PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Chronic Obstructive Pulmonary Disease/
COPD) adalah penyakit paru yang ditandai oleh adanya keterbatasan aliran udara
yang biasanya bersifat progresif dan berkaitan dengan peningkatan respon
peradangan kronis dalam saluran udara dan paru hingga partikel yang beracun atau
gas. Kondisi yang memburuk dan komorbiditas mempengaruhi tingkat keparahan
pada pasien perorangan. (GOLD, 2014).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversible atau reversible parsial. (PDPI, 2003).
2.2 Epidemiologi
Data keberadaan prevalensi PPOK memperlihatkan variasi yang dapat
terlihat terkait dengan perbedaan dalam metode survey, kriteria diagnosa dan
pendekatan analitik. Estimasi terendah dari prevalensi ini adalah didasarkan pada
laporan diagnosa dokter terhadap PPOK atau kondisi yang ekuivalen. Misalnya,
sebagian besar data nasional memperlihatkan bahwa kurang dari 6% populasi
dewasa mengalami PPOK, ini menggambarkan penyebaran dibawah pengakuan
dan di bawah diagnosa dari PPOK.
Di samping kompleksitas itu, data yang ada memungkinkan beberapa
kesimpulan diambil terkait prevalensi PPOK, bukan setidaknya karena peningkatan
data pengendalian mutu. Tinjauan sistematis dan meta analisis dari penelitian yang
dilakukan di 28 negara selama tahun 1990 dan 2004 dan penelitian tambahan dari
Jepang, memberikan bukti bahwa prevalensi PPOK ini lebih tinggi pada perokok
dan bekas perokok dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok dalam usia
diatas 40 tahun dibandingkan mereka yang berusdia di bawah 40 tahun dan pada
3
menduduki urutan keenam sebagai penyebab kematian di tahun 1990 akan menjadi
penyebab ketiga kematian di seluruh dunia pada tahun 2020; perkiraan terbaru
memperkirakan bahwa PPOK akan menjadi penyebab kematian di urutan keempat
pada tahun 2030. Peningkatan angka kematian ini terutama dipicu oleh
pengembangan epidemik merokok, pengurangan angka kematian dari penyebab
kematian umum (seperti penyakit jantung iskemia, penyakit ifneksi) dan penuaan
penduduk dunia.
yang
5
sepanjang
hidupnya.
Di
masa
lampau,
sebagian
penelitian
memperlihatkan bahwa prevalensi PPOK dan angka kematian lebih besar pada lakilaki dibandingkan dengan perempuan tetapi data dari negara maju memperlihatkan
bahwa prevalensi dari penyakit ini hampir sama antara laki-laki dan perempuan,
kemungkinan menggambarkan perubahan pola merokok. Beberapa penelitian juga
menyatakan bahwa wanita lebih rentan terhadap efek merokok tembakau
dibandingkan dengan laki-laki.
Pertumbuhan dan perkembangan paru
Pertumbuhan paru terkait dengan proses yang berlangsung selama masa kehamilan,
kelahiran dan terpapar pada masa anak-anak dan remaja. Penurunan maksimal dari
pencapaian
fungsi
paru
(sebagaimana
diukur
dengan
spirometer)
dapat
merokok. Perkiraan ini sesuai dengan laporan yang dipublikasikan oleh American
Thoracic Society yang menyimpulkan bahwa paparan pekerjaan diperhitungkan 10
20% dari gejala atau gangguan fungsional sesuai dengan PPOK. Resiko paparan
di tempat kerja pada wilayah yang kurang teratur di dunia kemungkinan lebih tinggi
dibandngkan dengan laporan penelitian dari Eropa dan Amerika Utara.
Kayu, bulu hewan, sisa - sisa tanaman dan batu bara khususnya yang dibakar di
tungku terbuka atau tungku dengan fungsi yang kurang baik dapat mengakibatkan
tingkat pencemaran udara dalam ruangan yang cukup tinggi. Bukti ini terus
berkembang dimana pencemaran dalam ruangan akibat memasak menggunakan
biomassa dan pemanasan dalam ruang berventialsi buruk adalah faktor resiko bagi
PPOK. Hampir 3 juta orang di seluruh dunia menggunakan biomassa dan batu bara
sebagai sumber energi utama untuk memasak, pemanasan dan kebutuhan rumah
tangga lainnya sehingga penduduk beresiko lebih besar.
Tingkat pencemaran udara yang tinggi juga membahayakan bagi mereka penderita
penyakit paru atau penyakit jantung, peran pencemaran udara di luar dan dalam
ruangan yang menyebabkan PPOK masih belum jelas tetapi tentu sangat kecil bila
dibandingkan dengan merokok. Juga sangat sulit untuk menilai pengaruh polutan
tunggal yang terpapar pada pencemaran udara dalam waktu yang lama. Pencemaran
udara dari pembakaran bahan bakar fossil terutama dari emisi kendaraan bnermotor
di kota-kota besar adalah berkaitan dengan penurunan fungsi pernafasan. Pengaruh
relatif dari paparan jangka pendek dengan puncak tinggi, dan juga paparan jangka
panjang dengan level rendah dapat diatasi.
8
Status ekonomi
Kemiskinan dapat merupakan faktor resiko bagi PPOK tetapi komponen
kemiskinan yang mempengaruhi hal ini masih belum jelas. Ada bukti kuat bahwa
resiko berkembangnya PPOK berbanding terbalik dengan status sosial ekonomi.
Belum jelas apakah pola ini mencerminkan paparan dengan polutan udara di dalam
dan di luar ruangan. Pemukiman padat, gizi buruk, infeksi atau faktor lain terkait
dengan status sosial ekonomi.
Asma / hiperaktivitas bronchial
Asma dapat menjadi faktor resiko untuk berkembangnya PPOK, meskipun bukti ini
belum bersifat kesimpulan. Dalam laporan kelompok longitudinal kajian
epidemiologi Tucson untuk penyakit gangguan saluran udara, pada orang dewasa
penderita asma ditemukan memiliki resiko dua puluh kali lebih besar mengalami
PPOK sepanjang waktu dibandingkan mereka tanpa asma, setelah disesuaikan
dengan merokok. Kajian longitudinal lainnya bagi mereka penderita asma
ditemukan sekitar 20% dari subjek mengalami keterbatasan aliran udara dan
mengurangi keofisien transfer dan dalam studi longitudinal
dikaitkan dengan kehilangan FEV yang belebihan dalam populasi umum. Dalam
survey kesehatan pernafasan masyarakat Eropa, hiperresponsif bronkhial penyebab
kedua setelah merokok sebagai faktor resiko utama untuk PPOK, yang menyerang
15% dari penduduk dengan resiko tersebut. Patologi keterbatasan aliran udara
kronis berbeda pada perokok penderita asma dan perokok tanpa penyakit asma,
yang menyaakan bahwa kedua entitas penyakit ini dapat saja berbeda ketika
muncul dengan penurunan fungsi paru yang sama. Pemisahan asma secara klinis
dari PPOK tidaklah mudah.
Hiperreaktivitas bronkhial dapat ada tanpa diagnosa klinis dari asma dan terlihat
sebagai prediktor independen dari PPOK pada kajian populasi termasuk indikator
resiko penurunan berlebihan pada fungsi paru pasien penderita PPOK ringan.
Bronkhitis kronis
Dalam studi seminar oleh Fletcher dkk, bronkhitis kronis tidak dikaitkan dengan
penurunan fungsi paru. Kajian ini tentu menemukan hubungan antara hipersekresi
lendir dan FEV1 yang mengalami penurunan, dan pada orang dewasa muda yang
merokok dengan penderita bronkhitis kronis terkait dengan peningkatan
kemungkinan mengalami PPOK.
Infeksi
Riwayat infeksi pernafasan anak-anak yang cukup parah dikaitkan dengan
penurunan fungsi paru dan peningkatan gejala pernafasan pada orang dewasa.
Kerentanan terhadap infeksi memainkan peran di dalam memperburuk PPOK tetapi
efek terhadap perkembangan penyakit masih belum jelas. Infeksi HIV juga terlihat
mempercepat serangan emphysema terkait merokok. Tuberkulosis ditemukan
sebagai faktor resiko untuk PPOK. Disamping itu, diagnosa banding untuk PPOK
dan komorbiditas potensial.
10
2.5 Patogenesis
Peradangan pada saluran pernafasan pasien PPOK terlihat
sebagai
modifikasi respon peradangan dari saluran pernafaan untuk iritan kronis seperti
merokok. Mekanisme untuk peradangan amplifikasi masih belum dipahami tetapi
tentu dapat ditentukans ecara genetika. Pasien dapat mengalami PPOK dengan jelas
tanpa merokok, tetapi sifat respon peradangan pada pasien ini masih belum
diketahui. Tekanan oksidatif dan kelebihan proteinase pada paru lebih lanjut
memodifikasi radang paru. Secara bersama-sama, mekanmisme ini mengarah pada
karakteristik perubahan patologi dalam PPOK. Peradangan paru timbul setelah
berhenti merokok melalui mekanisme yang masih belum diketahui, meskipun
autoantigen dan mikroorganisme yang ada memainkan sebuah peran.
Tekanan oksidatif. Tekanan oksidatif dapat menjadi mekanisme amplifikasi yang
penting dalam COPD. Biomarker tekanan oksidatif (seperti hidrogen peroksida, 8isoprostane) adalah mengalami peningkatan pada kondensat pernafaan yang
dibuang, sputum dan sirkulasisistemik dari pasien COPD. Tekanan oksidatif adalah
mengalami peningkatan pemburukkan. Oksidan adalah dihasilan oleh asap rokok
dan partikular lain yang terhirup dan dilepaskan dari sel anti radang yang sudah
diaktifkan seperti makrofag dan neutrofil. Juga ada pengurangan dalam antioksidan
endogen pada pasien PPOK sebagai akibat penurunan faktor transkrpisi yang
disebut N2 yang mengatur gen antioksidant.
Ketidakseimbangan protease antiporotease. Ada bukti tertentu terhadap
ketidakseimbangan dalam paru pasien PPOK antara protease yang memutus
komponen jaringan ikat dan anti protease yang melindunginya terhadap keadan ini.
Beberapa protease yang diambil dari sel peradangan dan sel epithelial adalah
mengalami peningkatan pada pasien PPOK. Juga terjadi peningkatan bukti bahwa
mereka dapat berinteraksi dengan yang lainnya. Kerusakan elastin yang dimediasi
oleh protease, komponen jaringan ikat utama pada parenchym paru diyakini
menjadi gambnaran penting dari emphysema dan kemungkinan tidak dapat balik.
11
Sel peradangan. PPOK ditandai oleh pola radang spesifik yang melibatkan
peningkatan jumlah CD8+ (sitotoksik) Tc1 lymphocyte yang hanya terdapat pada
perokok yang menderita penyakit ini. Sel ini bersama-sama dengan neutrofil dan
makrofag melepaskan mediator radang dan enzim dan berinteraksi dengan sel
struktural dalam saluran udara, parenchym paru dan vaksular pulmonal.
Mediator radang. Variasi mediator radang yang terlihat mengalami peningkatan
pada pasien PPOK menarik sel radang dari sirkulasi (faktor kemotaktik),
memperbesar proses peradangan (proinflamatory cytokine) dan mempengaruhi
perubahan struktural (faktor pertumbuhan).
Perbedaan dalam peradangan antara PPOK dan Asma. Meskipiun PPOK dan
asma sama sama terkait dengan peradangan kronis dari saluran pernafasan,
namun ada perbedaan dalam sel radang dan mediator yang terlibat dalam dua
penyakit, yang diperhitungkan untuk perbedaan dalam efek fisiologi, gejala dan
respon terhadap terapi. Sebagian pasien penderita PPOK memiliki gambaran yang
sesuai dengan asma dan mengalami pola radang campuran dengan peningkatan
eosinofil.
2.6 Patofisiologi
Terdapat pemahaman baru tentang bagaimana proses penyakit ini pada
PPOK mengarah pada kelainan dan gejala fisiologi karakteristik. Misalnya,
peradangan dan penyempitan saluran udara tepi yang mengakibatkan penurunan
FEV. Kerusakan parenchymal terkait emphysema juga memberikan kontribusi bagi
keterbatasan saluran udara dan mengakibatkan penurunan transfer gas.
Keterbatasan aliran udara dan udara yang terperangkap. Cakupan peradangan,
fibrosis dan eksudasi luminal pada saluran udara yang kecil adalah berkorelasi
dengan penurunan dalam FEV, dan rasio FEV1/FVC dan kemungkinan dengan
penurunan FEV yang dipercepat dengan karakteristik PPOK. Gangguan saluran
udara tepi secara progresif akan menahan udara selama ekspirasi, mengakibatkan
hiperinflasi. Meskipun emphysema lebih terkait dengan kelainan pertukaran gas
12
dari pada penurunan FEV1 namun ini juga memberikan kontribusi terhadap
terperangkapnya
alveolar pada saluran udara kecil yang telah rusak ketika penyakit menjadi lebih
parah. Hiperinflasi mengurangi volume inspiratory seperti volume residu
fungsional yang mengalami peningkatan, terutama selama latihan (hiperinflasi
dinamis) yang mengakibatkan peningkatan dyspnea dan batasan kapasitas latihan.
Faktor-faktor ini mempengaruhi gangguan sifat kontraktil intrinsik otot pernafasan;
ini mengakibatkan tidak teraturnya sitokine pro inflamatory lokal. Dipertimbangkan
bahwa hiperinflasi berkembang lebih awal pada penyakit ini dan merupakan
mekanisme utama untuk eksersional dyspnea. Bronchodilator bekerja pada saluran
udara tepi mengurangi udara yang terperangkap, sehingga mengurangi volume paru
dan memperbaiki gejala dan kapasitas latihan.
Kelainan pertukaran gas. Kelainan pertukaran gas ini mengakibatkan hipoksemia
dan hipercapnia dan juga memiliki mekanisme dalam PPOK. Secara umum,
pengalihan gas untuk oksigen dan karbon dioksida akan memburuk ketika penyakit
mulai berkembang. Berkurangnya ventilasi juga terkait dengan berkurangnya
dorongan
ventilasi.
Ini
mengarah
pada
retensi
karbon
dioksida
yang
dikombinasikan dengan ventilasi yang dikurangi pada kerja pernafasan yang lebih
tinggi karena gangguan yang parah dan hiperinflasi dipadukan dengan gangguan
otot ventilasi. Kelainan dalam ventilasi alveolar dan berkurangnya bed vaskular
pulmonal lebih lanjut memperburuk kelainan Va/Q.
Hipersekresi lendir. Hipersekresi sekresi lendir yang berlebihan yang diakibatkan
oleh batuk produktif kronis adalah merupakan gambaran bronchitis kronis dan tidak
terkait dengan keterbatasan saluran udara. Sebaliknya, tidak semua pasien penderita
PPOK mengalami gejala hipersekresi lendir. Ketika ada, maka ini terkait dengan
peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar submucosal dalam
merespon iritasi saluran duara kronis oleh asap rokok dan zat beracun lainnya.
Bebrapa mediator dan protease merangsang hipersekresi lendir dan
sebagian
13
Hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal dapat berkembang pada akhir PPOK dan
terutama terkait dengan vasokonstriksi hipoksik dari arteri pulmonal kecil, yang
menghasilkan perubahan struktural termasuk hiperplasia intimal dan hiperplasia /
hipertrofi otot halus. Juga ada respon peradangan pada pembuluh darah yang sama
seperti yang terlihat pada saluran udara dan bukti kelainan fungsi sel endothelial.
Kehilangan bed kapiler pulmonal pada emphysema juga mempengaruhi
peningkatan tekanan pada sirkulasi pulmonal. Peningkatan hipertensi pulmonal
dapat mengarah pada hipertrofi ventrikular yang benar dan juga pada kegagalan
jantung kanan.
Pemburukkan. Pemburukkan gejala pernafasan seringkali terjadi pada pasien PPOK
yang dipicu oleh infeksi bakteri atau virus (yang dapat muncul bersamaan), polutan
lingkungan, atau faktor yang tidak diketahui. Pasien dengan episode bakterial dan
virus juga memiliki respon karakteristik dengan peningkatan radang. Selama
pemburukkan pernafaan maka terjadi peningkatan hiperinflasi dan perangkap gas
dengan berkurangnya aliran ekspiratori, sehingga memperhitungkan dispnea yang
terus meningkat. Juga ada pemburukkan dari kelainan VA/Q yang dapat
mengakibatkan hipoksemia.
2.7. Diagnosis
Diagnosa klinis dari PPOK harus dipertimbangkan pada beberapa pasien
yang menderita dyspnea, batuk kronis atau produksi sputum dan riwayat terpapar
pada faktor resiko untuk penyakit. Spirometer dibutuhkan untuk melakukan
14
paska
15
menghasilkan
sejumlah
besar
sputum
akan
mengalami
peradangan
dan
perkembangannya
tentu
dapat
Suara desah ini muncul pada level laryngeal dan tidak disertai oleh kelainan
auskultatory. Sebagai alternatif, suara inspirasi atau ekspiratori yang luas
dapat ada pada saat mendengar di bagian dada. Sesak dada seringkali
mengikuti eksersi, yang kurang terlokalisasi sebagai karakter muskular dan
kemudian meningkat dari kontraksi isometrik dari otot intercostal.
Ketiadaan suara desah atau sesak nafas tidak mengesampingkan diagnosa
PPOK, namun tidak ada gejala yang mengkonfirmasi diagnosa asma.
Gambaran tambahan pada beberapa penyakit. Kelelahan, penurunan berat
badan dan kurangnya selera makan atau anoreksia adalah masalah umum
pada pasien dengan PPOK yang parah dan sangat parah. Kemungkinan ini
penting secara prognosis dan dapat menjadi tanda penyakit lain (seperti
tuberkulosis, kanker paru) dan oleh karena itu harus selalu diteliti. Syncope
batuk terjadi dengan peningkatan yang cepat pada tekanan intratorakal
selama serangan batuk yang lebih lama. Kondisi batuk ini juga dapat
menyebabkan keretakkan rusuk yang kadangkala bersifat asiptomatik.
Pembengkakkan pergelangan kaki dapoat menjadi pointer simptomatik bagi
perkembangan cor pulmonale. Gejala depresi dan atau kegelisahan
mendorong pada penelitian spesifik pada riwayat klinis karena bersifat
umum dalam PPOK dan dikaitkan dengan peningkatan resiko pemburukkan
dan status kesehatan yang kurang baik.
Kontak pasien terhadap faktor resiko seperti merokok dan pekerjaan atau
kontak lingkungan.
17
Riwayat medis masa lalu, termasuk asma, allergi, sinusitis, atau polips
nasal; infeksi pernafasan pada masa kanak-kanak serta penyakit pernafasan
lainnya.
Riwayat
Pemeriksaan fisik
Meskipun bagian penting dari perawatan pemeriksaan fisik pasien adalah
jarang menjadi diagnosa dalam PPOK, tanda-tanda fisik dari batasan aliran
udara umumnya tidak ada hingga gangguan fungsi paru yang cukup signifikan
terjadi, dan deteksinya memiliki sensitivitas dan spesifiksitas yang rendah.
Jumlah tanda-tanda fisik juga dapat ditemukan pada PPOK, tetapi tanpa
mengesampingkan diagnosa.
18
Spirometer
Spirometer adalah ukuran yang objektif
dalam melakukan
menghindari estimasi nilai yang kurang dan disini ada kesalahan dalam
diagnosa dan manajemen.
Bronchodilatasi
19
Kinerja
Evaluasi
20
Resiko pemburukkan
Adanya komorbiditas
Pemeriksaan gejala
Di masa lampau, PPOK dilihat sebagai penyakit yang ditandai dengan sesak
nafas. Ukuran sederhana dari sesak nafas ini adalah seperti kuesioner Modified
British Medical Research Counsil (mMRC) yang dianggap cukup untuk
memeriksa gejala, dimana mMRC akan berhubungan dengan ukuran lain dari
status kesehatan dan memrpediksikan resiko mortalitas di masa depan. Juga
tidak diketahui bahwa PPOK memiliki efek multi simptomatik. Untuk itu,
pemeriksaan gejala komprehensif adalah direkomendasikan selain dari ukuran
sesak nafas.
Sebagian besar kualitas terkait kesehatan dengan penyakit spesifik atau
kuesioner status kesehatan seperti CRQ dan SGRQ adalah terlalu kompleks
untuk digunakan dalam praktek sehari-haro, tetapi dua ukuran komprehensif
yang lebih pendek (uji pemeriksaan PPOK, CAT dan kuesioner kontrol PPOK,
CCQ) telah dikembangkan dan dinyatakan sesuai.
Uji pemeriksaan PPOK (CAT). Tes pemeriksaan PPOK adalah ukuran
gangguan satus kesehatan tanpa dimensi dalam PPOK. Ini dikembangkan
dengan terjemahan yang dapat diaplikasi dan divalidasi yang tersedia dalam
berbagai rentang bahasa. Kisaran skor dari 0-40 menghubungkannya secara
tertutup dengan SGRQ, dan telah didokumentasikan dalam seumlah publikasi.
Kuesioner pengendalian PPOK (CCQ). Kusioner pengendalian PPOK adalah
kuesioner mandiri 10 item yang dikembangkan untuk mengukur kontrol klinis
pada pasien dengan PPOK. Meskipun konsep kontrol dalam PPOK masih tetap
bersifat kontroversial, CCQ adalah lebih singkat dan mudah untuk dilakukan.
Juga lebih handal dan responsif yang tersedia dalam berbagai bahasa dan
kemudian divalidasi.
21
22
Pemeriksaan spirometer
Spirometer harus dilakukan setelah pemberian dosis yang cukup dari
bronchodilator hirup untuk meminimumkan variabilitasnya.
Juga hanya ada korelasi yang lemah antara FEV1, gejala dan gangguan kualitas
hidup terkait kesehatan pasien.
Pemeriksaan resiko pemburukkan
Pemburukkan PPOK didefinisikan sebagai kejadian akut yang ditandai oleh
pemburukkan gejala pernafasan pasien yang termasuk dalam variasi normal
sehari-hari dan mengarah pada perubahan dalam pengobatan. Laju dimana
pemburukkan terjadi sangat bervariasi antara passien. Prediktor terbaik dengan
pemburukkan yang sering terjadi (2 pemburukan lebih per tahun) adalah riwayat
kejadian yang ditangani sebelumnya. Di samping itu, pemburukkan pembatasan
aliran udara adalah berkaitan dengan peningkatan prevalensi pemburukkan dan
resiko kematian. Rawat inap untuk pemburukkan PPOK adalah terkait dengan
prognosis yang kurang baik dengan peningkatan resiko kematian.
Data yang cukup beasr telah terakumulasi pada pasien yang diklasifikasikan
dengan sistem penilaian spirometer GOLD. Ini memperlihatkan peningkatan
dalam resiko pemburukkan, rawat inap dan kematian dengan memburuknya
batasan aliran udara. Meskipun hingga 20% dari GOLD 2 (batasan aliran udara
yang sedang) pasien dapat mengalami pemburukkan yang menuntut perlakuan
dengan antibiotik dan/atau korticosteroid sistemik, resiko pemburukkan yang
secara signifikan akan meningkat dalam GOLD 3 (parah) dan GOLD 4 (sangat
parah). Sejak pemburukkan meningkat, penurunan fungsi paru, kemunduran
dalam status kesehatan dan resiko kesehatan, pemeriksaan resiko pemburukkan
dapat terlihat sebagai penilaian resiko hasil yang kurang baik.
Pemeriksaan komorbiditas
Karena PPOK seringkali berkembang pada perokok yang sudah lama pada usia
paruh baya, pasien seringkali memiliki berbagai jenis penyakit lain terkait
dengan merokok atau penuaan. PPOK itu sendiri memiliki efek ekstrapulmonal
23
sering
kardiovaskular,
terjadi
kelainan
pada
fungsi
pasien
otot
PPOK
rangka,
termasuk
sindrome
penyakit
metabolisme,
terhadap
dampak
COPD
terhadap
pasien
perorangan
lebih
disukai,
tetapi
tanpa
adanya
skor
mMRC
akan
24
Ada tiga metode penilaian resiko pemburukkan. Salah satunya adalah metode
berbasis populasi menggunakan kklasifikasi spirometer GOLD (Tabel 2.5),
dengan GOLD 3 atau kategori GOLD 4 yang menunjukkan resiko tinggi. Kedua
didasasrkan pada riwayat pemburukkan yang dialami pasien dengan dua
pemburukkan atau lebih dalam tahun sebelumnya yang menunjukkan resiko
tinggi. Ketiga adalah riwayat rawat inap terkait dengan emburukkan dalam
tahun terdahulu. (Bila ada penyimpangan antara kriteria ini, maka pemeriksaan
merujuk pada resiko tertigngi yang harus digunakan). Untuk menggunakan
gambar 2.3, pertama kali periksa gejala dengan skala CAT (atau dyspnea
dengan mMRC) dan tentukan bila pasien termasuk pada kotak di sisi kiri
gejala yang lebih kecil (CAT < 10) atau kurangnya sesak nafas (mMRC 0-1);
atau termasuk pada kotak di sisi kanan gejala yang lebih besar (CAT 10)
atau sesak nafas berlebihan (mMRC 2).
Kemudian perika resiko pemburukkan untuk menentukan apakah pasien
termasuk pada bagian bawahd ari kotak resiko rendah atau bagian atas dari
kotak resiko tinggi. Ini tentu dapat dilakukan dengan salah satu dari tiga
metode ini : (1) gunakan spirometer untuk menentukan golongan GOLD dari
batasan aliran udara (kategori GOLD 1 dan GOLD 2 mnenunjukkan resiko
rendah,s ementara GOLD 3 dan GOLD 4 menunjukkan resiko tinggi); (2)
periksa jumlah pemburukkan yang dialami pasien dalam 12 bulan terakhir (0
atau 1 menunjukkan resiko rendah, sementara 2 atau lebih menunjukkan resiko
tinggi),; (3) tentukan apakayh pasien telah dirawat inap sekali atau lebih dalam
tahun sebelumnya akibat pemburukkan COPD. Pada beberapa pasien, ketiga
cara pemeriksaan resiko pemburukkan ini tidak akan mengarah pada level
resiko yang sama; dalam kasus ini, resiko harus ditentukan dengan metode yang
menunjkkan resiko tinggi.
25
Contoh : bayangkan pasien dengan skor CAT 18, FEV1 55% dari yang
dirpediksikan dan riwayat 3 kali pemburukkan dalam 12 bulan terakhir.
Poemeriskaan gejala menggunakan CAT memperlihatkan bahwa pasien adalah
lebih simkptomatik (CAT 10) dan oleh karena itu termasuk dalam kelompok B
atau kelompok D. spirometer menunjukkan resiko rendah ketika pasioen adalah
GOLD 2 (batasan aliran duara yang sedang), tetapi ketika pasien mengalami 3
pemburukkan dalam 12 bulan terakhir maka ini menunjukkan resiko tinggi dan
pembobotan penilaian resiko rendah didasarkan pada spirometer. Oleh karena
itu pasien termasuk dalam kelompok D.
Kelompok ini tentu dapat diringkaskan sebagai berikut :
26
Rawat inap untuk pemburukkan PPOK adalah terkait dengan prognosis yang
kurang baik.
Skor CAT 10 adalah terkait dengan gangguan status kesehatan yang cukup
signifikan.
analisis uni dimensional dari batasan aliran udara sebelum digunakan untuk
pentahapan penyakit dan bentuk dasar panduan untuk manajemen individual
dalam bab 4.
28
pasien dengan kondisi sesak nafas yang dapat menjadi bagian proporsi dengan
tingkat keterbatasan aliran udara.
Oksimeteri dan pengukuran gas darah arterial. Oksimetri denyut jantung dapat
digunakan untuk mengevaluasi kejenuhan oksigen pasien dan perlunya terapi
oksigen tambahan. Oksimetri denyut jantung ini harus digunakan untuk
memeriksa semua kestabilan pasien dengan FEV1 < 35% sebagaimana
dirpediksikan atau dengan tanda klinis dari kegagalan pernafasan atau kegagalan
jantung kanan.
Bila kejenuhan tepi adalah < 92% gas darah arterial harus
diperiksa.
Pemeriksaan kekurangan alfa 1 antitrypsin. WHO merekomendasikan bahwa
pasien COPD dari daerah dengan prevalensi yang tinggi dari kekurangan alfa 1
antitrypsin harus diperiska terhadap kelainan genetika. Pasien ini cenderung
terlihat pada usia mudanya (< 45 thun) dengan rendahnya emfisema lobus.
Anggota keluarga dapat dikenali dan pemeriksaan keluarga adalah sangat
bermanfaat untuk konseling yang sesuai. Konsentrasi serum alfa-1 antitrypsin di
bawah 15 20% dari nilai normal adalah sangat sugestif dari kekurangan alfa-1
antitrypsin homozigot.
Pengujian latihan. Gangguan latihan yang diukur secara objektif, dinilai dengan
mengurangi
jarak
berjalan
atau
selama
pengujian
latihan
di
berjalan dengan alat dan tanpa alat. Pengujian laboratorium menggunakan sepeda
atau ergometri treadmill dapat mengidentifikasikan keberadaan atau kondisi
alternatif seperti diagnosa jantung. Monitoring dari aktivitas fisik akan lebih
relevan menyangkut prognosis dari pada kapasitas latihan evaluatif. Ini tentu
dapat dilakukan dengan menggunakan akselerometer atau instrumen multisensor.
29
dengan
30
Polusi udara
Pengurangan paparan terhadap polusi asap dari bahan bakar biomasa, terutama
diantaranya pada wanita dan anak-anak merupakan tujuan utama untuk mengurangi
31
prevalensi PPOK didunia. Ventilasi yang cukup tungku memasak yang ramah
lingkungan, penggunaan cerobong asap, dan intervensi sejenis lainnya adalah layak
dan harus dianjurkan.
Gejala
32
Pencegahan pemburukan
Penelitian dimana pemburukan adalah akibat utama yang dialami oleh populasi
pasien dengan melihat riwayat pemburukan yang sering terjadi pada tahun
sebelumnya akan lebih mudah untuk memperlihatkan efek penanganan dalam
mencegah pemburukan bila hal itu terjadi secara aktual. Riwayat pemburkan pada
pasien terlihat lebih menjadi prediktor yang baik dari pemburukan di masa yang
akan datang, sehingga panel GOLD mengasumsikan bahwa jauh lebih aman untuk
mengekstrapolasi bukti efikasi dari uj coba klinis bagi pasien yang sesuai dalam
praktek rutin tanpa melihat kriteria entri menyangkut riwayat pemburuka terdahulu.
Essensial
Rekomendasi
Bergantung
Pedoman
Lokal
A
Berhenti Merokok
Aktivitas Fisik
Vaksinasi Flu
Vaksinasi Pneumokokus
B-D
Berhenti Merokok
Rehabilitasi Paru
Aktivitas Fisik
Vaksinasi Flu
Vaksinasi Pneumokokus
Berhenti merokok
Berhenti merokok harus menjadi tindakan intervensi yang penting bagi semua
pasien PPOK yang merokok tanpa melihat tingkat keparahan penyakitnya.
33
Aktivitas fisik
Aktivitas fisik direkomendasikan untuk semua pasien dengan PPOK. Kompoen
latihan fisik diyakini memberikan banyak manfaat, dengan manfaat populasi
keseluruhan dari latihan fisik dan perannya dalam pencegahan primer dan sekunder
dari
penyakit
kardiovaskulat,
maka
terlihat
secara
intuitif
memperbaiki
Rehabilitasi
Meskipun lebih banyak informasi yang dibutuhkan atas kriteria untuk seleksi pasien
bagi program rehabilitasi pulmonal, maka semua pasien PPOK harusmendapatkan
manfaat dari rehabilitasi dan mempertahankan aktivitas fisik, memperbaiki
toleransi latihan mereka dan mengalami penurunan dipsneu dan keletihan. Data
yang ada menyatakan bahwa manfaat ini daat diperoleh setelah program rehabilitasi
pulmonal tunggal. Manfaat ini tentu muncul setelah program rehabillitasi berahir,
tetapi bila latihan ini daapat dipertahankan maka status kesehatan pasien diatas
level pra-rehabilitasi.
Vaksinasi
Keputusan tentang vaksinasi tentang PPOK tergantung pada kebijakan lokal,
ketersedian vaksin dan keterjangkauan.
Terapi farmakologi
Terapi farmakologi pada PPOK digunakan untuk mengurangi frekuensi dan tingkat
keparahan serta memperbaiki status kesehatan dan toleransi latihan. Obat yang
tersedia untuk PPOK masih belum terlihat secara konsklusif untuk memodifikasi
penurunan jangka panjang dalam fungsi paru yang merupakan bagian dari penyakit
ini.
Kelas pengobatan yang umum digunakan dalam penanganan PPOK terlihat
dalam tabel dibawah ini. Pilihan di dalam setiap kelas tergantung pada ketersediaan
obat dan respon pasien
34
Model yang diajukan untuk penanganan farmakologi awal dari PPOK (COPD)
menurut penilaian individu dari gejala dan resiko pemburukkan diperlihat dalam
tabel dibawah ini.
35
yang
bekerja
singkat
digunakan
sesuai
kebutuhan
yang
direkomendasikan sebagai pilihan pertama didasarkan pada efek pada fungsi paru
dan sesak nafas. Pilihan alternatif adalah kombinasi bronkodilator kerja singkat
atau bronkodilator kerja lama. Bukti untuk langka ini sangat lemah, sedikit
penelitian kombinasi yang ada dan sebagian besar uji coba terapi dengan
bronkodilator kerja lama telah dilakukan pada pasien dengan hambatan aliran udara
yang cukup parah.
Pasien Grup B memiliki gejala yang lebih signifikan tetapi masih dengan
resiko pemburukkan yang lebih rendah. Bronkodilator kerja lama dapat lebih
unggul dari bronkodilator kerja singkat, oleh karena itu akan direkomendasikan.
Tidak ada bukti untuk merekomendasikan satu kelas bronkodilator durasi panjang
terhadap penanganan awal. Pada pasien perorangan, pilihannya harus tergantung
pada persepsi pasien dalam menghilangkan gejala. Untuk pasien dengan sesak
36
nafas yang cukup parah, pilihan alternatif lainnya adalah kombinasi bronkodilator
durasi panjang. Hanya kajian jangka pendek dari pilihan penanganan ini yang telah
dilaporkan oleh pasien atas kombinasi bronkodilator harus diikuti dengan cermat
dan efek penanganannya harus di evaluasi. Penanganan lain yang dimungkinkan
adalah bronkodilator dengan kerja singkat dengan teofilin, yang terakhir digunakan
bila bronkodilator inhaler tidak tersedia atau sulit didapat.
Pasien Grup C memiliki sedikit gejala tetapi dengan resiko pemburukkan
yang lebih tinggi. Sebagai pilihan pertama berupa kombinasi tetap dari
kortikosteroid hirup atau beta-2-agonis atau anti kolinergik kerja lama bakal
dianjurkan. Namun, hanya ada satu penelitian yang membandingkan tindakan ini
yang sulit untuk dibedakan. Pilihan alternatif adalah kombinasi bronkodilator yang
kerja panjang atau kombinasi kortikosteroid hirup atau anti kolinergik kerja lama
dapat digunakan. Anti kolinergik yang kerja lama dan beta-2-agonis kerja panjang
mengurangi resiko pemburukkan, meskipun kajian jangka panjang yang baik masih
belum ada, prinsip kombinasi penanganan ini terlihat lebih baik. Penghambat
Fosfodiesterase-4 digunakan dalam bentuk kombinasi dengan satu bronkodilator
durasi panjang harus dapat dipertimbangkan bila pasien mengalami bronkitis
kronik. Penanganan lain yang dimungkinkan termasuk bronkodilator durasi singkat
dan teofilin, bila aksi jangka panjang dari bronkodilator hirup tidak tersedia.
Pasien Grup D memiliki beberapa gejala dan resiko pemburukkan yang
sangat tinggi. Pilihan terapi yang pertama adalah kortikosteroid hirup ditambah
dengan beta-2-agonist yang bekerja lama atau antikolinergik yang bekerja lama.
Meskipun ada konflik temuan menyangkut penangangan ini, dukungan terhadap hal
ini masih datang dari kajian jangka pendek. Sebagai pilihan kedua kombinasi dari
ketiga kelas obat (kortikosteroid hirup atau beta-2-agonist kerja lama atau
antikolinergik kerja lama) akan dianjurkan. Pada pasien penderita bronkitis kronik
dimungkinkan untuk menambah fosfodiesterase-4 inhibitor sebagai pilihan utama.
Fosfodiesterase-4 inhibitor efektif ketika ditambahkan pada bronkodilator kerja
panjang, sementara bukti dari manfaat ketika ditambahkan pada kortikosteroid
hirup kurang valid. Penanganan lain yang dimungkinkan adalah bronkodilator kerja
37
singkat dan teofilin atau karbosistein yang dapat digunakan bila bronkodilator hirup
tidak tersedia atau tidak dapat diberikan.
Untuk beta-2-agonis dan anti kolinergik, durasi kerja panjang lebih baik
dibadingkan dengan durasi kerja singkat.
Berdasarkan efikasi dan efek samping, bronkodilator hirup jauh lebih baik
dibandingkan bronkodilator oral.
Berdasarkan atas bukti efikasi yang lebih rendah dan efek samping yang
lebih besar, pemakaian dengan teofilin tidak dianjurkan bila bronkodilator
pemakaian jangka panjang lainnya masih tersedia.
Tidak ada bukti untuk merekomendasikan uji coba terapi jangka pendek
dengan kortikosteroid oral pada pasien penderita PPOK untuk mengenalkan
mereka
pengobatan lainnya.
38
39
40
41
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit umum yang dapat
dicegah dan diobati yang ditandai oleh adanya keterbatasan aliran udara
yang biasanya bersifat progresif dan berkaitan dengan peningkatan respon
peradangan kronis dalam saluran udara dan paru hingga partikel yang
beracun atau gas. Kondisi yang memburuk dan komorbiditas mempengaruhi
tingkat keparahan pada pasien perorangan.
PPOK adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia
dan mengakiabtkan beban ekonomi dan sosial yang bersifat substansial dan
terus meningkat.
Mengisap asap rokok dan partikel racun lainnya seperti asap dari bahan
bakar biomassa menyebabkan inflamasi paru, respon normal yang terlihat
dimodifiaksi pada pasien yang mengalami PPOK. Respon radang kronis ini
tentu dapat mempengaruhi kerusakan jaringan parenchymal (menghasilkan
emphysema), dan menganggu mekanisme pertahanan dan perbaikan normal
(menghasilkan fibrosis saluran udara kecil). Perubahan patologi ini
mengarah pada perangkap udara dan batasan aliran udara secara progressif
dengan demikian mengalami sesak nafas dan gejala karakteristik dari
PPOK.
Diagnosa klinis dari PPOK harus dipertimbangkan pada beberapa pasien
yang menderita dyspnea, batuk kronis atau produksi sputum dan riwayat
terpapar pada faktor resiko untuk penyakit.
Spirometer dibutuhkan untuk melakukan diagnosa dalam konteks klinis ini;
keberadaan FEV1/FVC < 0.70
42
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Decramer, Marc, Vestbo, Jorgen, dan team. Global Strategy for the
Diagnosis Managemennt and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
disease, Updated 2014. 2014.UK : GOLD.
2. Team PDPI. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia.
2003. Jakarta : PDPI.
45