Anda di halaman 1dari 45

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau dalam istilah lain Chronic
Obstructive Pulmonary disease (COPD) adalah penyebab kematian keempat
terbanyak di dunia. Hal ini merupakan tantangan terpenting dalam kesehatan
masyarakat baik dalam pencegahan dan pengobatan. PPOK adalah penyebab
utama mortalitas dan morbiditas kronik di seluruh dunia, banyak masyarakat
menderita penyakit ini dan meninggal dalam usia muda dari penyakit ini dan
komplikasi yang menyertainya.
Secara umum, PPOK diperkirakan akan meningkat dalam beberapa dekade
mendatang karena paparan faktor resiko PPOK yang berkelanjutan dan proses
penuaan pada populasi.
PPOK adalah penyebab utama morbiditas dan kematian di seluruh dunia
dan mengakiabtkan beban sosial dan ekonomi yang bersifat substansial dan
mengalami peningkatan terus menerus. Prevalensi PPOK, kecacatan dan
kematian bervariasi di seluruh negara dan mengikuti kelompok yang berbeda
di suatu negara. PPOK adalah diakiabtkan oleh paparan kumulatif dalam
beberapa dekade. Seringkali, prevalensi PPOK adalah berhubungan langsung
dengan prevalensi merokok tembakau, meskipoiiun di beberapa negara,
pencemaran udara di dalam dan di luar ruangan diakiabtkan oleh pembakaran
kayu dan bahan bakar biomassa lainnya merupakan faktor resiko PPOK utama.
Prevalensi dan beban PPOK adalah diproyeksikan mnengalami peningkatan
dalam dekade mendatang akibat terhaparnya pada faktor resiko PPOK terus
menerus dan perubahan struktur usia dari poopulasi dunia (dengan sebagian
ebar orang hidup lebih lama dan oleh karena itu akabn mengalami efek jangka
panjang akibat kontak dengan faktor resiko PPOK)

1.2 . Rumusan Masalah


1. Menjelaskan tentang definisi PPOK.
2. Menjelaskan faktor penyebab terjadinya PPOK
3. Menjelaskan gambaran klinis PPOK
4. Menjelaskan cara penatalaksanaan PPOK

1.3. Tujuan Penulisan


1. Mengetahui dan memahami tentang Penyakit Paru Obstruktif Kronik
2. Menambah pengetahuan tentang Penyakit Paru Obstruktif Kronik
3. Dapat mengetahui mengenai pengertian, epidemiologi, faktor penyebab,
diagnosa dan juga penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Chronic Obstructive Pulmonary Disease/
COPD) adalah penyakit paru yang ditandai oleh adanya keterbatasan aliran udara
yang biasanya bersifat progresif dan berkaitan dengan peningkatan respon
peradangan kronis dalam saluran udara dan paru hingga partikel yang beracun atau
gas. Kondisi yang memburuk dan komorbiditas mempengaruhi tingkat keparahan
pada pasien perorangan. (GOLD, 2014).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversible atau reversible parsial. (PDPI, 2003).

2.2 Epidemiologi
Data keberadaan prevalensi PPOK memperlihatkan variasi yang dapat
terlihat terkait dengan perbedaan dalam metode survey, kriteria diagnosa dan
pendekatan analitik. Estimasi terendah dari prevalensi ini adalah didasarkan pada
laporan diagnosa dokter terhadap PPOK atau kondisi yang ekuivalen. Misalnya,
sebagian besar data nasional memperlihatkan bahwa kurang dari 6% populasi
dewasa mengalami PPOK, ini menggambarkan penyebaran dibawah pengakuan
dan di bawah diagnosa dari PPOK.
Di samping kompleksitas itu, data yang ada memungkinkan beberapa
kesimpulan diambil terkait prevalensi PPOK, bukan setidaknya karena peningkatan
data pengendalian mutu. Tinjauan sistematis dan meta analisis dari penelitian yang
dilakukan di 28 negara selama tahun 1990 dan 2004 dan penelitian tambahan dari
Jepang, memberikan bukti bahwa prevalensi PPOK ini lebih tinggi pada perokok
dan bekas perokok dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok dalam usia
diatas 40 tahun dibandingkan mereka yang berusdia di bawah 40 tahun dan pada
3

laki-laki dibandingkan pada wantia. Proyek Amerika Latin untuk penelitian


penyakit paru obstruktif (PLATINO) menguji prevalensi dari keterbatasan aliran
udara paska bronchodilator diantara mereka yang berusia di atas 40 tahun di lima
kota Amerika Latin, masing-masing di negara yang berbeda Brazil, Chile,
Mexico, Uruguay dan Venezuela. Di setiap negara, prevalensi COPD meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, dengan prevalensi tertinggi diantara mereka
yang berusia di atas 60 tahun, mulai dari total populasi terendah 7.8% di Mexico
City, Mexico hingga yang tertinggi 19.7% di Montevideo, Uruguay. Di semua
kota/negara prevalensi ini lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada wanita,
yang bertolak belakang dengan hasil temuan dari kota di Eropa seperti Salzbvurg.
Pokok program penyakit paru obstruktif (BOLD) juga telah melakukan survey di
beberapa belahan dunia dan mencatat penyakit yang lebih parah dibandingkan
dengan sebelumnya ditemukan dan prevalensi substansialnya (3 11%) dari PPOK
diantara mereka yang tidak pernah merokok.

2.3 Morbiditas dan mortalitas


Morbiditas
Ukuran morbiditas pada dasarnya meliputi kunjungan dokter, kunjungan ke
unit gawat darurat dan rawat inap. Meskipun database COPD untuk parameter hasil
ini belum banyak tersedia dan biasanya kurang handal dibandingkan dengan
database mortalitas, ketersediaan data yang terbatas menunjukkan bahwa
morbiditas terkait PPOK meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Morbiditas
dari PPOK dapat dipengaruhi oleh kondisi komorbid kronis (seperti penyakit
kardiovaskular, gangguan muskuloskeletal, diabetes mellitus) yang terkait dengan
PPOK dan juga berdampak terhadap status kesehatan pasien, termasuk interferensi
dengan penanganan PPOK.
Mortalitas
Organisasi kesehatan dunia mempublikasikan statistik mortalitas untuk
penyebab kematian setiap tahun untuk semua wilayah WHO; informasi tambahan
juga diperoleh dari

keterangan Departemen kesehatan WHO. Data ini harus


4

diinterpretasikan secara hati-hati karena penggunaan istilah yang tidak konsisten


untuk PPOK. Dalam revisi ICD ke 10, kematian akibat PPOK dan gangguan aliran
udara kronis termasuk dalam kategori PPOK dan kondisi lainnya. (CD 10 kode
J42-46)
Dibawah pengenalan dan di bawah diagnosa PPOK masih mempengaruhi
keakuratan data angka kematian. Meskipun PPOK seringkali menjadi penyebab
utama kematian, namun sangat dimungkinkan dicatat sebagai penyebab utama
kematian atau diabaikan dari surat kematian secara keseluruhan. Semakin jelas
bahwa PPOK adalah salah satu penyebab kematian terpenting di sebagian besar
negara.

Global Burdern of Disease Study memperkirakan bahwa PPOK yang

menduduki urutan keenam sebagai penyebab kematian di tahun 1990 akan menjadi
penyebab ketiga kematian di seluruh dunia pada tahun 2020; perkiraan terbaru
memperkirakan bahwa PPOK akan menjadi penyebab kematian di urutan keempat
pada tahun 2030. Peningkatan angka kematian ini terutama dipicu oleh
pengembangan epidemik merokok, pengurangan angka kematian dari penyebab
kematian umum (seperti penyakit jantung iskemia, penyakit ifneksi) dan penuaan
penduduk dunia.

2.4 Faktor - faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit


Gen
Faktor resiko genetika yang tercatat dengan baik adalah merupakan kelainan
bawaan yang cukup parah dari alfa 1 antitrypsin, penghambat sirkulasi utama dari
serine protease. Meskipun kelainan alfa 1 antitrypsin adalah hanya terkait pada
sebagian kecil penduduk dunia, ini mengilustrasikan interaksi antara gen dan
paparan lingkungan yang dapat menimbulkan PPOK.
Resiko kelaurga yang cukup signifikan dari keterbatasan aliran udara telah diamati
pada saudara sepupu perokok pasien penderita PPOK yang parah

yang
5

menunjnukkan bahwa genetika secara bersama-sama dengan faktor lingkungan


akan mempengaruhi kerentanan. Gen tunggal seperti matriks pengkodean gen
metalloprofeinase 12 (MMP12) juga terkait dengani penurunan fungsi paru.
Meskipun beberapa kajian terkait genome menunjukkan peran gen untuk reseptor
acetylcholine-alfa-nikotin termasuk interaksi gen protein dan kemungkinan satu
atau dua yang lainnya, masih terjadi penyimpangan antara temuan dari analisis
PPOK dan fungsi paru termasuk antara analisis kajian asosiasi genome dan analisis
gen kandidat.
Usia dan gender
Usia seringkali dinilai sebagai faktor resiko untuk PPOK. Masih belum jelas apakah
penuaan juga menyebabkan PPOK atau bila usia menggambarkan jumlah paparan
kumulatif

sepanjang

hidupnya.

Di

masa

lampau,

sebagian

penelitian

memperlihatkan bahwa prevalensi PPOK dan angka kematian lebih besar pada lakilaki dibandingkan dengan perempuan tetapi data dari negara maju memperlihatkan
bahwa prevalensi dari penyakit ini hampir sama antara laki-laki dan perempuan,
kemungkinan menggambarkan perubahan pola merokok. Beberapa penelitian juga
menyatakan bahwa wanita lebih rentan terhadap efek merokok tembakau
dibandingkan dengan laki-laki.
Pertumbuhan dan perkembangan paru
Pertumbuhan paru terkait dengan proses yang berlangsung selama masa kehamilan,
kelahiran dan terpapar pada masa anak-anak dan remaja. Penurunan maksimal dari
pencapaian

fungsi

paru

(sebagaimana

diukur

dengan

spirometer)

dapat

mengidentifikasikan mereka yang mengalami peningkatan resiko untuk mengalami


PPOK, misalnya, penelitian dan meta analisis mengkonfirmasi hubungan positif
antara berat badan lahir dan FEV1 pada orang dewasa dan beberapa penelitian
menemukan pengaruh infeksi paru pada masa anak-anak.
Penelitian menemukan bahwa faktor pada usia dini disebut sebagai faktor
kelemahan pada usia kanak-kanak adalah sangat penting seperti halnya perokok
berat dalam memprediksikan fungsi paru pada kehidupan orang dewasa.
Terpapar pada partikel
Di seluruh dunia, merokok adalah faktor resiko yang umum bagi PPOK. Perokok
memiliki prevalensi yang tinggi terhadap gejala kelainan pernafasan dan fungsi
paru, angka penurunan tahunan yang besar dalam FEV, dan angka mortalitas PPOK
yang lebih besar dari mereka yang tidak perokok. Jenis tembakau lainnya (pipa,
cerutu, pipa air) dan ganja juga merupakan faktor resiko untuk PPOK. Terpapar
pasif pada asap rokok (yang juga dikenal sebagai perokok lingkungan atau ETS)
dapat mempengaruhi gejala pernafasan dan PPOK akibat peningkatan total beban
paru dari partikel dan gas yang terhirup. Merokok selama kehamilan juga memiliki
resiko bagi janin, dengan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru
dalam uterus dan kemungkinan menganggu sistem kekebalan.
Terpapar di tempat kerja termasuk debu organik dan anorganik dan zat kimia serta
asap adalah merupakan faktor resiko yang terapresiasi untuk PPOK. Analisis
survey NHANES III berbasis penduduk di Amewrika Serikat dari 10.000 orang
dewasa berusia 30 75 tahun diperkirakan fraksi PPOK terkait pekerjaan adalah
7

19.2% secara keseluruhan dan 31.1%

dikalangan mereka yang tidak pernah

merokok. Perkiraan ini sesuai dengan laporan yang dipublikasikan oleh American
Thoracic Society yang menyimpulkan bahwa paparan pekerjaan diperhitungkan 10
20% dari gejala atau gangguan fungsional sesuai dengan PPOK. Resiko paparan
di tempat kerja pada wilayah yang kurang teratur di dunia kemungkinan lebih tinggi
dibandngkan dengan laporan penelitian dari Eropa dan Amerika Utara.
Kayu, bulu hewan, sisa - sisa tanaman dan batu bara khususnya yang dibakar di
tungku terbuka atau tungku dengan fungsi yang kurang baik dapat mengakibatkan
tingkat pencemaran udara dalam ruangan yang cukup tinggi. Bukti ini terus
berkembang dimana pencemaran dalam ruangan akibat memasak menggunakan
biomassa dan pemanasan dalam ruang berventialsi buruk adalah faktor resiko bagi
PPOK. Hampir 3 juta orang di seluruh dunia menggunakan biomassa dan batu bara
sebagai sumber energi utama untuk memasak, pemanasan dan kebutuhan rumah
tangga lainnya sehingga penduduk beresiko lebih besar.
Tingkat pencemaran udara yang tinggi juga membahayakan bagi mereka penderita
penyakit paru atau penyakit jantung, peran pencemaran udara di luar dan dalam
ruangan yang menyebabkan PPOK masih belum jelas tetapi tentu sangat kecil bila
dibandingkan dengan merokok. Juga sangat sulit untuk menilai pengaruh polutan
tunggal yang terpapar pada pencemaran udara dalam waktu yang lama. Pencemaran
udara dari pembakaran bahan bakar fossil terutama dari emisi kendaraan bnermotor
di kota-kota besar adalah berkaitan dengan penurunan fungsi pernafasan. Pengaruh
relatif dari paparan jangka pendek dengan puncak tinggi, dan juga paparan jangka
panjang dengan level rendah dapat diatasi.
8

Status ekonomi
Kemiskinan dapat merupakan faktor resiko bagi PPOK tetapi komponen
kemiskinan yang mempengaruhi hal ini masih belum jelas. Ada bukti kuat bahwa
resiko berkembangnya PPOK berbanding terbalik dengan status sosial ekonomi.
Belum jelas apakah pola ini mencerminkan paparan dengan polutan udara di dalam
dan di luar ruangan. Pemukiman padat, gizi buruk, infeksi atau faktor lain terkait
dengan status sosial ekonomi.
Asma / hiperaktivitas bronchial
Asma dapat menjadi faktor resiko untuk berkembangnya PPOK, meskipun bukti ini
belum bersifat kesimpulan. Dalam laporan kelompok longitudinal kajian
epidemiologi Tucson untuk penyakit gangguan saluran udara, pada orang dewasa
penderita asma ditemukan memiliki resiko dua puluh kali lebih besar mengalami
PPOK sepanjang waktu dibandingkan mereka tanpa asma, setelah disesuaikan
dengan merokok. Kajian longitudinal lainnya bagi mereka penderita asma
ditemukan sekitar 20% dari subjek mengalami keterbatasan aliran udara dan
mengurangi keofisien transfer dan dalam studi longitudinal

untuk asma yang

dikaitkan dengan kehilangan FEV yang belebihan dalam populasi umum. Dalam
survey kesehatan pernafasan masyarakat Eropa, hiperresponsif bronkhial penyebab
kedua setelah merokok sebagai faktor resiko utama untuk PPOK, yang menyerang
15% dari penduduk dengan resiko tersebut. Patologi keterbatasan aliran udara
kronis berbeda pada perokok penderita asma dan perokok tanpa penyakit asma,
yang menyaakan bahwa kedua entitas penyakit ini dapat saja berbeda ketika

muncul dengan penurunan fungsi paru yang sama. Pemisahan asma secara klinis
dari PPOK tidaklah mudah.
Hiperreaktivitas bronkhial dapat ada tanpa diagnosa klinis dari asma dan terlihat
sebagai prediktor independen dari PPOK pada kajian populasi termasuk indikator
resiko penurunan berlebihan pada fungsi paru pasien penderita PPOK ringan.
Bronkhitis kronis
Dalam studi seminar oleh Fletcher dkk, bronkhitis kronis tidak dikaitkan dengan
penurunan fungsi paru. Kajian ini tentu menemukan hubungan antara hipersekresi
lendir dan FEV1 yang mengalami penurunan, dan pada orang dewasa muda yang
merokok dengan penderita bronkhitis kronis terkait dengan peningkatan
kemungkinan mengalami PPOK.
Infeksi
Riwayat infeksi pernafasan anak-anak yang cukup parah dikaitkan dengan
penurunan fungsi paru dan peningkatan gejala pernafasan pada orang dewasa.
Kerentanan terhadap infeksi memainkan peran di dalam memperburuk PPOK tetapi
efek terhadap perkembangan penyakit masih belum jelas. Infeksi HIV juga terlihat
mempercepat serangan emphysema terkait merokok. Tuberkulosis ditemukan
sebagai faktor resiko untuk PPOK. Disamping itu, diagnosa banding untuk PPOK
dan komorbiditas potensial.

10

2.5 Patogenesis
Peradangan pada saluran pernafasan pasien PPOK terlihat

sebagai

modifikasi respon peradangan dari saluran pernafaan untuk iritan kronis seperti
merokok. Mekanisme untuk peradangan amplifikasi masih belum dipahami tetapi
tentu dapat ditentukans ecara genetika. Pasien dapat mengalami PPOK dengan jelas
tanpa merokok, tetapi sifat respon peradangan pada pasien ini masih belum
diketahui. Tekanan oksidatif dan kelebihan proteinase pada paru lebih lanjut
memodifikasi radang paru. Secara bersama-sama, mekanmisme ini mengarah pada
karakteristik perubahan patologi dalam PPOK. Peradangan paru timbul setelah
berhenti merokok melalui mekanisme yang masih belum diketahui, meskipun
autoantigen dan mikroorganisme yang ada memainkan sebuah peran.
Tekanan oksidatif. Tekanan oksidatif dapat menjadi mekanisme amplifikasi yang
penting dalam COPD. Biomarker tekanan oksidatif (seperti hidrogen peroksida, 8isoprostane) adalah mengalami peningkatan pada kondensat pernafaan yang
dibuang, sputum dan sirkulasisistemik dari pasien COPD. Tekanan oksidatif adalah
mengalami peningkatan pemburukkan. Oksidan adalah dihasilan oleh asap rokok
dan partikular lain yang terhirup dan dilepaskan dari sel anti radang yang sudah
diaktifkan seperti makrofag dan neutrofil. Juga ada pengurangan dalam antioksidan
endogen pada pasien PPOK sebagai akibat penurunan faktor transkrpisi yang
disebut N2 yang mengatur gen antioksidant.
Ketidakseimbangan protease antiporotease. Ada bukti tertentu terhadap
ketidakseimbangan dalam paru pasien PPOK antara protease yang memutus
komponen jaringan ikat dan anti protease yang melindunginya terhadap keadan ini.
Beberapa protease yang diambil dari sel peradangan dan sel epithelial adalah
mengalami peningkatan pada pasien PPOK. Juga terjadi peningkatan bukti bahwa
mereka dapat berinteraksi dengan yang lainnya. Kerusakan elastin yang dimediasi
oleh protease, komponen jaringan ikat utama pada parenchym paru diyakini
menjadi gambnaran penting dari emphysema dan kemungkinan tidak dapat balik.

11

Sel peradangan. PPOK ditandai oleh pola radang spesifik yang melibatkan
peningkatan jumlah CD8+ (sitotoksik) Tc1 lymphocyte yang hanya terdapat pada
perokok yang menderita penyakit ini. Sel ini bersama-sama dengan neutrofil dan
makrofag melepaskan mediator radang dan enzim dan berinteraksi dengan sel
struktural dalam saluran udara, parenchym paru dan vaksular pulmonal.
Mediator radang. Variasi mediator radang yang terlihat mengalami peningkatan
pada pasien PPOK menarik sel radang dari sirkulasi (faktor kemotaktik),
memperbesar proses peradangan (proinflamatory cytokine) dan mempengaruhi
perubahan struktural (faktor pertumbuhan).
Perbedaan dalam peradangan antara PPOK dan Asma. Meskipiun PPOK dan
asma sama sama terkait dengan peradangan kronis dari saluran pernafasan,
namun ada perbedaan dalam sel radang dan mediator yang terlibat dalam dua
penyakit, yang diperhitungkan untuk perbedaan dalam efek fisiologi, gejala dan
respon terhadap terapi. Sebagian pasien penderita PPOK memiliki gambaran yang
sesuai dengan asma dan mengalami pola radang campuran dengan peningkatan
eosinofil.

2.6 Patofisiologi
Terdapat pemahaman baru tentang bagaimana proses penyakit ini pada
PPOK mengarah pada kelainan dan gejala fisiologi karakteristik. Misalnya,
peradangan dan penyempitan saluran udara tepi yang mengakibatkan penurunan
FEV. Kerusakan parenchymal terkait emphysema juga memberikan kontribusi bagi
keterbatasan saluran udara dan mengakibatkan penurunan transfer gas.
Keterbatasan aliran udara dan udara yang terperangkap. Cakupan peradangan,
fibrosis dan eksudasi luminal pada saluran udara yang kecil adalah berkorelasi
dengan penurunan dalam FEV, dan rasio FEV1/FVC dan kemungkinan dengan
penurunan FEV yang dipercepat dengan karakteristik PPOK. Gangguan saluran
udara tepi secara progresif akan menahan udara selama ekspirasi, mengakibatkan
hiperinflasi. Meskipun emphysema lebih terkait dengan kelainan pertukaran gas

12

dari pada penurunan FEV1 namun ini juga memberikan kontribusi terhadap
terperangkapnya

gas selama ekspirasi. Ini tentu berkaitan dengan penempelan

alveolar pada saluran udara kecil yang telah rusak ketika penyakit menjadi lebih
parah. Hiperinflasi mengurangi volume inspiratory seperti volume residu
fungsional yang mengalami peningkatan, terutama selama latihan (hiperinflasi
dinamis) yang mengakibatkan peningkatan dyspnea dan batasan kapasitas latihan.
Faktor-faktor ini mempengaruhi gangguan sifat kontraktil intrinsik otot pernafasan;
ini mengakibatkan tidak teraturnya sitokine pro inflamatory lokal. Dipertimbangkan
bahwa hiperinflasi berkembang lebih awal pada penyakit ini dan merupakan
mekanisme utama untuk eksersional dyspnea. Bronchodilator bekerja pada saluran
udara tepi mengurangi udara yang terperangkap, sehingga mengurangi volume paru
dan memperbaiki gejala dan kapasitas latihan.
Kelainan pertukaran gas. Kelainan pertukaran gas ini mengakibatkan hipoksemia
dan hipercapnia dan juga memiliki mekanisme dalam PPOK. Secara umum,
pengalihan gas untuk oksigen dan karbon dioksida akan memburuk ketika penyakit
mulai berkembang. Berkurangnya ventilasi juga terkait dengan berkurangnya
dorongan

ventilasi.

Ini

mengarah

pada

retensi

karbon

dioksida

yang

dikombinasikan dengan ventilasi yang dikurangi pada kerja pernafasan yang lebih
tinggi karena gangguan yang parah dan hiperinflasi dipadukan dengan gangguan
otot ventilasi. Kelainan dalam ventilasi alveolar dan berkurangnya bed vaskular
pulmonal lebih lanjut memperburuk kelainan Va/Q.
Hipersekresi lendir. Hipersekresi sekresi lendir yang berlebihan yang diakibatkan
oleh batuk produktif kronis adalah merupakan gambaran bronchitis kronis dan tidak
terkait dengan keterbatasan saluran udara. Sebaliknya, tidak semua pasien penderita
PPOK mengalami gejala hipersekresi lendir. Ketika ada, maka ini terkait dengan
peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submucosal dalam
merespon iritasi saluran duara kronis oleh asap rokok dan zat beracun lainnya.
Bebrapa mediator dan protease merangsang hipersekresi lendir dan

sebagian

berpengaruh melalui aktivasi reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR).

13

Hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal dapat berkembang pada akhir PPOK dan
terutama terkait dengan vasokonstriksi hipoksik dari arteri pulmonal kecil, yang
menghasilkan perubahan struktural termasuk hiperplasia intimal dan hiperplasia /
hipertrofi otot halus. Juga ada respon peradangan pada pembuluh darah yang sama
seperti yang terlihat pada saluran udara dan bukti kelainan fungsi sel endothelial.
Kehilangan bed kapiler pulmonal pada emphysema juga mempengaruhi
peningkatan tekanan pada sirkulasi pulmonal. Peningkatan hipertensi pulmonal
dapat mengarah pada hipertrofi ventrikular yang benar dan juga pada kegagalan
jantung kanan.
Pemburukkan. Pemburukkan gejala pernafasan seringkali terjadi pada pasien PPOK
yang dipicu oleh infeksi bakteri atau virus (yang dapat muncul bersamaan), polutan
lingkungan, atau faktor yang tidak diketahui. Pasien dengan episode bakterial dan
virus juga memiliki respon karakteristik dengan peningkatan radang. Selama
pemburukkan pernafaan maka terjadi peningkatan hiperinflasi dan perangkap gas
dengan berkurangnya aliran ekspiratori, sehingga memperhitungkan dispnea yang
terus meningkat. Juga ada pemburukkan dari kelainan VA/Q yang dapat
mengakibatkan hipoksemia.

Kondisi lain (pneumonia, thromboembolisme dan

kegagalan jantung akut) dapat meniru atau memperburuk PPOK.


Gambaran sistemik. Ini terus diakui bahwa beberapa pasien penderita PPOK
memiliki komorbiditas yang berdampak terhadap kualitas hidup dan daya tahan.
Keterbatasan aliran udara dan hiperinflasi tertentu mempengaruhi fungsi dan
pertukaran gas. Mediator radang dalam sirkulasi tentu dapat memberikan kontribusi
bagi keletihan otot rangka serta cachexia dan memulai atau memperburuk
komorbiditas seperti penyakit jantung iskemik, kegagalan jantung, osteoporosis,
anemia normositik, diabetes, sindrome metabolisme dan depresi.

2.7. Diagnosis
Diagnosa klinis dari PPOK harus dipertimbangkan pada beberapa pasien
yang menderita dyspnea, batuk kronis atau produksi sputum dan riwayat terpapar
pada faktor resiko untuk penyakit. Spirometer dibutuhkan untuk melakukan
14

diagnosa dalam konteks klinis ini; keberadaan FEV1/FVC < 0.70

paska

bronchodilator menegaskan keberadaan keterbatasan aliran udara dan PPOK.


Kriteria spirometer untuk keterbatasan aliran udara masih menjadi rasio tetap paska
bronchodilator FEV1/FVC < 0.70. Kriteria ini sederhana, tidak tergantung pada
nilai rujukan dan digunakan di sejumlah uji coba klinis yang membentuk dasar
bukti dimana sebagian saran akan diberikan. Kesederhanaan dan konsistensi
diagnosa adalah kunci bagi kesibukan petugas klinis non spesialist.
Sementara spirometer paska bronchodilator dibutuhkan untuk diagnosa dan
pemeriksaan tingkat keparahan PPOK, tingkat reversibilitas keterbatasan aliran
udara (seperti pengukuran FEV1 sebelum dan sesudah bronchodilator atau
corticosteroid) adalah tidak lagi dianjurkan. Tingkat reversibilitas tidak pernah
terlihat ditambahkan pada diagnosa, diagnosa banding dengan asma, atau
memprediksikan respon untuk penanganan jangka panjang dengan bronchodilator
atau corticosteroid.
Perhatikan PPOK dan lakukan spirometer, bila indikasi ini ditemukan pada
seseorang yang berusia di atas 40 tahun. Indikator ini bukan indikator diagnosa
tetapi keberadaan berbagai indikator yang meningkatkan probabilitas diagnosa
PPOK. Spirometer dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa PPOK.

2.7.1 Gejala Klinis


Gejalala karakteristik PPOK adalah dyspnea kronis dan progresif,
batuk dan produksi sputum yang bervariasi dari hari ke hari. Batuk kronis
dan produksi sputum mendahului pengembangan batasan aliran udara
selama beberapa tahun. Individu terutama yang kontak dengan faktor resiko
PPOK yang terdapat pada gejala ini harus diperiksa untuk mencari
penyebab dan melakukan penanganan yang tepat. Sebaliknya, keterbatasan
aliran udara yang signifikan tentu dapat berkembang tanpa batuk kronis dan
produksi sputum. Meskipun PPOK didefinisikan atas dasar batasan aliran
udara, dalam prakteknya keputusan untuk mencari bantuan medis (dan

15

memungkinkan dilakukanna diagnosa) adalah ditentukan oleh dampak dari


gejala atas kehidupan pasien. Orang dapat mencari perhatian medis baik
karena gejala kronis atau karena pemburukkan pertama.
Dyspnea. Dyspnea gejala kardinal PPOK adalah poenyebab utama
kelumpuhan dan kegelisahan

terkait dengan penyakit. Pasien PPOK

menjelaskan dyspneanya sebagai peningkatan usaha untuk bernafas, terasa


berat, lapar udara atau gasping. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan
dyspnea baik secara individu atau secara budaya.
Batuk. Batuk kronis, seringkali menjadi gejala pertama dari PPOK untuk
dikembangkan yang seringkali dianjurkan oleh pasien sebagai akibat
merokok dan atau terpapar pada lingkungan. Pada awalnya, batuk dapat
bersifast intermittent tetapi kemudian muncul setiap hari, seringkali
sepanjang hari. Batuk kronis pada PPOK dapat berupa batuk tidak
produktif. Dalam beberapa kasus, keterbatasan aliran udara yang signifikan
dapat berkembang tanpa adanya batuk.
Produksi sputum. Pasien PPOK umumnya memproduksi sejumlah kecil
sputum kental setelah batuk. Produksi sputum yang teratur 3 bulan atau
lebih dalam 2 tahun berturut-turut (tanpa adanya kondisi lain yang
menjelaskannya) merupakan definisi epidemiologi dari bronkhitis kronis,
tetapi ini masih merupakan definisi acak yang tidak merefleksikan produksi
sputum pada pasien PPOK. Produksi sputum adalah sangat sulit dievaluasi
karena pasien dapat menelan sputum dari pada mengeluarkannya, sebuah
kebiasaan yang mengarah paa variasi gender dan budaya yang signifikan.
Pasien

menghasilkan

sejumlah

besar

sputum

akan

mengalami

bronchiektasis. Adanya sputum purulent merefleksikan peningkatan


mediator

peradangan

dan

perkembangannya

tentu

dapat

mengidentifikasikan serangan pemburukkan oleh bakteri.


Desah dan dada sesak. Desah dan dada sesak merupakan gejala non spesifik
yang bervariasi antara beberapa hari, dan bahkan hanya dalam satu hari.
16

Suara desah ini muncul pada level laryngeal dan tidak disertai oleh kelainan
auskultatory. Sebagai alternatif, suara inspirasi atau ekspiratori yang luas
dapat ada pada saat mendengar di bagian dada. Sesak dada seringkali
mengikuti eksersi, yang kurang terlokalisasi sebagai karakter muskular dan
kemudian meningkat dari kontraksi isometrik dari otot intercostal.
Ketiadaan suara desah atau sesak nafas tidak mengesampingkan diagnosa
PPOK, namun tidak ada gejala yang mengkonfirmasi diagnosa asma.
Gambaran tambahan pada beberapa penyakit. Kelelahan, penurunan berat
badan dan kurangnya selera makan atau anoreksia adalah masalah umum
pada pasien dengan PPOK yang parah dan sangat parah. Kemungkinan ini
penting secara prognosis dan dapat menjadi tanda penyakit lain (seperti
tuberkulosis, kanker paru) dan oleh karena itu harus selalu diteliti. Syncope
batuk terjadi dengan peningkatan yang cepat pada tekanan intratorakal
selama serangan batuk yang lebih lama. Kondisi batuk ini juga dapat
menyebabkan keretakkan rusuk yang kadangkala bersifat asiptomatik.
Pembengkakkan pergelangan kaki dapoat menjadi pointer simptomatik bagi
perkembangan cor pulmonale. Gejala depresi dan atau kegelisahan
mendorong pada penelitian spesifik pada riwayat klinis karena bersifat
umum dalam PPOK dan dikaitkan dengan peningkatan resiko pemburukkan
dan status kesehatan yang kurang baik.

2.7.2. Riwayat Pengobatan dan Pemeriksaan Fisik


Riwayat Pengobatan
Riwayat pengobatan yang rinci dari pasien baru dicurigai atau diperkirakan
mengalami PPOK harus menilai :

Kontak pasien terhadap faktor resiko seperti merokok dan pekerjaan atau
kontak lingkungan.

17

Riwayat medis masa lalu, termasuk asma, allergi, sinusitis, atau polips
nasal; infeksi pernafasan pada masa kanak-kanak serta penyakit pernafasan
lainnya.

Riwayat keluarga dari PPOK atau penyakit pernafasan kronis

Pola perkembangan gejala : PPOK biasanya berkembang pada kehidupan


orang dewasa dan sebagian besar pasien menyadari peningkatan sesak nafas,
lebih sering atau lebih lama sebagai batuk musim hujan dan beberapa
pembatasan sosial untuk beberapa tahun sebelum mendapatkan bantuan
medis.

Riwayat

pemburukkan atau rawat inap sebelumnya untuk kelainan

pernafasan. Pasien tentu menayadri pemburukkan berkala dari gejala bila


episode ini tidak diidentifiaksikan sebagai pemburukkan dari PPOK.

Keberadaan penyakit lainnya seperti penyakit jantung, osteoporosis,


kelainan muskuloskeletal dan keganasan yang mempengaruhi batasan
aktivitas.

Dampak penyakit terhadap kehidupan pasien, termasuk batasan aktivitas,


kehilangan kerja dan dampak ekonomi, pengaruh terhadap rutinitas
keluarga, perasaan depresi atau kegelisahan dan juga termasuk aktivitas
seksual.

Dukungan keluarga dan sosial yang tersedia bagi pasien

Kemungkinan mengurangi faktor resiko khususnya berhenti merokok.

Pemeriksaan fisik
Meskipun bagian penting dari perawatan pemeriksaan fisik pasien adalah
jarang menjadi diagnosa dalam PPOK, tanda-tanda fisik dari batasan aliran
udara umumnya tidak ada hingga gangguan fungsi paru yang cukup signifikan
terjadi, dan deteksinya memiliki sensitivitas dan spesifiksitas yang rendah.
Jumlah tanda-tanda fisik juga dapat ditemukan pada PPOK, tetapi tanpa
mengesampingkan diagnosa.

18

Spirometer
Spirometer adalah ukuran yang objektif

dan lebih reporoduktif dari

keterbatasan aliran udara. Pengukuran aliran ekspirasi puncak sendiri tidak


digunakan secara handal sebagai uji diagnosa, disamping sensitivitas yang
baik, karena spesifiksitas lemahnya. Pengukuran spirometer kualtias baik
dimungkinkan dalam kondisi perawatan kesehatan dan semua pekerja
perawatan kesehatan yang merawat pasien PPOK yang juga telah memeriksa
dengan spirometer.
Spirometer harus mengukur volume udara yang dikeluarkan dari titik inspirasi
maksimal (kapasitas vital yang dipaksakan, FVC) dan volume udara yang
dibuang selama detik pertama dari manuver ini (volume ekspiratori dalam satu
detik, FEV1) dan rasio kedua ukuran ini (FEV1/FVC) harus dihitung. Rasio
antara FEV1 dan kapasitas vital yang lambat (VC), FEV1/FVC adalah
kadangkala diukur disaming rasio FEV1/FVC. Ini sering mengarah pada nilai
yang rendah dari rasio, khususnya pada keterbatasan aliran udara, dengan titik
potong 0.7 dan ahrus diberikan. Ukuran spirometer adalah dievaluasi melalui
perbandingan dengan nilai acuan didasarkan pada usia, tinggi badan, jenis
kelamin dan ras.
Persiapan
o Spirometer perlu dikalibrasi secara berkala
o Spirometer harus menghasilkan hard copy atau memiliki tampilan digital
dari kurva ekspiratori untuk memungkinkan deteksi kelainan teknis atau
adanya promot otomatis untuk mengidentifikasikan test yang kurang
memuaskan dan alasannya.
o Pengawas dari tes ini membutuhkan pelatihan pada kinerja efektif
o Usaha pasien maksimal

dalam melakukan

tes dibutuhkan untuk

menghindari estimasi nilai yang kurang dan disini ada kesalahan dalam
diagnosa dan manajemen.

Bronchodilatasi

19

o Kemungkinan dosisnya adalah 400 mcg beta agonist 160 mg anticholinergik


atau gabungan keduanya. FEV1 harus diukur dalam 30 45 menit setelah
anticholinergik singkat atau kombinasinya.

Kinerja

o Spirometer harus dilakukan dengan menggunakan teknik yang memenuhi


standar yang telah dipoublikasikan.
o Volume ekspoiratori/jejak waktu harus lebih halus dan bebas dari
ketidakteraturan.
o Rekaman harus

berlangsung lama untuk volume yang dicapai yang

kemudian membutuhkan waktu selama 15 detik pada penyakit yang parah.


o FVC dan FEV1 harus menajdi nilai yang lebih besar yang diperoleh dari
kurva yang memuaskan dan FVC dan FEV dalam tiga kurva yang bervariasi
tidak lebih dari 5% atau 150 ml mana yang lebih besar.
o Rasio FEV1/FVC harus diambil dari kurva yang dapat diterima secara
teknis dengan jumlah FVC dan FEV1 terbesar.

Evaluasi

o Pengukuran spirometer adalah dievaluasi melalui perbandingan hasil


dengan nilai acuan yang tepat didasarkan pada usia, tinggi badan, jenis
kelamin dan ras.
o Keberadaan post bronchodilator FEV1/FVC < 0.70 mengkonfirmasi adanya
batasan aliran udara.
Pemeriksaan penyakit
Tujuan pemeriksaan PPOK adalah menentukan tingkat keparahan penyakit,
dampaknya terhadap status kesehatan pasien dan resiko kejadian di masa depan
(seperti pemburukkan, kunjungan ke rumah sakit atau kematian), terutama
untuk memandu pelaksanaan terapi.
Untuk mencapai tujuan ini, pemeriksaan PPOK harus mempertimbangkan
aspek berikut dari penyakit tersebut secara terpisah :

Tingkat gejala yang dialami pasien dewasa ini

20

Tingkat keparahan kelainan spirometer

Resiko pemburukkan

Adanya komorbiditas

Pemeriksaan gejala
Di masa lampau, PPOK dilihat sebagai penyakit yang ditandai dengan sesak
nafas. Ukuran sederhana dari sesak nafas ini adalah seperti kuesioner Modified
British Medical Research Counsil (mMRC) yang dianggap cukup untuk
memeriksa gejala, dimana mMRC akan berhubungan dengan ukuran lain dari
status kesehatan dan memrpediksikan resiko mortalitas di masa depan. Juga
tidak diketahui bahwa PPOK memiliki efek multi simptomatik. Untuk itu,
pemeriksaan gejala komprehensif adalah direkomendasikan selain dari ukuran
sesak nafas.
Sebagian besar kualitas terkait kesehatan dengan penyakit spesifik atau
kuesioner status kesehatan seperti CRQ dan SGRQ adalah terlalu kompleks
untuk digunakan dalam praktek sehari-haro, tetapi dua ukuran komprehensif
yang lebih pendek (uji pemeriksaan PPOK, CAT dan kuesioner kontrol PPOK,
CCQ) telah dikembangkan dan dinyatakan sesuai.
Uji pemeriksaan PPOK (CAT). Tes pemeriksaan PPOK adalah ukuran
gangguan satus kesehatan tanpa dimensi dalam PPOK. Ini dikembangkan
dengan terjemahan yang dapat diaplikasi dan divalidasi yang tersedia dalam
berbagai rentang bahasa. Kisaran skor dari 0-40 menghubungkannya secara
tertutup dengan SGRQ, dan telah didokumentasikan dalam seumlah publikasi.
Kuesioner pengendalian PPOK (CCQ). Kusioner pengendalian PPOK adalah
kuesioner mandiri 10 item yang dikembangkan untuk mengukur kontrol klinis
pada pasien dengan PPOK. Meskipun konsep kontrol dalam PPOK masih tetap
bersifat kontroversial, CCQ adalah lebih singkat dan mudah untuk dilakukan.
Juga lebih handal dan responsif yang tersedia dalam berbagai bahasa dan
kemudian divalidasi.

21

Pilihan titik potong


CAT dan CCQ memberikan ukuran dampak simptomatik PPOK tetapi tidak
mengkategorikan pasien ke dalam gejala yang lebih rendah dan lebih tinggi
untuk tujuan penanganan. SGRQ adalah ukuran komprehensif yang sudah
terdokumentasi; nilainya kurang dari 25 adalah kurang umum pada pasien
PPOK yang terdiagnosa, dan skor 25 adalah yang tidak umum pada orang
yang sehat. Dalam uji klinis untuk pengobatan bronchodilator jangka panjang,
bobot dasar dari skor SGRQ adalah 44, dan salah satu standar deviasi di bawah
rata-rata adalah 26. Oleh karena itu disarankan agar skor gejala ekuivalen
dengan skor SGRQ 25 yang harus digunakan sebagai titik potong dengan
mempertimbangkan tindakan regular untuk gejala termasuk sesak nafas,
terutama karena berkaitan dengan rentang tingkat keparahan yang terlihat pada
pasien yang direkrut untuk uji coba dan memeberikan dasar bukti bagi
rekomendasi penanganannya. Titik potong ekuvialen untuk CAT adalah 10.
Titik potong ekuivalen untuk CCQ akhirnya telah ditentukan, tetapi terlihat
dalam kisaran 1.0 1.5.
Skor mMRC ekuivalen tidak dapat dihitung karena titik potong sesak nafas
sederhana tidak sama dengan titik potong skor gejala yang komprehensif.
Sebagian besar pasien dengan SGRQ 25 atau lebih akan memiliki mMRC 2
atau lebih; pasien dengan mMRC < 2 dapat memiliki sejumlah gejala COPD
yang lain. Sementara penggunaan mMRC 2 sebagai titik potong yang
dianggap cukup untuk pemeriksaan sesak nafas, yang juga mengkategorikan
jumlah pasien dengan gejala selain dari sesak nafas sebagai beberapa gejala.
Untuk itu, penggunaan pemeriksaan gejala komprehensif telah dianjurkan.
Karena penggunaan mMRC adalah masih menyebar, mMRC dari 2 masih
termasuk sebagai titik potong untuk pemisahan kondisi yang tidak terlalu sesak
nafas dari kondisi yang lebih sesak nafas. Pengguna perlu berhati-hati dalam
memeriksa gejala yang terjadi.

22

Pemeriksaan spirometer
Spirometer harus dilakukan setelah pemberian dosis yang cukup dari
bronchodilator hirup untuk meminimumkan variabilitasnya.
Juga hanya ada korelasi yang lemah antara FEV1, gejala dan gangguan kualitas
hidup terkait kesehatan pasien.
Pemeriksaan resiko pemburukkan
Pemburukkan PPOK didefinisikan sebagai kejadian akut yang ditandai oleh
pemburukkan gejala pernafasan pasien yang termasuk dalam variasi normal
sehari-hari dan mengarah pada perubahan dalam pengobatan. Laju dimana
pemburukkan terjadi sangat bervariasi antara passien. Prediktor terbaik dengan
pemburukkan yang sering terjadi (2 pemburukan lebih per tahun) adalah riwayat
kejadian yang ditangani sebelumnya. Di samping itu, pemburukkan pembatasan
aliran udara adalah berkaitan dengan peningkatan prevalensi pemburukkan dan
resiko kematian. Rawat inap untuk pemburukkan PPOK adalah terkait dengan
prognosis yang kurang baik dengan peningkatan resiko kematian.
Data yang cukup beasr telah terakumulasi pada pasien yang diklasifikasikan
dengan sistem penilaian spirometer GOLD. Ini memperlihatkan peningkatan
dalam resiko pemburukkan, rawat inap dan kematian dengan memburuknya
batasan aliran udara. Meskipun hingga 20% dari GOLD 2 (batasan aliran udara
yang sedang) pasien dapat mengalami pemburukkan yang menuntut perlakuan
dengan antibiotik dan/atau korticosteroid sistemik, resiko pemburukkan yang
secara signifikan akan meningkat dalam GOLD 3 (parah) dan GOLD 4 (sangat
parah). Sejak pemburukkan meningkat, penurunan fungsi paru, kemunduran
dalam status kesehatan dan resiko kesehatan, pemeriksaan resiko pemburukkan
dapat terlihat sebagai penilaian resiko hasil yang kurang baik.
Pemeriksaan komorbiditas
Karena PPOK seringkali berkembang pada perokok yang sudah lama pada usia
paruh baya, pasien seringkali memiliki berbagai jenis penyakit lain terkait
dengan merokok atau penuaan. PPOK itu sendiri memiliki efek ekstrapulmonal
23

(sistemik) yang signifikan termasuk penurunan berat badan, kelainan nutrisional


dan kelainan fungsi otot rangka. Yang terakhir ditandai oleh sarcopenia
(kehilangan sel otot) dan fungsi kelainan dari sel yang masih tersisa.
Penyebabnya adalah

multifaktorial (inaktivitas, diet yang kurang baik,

inflamasi, hipoksia) dan dapat memberikan kontribusi bagi intoleransi latihan


dan status kesehatan yang kurang pada pasien penderita PPOK. Yang
terpenting, kelainan fungsi otot rangka adalah sumber dari intoleransi latihan.
Komorbiditas

sering

kardiovaskular,

terjadi

kelainan

pada

fungsi

pasien

otot

PPOK

rangka,

termasuk

sindrome

penyakit

metabolisme,

osteoporosis, depresi dan kanker paru. Keberadaan PPOK dapat meningkatkan


resiko untuk penyakit lain; ini tentu mengarah pada PPOK dan kanker paru.
Apakah hubungan ini terkait dengan faktor resiko (merokok), keterlibatan gen
yang dicurigai yang terganggu dari karsinogen tidak jelas. Komorbiditas dapat
terjadi pada pasien dengan batasan aliran udara yang ringan, sedang atau parah,
mempengaruhi mortalitas dan rawat inap secara independen, mempertahankan
penanganan spesifik. Oleh karena itu, komorbiditas harus terlihat untuk
rutinitas dan ditangani dengan tepat pada pasien penderita PPOK. Panduan
untuk diagnosa, pemeriksaan tingkat keparahan dan penanganan komorbiditas
individu pada pasien COPD adalah sama seperti untuk pasien lainnya.
Kombinasi pemeriksaan COPD
Pemahaman

terhadap

dampak

COPD

terhadap

pasien

perorangan

mengkombinasikan penilaian simptomatik dengan klasifikasi spirometer pasien


dan atau resiko pemburukkan.
Sebagaimana telah diuraikan, CAT adalah direkomendasikan sebagai ukuran
gejala komprehensif, dengan skor CAT 10 menunjujkkan tingkat gejala yang
lebih tinggi. Pemeriksaan komrpehensif dari dampak simptomatik penyakit ini
jauh

lebih

disukai,

tetapi

tanpa

adanya

skor

mMRC

akan

memebrikanpemeriskaan dari dampak dyspnea. Tidak terlalu penting dan


kemungkinan akan membingungkan untuk menggunakan lebih dari satu skala.

24

Ada tiga metode penilaian resiko pemburukkan. Salah satunya adalah metode
berbasis populasi menggunakan kklasifikasi spirometer GOLD (Tabel 2.5),
dengan GOLD 3 atau kategori GOLD 4 yang menunjukkan resiko tinggi. Kedua
didasasrkan pada riwayat pemburukkan yang dialami pasien dengan dua
pemburukkan atau lebih dalam tahun sebelumnya yang menunjukkan resiko
tinggi. Ketiga adalah riwayat rawat inap terkait dengan emburukkan dalam
tahun terdahulu. (Bila ada penyimpangan antara kriteria ini, maka pemeriksaan
merujuk pada resiko tertigngi yang harus digunakan). Untuk menggunakan
gambar 2.3, pertama kali periksa gejala dengan skala CAT (atau dyspnea
dengan mMRC) dan tentukan bila pasien termasuk pada kotak di sisi kiri
gejala yang lebih kecil (CAT < 10) atau kurangnya sesak nafas (mMRC 0-1);
atau termasuk pada kotak di sisi kanan gejala yang lebih besar (CAT 10)
atau sesak nafas berlebihan (mMRC 2).
Kemudian perika resiko pemburukkan untuk menentukan apakah pasien
termasuk pada bagian bawahd ari kotak resiko rendah atau bagian atas dari
kotak resiko tinggi. Ini tentu dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga
metode ini : (1) gunakan spirometer untuk menentukan golongan GOLD dari
batasan aliran udara (kategori GOLD 1 dan GOLD 2 mnenunjukkan resiko
rendah,s ementara GOLD 3 dan GOLD 4 menunjukkan resiko tinggi); (2)
periksa jumlah pemburukkan yang dialami pasien dalam 12 bulan terakhir (0
atau 1 menunjukkan resiko rendah, sementara 2 atau lebih menunjukkan resiko
tinggi),; (3) tentukan apakayh pasien telah dirawat inap sekali atau lebih dalam
tahun sebelumnya akibat pemburukkan COPD. Pada beberapa pasien, ketiga
cara pemeriksaan resiko pemburukkan ini tidak akan mengarah pada level
resiko yang sama; dalam kasus ini, resiko harus ditentukan dengan metode yang
menunjkkan resiko tinggi.

25

Contoh : bayangkan pasien dengan skor CAT 18, FEV1 55% dari yang
dirpediksikan dan riwayat 3 kali pemburukkan dalam 12 bulan terakhir.
Poemeriskaan gejala menggunakan CAT memperlihatkan bahwa pasien adalah
lebih simkptomatik (CAT 10) dan oleh karena itu termasuk dalam kelompok B
atau kelompok D. spirometer menunjukkan resiko rendah ketika pasioen adalah
GOLD 2 (batasan aliran duara yang sedang), tetapi ketika pasien mengalami 3
pemburukkan dalam 12 bulan terakhir maka ini menunjukkan resiko tinggi dan
pembobotan penilaian resiko rendah didasarkan pada spirometer. Oleh karena
itu pasien termasuk dalam kelompok D.
Kelompok ini tentu dapat diringkaskan sebagai berikut :

Pasien kelompok A resiko rendah, sedikit gejala. GOLD 1 atau GOLD 2


(batasan aliran duara ringan atau sedang); dan/atau 0-1 pemburukkan per
tahun dan tiak ada rawat inapo untuk pemburukkan; dan skor CAT < 10 atau
mMRC nilai 0 1.

26

Pasien kelompok B resiko rendah, lebih banyak gejalanya. Secara khusus


GOLD 1 atau GOLD 2 (batasan aliran udara ringan atau sedang) dan /atau 01pemburukkan per tahun dan tanpa rawat inap akibat pemburukkan itu dan
skor CAT 10 atau mMRC golongan 2.

Pasien kelompok C resiko tinggi, sedikit gejala. Secara khusus GOLD 3


atau GOLD 4 (batasan aliran udara parah atau angat parah) dan /atau 2
pemburukkan per tahun adtau 1 dengan rawat inap akibat pemburukkan dan
skor CAT < 10 atau mMRC grade 0-1.

Pasien kelompok D resiko tinggi, gejala lebih banyak. GOLD 32 atau


GOLD 4 (batasan alrian udara yang parah atau sangat parah); dan./atau 2
kali pemburukkan per tahun atau 1 dengan rawat inap akibat pemburukkan
dan skor CAT 10 atau mMRC grade 2.

Bukti yang mendukung sistem klasifikasi ini adalah :

Pasien dengan resiko pemburukkan yang tinggi cenderung tergolong dalam


GOLD kategori 3 atau 4 (batasan aliran udara yang parah atau sangat parah,
gamabr 2.3) dan dapat diidentifiaksikand engan cepat dari riwayat masa
lalunya.

Angka pemburukkan tertinggi adalah terkait dengan kehilangana FEV1 yang


lebih besar dan pemburukkan status kesehatan.

Rawat inap untuk pemburukkan PPOK adalah terkait dengan prognosis yang
kurang baik.

Skor CAT 10 adalah terkait dengan gangguan status kesehatan yang cukup
signifikan.

Bahkan tanpa adanya pemburukkan frekwensi, pasien dalam kategori GOLD 3


atau 4 dapat beresiko lebih besar dari kunjungan rumah sakit dan kematian.
Peningkatan resiko yang penting menjadi dasar pemikiran untuk melibatkan
pasien dalam kelompok beresiko tinggi.
Pendekatan ini dikombinasikan dengan pemeriksaan komorbiditas ptoensial,
meggambarkan kompleksitas PPOK yang jauh lebih baik dibandingkan dengan
27

analisis uni dimensional dari batasan aliran udara sebelum digunakan untuk
pentahapan penyakit dan bentuk dasar panduan untuk manajemen individual
dalam bab 4.

2.7.3. Penilaian Tambahan


Penelitian tambahan berikut ini dapat dipertimbangkan sebagai bagian diagnosa
dan pemeriksaan PPOK.
Foto rontgen dada tidak bermanfaat untuk menegakkan diagnosa pada PPOK,
tetapi sangat berharga dalam mengesampingkan diagnosa alternatif dan
menetapkan keberadaan komorbiditas yang signifikan seperti pernafasan yang
bersamaan (fibrosis pulmonal, bronchiektasis, penyakit pleural), penyakit skeletal
seperti kyphoscoliosis dan penyakit jantung (seperti cardiomegali). Perubahan
radiologi terkait dengan PPOK meliputi tanda-tanda hiperinflasi paru (diagram
datar pada film dada lateral dan peningkatan volume dari ruang udara
retrosternal), hiperlusensi paru dan juga tappering yang cepat dari tanda vaskular.
Computed tomograpoy (CT) dari dada tidak dianjurkan secara rutin. Ketika ada
keraguan tentang diagnosa PPOK, CT scanning dapat membantu dalam diagnosa
banding dimana penyakit itu ada. Disamping itu, bila prosedur pembedahan
seperti pengurangan volume paru terkontemplasikan, maka CT scan paru
diperlukan sejak distribusi emphysema adalah salah satu determinan yang penting
dari kesesuaian pembedahan.
Volume paru dan kapasitas difusi. Poasien PPOK memperlihatkan gas yang
terperangkap (peningkatan volume resiko) dari awal penyakit dan juga
keterbatasan aliran udara yang memperburuk hiperventilasi statis (peningkatan
dalam total kapasitas paru). Perubahan ini dapat direkam oleh polethysmografi
tubuh atau kurang akurat dengan difusi helium ukuran volume paru. Ukuran ini
membantu

menandai tingkat keparahan PPOK tetapi tidak esensial untuk

penanganan pasien. Pengukuran kapasitas difusi memberikan informasi tentang


dampak fungsional dari emphysema dalam PPOK dan seringkali membantu

28

pasien dengan kondisi sesak nafas yang dapat menjadi bagian proporsi dengan
tingkat keterbatasan aliran udara.
Oksimeteri dan pengukuran gas darah arterial. Oksimetri denyut jantung dapat
digunakan untuk mengevaluasi kejenuhan oksigen pasien dan perlunya terapi
oksigen tambahan. Oksimetri denyut jantung ini harus digunakan untuk
memeriksa semua kestabilan pasien dengan FEV1 < 35% sebagaimana
dirpediksikan atau dengan tanda klinis dari kegagalan pernafasan atau kegagalan
jantung kanan.

Bila kejenuhan tepi adalah < 92% gas darah arterial harus

diperiksa.
Pemeriksaan kekurangan alfa 1 antitrypsin. WHO merekomendasikan bahwa
pasien COPD dari daerah dengan prevalensi yang tinggi dari kekurangan alfa 1
antitrypsin harus diperiska terhadap kelainan genetika. Pasien ini cenderung
terlihat pada usia mudanya (< 45 thun) dengan rendahnya emfisema lobus.
Anggota keluarga dapat dikenali dan pemeriksaan keluarga adalah sangat
bermanfaat untuk konseling yang sesuai. Konsentrasi serum alfa-1 antitrypsin di
bawah 15 20% dari nilai normal adalah sangat sugestif dari kekurangan alfa-1
antitrypsin homozigot.
Pengujian latihan. Gangguan latihan yang diukur secara objektif, dinilai dengan
mengurangi

jarak

berjalan

atau

selama

pengujian

latihan

di

laboratorium,merupakan indikator dari gangguan status kesehatan dan prediktor


prognosis; kapasitas latihan yang turun dalam tahun-tahun sebelum kematian. Uji
berjalan sangat bermanfaat untuk menilai kelumpuhan dan digunakan untuk
menilai efektivitas rehabilitasi pulmonal.

Keduanya adalah merupakan uji

berjalan dengan alat dan tanpa alat. Pengujian laboratorium menggunakan sepeda
atau ergometri treadmill dapat mengidentifikasikan keberadaan atau kondisi
alternatif seperti diagnosa jantung. Monitoring dari aktivitas fisik akan lebih
relevan menyangkut prognosis dari pada kapasitas latihan evaluatif. Ini tentu
dapat dilakukan dengan menggunakan akselerometer atau instrumen multisensor.

29

Skor komposit,. Beberapa variabel termasuk toleransi latihan FEV1 dinilai


dengan jarak berjalan atau konsumsi oksigen puncak, penurunan berat badan dan
pengurangan ketegangan oksigen arterial mengidentifikasi pasien
peningkatan resiko kematian.

dengan

Pendekatan yang relatif sederhana untuk

mengidentifikasikan tingkat keparahan penyakit menggunakan ombinasi variabel


di atas telah diajukan. Metode BODE memberikan skor komposit (indeks massa
tubuh, obstruksi, dyspnea dan latihan) yang merupakan prediktor yang lebih baik
dari kelangsungan hidup dari pada satu komponen, dan sifat ini sebagai alat
ukuran yang sedang diteliti. Alternatif sederhana tidak termasuk dalam tes latihan
yang disarankan tetapi semua

pendekatan ini membutuhkan validasi pada

berbagai tingkat keparahan penyakit dan dalam kondisi klinis untuk


mengkonfirmasi apa yang sesuai untuk penggunaan klinis rutin.

2.8. Diagnosa Banding


Pada beberapa pasien penderita asma kronik, perbedaan yang jelas dari
PPOK adalah tidak dimungkinkan dengan menggunakan gambar dan teknik
pengujian fisiologi serta diasumsikan bahwa asma dan PPOK ditemukan pada
pasien. Dalam kasus ini, manajemen ini meliputi penggunaan obat anti radang dan
tindakan lain yang perlu dilakukan. Diagnosa banding yang memungkinkan lainnya
adalah lebih mudah dibedakan dari PPOK. (Dijelaskan dalam tabel dibawah)

30

2.9. Penatalaksanaan PPOK yang stabil


Setelah PPOK terdiagnosa, maka penanganan yang efektif harus didasarkan
pada penilaian individu dari penyakit untuk mengurangi gejala saat ini dan resiko di
masa yang akan datang. Tujuannya harus dicapai dengan efek samping minimal.
Sangat penting bagi pasien PPOK untuk memahami sifat penyakit yang mereka
derita, faktor resiko dan peran serta pekerja perawatan kesehatan mereka dalam
mencapai penanganan optimum serta hasil kesehatan yang lebih baik, jenis petugas
medis yang harus ditemui dan frekueensi kunjungan akan tergantung pada sistem
perawatan. Monitoring yang berlangsung harus menjamin bahwa tujuan
penanganan telah terpenuhi dan harus termasuk evaluasi kontinue dari kontak
dengan faktor resiko dan monitoring kemajuan penyakit, efek penanganan dan efek
samping yang dimungkinkan riwayat perburukan dan morbiditas. Disamping itu,
pasien harus menerima saran terhadap kehidupan yang lebih sehat termasuk diet
dan latihan fisik jauh lebih dianjurkan bagi penderita PPOK.

Identifikasi dan pengurangan paparan pada faktor resiko


Perokok
Petugas kesehatan perlu untuk menyampaikan pesan berhenti merokok dan harus
mendorong semua pasien yang merokok untuk berhenti bahkan ketika pasien
mengunjungi pelayanan kesehatan untuk alasan yang tidak terkait dengan PPOK
atau gangguan pernapasan.

Paparan di tempat kerja


Meskipun penelitian masih belum memperlihatkan apakah intervensi mampu
mengurangi paparan ditempat kerja namun juga mengurangi PPOK yang kemudian
terlihat memberikan saran kepada pasien untuk menghindari paparan yang berlanjut
terhadap kondisi potensial.

Polusi udara
Pengurangan paparan terhadap polusi asap dari bahan bakar biomasa, terutama
diantaranya pada wanita dan anak-anak merupakan tujuan utama untuk mengurangi
31

prevalensi PPOK didunia. Ventilasi yang cukup tungku memasak yang ramah
lingkungan, penggunaan cerobong asap, dan intervensi sejenis lainnya adalah layak
dan harus dianjurkan.

Penanganan PPOK yang stabil


Dalam versi sebelumnya dari GOLD, rekomendasi penanganan PPOK hanya
didsasarkan pada spirometer saja. Hal ini tetap dipertahankan dengan fakta bahwa
sebagian dari bukti ujicoba klinis tentang penanganan dalam PPOK adalah
berorientasi pada FEV1 untuk dasar. FEV1 merupakan penjelasan yang kurang baik
dari status penyakit sehingga untuk itu strategi penanganan untuk PPOK yang stabil
ini haus mempertimbangkan gejala pasien dan pemburukan resiko dimasa yang
akan datang.
Pada PPOK, kriteria yang digunakan adalah FEV1 awal, reversibilitas
bronchodilator akut, riwayat merokok, gejala dan riwayat pemburukkan
sebelumnya.
FEV1 Awal
Bukti untuk penanganan farmakologi dari PPOK didasarkan pada tingkat keparahan
keterbatasan aliran udara (FEV1% yang diprediksikan), dan klasifikasi spirometer
GOLD juga telah digunakan sebagai kriteria untuk uji coba klinis. Hampir tidak ada
bukti atas efikasi penanganan PPOK pada pasien dengan FEV1 > 70% prediksi
(GOLD 1) dan tidak ada bukti untuk semua penangana anti inflamasi pada pasien
dengan FEV1 > 60% prediksi.

Reversibilitas bronkodilator akut


Reversibilitas bronkodilator akut tidak menjadi ukuran handal dan secara umum
adalah prediktor yang kurang baik darai manfaat penanganan untuk FEV1 setelah 1
tahun sehingga kriteria entri untuk uji coba klinis ini membatasi dampak terhadap
realibilitas dan rekomendasi terapi.

Gejala

32

Hampir semua penelitian telah melibatkan pasien dengan gejala gangguan


pernafasan dimana tidak ada data pada pasien asimptomatik. Tidak ada penelitian
yang melaporkan hasil didasarkan pada level gejala yang distratifikasi.

Pencegahan pemburukan
Penelitian dimana pemburukan adalah akibat utama yang dialami oleh populasi
pasien dengan melihat riwayat pemburukan yang sering terjadi pada tahun
sebelumnya akan lebih mudah untuk memperlihatkan efek penanganan dalam
mencegah pemburukan bila hal itu terjadi secara aktual. Riwayat pemburkan pada
pasien terlihat lebih menjadi prediktor yang baik dari pemburukan di masa yang
akan datang, sehingga panel GOLD mengasumsikan bahwa jauh lebih aman untuk
mengekstrapolasi bukti efikasi dari uj coba klinis bagi pasien yang sesuai dalam
praktek rutin tanpa melihat kriteria entri menyangkut riwayat pemburuka terdahulu.

Penanganan non farmakologi


Penanganan non farmakologi dari PPOK menurut penilaian gejala individual dan
resiko pemburukkan diperlihatkan dalam tabel :
Tabel. Manajemen Terapi Non-Farmakologi pada PPOK (COPD)
Grup Pasien

Essensial

Rekomendasi

Bergantung

Pedoman

Lokal
A

Berhenti Merokok

Aktivitas Fisik

Vaksinasi Flu
Vaksinasi Pneumokokus

B-D

Berhenti Merokok
Rehabilitasi Paru

Aktivitas Fisik

Vaksinasi Flu
Vaksinasi Pneumokokus

Berhenti merokok
Berhenti merokok harus menjadi tindakan intervensi yang penting bagi semua
pasien PPOK yang merokok tanpa melihat tingkat keparahan penyakitnya.

33

Aktivitas fisik
Aktivitas fisik direkomendasikan untuk semua pasien dengan PPOK. Kompoen
latihan fisik diyakini memberikan banyak manfaat, dengan manfaat populasi
keseluruhan dari latihan fisik dan perannya dalam pencegahan primer dan sekunder
dari

penyakit

kardiovaskulat,

maka

terlihat

secara

intuitif

memperbaiki

rekomendasi aktivitas fisik setiap hari.

Rehabilitasi
Meskipun lebih banyak informasi yang dibutuhkan atas kriteria untuk seleksi pasien
bagi program rehabilitasi pulmonal, maka semua pasien PPOK harusmendapatkan
manfaat dari rehabilitasi dan mempertahankan aktivitas fisik, memperbaiki
toleransi latihan mereka dan mengalami penurunan dipsneu dan keletihan. Data
yang ada menyatakan bahwa manfaat ini daat diperoleh setelah program rehabilitasi
pulmonal tunggal. Manfaat ini tentu muncul setelah program rehabillitasi berahir,
tetapi bila latihan ini daapat dipertahankan maka status kesehatan pasien diatas
level pra-rehabilitasi.
Vaksinasi
Keputusan tentang vaksinasi tentang PPOK tergantung pada kebijakan lokal,
ketersedian vaksin dan keterjangkauan.

Terapi farmakologi
Terapi farmakologi pada PPOK digunakan untuk mengurangi frekuensi dan tingkat
keparahan serta memperbaiki status kesehatan dan toleransi latihan. Obat yang
tersedia untuk PPOK masih belum terlihat secara konsklusif untuk memodifikasi
penurunan jangka panjang dalam fungsi paru yang merupakan bagian dari penyakit
ini.
Kelas pengobatan yang umum digunakan dalam penanganan PPOK terlihat
dalam tabel dibawah ini. Pilihan di dalam setiap kelas tergantung pada ketersediaan
obat dan respon pasien

34

Model yang diajukan untuk penanganan farmakologi awal dari PPOK (COPD)
menurut penilaian individu dari gejala dan resiko pemburukkan diperlihat dalam
tabel dibawah ini.
35

Pasien Grup A memiliki beberapa gejala dan resiko pemburukkan yang


rendah. Bukti spesifik untuk efektivitas tindakan farmakologi tidak tersedia bagi
pasien dengan FEV1 > 80% prediksi (GOLD 1). Untuk semua pasien grup A,
bronkodilator

yang

bekerja

singkat

digunakan

sesuai

kebutuhan

yang

direkomendasikan sebagai pilihan pertama didasarkan pada efek pada fungsi paru
dan sesak nafas. Pilihan alternatif adalah kombinasi bronkodilator kerja singkat
atau bronkodilator kerja lama. Bukti untuk langka ini sangat lemah, sedikit
penelitian kombinasi yang ada dan sebagian besar uji coba terapi dengan
bronkodilator kerja lama telah dilakukan pada pasien dengan hambatan aliran udara
yang cukup parah.
Pasien Grup B memiliki gejala yang lebih signifikan tetapi masih dengan
resiko pemburukkan yang lebih rendah. Bronkodilator kerja lama dapat lebih
unggul dari bronkodilator kerja singkat, oleh karena itu akan direkomendasikan.
Tidak ada bukti untuk merekomendasikan satu kelas bronkodilator durasi panjang
terhadap penanganan awal. Pada pasien perorangan, pilihannya harus tergantung
pada persepsi pasien dalam menghilangkan gejala. Untuk pasien dengan sesak
36

nafas yang cukup parah, pilihan alternatif lainnya adalah kombinasi bronkodilator
durasi panjang. Hanya kajian jangka pendek dari pilihan penanganan ini yang telah
dilaporkan oleh pasien atas kombinasi bronkodilator harus diikuti dengan cermat
dan efek penanganannya harus di evaluasi. Penanganan lain yang dimungkinkan
adalah bronkodilator dengan kerja singkat dengan teofilin, yang terakhir digunakan
bila bronkodilator inhaler tidak tersedia atau sulit didapat.
Pasien Grup C memiliki sedikit gejala tetapi dengan resiko pemburukkan
yang lebih tinggi. Sebagai pilihan pertama berupa kombinasi tetap dari
kortikosteroid hirup atau beta-2-agonis atau anti kolinergik kerja lama bakal
dianjurkan. Namun, hanya ada satu penelitian yang membandingkan tindakan ini
yang sulit untuk dibedakan. Pilihan alternatif adalah kombinasi bronkodilator yang
kerja panjang atau kombinasi kortikosteroid hirup atau anti kolinergik kerja lama
dapat digunakan. Anti kolinergik yang kerja lama dan beta-2-agonis kerja panjang
mengurangi resiko pemburukkan, meskipun kajian jangka panjang yang baik masih
belum ada, prinsip kombinasi penanganan ini terlihat lebih baik. Penghambat
Fosfodiesterase-4 digunakan dalam bentuk kombinasi dengan satu bronkodilator
durasi panjang harus dapat dipertimbangkan bila pasien mengalami bronkitis
kronik. Penanganan lain yang dimungkinkan termasuk bronkodilator durasi singkat
dan teofilin, bila aksi jangka panjang dari bronkodilator hirup tidak tersedia.
Pasien Grup D memiliki beberapa gejala dan resiko pemburukkan yang
sangat tinggi. Pilihan terapi yang pertama adalah kortikosteroid hirup ditambah
dengan beta-2-agonist yang bekerja lama atau antikolinergik yang bekerja lama.
Meskipun ada konflik temuan menyangkut penangangan ini, dukungan terhadap hal
ini masih datang dari kajian jangka pendek. Sebagai pilihan kedua kombinasi dari
ketiga kelas obat (kortikosteroid hirup atau beta-2-agonist kerja lama atau
antikolinergik kerja lama) akan dianjurkan. Pada pasien penderita bronkitis kronik
dimungkinkan untuk menambah fosfodiesterase-4 inhibitor sebagai pilihan utama.
Fosfodiesterase-4 inhibitor efektif ketika ditambahkan pada bronkodilator kerja
panjang, sementara bukti dari manfaat ketika ditambahkan pada kortikosteroid
hirup kurang valid. Penanganan lain yang dimungkinkan adalah bronkodilator kerja

37

singkat dan teofilin atau karbosistein yang dapat digunakan bila bronkodilator hirup
tidak tersedia atau tidak dapat diberikan.

Bronkodilator (yang direkomendasikan)

Untuk beta-2-agonis dan anti kolinergik, durasi kerja panjang lebih baik
dibadingkan dengan durasi kerja singkat.

Pemakaian kombinasi obat dapat dipertimbangkan bila gejala penyakit tidak


dapat diobati dengan hanya satu jenis obat.

Berdasarkan efikasi dan efek samping, bronkodilator hirup jauh lebih baik
dibandingkan bronkodilator oral.

Berdasarkan atas bukti efikasi yang lebih rendah dan efek samping yang
lebih besar, pemakaian dengan teofilin tidak dianjurkan bila bronkodilator
pemakaian jangka panjang lainnya masih tersedia.

Kortikosteroid dan fosfodiesterase-4 inhibitor (yang disarankan)

Tidak ada bukti untuk merekomendasikan uji coba terapi jangka pendek
dengan kortikosteroid oral pada pasien penderita PPOK untuk mengenalkan
mereka

yang akan memberikan respon untuk kortikosteroid hirup atau

pengobatan lainnya.

Pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid hirup direkomendasikan


untuk pasien PPOK yang parah dan cukup parah serta seringkali
pemburukkan ini tidak cukup terkontrol dengan bronkodilator durasi kerja
panjang.

Terapi tunggal jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak dianjurkan


pada penderita PPOK/COPD.

Terapi tunggal jangka panjang dengan kortikosteroid hirup tidak dianjurkan


pada pasien PPOK karena kurang efektif dibandingkan dengan kombinasi
kortikosteroid hirup dengan beta-2-agonist kerja lama.

Pengobatan jangka panjang yang mengandung kortikosteroid yang dihirup


harus tidak dianjurkan di luar indikasinya terkait dengan resiko pneumonia

38

dan kemungkinan peningkatan resiko yang mengikuti paparan jangka


panjang.

Fosfodiesterase-4 inhibitor, roflumilast juga dapat digunakan untuk


mengurangi pemburukkan bagi pasien bronkitis kronik, PPOK yang parah
dan sangat parah, serta pemburukkan yang sering dan tidak terkontrol oleh
bronkodilator durasi kerja panjang.

2.10. Monitoring dan Tindak Lanjut


Gejala dan ukuran objektif dari keterbatasan aliran udara harus dimonitor
untuk menentukan kapan harus

memodifikasi terapi dan mengidentifiksi

komplikasi yang berkembang. Pada penilaian awal, kunjungan lanjutan harus


meliputi diskusi tentang gejala, terutama gejala baru atau gejala yang menburuk
serta pemeriksaan fisik. Penanganan yang komprehensif dan rekomendasi rutin
tidak terlihat menunjukkan manfaat jangka panjang dari segi kualitas hidup atau
efikasi diri yang biasa dilakukan untuk pasien PPOK dalam praktek umum.

Memonitor perkembangan penyakit dan komplikasi.


Pengukuran. Penurunan fungsi paru lebih baik ditelusuri oleh spirometer yang
dilakukan setidaknya sekali setahun untuk mengidentifikasi pasien yang mengalami
penurunan fungsi paru dengan cepat. Kuesioner seperti uji pemeriksaan PPOK
(CAT) dapat dilakukan setiap dua hingga tiga bulan.
Gejala. Pada setiap kunjungan, penilaian tentang perubahan gejala sejak kunjungan
terakhir meliputi batuk dan sputum, sesak nafas, kelelahan, batahan aktivitas dan
gangguan tidur.
Status merokok. Pada setiap kunjungan, menentukan status merokok saat ini dan
terpapar pada merokok mendorong partisipasi dalam program mengurangi dan
menghilangkan paparan yang dimungkinkan bagi faktor resiko PPOK.
Memonitor farmakoterapi dan tindakan medis lainnya. Untuk menyesuaikan terapi
dengan tepat pada perkembangan penyakit, masing masing kunjungan lanjutan
harus meliputi pembahasan terapi saat ini. Modifikasi penanganan harus di

39

rekomendasikan sebagai kesesuaian pada fokus untuk menghindari polifarmasi


yang tidak terlalu penting
Pada level pasien individu, pengukuran seperti FEV! Dan kuesioner seperti
CAT sangat bermanfaat tetapi tidak reliabel secara lengkap karena ukuran respon
yang penting secara klinis yang jauh lebih kecil dari pada variabilitas pemeriksaan.
Untuk itu, pertanyaan berikut ini tentu sangat bermanfaat ketika memutuskan
apakah pasien memiliki respon simptomatik untuk penanganan.
Apakah anda melihat perbedaan sejak memulai terapi ini?
Bila anda merasa lebih baik :

Apakah anda merasakan sesak nafas yang berkurang?

Dapatkah anda melakukan aktivitas lebih banyak?

Dapatkah anda tidur dengan lebih baik?

Jelaskan perbedaan apa saja yang anda alami?

Apakah perubahan ini membuat anda senang?

Memonitor riwayat pemburukkan. Mengevaluasi frekuensi, tingkat keparahan dan


kemungkinan penyebab pemburukkan. Keparahan pemburukkan dapat diperkirakan
oleh peningkatan kebutuhan untuk pengobatan bronkodilator atau kortikosteroid
dan oleh perlunya pengobatan dengan antibiotik. Rawat inap harus dicatat termasuk
fasilitas, lama dan waktu serta beberapa penggunaan perawataa kritis atau
pemakaian ventilator mekanik.
Memonitor Comorbiditas.Komorbiditas umum terjadi pada PPOK, mengamplikasi
kelumpuhan yang tidak terkait dengan PPOK, serta dapat mengkomplikasi
manajemennya. Fokus atas identifikasi dan penanganan masalah individu harus
sejalan dengan panduan penanganan lokal.
Tindakan Bedah pada pasien PPOK. Komplikasi pulmoner pasca tindakan operasi
adalah sama pentingnya dan umum bagi komplikasi kardiak post operatif dan
akibatnya menjadi komponen utama dari peningkatan resiko yang diajukan dengan
pembedahan pada pasien PPOK. Definisi komprehensif dari komplikasi pulmonal
post operatif harus meliputi komplikasi pernafasan pulmonal yaitu infeksi paru,

40

atelektasis atau peningkatana keterbatasan aliran udara yang menyebabkan


kegagalan pernafasan akut dan juga agravasi yang ada dari PPOK.
Peningkatan Resiko dari komplikasi pulmonal pasca operasi pada pasien
PPOK sangat bervariasi dengan tingkat keparahan PPOK meskipun lokasi
pembedahan menjadi prediktor yang penting, peningkatan resiko sebagai
pendekatan insisi pada diafragma. Untuk reseksi paru, faktor resiko pasien individu
harus dikenali oleh riwayat yang cermat, pemeriksaan fisik, radiografi paru dan uji
fungsi pulmonal. Meskipun nilai test fungsi pulmonal masih kontensius, namun ada
konsensus untuk kandidat PPOK untuk reseksi paru harus mengalami uji baterey
yang lengkap termasuk spirometer dengan respon bronkodilator, volume paru statis,
volume difusi dan gas darah arterial pada pasien PPOK resiko tinggi untuk
komplikasi bedah terkait fungsi paru yang kurang baik harus mengalami penilaian
fungsi paru, misalnya tes dari distribusi regional dari pefusi dan kapasitas latihan.
Untuk mencegah komplikasi pulmonal pasca operasi, pasien PPOK stabil
secara klinis simptomatik atau dengan kapasitas latihan yang terbatas harus
ditangani secara intensif sebelum pembedahan, dengan semua ukuran yang telah
ada untuk pasien PPOK yang stabil yang tidak menjalani pembedahan, Tindakan
pembedahan harus ditangguhkan bila pemburukkan terjadi.

41

BAB III
KESIMPULAN
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit umum yang dapat
dicegah dan diobati yang ditandai oleh adanya keterbatasan aliran udara
yang biasanya bersifat progresif dan berkaitan dengan peningkatan respon
peradangan kronis dalam saluran udara dan paru hingga partikel yang
beracun atau gas. Kondisi yang memburuk dan komorbiditas mempengaruhi
tingkat keparahan pada pasien perorangan.
PPOK adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia
dan mengakiabtkan beban ekonomi dan sosial yang bersifat substansial dan
terus meningkat.
Mengisap asap rokok dan partikel racun lainnya seperti asap dari bahan
bakar biomassa menyebabkan inflamasi paru, respon normal yang terlihat
dimodifiaksi pada pasien yang mengalami PPOK. Respon radang kronis ini
tentu dapat mempengaruhi kerusakan jaringan parenchymal (menghasilkan
emphysema), dan menganggu mekanisme pertahanan dan perbaikan normal
(menghasilkan fibrosis saluran udara kecil). Perubahan patologi ini
mengarah pada perangkap udara dan batasan aliran udara secara progressif
dengan demikian mengalami sesak nafas dan gejala karakteristik dari
PPOK.
Diagnosa klinis dari PPOK harus dipertimbangkan pada beberapa pasien
yang menderita dyspnea, batuk kronis atau produksi sputum dan riwayat
terpapar pada faktor resiko untuk penyakit.
Spirometer dibutuhkan untuk melakukan diagnosa dalam konteks klinis ini;
keberadaan FEV1/FVC < 0.70

pasca pemakaian bronchodilator

menegaskan keberadaan keterbatasan aliran udara pada PPOK.


Tujuan pemeriksaan PPOK adalah menentukan tingkat keparahan penyakit
termasuk keparahan keterbatasan aliran udara, dampaknya terhadap status
kesehatan pasien dan resiko kejadian di masa mendatang seperti

42

pemburukkan, kunjungan ke rumah sakit atau kematian untuk memandu


terapi.
Komorbiditas terjadi lebih sering pada pasien PPOK, termasuk penyakit
kardiovaskular, kelainan fungsi otot, sindrome metabolisme, osteoporosis,
depresi, dan kanker paru. Terlihat bahwa ini terjadi pada pasien dengan
keterbatasan aliran udara yang ringan, sedang dan parah dan pengaruh
mortalitas dan rawat inap secara independen, komorbiditas harus dilihat
secara aktif dan ditangani dengan baik bila ada.
Identifikasi dan pengurangan paparan pada faktor resiko adalah langkah
penting dalam pencegahan dan penanganan PPOK. Semua mereka yang
merokok harus segera menghentikan kebiasaan merokok tersebut.
Level FEV1 adalah penjelasan yang kurang cukup dari dampak penyakit
terhadap pasien sehingga untuk itu pemeriksaan individu untuk gejala dan
resiko mendatang dari pemburukkan harus dipadukan ke dalam strategi
manajemen untuk PPOK yang stabil.
Terapi farmakologi digunakan untuk mengurangi gejala, mengurangi
frekuensi dan tingkat keparahan pemburukkan dan perbaikan status
kesehatan dan toleransi latihan.
Untuk kelompok beta-2-agonis dan antikolinergik, formula dengan durasi
kerja lebih panjang lebih disukai didasarkan atas efikasi dan efek samping.
Bronkodilator hirup lebih disukai dibandingkan dengan bronkodilator oral.
Penanganan jangka panjang dengan kortikosteroid hirup ditambahkan pada
bronkodilator durasi kerja panjang direkomendasikan bagi pasien pada
resiko pemburukkan tingkat tinggi.
Monoterapi jangka panjang dengan kortikosteroid oral atau inhalan tidak
direkomendasikan pada PPOK.
Golongan fosfodiesterase-4 inhibitor dapat bermanfaat untuk mengurangi
pemburukkan pada pasien dengan FEV1 < 50%, bronkitis kronis dan
pemburukkaan yang sering terjadi.
Vaksin influenza dapat mengurangi resiko penyakit serius dan kematian
pada pasien PPOK.
43

Sekarang ini, penggunaan antibiotik tidak diindikasikan dalam PPOK, selain


untuk penanganan pemburukkan infeksi dari PPOK dan infeksi bakterial.
Semua pasien PPOK yang mengalami sesak nafas ketika berjalan di tempat
terlihat memberi manfaat dari rehabilitasi dan mempertahankan aktivitas
fisik, memperbaiki toleransi latihan mereka dan kualitas hidup serta
mengurangi gejala dyspnea dan kelelahan.

44

DAFTAR PUSTAKA

1. Decramer, Marc, Vestbo, Jorgen, dan team. Global Strategy for the
Diagnosis Managemennt and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
disease, Updated 2014. 2014.UK : GOLD.
2. Team PDPI. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia.
2003. Jakarta : PDPI.

45

Anda mungkin juga menyukai