Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR PPOK

1. Pengertian PPOK

PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk

sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh

peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi

utamanya (Somantri, 2009).

PPOK adalah sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan

udara dari dan keluar paru. Gangguan yang penting adalah bronkitis

obstruktif emfisema, dan asma bronchial (Muttaqin, 2012).

PPOK adalah penyakit dicirikan oleh keterbatasan aliran udara

yang tidak dapat pulih sepenuhnya (Smeltzer & Bare, 2015).

2. Etiologi

Penyebab PPOK menurut Smeltzer dan Bare (2015) adalah :

a. Merokok sigaret

b. Polusi udara

c. Pajanan di tempat kerja (batu bara, katun, biji-bijian padi)

Merupakan faktor risiko penting yang menyebabkan terjadinya PPOK,

yang dapat terjadi dalam rentang waktu 20 sampai 30 tahun.

8
9

2. Patofisiologi

Obstruksi jalan napas menyebabkan reduksi aliran udara yang beragam

bergantung pada penyakit. Pada bronkhitis kronis dan bronkhiolitis terjadi

penumpukan lendir dan sekresi yang sangat banyak sehingga menyumbat

jalan napas. Pada emfisema, obstruksi pada pertukaran oksigen dan karbon

dioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan oleh

overekstensi ruang udara dalam paru. Pada asma jalan napas bronkial

menyempit dan membatasi jumlah udara yang mengalir ke dalam paru.

Protokol pengobatan tertentu digunakan dalam semua kelainan ini, meski

patofisiologi dari masing-masing kelainan ini membutuhkan pendekatan

spesifik.

PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi

genetik dengan lingkungan. Merokok, polusi udara, dan paparan ditempat

kerja (terhadap batubara, kapas, dan padi-padian) merupakan faktor risiko

penting yang menunjang terjadinya penyakit ini. Prosesnya terjadi dalam

rentang lebih dari 20-30 tahun. PPOK juga ditemukan terjadi pada individu

yang tidak mempunyai enzim yang normal untuk mencegah penghancuran

jaringan paru oleh enzim tertentu.

PPOK merupakan kelainan dengan kemajuan lambat yang

membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menunjukkan awitan (onset)

gejala klinisnya seperti kerusakan fungsi paru. PPOK sering menjadi

simptomatik selama tahun-tahun usia baya, tetapi insidennya meningkat

sejalan dengan peningkatan usia. Meskipun aspek-aspek fungsi paru tertentu


10

seperti kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi paksa (FEV) menurun

sejalan dengan peningkatan usia, PPOK dapat memperburuk perubahan

fisiologi yang berkaitan dengan penuaan dan mengakibatkan obstruksi jalan

napas misalnya pada bronkhitis serta kehilangan daya pengembangan

(elastisitas) paru misalnya pada emfisema. Oleh karena itu, terdapat

perubahan tambahan dalam rasio ventilasi-perfusi pada klien lansia dengan

PPOK.
11

Skema 2.1 Patofisiologi keperawatan PPOK

Bronkhitis Kronis Emfisema Asma Bronkial

Penumpukan lendir den Obstruksi pada Jalan napas bronkial


sekresi yang sangat pertukaran oksigen dan menyempit dan
banyak menyumbat karbon dioksida terjadi membatasi jumlah udara
jalan napas akibat kerusakan dinding yang mengalir ke dalam
violi paru-paru

Gangguan pergerakan udara dari dan


ke luar paru

Penurunan kemampuan batuk efektif Peningkatan usaha dan frekuensi


pernapasan, penggunaan otot
bantu pernapasan

Ketidakefektifan bersihan
jalan napas
Resiko tinggi infeksi Respons sistemis dan psikologis
pernapasan

Keluhan sistemis, Keluhan psikososial,


Peningkatan kinerja mual, intake nutrisi kecemasan, ketidaktahuan
pernapasan, hipoksemia tidak adekuat, malaise, akan prognosis
secara reversibel kelemahan, dan
keletihan fisik

Gangguan pertukaran Perubahan pemenuhan Kecemasan


gas nutrisi kurang dari Ketidaktahuan/
kebutuhan pemenuhan informasi
Gangguan pemenuhan
ADL

Risiko tinggi gagal napas Kematian

Sumber : Muttaqin (2012)


12

4. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala PPOK menurut Smeltzer dan Bare (2015) sebagai

berikut :

a. Batuk kronis

b. Produksi sputum

c. Dispnea saat mengerahkan tenaga kerap memburuk seiring dengan

waktu

d. Penurunan berat badan sering terjadi

e. Gejala yang spesifik dengan penyakit.

5. Komplikasi

Komplikasi PPOK menurut Somantri (2009) yaitu:

a. Hipoksemia

Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO 2 < 55 mmHg,

dengan nilai saturasi oksigen < 85%. Pada awalnya klien akan

mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi

pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul sianosis.

b. Asidosis Respiratori

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang

muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizzines, dan takipnea.

c. Infeksi Respiratori

Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi

mukus dan rangsangan otot polos bronkial serta edema mukosa.


13

Terbatasnya aliran udara akan menyebabkan peningkatan kerja napas

dan timbulnya dispnea.

d. Gagal Jantung

Terutama kor pulmonal (gagala jantung kanan akibat penyakit paru),

harus diobservasi terutama pada klien dengan dispnea berat.

Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronkhitis kronis,

tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.

e. Kardiak Distritmia

Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau

asidosis respiratori.

f. Status Asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma

bronkhial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancang kehidupan,

dan sering kali tidak berespons terhadap terapi yang bisa diberikan.

Penggunaan otot bantu pernapasan dan distensi vena leher sering kali

terlihat pada klien dengan asma.

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan PPOK menurut Muttaqin (2012) yaitu:

1. Pengobatan farmakologi.

a. Anti inflamasi (kortikosteroid, natrium kromolin dll)

b. Bronkodilator

Adrenergik: efedrin, epineprin, dan beta adrenergik agonis selektif.

Non adrenergik: aminofilin dan teofilin


14

c. Antihistamin

d. Steroid

e. Antibiotik

f. Ekspektoran

g. Oksigen digunakan 3L/menit dengan nasal kanul

h. Higiene paru

Cara ini bertujuan untuk membersihkan sekret dari paru,

meningkatkan kerja silia, dan menurunkan resiko infeksi.

dilaksanakan dengan nebulizer, fisioterapi dada, dan postural

drainase.

i. Latihan

Bertujuan untuk mempertinggi kebugaran dan melatih fungsi otot

skeletal agar lebih efektif dilaksanakan dengan jalan sehat.

j. Menghindari bahan iritan

Penyebab iritan jalan napas yang harus dihindari diantaranya asap

rokok dan perlu juga mencegah adanya alergen yang masuk ke

tubuh.

k. Diet

Klien sering mengalami kesulitan makan karena adanya dispenea.

Pemberian porsi yang kecil namun sering lebih baik dari pada makan

sekaligus banyak.
15

B. Konsep Teori Saturasi Oksigen

1. Pengertian saturasi oksigen

Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang berikatan

dengan oksigen dalam arteri, saturasi oksigen (SaO2) normal adalah antara

95 – 100 %. Hipoksia adalah kurangnya oksigen dalam darah terdiri dari

hipoksia ringan (SaO2 = 90-94%), hipoksia sedang (SaO2 =75-89%) dan

hipoksia berat (SaO2<75%) (Hidayat, 2007 dalam Anatriwija, 2016).

Dalam kedokteran, oksigen saturasi (SO2), sering disebut sebagai

"SATS", untuk mengukur persentase oksigen yang diikat oleh hemoglobin

di dalam aliran darah. Pada tekanan parsial oksigen yang rendah, sebagian

besar hemoglobin terdeoksigenasi, maksudnya adalah proses

pendistribusian darah beroksigen dari arteri ke jaringan tubuh (Hidayat,

2007 dalam Anatriwija, 2016).

