Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis)

DISUSUN OLEH :

NAMA : PERAWATI SULASTRI

NPM : 019.01.3649

PRODI : S1 KEPERAWATAN

SEMESTER V

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


LAPORAN PENDAHULUAN

PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis)

A. PENGERTIAN
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan dengan ciri-ciri
adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible (Lyndon Saputra,
2010).Pada klien PPOK paru-paru klien tidak dapat mengembang sepenuhnya
dikarenakan adanya sumbatan dikarenakan sekret yang menumpuk pada paru-paru.
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya
respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009). Selain
itu menurut Arita Murwani (2011) Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan
satu kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten
dari jalan napas di dalam paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah : bronchitis,
emfisema paru, asma terutama yang menahun, bronkiektasis.
PPOK/COPD (CRONIC OBSTRUCTION PULMONARY DISEASE)
merupakan istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya (Price, Sylvia Anderson : 2005). Sedangkan menurut
T.M.Marrelli, Deborah S.Harper (2008), Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah
suatu kondisi kronis yang berkaitan dengan sekelompok penyakit : emfisema, asma dan
bronchitis.
Dari beberapa pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa penyakit
paru obstruktif kronis adalah suatu kelainan penyakit paru dengan ciri-ciri adanya
keterbatasan udara yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari jalan
napas di dalam paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah : bronkhitis kronis, asma
dan emfisema.

B. PENYEBAB
Faktor – faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Brashers (2007) adalah :
a. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita
PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru
secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan
fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
b. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada
kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang
diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
c. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan
rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko
terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
d. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko
morbiditas PPOK.

C. TANDA DAN GEJALA


Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Reeves (2001) adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi
kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan
produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang
yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk
yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi
dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat
badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu
secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut
tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak
yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan
yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak
yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi
sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi
sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak
kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.

D. PATOFISIOLOGI (CLINICAL PATHWAY)


Faktor-faktor resiko seperti merokok, polusi, umur, akan mendatangkan proses
inflamasi bronkus dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding bronkus terminal.
Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang
mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke
alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan
terjadilah penumpukan udara (air trapping). Hal inilah yang menyebabkan adanya
keluhan sesak napas dengan segala akibatnya.
Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitanekspirasi dan
menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas,
difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan (Brannon, et al, 1993).
 PATHWAY PPOK
Asap tembakau/polusi udara

Gangguan kebersihan paru

Peradangan bronkus

Hipoventilasi Alveolar Dinding bronkiolus melemah


dan alveoli pecah

Bronkitis kronik
Saluran nafas kecil kolap saat
ekspirasi

Emfisema

Penyempitan saluran nafas Berkurangnya elastis paru

Saluran nafas kecil Saluran nafas besar

Saluran nafas menjadi kecil lebih kecil


Hipertrofi dan hiperplasia
berkelok-kelok dan beroblitrasi
kelenjar mukus

Metaplasia sel goblet

Obstruksi jalan nafas

PPOK

Sekresi mukus meningkat Kontraksi otot PCO2 & PO2 Meningkat


Sekresi mukus meningkat Kontraksi otot PCO2 & PO2 Meningkat

Bersihan jalan nafas Resistensi Gangguan


tidak efektif pernafasan pertukaran gas

Frekuensi nafas
meningkat

Dyspneau

Ketidakefektifan
pola nafas

E. DIAGNOSA PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Doenges (2012) antara lain :
a. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma,
peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula
(emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama
periode remisi (asma).
b. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah
fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.
c. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan
emfisema.
d. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
e. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
f. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan
kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
g. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis misalnya
paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis
dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
h. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps
bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat
pada bronkus.
i. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
j. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi
dan diagnosa emfisema primer.
k. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
l. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma
berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF
(bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
m. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat
disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau
evaluasi program latihan.

F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer (2002) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya
disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x
0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang
memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada
pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan
dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate.
Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi
sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih
kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia
dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada
pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250
mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv
secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi
faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan
PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi,
rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih (2003) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronis adalah
a. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan edukasi
atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma adalah untuk
meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah
serangan hebat, dan mencegah efek samping obat.Tujuan utama dari berbagai
medikasi yang diberikan untuk klien asma adalah untuk membuat klien mencapai
relaksasi bronkial dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan
bahwa inflamasi adalah merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi
steroid bersamaan preparat inhalasi beta dua adrenergik lebih sering diresepkan.
Penggunaan inhalasi steroid memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam
paru dan tidak menyebabkan efek samping yang berkaitan dengan steroid oral.
Direkomendasikan bahwa inhalasi beta dua adrenergik diberikan terlebih dahulu
untuk membuka jalan nafas,kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.
b. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan fisik,
radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan ini
mencerminkan sifat progresif dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk bronkitis
kronis adalah pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini
bersifat tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk
mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok
dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada
akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi
fisik dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu
termasuk konseling nutrisi, hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda diniinfeksi, dan
teknik yang meredakan dispnea, seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa
individu mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama selama musim dingin.
Pemberian steroid sering diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.
Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian antibiotik, drainase
postural untuk membantu mengeluarkan sekresi dan mencegah batuk, dan bronkoskopi
untuk mengeluarkan sekresi yang mengental. Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk
menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan pembedahan bagi klien yang terus
mengalami tanda dan gejala meski telah mendapat terapi medis. Tujuan utama dari
pembedahan ini adalah untuk memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru. Biasanya
dilakukan segmentektomi atau lubektomi. Beberapa klien mengalami penyakit dikedua
sisi parunya, dalam kondisi seperti ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan
pada bagian paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh perbaikan yang
terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.
Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki kualitas
hidup,memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi obstruksi jalan nafas untuk
menghilangkan hipoksia. Pendekatan terapeutik menurut Asih (2003) mencakup tindakan
pengobatan dimaksudkan untuk mengobati ventilasi dan menurunkan upaya bernafas,
pencegahan dan pengobatan cepat infeksi, terapi fisik untuk memelihara dan
meningkatkan ventilasi pulmonal, memelihara kondisi lingkungan yang sesuai untuk
memudahkan pernafasan dan dukungan psikologis serta penyuluhan rehabilitasi yang
berkesinambungan.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2002) adalah
infeksi nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia
kronik, gagal nafas dan kor pulmonal.
Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada pasien
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute Respiratory
Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi kardiak yaitu penyakit
cor-pulmonale.
a. Acute Respiratory Failure (ARF).
ARF terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas darah bagi pasien penyakit paru obstruksi
menahun menunjukkan tekanan oksigen arterial PaO2 sebesar 55 mmHg atau kurang
dan tekanan karbondioksida arterial (PaCO2) sebesar 50 mm Hg atau lebih besar. Jika
pasien atau keluarganya membutuhkan alat-alat bantu kehidupan maka pasien
tersebut dilakukan intubasi dan diberi sebuah respirator untuk ventilasi secara
mekanik.
b. Cor Pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran
ventrikel kanan yang disebabkan oleh overloading akibat dari penyakit pulmo.
Komplikasi jantung ini terjadi sebagai mekanisme kompensasi sekunder bagi paru-
paru yang rusak pada penderita penyakit paru obstruksi menahun.
Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara
menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini akan
merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita dengan penyakit paru obstruksi
menahun, hipoksemia kronis menyebabkan vasokonstriksi kapiler paru-paru yang
kemudian akan meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari
perubahan ini terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan ventrikel
kanan lebih kuat dalam memompa sehingga lamakelamaan otot ventrikel kanan
menjadi hipertrofi atau membesar.
Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah
dibatasi hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan
istirahat. Edema perifer merupakan efek domino yang lain karena darah balik ke
jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi oleh hipertrofi ventrikel kanan.Digitalis
hanya digunakan pada penyakit jantung paru yang juga menderita gagal jantung kiri.
c. Pneumothoraks.
Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti
udara sehingga pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga
pleural. Rongga pleural sesungguhnya merupakan rongga yang khusus yakni berupa
lapisan cairan tipis antara lapisan viseral dan parietal paru-paru Fungsi cairan pleural
adalah untuk membantu gerakan paru-paru menjadi lancar dan mulus selama
pernafasan berlangsung. Ketika udara terakumulasi dalam rongga pleural, maka
kapasitas paru-paru untuk pertukaran udara secara normal, menjadi melemah dan hal
ini menyebabkan menurunnya kapasitas vital dan hipoksemia.
d. Giant Bullae.
Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya yaitu
pembentukan giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang terakumulasi di
rongga pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena udara terperangkap di
parenkimparu-paru. Sehingga alveoli yang menjadi tempat menangkapnya udara
untuk pertukaran gas menjadi benar-benar tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan
perubahan fungsi pernafasan dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan paru-
paru, mengganggu berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap
dalam alveoli semakin meluas maka semakin banyak pula kerusakan yang terjadi di
dinding alveolar.

H. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PPOK


1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
 Anamnesa
1. Pengumpulan Data Identitas
a. Identitas klien
Identitas klien meliputi nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku, status
perkawinan, diagnosa medis, tanggal masuk, tanggal pengkajian, no medrek dan
alamat
b. Identitas penanggungjawab
Nama, umur agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan alamat
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan asma bronkial adalah dispnea (bisa
sampai berhari-hari atau berbulan-bulan),batuk,dan mengi (pada beberapa kasus
lebih banyak paroksismal).
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Perjalanan penyakit klien sebelum, selama perjalanan dan sesampainya di rumah
sakit hingga saat dilakukan pengkajian. Tindakan yang dilakukan sebelumnya,
dan pengobatan yang didapat setelah masuk rumah sakit
c. Riwayat kesehatan dahulu
Terdapat data yang menyatakan adanya faktor predisposisi timbulnya penyakit
ini, di antaranya adalah riwyat alergi dan riwayat penyakit saluran napas bagian
bawah ( rhinitis, urtikaria, dan eksim).
d. Riwayat kesehatan keluarga
Klien dengan asma bronkial sering kali di dapatkan adanya riwayat penyaakit
keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak di temukan adanya penyakit
yang sama pada anggota keluarganya.
e. Riwayat Menstruasi
Kaji menarche, siklus menstruasi, banyaknya haid yang keluar, keteraturan
menstruasi, lamanya, keluhan yang menyertai.
f. Riwayat Obstetri
Kaji tanggal partus, umur hamil, jenis partus, tempat penolong, jenis kelamin
bayi, berat dan panjang badan bayi, masalah yang terjadi saat hamil, lahir, nifas
dan keadaan bayi yang dilahirkan.
g. Riwayat Keluarga Berencana
Kaji penggunaan KB pada klien, jenis kontrasepsi yang digunakan, sejak kapan
penggunaan alat kontrasepsi, adakah masalah yang terjadi dengan alat
kontrasepsi.
h. Riwayat Penyakit Dahulu
Tanyakan penyakit yang pernah dialami dan berhubungan dengan sistem
reproduksi, dan riwayat pengobatan klien.
i. Riwayat Pernikahan
Kaji usia pernikahan, lamanya pernikahan, dan pernikahan yang keberapa.
j. Riwayat seksual
Kaji usia pertama kali klien melakukan hubungan seksual, frekuensi perminggu,
respon pasca hubungan seksual : Nyeri / perdarahan / tidak ada keluhan.
k. Riwayat kebiasaan sehari – hari
1) Personal Hygiene
Kaji kebiasaan personal hygiene klien meliputi keadnan kulit, rambut,mulut
dan gigi. pakaian, kuku, vulva hygiene.
2) Pola makan
Kaji pola makan klien meliputi kebiasaan makan klien dalam porsi
makan,frekuensi makan, nafsu makan, sumber dan jenis makanan yang di
sukai dan makanan yang tidak disukai, alergi makanan, serta kaji kebiasaan
minum klien.
3) Pola eliminasi
a) BAB Kaji frekuensi, warna, bau, konsistensi, dan keluhan saat BAB.
b) BAK Kaji frekuensi, warna, bau dan keluhan saat berkemih.
4) Pola aktifitas dan latihan
Kaji kegiatan dalam pekerjaan dan kegiatan diwaktu luang sebelum dan
selama dirawat di rumah sakit.
5) Pola tidur dan istirahat
Kaji waktu, lama tidur/ hari, kebiasaan pengantar tidur, kebiasaan saat tidur,
dan kesulitan dalam tidur.
6) Riwayat penggunaan zat
Kaji kebiasaan dan lama penggunaan rokok, minuman alkohol, dan obat –
obatan.
7) Riwayat sosial ekonomi
Kaji pendapatan perbulan, hubungan sosial, dan hubungan dalam keluarga.
8) Riwayat psiko sosial dan spiritual
a) Psikososial Respon klien terhadap penyakit yang diderita saat ini, dan
mekanisme koping klien.
b) Spiritual Kaji kegiatan keagamaan klien yang sering dilakukan di rumah
dan di rumah sakit.

 Pemeriksaan fisik
1. Vital Sign :
- Tekanan darah
- Suhu
- Nadi
- Pernapasan
2. Pemeriksaan Fisik Haed to Toe
- Kepala - Leher
- Rambut - Thorax
- Mata - Abdomen
- Hidung - Genetalia
- Telinga - Kulit
- Mulut dan gigi - Ekstermitas
3. Data Penunjang
Pemeriksaan penunjang :
a. Inspeksi
Pengkajian ini meliputi:
1) Pertama; penentuan tipe jalan napas, seperti menilai apakah napas spontan
melalui hidung, mulut, oral, nasal, atau menggunakan selang endotrakeal atau
tracheostomi, kemudian menentukan status kondisi seperti kebersihan, ada
atau tidaknya secret, perdarahan, bengkak, atau obstruksi mekanik.
2) Kedua ; penghitungan frekuensi pernapasan dalam waktu satu menit
(umumnya,wanita bernapas sedikit lebih cepat. Apabila kurang dari 10 kali
per menit pada orang dewasa, kurang dari 20 kali per menit pada anak-anak,
atau kurang dari 30 kali per menit pada bayi, maka disebut sebagai bradipnea
atau pernapasan lambat.
3) Ketiga; pemeriksaan sifat pernapasan, yaitu torakal, abnormal, atau kombinasi
keduanya (pernapasn torakal atau dada adalah mengembang dan
mengempisannya rongga toraks sesuai dengan irama inspirasi dan ekspirasi)
4) Keempat; pengkajian irama pernapasan, yaitu dengan menelaah masa inspirasi
dan ekspirasi (pada orang dewasa sehat, irama pernapasannya teratur dan
menjadi cepat jika terjadi pengeluaran tenaga dalam keadaan terangsang atau
emosi,kemudian yang perlu diperhatikan pada irama pernapasan adalah
perbandingan antara inspirasi dan ekspirasi
5) Kelima; pengkajian terhadap dalam/dangkalnya pernapasan (pada pernapasan
yang dangkal, dinding toraks tampak hamper tidak bergerak.
b. Palpasi
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi kelainan, seperti nyeri tekan yang
dapat timbul akibat luka, peradangan setempat, metastasis tumor ganas, pleuritis,
atau pembengkakan dan benjolan pada dada. Palpasi dapat dilakukan dari
belakang dengan meletakan kedua tangan pada kedua sisi tulang belakang. Jika
pada puncak paru terdapat fibrosis, proses tuberculosis, atau suatu tumor, maka
tidak akan ditemukan pengembangan bagian atas pada toraks. Kelainan pada paru,
seperti getaran suara atau fremitu vocal, dapat dideteksi bila terdapat getaran
sewaktu pemeriksa meletakkan tangannya pada dada pasien ketika ia berbicara.
c. Perkusi
Pengkajian ini bertujuan untuk menilai normal atau tidaknya suara perkusi paru.
Suara perkusi normal dalah suara perkusi sonor, yang bunyinya seperti kata “dug-
dug”.Suara perkusi lain yang dianggap tidak normal adalah redup, seperti pada
infiltrate,konsolidasi, dan efusi pleura.
d. Auskultasi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai adanya suara napas, di antaranya suara
napas dasar dan suara napas tambahan. Suara napas dasar adalah suara napaspada
orang dengan paru yang sehat, seperti;
1) Pertama; suara vasikuler, ketika suara inspirasi lebih keras dan lebih tinggi
nadanya. Bunyi napas vasikuler yang disertai ekspirasi memanjang terjadi
pada emfisema. Suara vesikuler dapat didengar pada bagian paru-praru
2) Kedua; suara bronchial, yaitu suara yang bisa kita dengar pada waktu inspirasi
dan ekspirasi, bunyinya bisa sama atau lebih panjang, antara inspirasi dan
ekspirasi terdengar jarak pause (jeda) yang jelas. Suara bronchial terdengar
didaerah trakea dekat bronkus, dalam keadaan tidak normal bisa terdengar
seluruh area paru
3) Ketiga; bronkovasikular, yaitu suara yang terdengar antara vesikuler dan
bronchial, ketika ekspirasi menjadi lebih panjang, hingga hampir menyamai
inspirasi. Suara ini lebih jelas terdengar pada manubrium sterni. Pada keadaan
tidak normal juga terdengar pada daerah lain dari paru.
Suara napas tambahan, yaitu suara yang terdengar pada dinding toraks berasal
dari kelainan dalam paru, termasuk bronkus, alveoli, dan pleura. Suara napas
tambahan seperti suara ronkhi, Suara mengi (wheezing), Suara krepitasi.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif Berhubungan dengan adanya mukus
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi

3. RENCANA KEPERAWATAN
NO Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan
1 Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan Tindakan Manajemen Jalan Napas ( I.01011)
tidak efektif keperawatan selama 2x24 jam Observasi :
berhubungan dengan diharapkan Bersihan Jalan 1. Monitor pola napas (frekuensi,
adanya mukus Napas (L.01001) meningkat kedalaman,usaha napas)
dengan kriteria hasil : 2. Monitor bunyi napas tambahan
1. Batuk efektif meningkat (mis.Gurgling,mengi,wheezing,ron
2. Produksi sputum menurun khi kering)
3. Mengi menurun 3. Monitor sputum ( jumlah,
4. Frekuensi napas membaik warna,aroma)
5. Pola napas membaik Terapeutik :
1. Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan head-tilt dan chin-lift ( jaw-
thrust jika curiga trauma servikal
2. Posisikan semi fowler atau fowler
3. Berikan minuman hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
6. Lakukan hiperoksigenisasi sebelum
penghisapan endotrakeal
7. Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsep McGill
8. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari,jika tidak Kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,ekspektoran,mukoliti
k, jika perlu
2 Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan Tindaan Edukasi Pengukuran Respirasi
nafas berhubungan keperawatan 2x24 jam (I.12413)
dengan hiperventilasi diharapkan Pola Napas Observasi :
(L.01004) membaik dengan 1. Identifikasi kesiapan dan
kriteria hasil : kemampuan menerima informasi
1. Dipsnea menurun Terapeutik :
2. Penggunaan otot bantu 1. Sediakan materi dan media
pernapasan menurun pendidikan kesehatan
3. Ortopnea menurun 2. Jadwalkan pendidikan kesehatan
4. Tekanan ekspirasi meningkat sesuai kesepakatan
5. Tekanan inspirasi meningkat 3. Berikan kesempatan untuk
bertanya
4. Dokumentasikan hasil pengukuran
respirasi
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur yang
akan dilakukan
2. Jelaskan cara menghitung respirasi
dengan mengamati naik turunnya
dada saat bernapas
3. Ajarkan cara menghitung respirasi
selama 30 detik dan kalikan 2 atau
hitung selama 60 detik jika
respirasi tidak teratur
3 Gangguan pertukaran Setelah dilakukan Tindakan Pemantauan Respirasi ( I.01014)
gas berhubungan keperawatan 2x24 jam Observasi :
dengan ventilasi diharapkan Pertukaran Gas 1. Monitor rekuensi,irama,kedalaman
perfusi (L.01003) meningkat dengan dan upaya napas
kriteria hasil : 2. Monitor pola napas (seperti
1. Bunyi napas Tambahan bradipnea,takipenia,hiperventilasi,k
menurun ussmaul, cheynestokes,biot,
2. PCO2 membaik ataksik)
3. PO2 membaik 3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Takikardia membaik 4. Monitor adanya produksi sputum
5. Pola napas membaik 5. Monitor adanya sumbatan jalan
napas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10,Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik :
1. Atur interval pemantuan respirasi
sesuai kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan Prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan,
jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Engram, Barbara. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 1.
Jakarta :EGC Buku Kedokteran.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for
The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
Barcelona: Medical Communications Resources. Available
Hidayat, Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Edisi 11.Jakarta Selatan: DPP PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi
1 Cetakan II.Jakarta Selatan: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Edisi 1 Cetakan II.Jakarta Selatan: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai