Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN NY.

M DENGAN GANGGUAN
SISTEM PERNAFASAN : PENYAKIT PARU OBSTRUKSI
KRONIK DI IGD PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG

Disusun Oleh :

NUR MUTOHHAROH

A11300918

S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGIL ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH


GOMBONG

2015 / 2016
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Asuhan Keperawatan Ny. M dengan Gangguan Sistem Pernafasan :


Penyakit Paru Obstruksi Kronik Di Igd Pku Muhammadiyah Gombong telah
diterima dan disahkan pada :

Hari :

Tanggal :

Tempat :

Mengetahui

Pembimbing Praktek Pembimbing Klinis

Dadi Santoso M. Kep.Ns Wahyuningsih S.Kep.Ns


DAFTAR ISI

Judul................................................................................................................ i

Lembar Pengesahan......................................................................................... ii

Daftar Isi.......................................................................................................... iii

Bab 1 : Tinjauan Pustaka................................................................................ 1

A. Pengertian............................................................................................. 1
B. Etiologi.................................................................................................. 1
C. Batasan Karakteristik............................................................................ 2
D. Patofisiologi dan Patway Keperawatan................................................ 3
E. Intervensi Keperawatan........................................................................ 4

Bab 2 : Tinjaun Kasus..................................................................................... 8

Bab 3 : Pembahasan........................................................................................ 11

Bab 4 : Daftar Pustaka.................................................................................... iv

LAMPIRAN
BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
PPOK adalah penyakit paru obstruksi kronik dengan karakteristik
adanya hambatan aliran udara di salurann nafas yang bersifat progresif
nonreversible atau resversibel parsial, serta adanya respon inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang berbahaya (Gold, 2009).
PPOK / COPD (Cronic Obstruction Pulmonary Disease) adalah
istilah yag sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran
udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Price, Sylvia Anderson :
2005).
PPOK adalah kondisi ireversible yang berkaitan dengan dispnea
saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru
(Bruner & Suddarth, 2002).
PPOK merupakan obstruksi saluran pernafasan yang progresif dan
ireversibel, terjadi bersamaam bronkitis kronik, emfisema atau kedua-
duanya (Snider, 2003).
COPD adalah bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asma
bronchiale (Smeltzer, 2002).

B. Etiologi
Menurut Arief Mansjoer (2002) Penyebab terjadinya PPOK
tergantung dari jumlah partikel gas yang dihirup oleh seorang individu
selama hidupya. Partikel gas ini termasuk :
1. Asap rokok
a. Perokok aktif
b. Perokok pasif
2. Polusi udara
a. Polusi di dalam ruanga asap rokok, asap kompor
b. Polusi di luar ruangan, gas buang kedaraan bermotor, debu jalanan
3. Polusi ditempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
a. Infeksi saluran nafas bawah berulang
Faktor penyebab dan faktor utama menurut Nell. F. Gordan (2002)
bagi penderita PPOK atau kondisi yang secara bersama membangkitkan
penderita penyakit PPOK yaitu :
1. Usia semakin bertambah faktor resiko semakin tinggi
2. Jenis kelamin pria lebih beresiko dibanding wanita
3. Merokok
4. Berkurangnya fungsi paru-paru, bahka pada saat gejala penyakit tidak
dirasakan
5. Keterbukaan terhadap berbagai polusi, seperti asap rokok dan debu
6. Polusi udara
7. Infeksi sistem pernafasan akut seperti pneumonia dan bronkitis
8. Asma episodik
9. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim
yang normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan
orang yang kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia
yang relatif muda walaupun tidak merokok.

C. Batasan Karakteristik
Gejala-gejala PPOK eksaserbasi akut meliputi :
1. Batuk bertambah berat
2. Produksi sputum bertambah
3. Sputum berubah warna
4. Sesak nafas bertambah berat
5. Bertambahnya keterbatasan aktifitas
6. Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronik
7. Penurunan kesadaran
8. Ekspirasi yang memanjang
9. Penggunaan otot bantu pernafasan
10. Edema kaki, asites
D. Patofisiologi dan Patway Keperawatan
Faktor resiko utama dari PPOK adalah merokok. Kompone-
komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris da menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah
besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus berfungsi sebagai
tempat persemaian mikroorgaisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses
ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental
dan adanya peradangan (Gold, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur penunjang di paru. Akibat hilagnya elastisitas
saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran
udara kolaps terutama pada ekspirasi normal tejadi akibat pegempisan
(recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian apabila,
apabila tidak tejadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam
paru dan saluran udara kolaps (Gold, 2009).
Berbeda degan asma yang memiliki sel inflamasi predominan
berupa eusinofil, komposisi selular pada inflamasi saluran nafas pada
PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi
makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan Elastase,
yang tidak di imbagi denga antiprotease, sehingga terjadi kerusakan
jaringan (Kamangar, 2010). Kelainan ventilasi berhubungan dengan
adanya inflamasi jalan nafas, edema, bronkokonstriksi dan hipersekresi
mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada
arteriol (Chojnowski, 2003). Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan
sesak nafas dengan segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal
ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan
pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru seperti ventilasi, distribusi
gas, difusi gas maupun perfusi darah akan mengalami gangguan.

Patway

Pencetus

Asma, bronkitis, emfisema rokok dan polusi

PPOK Inflamasi

Perubahan anatomis Sputum meningkat


Parenkim paru batuk

Perbesaran alveoli
bersihan jalan nafas tidak
Hipertiroid kelenjar mukosa efektif

Penyempitan saluran nafas

Gangguan
Ekspansi paru pertukaran gas

Suplay O2 tidak adekuat frekuensi pernafasan cepat

Hipoksia kontraksi otot pernafasan,

Sesak penggunaan energi untuk

pernafasan meningkat
Pola Nafas tidak
efektif
Intoleransi
aktifitas

E. Intervensi Keperawatan
Diagosa Kep NOC NIC Rasional
Bersihan jalan Setelah dilakukan 1. Monitor 1. Mengetahui
nafas tidak tindakan respirasi dan peningkatan RR
efektif b.d keperawatan 1x 2 status O2 2. Mencegah
ketidakedekuatan jam diharapkan 2. Beri pasien – terjadinya
batuk, Klien dapat sampai 8 gelas dehidrasi
peningkatan meningkatkan cairan / hari 3. Mengeluarkan
produksi mukus bersihan jalan kecuali terdapat sputum / dahak
nafas dengan korpulmonal 4. Menghindari
kriteria hasil : 3. Ajarkan teknik faktor pencetus
1. Klien mampu batuk efektif yang
mendemonstra 4. Intruksikan memperberat
sikan batuk pasien untuk sesak
efektif menghindari 5. Untuk
2. Intake cairan iritan seperti mengurangi
adekuat asap rokok, gejala yang
3. Suara nafas aerosol, suhu muncul
bersih yang ekstrim
dan asap
5. Kolaborasi
dengan dokter
pemberian obat :
a. Antibiotik
b. Nebulizer :
ventolin +
flexotid
Gangguan Setelah dilakukan 1. Kaji dispnea, 1. Whezing atau
Pertukaran gas tindakan takipnea, bunyi mengi indikasi
b.d keperawatan 1 x pernafasan akumulasi
ketidakseimbang 2 jam diharpkan abnormal sekret
an perfusi klien tidak ada 2. Evaluasi 2. Akumulasi
ventilasi gangguan perubahan sekret dapat
pertukaran gas. tingkat mengganggu
Dengan kriteria kesadaran, catat oksigenasi di
hasil : tanda-tanda organ
1. Frekuensi sianosis dan 3. Membantu
nafas normal perubahan mengoreksi
(16-24 x / warna kulit, hipoksemia
menit) membran yang terjai
2. Tidak ada mukosa da sekunder
disritmia warna kuku 4. Mengurangi
3. Melaporkan 3. Pantau konsumsi
penurunan pemberian oksigen pada
dispnea oksigen periode
4. Menunjukan 4. Anjurkan untuk respirasi
perbaikan bedrest, batasi 5. Bronkodilator
dalam laju dan bantu mendilatasi
aliran aktivitas sesuai jalan nafas
ekspirasi kebutuhan dengan
5. Berikan obat- membantu
obatan melawan edema
bronkodilator mukosa
bronkial
Pola nafas tidak Setelah diberikan 1. Kaji kualitas, 1. Untuk
efektif asuhan frekuensi dan mengetahui
keperawatan 1 x kedalaman sejauh mana
2 jam diharapkan pernafasan perubahan
ketidakefektifan 2. Posisikan pasien kondisi pasien
nafas paien dapat semi fowler 2. Penurunan
teratasi. Degan degan kepala diafragma
kriteria hasil : ditinggikan 60- memperluas
1. Tanda-tanda 90 derajat daerah dada
vital dalam 3. Observasi tanda- sehingga
rentang tanda vital ekspansi paru
normal (TD : 4. Bantu dan bisa maksimal
120-130/ 90- ajarkan pasien 3. Peningkatan RR
100 mmHg, N nafas dalam dan takikardi
: 60-100 x/ yang efektif merupakan
menit, RR : 5. Kolaborasi indikasi adanya
16-24 x/menit, dengan dokter penurunan
S : 36,5-37,5 untuk pemberian fungsi paru
C) obat dan 02 4. Penekanan otot-
2. Tidak ada otot dada serta
suara nafas abdomen
tambahan membuat batuk
lebih efektif
5. Pemberian
oksigen dapat
menurunkan
beban
pernafasan dan
mencegah
terjadinya
sianosis

Intoleransi Setelah dilakukan 1. Monitor respon 1. Mengetahui


aktifitas tindakan kardiovaskuler peningkatan RR
keperawatan 1 x terhadap dan TD setelah
2 jam diharapkan aktivitas aktivitas
pasien (takikardi, sesak 2. Untuk
bertoleransi afas, pucat) mengurangi
terhadap aktivitas 2. Monitor pasien energi yang
dengan kriteria akan adanya dikeluarkan
hasil : kelelahan fisik oleh pasien
1. Berpartisipasi secara 3. Menyesuaikan
dalam berlebihan kemampuan
aktivitas fisik 3. Bantu klien fisik pasien
tanpa isertai untuk 4. Untuk
peningkatan mengidentifikas membantu
tekanan darah, i aktivitas yang pasien dalam
nadi dan RR mampu aktivitas fisik
2. Mampu dilakukan
melakukan 4. Bantu untuk
aktivitas mendapatkan
sehari-hari alat bantu
(ADLs) secara aktivitas seperti
mandiri kursi roda, krek
3. Sirkulasi 5.
status baik
4. Mampu
berpindah
dengan atau
tanpa bantuan
alat
BAB 2
TINJAUAN KASUS

Intervensi Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
1. Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan 1. Posisikan pasien semi
nafas tidak efektif keperawatan 1x 2 jam fowler
b.d sekresi diharapkan Klien dapat 2. Monitor dan ukur
bronkus meningkatkan bersihan respirasi dan status
jalan nafas dengan kriteria O2, TD , nadi, suhu
hasil : 3. Beri pasien – sampai
1. Klien mampu 8 gelas cairan / hari
mendemonstrasikan kecuali terdapat
batuk efektif korpulmonal
2. Intake cairan adekuat 4. Ajarkan teknik batuk
3. Suara nafas bersih efektif
5. Intruksikan pasien
untuk menghindari
iritan seperti asap
rokok, aerosol, suhu
yang ekstrim dan asap
6. Kolaborasi dengan
dokter pemberian
obat :
a. Antibiotik
b. Nebulizer :
ventolin +
flexotid
2. Gangguan Setelah dilakukan tidakan 1. Kaji dispnea,
pertukaran gas keperawatan 1 x 2 jam takipnea, bunyi
b.d diharpkan klien tidak ada pernafasan abnormal
ketidakseimbagan gangguan pertukaran gas. 2. Evaluasi perubahan
perfusi ventilasi Dengan kriteria hasil : tingkat kesadaran,
1. Frekuensi nafas normal catat tanda-tanda
(16-24 x / menit) sianosis dan
2. Tidak ada disritmia perubahan warna
3. Melaporkan penurunan kulit, membran
dispnea mukosa da warna
4. Menunjukan perbaikan kuku
dalam laju aliran 3. Pantau pemberian
ekspirasi oksigen
4. Anjurkan untuk
bedrest, batasi dan
bantu aktivitas sesuai
kebutuhan
5. Berikan obat-obatan
bronkodilator

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Hari, No Implementasi Respon Paraf


jam Dx.
Kep
Rabu, 1 1. Memposisikan pasien 1. Posisi pasien semi
16.15 semi fowler fowler dan merasa
2 2. Memberikan pasien lebih nyaman
O2 NRM 2. Pasien mengatakan
1 3. Mengukur TTV sesak dan merasa lebih
1,2 4. Memasang infus NS enakan pernafasanya
ditangan kiri dengn setengah duduk
1,2 5. Memasukan terapi 3. TD : 194/113 mmHg,
obat injeksi : ISDN 5 N: 115 x / menit, RR :
mg, ranitidin 50 mg 28 x/menit, S : 36,7 C,
dan ceftriaxon 1 gr SPO2 : 96 %
1,2 6. Memberikan terapi 4. Infus terpasang
obat nebulizer : ditangan kiri menetes
ventolin dan flexotid lancar 20 tpm
1 7. Mengajarkan pasien 5. Terapi obat masuk
batuk efektif perbolus
1 8. Mengganjurkan 6. Terapi nebulizer
pasien untuk minum terhirup asapnya
6-8 gelas perhari 7. Pasien mengatakan
2 9. Memeriksa tanda- batuk, bisa
tanda sianosis dan mempraktekan batuk
perubahan warna efektif dan
kulit, membran mengeluarkan dahak
mukosa dan warna 8. Pasien mengerti
kuku 9. Tidak ada Sianosis ,
2 10. Menganjurkan pasien warna kulit pucat,
untuk bedrest membran mukosa
kering
10. Pasien tampak bedrest

EVALUASI KEPERAWATAN

Hari, Diagnosa SOAP Paraf


jam Keperawatan
Rabu, Bersihan jalan S : pasien mengatakan sesak nafas dan
nafas tidak efektif batuk berdahak
b.d sekresi O : - terdengar suara nafas tambahan :
bronkus wheezing
- Pasien tampak sesak nafas
- Pasien tampak bisa batuk efektif
dan mengeluarkan sputum yang
banyak
- RR : 28 x/mnt
- Pasien tampak tidak banyak
meminum air
- Pemberian nebulizer
A : masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi : pemasangan
O2 NRM, terapi obat, mengukur
TTV dan observasi kesadaran
pasien, anjurkan untuk minum

Gangguan S : pasien mengatakan merasa susah


pertukaran gas b.d bernafas dan sesak nafas saat
ketidakseimbagan aktivitas
perfusi ventilasi O : - pasien tampak menggunakan
oksigen NRM 10 liter
- Tidak ada Sianosis , warna kulit
pucat, membran mukosa kering
- Pasien tampak bedrest
- EKG : sinus takikardi
- Pernafasan dalam
A : masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi : Kaji dispnea,
takipnea, bunyi pernafasan
abnormal, evaluasi perubahan
tingkat kesadaran, catat tanda-tanda
sianosis dan perubahan warna kulit,
membran mukosa da warna kuku ,
pantau pemberian oksigen
BAB 3
PEMBAHASAN

A. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbagan perfusi ventilasi

Pasien dengan penyakit PPOK sering mengalami peningkatan tahanan


aliran udara, air trapping, dan hiperinflasi paru. Hiperinflasi paru
menyebabkan kerugian pada otot respiratori secara mekanik, sehingga
terjai peningkatan ketidakseimbangan antara mekanisme pernafasan,
kekuatan dan kemampuan usaha bernafas utuk memenuhi tidal (Smeltzer
& Bare, 2005). Kondisi diatas dapat menyebabkan penurunan fungsi
ventilasi paru, dimana fungsi ventilasi paru adalah kemampuan dada dan
paru untuk menggerakan udara masuk dan keluar alveoli (Hudak & Gallo,
2005). Guyton dan Hall (2001) mengatakan bahwa fungsi ventilasi paru
ini dipengaruhi oleh latihan dan penyakit (faktor eksternal) serta usia, jenis
kelamin, dan tinggi badan (faktor internal).

Masalah keperawatan yang muncul pada pasien PPOK salah satuya


adalah gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan ventilasi,
hipersekresi jalan nafas. Intervensi mandiri yang dilakukan untuk
mengatasi masalah ini antara lain : atur posisi tidur semi fowler, monitor
frekuensi pernafasan, dan kedalaman pernafasan (Smeltzer & Bare, 2005).

Latihan pernapasan (breathing retraining) memberikan manfaat yang


baik pada pasien PPOK, seperti diaphragm breathing yang mengurangi
frekuensi pernapasan, meningkatkan ventilasi alveolar, dan membantu
mengeluarkan CO2 selama ekspirasi. Pursed-lip breathing dapat
mencegah kolaps paru dan membantu pasien mengendalikan frekuensi
serta kedalaman pernapasan (Lewis, Dirksen, & Heitkemper, 2000).

Pasien PPOK akan mengalami peningkatan frekuensi pernapasan


dengan ekspirasi memanjang sebagai kompensasi dari sesak napas,
biasanya otot-otot asesoris pernapasan bagian dada atas digunakan secara
eksesif untuk membantu pergerakan dada. Otot-otot ini tidak dapat
digunakan dalam jangka waktu lama sehingga fungsi ventilasi paru
mengalami penurunan (Black & Hawk, 2005; Thomas, McKinley, & Foy,
2003). Breathing retraining dapat membantu meningkatkan fungsi
ventilasi paru pasien selama istirahat dan aktivitas (Lewis, Dirksen, &
Heitkemper, 2000; Dechman & Wilson, 2004). Breathing retraining
sangat dibutuhkan pada pasien PPOK, karena pasien tidak hanya
mengalami kelemahan otot pernapasan tetapi mereka juga mengalami
perubahan dalam dinding mekanik dada yang dapat mengurangi efektifitas
pengembangan diafragma dan meningkatkan frekuensi pernapasan.

Pasien akan mendapatkan hasil yang lebih baik bila dilakukan latihan
teknik relaksasi otot sebelum melakukan breathing retraining karena
pasien yang mengalami sesak napas akan mengalami kekakuan pada otot-
otot bantu pernapasan (Hoeman, 1996). Teknik relaksasi selain bertujuan
untuk mengurangi ketegangan otot bantu pernapasan, menurunkan
penggunaan energi dalam bernapas yang dapat meningkatkan kerja
pernapasan, juga untuk menurunkan kecemasan pasien PPOK akibat sesak
napas yang dialaminya.

Breathing retraining adalah strategi yang digunakan dalam


rehabilitasi pulmonal untuk menurunkan sesak napas dengan cara
relaksasi, diaphragm breathing dan pursed-lip breathing. Pursed-lip
breathing menimbulkan obstruksi terhadap aliran udara ekshalasi dan
meningkatkan tahanan udara, menurunkan gradien tekanan transmural,
dan mempertahankan kepatenan jalan napas yang kolaps selama ekshalasi.
Proses ini membantu menurunkan pengeluaran udara yang terjebak
sehingga dapat mengontrol ekspirasi dan memfasilitasi pengosongan
alveoli secara maksimal (Dechman & Wilson, 2004). Pursed-lip breathing
tidak secara langsung menurunkan kapasitas fungsional residu, tetapi
perbaikan sesak napas merupakan akibat restorasi diafragma terhadap
posisi toraks yang mengalami kontraksi.

Relaksasi pada otot dapat menurunkan kontraksi, sedangkan relaksasi


pada tendon dapat menstimulasi badan golgi dan berdampak terhadap
inhibisi neuron yang mengontrol otot. Efek ini dikenal dengan refleks
inverse myotatic (Abrosino, Foglio & Bianci, 1998). Teknik relaksasi
selain bertujuan untuk merelaksasi ketegangan otot bantu pernapasan,
menurunkan penggunaan energi dalam bernapas yang dapat meningkatkan
kerja pernapasan, juga untuk menurunkan kecemasan pasien PPOK akibat
sesak napas yang dialaminya (Kisner & Colby, 1998).

Hasil penelitian menunjukkan factor usia mempengaruhi fungsi


ventilasi paru subjek setelah breathing retraining. Hasil penelitian ini
mendukung teori Guyton dan Hall (2001) serta Hudak dan Gallo (2005)
yang mengatakan semakin tua usia seseorang, maka fungsi ventilasi
parunya akan semakin menurun. Hal ini disebabkan semakin menurunnya
elastisitas dinding dada. Selama proses penuaan terjadi penurunan
elastisitas alveoli, penebalan kelenjar bronkial, penurunan kapasitas paru,
dan peningkatan jumlah ruang rugi. Perubahan ini menyebabkan
penurunan kapasitas difusi oksigen.

Tinggi badan tidak berhubungan secara langsung dengan terjadinya


PPOK atau kekambuhan PPOK. Akan tetapi, tinggi badan berhubungan
dengan anatomi paru yaitu khususnya luas permukaan paru (Guyton &
Hall, 2001). Hasil penelitian ini bukan berarti tinggi badan tidak
berpengaruh terhadap fungsi ventilasi paru pasien PPOK tetapi tinggi
badan tidak mempengaruhi terjadinya peningkatan fungsi ventilasi paru
pada subjek setelah breathing retraning.

B. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi bronkus

Sesak nafas merupakan perasaan sulit bernafas yang biasanya


terjadi ketika kita melakukan aktivitas fisik, sesak nafas juga merupakan
suatu gejala dari beberapa penyakit yang dapat bersifat kronis, kejadian-
kejadian sesak nafas bergantung dari tingkat keparahan dan sebabnya,
salah satunya peradangan diakibatkan oleh terjadinya perenkim paru.
Walaupun gejala bervariasi secara garis besar gejala yang terjadi
pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah kelemahan badan,
batuk, sesak napas, sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi, selain
itu terjadi mengi atau wheezing, ekspirasi yang memanjang, penggunaan
otot bantu pernapasan, suara napas melemah. Semua dari tanda yang
terjadi karena disebabkan oleh terjadinya kelemahan paru-paru sehingga
kerja paru mengalami penurunan, dan dari hasil pengkkajian penulis
mendapatkan data pasien mengalami sesak nafas, pada auskultasi terdapat
bunyi ronchi, dan RR 30 x/menit. Selain itu hasil pemeriksaan radiologi
pada tanggal 12 Maret 2013 didapatkan data Coch bentuk dan letak
normal tidak membesar, pulmo corakan bronkovaskuler normal, tampak
bercak kesuraman di kedua paru, diafragma sinus normal, kesan Koch
Purmonal. Dengan data tersebut diatas penulis mengambil diagnosa
keperawatan bersihan jalan nafas tidak efektif.
therapy nabulizer, therapy ini merupakan alat yang dapat
mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus
menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan. Fungsi
dari nebulizer ini adalah sama seperti obat lain namun mempunyai daya
efektifitas yang lebih tinggi dibandingkan melalui obat mulut ataupun oral,
karena nebulizer ini mempunyai tujuan untuk mengurangi sesak pada
penderit Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), selain itu juga berfungsi
untuk melancarkan dahak. Indikasi therapy nabulizer ini diberikan pada
pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), asma, sesak nafas,
batuk, pilek, dan gangguan saluran pernafasan, cara kerjanya semua sama
yakni dengan mengencerkan dahak pada saluran pernafasan sehingga hal
ini tidak mengakibatkan terjadinya obstruksi dan sumbatan pada jalan
nafas. Sebuah nebulizer menggunakan prinsip aerosol untuk menahan
jumlah maksimum tetesan air atau partikel dengan ukuran yang di
inginkan dalam udara inspirasi. Pelembab yang di tambahkan pada sistem
pernafasan melalui nebulizasiakan meningkatkan bersihan sekresi
pulmonal.9 Nebulizasi sering kali berisi cairan ventolin dan bysolvon.
Ventolin digunakan untuk obstruksi saluran nafas yang reversibel,
kandungan ipatropium bromida 0,02 tiap semprot (meterd
aerosol)ipatropium bromida 0,25 dan Bysolvon terdapat kandungan
fenoterol HBr 1,0mg/ml,larutan inhalasi. Cairan-cairan ini bertujuan atau
berfungsi untuk melonggarkan saluran nafas, dan mengencerkan dahak.
Tetapi pemberian therapy nabulizer pada kasus Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK) cukup efektif hal ini terbukti setelah dilakukan
pengelolaan pada pasien Tn. M yang awalnya menderita dengan keluhan
sesak nafas menjadi lebih rileks dan merasa sedikit lebih lega. Selain di
lakukan tindakan nebulizer pada pasien penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK) juga bisa diberikan oksigen, oksigen merupakan kebutuhan dasar
manusia yang paling utama dan harus terpenuhi, bila kebutuhan oksigen
dalam tubuh tidak terpenuhi maka akan terjadi hipoksia dan bias
menyebabkan kematian. dan juga bisa di lakukan dengan postural
drainase dan batuk efektif. Postural drainase merupakan untuk
mempermudah pasien untuk mengeluarkan sekret, tindakan postural
drainase tindakan dengan menempatkan pasien dalamberbagai posisi
untuk mengalirkan sekret di saluran pernafasan. Batuk efektif merupakan
tindakan yang di lakukan untuk membersihkan sekresi dari saluran nafas.
Tujuan dari batuk efektif adalah untuk meningkatkan ekspansi paru,
mobilisasi sekresi dan mencegah efek samping dari retensi sekresi
pneumonia, atelectasis dan demam. Dengan memposisikan semi fowler,
posisi semi fowler dapat mengurangi tekanan intra abdomen dan otot
abdomen, mengurangi tekanan pada organ pernafasan sehingga dapat
memperlancar aliran nafas dan gerakan pernafasan.10 dari hasi
pengelolaan kasus PPOK ( penyakit paru obstruksi kronik) tidak di
lakukan tindakan postural drainase dan batuk efektif karna Tn. M sesak
nafas nya berkurang,RR nya 30x/menit menjadi 24x/menit, sekret sudah
bisa keluar.
Batuk efektif yang baik dan benar dapat membantu mempercepat
pengeluara dahak pada pasien dengan gangguan pernafasan penyakit
PPOK ( Nugroho, 2011). Batuk efektif penting untuk menghilangkan
gangguan pernafasan dan menjaga paru-paru agar tetap bersih. Batuk
efektif dapat diberikan pada pasien dengan cara memberikan posisi yang
sesuai agar pengeluaran dahak dapat lancar.
Penelitiann sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat pengaruh
yang signifikan dalam pengeluara dahak sesudah perlakuan batuk efektif
pada pasie penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) (Nugroho dan Kristiani,
2011).
BAB 4
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M., & Hawk, J. H. (2005). Medical Surgical Nursing : Clinical


Management For Positive Outcomes. Edisi 7. St. Louis : Elsevier. Inc

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
Volume 2. Jakarta : EGC

Dechman, G., & Wilson, R. (2004). Evidence Underlying Breathing Retraining


In People With Stable Astma. Physical Therapy Journal. 84 (12),
1189-1197

Guyton, & Hall (2001). Human Physiology and Diseases Mechanism. Edisi 3 (
Terjemahan oleh Petrus Andrianto, 2001). Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Hoeman, S. P. (1996). Rehabilitation nursing: Process and application. Edisi


2. St. Louis : Mosby

Hudak & Gallo. (2005). Critical Care Nursing : A Holistic Approach.


Philadelphia : J. B. Lippincott Company

Kisner, C. & Colby, L.A, (1998). Therapeutic Exercise : Foundation and


Techniques. Philadelphia: F.A. Davis

Lewis, S. M., Heitkemper, M.M., & Direksen, S.(2000). Medical Surgical


Nursing : Assesment and Management of Clinical Problem. Edisi 5.
St. Louis : Mosby

Nugroho, Y.A dan Kristiani E.E.2011. Batuk Efektif dalam Pengeluaran


Dahak pada pasien dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas di
Instalasi Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Baptis Kediri. Jural STIKES
RS. Baptis Kediri

Price, Sylvia A. Dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Peyakit


Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC
Smeltzer C Suzane. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, Edisi 8
Voume 1. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai