Anda di halaman 1dari 28

STUDI KASUS FARMASI RUMAH SAKIT

“PPOK”

Disusun oleh:
Kelompok 2 / C2

Venestesia Ayu Suliustita 2120424779


Agatha Ria Budiyana 2120424786

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) 2018,
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit umum, dapat dicegah dan diobati
yang ditandai dengan gejala pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara yang
disebabkan karena kelainan saluran napas dan/atau alveolus. PPOK biasanya disebabkan
oleh paparan signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya. Hambatan jalan napas pada
PPOK disebabkan oleh obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan
parenkim paru (emfisema). Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan salah satu
penyakit yang memilki beban kesehatan tertinggi. Penyakit ini menimbulkan sesak nafas,
berkurangnya kapasitas kerja dan kekambuhan yang sering berulang sehingga menyebabkan
penurunan kualitas hidup penderita. Kejadian kesakitan dan kematian yang disebabkan
PPOK berbeda pada setiap kelompok atau negara, karena tergantung pada banyaknya jumlah
perokok, polusi dari industri dan asap kendaraan yang menjadi faktor risiko PPOK.

PPOK merupakan satu dari empat penyakit tidak menular utama yang menyebabkan
60% kematian di Indonesia (Kemenkes RI, 2019). Menurut WHO, merokok merupakan
penyebab utama PPOK. Merokok dikatakan sebagai factor resiko utama terjadinya PPOK.
Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang yang memiliki jumlah perokok aktif
yang tinggi. WHO telah menetapkan Indonesia sebagai Negara terbesar ketiga di dunia
sebagai pengguna rokok (WHO, 2019). Prevalensi PPOK di Indonesia menurut Riskesdas
2013 adalah 3,7% (pria 4,2%, perempuan 3,3%).4,5 Hasil survei penyakit tidak menular
oleh Ditjen PPM & PL di 5 RS provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung,
dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004 menunjukkan bahwa PPOK merupakan penyumbang
angka kesakitan terbesar (35%), diikuti oleh asma bronkial (33%), kanker paru (30%), dan
lainnya (2%). Prevalensi PPOK terus meningkat dengan bertambahnya prevalensi perokok
dan populasi usia lanjut, serta peningkatan polusi udara. Menurut GOLD Report 2014, PPOK
memerlukan biaya kesehatan hingga 56% total biaya penyakit respirasi, tertinggi disebabkan
oleh eksaserbasi PPOK.
B. Rumusan Penelitian
1. Bagaimanakah patofisiologi PPOK?
2. Bagaimana diagnosis dari PPOK?
3. Apa terapi untuk PPOK?

4. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui patofisiologi dari PPOK
2. Untuk mengetahui diagnosis dari PPOK
3. Untuk mengetahui terapi PPOK
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi PPOK
Menurut Kepmenkes No. 1022 Tahun 2008, meyatakan bahwa Penyakit Paru
Obstruksi Kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah
penyakit yang ditandai dengan habatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya
reversible. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.

Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukan defenisi PPOK, karena bronchitis
kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.
Dalam menilai gambaran klinis dari PPOK harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Onset (awal terjadi penyakit) biasanya pada usia pertengahan,


b. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat,
c. Riwayat pajanan seperti merokok, polusi udara (didalam ruangan, luar ruangan, dan
tempat kerja).
d. Sesak pada saat melakukan aktivitas.
e. Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal)

B. Patofisiologi PPOK
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang
diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer,
parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan
perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil
dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran
nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang
akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat
sakit. Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang.
Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru.

Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi
dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress
oksidan, selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid
selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel daninflamasi. Proses inflamasi akan
mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya
faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotriene B4, tumor necrosis factor
(TNF), monocyte chemotactic peptide(MCP)-1 danreactive oxygen species( ROS).

Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan


merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar
danhipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit
CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat
keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan
makrofag dan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion
superoksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2)
yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion
fero, ion fero denganhalida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl). Pengaruh radikal
bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis sehingga percabangan
bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan
struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveol yang menuju ke arah
emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusidan asap
rokok. Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan
hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.

C. Diagnosis PPOK

Anamnesis gejala PPOK seperti sesak napas, peningkatan usaha bernapas, rasa berat
saat bernapas, atau gasping, batuk - biasanya kronik (dengan atau tanpa disertai dahak),
mudah lelah, dan terganggunya aktivitas fisik. Pada pemeriksaan fisik tahap awal, bisa tidak
ditemukan kelainan, namun pada PPOK berat, dapat ditemukan mengi dan ekspirasi
memanjang. Selain itu, bisa ditemukan tanda hiperinflasi seperti barrel chest, sianosis,
kontraksi otot-otot aksesori pernapasan, pursed lips breathing, serta tanda-tanda penyakit
kronik (muscle wasting, kehilangan berat badan, berkurangnya jaringan lemak) yang
merupakan tanda progresivitas PPOK. Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis PPOK antara
lain:
a. Spirometri, merupakan pemeriksaan definitif untuk diagnosis PPOK, yaitu dengan
mengetahui nilai FEV1 (forced expiration volume in 1 second) dan FVC (forced
vital capacity). Pada PPOK, FEV1/ FVC < 0,7.
Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dan FVC dengan spirometri
setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4. Pengukuran
spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan secara paksa dari titik
inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)), kapasitas udara yang
dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory Volume in one second (FEV1)),
dan rasio kedua pengukuran tersebut (FEV1/FVC). Pada tabel 1 diperlihatkan
klasifikasi tingkat keparahan keterbatasan aliran udara pada pasien PPOK.

b. Analisis gas darah, dapat mengukur pH darah, kadar O2 , dan CO2 darah
c. Radiografi
d. CT scan untuk melihat emfisema alveoli
e. Kadar α-1 antitripsin

PPOK juga dibedakan menjadi PPOK stabil dan eksaserbasi akut. Kriteria PPOK stabil:
1. Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisis gas darah PCO2 <
45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
3. Dahak jernih tidak berwarna
4. Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)
5. Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
6. Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai perburukan gejala pernapasan akut yang


memerlukan terapi tambahan. Eksaserbasi dapat dipicu oleh beberapa faktor, yang paling
sering infeksi saluran pernapasan. Gejala eksaserbasi akut PPOK:
• Sesak napas bertambah
• Produksi sputum meningkat
• Perubahan warna sputum

Eksaserbasi akut dibagi menjadi:


1. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
2. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
3. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran napas
atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi
atau peningkatan frekuensi pernapasan lebih dari 20% basal, atau frekuensi nadi lebih
dari 20% basal

Komplikasi Jika tidak ditangani dengan baik, PPOK dapat menyebabkan komplikasi seperti:
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik (Hasil analisis gas darah PO2 60 mmHg, dengan pH darah
normal)
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik, dengan gejala: sesak napas dengan atau
tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam dan kesadaran menurun
2. Infeksi Berulang
- Imunitas rendah disertai produksi sputum berlebihan dapat mempermudah
koloni kuman dan menyebabkan infeksi berulang
- Korpulmonal ditandai dengan P pulmonal pada EKG, hematokrit >50%, dan dapat
disertai gagal jantung kanan

D. Tatalaksana PPOK
Prinsip penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Berhenti Merokok
2. Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan beratnya
eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan dan toleransi aktivitas.
3. Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung beratnya gejala,
risiko eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien.
4. Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal
5. Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan rehabilitasi yang
akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik dan emosional pasien dalam
kehidupannya sehari-hari.

E. Farmakologi PPOK
Terapi farmakologi digunakan untuk mengurangi gejala, menurunkan frekuensi dan
tingkat keparahan eksaserbasi, serta memperbaiki toleransi terhadap latihan fisik dan status
kesehatan (Gambar 1)

Gambar 2. Skema terapi farmakologi pada PPOK Stabil


1. Kelompok A
- Semua pasien diberi terapi bronkodilator berdasarkan efeknya terhadap sesak
napas, bisa berupa bronkodilator kerja singkat atau kerja panjang.
- Terapi bisa dilanjutkan jika ditemukan manfaat simtomatik.
2. Kelompok B :
- Terapi awal bronkodilator kerja panjang karena lebih unggul dibanding bronkodilator
kerja singkat.
- Jika sesak napas menetap dengan monoterapi, direkomendasikan menggunakan dua
bronkodilator.
- Untuk sesak napas berat, dapat direkomendasikan terapi awal menggunakan
dua bronkodialtor.
- Jika penambahan bronkodilator kedua tidak memperbaiki gejala, terapi dapat
dikembalikan ke bronkodilator tunggal, pada kelompok ini sebaiknya diperiksa
kemungkinan komorbiditas yang dapat menambah gejala dan mempengaruhi prognosis.

3. Kelompok C :
- Terapi awal bronkodilator kerja panjang tunggal. LAMA (long acting muscarinic
antagonist) lebih unggul dibanding LABA (long acting beta-2 agonist) dalam mencegah
eksaserbasi, sehingga LAMA lebih direkomendasikan untuk terapi awal kelompok ini.
- Penambahan bronkodilator kerja panjang kedua (LABA/LAMA) atau kombinasi
LABA dengan corticosteroid inhalasi (ICS) dapat bermanfaat pada pasien dengan
eksaserbasi menetap. Mengingat ICS dapat meningkatkan risiko pneumonia, pilihan
utama adalah kombinasi LABA/ LAMA.

4. Kelompok D :
- Direkomendasikan terapi awal menggunakan kombinasi LABA/LAMA
karena studi menunjukkan LABA/LAMA lebih unggul dibanding obat tunggal.
- LAMA lebih dipilih untuk mencegah eksaserbasi dibandingkan dengan LABA.
- Kombinasi LABA/LAMA lebih tunggul dibanding kombinasi LABA/ICS
dalam mencegah eksaserbasi.
- Pasien kelompok D mempunyai risiko pneumonia lebih tinggi jika mendapat terapi
ICS. Pada beberapa pasien, pilihan pertama untuk terapi awal adalah kombinasi
LABA/ICS, seperti pada riwayat dan/ atau penemuan yang menunjukkan tumpang
tindih antara asma dengan PPOK.
- Tingginya eosinofil darah juga dipertimbangkan sebagai parameter yang
mendukung penggunaan ICS, meskipun masih diperdebatkan.
- Pasien eksaserbasi lebih lanjut dengan terapi LABA/LAMA dianjurkan untuk:
- Eskalasi ke kombinasi LABA/LAMA/ICS untuk mencegah eksaserbasi. Beralih
ke kombinasi LABA/ICS.
- Jika terapi LABA/ICS tidak berdampak positif, dapat ditambahkan LAMA.
- Jika pasien dengan terapi LABA/LAMA/ICS masih mengalami eksaserbasi, pilihan
berikut: ditambahkan roflumilast, yang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
FEV1 diprediksi.

Golongan Terapi Farmakologi :


1. Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV1 atau mengubah
variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot polos pada jalan napas.
Mekanisme kerja :
- meningkatkan FEV1 dan/atau memperbaiki variabel spirometri lainnya dengan
mempengaruhi tonus otot polos jalan napas dan memperbaiki aliran udara ekspirasi,
yang mencerminkan pelebaran jalan napas daripada perubahan elastisitas paru.
- menurunkan hiperinflasi dinamik saat istirahat ataupun selama latihan fisik, serta
memperbaiki performa latihan.
a) β2Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas dengan
menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP dan menghasilkan
antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Efek bronkodilator dari short acting
β2 agonist biasanya dalam waktu 4-6 jam. Penggunaan dosis tinggi short acting β2
agonist pro renata pada pasien yang telah diterapi dengan long acting broncodilator
tidak didukung bukti dan tidak direkomendasikan. Long acting β2 agonist inhalasi
memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih. Formoterol dan salmeterol memperbaiki FEV1
dan volume paru, sesak napas, health related quality of life dan frekuensi eksaserbasi
secara signifikan (Evidence A), tapi tidak mempunyai efek dalam penurunan mortalitas
dan fungsi paru. Salmeterol mengurangi kemungkinan perawatan di rumah sakit
(Evidence B). Indacaterol merupakan Long acting β2 agonist baru dengan waktu kerja
24 jam dan bekerja secara signifikan memperbaiki FEV1, sesak dan kualitas hidup
pasien (Evidence A). Efek samping adanya stimulasi reseptor β2 adrenergik dapat
menimbulkan sinus takikardia saat istirahat dan mempunyai potensi untuk mencetuskan
aritmia. Tremor somatic merupakan masalah pada pasien lansia yang diobati obat
golongan ini. Agonis β2 terdiri dari short- acting (SABA) dan long-acting (LABA)
beta2-agonist.
 SABA (short acting beta2-agonist) „
- Efek SABA biasanya hilang dalam 4-6 jam.
- Penggunaan SABA dapat memperbaiki FEV1 dan gejala.
- Contoh: salbutamol, fenoterol. Salbutamol lebih selektif, sehingga
menimbulkan lebih sedikit efek samping dibanding fenoterol.
 LABA (long acting beta2-agonist) „
- Durasi kerja 12 jam atau lebih „
- Contoh: Formoterol, salmeterol, indacaterol, oladaterol, vilanterol
(inhalasi). Formoterol & salmeterol merupakan LABA yang diberikan dua kali
sehari yang secara bermakna memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak
napas, status kesehatan, frekuensi eksaserbasi dan jumlah perawatan di rumah
sakit(Evidence A), tetapi tidak mempunyai efek dalam penurunan mortalitas
dan fungsi paru.
- Salmeterol mengurangi risiko perawatan di rumah sakit (Evidence B).
- Indacaterol merupakan LABA sekali sehari dengan durasi kerja 24 jam dan
secara signifikan memperbaiki sesak na[as, status kesehatan, dan tingkat
eksaserbasi (Evidence A). Namun beberapa pasien mengalami batuk setelah
inhalasi indacaterol.
- Oladaterol dan vilanterol merupakan LABA sekali sehari tambahan yang
memperbaiki fungsi paru dan gejala PPOK.

b) Antikolinergik/ Antagonis Muskarinik


Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropium dan
tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada reseptor
muskarinik. Efek bronkodilator dari short acing anticholinergic inhalasi lebih lama
dibanding short acting β2 agonist. Tiopropium memiliki waktu kerja lebih dari 24 jam.
Aksi kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki gejala dan
status kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmonal
(Evidence B). Efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan antikolinergik adalah
mulut kering. Meskipun bisa menimbulkan gejala pada prostat tapi tidak ada data yang
dapat membuktikan hubungan kausatif antara gejala prostat dan penggunaan obat
tersebut. Antikolinergik terdiri dari short-acting (SAMA) dan long-acting (LAMA)
muscarinic antagonist.
 SAMA (short acting muscarinic antagonist) : bekerja menghambat reseptor
neuron M2 yang berpotensi menyebabkan bronkokonstriksi secara vagal „ Efek
bronkodilator SAMA inhalasi lebih lama dibanding SABA.
Contoh: Ipratropium, oxitropium. Ipratropium dapat menyebabkan efek samping
rasa logam atau pahit pada lidah.
 LAMA (long acting muscarinic antagonist) : Mempunyai ikatan yang lama pada
reseptor muskarinik M3, dengan disosiasi yang lebih cepat dari reseptor
muskarinikM2, sehingga memperpanjang durasi efek bronkodilator „ Dapat
mengurangi eksaserbasi dan perawatan di rumah sakit, memperbaiki gejala dan
status kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmonal
(Evidence B).
Contoh: Tiotropium, aclidinium, umeclidinium, glycopyrronium bromide.
Tiotropium memperbaiki gejala, status kesehatan, efektivitas rehabilitasi paru, dan
menurunkan eksaserbasi serta perawatan di rumah sakit, namun tidak mempunyai
efek pada tingkat penurunan fungsi paru. „

2. Methylxanthine

Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin dan aminofilin. Obat ini
dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Theophylline merupakan jenis
methylxantine yang paling sering digunakan, dimana dimetabolisme oleh cytochrome P450
dengan fungsi oksidase. Efek yang ditimbulkan berupa peningkatan fungsi otot skeletal
respirasi. Penambahan theophylline dengan salmeterol memberikan efek perbaikan pada
FEV1 dan gejala sesak dibandinganhanyapemberian salmeterol saja. Toksisitas
methylxanthine tergantung pada dosis yang diberikan, dimana efek yang ditimbulkan berupa
palpitasi akibat atrium dan ventrikel aritmia. Efek lain termasuk sakit kepala, insomnia, mual,
terasapanas di dada. Pengobatan ini juga memiliki interaksi yang signifikan dengan beberapa
obat seperti digitalis dan coumadin.

3. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison.
Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif
yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
a. Corticosteroid inhalasi (ICS)

Corticosteroid yang diberikan reguler dapat memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas
hidup, frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1 diprediksi < 60%. Contoh:
Fluticasone, Budesonide. Pasien lebih berisiko pneumonia meliputi perokok, usia > 55 tahun,
riwayat eksaserbasi atau pneumonia, indeks massa tubuh < 25 kg/m2 , derajat sesak MRC
buruk dan/atau hambatan aliran udara berat. „ Penggunaan ICS juga dikaitkan dengan
peningkatan risiko diabetes/kontrol diabetes yang buruk, katarak, dan infeksi mycobacterial
termasuk tuberkulosis.

b. Glucocorticoid oral

Penggunaan glucocorticoid sistemik untuk terapi eksaserbasi akut pada pasien dirawat
di rumah sakit, atau selama di unit gawat darurat, menurunkan tingkat kegagalan terapi,
tingkat relaps, dan memperbaiki fungsi paru dan sesak napas, namun penggunaannya pada
terapi harian jangka panjang pada PPOK tidak dianjurkan karena komplikasi sistemik yang
tinggi. Efek samping: miopati steroid, yang dapat berkontribusi pada kelemahan otot,
penurunan fungsionalitas, dan gagal napas pada pasien PPOK yang sangat berat.

c. Phosphodiesterase-4 inhibitor

Mekanisme kerja: mengurangi inflamasi dengan menghambat pemecahan C-AMP


intraseluler. Efek samping: diare, mual, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan,
nyeri abdomen, ganggun tidur, dan sakit kepala. Sebaiknya dihindari pada pasien kurus dan
hatihati pada pasien dengan depresi. Efek samping tampaknya terjadi pada awal terapi namun
akan menghilang dengan diteruskannya terapi. Contoh obat: Roflumilast merupakan obat
golongan ini yang diberikan sekali sehari secara oral. Roflumilast tidak mempunyai efek
bronkodilator langsung, namun bisa menurunkan eksaserbasi sedang dan berat pada pasien
dengan bronkitis kronik, PPOK berat hingga sangat berat, dan riwayat eksaserbasi, yang
diterapi dengan corticosteroid sistemik. Efek pada fungsi paru juga tampak jika roflumilast
ditambahkan pada bronkodilator kerja panjang dan pada pasien yang tidak terkontrol dengan
kombinasi tetap LABA/ICS.

4. Antibiotik
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
a. Lini I : amoksisilin, makrolid
b. Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
Sefalosporin
Kuinolon
Makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih :
a. Amoksilin dan klavulanat
b. Sefalosporin generasi II & III injeksi
c. Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
a. Aminoglikose per injeksi
b. Kuinolon per injeksi
c. Sefalosporin generasi IV per injeksi

Terapi Farmakologis Lain

1. Vaksin
vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien PPOK usia > 65 tahun.
2. Alpha-1 Augmentation therapy
Terapi ini ditujukan bagi pasien usia muda dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter
berat. Terapi ini sangat mahal, dan tidak tersedia di hamper semua negara dan tidak
direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada hubungannya dengan defisiensi
alpha-1 antitripsin.
3. Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan
Ambroksol, erdostein, carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcystein dapat
mengurangi gejala eksaserbasi.
4. Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator)
5. Antitusif
Golongan obat ini tidak direkomendasikan.
6. Vasodilator
7. Narkotik (morfin)
8. Lain-lain.
Terapi herbal dan metode lain seperti akupuntur dan hemopati) juga tidak ada yang
efektif bagi pengobatan PPOK.

Terapi Non Farmakologi

1. Rehabilitasi
2. Berhenti merokok adalah satu-satunya intervensi yang terbukti mempengaruhi penurunan
FEV jangka panjang di bawah perkembangan PPOK
3. Konseling Nutrisi
4. Edukasi
BAB III
STUDI KASUS
Kasus PPOK

Deskripsi penyakit
Laki-laki kaukasia berusia 72 tahun dengan riwayat merokok 1 bungkus per hari selama 47
tahun terakhir datang dengan keluhan sesak nafas progresif dan batuk kronis, dahak berwarna
kekuningan dan purulent. Ia telah mengalami serangan sesak napas berulang ulang dan 4 kali
dirawat di RS selama 2 tahun terakhir. Pada pemeriksaan ia tampak cachectic dan gangguan
pernapasan sedang, terutama setelah berjalan ke ruang pemeriksaan, dan memiliki pernapasan
bibir yang mengerucut. Pembuluh darah lehernya agak melebar. Pemeriksaan paru-paru
mengungkapkan dada barel dan entri udara yang buruk secara bilateral, dengan inspirasi
sedang dan mengi saat ekspirasi. Pemeriksaan jantung dan abdomen dalam batas normal.
Ekstremitas bawah menunjukkan sedikit pitting edema.

Riwayat penyakit
Ia telah didiagnosa menderita PPOK selama hampir 7 tahun. ia tidak memiliki istri semenjak
20 tahun yang lalu karena bercerai dengan istrinya dan tidak memiliki anak. Saat ini Ia
tinggal Bersama kakak perempuannya di peninggalan rumah orang tua mereka. Kakaknya
seorangan “Hoarder”(penimbun barang) selama bertahun tahun sehingga ia tidak memiliki
ruangan yang cukup sehat dirumah tersebut akibat seluruh ruangan terisi dengan sampah dan
barang barang yang tidak perlu. Hal ini menyebabkan ppoknya memburuk. Ia telah
mengalami 2 kali serangan sesak napas yang buruk selama musim panas yang
menyebabkannya harus rawat inap. Dia juga memiliki alergi terhadap beberapa makanan laut
dan antibiotic beta lactam.
2 hari sebelum masuk RS ia mengalami kecelakaan di mana tangannya tergores pinggiran
kaca yang menyebabkannya mendapat 8 jahitan ditangan kirinya. Dia mendapatkan aspirin
untuk analgetic dan antibiotic tetrasiklin.

Hasil pemeriksaan
Pemeriksaan Pemeriksaan hari 1 masuk RS Pemeriksaan hari 3 masuk RS
TB/BB 180 cm/ 70 kg 180 cm/ 70 kg
N 110 100
T 37,7˚C 37,5˚C
RR 30 x/mnt 26 x/mnt
TD 165/ 100 mmHg 150/94 mm Hg
FeV1 75 % 81%
SaO2 80 89%
GDP 115 112
Kol total 220 mg/dl 205 mg/dl
HDL 30 mg/dl 40 mg/dl
Kultur bakteri + +
Leukosit 14.500 12.800

Pengobatan Di rumah sakit :


obat Hari Hari ke Hari Hari
ke 1 2 ke 3 ke 4
IVFD RL 25 tts/menit ˅ ˅ ˅
O2 2L / min ˅ ˅ ˅
Salbutamol sulfate 2.5 mg ˅ ˅ -
Prednison 4 mg/kgBB tiap 6 jam ˅ ˅ ˅
Aminofilin inj melalui infus ˅ ˅ ˅
Injeksi ciprofloksasin IV ˅ ˅ ˅
Diazepam 2 mg x 1 ˅ ˅ ˅
HCT 25 mg x 1 ˅ ˅ ˅
kaptopril 10 mg x 2 ˅ ˅ ˅
cimetidin 2x1 (amp) ˅ ˅ ˅
ambroksol tablet 16 mg 1 x 1 ˅ ˅ ˅
Parasetamol ˅ - - -
Pertanyaan :
1. Kumpulkan seluruh data objektif dan subjektif yang akan di gunakan dalam analisis
dengan metode SOAP dan diisi ke form PTO!
2. Lengkapilah aturan pakai dan dosis penggunaan obat diatas? Sudah sesuaikah
pengobatan tersebut??
3. Apakah pengobatan untuk lukanya dapat diteruskan???
4. Monitoring penggunaan obat, dan terapi apa yang akan anda berikan pada hari ke 4?
5. Dari data diatas bisakah anda mengisi form rekonsiliasi?
Jawaban :
1. Kumpulkan seluruh data objektif dan subjektif yang akan di gunakan dalam analisis
dengan metode SOAP dan diisi ke form PTO!

Metode SOAP
Subjektif
Nama :-
Jenis Kelamin : laki-laki
Usia : 72 tahun
Keluhan : keluhan sesak nafas progresif dan batuk kronis, dahak berwarna
kekuningan dan purulent
Gejala : serangan sesak napas berulang ulang dan 4 kali dirawat di RS selama
2 tahun terakhir. Pada pemeriksaan ia tampak cachectic dan gangguan
pernapasan sedang, terutama setelah berjalan ke ruang pemeriksaan,
dan memiliki pernapasan bibir yang mengerucut. Pembuluh darah
lehernya agak melebar. Pemeriksaan paru-paru mengungkapkan dada
barel dan entri udara yang buruk secara bilateral, dengan inspirasi
sedang dan mengi saat ekspirasi. Pemeriksaan jantung dan abdomen
dalam batas normal. Ekstremitas bawah menunjukkan sedikit pitting
edema
Riwayat penyakit : PPOK selama hampir 7 tahun
Riwayat alergi : alergi terhadap beberapa makanan laut dan antibiotic beta lactam
Riwayat pengobatan : aspirin untuk analgetic dan antibiotic tetrasiklin  pengobatan luka

Objektif

Pemeriksaan hari 1 masuk RS hari 3 Normal Ket


TB/BB 180 cm/ 70 kg 180 cm/ 70
kg
N 110 100 60-100 x/mnt Normal
T 37,7˚C 37,5˚C 36,1-37,2 ˚C Normal
RR 30 x/mnt 26 x/mnt 12-20x/mnt tinggi
TD 165/ 100 mmHg 150/94mmHg 120/80mmHg Hipertensi
FeV1 75 % 81% ≥80% Normal
SaO2 80 89% 95-99% rendah
GDP 115 112 < 108mg/dL Pre diabetes
Kol total 220 mg/dl 205 mg/dl <200mg/dL Tinggi
HDL 30 mg/dl 40 mg/dl 30-70 mg/dL Normal
Kultur + + -
bakteri
Leukosit 14.500 12.800 3.200-10.000/mm2 Tinggi
FORM PEMANTAUAN TERAPI OBAT

Nama pasien : - Pekerjaan : -


Umur : 72 tahun BB/TB : 180 cm/ 70 kg
Jenis Kelamin : Laki-laki No. RM : -
Alamat :- Diagnosis : PPOK, Hipertensi,
Prediabetes

Problem medik Subjektif Objektif Terapi obat Assesment DRP potensial Plan Monitoring

T = agak - Demam sudah 1. Kortikosteroid - Prednison 4


demam (37,5 Prednison 4 tidak boleh mg/kgBB diganti - Suhu tubuh
turun,
˚C) mg/kgBB tiap diberikan dengan sediaan 5
keluhan sesak sehingga - Batuk
6 jam bersama mg/kgBB tiap 6
nafas progresif penggunaan - Tanda vital pasien
Kultur bakteri dengan jam
dan batuk PCT dapat
PPOK (+) 2. Kortikosteroid - Leukosit
kronis, dahak dihentikan.
bersama dg - Dosis Aminofilin - SaO2
berwarna, dan Leukosit tinggi - Penggunaan ACEI akan 225–450 mg, 2
purulent  inflamasi Salbutamol - RR
Aminofilin inj memberikan kali sehari. Dosis
melalui infus asetat dapat efek antagonis dapat
k SaO2  rendah dihentikan terhadap efek ditingkatkan jika
e RR  tinggi karena sudah ACEI dan diperlukan
k ada terapi ARB
u Salbutamol Aminofilin. 3. Kortikosteroid Salbutamol asetat
n sulfate 2.5 mg - Sediaan bersama dihentikan
i prednisone dengan beta-
Injeksi Injeksi
n diganti blocker karena
Ciprofloksasin ciprofloksasin IV
dengan 5 mg menimbulkan
g --->
- Sediaan efek antagonis dewasa : 400 mg
2-3x sehari
melalui infus, obat
diberikan selama
7-14 hari

IV RL 25
IV Ringer
tetes/menit
Laktat
melalui intravena

O2 2-3 L/menit
a O2 2L/menit Ambroxol hipotensi
melalui intravena
n diganti
d menjadi 30 Parasetamol
Paracetamol mg.
a dihentikan
n Ambroxol Ambroxol diganti
p tablet 16 mg 1 dengan 30 mg 3x
u x1 sehari
r
Pasien tidak
Merekomendasi
memiliki Obat tanpa
- - - Simetidin untuk dihentikan -
keluhan asam Indikasi
saja
lambung

Captopril 10 Kortikosteroid
Adanya
mg x 2 bersama dg
Interaksi
ACEI (Captropil) Captropil diganti
dengan
TD : akan dengan CCB
Hipertensi - kortikosteroid, TD normal
150/94mmHg maka
memberikan efek (Amlodipin 10 mg
HCT 25 mg x antagonis 1x1)
1 mengganti
terhadap efek
jenis obat
ACEI dan ARB

Depresi tidak memiliki - Diazepam 2 Terapi sudah - Diazepam 2 mg x -


istri semenjak mg x 1 tepat 1
20 tahun yang
lalu karena
bercerai dengan
istrinya dan
tidak memiliki
anak. Saat ini Ia
tinggal Bersama
kakak
perempuannya
di peninggalan
rumah orang tua
mereka.

Diberikan
GDP 89% (<108 Indikasi tanpa Metformin 500-
Pre diabetes - mg/dl)
-
pengobatan
-
850 mg, 2-3 x
GDP
sehari

Tidak perlu Meningkatkan


diberikan resiko
Aspirin karena perdarahan
Analgesik
sudah Gastrointestinal
pasca - - Aspirin
menggunakan dan ulcerasi jika
-
kecelakaan
Prednison diberikan
sebagai bersama dengan
analgesik kortikosteroid

Pasca Terapi sudah Tetrasiklin 250


kecelakaan
- - Tetrasiklin
tepat
-
mg tiap 6 jam
2. Lengkapilah aturan pakai dan dosis penggunaan obat diatas? Sudah sesuaikah
pengobatan tersebut??

Aturan Pakai dan Dosis Penggunaan:


1. IVFD RL 25 tts/menit = 25 tetes/menit melalui intravena
2. O2 2L / min = 2-3 L/menit melalui intravena
3. Salbutamol sulfate 2.5 mg = 2.5 mg, 2.5 mg, 1-2x hirup, 4x sehari
Aturan Pakai: Masukkan ke dalam nebulizer untuk dibuat menjadi partikel gas dan
dihirup
4. Prednison 4 mg/kgBB tiap 6 jam = diganti 5 mg/kgBB tiap 6 jam
5. Aminofilin inj melalui infus = 225–450 mg, 2 kali sehari. Dosis dapat
ditingkatkan jika diperlukan
6. Injeksi ciprofloksasin IV = Dewasa: 400 mg 2-3x sehari melalui infus,
obat diberikan selama 7-14 hari
7. Diazepam 2 mg x 1 = 2 mg, 1x1 tablet
8. HCT 25 mg x 1 = 25 mg 1x sehari
9. Kaptopril 10 mg x 2 = diganti dengan Amlodipin 10 mg 1x1
10. Cimetidin 2x1 (amp) = Pemberian Cimetidine yang kurang tepat
karena pasien tidak terindikasi menderita
gastritis. Pemberian cimetidine dihentikan.
11. Ambroksol tablet 16 mg 1 x 1 = Dosis ambroksol pada kasus belum
ada, diberikan ambroxol tablet dengan dosis 30mg 3 x sehari.
12. Parasetamol = 500 mg 3x1 sehari
13. Tetrasiklin = 250 mg tiap 6 jam
14. Aspirin = Tidak perlu diberikan Aspirin karena sudah
menggunakan Prednison sebagai analgesik, Meningkatkan resiko perdarahan
Gastrointestinal dan ulcerasi jika diberikan bersama dengan kortikosteroid

3. Apakah pengobatan untuk lukanya dapat diteruskan???


 aspirin untuk analgetic dan antibiotic tetrasiklin
 Tidak perlu diberikan Aspirin karena sudah menggunakan Prednison sebagai
antiinflamasi dan analgesik
 Meningkatkan resiko perdarahan Gastrointestinal dan ulcerasi jika diberikan bersama
dengan kortikosteroid
 Tetrasiklin tetap diberikan dengan dosis 250 mg tiap 6 jam

4. Monitoring penggunaan obat, dan terapi apa yang akan anda berikan pada hari
ke 4?

1. IVFD RL 25 tts/menit = 25 tetes/menit melalui intravena


2. O2 2L / min = 2-3 L/menit melalui intravena
3. Prednison = 5 mg/kgBB tiap 6 jam
4. Aminofilin inj melalui infus = 225–450 mg, 2 kali sehari. Dosis dapat
ditingkatkan jika diperlukan
5. Injeksi ciprofloksasin IV = Dewasa : 400 mg 2-3x sehari melalui infus,
obat diberikan selama 7-14 hari
6. Diazepam = 2 mg, 1x sehari 1 tablet
7. HCT = 25 mg 1x sehari 1 tablet
8. Amlodipin = 10 mg 1x sehari 1 tablet
9. Ambroksol tablet = 30mg 3 x sehari 1 tablet
10. Tetrasiklin = 250 mg tiap 6 jam

Monitoring Penggunaan Obat :


- PPOK = Suhu tubuh
- Batuk
- Tanda vital pasien
- Leukosit
- SaO2
- RR
- Hipertensi : Tekanan Darah
- Pre diabetes : GDP
5. Dari data diatas bisakah anda mengisi form rekonsiliasi?

FORM PENELUSURAN RIWAYAT PENGGUNAAN OBAT DAN REKONSILIASI OBAT

Tanggal wawancara: - Jam wawancara: - Dikirim ke farmasi tanggal: -

*Pasien menggunakan obat sebelum admisi: (√) Ya, Menggunakan obat sebelum admisi, ()Tidak

Alergi Obat: Manifestasi Alergi: - Dampak *)


1. Antibiotik beta-laktam Ringan
Sedang
Berat

REKONSILIASI OBAT SAAT ADMISI


Daftar obat di bawah ini meliputi obat resep yang digunakan sebulan terakhir dan masih dipakai pada saat masuk rumah sakit, instruksi obat baru
ditulis di rencana perawatan daftar obat.
Review kembali saat pasien akan pulang
No JENIS OBAT PEMBERIAN WAKTU OBAT DIGUNAKAN OBAT DITERUSKAN
Nama Dagang /Generik/ PEMBERIAN SAAT DIRAWAT* KETIKA KELUAR RS
Herbal/Fitofarmaka TERAKHIR

DOSIS (mg,ml, FREKUENSI CARA YA TIDAK YA TIDAK


microgram, PEMBERIAN
unit)

1. Paracetamol 500 mg 3 x 1 tab Per oral √ - √


2. Salbutamol 2,5 mg 1-2x hirup inhalasi √ - √

3. Simetidin 200 mg 2x1 ampul √ - √

4. Prednison 5 mg Tiap 6 jam Per oral

Nama Perawat: Jennie Tanda tangan: Tanggal: 15-09-2021 Jam: 18.00

Nama Dokter: dr. Lisa Tanda tangan: Tanggal: 15-09-2021 Jam: 18.30

Diketahui oleh farmasi Tanggal: 15-09-2021 Jam: 19.00


Nama: apt. Agatha Ria Budiyana, S.Farm. Tanda tangan:
DAFTAR PUSTAKA

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2014. Global Strategy for The Diagnosis, Management, And Prevention of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2018. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
http://www.goldcopd.org.https://doi.org/10.1097/00008483-200207000-00004.
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1022. 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
World Health Organization. 2019. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD). WHO.

Anda mungkin juga menyukai