Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


COPD (CROHNIC OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE) ATAU
PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK)

Disusun oleh :
Mochammad Dwi Mayhendra
433131490120022

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KHARISMA KARAWANG
JL. PANGKAL PERJUANGAN KM. 1 BY PASS KARAWANG 41316
TAHUN 2020
A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)/ Cronic Obstruction
Pulmonary Disease (COPD) merupakan istilah yang sering digunakan
untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai
oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya (Price, Sylvia Anderson: 2008). PPOK adalah
penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau
reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel
atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).

PPOK merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular


yang menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin
tingginya pajanan faktor resiko, seperti banyaknya jumlah perokok,
serta pencemaran udara didalam ruangan maupun diluar ruangan
(Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2011). PPOK adalah klasifikasi
luas dari gangguan, yang mencangkup bronchitis kronis,
bronkiektasis, emfisima dan asma. PPOK merupakan kondisi
ireversibel yang berkaitan dengan dyspnea saat beraktivitas dan
penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru (Smaltzer & Bare,
2007).

PPOK dapat terjadi sebagai hasil dari peningkatan resistensi sekunder


terhadap edema mukosa bronkus atau kontraksi otot polos. Hal tersebut
juga bisa diakibatkan oleh penurunan kelenturan, seperti pada
emfisema. kelenturan (elastic recoil) adalah kemampuan
mengempiskan paru dan menghembuskan napas secara pasif, serupa
dengan kemampuan karet kembali ke bentuk semula setelah
diregangkan. Penurunan  kelenturan dapat dibayangkan sebagai pita
karet yang lemah dan telah diregangkan melebihi batas
kemampuannya, sehingga akan berakibat penurunan kemampuan paru
untuk mengosongkan diri (Somantri, 2012).

2. Klasifikasi

a. Bronkhitis kronik
Pada bronkitis kronik dan bronkiolitis, penumpukan lendir dan sekresi
yang sangat banyak menyumbat jalan napas. Bronkitis kronik
merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan
mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai
batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam
setahun, sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut-turut. Definisi
ini tidak mencakup penyakit-penyakit seperti bronkiekstatis dan
tuberkulosis yang juga menyebabkan batuk kronik dan pembentukan
sputum. Sputum yang terbentuk dalam bronkitis kronik dapat mukoid
atau mukopurulen.
b. Asma
Pada asma, jalan napas bronkial menyempit dan membatasi jumlah
udara yang mengalir ke dalam paru-paru. Asma merupakan gangguan
inflamasi pada jalan napas yang di tandai oleh obstruksi aliran udara
napas dan respons jalan napas yang berlebihan terhadap berbagai
bentuk rangsangan. Obstruksi jalan napas yang menyebar luas tetapi
bervariasi ini disebabkan oleh brokospasme, edema mukosa jalan napas
dan peningkatan produksi mukus atau lendir disertai penyumbatan serta
remodiling jalan napas. Penyakit ini merupakan salah satu bentuk
penyakit PPOM, yaitu penyakit paru jangka panjang yang ditandai oleh
peningkatan resistensi jalan napas.
c. Emfisema
Pada emfisema, obstruksi pada pertukaran oksigen dan karbondioksida,
terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang di sebabkan oleh
overekstensi ruang udara dalam paru. Emfisema paru merupakan suatu
perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran
alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi atau
kerusakan dinding alveolar. Emfisema membuat penderitanya sulit
bernafas. Emfisema dapat di diagnosis secara tepat dengan
menggunakan CT scan resolusi tinggi (Muttaqin, Arif, 2012).
d. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yang
mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan
obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda
dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh
darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe.

3. Etiologi
Etiologi penyakit ini belum diketahui, Menurut Muttaqin Arif
(2008), penyebab dari PPOK adalah:
a. Kebiasaan merokok, merupakan penyebab utama pada bronchitis
dan emfisema.
b. Adanya infeksi: Haemophilus influenza dan streptococcus
pneumonia.
c. Polusi oleh zat-zat pereduksi.
d. Faktor keturunan.
e. Faktor sosial-ekonomi: keadaan lingkungan dan ekonomi yang
memburuk.

Pengaruh dari masing – masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK


adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling
dominan.

4. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe perokok (Smaltzer &
Bare, 2007):
a. Mempunyai gambaran klinik dominan kearah bronchitis kronis
(blue bloater).
b. Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).

Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:

a. Kelemahan badan
b. Batuk
c. Sesak nafas
d. Sesak nafas saat aktivitas dan nafas berbunyi
e. Mengi atau wheezing
f. Ekspirasi yang memanjang
g. Batuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut
h. Penggunaan obat bantu pernafasan
i. Suara nafas melemah
j. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal
k. Edema kaki, asietas

5. Patofisiologi
a. Patofisiologi Bronkitis
Pathway

Saluran nafas dalam Invasi virus respiratori,


adenovirus parainfluensa,
rhinovelus, alergen, emosi/
Hipertermi Gangguan pembersihan di setres, obat-obatan, asap
paru-paru rokok

Radang/inflamsi pada Radang Bronkial


bronkus

Akumulasi Mukus Produksi Mukus Kontriksi berlebihan

Timbul reaksi balik Edema/pembengkakan Hiperventilasi paru


pada mukosa/sekret

Pengeluaran energi Atelektasis


berlebihan
Bersihan jalan nafas
tidak efektif
Hipoxemia
Kelelahan Intoleransi aktivitas
Kompensasi frekuensi
Anoreksia Deficit nutrisi napas

Pola nafas tidak efektif

b. Patofisiologi Emfisema
Pada emfisema paru terjadi perubahan anatomis parenkim paru,
dimana terjadi pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak
normal dan destruksi dinding alveolar. Pada emfisema, beberapa faktor
terjadinya obstruksi jalan napas yaitu: inflamasi, produksi lendir yang
berlebihan, kolaps bronkiolus dan redistribusi udara ke alveoli yang
berfungsi. Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area
permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara
kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi (area paru
dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan
mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen
mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi
karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan
tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan
menyebabkan asidosis respiratorius. Karena dinding alveolar terus
mengalami kerusakan, jaring kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah
pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk
mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal.

Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah


salah satu komplikasi emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai,
distensi vena leher atau nyeri pada region hepar menandakan
terjadinya gagal jantung. Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan
individu tidak mampu untuk membangkitkan batuk yang kuat untuk
mengeluarakan sekresi. Infeksi akut dan kronis dengan demikian
menetap dalam paru yang mengalami emfisema memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran
masuk dan aliran keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan
hiperekspansi kronik. Untuk mengalirkan udara kedalam dan keluar
paru-paru, di butuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan
positf dalam tingkat yang adekuat harus dicapai dan di pertahankan
selama ekspirasi. Daripada menjalani aksi pasif involunter, ekspirasi
menjadi aktif dan membutuhkan upaya otot. Sesak napas pasien terus
meningkat, dada menjadi kaku dan terfiksasi pada persendiannya.

Terdapat dua jenis emfisema utama, yang di klasifikasikan brdasarkan


perubahan yang terjadi dalam paru-paru, yaitu panlobular dan
sentrilobular.

Pada panlobular terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar


dan alveoli. Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak
membesar, dengan sedikit penyakit imflamasi. Pasien dengan
emfisema jenis ini secara khas mempunayi dada yang hiperinflasi dan
ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan. Istilah
“pink puffer” kadang digunakan dalam menggambarkan pasien ini.
Dalam bentuk sentrilobular perubahan patologi terutama terjadi pada
pusat lobus sekunder, dan porsi perifer dari asinus tetap baik.
Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-vntilasi, yang menimbulkan
hipoksia, hiperkapnea (peningkatan karbondioksida dalam darah
arteri).

c. Patofisiologi Asma
Pada asma terjadi penyempitan jalan napas secara periodik dan
reversibel akibat bronkospasme. Obstruksi jalan napas pada asma bisa
terjadi karena, kontraksi otot yang mengelilingi bronki yang
menyempitkan jalan napas, pembengkkan membran yang melapisi
bronki dan pengisian bronki dengan mukus yang kental, banyak di
hasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap
didalam jaringan paru. Beberapa individu dengan asma mengalami
respons imun yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang
dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru.
Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen
dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut
mediator) seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin, serta
anafilksis dari substansi yang bereaksi lambat. Pelepasan mediator ini
dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan
napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa,
dan pembentukan mukus yang sangat banyak.

Abnormal pertukaran udara pada paru-paru terutama berhubungan


dengan tiga mekanisme berikut ini:
1) Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, hal ini menjadi penyebab
utama hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah.
Keseimbangan normal antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran
darah kapiler pulmo menjadi terganggu. Peningkatan keduanya
terjadi ketika penyakit yang semakin berat sehingga menyebabkan
kerusakan pada alveolar. Ventilasi dan perfusi yang menurun bisa
dilihat pada pasien PPOK dimana saluran pernapasannya terhalang
oleh mukus kental atau bronkospasme. Disini penurunan ventilasi
akan terjadi, tetapi perfusi akan sama atau berkurang sedikit.
2) Mengalirnya darah kapiler pulmo. Darah yang tidak mengandung
oksigen dipompa dari ventrikel kanan ke paru-paru, beberapa
diantaranya melewati kapiler pulmo tanpa mengambil oksigen. Hal
ini juga disebabkan oleh meningkatnya sekret pulmo yang
menghambat alveoli.
3) Difusi gas yang terhalang biasanya terjadi akibat dari berkurangnya
permukaan alveoli bagi pertukaran udara atau meningktnya sekresi
sehingga menyebabkan difusi menjadi semakin sulit.

d. Patofisiologi Bronkiektasis

pathway

Bronkiektasis Penyakit paru primer Obstruksi saluran napas


(tumor paru, benda
asing, TB paru)
Atelektasis, penyerapan
udara di parenkim dan
sekitarnya tersumbat

Pola nafas tidak efektif


Kekurangan mekanisme Kelainan struktur
pertahanan yang didapat congenital (fibrosis
congenital (Ig gama kistik, sindroma
Anitripin alfa I) kartagener, kurangnya
kartilago bronkus) Kuman berkembang dan
infeksi bakteri pada
Pnumoni berulang
v Terkumpulnya sekret dinding bronkus

Kerusakan permanen
pada dinding bronkus Kerusakan pada jaringan Peningkatan suhu tubuh
otot dan elastin

Ketidakefektifan Hipertermi
v batuk
Kerusakan bronkus yang
menetap
Inhalasi uap dan gas,
aspirasi cairan lambung
Kemampuan bronkus Tekanan intra pleura lebih
untuk kontraksi negatif dari atmosfer
Bersihan jalan nafas
berkurang dan selama
tidak efektif
ekspirasi menghilang
Bronkus dilatasi
Kemampuan
mengeluarkanv sekret
menurun
Pengumpulan sekret,
infeksi sekunder dan
Mudah terjadi infeksi terjadi siklus

Bronkiektas yang menetap Resiko infeksi

6. Komplikasi
a. Hipoksemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55
mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan
mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada
tahap lanjut timbul cyanosis.
b. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda
yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines,
tachipnea.
c. Infeksi Respiratori
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema
mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan
timbulnya dispnea.
d. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),
harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat.
Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis,
tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
e. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan
dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan.
Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali
terlihat.

7. Pemeriksaan penjunjang
Pemeriksaan penunjang untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi

Menahun menurut Doenges (2000) antara lain :

a. Pemeriksaan Radiologist

Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang

perlu diperhatikan:

1) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis

yang parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan

tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal.

2) Corak paru yang bertambah

Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:

a) Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary

oligoemia dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada

emfisema panlobular dan pink puffer.

b) Corakan paru yang bertambah

c) Pemeriksaan faal paru

b. Analisis gas darah

Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul

sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan

eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan


eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur

55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja

lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung

kanan.

c. Pemeriksaan EKG

Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila

sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P

pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di

V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering

terdapat RBBB inkomplet.

d. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.

e.  Laboratorium darah lengkap

f. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru,

mendatarnya diafragma, peningkatan area udara retrosternal,

penurunan tanda vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan

tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama periode

remisi (asma).

g. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk

menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau

restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk

mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.

h. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada

asma, penurunan emfisema.

i. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.


j. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan

asma.

k. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume

ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis

dan asma.

l. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada

inspirasi, kolaps bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema),

pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkus.

m. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil

(asma).

8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah:
1) Berhenti merokok harus menjadi prioritas.
2) Bronkodilator (β-agonis atau antikolinergik) bermanfaat pada
20- 40% kasus.
3) Pemberian terapi oksigen jangka panjang selama >16 jam
memperpanjang usia pasien dengan gagal nafas kronis (yaitu
pasien dengan PaO2 sebesar 7,3 kPa dan FEV 1 sebesar 1,5 L).
4) Rehabilitasi paru (khususnya latihan olahraga) memberikan
manfaat simtomatik yang signifikan pada pasien dengan pnyakit
sedang-berat.
5) Operasi penurunan volume paru juga bisa memberikan perbaikan
dengan meningkatkan elastic recoil sehingga mempertahankan
potensi jalan nafas

Penatalaksanaan medis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi


menahun adalah :
 Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen
penyebab dan edukasi atau penyuluhan kesehatan. Sasaran dari
penatalaksanaan medis asma adalah untuk meningkatkan fungsi
normal individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah
serangan hebat, dan mencegah efek samping obat. Tujuan utama
dari berbagai medikasi yang diberikan untuk klien asma adalah
untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial dengan cepat,
progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi
adalah merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi
steroid bersamaan preparat inhalasi beta dua adrenergik lebih
sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid memastikan bahwa
obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan
efek samping yang berkaitan dengan steroid oral.
Direkomendasikan bahwa inhalasi beta dua adrenergik diberikan
terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi
steroid akan menjadi lebih berguna.
 Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada
pemeriksaan fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan
analisis gas darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif
dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah
pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi pada
penyakit ini bersifat tidak dapat pulih (irreversible). Ketika
individu mencari bantuan medis untuk mengatasi gejala,
kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan.
Jika merokok dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis
kronis dapat menurun dan pada akhirnya mencapai tingkat seperti
bukan perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi fisik dada
diterapkan sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk
individu termasuk konseling nutrisi, hygiene respiratory,
pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan
dispnea, seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa
individu mendapat terapi antibiotik profilaktik, terutama selama
musim dingin. Pemberian steroid sering diberikan pada proses
penyakit tahap lanjut.
 Penatalaksanaan medis bronkhiektasis termasuk pemberian
antibiotik, drainase postural untuk membantu mengeluarkan
sekresi dan mencegah batuk, dan bronkoskopi untuk mengeluarkan
sekresi yang mengental. Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk
menegakkan diagnosa. Terkadang diperlukan tindakan
pembedahan bagi klien yang terus mengalami tanda dan gejala
meski telah mendapat terapi medis. Tujuan utama dari pembedahan
ini adalah untuk memulihkan sebanyak mungkin fungsi paru.
Biasanya dilakukan segmentektomi atau lubektomi. Beberapa klien
mengalami penyakit dikedua sisi parunya, dalam kondisi seperti
ini, tindakan pembedahan pertama-tama dilakukan pada bagian
paru yang banyak terkena untuk melihat seberapa jauh perbaikan
yang terjadi sebelum mengatasi sisi lainnya.
 Penatalaksanaan medis emfisema adalah untuk memperbaiki
kualitas hidup, memperlambat progresi penyakit, dan mengatasi
obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan hipoksia. Pendekatan
terapeutik menurut Asih (2003) mencakup tindakan pengobatan
dimaksudkan untuk mengobati ventilasi dan menurunkan upaya
bernafas, pencegahan dan pengobatan cepat infeksi, terapi fisik
untuk memelihara dan meningkatkan ventilasi pulmonal,
memelihara kondisi lingkungan yang sesuai untuk memudahkan
pernafasan dan dukungan psikologis serta penyuluhan rehabilitasi
yang berkesinambungan.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Mempertahankan patensi jalan nafas
2) Membantu tindakan untuk mempermudah pertukaran gas
3) Meningkatkan masukan nutrisi
4) Mencegah komplikasi, memperlambat memburuknya kondisi
5) Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan
program pengobatan

Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:

1) Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya


pada fase akut, tetapi juga fase kronik.
2) Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas
harian
3) Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat
dideteksi lebih awal.

Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:

1) Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera


menghentikan merokok, menghindari polusi udara.
2) Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3) Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus
tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji
sensitivitas atau pengobatan empirik.
4) Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator.
Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi
(bronkospasme) masih controversial.
5) Pengelolaan psikosial, terutama ditujukan untuk penyesuaian
diri penderita dengan penyakit yang dideritanya.
6) Pengobatan simtomatik.
7) Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
8) Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus
diberikan dengan aliran lambat 1 – 2 liter/menit.

Tindakan rehabilitasi yang meliputi:

1) Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret


bronkus.
2) Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan
pernapasan yang paling efektif.
3) Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk
memulihkan kesegaran jasmani.
4) Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita
dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PASIEN COPD

A. Pengkajian

1. Identitas klien
Nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, agama/suku, warga
Negara, bahasa yang digunakan, penanggung jawap meliputi : nama,
alamat, hubungan dengan klien.
2. Riwayat faktor penunjang
• Merokok merupakan faktor penyebab utama.
• Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.
• Riwayat alergi pada keluarga
• Riwayat Asthma pada anak-anak.
3. Riwayat faktor pencetus
• Alergen.
• Stress emosional.
• Aktivitas fisik yang berlebihan.
• Polusi udara.
• Infeksi saluran nafas.
4. Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan.
Kaji status riwayat kesehatan yang pernah dialami klien, apa upaya dan
dimana kliwen mendapat pertolongan kesehatan, lalu apa saja yang
membuat status kesehatan klien menurun.
5. Pola nutris metabolic
Tanyakan kepada klien tentang jenis, frekuensi, dan jumlah klien makan
dan minnum klien dalam sehari. Kaji selera makan berlebihan atau
berkurang, kaji adanya mual muntah ataupun adanyaterapi intravena,
penggunaan selang enteric, timbang juga berat badan, ukur tinggi badan,
lingkaran lengan atas serta hitung berat badan ideal klien untuk
memperoleh gambaran status nutrisi.
6. Pola eliminasi.

 Kaji terhadap frekuensi, karakteristik, kesulitan/masalah dan juga


pemakaian alat bantu seperti folly kateter, ukur juga intake dan output
setiap sift.
 Eliminasi proses, kaji terhadap prekuensi, karakteristik,
kesulitan/masalah defekasi dan juga pemakaian alat bantu/intervensi
dalam Bab.

7. Pola aktivitas dan latihan


Kaji kemampuan beraktivitas baik sebelum sakit atau keadaan sekarang
dan juga penggunaan alat bantu seperti tongkat, kursi roda dan lain-lain.
Tanyakan kepada klien tentang penggunaan waktu senggang. Adakah
keluhanpada pernapasan, jantung seperti berdebar, nyeri dada, badan
lemah.
8. Pola tidur dan istirahat
Tanyakan kepada klien kebiasan tidur sehari-hari, jumlah jam tidur, tidur
siang. Apakah klien memerlukan penghantar tidur seperti mambaca,
minum susu, menulis, memdengarkan musik, menonton televise.
Bagaimana suasana tidur klien apaka terang atau gelap. Sering bangun saat
tidur dikarenakan oleh nyeri, gatal, berkemih, sesak dan lain-lain.
9. Pola persepsi kognitif
Tanyakan kepada klien apakah menggunakan alat bantu pengelihatan,
pendengaran. Adakah klien kesulitan mengingat sesuatu, bagaimana klien
mengatasi tak nyaman : nyeri. Adakah gangguan persepsi sensori seperti
pengelihatan kabur, pendengaran terganggu. Kaji tingkat orientasi
terhadap tempat waktu dan orang.
10. Pola persepsi dan konsep diri
Kaji tingkah laku mengenai dirinya, apakah klien pernah mengalami putus
asa/frustasi/stress dan bagaimana menurut klien mengenai dirinya.
11. Pola peran hubungan dengan sesame
Apakah peran klien dimasyarakat dan keluarga, bagaimana hubungan klien
di masyarakat dan keluarga dn teman sekerja. Kaji apakah ada gangguan
komunikasi verbal dan gangguan dalam interaksi dengan anggota keluarga
dan orang lain.
12. Pola produksi seksual
Tanyakan kepada klien tentang penggunaan kontrasepsi dan permasalahan
yang timbul. Berapa jumlah anak klien dan status pernikahan klien.
11. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress.
Kaji faktor yang membuat klien marah dan tidak dapat mengontrol diri,
tempat klien bertukar pendapat dan mekanisme koping yang digunakan
selama ini. Kaji keadaan klien saat ini terhadap penyesuaian diri, ugkapan,
penyangkalan/penolakan terhadap diri sendiri.
12. Pola system kepercayaan
Kaji apakah klien dsering beribadah, klien menganut agama apa?. Kaji
apakah ada nilai-nilai tentang agama yang klien anut bertentangan dengan
kesehatan.

13. Pemeriksaan fisik :

1) Manifestasi klinik Penyakit Paru Obstruktif Kronik :

 Peningkatan dyspnea

 Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot

abdominal, mengangkat bahu saat inspirasi, nafas cuping hidung).

 Penurunan bunyi nafas.

 Takipnea.

2) Gejala yang menetap pada penyakit dasar

Asthma

 Batuk (mungkin produktif atau non produktif), dan perasaan dada

seperti terikat.

 Mengi saat inspirasi maupun ekspirasi yang dapat terdengar tanpa

stetoskop.

 Pernafasan cuping hidung.

 Ketakutan dan diaforesis.

Bronkhitis
 Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang

biasanya terjadi pada pagi hari.

 Inspirasi ronkhi kasar dan whezzing.

 Sesak nafas

Bronkhitis (tahap lanjut)

 Penampilan sianosis

 Pembengkakan umum atau “blue bloaters” (disebabkan oleh edema

asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor pulmunal).

Emphysema

 Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter thoraks

anterior posterior meningkat sebagai akibat hiperinflasi paru-paru).

 Fase ekspirasi memanjang.

 Emphysema (tahap lanjut)

 Hipoksemia dan hiperkapnia.

 Penampilan sebagai “pink puffers”

B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif
2. Pola napas tidak efektif
3. Gangguan pertukaran gas
4. Nyeri akut
5. Gangguan pola tidur
6. Intoleransi aktifitas
INTERVENSI KEPERAWATAN
No Diagnosa Keperawatan Intervensi
1 Bersihan jalan napas tidak Latihan Batuk Efektif
Definisi: Melatih pasien yang tidak memiliki
efektif
kemampuan batuk secara efektif untuk membersihkan
laring, trakhea dan bronkiolus dan sekret atau benda
asing di jalan napas

Observasi:
- Identifikasi kemampuan batuk
- Monitor adanya retensi sputum
- Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
- Monitor input dan output cairan (mis. Jumlah dan
karakteristik)

Terapeutik:
- Atur posisi semi fowler atau fowler
- Pasang perlak dan bengkok dipangkuan pasien
- Buang sekret pada tempat sputum

Edukasi:
- Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
- Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama
4 detik, ditahan selama 2 detik, kemudian
keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu
(dibulatkan) selama 8 detik
- Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3
kali
- Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik
napas dalam yang ke-3

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran,
jika perlu

2 Pola napas tidak efektif Manajemen jalan napas


Definisi: mengidentifikasi dan mengelola kepatenan
jalan napas

Observasi:
- Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman
- Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling,
mengi, wheezing, ronkhi kering)
- Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

Terapeutik:
- Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-
thilt dan chin-lift (jaw thrust jika curiga cedera
trauma servikal)
- Posisikan semi fowler atau fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
- Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
- Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal
- Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
McGill
- Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi:
- Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
- Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
3 Gangguan pertukaran gas Pemantauan Respirasi
Definisi: Mengumpulkan dan menganalisis data untuk
memastikan kepatenan jalan napas dan keefektifan
pertukaran gas

Observasi:
- Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya
napas
- Monitor pola napas (seperti bradipneu, takipneu,
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne-stokes, Briot,
ataksik)
- Monitor kemampuan batuk efektif
- Monitor adanya produksi sputum
- Monitor adanya sumbatan jalan napas
- Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
- Auskultasi bunyi napas
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor nilai AGD
- Monitor hasil X-ray toraks

Terapeutik:
- Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
- Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi:
- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Terapi Oksigen
Definisi: memberikan tambahan oksigen untuk
mencegah dan mengatasi kondisi kekurangan oksigen
jaringan

Observasi:
- Monitor kecepatan aliran oksigen
- Monitor posisi alat terapi oksigen
- Monitor aliran oksigen secara periodik dan
pastikan fraksi yang diberikan cukup
- Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. Oksimetri,
AGD), jika perlu
- Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat
makan
- Monitot tanda-tanda hipoventilasi
- Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan
atelektasis
- Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
- Monitor integritas mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen

Terapeutik:
- Bersihkan sekret pada mulut, hidung, dan trakea,
jika perlu
- Pertahankan kepatenan jalan napas
- Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen
- Berikan oksigen tambahan, jika perlu
- Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasi
- Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan
tingkat mobilitas pasien

Edukasi:
- Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan
oksigen dirumah

Kolaborasi:
- Kolaborasi penentuan dosis oksigen
- Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas
dan/atau tidur
4 Nyeri akut Manajemen nyeri
Observasi
- Identifikasi lokasi, karakterisitk, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respon nyeri nonverbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperringan nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
nyeri
- Identifikasi budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengeruh nyeri pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berika teknik non farmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri (TENS, hipnosis, akupresusr, terapi
musik, biofeedback,terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat atau
dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik

5 Gangguan pola tidur Dukungan tidur


Observasi:
- Identifikasi pla aktivitas dan tidur
- Identifikasi faktor pengganggu tidur (fisik dan/atau
psikologis)
- Identifikasi makanan dan minuman yang
mengganggu tidur (mis. kopi, teh, alkohol, makan
mendekati waktu tidur, minum banyak air sebelum
tidur)
- Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi
Terapeutik:
- Modifikasi lingkungan (mis. pencahayaan,
kebisingan, suhu, matras, dan tempat tidur)
- Batasi waku tidur siang, jika perlu
- Fasilitasi menghilangkan stres sebelum tidur
- Tetapkan jadwal tidur rutin
- Lakukan prosedur untuk meningkatkan
kenyamanan (mis. pijat, pengaturan posisi, terapi
akupresur)
- Sesuaikan jadwal pemberian obat dan/atau tindakan
untuk menunjang siklus tidur-terjaga
Edukasi:
- Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
- Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur
- Anjurkan menghindari makanan/minuman yang
mengganggu tidur
- Anjurkan penggunaan obat tidur yang tidak
mengandung supresor terhadap tidur REM
- Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
gangguan pola tidur (mis. psikologis, gya hidup,
sering berubah shift bekerja)
- Ajarkan relaksasi otot autogenik atau cara
nonfarmakologi lainnya.

6 Intoleransi aktifitas Manajemen energy (I.05178)


Mengidentifikasi dan mengelola penggunaan energy
untuk mengatasi atau mencegah kelelahan dan
mengoptimalkan proses pemulihan
Observasi
- Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
mengakibatkan kelelahan
- Monitor kelelahan fisik dan emosional
- Monitor pola dan jam tidur
- Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
melakukan aktivitas
Terapeutik
- Sediakan lingkungan nyaman dan rendah
stimulus
- Lakukan latihan rentang gerak pasif atau aktif
- Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
- Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau berjalan
Edukasi
- Anjurkan tirah baring
- Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
- Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak berkurang
- Ajarkan strategi koping untuk mengurangi
kelelahan
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
DAFTAR PUSTAKA

Aspiani, R.Y. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta: Trans
Info Media.

Global initiative for chronic Obstruktif Lung Disease (GOLD). (2011). Inc.
Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and
Prevention.http://www.goldc opd.com.

Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku


Kedokteran.

Padila. (2013). Keperawatan gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika

Potter, P.A., & Perry, A. G. (2006). Fundamental of Nursing : Konsep, Proses,


dan Praktis. Ed 7. St. Lous : Mosby Year Book.

PPNI.(2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Smeltzer, S. C. and Bare, B. G. 2006. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


Brunner & Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Alih Bahasa H. Y. Kuncara,
Monica Ester, Yasmin Asih, Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai