangkaian getaran kuat yang dihasilkan oleh
kedua tangan yang diletakkan mendatar di atas dada klien.
Tujuannya untuk meningkatkan turbulensi udara yang
dihembuskan sehingga sekret terlepas dari dinding bronkus
(Ambarwati, 2014).
15

c. Drainase postural
Drainase postural adalah drainase sekret dari berbagai
segmen paru dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Untuk
mengeluarkan sekret dari segmen paru yang berbeda dibutuhkan
posisi yang berbeda juga. Posisi yang sering dilakukan adalah posisi
untuk mengeluarkan sekret pada segmen bawah paru, karena segmen
atas paru dapat mengalirkan sekretnya dengan memanfaatkan
gravitasi (Ambarwati, 2014).

D. Konsep Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruktif Kronik


1. Pengkajian
Menurut PDPI (2011), Pengkajian untuk menegakkan diagnosis
PPOK antara lain :
a. Anamnesis
1) Keluhan
a) Sesak napas yang bertambah berat bila aktivitas
b) Kadang-kadang disertai mengi
c) Batuk kering atau dengan dahak yang produktif
d) Rasa berat di dada
2) Riwayat penyakit
Keluhan klinis bertambah berat dari waktu ke waktu
3) Faktor predisposisi
a) Usia lebih dari 45 tahun
b) Riwayat merokok aktif atau pasif
c) Terpajan zat beracun (polusi udara, debu pekerjaan)
d) Batuk berulang pada masa kanak-kanak
e) Berat badan lahir rendah
b. Pemeriksaan fisik
1) Secara Umum
a) Penampilan pink puffer atau blue bloater ( bengkak merah
muda atau bengkak biru)
16

b) Pernapasan pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup


mencucu)
c) Tampak denyut vena jugularis atau edema tungkai bila telah
terjadi gagal jantung kanan
2) Toraks
Inspeksi : barrel chest (bentuk dada yang membulat dan
menonjol keluar), penggunaan otot bantu napas,
pelebaran sela iga
Perkusi : hipersonor pada emfisema
Auskultasi :
a) Suara napas vesikular, meningkat atau melemah
b) Terdapat ronkhi atau mengi pada waktu bernapas
c) Ekspirasi memanjang
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan darah Hb, leukosit
2) Analisis gas darah
3) Fungsi paru dengan PFR (Peak Flow Rate) bila memungkinkan.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada penyakit paru obstruktif
kronik yaitu :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
bronkokontriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak
efektif, infeksi bronkopulmonal.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan
ventilasi-perfusi.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea.
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
imunitas, malnutrisi (Padila, 2018).
17

3. Perencanaan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
bronkokontriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak
efektif, infeksi bronkopulmonal.
NOC :
1) Respiratory status : ventilation
2) Respiratory status : airway patency
Kriteria hasil :
1) Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih,
tidak ada sianosis dan dispnea (mampu mengeluarkan sputum,
mampu bernapas dengan mudah, tidak ada pursed lips).
2) Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa
tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang
normal, tidak ada suara nafas abnormal).
3) Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat
menghambat jalan nafas.

NIC :
Manajemen Jalan Nafas
1) Monitor tanda-tanda vital
2) Auskultasi suara nafas, catat area yang ventilasinya menurun
atau tidak ada dan adanya suara tambahan
3) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
4) Lakukan fisioterapi dada, sebagaimana mestinya
5) Motivasi pasien untuk bernafas pelan, dalam, berputar
6) Ajarkan untuk melakukan batuk efektif
7) Kolaborasikan dengan dokter pemberian obat (Nurarif &
Kusuma, 2015).
18

4. Implementasi
Implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan
tindakan yang merupakan tindakan keperawatan khusus yang diperlukan
untuk melaksanakan intervensi. Perawat melaksanakan tindakan
keperawatan untuk intervensi yang disusun dalam tahap perencanaan
kemudian pada tahap implementasi dengan mencatat tindakan
keperawatan dan respons klien terhadap tindakan tersebut (Kozier, Erb,
Berman, & Synder, 2011).

5. Evaluasi
Menurut Kozier, Erb, Berman, Synder (2011), Evaluasi
merupakan aspek penting proses keperawatan karena kesimpulan yang
ditarik dari evaluasi menentukan apakah intervensi keperawatan harus
diakhiri, dilanjutkan, atau diubah. Melalui evaluasi, perawat
menunjukkan tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap tindakan
mereka, menunjukkan perhatian pada hasil tindakan keperawatan, dan
menunjukkan keinginan untuk tidak meneruskan tindakan yang tidak
efektif, tetapi mengadopsi tindakan yang lebih efektif. Evaluasi
keperawatan terdiri dari 2 jenis antara lain :
a. Evaluasi Formatif
Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi
dilakukan sampai dengan tujuan tercapai.
b. Evaluasi Somatif
Evaluasi ini evaluasi akhir dimana dalam metode ini menggunakan
soap.
1) S (Subjektif) adalah informasi berupa ungkapan yang didapat
dari klien setelah tindakan diberikan.
2) O (Objektif) adalah informasi yang didapat berupa hasil
pengamatan, penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh
perawat setelah dilakukan tindakan.
19

3) A (Analisa) adalah membandingkan antara informasi subjektif


dan objektif dengan tujuan kriteria hasil kemudian diambil
kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi sebagian atau tidak
teratasi.
4) P (Planning) adalah rencana keperawatan lanjutan yang
dilakukan berdasarkan hasil analisa (Nursalam, 2011).
Adapun hasil yang diharapkan pada pasien penyakit paru
obstruktif kronik, yaitu :
a. Mencapai bersihan jalan napas
1) Berhenti merokok
2) Melakukan drainase postural dengan benar
3) Meningkatkan masukan cairan hingga 6 sampai 8 gelas sehari
b. Menunjukkan perbaikan pertukaran gas dengan menggunakan
bronkodilator dan terapi oksigen sesuai yang diresepkan
c. Memperbaiki pola pernapasan
Berlatih dan menggunakan pernafasan diafragma dan bibir
dirapatkan
d. Bebas dari komplikasi
a. Menunjukkan tidak adanya tanda-tanda gagal atau insufisiensi
pernapasan
b. Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (Smeltzer & Bare,
2013).

Anda mungkin juga menyukai