TINJAUAN PUSTAKA
2. Etiologi
Menurut Ikawati (2011), Ada beberapa faktor utama
berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi faktor paparan
lingkungan dan faktor host. Berikut faktor paparan lingkungan antara
lain:
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK,
dengan risiko 30 kali lebih besar pada perokok dibandingkan dengan
bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK.
Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok.
5
6
b. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan
keramik yang terpapar debu mempunyai risiko yang lebih besar
terkena penyakit ini.
c. Polusi udara
Pasien yang memiliki disfungsi paru akan semakin
memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa
berasal dari luar rumah maupun polusi dari dalam rumah.
d. Infeksi
Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan jumlah
sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan
penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko
terjadinya PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain
adalah :
a. Usia
Semakin bertambah usia, semakin besar menderita PPOK.
Pada pasien yang di diagnosa sebelum usia 40 tahun, kemungkinan
menderita gangguan genetik berupa defiensi al-antitripsin. Namun
kejadian ini hanya <1% pasien PPOK.
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko menderita PPOK daripada wanita,
mungkin terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada
kecenderungan peningkatan prevalensi PPOK wanita karena
meningkatnya jumlah perokok wanita.
c. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Individu dengan gangguan fungsi paru-paru mengalami
penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan waktu
daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko
terhadap berkembangnya PPOK.
7
3. Manifestasi Klinis
Menurut Padila (2018), Manifestasi klinik pada PPOK antara lain :
a. Batuk yang sangat produktif, purulen, dan mudah memburuk oleh
iritan-iritan inhalan, udara dingin atau infeksi.
b. Sesak nafas atau dispnea.
c. Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastisitas paru
menyebabkan dada mengembang.
d. Takipnea.
e. Dispnea yang menetap.
4. Klasifikasi
Menurut GOLD dalam PDPI (2011), klasifikasi PPOK yaitu :
a. Derajat I : PPOK Ringan
Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak
sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa fungsi
paru mulai menurun.
b. Derajat II : PPOK Sedang
Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang
ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini
biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya.
8
5. Patofisiologi
Salah satu penyebab PPOM adalah merokok, yang akan
mengganggu kerja silia serta fungsi sel-sel makrofag dan menyebabkan
inflamasi pada jalan nafas, peningkatan produksi lendir (mukus),
destruksi septum alveolar serta fibrosis peribronkial. Perubahan
inflamatori yang dini dapat dipulihkan jika pasien berhenti merokok
sebelum penyakit paru meluas. Sumbatan mukus dan penyempitan jalan
napas menyebabkan udara napas terperangkap, seperti pada bronkhitis
kronis dan emfisema. Hiperinflasi terjadi pada alveoli paru ketika pasien
menghembuskan napas keluar. Pada inspirasi, jalan napas melebar
sehingga udara dapat mengalir melalui tempat obstruksi, sedangkan pada
ekspirasi, jalan napas menjadi sempit dan aliran udara napas akan
terhalang. Keadaan udara napas yang terperangkap umumnya terjadinya
pada asma dan bronkitis kronis (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2013).
Perubahan fisiologi saluran napas PPOK antara lain berupa
hipersekresi mukus, disfungsi silia, peningkatan resistensi saluran napas
konduksi, peningkatan compliance paru, air trapping, gangguan
pertukaran gas, hambatan aliran udara yang bersifat progresif, hipertensi
pulmoner, dan inflamasi sistemik (Brashier, Koudgle, 2012 dalam
Kardiyunah & Susanti, 2019).
9
6. Pathway
7. Komplikasi
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit
yang progresif dan tidak sepenuhnya reversibel seperti :
a. Gagal napas
1) Gagal napas kronik, hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg
dan PCO2 > 60 mmHg, dang pH normal.
2) Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh sesak
napas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan
purulen, demam, dan kesadaran menurun.
b. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan
menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi
infeksi berulang, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
c. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %,
dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2011) .
8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Padila (2018), pemeriksaan penunjang pada PPOK yaitu :
a. Pemeriksaan analisa gas darah : hipoksia dengan hiperkapnia
b. Rontgen dada : pembesaran jantung dengan diafragma normal atau
mendatar
c. Pemeriksaan fungsi paru : penurunan kapasitas vital (VC) dan
volume ekspirasi kuat (FEV), peningkatan volume residual (RV),
kapasitas paru total (TLC) normal atau sedikit meningkat.
d. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit : dapat sedikit meningkat.
11
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOM secara khas menurut Kowalak, Welsh, &
Mayer (2013) adalah :
a. Pemberian obat bronkodilator untuk menurunkan bronkospasme dan
meningkatkan kerja mukosilier dalam membersihkan sekret dari
jalan napas.
b. Batuk yang efektif untuk mengeluarkan sekret.
c. Drainase postural untuk membantu mengalirkan sekret.
d. Fisioterapi dada untuk mengalirkan sekret.
e. Pemberian antibiotik untuk terapi infeksi saluran napas.
f. Penghentian kebiasaan merokok.
g. Terapi oksigen dengan konsentrasi rendah jika diperlukan
(pemberian oksigen dengan kecepatan aliran yang tinggi pada PPOM
dapat menimbulkan narcosis).
h. Peningkatan asupan cairan untuk mengencerkan mukus.
2. Etiologi
Menurut Doenges, Moorhouse, dan Murr (2015), etiologi pada
ketidakefektifan bersihan jalan napas, antara lain :
a. Lingkungan : Merokok, perokok pasif, inhalasi asap.
12
3. Batasan Karakteristik
Batasan karakteristik pada ketidakefektifan bersihan jalan
menurut Herdman & Kamitsuru (2018), adalah :
a. Dispnea
b. Batuk yang tidak efektif
c. Perubahan pola napas
d. Perubahan frekuensi napas yang meningkat
e. Suara napas tambahan
f. Sputum dalam jumlah yang berlebihan
g. Penurunan bunyi napas
4. Tanda Gejala
Tanda dan gejala pada ketidakefektifan bersihan jalan napas
menurut Herdman & Kamitsuru (2018) yaitu :
a. Mukus yang berlebihan
b. Terpajan asap
c. Benda asing dalam jalan napas
d. Sekresi yang tertahan
e. Perokok pasif
f. Perokok
5. Kondisi terkait
Kondisi yang terkait pada ketidakefektifan bersihan jalan napas,
menurut Herdman & Kamitsuru (2018) yaitu :
a. Spasme jalan napas
13
c. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
2. Non farmakologi
Pengelolaan ketidakefektifan bersihan jalan napas non
farmakologi meliputi:
a. Batuk efektif
Batuk efektif merupakan satu upaya untuk mengeluarkan
dahak dan menjaga paru-paru agar tetap bersih, disamping dengan
memberikan tindakan nebulizer dan postural drainage. Batuk efektif
dapat di berikan pada pasien dengan cara diberikan posisi yang
sesuai agar pengeluaran dahak dapat lancar. Batuk efektif ini
merupakan bagian tindakan keperawatan untuk pasien dengan
gangguan pernapasan akut dan kronis (Kisner & Colby, 1999 dalam
Nugroho & Kristiani 2011).
b. Fisioterapi dada
Fisioterapi dada adalah serangkaian tindakan keperawatan
yang bertujuan membersihkan dan mempertahankan kepatenan jalan
napas. Terapi ini terdiri dari dua tindakan, antara lain :
1) Perkusi adalah tindakan menepuk-nepuk kulit dengan tenaga
penuh menggunakan kedua tangan yang dibentuk menyerupai
mangkuk secara bergantian. Tujuannya untuk melepaskan
sumbatan sekret pada dinding bronkus.
2) Vibrasi adalah serangkaian getaran kuat yang dihasilkan oleh
kedua tangan yang diletakkan mendatar di atas dada klien.
Tujuannya untuk meningkatkan turbulensi udara yang
dihembuskan sehingga sekret terlepas dari dinding bronkus
(Ambarwati, 2014).
15
c. Drainase postural
Drainase postural adalah drainase sekret dari berbagai
segmen paru dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Untuk
mengeluarkan sekret dari segmen paru yang berbeda dibutuhkan
posisi yang berbeda juga. Posisi yang sering dilakukan adalah posisi
untuk mengeluarkan sekret pada segmen bawah paru, karena segmen
atas paru dapat mengalirkan sekretnya dengan memanfaatkan
gravitasi (Ambarwati, 2014).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada penyakit paru obstruktif
kronik yaitu :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
bronkokontriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak
efektif, infeksi bronkopulmonal.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan
ventilasi-perfusi.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea.
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
imunitas, malnutrisi (Padila, 2018).
17
3. Perencanaan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
bronkokontriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak
efektif, infeksi bronkopulmonal.
NOC :
1) Respiratory status : ventilation
2) Respiratory status : airway patency
Kriteria hasil :
1) Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih,
tidak ada sianosis dan dispnea (mampu mengeluarkan sputum,
mampu bernapas dengan mudah, tidak ada pursed lips).
2) Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa
tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang
normal, tidak ada suara nafas abnormal).
3) Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat
menghambat jalan nafas.
NIC :
Manajemen Jalan Nafas
1) Monitor tanda-tanda vital
2) Auskultasi suara nafas, catat area yang ventilasinya menurun
atau tidak ada dan adanya suara tambahan
3) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
4) Lakukan fisioterapi dada, sebagaimana mestinya
5) Motivasi pasien untuk bernafas pelan, dalam, berputar
6) Ajarkan untuk melakukan batuk efektif
7) Kolaborasikan dengan dokter pemberian obat (Nurarif &
Kusuma, 2015).
18
4. Implementasi
Implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan
tindakan yang merupakan tindakan keperawatan khusus yang diperlukan
untuk melaksanakan intervensi. Perawat melaksanakan tindakan
keperawatan untuk intervensi yang disusun dalam tahap perencanaan
kemudian pada tahap implementasi dengan mencatat tindakan
keperawatan dan respons klien terhadap tindakan tersebut (Kozier, Erb,
Berman, & Synder, 2011).
5. Evaluasi
Menurut Kozier, Erb, Berman, Synder (2011), Evaluasi
merupakan aspek penting proses keperawatan karena kesimpulan yang
ditarik dari evaluasi menentukan apakah intervensi keperawatan harus
diakhiri, dilanjutkan, atau diubah. Melalui evaluasi, perawat
menunjukkan tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap tindakan
mereka, menunjukkan perhatian pada hasil tindakan keperawatan, dan
menunjukkan keinginan untuk tidak meneruskan tindakan yang tidak
efektif, tetapi mengadopsi tindakan yang lebih efektif. Evaluasi
keperawatan terdiri dari 2 jenis antara lain :
a. Evaluasi Formatif
Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasi
dilakukan sampai dengan tujuan tercapai.
b. Evaluasi Somatif
Evaluasi ini evaluasi akhir dimana dalam metode ini menggunakan
soap.
1) S (Subjektif) adalah informasi berupa ungkapan yang didapat
dari klien setelah tindakan diberikan.
2) O (Objektif) adalah informasi yang didapat berupa hasil
pengamatan, penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh
perawat setelah dilakukan tindakan.
19