Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI KASUS

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

dr. Muhammad Ade Bagus Permana

Program Internsip
RSUD SLEMAN / MORANGAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat


dicegah dan diobati, yang umumnya ditandai dengan keterbatasan aliran udara
yang persisten atau terus-menerus, yang biasanya progresif dan berhubungan
dengan peningkatan respon inflamasi kronis pada saluran napas dan paru karena
partikel atau gas berbahaya. Penyakit ini ditandai dengan emfisema atau bronkitis
kronis ataupun keduanya. Gejala utamanya adalah gangguan pernapasan seperti
sesak napas yang kadang dapat ditandai dengan adanya mengi saat ekspirasi.
PPOK memiliki masa serangan atau yang disebut eksaserbasi yang
menyebabkan peningkatan volume dahak dan tingkat kesesakan yang dirasakan
pasien. Eksaserbasi ini sangat berpotensi menyebabkan manifestasi ke organ lain
yang berkaitan erat dengan sistem pernapasan. Salah satunya penyakit ini sangat
erat kaitannya dengan sistem sirkulasi oleh jantung. Fungsi paru yang terganggu
tentulah dapat menyebabkan terganggunya kerja jantung. Berdasarkan hal ini,
penting untuk dilakukan pemeriksaan aktivitas listrik jantung seperti EKG
(elektrokardiografi) untuk melihat apakah penyakit ini memengaruhi aktivitas
jantung atau tidak. EKG dapat menunjukkan kelainan persisten pada jantung yang
ditimbulkan oleh gangguan aliran oksigen dari paru yang terutama disebabkan
oleh emfisema. Pemeriksaan EKG telah dilakukan rutin sebagai alat diagnostik
sekaligus skrining penyakit jantung pada pasien PPOK. Gangguan fungsi kerja
jantung yang tidak terdiagnosis sering kali menjadi faktor yang meningkatkan
angka morbiditas dan mortalitas pasien PPOK. Namun hal ini menjadi
permasalahan di daerah masih berkembang karena keterbatasan fasilitas dan
sarana-prasarana diagnostik sehingga penanganan pasien-pasien PPOK belum
optimal.
PPOK merupakan penyakit yang umum dan telah menjadi permasalahan
besar di seluruh dunia. Ditemukan 6-8% dari populasi yang menderita penyakit
ini. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2020, PPOK menjadi
penyakit kelima dengan prevalensi tertinggi di seluruh dunia, serta cukup

2
menakutkan karena angka kematiannya semakin meningkat setiap tahun.
Disebutkan juga bahwa prevalensi untuk kategori sedang-berat terjadi paling
banyak pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3% di seluruh dunia.
Meskipun dalam beberapa tahun terakhir PPOK diberi perhatian khusus oleh
lembaga dan komunitas kesehatan, penyakit ini masih belum dikenal dan
cenderung diabaikan oleh masyarakat.
Di Indonesia, berdasarkan laporan Riskesdas 2013, PPOK termasuk dalam
kelompok Penyakit Tidak Menular (PTM) yaitu merupakan penyakit kronis yang
tidak ditularkan dari orang ke orang. Prevalensi PPOK berdasarkan wawancara di
Indonesia didapati 3,7 persen per mil dengan frekuensi yang lebih tinggi pada
laki-laki. Penyakit Paru Obstruksi saat ini menjadi penyebab 2 kematian ketiga
terbanyak di dunia setelah penyakit jantung dan pembuluh darah, dan keganasan,
serta merupakan penyakit yang insidensinya meningkat setiap tahun. PPOK
termasuk ke dalam kelompok penyakit sistem respirasi kronis dan tercatat
membunuh rata-rata lebih dari empat juta orang per tahun dalam satu negara dan
menyisakan kesakitan pada ratusan ribu lainnya.
Penyebaran penyakit ini sangat luas terutama di kawasan negara
perindustrian karena timbulnya dapat disebabkan oleh paparan polusi udara
seperti asap pabrik, dan dapat juga disebabkan oleh asap kendaraan bermotor,
debu, atau asap hasil bakaran rumah tangga. Namun, faktor risiko terbesar yang
dapat menyebabkan penyakit ini ialah oleh asap rokok baik yang dihirup oleh
perokok aktif maupun pasif. Di samping itu, asma yang tidak terkontrol juga dapat
menjadi penyebab penyakit ini. Sampai saat ini prevalensi masyarakat yang
merokok masih sangat tinggi dikarenakan pola hidup masyarakat yang masih
menganggap merokok adalah tren sehingga banyak orang yang telah mengalami
ketergantungan sehingga sangat besar peluangnya menderita PPOK di kemudian
hari. Hasil yang didapat melalui kuesioner akan lebih rendah dibanding
pemeriksaan spirometri karena PPOK baru ada keluhan bila fungsi paru sudah
menurun banyak.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
tahun 2014 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai
penyakit respirasi kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya
hambatan aliran udara yang persisten dan biasanya bersifat progresif serta
berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis saluran napas yang
disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu. Eksaserbasi dan komorbid
berperan pada keseluruhan beratnya penyakit pada seorang pasien.
Hambatan aliran napas kronik pada PPOK adalah merupakan gabungan
dari penyakit saluran napas kecil dan destruksi parenkhim dengan kontribusi yang
berbeda antar pasien ke pasien. Pada kenyataannya, PPOK merupakan sebuah
kelompok penyakit dengan gejala klinis yang hampir serupa dengan bronkitis
kronis, emfisema, asma, bronkiektasis, dan bronkiolitis. Hambatan jalan napas
yang terjadi pada penderita PPOK disebabkan oleh penyakit pada saluran napas
dan rusaknya parenkim paru.

EPIDEMIOLOGI
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode
survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap
studi. Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang dilakukan
terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay, Chili, dan
Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%, dengan perbandingan
laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%.5. Pada studi BOLD, penelitian
serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi PPOK adalah 10,1%,
prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5% pada perempuan.

Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013

(RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit

4
ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%)

dibanding perempuan(3,3%).

DIAGNOSIS
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak napas.
Sesak napas juga biasanya menjadi keluhan utama pada pasien PPOK karena
terganggunya aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas biasanya menjadi
komplain ketika FEV1 <60% prediksi. Pasien biasanya mendefinisikan sesak
napas sebagai peningkatan usaha untuk bernapas, rasa berat saat bernapas,
gasping, dan air hunger. Batuk bisa muncul secara hilang timbul, tapi biasanya
batuk kronis adalah gejala awal perkembangan PPOK. Gejala ini juga biasanya
merupakan gejala klinis yang pertama kali disadari oleh pasien. Batuk kronis pada
PPOK bisa juga muncul tanpa adanya dahak. Faktor risiko PPOK berupa
merokok, genetik, paparan terhadap partikel berbahaya, usia, asma/
hiperreaktivitas bronkus, status sosioekonomi dan infeksi.

Gejala
Pada penderita PPOK baru diketahui atau dipikirkan sebagai PPOK, maka
riwayat penyakit yang perlu diperhatikan diantaranya:
• Faktor risiko terpaparnya pasien seperti rokok dan paparan lingkungan
ataupun pekerjaan.
• Riwayat penyakit sebelumnya termasuk asma bronchial, alergi, sinusitis,
polip nasal, infeksi saluran nafas saat masa anak-anak, dan penyakit
respirasi lainnya.
• Riwayat keluarga PPOK atau penyakit respirasi lainnya.
• Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit
respirasi.
• Ada penyakit dasar seperti penyakit jantung, osteoporosis, penyakit
musculoskeletal, dan keganasan yang mungkin memberikan kontribusi
pembatasan aktivitas.

5
• Pengaruh penyakit pada kehidupan pasien termasuk pembatasan aktivitas,
pengaruh pekerjaan atau ekonomi yang salah.
• Berbagai dukungan keluarga dan sosial ekonomi pada pasien
• Kemungkinan mengurangi faktor risiko terutama menghentikan merokok.

Riwayat Penyakit
Pada awal perkembangannya, pasien PPOK tidak menunjukkan kelainan
saat dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pasien PPOK berat biasanya didapatkan
bunyi mengi dan ekspirasi yang memanjang pada pemeriksaan fisik. Tanda
hiperinflasi seperti barrel chest juga mungkin ditemukan. Sianosis, kontraksi
otot-otot aksesori pernapasan, dan pursed lips breathing biasa muncul pada
pasien dengan PPOK sedang sampai berat. Tanda-tanda penyakit kronis seperti
muscle wasting, kehilangan berat badan, berkurangnya jaringan lemak
merupakan tanda-tanda saat progresifitas PPOK. Clubbing finger bukan tanda
yang khas pada PPOK, namun jika ditemukan tanda ini maka klinisi harus
memastikan dengan pasti apa penyababnya.
Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk diagnosis
PPOK, dimana hasil rasio pengukuran FEV1 / FVC < 0,7. Selain spirometri, bisa
juga dilakukan Analisis Gas Darah untuk mengetahui kadar pH dalam darah,
radiografi bisa dilakukan untuk membantu menentukan diagnosis PPOK, dan
Computed Tomography (CT) Scan dilakukan untuk melihat adanya emfisema
pada alveoli.

Spirometri
Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dan FVC dengan
spirometri setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4.
Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan secara
paksa dari titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)), kapasitas
udara yang dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory Volume in one
second (FEV1 )), dan rasio kedua pengukuran tersebut (FEV1/FVC). Pada tabel
1 diperlihatkan klasifikasi tingkat keparahan keterbatasan aliran udara pada pasien

6
PPOK.

Combined COPD
Assessment Combined COPD Assessment melakukan penilaian efek
PPOK terhadap masing-masing penderitanya berdasarkan assessment terhadap
gejala yang dialami, klasifikasi spirometri berdasarkan GOLD dan kejadian
eksaserbasi.

Klasifikasi pasien berdasarkan Combined COPD Assessment:


• Kelompok A – Rendah Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi
GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam
setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat
eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1.

7
• Kelompok B – Rendah Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi
GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam
setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat
eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥2.
• Kelompok C – Tinggi Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi
GOLD 3 atau 4, dan/ atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per
tahun atau ≥1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi,
serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1.
• Kelompok D – Tinggi Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi
GOLD 3 atau 4, dan/ atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per
tahun atau ≥1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi,
serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥2.

8
TATALAKSANA
Prinsip penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah sebagai berikut :
• Berhenti Merokok
• Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi
frekuensi dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki status
kesehatan dan toleransi aktivitas.
• Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik,
tergantung beratnya gejala, risiko eksaserbasi, availabilitas obat
dan respon pasien.
• Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal
• Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan
rehabilitasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas
fisik dan emosional pasien dalam kehidupannya sehari-hari.

Terapi Farmakologi
A. Bronkodilator

9
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan FEV1
atau mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot
polos pada jalan napas.
• β2 Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas
dengan menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan
C-AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap
bronkokontriksi. Efek bronkodilator dari short acting β2 agonist
biasanya dalam waktu 4-6 jam. Penggunaan β2 agonis secara
reguler akan memperbaiki FEV1 dan gejala. Penggunaan dosis
tinggi short acting β2 agonist pro renata pada pasien yang telah
diterapi dengan long acting broncodilator tidak didukung bukti
dan tidak direkomendasikan. Long acting β2 agonist inhalasi
memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih. Formoterol dan salmeterol
memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas, health related
quality of life dan frekuensi eksaserbasi secara signifikan, tapi
tidak mempunyai efek dalam penurunan mortalitas dan fungsi paru.
Salmeterol mengurangi kemungkinan perawatan di rumah sakit.
Indacaterol merupakan Long acting β2 agonist baru dengan
waktu kerja 24 jam dan bekerja secara signifikan memperbaiki
FEV1 , sesak dan kualitas hidup pasien. Efek samping adanya
stimulasi reseptor β2 adrenergik dapat menimbulkan sinus
takikardia saat istirahat dan mempunyai potensi untuk mencetuskan
aritmia. Tremor somatic merupakan masalah pada pasien lansia
yang diobati obat golongan ini.
• Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium,
oxitropium dan tiopropium bromide. Efek utamanya adalah
memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek
bronkodilator dari short acing anticholinergic inhalasi lebih lama
dibanding short acting β2 agonist. Tiopropium memiliki waktu

10
kerja lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat mengurangi
eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki gejala dan status
kesehatan, serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmonal.
Efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan antikolinergik
adalah mulut kering. Meskipun bisa menimbulkan gejala pada
prostat tapi tidak ada data yang dapat membuktikan hubungan
kausatif antara gejala prostat dan penggunaan obat tersebut.
B. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini
dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini
tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia.
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki
gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi
pada pasien dengan FEV1 <60% prediksi. Tetapi, penggunaan obat ini
memiliki efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit
perut, diare, gangguan tidur dan sakit kepala.

Terapi Farmakologis Lain


• Vaksin: vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien
PPOK usia > 65 tahun
• Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien
usia muda dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat.
Terapi ini sangat mahal, dan tidak tersedia di hampir semua negara
dan tidak direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada
hubungannya dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.
• Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang

mencetuskan eksaserbasi

11
• Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan:
Ambroksol, erdostein, carbocysteine, ionated glycerol dan N-
acetylcystein dapat mengurangi gejala eksaserbasi.
• Immunoregulators (immunostimulators, immunomodulator)
• Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomendasikan.
• Vasodilator
• Narkotik (morfin)
• Lain-lain: Terapi herbal dan metode lain seperti akupuntur dan

hemopati juga tidak ada yang efektif bagi pengobatan PPOK.

Terapi Non Farmakologis Lain


1. Rehabilitasi
2. Konseling nutrisi
3. Edukasi

Terapi Lain
1. Terapi Oksigen
2. Ventilatory Support
3. Surgical Treatment (Lung Volume Reduction Surgery (LVRS),
Bronchoscopic Lung Volume Reduction (BLVR), Lung Transplantation,
Bullectomy).

PEMANTAUAN DAN FOLLOW UP


Follow up rutin penting pada penatalaksanaan semua pasien termasuk
PPOK. Fungsi paru bisa diperkirakan memburuk, bahkan dengan pengobatan
terbaik. Gejala dan pengukuran objektif dari keterbatasan aliran udara harus
dimonitor untuk menentukan kapan dilakukan modifikasi terapi dan untuk
identifikasi beberapa komplikasi yang bisa timbul.
Pemantauan progresifitas penyakit dan komplikasi:

12
• Spirometri Penurunan fungsi paru terbaik diukur dengan spirometri,
dilakukan sekurang-kurangnya setiap 1 tahun sekali. Kuesioner seperti
CAT bisa dilakukan setiap 2 atau 3 bulan.
• Gejala Pada setiap kunjungan, tanyakan perubahan gejala dari saat
kunjungan terakhir termasuk batuk dan dahak, sesak napas, fatiq,
keterbatasan aktivitas dan gangguan tidur.
• Merokok Pada setiap kunjungan, tanyakan status merokok terbaru dan
paparan terhadap rokok.
Pemantauan farmakoterapi dan terapi medis lain agar penyesuaian terapi
sesuai sejalan dengan berjalannya penyakit, setiap follow up harus termasuk
diskusi mengenai regimen terapi terbaru. Dosis setiap obat, kepatuhan terhadap
regimen, teknik penggunaan terapi inhalasi, efektivitas regimen terbaru dalam
mengontrol gejala dan efek samping terapi harus selalu dalam pengawasan.
Modifikasi terapi harus dianjurkan untuk menghindari polifarmasi yang tidak
diperlukan.
Pemantauan Riwayat Eksaserbasi Evaluasi frekuensi, beratnya dan
penyebab terjadinya eksaserbasi. Peningkatan jumlah sputum, perburukan akut
sesak napas dan adanya sputum purulen harus dicatat. Penyelidikan spesifik
terhadap kunjungan yang tidak terjadwal, panggilan telepon terhadap petugas
kesehatan dan penggunaan fasilitas emergensi adalah penting. Tingkat beratnya
eksaserbasi bisa diperkirakan dari peningkatan penggunaan obat bronkhodilator
atau kortikosteroid dan kebutuhan terhadap terapi antibiotik. Perawatan di rumah
sakit harus terdokumentasi, termasuk fasilitas, lamanya perawatan, dan
penggunaan ventilasi mekanik.
Pemantauan Komorbid Komorbid biasa ditemukan pada pasien dengan
PPOK, memperbesar ketidakmampuan yang berhubungan dengan PPOK dan
potensial menimbulkan penatalaksanaan menjadi lebih kompleks.

13
BAB III
KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Bp. S
No. RM : 130XXX
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 54 tahun
Pendidikan : Tidak sekolah
Pekerjaan : Tidak berkerja
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Mororejo, Tempel
Tanggal masuk : 30 Agustus 2016 / 11.00
Tanggal pemeriksaan : 30 Agustus 2016 / 17.00
Bangsal : Alamanda 2
DPJP : dr. Ali Baswedan, Sp. PD.

ANAMNESIS
Autoanamnesis (Selasa, 30 Agustus 2016 pukul 17.00 WIB) di bangsal Alamanda
2
A. Keluhan Utama: Sesak napas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
I II
j. 13.00 j. 11.00

0----------------------- 0------------------------ 0
Minggu Senin Selasa
(28/8/2016) (29/8/2016) (30/8/2016)
Sesak napas Sesak napas Puskesmas
IGD Batuk kering Masuk RS
Sulit tidur Anamnesis
Napsu makan turun

14
Seorang pasien laki-laki berusia 54 tahun datang ke Poli Penyakit
Dalam RSUD Sleman rujukan dari Puskesmas Tempel I dengan keluhan
sesak napas sudah berlangsung lama dan hilang timbul disertai batuk
kering. Sesak napas dirasakan semakin lama semakin berat terutama saat
melakukan aktivitas dan jika terpapar debu. Sesak berkurang saat posisi
duduk atau tidur dengan posisi setengah duduk. Keluhan lain seperti
pusing (+), napsu makan menurun, mual (-) dan muntah (-). BAB dan
BAK tidak ada keluhan.
Keluhan sesak tersebut sering dirasakan sejak 7 tahun yang lalu.
Pasien sudah pernah berobat sebelumnya karena keluhan yang sama.
Sudah pernah masuk rumah sakit dan membaik namun keluhan kambuh
kembali.
Pasien mempunyai riwayat sesak napas sebelumnya, penyakit
saluran napas (+), penyakit ginjal (-), hipertensi (-), DM (-). Pasien
merokok sejak usia 12 tahun sampai usia 47 tahun, pernah konsumsi
minuman beralkohol saat usia 20 tahun, dan konsumsi obat-obatan
terlarang disangkal.

Anamnesis sistem
1. Sistem saraf pusat : pusing (+), demam (-) , menggigil (-)
2. Sistem kardiovaskular : nyeri dada (-), berdebar-debar (-), pucat (-),
sianosis (-)
3. Sistem respirasi : sesak napas (+), batuk (+), pilek (-)
4. Sistem pencernan : mual (-), muntah (-), nyeti perut (-), diare (-),
konstipasi (-)
5. Sistem urogenital : sulit BAK (-), nyeri BAK (-), hematuria (-)
6. Sistem musculoskeletal : gerakan bebas (+), nyeri tulang (-), nyeri
otot (-), nyeri sendi (-), nyeri boyok (-)
7. System integumentum : kebiruan (-), kuning (-), kemerahan (-),

pucat (-), bengkak (-)

15
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat penyakit paru : ada (sesak napas) sejak 7 tahun yang lalu
4. Riwayat penyakit kencing manis : disangkal
5. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
6. Riwayat penyakit kuning : disangkal
7. Riwayat penyakit alergi : ada, debu
8. Riwayat penyakit saluran pencernaan : disangkal
9. Riwayat penyakit operasi : disangkal
10. Riwayat mondok : ada, keluhan sesak dan didiagnosis PPOK
(Februari 2016)
Kesan : terdapat hubungan dengan penyakit sekarang

D. Riwayat Penyakit pada Keluarga


1. Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat penyakit paru : disangkal
4. Riwayat penyakit kencing manis : disangkal
5. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
6. Riwayat penyakit kuning : disangkal
7. Riwayat penyakit alergi : disangkal
8. Riwayat penyakit saluran pencernaan : disangkal
9. Riwayat penyakit operasi : disangkal
10. Riwayat mondok : ada, anak ke tiga masuk RS karena muntah dan
diare
Kesan: tidk ada hubungan dengan penyakit sekarang.

E. Riwayat Sosial Ekonomi dan

Lingkungan a. Sosial

16
Hubungan dengan kerabat baik. Hubungan dengan tetangga baik.
Hubungan dalam keluarga harmonis dan komunikasi antar keluarga
terjalin baik.
b. Ekonomi
Saat ini pasien tidak berkerja, pasien sempat berkerja di
penggilingan padi dan berhenti 7 tahun yang lalu karena sering
sesak napas. Pendapatan untuk biaya hidup dari anak pertama yang
berkerja di pabrik dan anak kedua yang berkerja di mebel.
c. Lingkungan
Pasien tinggal menempati rumah semi permanen terdiri dari 1
kamar tidur, 1, kamar mandi dan dapur yang dibatasi oleh triplek.
Pasien tinggal bersama istri dan kedua anak (kedua dan ketiga).

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik (Selasa, 30 Agustus 2016 pukul 17.00 WIB) di bangsal
Alamanda 2
1. Kesan Umum : Compos mentis, lemas, tampak sesak napas, kesan gizi
baik
2. Tanda Utama :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 76 x/menit
Suhu : 36,5 OC (axila)
Respirasi : 28 x/menit
3. Pemeriksaan Kulit : sianosis (-), pucat (-), ikterik (-), ruam (-),
hiperpigmentasi (-)
4. Pemeriksaan Kepala :
- Bentuk kepala : normosefal
- Rambut : warna hitam-putih, distribusi merata, tidak mudah dicabut
- Bibir : pursed-lips breathing (+)
5. Pemeriksaan Mata :

17
- Palpebra : edema (-/-), ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-), hiperemis (-/-)
- Sklera : ikterik (-/-)
- Pupil : reflek cahaya (+/+), isokor
6. Pemeriksaan Hidung : epistaksis (-/-), napas cuping hidung (-)
7. Pemeriksaan Mulut : sianosis (-), gusi berdarah (-)
8. Pemeriksaan Telinga: cairan (-/-), nyeri tekan (-/-), gangguan pendengaran
(-/-)
9. Pemerksaan Leher :
a. Kelenjar tiroid : tidak membesar
b. Kelenjar limfonodi : tidak membesar, nyeri (-), massa/benjolan (-)
c. JVP : tidak meningkat
10. Pemeriksaan Thorax
Inspeksi:
- Tampak sesak
- Bentuk dada barrel chest
- Simetris
- Ketinggalan gerak (-)
- Retraksi SIC (+/+)
- Benjolan/massa (-)
- Ictus cordis tak terlihat
Palpasi:
- Vokal fremitus dextra dan sinistra seimbang
- Pergerakkan dada kesan simetris
- Benjolan/massa (-)
- Ketinggalan gerak (-)
Perkusi:
- Sonor pada semua lapang paru
Auskultasi:
- Suara paru: Suara vesikuler +/+, RBH +/+, wheezing -/-

18
- Suara jantung: S1 normal - S2 reguler, bising jantung (-)

11. Abdomen
- Inspeksi: ascites (-), tanda radang (-), sikatrik (-)
- Auskultasi: peristaltik (+) normal
- Perkusi: Timpani (+)
- Palpasi: Supel (+), nyeri tekan (-), turgor elastis kembali cepat,

hepar tidak teraba, lien tidak teraba, massa tidak teraba.

12. Ekstremitas
Pemeriksaan Superior Inferior
Dex/sin Dex/sin
• Perfusi akral hangat hangat
• Pulsasi a.brachialis +/+, kuat
• Pulsasi a. dorsalis pedis +/+, kuat
• Capilarry Reffil < 2’’ < 2’’
• Edema -/- -/-
• Gerakan bebas +/+ +/+

DIAGNOSIS SEMENTARA
Observasi dyspnea et causa suspek PPOK

DIAGNOSIS BANDING
- COPD
- Pneumonia
- Pneumotoraks
- TB Paru
- Efusi pleura
- Hidropneumothoraks

19
- Empyema
- Kilothoraks
- Ca paru

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan Hematologi, 30 Agustus 2016 jam 14.46 WIB

Hemoglobin 18,3 gr/dl


Hematokrit 54 %
Leukosit 6,1 ribu/uL
Eritrosit 6,01 ribu/uL
Trombosit 183 ribu/uL
MPV 11 fL
PDW 12,1 fL
Index Eritrosit
RDW-CV 16 %
MCV 89 fL
MCH 30,4 pg
MCHC 34,2 %
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0,2 %
Monosit 6,9 %
Eosinofil 0 %
Limfosit 13 %
Neutrofil 79,9 %

Hasil pemeriksaan Kimia Klinik, 30 Agustus 2016 jam 14.46 WIB

Fungsi Ginjal

Ureum 124 mg/dl

20
Kreatinin 1,26 mg/dl
Asam Urat 14,9 mg/dl
Karbohidrat
GDS 69 mg/dl
Elektrolit
Natrium 132 mmol/l
Kalium 5,28 mmol/l
Klorida 93,5 mmol/l

. Hasil pemeriksaan Kimia Klinik, 31 Agustus 2016 jam 16.51 WIB


Makroskopis urin

Warna Urin Kuning


Kejernihan Urin Jernih
Kimia Urin
Glukosa Urin (-) mg/dl
Bilirubin Urin (-) mg/dl
Keton Urin 1+/100 mg/dl
Berat Jenis Urin >1030
Blood Urin 3+/500
pH Urin 6
Protein Urin 2+/200 mg/dl
Urobilinogen Urin Normal mg/dl
Nitrit Urin 2+/200
Leukosit Urin (-) Leu/uL
Mikroskopis Urin
Leukosit 0-1 plp
Eritrosit 10-15 Leu/uL
Sel Epitel 0-2 Leu/uL
Silinder Eritrosit
Silinder + /lpk

21
Kristal (-) /lpk
Bakteri (+) Leu/uL

Rontgen Thorax :
Foto thorax PA view, posisi erect, simetris, inspirasi dan kondisi cukup, hasil:
- Tampak corakan bronchovascular meningkat, air bronchogram (+),
tampak hiperinflasi pulmo,
- Kedua diafragma licin, mendatar.
- Kedua sinus costofrenicus lancip. Pleural space tak tebal.
- Cor, CTR = 0,65.
- Sistema tulang tervisualisasi intak.
Kesan :
- Bronchitis dengan emphysematous lung
- Cardiomegaly, konfigurasi RVH

EKG:
Kesan : P Pulmonal di lead II, III, AVF.

DIAGNOSIS KERJA
Penyakit Paru Obstruktif Kronik

RENCANA TERAPI
dr. Ali Baswedan, Sp. PD
- Infus D5%/RL
- Nebulizer Farbivent / 6 jam
- Injeksi Ceftizoxime 1 gram / 12 jam
- Injeksi Metilprednisolon 62,5 mg / 8 jam
- Injeksi Ranitidine 1 ampul / 12 jam
- Salbutamol 3 x 4 mg

22
FOLLOW UP
30-Agt-16
Poli Penyakit Dalam (dr. Ali, Sp.PD)
S : Sesak (+), pusing (+), nyeri dada (+), batuk (+), lemas (+), napsu makan
menurun
O : TD 100/70, Nadi 102 kali/menit, Respirasi 36 kali/menit, Suhu 36 derajat
celcius. RBH (+/+), Barrel chest (+).
A : PPOK eksaserbasi akut
P:
Infus D5%/RL
Nebulizer Farbivent / 6 jam
Injeksi Ceftizoxime 1 gram / 12 jam
Injeksi Metilprednisolon 62,5 mg / 8 jam
Injeksi Ranitidine 1 ampul / 12 jam
Salbutamol 3 x 4 mg
31-Agt-16
Dokter Bangsal (dr. Ike/dr. Galuh)
S: Sesak (+), nyeri dada (-)
O: KU CM, cukup. TD 100/60, Nadi 116 kali/menit, Respirasi 26 kali/menit,
SpO2 64%
Thoraks: SDV menurun/-, RBH +/+
EKG: RAH, STC 114 kali / menit
A: Observasi dyspneu dd PPOK
P:
Ganti NRM 10 l/m sampai dengan SpO2 lebih dari 95%
Extra Nebul farbivent:flexotide jika masih sesak (dr. Ali, Sp.PD)
Terapi lanjut
dr. Ali, Sp.PD
Dx: PPOK eksaserbasi akut
Tx: Nebulizer Farbivent:Flexotide / 6 jam

23
Terapi lanjut
01-Sep-16
dr. Ali, Sp.PD
Dx: PPOK eksaserbasi akut
Tx: +Symbicort 3x1, lain-lain lanjut
02-Sep-16
dr. Ali, Sp.PD
Dx: PPOK eksaserbasi akut
Tx: Terapi lanjut
03-Sep-16
dr. Ali, Sp.PD
Dx: PPOK eksaserbasi akut
Tx: NRM diganti Nasal Canul 3 l/m, lain-lain lanjut
04-Sep-16
Dokter Bangsal (dr. Dita/dr. Fuad)
S: Perut kembung (+)
O: KU CM, sedang. TD 110/70, Nadi 82 kali/m, Suhu 37,1 derajat celcius.
Abdomen BU (+), hipertimpani< nyeri tekan (-)
A: PPOK eksaserbasi akut, dispepsia
P: ekstra injeksi prosogan 1 ampul
Dokter Bangsal (dr. Ike/dr. Chandra)
S: Nyeri pinggang kanan bawah (+)
O: KU CM, kesakitan. TD 110/70, Nadi 82 kali/menit, S 37,1 derajat celcius.
A: PPOK eksaserbasi akut, myalgia
P: ekstra injeksi ketorolac 1 ampul
05-Sep-16
Dokter Bangsal (dr. Ika/dr. Dedi)
S: Kembung (+), flatus (+) tadi malam, BAB (+) kemarin
O: KU CM, cukup. TD 110/70, Nadi 86 kali/menit, S 37,5 derajat celcius.

Abdomen BU (+) normal, hipertimpani, NT epigastric (+)

24
A: PPOK eksaserbasi akut, dispepsia
P: ekstra injeksi prosogan 1 ampul
dr. Ali, Sp.PD
Dx: PPOK eksaserbasi akut
Tx:
Nasal Canul diganti NRM 10 l/m
Injeksi Pantoprazol 1 ampul/24 jam
Injeksi Sotatic 1 ampul/8 jam
Antacid syrup 4xCI
06-Sep-16
dr. Ali, Sp.PD
Dx: PPOK eksaserbasi akut
Tx: Terapi lanjut
07-Sep-16
dr. Ali, Sp.PD
Dx: PPOK eksaserbasi akut
Tx: Terapi lanjut, besok BLPL
08-Sep-16
dr. Ali, Sp.PD
S: Keluhan (-)
Dx: PPOK eksaserbasi akut
Tx: BLPL

25
BAB IV
PEMBAHASAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya.
Pada anamnesis terhadap pasien PPOK perlu menanyakan keluhan sesak
napas dan batuk berulang. Perlu juga menanyakan riwayat penyakit dan faktor
risiko seperti riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan, riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja, riwayat
penyakit emfisema pada keluarga, terdapat faktor predisposisi pada masa
bayi/anak, misal berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkungan asap rokok dan polusi udara, batuk berulang dengan atau tanpa dahak
dan sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.
Pada kasus tersebut, pasien merasakan keluhan sesak napas sudah
berlangsung lama dan hilang timbul disertai batuk kering. Sesak napas dirasakan
semakin lama semakin berat terutama saat melakukan aktivitas dan jika terpapar
debu (berkerja di penggilingan padi). Pasien memiliki factor risiko yang bermakna
yaitu merokok sejak usia 12 tahun sampai usia 47 tahun dan pernah konsumsi
minuman beralkohol saat usia 20 tahun. Pasien mulai berhenti merokok sejak
memiliki keluhan sesak napas tersebut. Sesuai dengan keluhan yang dikeluhkan
pada pasien PPOK, yaitu sesak yang ditandai adanya hambatan aliran udara yang
persisten dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan peningkatan
respons inflamasi kronis saluran napas yang disebabkan oleh gas atau partikel
iritan tertentu.
Pada pemeriksaan fisik, yang harus diperhatikan dan diperiksa meliputi;
Inspeksi (Pursed-lips breathing, barrel chest (diameter antero-posterior dan
transversal sebanding), penggunaan otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas,
pelebaran sela iga, dan penampilan pink puffer atau blue bloater). Palpasi
(fremitus melemah, sela iga melebar). Perkusi (hipersonor dan batas jantung

26
mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah). Auskultasi (suara
napas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu
bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang dan bunyi jantung
terdengar jauh)
Pada pemeriksaan fisik pasien tersebut, pasien tampak sesak napas,
spatium interkostalisnya melebar, vocal fremitus seimbang, ditemukan suara ronki
pada kedua lapang paru dan bentuk dada barrel chest. Keadaan klinis pasien
tersebut sesuai dengan keadaan klinis pasien PPOK. Pada inspeksi jelas
ditemukan adanya bentuk dada barrel chest, yakni menandakan hiperinflasi atau
terjebaknya udara akibat saluran pernapasan yang menyempit.
Diagnosis pasti PPOK dapat ditegakkan dengan pemeriksaan spirometri
dan rontgen foto toraks. Pada Spirometri, obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1
yang merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Pada Rontgen foto thoraks akan
terlihat hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar
dan corakan bronkovaskuler dapat bertambah.
Pada pasien tersebut, tidak dilakukan pemeriksaan spirometri.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah rontgen foto thoraks dengan hasil tampak
corakan bronchovascular meningkat, air bronchogram dan tampak hiperinflasi
pulmo. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kesan dari rontgen dada
pasien tersebut adalah bronchitis dengan emphysematous lung.
Penatalaksanaan pasien PPOK adalah dengan pemberian bronkodilator
seperti beta 2 agonis dan antikolinergik (ipratropium), antiinflamasi atau
kortikosteroid, dan antibiotic.
Pada kasus tersebut, pasien diberi nebulizer farbivent (antikolinergik),
Injeksi ceftizoxime (antibiotic), injeksi metilprednisolon (antiinflamasi/
kortikosteroid), injeksi ranitidine, dan salbutamol (beta 2 agonis).

27
BAB V
KESIMPULAN

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progressif nonreversibel atau reversibel parsial
2. Pada pasien PPOK biasanya ditemukan gejala yang khas, yaitu sesak
napas dan batuk berulang.
3. Tanda-tanda yang dapat dijumpai pada pasien PPOK adalah terlihatnya
sesak napas. Pada inspeksi dapat terlihat pursed-lips breathing, barrel
chest, penggunaan otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas, dan
pelebaran sela iga. Pada palpasi teraba fremitus melemah dan sela iga
melebar. Pada perkusi didapatkan hipersonor dan batas jantung mengecil,
letak diafragma rendah, dan hepar terdorong ke bawah. Pada auskultasi
terdengar suara napas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki dan
atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi
memanjang dan bunyi jantung terdengar jauh.

4. Diagnosis PPOK dapat ditegakkan dengan pemeriksaan spirometri dan


foto rontgen dinding dada. Pada Spirometri, obstruksi ditentukan oleh nilai
VEP1 yang merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Pada foto
rontgen dinding dada akan terlihat hiperinflasi, hiperlusen, ruang
retrosternal melebar, diafragma mendatar dan corakan bronkovaskuler
dapat bertambah.
5. Penatalaksanaan secara umum pasien PPOK meliputi, edukasi, obat –

obatan, terapi oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi.

28

Anda mungkin juga menyukai