2. Pengukuran Saturasi Oksigen

Pengukuran saturasi oksigen dapat dilakukan dengan beberapa

tehnik. Penggunaan oksimetri nadi merupakan tehnik yang efektif untuk

memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen yang kecil atau

mendadak (Tarwoto, 2006 dalam Anatriwija, 2016). Adapun cara

pengukuran saturasi oksigen antara lain :

a. Saturasi oksigen arteri (SaO2) nilai di bawah 90% menunjukkan

keadaan hipoksia (kurangnya oksigen dalam darah). Hipoksia karena

SaO2 rendah ditandai dengan sianosis. Oksimetri nadi adalah metode

pemantauan non invasif secara kontinyu terhadap saturasi oksigen


16

hemoglobin (SaO2). Meski oksimetri oksigen tidak bisa menggantikan

gas-gas darah arteri, oksimetri oksigen merupakan salah satu cara

efektif untuk memantau pasien terhadap perubahan saturasi oksigen

yang kecil dan mendadak. Oksimetri nadi digunakan dalam banyak

lingkungan, termasuk unit perawatan kritis, unit keperawatan umum,

dan pada area diagnostik dan pengobatan ketika diperlukan

pemantauan saturasi oksigen selama prosedur.

b. Saturasi oksigen vena (SvO2) diukur untuk melihat berapa banyak

mengkonsumsi oksigen tubuh. Dalam perawatan klinis, SvO 2 di bawah

60%, menunjukkan bahwa tubuh adalah dalam kekurangan oksigen,

dan iskemik penyakit terjadi. Pengukuran ini sering digunakan

pengobatan dengan mesin jantung-paru (Extracorporeal Sirkulasi), dan

dapat memberikan gambaran tentang berapa banyak aliran darah

pasien yang diperlukan agar tetap sehat.

c. Tissue oksigen saturasi (StO2) dapat diukur dengan spektroskopi

inframerah dekat. Tissue oksigen saturasi memberikan gambaran

tentang oksigenasi jaringan dalam berbagai kondisi.

d. Saturasi oksigen perifer (SpO2) adalah estimasi dari tingkat kejenuhan

oksigen yang biasanya diukur dengan oksimeter pulsa. Pemantauan

saturasi O2 yang sering adalah dengan menggunakan oksimetri nadi

yang secara luas dinilai sebagai salah satu kemajuan terbesar dalam

pemantauan klinis (Giuliano & Higgins, 2005 dalam Anatriwija,

2016).
17

3. Alat yang digunakan dan tempat pengukuran

Alat yang digunakan adalah oksimetri nadi yang terdiri dari dua

diode pengemisi cahaya (satu cahaya merah dan satu cahaya inframerah)

pada satu sisi probe, kedua diode ini mentransmisikan cahaya merah dan

inframerah melewati pembuluh darah, biasanya pada ujung jari atau daun

telinga, menuju foto detektor pada sisi lain dari probe (Welch, 2005 dalam

Anatriwija, 2016).

4. Faktor yang mempengaruhi bacaan saturasi

Faktor yang mempengaruhi bacaan saturasi menurut Kozier (2010) dalam

Anatriwija (2016) yaitu :

a. Hemoglobin (Hb) Jika Hb tersaturasi penuh dengan O2 walaupun nilai

Hb rendah maka akan menunjukkan nilai normalnya. Misalnya pada

klien dengan anemia memungkinkan nilai SpO2 dalam batas normal.

b. Sirkulasi Oksimetri tidak akan memberikan bacaan yang akurat jika

area yang di bawah sensor mengalami gangguan sirkulasi.

c. Aktivitas Menggigil atau pergerakan yang berlebihan pada area sensor

dapat menggangu pembacaan SpO2 yang akurat

C. Teknik Fisioterapi dada

1. Pengertian

Fisioterapi dada merupakan tindakan keperawatan dengan

melakukan drainase postural, tepukan dan vibrasi pada pasien yang

mengalami gangguan sistem pernafasan (Nesya, 2013).


18

2. Tujuan fisioterapi dada

Tujuan fisioterapi dada menurut Lusianah (2012) yaitu :

a) Membersihkan jalan napas dengan mencegah terjadinya akumulasi

sekresi paru

b) Memobilisasi sekret dan meningkatkan mekanisme batuk

c) Memperbaiki ventilasi paru dan reekspansi paru yang kolaps

3. Indikasi fisioterapi dada

Indikasi fisioterapi dada menurut Lusianah (2012) yaitu :

a) Retensi sekresi

b) Klien dapat bertoleransi terhadap posisi kepala dibawah untuk posisi

drainase

c) Klien mampu menerima instruksi untuk batuk dan pemberian vibrasi

4. Kontraindikasi fisioterapi dada

Kontraindikasi fisioterapi dada menurut Lusianah (2012) yaitu :

a) Klien dengan hemoragi, mestase penyakit paru, mestase keganasan

pada tulang, patah tulang, peningkatan tekanan intrakranial dan

emfisiema

b) Posisi tredelenberg dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan posisi

ini merupakan kontraindikasi pada klien dengan post operasi neuro,

peningkatan tekanan intrakranial atau hipertensi

c) Perkusi tidak boleh dilakukan pada klien dengan gangguan

kardiovaskuler tidak stabil, osteoporosi, fraktur, luka bakar, klien


19

terpasang pacemaker transvena temporer, emboli paru, efusi pleura,

epmhysema, pneumotoraks, abses paru, kehamilan pembedahan

d) Klien yang baru saja makan kurang dari 1 jam

5. Jenis-jenis fisioterapi dada

Jenis-jenis fisioterapi dada menurut Lusianah (2012) yaitu :

a. Postural drainase yaitu prinsip prosedur yang memanfaatkan pengaruh

gaya gravitasi kepada bronkus mayor dan trakea.

1) Tujuan Postural drainase

a) Mencegah infeksi

b) Membuat napas lebih baik

c) Mengembangkan alveoli

d) Menggerakkan sekresi yang terakumulasi

e) Mencegah akumulasi sekresi pada klien yang tidak sadar atau

yang diberikan ventilasi mekanis

2) Indikasi postural drainase

a) Gangguan bersihan jalan napas

b) Produksi sputum berlebihan (>25-30 ml/ hari)

c) Adanya alektasis yang disebabkan oleh plug mukus

d) Penyakit kistik fibrosis, bronkiektasis

3) Kontraindikasi postural drainase

a) Tekanan intrakranial > 20 mmHg

b) Injury leher dan kepala

c) Injury spinal akut, laminektomi


20

d) Penyakit hemoptisis akut

e) Klien yang mengalami kecemasan berat

f) Muntah

g) Luka bedah atau penyembuhan luka

4) Komplikasi postural drainase

a) Hipoksemia

b) Perdarahan pada paru

c) Muntah dan aspirasi

d) Nyeri otot, iga atau tulang belakang

5) Posisi postural drainase menurut Lusianah (2012) yaitu

Sebelum dilakukan postural drainase sebaiknya diberikan

bronkodilator atau nebulizer, diberikan oral hygiene. Dilakukan

sebanyak 2-3 kali perhari, waktu terbaik sebelum sarapan, sebelum

makan siang, sore hari dan sebelum tidur

a) Baringkan klien pada posisi sesuai kebutuhan (dapat bervariasi

dari satu klien ke klien yang lain). Bantu klien memilih posisi

sesuai kebutuhan. Ajarkan ke klien memosisikan postur dan

lengan serta kaki yang tepat. Letakkan bantal sebagai

penyangga dan kenyamanan

b) Minta klien mempertahankan posisi selama 10-15 menit . Pada

orang dewasa, pengaliran setiap area memerlukan waktu.

c) Selama 10-15 menit drainase pada posisi ini, dilakukan perkusi

dan vibrasi dada diatas area yang drainase


21

d) Setelah drainase pada posisi pertama, minta klien duduk dan

batuk.

e) Minta klien istirahat sebentar, jika perlu

f) Ulangi langkah 10-15 menit sampai semua area tersumbat yang

dipilih telah terdrainase. Setiap tindakan tidak lebih dari 30-60

menit

g) Ulangi pengkajian dada semua bidang paru

h) Cuci tangan

i) Dokumentasikan pada catatan perawatan tindakan yang telah

dilakukan dan respon klien

Gambar 2.1Fisioterapi dada

Sumber : Sonic (2012)

b. Vibrasi

Vibrasi merupakan kompresi dan getaran manual pada dinding dada

dengan tujuan menggerakkan secret ke jalan napas yang besar (Sonic,

2012).
22

Cara melakukan vibrasi menurut Lusianah (2012) yaitu :

1) Letakkan tangan, telapak tangan menghadap kebawah daerah dada

yang akan di drainase satu tangan diatas tangan yang lain dengan

jari-jari menempel bersama dan ekstensi. Cara yang lain, tangan

bisa diletakkan secara bersamaan

2) Vibrasi diberikan pada tiap segmen paru, diulang sebanyak 2-3 kali

untuk tiap segmen setelah selesai perkusi dan vibrasi kembalikan

posisi klien ke posisi yang nyaman dan minta klien untuk battuk

atau suction bila diperlukan. Selama proses perhatikan HR

sebelum, selama dan sesudah, suara napas sebelum dan sesudah,

respirasi dan batuk serta produksi sputum.

3) Anjurkan klien inspirasi dalam dan ekspirasi secara lambat lewat

hidung atau pursed lip breathing

4) Selama masa ekspirasi lakukan vibrasi. Hentikan jika klien

inspirasi

5) Vibrasi selama 5 kali ekspirasi pada segmen paru yang terserang

6) Anjurkan klien batuk dan keluarkan sekret kedalam tempat sputum

Gambar 2.2 Vibrasi

Sumber : Lusianah (2012)


23

c. Perkusi dada

Perkusi dada dilakukan dengan memeriksa seluruh bagian dada

yang memerlukan drainase. Tangan diposisikan seperti membentuk cup,

ujung jari menyentuh ibu jari diperkusikan pada permukaan dada

dengan gelombang amplitude dan frekuensi yang bervariasi menurut

perubahan konsistensi dan lokasi sputum (Lusianah, 2012).

1) Tutup area yang akan dilakukan perkusi dengan handul atau

mengurangi ketidaknyamanan. Pasang alas/ perlak dan bengkok

(dipangkuan klien bila duduk atau didekat mulut klien bila tidur

miring)

2) Jari dan ibu jari berhimpitan dan fleksi membentuk mangkuk

3) Perkusi pada setiap bagian segmen paru selama 1-2 menit

4) Perkusi tidak perlu dilakukan pada daerah dengan struktur yang

mudah cedera, seperti mammae, stemum, kolumna spinalis dan

ginjal.

Gambar 2.3 Perkusi

Sumber : Lusianah (2012)


24

D. Terapi inhalasi dengan alat nebulizer

1. Definisi alat nebulizer

Pada alat ini obat cair akan diubah menjadi uap, lalu dengan

menggunakan masker wajah uap tersebut akan dihirup ke dalam saluran

nafas. Biasanya untuk kondisi batuk-pilek (dahak kental), asma atau

ganguan saluran nafas lainnya (Purwanto, 2012).

Nebulizer adalah alat yang mengubah obat cair menjadi uap. Saat

bernapas lewat masker, uap obat akan masuk ke dalam paru-paru untuk

memperbaiki pernapasan (Andini, 2018).

Nebulizer adalah suatu alat yang bisa menyemburkan medikasi

atau agens pelembab seperti agens bronkodilator atau mukolitik menjadi

partikel mikroskopik dan mengirimkannya ke dalam paru – paru ketika

klien menghirup nafas (Madridista, 2018).

2. Teknik terapi inhalasi nebulizer

Terapi inhalasi adalah terapi pemberian obat dengan cara

menghirup larutan obat yang telah diubah menjadi bentuk uap dengan

bantuan alat tertentu misalnya nebulizer (Lusianah, 2012).

Prinsip alat nebulizer adalah mengubah obat yang berbentuk

larutan menjadi aerosol sehingga dapat dihirup penderita dengan

menggunakan mouthpiece atau masker. Dengan nebulizer dapat dihasilkan

partikel aerosol berukuran antara 2-5 µ. Alat nebulizer terdiri dari

beberapa bagian yang terpisah yang terdiri dari generator aerosol, alat
25

bantu inhalasi (kanul nasal, masker, mouthpiece) dan cup (tempat obat

cair) (Djaharuddin, 2015).

Model nebulizer terdiri dari 3 yaitu :

a. Nebulizer jet-aerosol dengan penekan udara (compressor nebulizer) =

memberikan tekanan udara dari pipa ke cup yang berisi obat cair untuk

memecah airan ke dalam bentuk partikel-partikel uap kecil yang dapat

dihirup ke dalam saluran napas

Gambar 2.4 Nebulizer jet-aerosol

Djaharuddin, 2015

b. Nebulizer ultrasonik (ultrasonic nebulizer) = menggunakan gelombang

ultrasounik (vibrator dengan frekuensi tinggi) untuk secara perlahan

merubah obat dari bentuk cair ke bentuk aerosol basah. Pada ultrasonic

nebulizer, gelombang suara diciptakan karena getaran dari kristal

piezoelektrik pada frekuensi tinggi yang memecah larutan menjadi

partikel-partikel aerosol kecil. Alat ini tidak sepenuhnya portable

karena masih memerlukan suplai listrik untuk pengisian/charging. Jika

dibandingkan dengan jet nebulizer, nebulizer jenis ini lebih mahal.

Walaupun ultrasonic nebulizer dapat melakukan nebulisasi larutan

lebih cepat daripada jet nebulizer dan alat ini cenderung tidak cocok

untuk suspensi dan kristal piezoelektrik dapat meningkatkan suhu dan


26

menonaktifkan obat-obat protein seperti dornase alfa. Alat ini juga

tidak efisien digunakan untuk nebulisasi cairan dan suspensi kental

dibandingkan dengan jet nebulizer

Gambar 2.5 Nebulizer ultrasonik (ultrasonic nebulizer)

Sumber : Djaharuddin, 2015

c. Nebulizer mini portable (portable nebulizer) = bentuknya kecil, dapat

dioperasikan dengan menggunakan baterai dan tidak berisik sehingga

nyaman digunakan

Gambar 2.6 Nebulizer mini portable (portable nebulizer)

Sumber : Djaharuddin, 2015

3. Tujuan terapi inhalasi

Terapi inhalasi menurut Lusianah (2012) yaitu :

a. Relaksasi saluran pernapasan

b. Menekan proses peradangan dan pembengkakan selaput lendir

c. Mengencerkan dan memudahkan pengeluaran dahak

d. Menjaga selaput lender dalam keadaan lembab

e. Melegakan pernapasan
27

4. Efek samping terapi inhalasi dengan nebulizer

Efek samping terapi inhalasi dengan nebulizer menurut Lusianah (2012)

yaitu :

a. Infeksi silang antar klien

b. Penyempitan saluran napas atau reflex vagal yang menyebabkan henti

napas

c. Penumpukan secret atau lendir

d. Iritasi pada selaput mata, kulit dan selaput lendir tenggorokan

5. Manfaat menggunakan nebulizer

Medikasi dapat diberikan langsung pada tempat/ sasaran aksinya

seperti paru-paru sehingga dosis yang diberikan rendah. dosis yang rendah

dapat menurunkan absorpsi sistemik dan efek samping sistemik.

Pengiriman obat melalui nebulizer ke paru-paru sangat cepat, sehingga

aksinya lebih cepat, sehingga aksinya lebih cepat daripada rute lainnya

seperti : subkutan/ oral (Lusianah, 2012).

6. Indikasi terapi inhalasi

Indikasi terapi inhalasi menggunakan nebulizer menurut Lusianah (2012)

yaitu

a. Alergi saluran pernapasan

b. Adanya secret/ lender berlebihan

c. Bronkospasme akut

d. Sesak napas dan batuk


28

7. Kontraindikasi

Kontraindikasi nebulizer menurut Lusianah (2012) yaitu :

a. Klien yang tidak sadar/ confusion tidak kooperatif dengan prosedur ini

b. Suara napas tidak ada/ berkurang, kecuali jika medikasi nebulizer

diberikan melalui endotracheal tube yang menggunakan tekanan

positif

c. Pemakaian katekolamin pada klien dengan cardiac irritability harus

dengan perlahan. Ketika diinhalasi ketokolamin dapat meningkatkan

cardiac rate dan menimbulkan disritmia

d. Medikasi nebulizer tidak dapat diberikan terlalu lama melalui IPPB/

intermitten positive pressure breathing, sebab IPBB mengiritasi dan

meningkatkan bronkospasme.

8. Pemilihan obat

Obat yang akan digunakan untuk terapi inhalasi yaitu disesuaikan

dengan intruksi yang di berikan oleh dokter dengan diagnosis atau

kelainan yang diderita oleh pasien. Obat yang digunakan berbentuk solutio

(cairan), suspensi atau obat khusus yang memang dibuat untuk terapi

inhalasi. Golongan obat yang sering digunakan melalui nebulizer yaitu

beta-2 agonis, antikolinergik, kortikosteroid, dan antiobiotik (Djaharuddin,

2015).

9. Komplikasi

Komplikasi penggunaan nebulizer menurut Djaharuddin (2015) yaitu :

a. Henti napas
29

b. Spasme bronkus atau iritasi saluran napas

c. Akibat efek obat yang digunakan seperti salbutamol (short acting beta-

2 agonist) dosis tinggi akan menyebabkan gangguan pada sistem

sekunder penyerapan obat. Hipokalemi dan disritmia dapat ditemukan

pada paslien dengan kelebihan dosis.

10. Cara Penggunaan Alat

Cara menggunakan alat nebulizer menurut Djaharuddin (2015) yaitu :

a. Buka tutup tabung obat, masukkan cairan obat kedalam alat penguap

sesuai dosis yang telah ditentukan.

b. Gunakan mouth piece atau masker (sesuai kondisi pasien). Tekan

tombol ON pada nebulizer. Uap yang keluar dihirup perlahan-lahan

dan dalam, inhalasi ini dilakukan terus menerus sampai obat habis.

Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai obat habis (+ 10 – 15 menit)

11. Interpretasi

Interprestasi nebulizer menurut Djaharuddin (2015) yaitu :

a. Bronkospasme berkurang atau menghilang

b. Dahak berkurang

12. Perhatian

Perhatian menggunakan nebulizer menurut Djaharuddin (2015) yaitu :

a. Bila memungkinkan, kumur daerah tenggorok sebelum penggunaan

nebulizer

b. Perhatikan reaksi pasien sebelum, selama dan sesudah pemberian

terapi inhalasi
30

c. Nebulisasi sebaikan diberikan sebelum waktu makan

d. Setelah nebulisasi klien disarankan untuk postural drainage dan batuk

efektif untuk membantu pengeluaran sekresi

e. Pasien harus dilatih menggunakan alat secara benar

f. Perhatikan jenis alat yang digunakan

g. Pada alat tertentu maka uap obat akan keluar pada penekanan tombol,

pada alat lain obat akan keluar secara terus menerus.

D. Penelitian terkait

Penelitian oleh Nurmayanti, Waluyo dan Jumaiyah dengan judul

Pengaruh fisioterapi dada, batuk efektif dan nebulizer terhadap peningkatan

saturasi oksigen pada pasien PPOK. Desain penelitian ini quasi eksperimen

dengan menggunakan metode observasi dengan pendekatan desain One group

pre – post test. Hasil statistik uji T berpasangan (wilcoxon test) untuk nilai p=

0,001 (p). Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh pemberian fisioterapi

dada, batuk efektif dan nebulizer terhadap peningkatan saturasi oksigen

dalam darah sebelum dan sesudah intervensi pada pasien PPOK.

Penelitian selanjutnya oleh Penelitian oleh Priadi, Nanang dan Angelin

dengan judul pengaruh fisioterapi dada terhadap ekspektorasi sputum dan

peningkatan saturasi oksigen penderita PPOK di RSP Dungus Madiun. Hasil

dan Analisis: Untuk ekspektorasi sputum, pada kelompok kontrol didapatkan

angka signifikansi 0.008 dengan rerata pre-test 0,2 cc dan post-test 0,87 cc.

Penelitian lain oleh Yuliana dan Agustina dengan judul Terapi

nebulizer mengurangi sesak nafas pada serangan asma bronkiale di ruang

IGD RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus. Hasil penelitian menggunakan


31

terapi nebulizer dengan obat bronkodilator yang dirubah menjadi partikel

aerosol karena terdapat tekanan udara, efek puncak dari obat-obat

bronkodilator sekitar 15-20 menit puncak akhir 1-2 jam dan lama kerja obat-

obat bronkodilator adalah 6-8 jam. Pengelolaan yang dilakukan selama 3

hari memberikan terapi nebulizer 3x/hari dengan bisolvon 20 tetes,

combivent 2,5 mg dan ventolin 2,5 mg dengan hasil RR yang semula

30x/menit menjadi 24 x/menit sehingga pasien terlihat nyaman dan tidak

terdengar suara tambahan wheezing. Untuk mengatasi sesak nafas dilakukan

pemberian terapi nebulizer cukup efektif diberikan, tetapi terapi nebulizer

dengan obat-obat bronkodilator tersebut bekerja sementara dikarenakan cara

kerjanya yakni mengencerkan dahak pada saluran pernafasan sehingga hal

ini tidak mengakibatkan obstruksi dan sumbatan jalan nafas.

Anda mungkin juga menyukai