Anda di halaman 1dari 15

BAB I

KONSEP DASAR PPOK

A. Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan kondisi patologis akibat terpajan
pada iritan seperti asap rokok yang ditandai dengan batuk dan nafas pendek. Paru-paru
mengalami hiperinflasi dan diafragma menjadi datar sehingga lansia menggunakan otot
abdomen dan otot intercostalis unutk bernafas. Penggunaan otot bantu nafas membutuhkan
energi lebih banyak dibandingkan penggunaan diafragma (Dewi, 2014, p. 86). Menurut Black
and Hawks (2014, p. 287) PPOK merupakan terganggunya pergerakan udara masuk dan
keluar paru.
PPOK adalah suatu penyakit yang menimbulkan obstruksi saluran nafas, termasuk
kedalamnya ialah asthma, bronchitis kronis, dan emfisema pulmonum PPOK adalah suatu
istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama
dan ditandai oleh peningkatan retensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan istilah PPOK
yaitu bronchitis kronis, empisema paru-paru dan asma (Halim Mubin, 2016).
B. Etiologi PPOK
Etiologi peyakit ini belum dikatahui. Menurut Muttaqin (2008),penyebab dari PPOK
adalah:
a. Kebiasaan merokok, merupakan penyebab utama pada bronhitis dan emfisea
b. Adanya infeksi: Haepohilus influenzza dan streptoous pnneumonia
c. Polusi oleh zat – zat pereduksi.
d. Faktor keturunan
e. Faktor sosial - ekonomi: keadaan lingkungan dan ekonomi yang memburuk
Pengaruh dari masing – masing faktor terhadap terjadinya PPOK adalah saling meperkuat
dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.
C. Klasifikasi PPOK
Klasifikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut Jackson (2014) :
a Asma Penyakit jalan nafas obstruktif intermien, reversible dimana trakea dan
bronkus berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu (Brunner and
Suddarth 2010).
b Bronkhitis kronis Bronkhitis Kronis merupakan batuk produktif dan menetap
minimal 3 bulan secara berturut-turut dalam kurun waktu sekurang-kurangnya
selama 2 tahun. Bronkhitis Kronis adalah batuk yang hampir terjadi setiap hari
dengan disertai dahak selama tiga bulan dalam setahun dan terjadi minimal selama
dua tahun berturut-turut (GOLD, 2010).
c Emfisema Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang
ditandai oleh pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi dinding
alveolar (Andini, 2015).
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2011, PPOK
diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut :
a Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan
dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. Spirometri : Normal.
b Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.
Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.
c Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum. Sesak
napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas). Spirometri :FEV1/FVC <
70%; 50% < FEV1 < 80%.
d Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis : Sesak napas ketika berjalan dan berpakaian. Eksaserbasi lebih sering
terjadi. Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%.
e Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi
korpulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri : FEV1/FVC < 70%; FEV1 <
30% atau < 50%.
D. Patofisiologi
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang
diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer,
parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan
perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil
dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran
nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang
akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai
beratsakit. Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan
seimbang.Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru.
Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari
berbagai macam penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan,
selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya
akan menimbulkan kerusakan sel daninflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel
makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor
kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien B4, tumuor necrosis factor (TNF),
monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS). Faktor faktor
tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat
parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus.
Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi
kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara
oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan neutrofil akan
mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion super oksida dengan bantuan
enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah
menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida
akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl). Pengaruh radikal bebas yang berasal dari
polusi udara dapat menginduksi batuk kronisse hingga percabangan bronkus lebih mudah
terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas.
Kerusakan struktur berupa destruksi alveol yang menuju ke arah emfisema karena produksi
radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusidan asap rokok.
E. Pathway

F. Manifestasi klinis
Adapun tanda dan gejala klinik PPOK adalah sebagai berikut :
1. “Smoker Cough” biasanya hanya diawali sepanjang pagi yang dingin kemudian
berkembang menjadi sepanjang tahun.
2. Sputum, biasanya banyak dan lengket berwarna kuning, hijau atau kekuningan bila
terjadi infeksi.
3. Dyspnea, terjadi kesulitan ekspirasi pada saluran pernafasan Gejala ini mungkin
terjadi beberapa tahun sebelum kemudian sesak nafas menjadi semakin nyata yang
membuat pasien mencari bantuan medik .

Sedangkan gejala pada eksaserbasi akut adalah :


1. Peningkatan volume sputum.
2. Perburukan pernafasan secara akut.
3. Dada terasa berat.
4. Peningkatan purulensi sputum
5. Peningkatan kebutuhan bronkodilator
6. Lelah dan lesu
7. Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik , cepat lelah dan terengah – engah.
Pada gejala berat dapat terjadi :
1. Sianosis, terjadi kegagalan respirasi.
2. Gagal jantung dan oedema perifer.
3. Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukkan gejala wajah yang memerah yang
disebabkan (polycythemia (erythrocytosis, jumlah erythrosit yang meningkat, hal ini
merupakan respon fisiologis normal karena kapasitas pengangkutan O2 yang berlebih
( Ikawati, 2016).

G. Penatalaksanaan
A. Terapi Umum
1. Istirahat
 Rokok dihentikan
 Pendidikan tentang penyakit yang dideritanya
 Fisioterapi dada
2. Diet
3. Medikamentosa
 Obat pertama:
▫ Bronkodilator
- Teofilin
▫ Antikolinergik
- Ipratropium bromida (atrovent)
▫ β2 agonist:
- Albuterol
- Bitolterol
- Isoproterenol
- Terbutalin
▫ Antimikroba
- Amoksisilin, 3x(0,5-1) gr/hari
- Kotrimoksazol (bactrim, Septrim, Spectrem dll), 7-10 hari
▫ Mukolitik
▫ Kortikosteroid pada keadaan eksaserbasi akut
B. Terapi Komplikasi
C. Batuk efektif
D. Fisioterapi dada
E. Teknik nebulizer
H. Pemeriksaan diagnostik
a. Chest X-Ray: dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma,
peningkatan ruangan udara retrosternal, penurunan tanda vaskuler/bullae (emfisema),
peningkatan suara bronkovaskuler (bronkitis), normal ditemukan saat periode remisi
(asma).
b. Pemeriksaan Fungsi Paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea,
menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi, dan mengevaluasi efek terapi, misalnya
bronkodilator.
c. Total Lung Capacity (TLC): meningkat pada bronkitis berat dan biasanya pada asma,
namun menurun pada emfisema.
d. Kapasitas Inspirasi: menurun pada emfisema
e. FEV1/FVC: rasio tekanan volume eksperasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital
(FVC) menurun pada beonkitis dan asma
f. Arterial Blood Gasses (ABGs): menunjukkan proses penyakit kronis sering kali PaO2
menurun dan PaCO2 normal atau meningat (bronkitis kronis dan emfisema) tetepi
sering kali menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan
sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma)
I. Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut Irman Soemantri
(2009) :
1. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 < 55 mmHg, dengan nilai
saturasi okesigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood,
penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul sianosis.
2. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang muncul
antara lain nyeri kepala, fatgue, letargi, dizzines, dan takipnea.
3. Infeksi Respiratori
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan
rangsangan otot polos bronkial serta edema mukosa. Terbatasnya aliran akan
menyebabkan peningkatan kerja otot napas dan timbulnya dispnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dispnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan
dengan bronkitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami
masalah ini.
5. Kardiak Disritmia
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratori.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma bronkial. Penyakit ini
sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali tidak berespon terhadap
terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bentu pernapasan dan distensi vena leher
sering kali terlihat pada klien dengan asma.

BAB II
KONSEP LANSIA DENGAN PPOK
J. Definisi Lansia
Lansia merupakan tahap akhir perkembangan pada fase kehidupan manusia, yang
ditandai dengan kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap (Dewi, 2014, p. 4;
Azizah, 2011, p. 1). Menurut UU No. 13/ Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia
menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional
Kelanjutusiaan, yang dimaksud dengan Lanjut Usia (lansia) adalah seseorang yang telah
mencapai usia 60 tahun ke atas. Proses penuaan akan berdampak pada berbagai aspek
kehidupan, baik aspek sosial, ekonomi maupun aspek kesehatan
K. Konsep korelasi lansia dengan PPOK
Pada lansia, seiring bertambahnya usia, dinding dada dan kekuatan otot pernafasan
akan menurun, hal ini menyebabkan sendi tulang iga kaku dan mempengaruhi penurunan laju
ekspirasi. Selain itu menurunnya sistem imun pada lansia maka leukosit, antibody dan reflex
batuk pun akan menurun sehingga lansia akan sulit dalam bernapas.
Menurut (Mufidaturrohmah, 2017) Lansia dengan PPOK memiliki dada dengan
bentuk barrel cheset. Hal ini terjadi karena adanya retensi volume udara didalam paru-paru
karena rusaknya dinding alveoli. Bila ini terjadi, maka darah fungsional paru akan menjadi
berkurang sehingga lansia akan memiliki postur kifosis. Ketika lansia mengalami PPOK
maka lansia harus melakukan penyesuaian dalam gaya hidup, kebiasaan dan pekerjaan.
Tujuan utama perawatan lansia dengan PPOK adalah mencegah komplikasi.
L. Penatalaksanaan PPOK pada lansia
Menurut Sari, 2020 penatalaksanaan PPOK, sebagai berikut:
a. Penatalaksanaan Non Farmakologis
1) Terapi komplementer (Pursed Lip Breathing)
Pursed Lip Breathing merupakan latihan pernapasan melalui bibir yang
dikerucutkan guna meningkatkan pola pernapsan yang normal. Menurut Qamila et al
(2019) Pursed Lip Breathing efektif menurunkan frekuensi pernapasan dan
meningkatkan pemenuhan oksigen dalam tubuh. Teknik Pursed Lip Breathing ini
dilakukan sebanyak 3x sehari setiap pagi, siang dan sore dengan waktu 6-30 menit
secara berturut-turut. Pada saat inspirasi paru-paru mengembang dan diafragma akan
melengkung dan bergerak ke bawah. Otot perut akan mengalami kontraksi saat
ekspirasi. Diafragma mengalami pergerakan keatas dan membantu proses
pengosongan udara dalam paru-paru, sehingga hal ini akan membantu lansia dalam
bernafas secara lebih efisien.
b. Penatalaksanaan Farmakologis
A. Terapi Umum
4. Istirahat
 Rokok dihentikan
 Pendidikan tentang penyakit yang dideritanya
 Fisioterapi dada
5. Diet
6. Medikamentosa
 Obat pertama:
▫ Bronkodilator
- Teofilin
▫ Antikolinergik
- Ipratropium bromida (atrovent)
▫ β2 agonist:
- Albuterol
- Bitolterol
- Isoproterenol
- Terbutalin
▫ Antimikroba
- Amoksisilin, 3x(0,5-1) gr/hari
- Kotrimoksazol (bactrim, Septrim, Spectrem dll), 7-10 hari
▫ Mukolitik
▫ Kortikosteroid pada keadaan eksaserbasi akut
F. Terapi Komplikasi
G. Batuk efektif
H. Fisioterapi dada
I. Teknik nebulizer
BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PPOK

Proses keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, penyusunan kriteria


hasil, tindakan dan evaluasi. Perawat menggunakan pangkajian dan penilaian klinis untuk
merumuskan hipotesis atau penjelasan tentang penyajian masalah aktual atau potensial, risiko dan
atau peluang promosi kesehatan. Semua langkah-langkah ini membutuhkan pengetahuan tentang
konsep-konsep yang mendasari ilmu keperawatan sebelum pola diidentifikasikan sesuai data klinis
atau penetapan diagnosis yang akurat (Herdman H, 2015).

1. Pengkajian

a. Identitas klien Meliputi : nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku, bangsa, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa medis, nomor registrasi.

b. Keluhan utama Biasanya pasien PPOK mengeluh sesak nafas dan batuk yang disertai sputum.

c. Riwayat kesehatan sekarang Biasanya pasien PPOK mengeluhkan sesak napas, kelemahan fisik,
batuk yang disertai dengan adanya sputum.

d. Riwayat kesehatan dahulu Biasanya ada riwayat paparan gas berbahaya seperti merokok, polusi
udara, gas hasil pembakaran dan mempunyai riwayat penyakit seperti asma (Ikawati 2016).

e. Riwayat kesehatan keluarga Biasanya ditemukan ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat
alergi (asma) karna asma merupakan salah satu penyebab dari PPOK.

f. Pola fungsi kesehatan 1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat Biasanya pada penderita PPOK
terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang
PPOK. Biasanya terdapat riwayat merokok karena merokok meningkatkan risiko terjadinya PPOK 30
kali lebih besar ( Ikawati, 2016).

2) Pola nutrisi dan metabolisme Biasanya pada pasien PPOK terjadi penurunan nafsu makan.

3) Pola eliminasi Pada pola eliminasi biasanya tidak ada keluhan atau gangguan

4) Pola istirahat dan tidur Pola tidur dan istirahat biasanya terganggu karena karena sesak.

5) Pola aktifitas dan latihan Pasien dengan PPOK biasanya mengalami penurunan toleransi terhadap
aktifitas. Aktifitas yang membutuhkan mengangkat lengan keatas setinggi toraks dapat
menyebabkan keletihan atau distress pernafasan (Suzanne, 2001).

6) Pola persepsi dan konsep diri Biasa nya pasien merasa cemas dan ketakutan dengan kondisinya.

7) Pola sensori kognitif Biasa nya tidak ditemukan gangguan pada sensori kognitif

8) Pola hubungan peran Biasanya terjadi perubahan dalam hubungan intrapersonal maupun
interpersonal .

9) Pola penanggulangan stress Biasanya proses penyakit membuat klien merasa tidak berdaya
sehingga menyebabkan pasien tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang adaptif.
10) Pola reproduksi seksual Biasanya pola reproduksi dan seksual pada pasien yang sudah menikah
akan mengalami perubahan

11) Pola tata nilai dan kepercayaan Biasanya adanya perubahan status kesehatan dan penurunan
fungsi tubuh mempengaruhi pola ibadah pasien.

g. Pemeriksaan fisik

1) Gambaran umum Biasanya kesadaran pasien composmentis

2) Secara sistemik dari kepala sampai ujung kaki

a) Kepala Biasanya rambut tidak bersih karena pasien dengan PPOK mengalami penurunan toleransi
terhadap aktifitas termasuk perawatan diri.

b) Mata Biasanya mata simetris, sklera tidak ikterik

c) Telinga Biasanya telinga cukup bersih,bentuk simetris dan fungsi pendengaran normal

d) Hidung Biasanya hidung simetris, hidung bersih

e) Leher Biasanya tidak ditemukan benjolan.

f) Paru

(1) Inspeksi biasanya terlihat klien mempunya bentuk dada barrel chest penggunaan otot bantu
pernafasan

(2) Palpasi biasanya premitus kanan dan kiri melemah

(3) Perkusi bisanya hipersonor

(4) Auskultasi biasanya terdapat ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan obstruktif

g) jantung

(1) inspeksi bisanya ictus cordis tidak terlihat

(2) palpasi biasanya ictus cordis teraba

(3) auskultasi biasanya irama jantung teratur

h) abdomen

(1) inspeksi biasanya tidak ada asites

(2) palpasi biasanya hepar tidak teraba

(3) perkusi biasanya timphany

(4) auskultasi biasanya bising usus normal

i) ekstremitas biasanya didapatkan adanya jari tabuh (clubbing finger) sebagai dampak dari
hipoksemia yang berkepanjangan ( Muttaqin, 2012).

h. Pemeriksaan diagnostik

1) Pengukuran fungsi paru

a) Kapasitas inspirasi menurun dengan nilai normal 3500 ml


b) Volume residu meningkat dengan nilai normal 1200 ml

c) FEV1 (forced expired volume in one second) selalu menurun : untuk menentukan derajat PPOK
dengan nilai normal 3,2 L

d) FVC (forced vital capacity) awalnya normal kemudian menurun dengan nilai normal 4 L

e) TLC (Kapasitas Paru Total) normal sampai meningkat sedang dengan nilai normal 6000 ml 2)
Analisa gas darah PaO2 menurun dengan nilai normal 75-100 mmHg, PCO2 meningkat dengan nilai
normal 35-45 mmHg dan nilai pH normal dengan nilai normal 7,35-7,45

3) Pemeriksaan Laboratorium

a) Hemoglobin (Hb) meningkat dengan nilai normal pada wanita 12-14 gr/dl dan laki-laki 14-18
gr/dl , hematocrit (Ht) meningkat dengan nilai normal pada wanita 37-43 % dan pada laki-laki 40-48
%

b) Jumlah darah merah meningkat dengan nilai normal pada wanita 4,2-5,4 jt/mm3 dan pada laki-
laki 4,6-6,2 jt/mm3

c) Eosonofil meningkat dengan nilai normal 1-4 % dan total IgE serum meningkat dengan nilai normal
< 100 IU/ml d) Pulse oksimetri , SaO2 oksigenasi meningkat dengan nilai normal > 95 %.

e) Elektrolit menurun

4) Pemeriksaan sputum Pemeriksaan gram kuman / kultur adanya infeksi campuran . kuman
pathogen yang biasa ditemukan adalah streptococcus pneumonia, hemophylus influenzae.

5) Pemeriksaan radiologi Thoraks foto (AP dan lateral) Menunjukkan adanya hiperinflasi paru,
pembesaran jantung dan bendungan area paru (Muttaqin, 2012)

1. DIAGNOSA KEPERAWATAN
 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospama, peningkatan produksi
sekret, sekresi tertahan dan sekresi kental
 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan disfungsionalnya proses difusi dan perfusi
dalam tubuh
 Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan suplai oksigen tidak adekuat
 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kontraksi otot pernapasan penggunaan energi
untuk pernapasan meningkat
 Defisit nutrisi berhubungan dengan anoreksia
 Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi, ketidaktahuan
menemukan sumber informasi
 Manajemen kesehatan keluarga tidak efektif kompleksitas program perawatan/pengobatan

2. RENCANA KEPERAWATAN

Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges
(2012) adalah :

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi
sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan
mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan kriteria hasil
pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas misalnya batuk efektif
dan mengeluarkan sekret.

Intervensi :

Mandiri :

1) Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels,ronkhi.

R/ mengetahui ada tidaknya obstruksi jalan nafas dan menjadi manifestasi adanya bunyi nafas
adventisius.

Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi. R/ mengetahui disfungsi
pernapasan.

Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat

tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.

R/ mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi.

Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.

R/ mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.

Observasi karakteristik batuk, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah.

Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.

R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif.

Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.

Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti

makanan.

R/ hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah

pengeluaran.

Kolaborasi :

- Berikan obat sesuai indikasi.

- Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).

- Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.

- Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier

aerosol ruangan.

- Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.

R/ merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal menurunkan

spasme jalan napas, mengi, dan produksi mukosa


R/ takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada

penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut.

Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas,

distress pernafasan, penggunaan otot bantu.

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan disfungsionalnya proses difusi dan perfusi dalam
tubuh

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan

pasien menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat

dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan

dengan kriteria hasil pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan

dalam tingkat kemampuan atau situasi.

Intervensi :

Mandiri :

Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas

bibir, ketidakmampuan berbicara atau berbincang.

R/ berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan kronisnya proses

penyakit.

Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah

untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan

atau toleransi individu.

R/ posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan napas,

dispnea, dan kerja napas.

Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukos.

R/ Keabu-abuan dan sianosis sentral mengidentifikasikan

beratnya hipoksemia.

Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.

R/ banyaknya sekret menjadi sumber utama gangguan pertukaran gas pada

jalan nafas.

Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi

tambahan.
R/ bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area

konsolidasi.

Palpasi fremitus. R/ penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara

terjebak.

Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.

R/ gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.

Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem.

Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di kursi selama

fase akut. Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan

tingkatkan sesuai toleransi individu.

R/ program latihan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan

tanpa menyebabkan dispnea berat, dan dapat meningkatkan rasa sehat.

Awasi tanda vital dan irama jantung.

R/ takikardia, disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek hipoksemia

sistemik pada fungsi jantung.

Kolaborasi :

Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.

R/ PaCO2biasanya meningkat dan PaCO2 secara umum menurun, sehingga

hipoksia terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar.

Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan

toleransi pasien.

R/ dapat memperbaiki/mencegah memperburuknya hipoksia

Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.

R/ digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah yang meningkatkan konsumsi

oksigen/kebutuhan, eksaserbasi dispnea.

Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan

ke ICU sesuai instruksi untuk pasien.

R/ terjadinya kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya tindakan

penyelamatan hidup
c. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi, ketidaktahuan menemukan
sumber informasi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam pengetahuan klien dan

keluarga bertambah.Penulis memprioritaskan diagnosa ini pada urutan ketiga

karena pada saat klien bertanya perawat menjelaskan terkait penyakitnya, Respon

klien merasa puasa atas apa yang diinformasikan terhadap perawat.

Tujuan dari rencana tindakan keperawatan menurut Engram (2000) adalah

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan

pengetahuan klien dan keluarga bertambah.

20

Intervensi yang dilakukan ke pasien yakni kaji tingkat pengetahuan pasien

dan keluarga, jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini

berhubungan dengan anatomi dan fisiologi dengan cara yang tepat, gambarkan

tanda dan gejalan yang biasa muncul pada penyakit dengan cara yang tepat,

gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat.

3. IMPLEMENTASI

4. EVALUASI KEPERAWATAN

Dapus

Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk

Hasil yang Diharapkan. Dialihbahasakan oleh Nampira R. Jakarta: Salemba

Emban Patria.

Dewi, S.R. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 1. Yogyakarta:

Deepublish.

Muttaqin, A. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia

(SDKI), Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia


Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia

(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia

(SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai