Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

KRONIS (PPOK)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kegawatdaruratan yang diampu
oleh Rudiyanto,S.Kep.,Ns.,M.Kep

Oleh :

Naila Himma
NIM : 2017.02.025

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
BANYUWANGI
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

I. KONSEP TEORI
A. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan dengan
ciri-ciri adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible Pada klien
PPOK paru-paru klien tidak dapat mengembang sepenuhnya dikarenakan adanya
sumbatan dikarenakan sekret yang menumpuk pada paru-paru. (Lyndon Saputra,
2010).
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan
aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel
parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya
(GOLD, 2009). Selain itu menurut Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
merupakan satu kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang
menahun dan persisten dari jalan napas di dalam paru, yang termasuk dalam
kelompok terebut adalah : bronchitis, emfisema paru, asma terutama yang menahun,
bronkiektasis. Arita Murwani (2011).

B. Etiologi
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Brashers (2007) adalah :
1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok
menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan
fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan
dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi
pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada
kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang
diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan
rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko
terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko
morbiditas PPOK.

C. Manifestasi Klinis
Gejala–gejala awal Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang bisa muncul
setelah 5 – 10 tahun merokok adalah batuk yang berlendir. Batuk biasanya ringan dan
sering dianggap sebagai batuk normal seorang perokok. Selain itu, sering terjadi nyeri
kepala dan pilek. Selama pilek dahak menjadi kuning atau hijau karena ada nanah
akibat infeksi sekunder oleh bakteri. Setelah beberapa lama gejala tersebut akan
semakin sering dirasakan.
Mengi/bengek pun bisa timbul sebagai salah satu gejala PPOK. Pada usia
sekitar 60 tahun sering timbul sesak nafas ketika bekerja dan bertambah parah secara
perlahan. Akhirnya sesak nafas akan dirasakan ketika melakukan kegiatan rutin
sehari-hari, seperti di kamar mandi, mencuci pakaian, berpakaian, dan menyiapkan
makanan. Sekitar 30% penderita mengalami penurunan berat badan karena setelah
selesai mereka sering mengalami sesak napas yang berat sehingga penderita sering
tidak mau makan. Gejala lain yang mungkin menyertai adalah pembengkakan pada
kaki akibat gagal jantung. Pada stadium akhir bisa terjadi sesak nafas berat, yang
bahkan timbul ketika penderita tengah beristirahat, yang mengindikasikan adanya
kegagalan pernapasan yang akut. (Junaidi, 2010).

D. Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan
perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi
adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan
perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri
dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi
berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai
untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk
gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital
paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2011).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponenkomponen asap
rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mucus bronkus. Selain itu, silia
yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.
Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem
eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah
besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat
persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi
terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit
dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan
kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-
struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya
alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi
karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah
inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan
terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009). Berbeda dengan
asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil, komposisi seluler
pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap
rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan
elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan
jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan pertukaran
gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi
berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan
hipersekresi mukus.Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada
arteriol (Chojnowski, 2003).
E. Pathway

Pencetus (Asma, bronchitis Rokok dan polusi


kronis, emfisema)

Inflamasi
PPOK

Sputum meningkat
Perubahan anatomis
parenkim paru
Batuk

Pembesaran alveoli
MK : Bersihan jalan
napas tidak efektif
Hiperatropi kelenjar mukosa

Penyempitan saluran udara MK : Gangguan


secara periodik pertukaran gas

Infeksi
Ekspansi paru menurun

Leukosit meningkat

Suplai O2 tidak adekuat Kompensasi tubuh untuk memenuhi


ke seluruh tubuh kebutuhan O2 dengan meningkatkan Imun menurun
frekuensi pernapasan

Hipoksia Kuman endogen &


Kontraksi otot peernapasan endogen difagosit
penggunaan energy untuk makrofag
Sesak pernapasan meningkat

Anoreksia
MK : Pola napas MK : Intoleransi
tidak efektif aktivitas
MK : Gangguan
nutrisi kurang
dari kebutuhan
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pengukuran Fungsi Paru
a. Kapasitas inspirasi menurun.
b. Volume residu : meningkat pada emfisema, bronkhitis, dan asma.
c. FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif penyakit paru obstruktif
kronik.
d. FVC awal normal : menurun pada bronkhitis dan asma.
e. TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada emfisema).
2. Analisa Gas Darah
PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada asma. Nilai pH normal,
asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) meningkat pada polisetimia sekunder.
b. Jumlah darah merah meningkat.
c. Eosinofil dan total IgE serum meningkat.
d. Pulse oksimetri : SaO2 oksigenasi menurun.
e. Elektrolit menurun karena pemakaian obat diuretik.
4. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan gram kuman / kultur adanya infeksi campuran. Kuman patogen yang
biasa ditemukan adalah streptococcus pneumoniae, hemophylus influenzae, dan
moraxella catarrhalis
5. Pemeriksaan Radiologi Thoraks Foto (AP dan lateral)
Menunjukan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan bendungan area
paru. Pada emfisema paru didapatkan diagpragma dengan letak yang rendah dan
mendatar, ruang udara retrosternal ˃ (foto lateral), jantu ntung, memanjang dan
menyempit.
6. Pemeriksaan Bronkhogram
Menunjukan di latasi bronkus kolap bronkhiale pada ekspirasi kuat.
7. EKG
Kelainan EKG yang paling awal terjadi adalah rotasi clock wise jantung. Bila
sudah terdapat kor pulmonal, terdapat deviasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada
hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah. Di V1 rasio R/S lebi dari 1 dan di
V6 V1 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet (Smeltzer.
2011).
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
a. Gagal napas kronik :
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH
normal
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
1) Sesak napas dengan atau tanpa sianosis.
2) Sputum bertambah dan purulen.
3) Demam
4) Kesadaran menurun.
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik
ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit
darah.
3. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan. (Sherwood, 2011)

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer (2002) adalah :
Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara. Terapi
eksasebrasi akut dilakukan dengan :
1. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya
disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x
0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
2. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab
infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta
laktamase.
3. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada
pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan
membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari
selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
4. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia
dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
5. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
6. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada
pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250
mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv
secara perlahan.
Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
1. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4x0,25-0,5/hari
dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
2. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien
maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi
faal paru.
3. Fisioterapi.
4. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
5. Mukolitik dan ekspektoran.
6. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan
PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
7. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi,
rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
a. Identitas
Pengkajian merupakan tahap awal proses keperawatan, tahap pengkajian
diperlukan kecermatan dan ketelitian untuk mengenal masalah. Keberhasilan
proses keperawatan berikutnya sangat tergantungnya pada tahap ini. (S. Suarli
dan Bachtia, 2009:102)
1) Biodata klien :
Nama, umur, jenis kelamin, no.med.rec, tanggal masuk, tanggal
pengkajian, ruangan dan diagnosa medis.
2) Biodata penanggung jawab
Nama ayah dan ibu, umur, pendidikan, pekerjaan, suku I bangsa, agama,
alamat, hubungan dengan anak (kandung atau adopsi).
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan yang sering dikeluhkan pada orang yang mengalami Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sesak, batuk, nyeri dada,
kesulitanbernafas, demam, terjadinya kelemahan (Rohmad dan Walid,
2009:35).
2) Riwayat kesehatan sekarang
Di kembangkan dari keluhan utama melalui PQRST
P : Palliative/provokatif yaitu faktor-faktor apa saja yang memperberat
atau memperingan keluhan utama. Pada apasien PPOK tanyakan
tentang keluhan sesak napas, hal yang memperberat sesak, hal yang
memperingan sesak.
Q : Qualitatif/Quantitatif, yaitu berupa gangguan atau keluhan yang
dirasakan seberapa besar. Tanyakan tentang akibat sesak, dapat
mempengaruhi aktivitas klien, pola tidur klien dan seberapa berat
sesak yang terjadi.
R : Region/radiasi, yaitu dimana terjadi gangguan atau apakah keluhan
mengalami penyebaran.
S : Skala, yaitu berupa tingkat atau keadaan sakit yang dirasakan.
Tanyakan tingkat sesak yang dialami klien.
T : Timing, yaitu waktu gangguan dirasakan apakah terus menerus atau
tidak. Sesak yang dialami klien sering atau tidak. (Rohmad dan
Walid, 2009:36).
3) Riwayat kesehatan masa lalu
Dengan riwayat penyakit yang diderita klien yang berhubungan dengan
penyakit saat ini atau penyakit yang mungkin dapat dipengaruhi atau
memengaruhi penyakit yang diderita klien saat ini .(Rohman dan Walid,
2009:37).
4) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan keluarga dihubungkan dengan kemungkinan adanya
penyakit keturunan,kecenderungan alergi dalam satu keluarga,penyakit
yang menular akibat kontak langsung antara anggota keluarga (Rohman
dan Walid, 2009:37).

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dengan pendekatan persistem dimulai dari kepala Sampai
ujung kaki dapat lebih mudah.Dalam melakukan pemeriksaan fisik perlu dibekali
kemampuan dalam melakukan pemeriksaan fisik secara sistematis dan rasional.
Teknik pemeriksaan fisik perlu modalitas dasar yang digunakan meliputi: inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi (Mutaqqin, 2010:12).
1. Penampilan umum
Yaitu penampilan klien dimulai pada saat mempersiapkan klien untuk
pemeriksaan.
2. Kesadaran
Status kesadaran dilakukan dengan dua penilaian yaitu kualitatif dan
kuantitatif,secara kualitatif dapat dinilai antara lain yaitu composmentis
mempunyai arti mengalami kesadaran penuh dengan memberikan respon yang
cukup terhadap stimulus yang diberikan,apatis yaitu mengalami acuh tak acuh
terhadap lingkungan sekitarnya, samnolen yaitu mengalami kesadaran yang lebih
rendah dengan ditandai tampak mengai bahwa untuk, sopor mempunyai arti
bahwa klien memberikan respon dengan rangsangan yang kuat dan refleks pupil
terhadap cahaya tidak ada. sedangkan penilaian kesadaran terhadap kuantitatif
dapat diukur melalui penilaian (GCS) Glasgow Coma Scale dengan aspek
membuka mata yaitu, 4 respon verbal yaitu 5dan respons motorik yaitu nilai 6
(Aziz Alimul, 2009:116).
3. Tanda - Tanda Vital
Tanda- tanda vital merupakan pemeriksaan fisik yang rutin di lakukan dalam
berbagai kondisi klien. Pengukuran yang paling sering di lakukan adalah
pengukuran suhu, dan frekuensi pernafasan (Mutaqqin, 2010:35).
4. Sistem neurologi
Pada sistem neurologi kaji tingkat kesadaran dan refleks (Rohman dan Walid,
2009:51).
5. Sistem pendengaran
Pada sistem pendengaran kaji tingkat ketajaman klien dalam mendengarkan kata
kata, palpasi bentuk telinga, adanya cairan atau tidak, adanya tekan ataupun lesi
kulit (Mutaqqin, 2010: 117-119).
6. Sistem pernafasan
Pada sistem pernafasan kaji bentuk dada, gerakan pernafasan, adanya nyeri tekan
atau tidak, adanya penumpukan cairan atu tidak dan bunyi khas nafas serta bunyi
paru-paru (Mutaqqin, 2010:149-155). Gejala yang dialami pasien PPOK antara
lain nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol
pada emfisema , khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas
(asma), rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma).
7. Sistem kardiovaskular
Pada sistem kardiovaskular kaji adanya sianosis atau tidak, oedema pada
ektremitas, adanya peningkatan JVP atau tidak , bunyi jantung (Mutaqqin,
2010:173).
8. Sistem gastrointestinal
Pada sistem gastrointesnital kaji bentuk abdomen, frekuensi bising usus, adanya
nyeri tekan atau tidak, adanya masa benjolan atau tidak, bunyi yang dihasilkan
saat melakuka perkusi (Rohman dan Walid, 2009:50). Pada pasien PPOK
mengalami Mual atau muntah, nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema),
ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan, penurunan berat badan
menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema (bronchitis).
9. Sistem perkemihan
Kaji adanya nyeri atau tidak adanya keluhan saat miksi, adanya oedema atau
tidak, adanya masa atau tidak pada ginjal (Mutaqqin, 2010: 269).
10. Sistem integument
Pada sistem integumen dilakukan secara anamnesis pada klien untuk menemukan
permasalahan yang dikeluhkan oleh klien meliputi: warna kulit, tekstur kulit,
turgor kulit, suhu tubuh, apakah ada oedema atau adanya trauma kulit (Mutaqqin,
2010:77).
11. Sistem musculoskeletal
Kaji adanya deformitas atau tidak,adanya keterbatasan gerak atau tidak
(Mutaqqin, 2010:287).

C. Diagnosa
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret.
2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen ke
tubuh.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan proses penyakit
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan.
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
faktor biologis.

D. Intervensi
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan secret.
a. Kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam bersihan jalan napas
efektif dengan kriteria hasil :
Bersihan jalan napas (SLKI hal.18)
- Produksi sputum menurun
- Mengi menurun atau tidak terdengar bunyi mengi
- Dyspnea dan ortopnea menurun
- Frekuensi napas membaik
- Pola napas membaik
b. Intervensi
Manajemen jalan napas (SIKI Hal. 186)
- Observasi
1. Monitor pola naps (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
2. Monitor bunyi napas tambahan
3. Monitor sputum (jumlah, warna, dan aroma)
- Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
2. Posisikan semi-fowler atau fowler
3. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
4. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
5. Berikan oksigen jika perlu
- Edukasi
Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari jika tidak konraindikasi
- Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen ke
tubuh.
a. Kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi
intoleransi aktivitas dengan kriteria hasil :
Toleransi Aktivitas (SLKI Hal.149)
- Frekuensi nadi meningkat
- Saturasi oksigen meningkat
- Keluhan lelah menurun
- Frekuensi napas membaik
b. Intervensi
Dukungan ambulasi (SLKI Hal. 22)
- Observasi
1. Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
2. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
ambulasi
3. Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
- Terapeutik
1. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu
2. Fasilitasi melakukan mobilisasi
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
ambulasi
- Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
Manajemen Energi (SIKI Hal.176)
- Observasi
1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
2. Monitor pola dan jam tidur
- Terapeutik
1. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
2. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan atau aktif
- Edukasi
Anjurkan tirah baring
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan proses penyakit
a. Kriteria hasil
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam gangguan
pertukaran gas teratasi dengan kriteria hasil :
Pertukaran gas (SLKI Hal.94)
- Tingkat kesadaran meningkat
- Dyspnea menurun
- Bunyi napas tambahan menurun
- Napas cuping hidung menurun
- PCO2 dan PO2 membaik
- Takikardi membaik
b. Intervensi
Pemantauan respirasi (SIKI Hal.247)
- Observasi
1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
2. Monitor pola napas
3. Monitor adanya sumbatan jalan napas
4. Auskultasi bunyi paru
5. Monitor saturasi oksigen
6. Monitor nilai AGD
7. Monitor hasil x-ray thoraks
- Terapeutik
1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
- Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Terapi oksigen
- Observasi
1. Monitor kecepatan alira oksigen
2. Monitor posisi alat terapi oksigen
3. Monitor aliran oksigen secara periodic dab pastikan fraksi yang
diberikan cukup
4. Monitor efektifitas terapi oksigen
5. Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan atelektasis
- Terapeutik
1. Bersihkan sekret pada mulut, hidung, dan trakea, jika perlu
2. Pertahanjan kepatenan jalan napas
3. Berikan oksigen tambahan
- Edukasi
Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen di rumah
- Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
2. Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan tidur

E. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien
diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan. Evaluasi
keperawatan ditulis dengan format SOAP dimana:
S (subjektif) : yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O (objektif) : yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
A (analisis) : yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi, teratasi
sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
P (planning) : yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi (Prabowo, 2014)
DAFTAR PUSTAKA

Prabowo, E., & Pranata, A. E. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen Edisi
2. Jakarta : EGC Buku Kedokteran. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease. 2009. Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Barcelona: Medical Communications
Resources.

Junaidi Iskandar. 2010. Penyakit Paru dan Saluran Nafas. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer.

Sherwood L. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. 6 th ed. Jakarta : EGC.

Smeltzer. 2011. Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC.

Suarli, S dan Bachtiarh. 2009. Management Keperawatan Dengan Pendekatan Praktek.


Jakarta : Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai